Para MUALAF
Halaman 3 dari 7 • Share
Halaman 3 dari 7 • 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Para MUALAF
First topic message reminder :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi". Demikian bunyi surah Ali Imron ayat 190-191.
Ayat di atas menjelaskan tentang kebesaran Allah; bahwa keberadaan dan kebesaran-Nya dapat dibuktikan melalui adanya alam semesta. Orang-orang yang berakal (ulul Albab/cendekiawan) yang disebutkan dalam ayat itu dapat membuktikan keberadaan Allah melalui penelitian terhadap ciptaan-Nya. Sehingga tidak mengherankan, tidak sedikit manusia yang pada mulanya berada dalam kejahiliyahan, akhirnya memeluk Islam dan menjadi muslim yang teguh setelah menemukan kebenaran pernyataan Alquran tentang tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.
Dalam Alquran sendiri, meski baru diturunkan 14 abad yang lalu, sudah banyak mengungkap fakta-fakta alam semesta secara ilmiah. Satu persatu fakta-fakta itu terbuktikan kebenarannya sehingga melahirkan beragam ilmu pengetahuan.
Pada abad modern ini, pembuktian kebenaran Alquran banyak dilakukan oleh ilmuwan non-muslim. Bahkan tidak sedikit di antara mereka akhirnya yang dengan keikhlasan mengucap dua kalimat syahadat, lantas menjadi mualaf.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi". Demikian bunyi surah Ali Imron ayat 190-191.
Ayat di atas menjelaskan tentang kebesaran Allah; bahwa keberadaan dan kebesaran-Nya dapat dibuktikan melalui adanya alam semesta. Orang-orang yang berakal (ulul Albab/cendekiawan) yang disebutkan dalam ayat itu dapat membuktikan keberadaan Allah melalui penelitian terhadap ciptaan-Nya. Sehingga tidak mengherankan, tidak sedikit manusia yang pada mulanya berada dalam kejahiliyahan, akhirnya memeluk Islam dan menjadi muslim yang teguh setelah menemukan kebenaran pernyataan Alquran tentang tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta.
Dalam Alquran sendiri, meski baru diturunkan 14 abad yang lalu, sudah banyak mengungkap fakta-fakta alam semesta secara ilmiah. Satu persatu fakta-fakta itu terbuktikan kebenarannya sehingga melahirkan beragam ilmu pengetahuan.
Pada abad modern ini, pembuktian kebenaran Alquran banyak dilakukan oleh ilmuwan non-muslim. Bahkan tidak sedikit di antara mereka akhirnya yang dengan keikhlasan mengucap dua kalimat syahadat, lantas menjadi mualaf.
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Kisah Musuh Islam "Daniel Streich" Jadi Muallaf
Daniel Streich, Dedengkot Musuh Islam kini Masuk Islam
Setelah kampanye, yang dipimpin oleh Partai Rakyat Swiss, untuk melarang pembangunan menara tempat adzan di masjid – masjid, muncul kabar yang mengejutkan. Salah seorang pemimpin partai tersebut mengumumkan masuk Islam.
Opini publik Swiss bersama dengan jutaan orang di dunia ini dikejutkan dengan seorang pemimpin politik, Daniel Streich, yang memimpin kampanye terakhir terhadap laragan membangun menara masjid di Swiss selama beberapa tahun terakhir, mengumumkan keislamannya di salah satu media Swiss. Ia menegaskan bahwa ia mengalami perubahan yang drastis setelah mengetahui nilai – nilai dan prinsip – prinsip Islam.
......sesungguhnya Swiss membutuhkan pembangunan masjid dan menara lebih untuk merangkul anak – anak bangsa dari kaum Muslimin...
Perubahan Terjadi Setelah Mengenal Islam
Pemimpin politik itu mengatakan bahwa ia terpaksa untuk mengkaji dan mendalami prinsip – prinsip Islam dalam upaya kampanye anti Islam. Ia terkejut mendapati hal – hal yang tidak pernah terlintas dalam benaknya, di mana jawaban atas pertanyaan yang ia terus bertanya dalam dirinya selama beberapa tahun lamanya yang ia tidak dapatkan di agama Kristen.
Stretch mengkritik permusuhan yang tumbuh anti Islam dan muslimin di Swiss. “sesungguhnya Swiss membutuhkan pembangunan masjid dan menara lebih untuk merangkul anak – anak bangsa dari kaum Muslimin" ujar Daniel.
“Aku terdesak untuk menulis banyak makalah menerangkan tentang pentingnya masjid di Swiss dan bahaya dalama upaya pelarangan membangun menara di negri ini” tambah pemimpin partai rakyat Swiss itu.
Karena sikapnya yang baru itu, mantan pelatih militer selama 30 tahun itu mengundurkan diri dari Partai Rakyat Swiss. Sekjen Institut Budaya Islam Swiss, Dr Mohammed Karmov, menganggam keislaman Strech memberikan bagi kemaslahatan Islam di Swiss.
.....Posisi ini mengingatkan kita kepada kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ketika ia pergi untuk membunuh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, maka Allah memberikan hidayah kepadanya dan melapangkan dadanya untuk iman. Dan ini menunjukkan bahwa hidayah itu berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan untuk kaum muslimin jangan berputus asa untuk berdakwah kepada non muslim.......
Daniel Islam Seperti Islamnya Umar
Dalam peranna, seorang dai, Nazim Al-Misbah, mengomentari kabar keislaman Strech seraya berkata “itulah keutamaan yang Allah berikan kepada siapa yang Ia kehendaki”.ia menambahkan bahwa keislaman orang yang memerangi Islam itu adalah sebuah kemenangan dari Allah.
Misbah menambahkan “Posisi ini mengingatkan kita kepada kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ketika ia pergi untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Allah memberikan hidayah kepadanya dan melapangkan dadanya untuk iman. Dan ini menunjukkan bahwa hidayah itu berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan untuk kaum muslimin jangan berputus asa untuk berdakwah kepada non muslim” ujarnya.
http://info-muallaf-baru.blogspot.com/2013/02/kisah-musuh-islam-daniel-streich-jadi.html
Daniel Streich, Dedengkot Musuh Islam kini Masuk Islam
Setelah kampanye, yang dipimpin oleh Partai Rakyat Swiss, untuk melarang pembangunan menara tempat adzan di masjid – masjid, muncul kabar yang mengejutkan. Salah seorang pemimpin partai tersebut mengumumkan masuk Islam.
Opini publik Swiss bersama dengan jutaan orang di dunia ini dikejutkan dengan seorang pemimpin politik, Daniel Streich, yang memimpin kampanye terakhir terhadap laragan membangun menara masjid di Swiss selama beberapa tahun terakhir, mengumumkan keislamannya di salah satu media Swiss. Ia menegaskan bahwa ia mengalami perubahan yang drastis setelah mengetahui nilai – nilai dan prinsip – prinsip Islam.
......sesungguhnya Swiss membutuhkan pembangunan masjid dan menara lebih untuk merangkul anak – anak bangsa dari kaum Muslimin...
Perubahan Terjadi Setelah Mengenal Islam
Pemimpin politik itu mengatakan bahwa ia terpaksa untuk mengkaji dan mendalami prinsip – prinsip Islam dalam upaya kampanye anti Islam. Ia terkejut mendapati hal – hal yang tidak pernah terlintas dalam benaknya, di mana jawaban atas pertanyaan yang ia terus bertanya dalam dirinya selama beberapa tahun lamanya yang ia tidak dapatkan di agama Kristen.
Stretch mengkritik permusuhan yang tumbuh anti Islam dan muslimin di Swiss. “sesungguhnya Swiss membutuhkan pembangunan masjid dan menara lebih untuk merangkul anak – anak bangsa dari kaum Muslimin" ujar Daniel.
“Aku terdesak untuk menulis banyak makalah menerangkan tentang pentingnya masjid di Swiss dan bahaya dalama upaya pelarangan membangun menara di negri ini” tambah pemimpin partai rakyat Swiss itu.
Karena sikapnya yang baru itu, mantan pelatih militer selama 30 tahun itu mengundurkan diri dari Partai Rakyat Swiss. Sekjen Institut Budaya Islam Swiss, Dr Mohammed Karmov, menganggam keislaman Strech memberikan bagi kemaslahatan Islam di Swiss.
.....Posisi ini mengingatkan kita kepada kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ketika ia pergi untuk membunuh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, maka Allah memberikan hidayah kepadanya dan melapangkan dadanya untuk iman. Dan ini menunjukkan bahwa hidayah itu berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan untuk kaum muslimin jangan berputus asa untuk berdakwah kepada non muslim.......
Daniel Islam Seperti Islamnya Umar
Dalam peranna, seorang dai, Nazim Al-Misbah, mengomentari kabar keislaman Strech seraya berkata “itulah keutamaan yang Allah berikan kepada siapa yang Ia kehendaki”.ia menambahkan bahwa keislaman orang yang memerangi Islam itu adalah sebuah kemenangan dari Allah.
Misbah menambahkan “Posisi ini mengingatkan kita kepada kisah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ketika ia pergi untuk membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Allah memberikan hidayah kepadanya dan melapangkan dadanya untuk iman. Dan ini menunjukkan bahwa hidayah itu berada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan untuk kaum muslimin jangan berputus asa untuk berdakwah kepada non muslim” ujarnya.
http://info-muallaf-baru.blogspot.com/2013/02/kisah-musuh-islam-daniel-streich-jadi.html
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
-deleted Post-
Hormati TS, bahwa Thread ini adalah khusus zona Muslim
By Admin
Hormati TS, bahwa Thread ini adalah khusus zona Muslim
By Admin
alex77- LETNAN DUA
-
Posts : 773
Kepercayaan : Protestan
Location : indonesia
Join date : 05.06.13
Reputation : 3
Re: Para MUALAF
ini Islam zone lho. dan teroris itu justru teroris kristen yang banyak makan korban, sejak perang salib, hitler yang membantai yahudi karena balas dendam atas kematian tuhannya, tiap mau membantai pasukannya diperciki air suci gereja, penyiksaan aliran non trinitas oleh gereja trinitas hingga genosida pemusnahan masal, hingga teroris kristen protestan vs kristen katolik di irlandia yang saling kasih lemparan bom tiap pawai keagamaan, sampai george bush dengan perang salib modernnya menyerang negara orang lain. sudah jutaan bahkan milyaran manusia yang jadi korban teroris kristen itu.
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Syekh Yusha Evans, Kisah Misionaris Memeluk Islam
Ia terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Yusha begitu yakin akan kebenaran yang tercantum dalam kitab suci itu.
Suatu hari di musim panas 1996. Yusha Evans, seorang misionaris muda kedatangan seorang teman bernama Benjamin. Ia tak pernah menyangka, kehadiran temannya itu bakal menggoyahkan imannya. Sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan temannya membuatnya melepaskan keyakinannya sebagai seorang Kristen.
‘’Apakah kau pernah membaca seluruh isi Alkitab?’’ Tanya Benjamin.
‘’Apa maksudmu? Saya seorang misionaris Kristen dan bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu padaku?’’ cetus Yusha.
‘’Apakah kau pernah membaca Alkitab seperti membaca sebuah novel: mengetahui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, mengetahui plot dan tempatnya serta tahu seluruh detail isinya?’’
Yusha mengaku tak pernah membaca Alkitab dengan cara itu. Lalu Benjamin menantangnya untuk membaca kembali Alkitab dari awal hingga akhir. Ia memintanya untuk membaca Alkitab selama beberapa bulan dan tidak menyentuh buku lain, kecuali Alkitab.
Maka mulailah Yusha membaca Alkitab dari Kejadian 1:1. Ia sangat tertarik dengan kisah para nabi. Dalam Alkitab, dikisahkan bahwa Nabi Nuh menyampaikan wahyu Allah, tapi tidak ada satupun umatnya yang mengikuti seruannya. Lalu Allah menghukum umat Nabi Nuh dengan mendatangkan banjir besar, dan hanya Nabi Nuh serta orang-orang yang naik ke kapal saja yang selamat.
Setelah banjir, seperti dikisahkan dalam Alkitab, Nabi Nuh meminum anggur dan keluar dalam keadaan mabuk. Yusha mengaku sangat heran, mengapa Nuh seorang utusan Tuhan bisa bersikap seperti itu.
‘’Tidak mungkin seorang nabi bersikap seperti itu. Maka saya tahu mengapa umat Nabi Nuh tidak mendengarkan apa yang ia sampaikan, karena ia mabuk,” kata Yusha kecewa.
Yusha kembali melanjutkan bacaannya. Semakin dalam membaca, kian banyak ia menemukan kesenjangan dalam Alkitab. Beberapa kisah nabi yang dibacanya justru tak mencerminkan nabi itu sebagai utusan Tuhan. Mereka malah seperti pelaku kriminal, yang justru dicari-cari polisi.
Ia pun amat penasaran. Yusha lalu bertanya kepada pendeta di gereja tempat melakukan misa. Ia mempertanyakan banyak hal. Namun Yusha tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Para pendeta yang ditemuinya berkata, ‘’Janganlah ilmu pengetahuan yang sedikit mempengaruhi keyakinannya terhadap Yesus.’’
Yusha diminta agar tidak perlu mempelajari segala hal. Ia diminta hanya cukup percaya saja pada apa yang diajarkan. Sejumlah pendeta memintanya agar tidak membaca Perjanjian Lama. Alasannya, Alkitab tersebut sudah tidak lagi terpakai. Mereka memintanya untuk membaca Perjanjian Baru.
Di dalam Perjanjian Baru, Yusha menemukan sebuah ayat yang menyebut bahwa Yesus berkata Tuhan itu satu. Dan hal tersebut terus diulang-ulang di ayat dan surat berikutnya dengan cara yang berbeda. Sama seperti ajaran Musa dalam 10 Perintah Allah, hal pertama yang diperintahkan adalah menyembah Allah dan tidak ada yang lain.
Yusha lalu mencari tahu mengenai Yesus. Ia menemukan ayat yang menyebutkan bahwa Yesus memerintahkan hal yang sama: menyembah satu Tuhan. Rasa penasarannya semakin menggebu. Ia pun mulai mempertanyakan tentang penyaliban Yesus. Dalam ajaran yang ia terima, Yesus dipaku pada bagian tangannya.
Dalam hatinya muncul kegamangan. Yusha berpendapat, hal tersebut sangatlah konyol. Seseorang yang telapak tangannya disalib tidak akan bertahan lama di atas tiang. Ia pun menyampaikan pendapatnya itu kepada para pendeta. Alih-alih mendapatkan jawaban, ia justru dilarang untuk melakukan khutbah Kristen di gerejanya.
Saat kondisi imannya sedang goyah, Benjamin kembali menemui Yusha. ‘’Aku telah membaca Alkitab berulang kali. Alitab itu pula dicetak berulang kali, namun selalu masih saja ada salah penulisan. Padahal, Tuhan itu sempurna. Ciptaannya pun sempurna dan kitabnya juga haruslah sempurna,’’ ujar Benjamin.
Sejak hari itu, Yusha melepas Kristen sebagai agama yang diyakininya. Ia memutuskan meninggalkan agamanya dan memilih untuk mencari agama lain. Ia mempelajari Buddha dan beberapa agama lain, termasuk Islam. Yusha juga sempat membaca sebuah buku tentang Islam, tetapi hal itu tidak membuatnya senang. Ia akhirnya tidak mengikuti satu agama dunia pun.
‘’Tuhan, jika Engkau tidak memberi saya petunjuk, maka saya akan mencari jalan sendiri,’’ Yusha memanjatkan sebuah doa. Saat itu, ia berusia 17 tahun.
****
Yusha Evans lahir dan besar di South Carolina, Amerika Serikat. Ia dibesarkan oleh kakek (Indian Amerika) dan nenek (Irlandia) yang sangat konservatif. Kakek dan neneknya selalu mengajarkannya berdoa sebelum makan, sebelum tidur, tidak boleh menyalakan musik keras-keras, tidak membawa perempuan ke rumah.
‘’Itu yang saya pelajari di sekolah Minggu,’’ ujar Yusha. Masa kecilnya dihabiskan bersama nenek dan kakeknya. Menginjak usia 14 tahun, neneknya mengajak Yusha ke sebuah pelayanan Sabtu yang benar-benar berbeda dengan apa yang dialaminya di sekolah Minggu.
Di sana mereka bermain bola, voli, basket. Di pelayanan Sabtu, Yusha juga menemukan banyak makanan, kue, dan permen. Di kahir pertemuan, pastor yang memimpin acara itu mulai memberikan pengajaran tentang agama. Ia sangat menyukainya, karena tempat itu seperti sekolah normal.
Ketika berumur 15 tahun, nenek Yusha meminta pastor muda yang biasa melayaninya di gereja untuk mengantarkan cucu kesayangannya itu ke sekolah. Yusha belum memiliki surat izin mengemudi (SIM), sehingga belum boleh mengendarai mobil sendirian. Pastor yang usianya tiga tahun lebih tua dari Yusha itu menjadi teman baiknya.
Bersama pastor muda itu, Yusha diajak ke sebuah perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini tidak seperti perkumpulan biasanya. ‘’Kelompok itu seperti yang kau lihat di televise. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar. Khutbah yang dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja. Dalam menyampaikan khotbahnya, ia (pastor) berteriak-teriak dan menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang.’’
Hal ini sangat menarik bagi Yusha. Mereka mengajarkan Kristen dengan cara yang berbeda dari yang dipelajari saat masih kecil. Menginjak usia 16 tahun, ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Yusha ingin menjadi seorang misionaris. Sebagai seorang yang perfeksionis, ia ingin mendalami Kristen secara utuh. Ketika ia ingin sesuatu, maka apa yang ia lakukan harus terselesaikan.
****
Pada suatu hari, Yusha pergi ke New York bersama beberapa temannya. Di kota terbesar di dunia itu, ia kehabisan uang dan memutuskan untuk mengambil uang dari sebuah mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Ketika mengambil uang, ia dirampok oleh orang-orang bersenjata.
Kejadian itu membuatnya sangat takut, sehingga hari itu juga Yushakembali ke rumah neneknya. Ia tidak menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang nenek. Ia menyimpannya, sampai akhirnya mendapatkan mimpi buruk.
Dalam mimpi itu, orang yang merampoknya di ATM menembaknya hingga mati. Lalu, ia melihat sesuatu tengah menantinya di sisi lain kehidupan. Ia tidak mengetahuinya.Yusha sangat ketakutan. Ia terbangun dari mimpinya sambil berteriak.
Sang nenek datang dan bertanya, ‘’Mengapa kau berteriak? Lalu, Yusha menceritakan segalanya, tentang perampokan dan mimpi yang dialaminya.
‘’Tuhan mempunyai satu rencana untukmu, percayalah,’’ ujar sang nenek.
‘’Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.
“Kau harus kembali pada-Nya. Kau harus mencari-Nya.”
Yusha pun linglung. Ia sudah mencari Tuhan kemana-mana, namun tidak menemukannya. Neneknya berkata, ‘’Tuhan tidak akan pergi kemana-mana, kau hanya perlu menemukannya.’’ Sang nenek tidak menyuruhnya untuk kembali ke gereja, hanya memintanya untuk mencari Tuhan.
Yusha mulai menjadi agnostik: mempercayai adanya Tuhan, namun tidak menganut agama apapun. Ia melakukan doa dengan caranya sendiri. Ia merasa jenuh dengan hal tersebut dan akhirnya memohon pada Tuhan, “Kalau Engkau ingin aku mengenal-Mu, maka bimbinglah aku.”
Sejak saat itu, ia tidak mau mendengar lagi apa yang harus dipercayainya. Tusha ingin melihat apa yang harus dipercayainya. Ia telah membaca banyak buku dan kitab agama lain, namun tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang dipercayai olehnya.
****
Sampai pada suatu hari, Yusha berkunjung ke rumah seorang temannya bernama Musa yang beragama Islam. Selama bertahun-tahun Yusha mengenalnya, ia sama sekali tidak menyadari kalau temannya itu adalah seorang Muslim. Dalam pertemuan itu, mereka membicarakan tentang agama. Dari situlah, Yusha berkenalan dengan Islam yang sebenarnya.
Karena tidak mempercayai adanya komunitas Islam di lingkungannya, teman Afro-Amerika yang Muslim itu mengajak Yusha ke masjid, sebuah tempat yang tepat untuk menanyakan tentang Islam. Yusha selama ini tidak pernah menyadari bahwa di lingkungannya terdapat masjid. Apalagi letaknya tidak jauh dari gereja.
“Dan saya tidak menyadarinya!” ujarnya.
Ia lalu berkunjung ke masjid. Saat sedang menunggu Musa, seorang lelaki mendekatinya dan bertanya, ‘’ Apa sedang kau lakukan di sini?’’
‘’Aku sedang menunggu Musa.’’
‘’Musa tidak terlalu sering datang ke masjid. Namun, jika kau ingin melihat masjid, saya dengan senang hati akan mengantarkanmu.’’
Awalnya. Yusha merasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk masuk ke masjid. Selama ini, pikirannya tentang Islam sangat buruk, namun pria itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Ia pun masuk ke dalam masjid tersebut dan mendengarkan khutbah. Awalnya, ia berpikir bahwa lafal ayat-ayat dalam bahasa Arab yang disampaikan khatib bermaksud untuk membunuhnya. Namun, ketika khatib tersebut menerjemahkan kalimat-kalimat Arabnya, Yusha menyadari apa yang dikatakan khatib itu adalah tentang menyembah Tuhan yang satu.
Usai shalat Jumat, ia menemui khatib dan bertanya, ‘’Apa yang barusan kalian lakukan tadi?’’
‘’Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah.’’
Ketika sang khatib hendak menjelaskan kepada Yusha tentang Islam, ia segera memotongnya, ’’Saya tidak ingin penjelasan. Saya ingin bukti. Apabila memang agama Anda benar, maka buktikanlah.’’
Kakeknya pernah berkata pada Yusha. Ketika orang mengklaim sesuatu itu benar, maka perlu pembuktian. Karena Yusha meminta bukti pada khatib, ia lalu diajak ke ruangannya. Khatib itu memberikannya Alquran, kitab suci umat Islam. Lalu Yusha membawanya pulang dan membacanya.
Ia terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Selama tiga hari, ia tidak dapat berhenti membacanya. Ia begitu meyakini kebenaran yang tercantum dalam Alquran. Hidayah Allah SWT memancar dalam kalbunya. Yusha pun bertekad untuk menjadi seorang Muslim.
Yusha kembali ke masjid dan menemui sang khatib. Lalu ia berkata, ’’Saya ingin menjadi Muslim.”
‘’Kau harus memahami satu hal lain apabila ingin menjadi seorang Muslim. Anda harus tahu tentang Nabi Muhammad SAW.’’
Yusha pun membaca tentang kisah Nabi Muhammad. Ia pun meyakini Muhammad sebagai utusan Allah. Pada Desember 1998, Yusha yang bernama asli Joshua akhirnya memeluk Islam. ‘’Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.’’
Sejak itu, ia mempelajari Islam dari sejumlah ulama di Mesir dan Amerika Serikat. Kini, Yusha menjadi seorang dai dan penceramah. Umat Islam di negeri Paman Sam memanggilnya, Syekh Yusha Evans. Ia berkhidmat di jalan Allah SWT, dengan menyebarkan ajaran Islam. Sumber: islamevents.com/yushaevans.com
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/10/mradls-syekh-yusha-evans-kisah-misionaris-memeluk-islam
Ia terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Yusha begitu yakin akan kebenaran yang tercantum dalam kitab suci itu.
Suatu hari di musim panas 1996. Yusha Evans, seorang misionaris muda kedatangan seorang teman bernama Benjamin. Ia tak pernah menyangka, kehadiran temannya itu bakal menggoyahkan imannya. Sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan temannya membuatnya melepaskan keyakinannya sebagai seorang Kristen.
‘’Apakah kau pernah membaca seluruh isi Alkitab?’’ Tanya Benjamin.
‘’Apa maksudmu? Saya seorang misionaris Kristen dan bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu padaku?’’ cetus Yusha.
‘’Apakah kau pernah membaca Alkitab seperti membaca sebuah novel: mengetahui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, mengetahui plot dan tempatnya serta tahu seluruh detail isinya?’’
Yusha mengaku tak pernah membaca Alkitab dengan cara itu. Lalu Benjamin menantangnya untuk membaca kembali Alkitab dari awal hingga akhir. Ia memintanya untuk membaca Alkitab selama beberapa bulan dan tidak menyentuh buku lain, kecuali Alkitab.
Maka mulailah Yusha membaca Alkitab dari Kejadian 1:1. Ia sangat tertarik dengan kisah para nabi. Dalam Alkitab, dikisahkan bahwa Nabi Nuh menyampaikan wahyu Allah, tapi tidak ada satupun umatnya yang mengikuti seruannya. Lalu Allah menghukum umat Nabi Nuh dengan mendatangkan banjir besar, dan hanya Nabi Nuh serta orang-orang yang naik ke kapal saja yang selamat.
Setelah banjir, seperti dikisahkan dalam Alkitab, Nabi Nuh meminum anggur dan keluar dalam keadaan mabuk. Yusha mengaku sangat heran, mengapa Nuh seorang utusan Tuhan bisa bersikap seperti itu.
‘’Tidak mungkin seorang nabi bersikap seperti itu. Maka saya tahu mengapa umat Nabi Nuh tidak mendengarkan apa yang ia sampaikan, karena ia mabuk,” kata Yusha kecewa.
Yusha kembali melanjutkan bacaannya. Semakin dalam membaca, kian banyak ia menemukan kesenjangan dalam Alkitab. Beberapa kisah nabi yang dibacanya justru tak mencerminkan nabi itu sebagai utusan Tuhan. Mereka malah seperti pelaku kriminal, yang justru dicari-cari polisi.
Ia pun amat penasaran. Yusha lalu bertanya kepada pendeta di gereja tempat melakukan misa. Ia mempertanyakan banyak hal. Namun Yusha tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Para pendeta yang ditemuinya berkata, ‘’Janganlah ilmu pengetahuan yang sedikit mempengaruhi keyakinannya terhadap Yesus.’’
Yusha diminta agar tidak perlu mempelajari segala hal. Ia diminta hanya cukup percaya saja pada apa yang diajarkan. Sejumlah pendeta memintanya agar tidak membaca Perjanjian Lama. Alasannya, Alkitab tersebut sudah tidak lagi terpakai. Mereka memintanya untuk membaca Perjanjian Baru.
Di dalam Perjanjian Baru, Yusha menemukan sebuah ayat yang menyebut bahwa Yesus berkata Tuhan itu satu. Dan hal tersebut terus diulang-ulang di ayat dan surat berikutnya dengan cara yang berbeda. Sama seperti ajaran Musa dalam 10 Perintah Allah, hal pertama yang diperintahkan adalah menyembah Allah dan tidak ada yang lain.
Yusha lalu mencari tahu mengenai Yesus. Ia menemukan ayat yang menyebutkan bahwa Yesus memerintahkan hal yang sama: menyembah satu Tuhan. Rasa penasarannya semakin menggebu. Ia pun mulai mempertanyakan tentang penyaliban Yesus. Dalam ajaran yang ia terima, Yesus dipaku pada bagian tangannya.
Dalam hatinya muncul kegamangan. Yusha berpendapat, hal tersebut sangatlah konyol. Seseorang yang telapak tangannya disalib tidak akan bertahan lama di atas tiang. Ia pun menyampaikan pendapatnya itu kepada para pendeta. Alih-alih mendapatkan jawaban, ia justru dilarang untuk melakukan khutbah Kristen di gerejanya.
Saat kondisi imannya sedang goyah, Benjamin kembali menemui Yusha. ‘’Aku telah membaca Alkitab berulang kali. Alitab itu pula dicetak berulang kali, namun selalu masih saja ada salah penulisan. Padahal, Tuhan itu sempurna. Ciptaannya pun sempurna dan kitabnya juga haruslah sempurna,’’ ujar Benjamin.
Sejak hari itu, Yusha melepas Kristen sebagai agama yang diyakininya. Ia memutuskan meninggalkan agamanya dan memilih untuk mencari agama lain. Ia mempelajari Buddha dan beberapa agama lain, termasuk Islam. Yusha juga sempat membaca sebuah buku tentang Islam, tetapi hal itu tidak membuatnya senang. Ia akhirnya tidak mengikuti satu agama dunia pun.
‘’Tuhan, jika Engkau tidak memberi saya petunjuk, maka saya akan mencari jalan sendiri,’’ Yusha memanjatkan sebuah doa. Saat itu, ia berusia 17 tahun.
****
Yusha Evans lahir dan besar di South Carolina, Amerika Serikat. Ia dibesarkan oleh kakek (Indian Amerika) dan nenek (Irlandia) yang sangat konservatif. Kakek dan neneknya selalu mengajarkannya berdoa sebelum makan, sebelum tidur, tidak boleh menyalakan musik keras-keras, tidak membawa perempuan ke rumah.
‘’Itu yang saya pelajari di sekolah Minggu,’’ ujar Yusha. Masa kecilnya dihabiskan bersama nenek dan kakeknya. Menginjak usia 14 tahun, neneknya mengajak Yusha ke sebuah pelayanan Sabtu yang benar-benar berbeda dengan apa yang dialaminya di sekolah Minggu.
Di sana mereka bermain bola, voli, basket. Di pelayanan Sabtu, Yusha juga menemukan banyak makanan, kue, dan permen. Di kahir pertemuan, pastor yang memimpin acara itu mulai memberikan pengajaran tentang agama. Ia sangat menyukainya, karena tempat itu seperti sekolah normal.
Ketika berumur 15 tahun, nenek Yusha meminta pastor muda yang biasa melayaninya di gereja untuk mengantarkan cucu kesayangannya itu ke sekolah. Yusha belum memiliki surat izin mengemudi (SIM), sehingga belum boleh mengendarai mobil sendirian. Pastor yang usianya tiga tahun lebih tua dari Yusha itu menjadi teman baiknya.
Bersama pastor muda itu, Yusha diajak ke sebuah perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini tidak seperti perkumpulan biasanya. ‘’Kelompok itu seperti yang kau lihat di televise. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar. Khutbah yang dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja. Dalam menyampaikan khotbahnya, ia (pastor) berteriak-teriak dan menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang.’’
Hal ini sangat menarik bagi Yusha. Mereka mengajarkan Kristen dengan cara yang berbeda dari yang dipelajari saat masih kecil. Menginjak usia 16 tahun, ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Yusha ingin menjadi seorang misionaris. Sebagai seorang yang perfeksionis, ia ingin mendalami Kristen secara utuh. Ketika ia ingin sesuatu, maka apa yang ia lakukan harus terselesaikan.
****
Pada suatu hari, Yusha pergi ke New York bersama beberapa temannya. Di kota terbesar di dunia itu, ia kehabisan uang dan memutuskan untuk mengambil uang dari sebuah mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Ketika mengambil uang, ia dirampok oleh orang-orang bersenjata.
Kejadian itu membuatnya sangat takut, sehingga hari itu juga Yushakembali ke rumah neneknya. Ia tidak menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang nenek. Ia menyimpannya, sampai akhirnya mendapatkan mimpi buruk.
Dalam mimpi itu, orang yang merampoknya di ATM menembaknya hingga mati. Lalu, ia melihat sesuatu tengah menantinya di sisi lain kehidupan. Ia tidak mengetahuinya.Yusha sangat ketakutan. Ia terbangun dari mimpinya sambil berteriak.
Sang nenek datang dan bertanya, ‘’Mengapa kau berteriak? Lalu, Yusha menceritakan segalanya, tentang perampokan dan mimpi yang dialaminya.
‘’Tuhan mempunyai satu rencana untukmu, percayalah,’’ ujar sang nenek.
‘’Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.
“Kau harus kembali pada-Nya. Kau harus mencari-Nya.”
Yusha pun linglung. Ia sudah mencari Tuhan kemana-mana, namun tidak menemukannya. Neneknya berkata, ‘’Tuhan tidak akan pergi kemana-mana, kau hanya perlu menemukannya.’’ Sang nenek tidak menyuruhnya untuk kembali ke gereja, hanya memintanya untuk mencari Tuhan.
Yusha mulai menjadi agnostik: mempercayai adanya Tuhan, namun tidak menganut agama apapun. Ia melakukan doa dengan caranya sendiri. Ia merasa jenuh dengan hal tersebut dan akhirnya memohon pada Tuhan, “Kalau Engkau ingin aku mengenal-Mu, maka bimbinglah aku.”
Sejak saat itu, ia tidak mau mendengar lagi apa yang harus dipercayainya. Tusha ingin melihat apa yang harus dipercayainya. Ia telah membaca banyak buku dan kitab agama lain, namun tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang dipercayai olehnya.
****
Sampai pada suatu hari, Yusha berkunjung ke rumah seorang temannya bernama Musa yang beragama Islam. Selama bertahun-tahun Yusha mengenalnya, ia sama sekali tidak menyadari kalau temannya itu adalah seorang Muslim. Dalam pertemuan itu, mereka membicarakan tentang agama. Dari situlah, Yusha berkenalan dengan Islam yang sebenarnya.
Karena tidak mempercayai adanya komunitas Islam di lingkungannya, teman Afro-Amerika yang Muslim itu mengajak Yusha ke masjid, sebuah tempat yang tepat untuk menanyakan tentang Islam. Yusha selama ini tidak pernah menyadari bahwa di lingkungannya terdapat masjid. Apalagi letaknya tidak jauh dari gereja.
“Dan saya tidak menyadarinya!” ujarnya.
Ia lalu berkunjung ke masjid. Saat sedang menunggu Musa, seorang lelaki mendekatinya dan bertanya, ‘’ Apa sedang kau lakukan di sini?’’
‘’Aku sedang menunggu Musa.’’
‘’Musa tidak terlalu sering datang ke masjid. Namun, jika kau ingin melihat masjid, saya dengan senang hati akan mengantarkanmu.’’
Awalnya. Yusha merasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk masuk ke masjid. Selama ini, pikirannya tentang Islam sangat buruk, namun pria itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Ia pun masuk ke dalam masjid tersebut dan mendengarkan khutbah. Awalnya, ia berpikir bahwa lafal ayat-ayat dalam bahasa Arab yang disampaikan khatib bermaksud untuk membunuhnya. Namun, ketika khatib tersebut menerjemahkan kalimat-kalimat Arabnya, Yusha menyadari apa yang dikatakan khatib itu adalah tentang menyembah Tuhan yang satu.
Usai shalat Jumat, ia menemui khatib dan bertanya, ‘’Apa yang barusan kalian lakukan tadi?’’
‘’Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah.’’
Ketika sang khatib hendak menjelaskan kepada Yusha tentang Islam, ia segera memotongnya, ’’Saya tidak ingin penjelasan. Saya ingin bukti. Apabila memang agama Anda benar, maka buktikanlah.’’
Kakeknya pernah berkata pada Yusha. Ketika orang mengklaim sesuatu itu benar, maka perlu pembuktian. Karena Yusha meminta bukti pada khatib, ia lalu diajak ke ruangannya. Khatib itu memberikannya Alquran, kitab suci umat Islam. Lalu Yusha membawanya pulang dan membacanya.
Ia terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Selama tiga hari, ia tidak dapat berhenti membacanya. Ia begitu meyakini kebenaran yang tercantum dalam Alquran. Hidayah Allah SWT memancar dalam kalbunya. Yusha pun bertekad untuk menjadi seorang Muslim.
Yusha kembali ke masjid dan menemui sang khatib. Lalu ia berkata, ’’Saya ingin menjadi Muslim.”
‘’Kau harus memahami satu hal lain apabila ingin menjadi seorang Muslim. Anda harus tahu tentang Nabi Muhammad SAW.’’
Yusha pun membaca tentang kisah Nabi Muhammad. Ia pun meyakini Muhammad sebagai utusan Allah. Pada Desember 1998, Yusha yang bernama asli Joshua akhirnya memeluk Islam. ‘’Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.’’
Sejak itu, ia mempelajari Islam dari sejumlah ulama di Mesir dan Amerika Serikat. Kini, Yusha menjadi seorang dai dan penceramah. Umat Islam di negeri Paman Sam memanggilnya, Syekh Yusha Evans. Ia berkhidmat di jalan Allah SWT, dengan menyebarkan ajaran Islam. Sumber: islamevents.com/yushaevans.com
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/10/mradls-syekh-yusha-evans-kisah-misionaris-memeluk-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Pria Atheis Ini Akhirnya Menemukan Sang Pencipta dalam Islam
Bagi Laurence, Islam sangatlah sesuai dengan keyakinannya.
Orangtua mana yang tak merasa bahagia atas kelahiran anak mereka? Perasaan itulah yang membuncah di dalam hati Laurence Brown sangat bayi perempuan kecilnya terlahir. Kebahagiaan Laurence luntur seketika dan berubah menjadi ketakutan, karena bayi mungilnya divonis mengalami kelainan di arteri besar jantungnya.
Akibat kelainan itu, jantung Hanna -- nama anak perempuan Laurence itu -- tak bisa memasok oksigen ke seluruh tubuh mungilnya. Akibatnya tubuh bagian bawah sang gadis kecil terlihat membiru, seolah mati.
Dokter pun segera membawa Hanna ke ruang rawat intensif untuk menanganinya lebih lanjut. Laurence menyadari, penyakit yang diderita anaknya adalah masalah kecil yang banyak membuat orang meninggal. Dan mereka meninggal dengan cara yang tidak menyenangkan. Mereka harus menjalani operasi dan mengkonsumsi obat. Lalu beberapa tahun kemudian dioperasi lagi, dan terus begitu sampai ajal menjemput.
Menyaksikan kondisi putrinya yang lemah tak berdaya itu membuat lulusan tiga perguruan tinggi terkemuka, Cornell University, Brown Medical School, dan George Washington University itu tidak bisa mengontrol diri. Untuk pertama kalian, Laurence tak mampu menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya.
Sebelumnya, Laurence selalu berupaya mengatasi kesulitannya yang dihadapinya. Ketika membutuhkan lebih banyak uang, ia akan bekerja lebih keras agar memperoleh lebih banyak uang. Kali itu, ia benar-benar terpojok. Tak mampu berbuat apapun untuk menyelamatkan buah hatinya.
‘’Untuk pertama kalinya dalam hidup saya membutuhkan pertolongan,” ujar Laurence dalam The Deen Show, sebuah talkshow yang mengisahkan perjalanan hidup para mualaf. Laurance yang atheis alias tak mempercayai Tuhan baru tersadar. Ia membutuhkan bantuan Dia yang Maha Agung.
Laurence dibesarkan tanpa agama. Dia tidak pernah mengenal Tuhan. Kejadian ini justru membuatnya berkenalan dengan sosok yang dipercayai menjadi Pencipta. Melihat kondisi anaknya, ia melangkahkan kaki untuk pertama kalinya ke dalam ruang doa.
Dengan cara seorang atheis, ia berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, jika Engkau memang ada, maka selamatkanlah jiwaku — jika aku mempunyai jiwa. Aku butuh pertolongan-Mu.”
Ia lalu bernazar, ‘’Apabila Tuhan dapat menyelamatkan anak gadisnya dan menuntunnya pada agama yang paling Dia senangi, maka ia akan menjalankan agama tersebut.’’ Janji yang menurutnya cukup sederhana.
Tuhan pun mendengarkan doanya. Tuhan menyelamatkan anaknya dari kelainan jantung yang dideritanya. Hanna tidak harus dioperasi dan tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan. Ia dapat tumbuh dewasa seperti anak-anak seumurnya.
Tentulah Laurence amat bahagia. Tim medis pun memberikan penjelasan yang logis bagi Laurence dan diri mereka sendiri mengenai kesembuhan Hanna. Tapi bagi Laurence, tidak ada penjelasan yang lebih logis daripada kuasa Tuhan atas kesembuhan Hanna.
Tuhan telah melaksanakan janjinya. Maka Laurence pun harus melaksanakan janjinya, yait menjalankan agama Tuhan. Pertama ia mempelajari Yahudi, namun kemudian ia berpindah ke Kristen. “Saya pikir saya menemukannya di dalam Kristen,” katanya ketika menceritakan pengalaman spiritualnya dalam mencari kebenaran.
Selama bertahun-tahun Laurence mencari kebenaran di dalam Kristen. Ia mengikuti berbagai jenis kebaktian, sekte, dan gereja Kristen. Ia ikut serta dalam sekte Quaker (perkumpulan agama sahabat, muncul di Inggris pada abad ke-17), Mormon, Katolik Roma, Yunani Ortodoks dan masih banyak lagi. Namun tidak satu pun yang dapat memuaskan pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
Pensiunan perwira Angkatan Udara Amerika Serikat dengan pangkat mayor ini sering berdiskusi dengan pendeta mengenai beberapa hal tentang Kristen, namun pendeta tersebut tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Saya menyukai beberapa ajaran di dalam Kristen, tapi ada juga beberapa yang saya tidak mengerti dan mereka tidak bisa menjawabnya.”
Salah satu pertanyaan yang diajukannya kepada pendeta adalah mengenai fondasi agama itu sendiri. Seperti halnya trinitas. Setelah menelusuri Alkitab, ia tidak menemukan pernyataan yang mengatakan konsep trinitas. Tuhan, seperti yang tertulis dalam Perjanjian Lama, adalah satu.
Ketika ia membicarakan hal itu, pendetanya malah berkata, “Oh itu, saya lupa.” Laurence sangat terkejut. Bagaimana mungkin hal sepenting itu dan menjadi landasan dalam agama dilupakan begitu saja.
Hal lain yang mengganggunya adalah keberadaan Yesus Kristus sebagai seorang Anak Tuhan. Penulis buku MisGod’ed, God’ed, dan The Eighth Scroll ini percaya bahwa Yesus adalah seorang manusia yang diutus sebagai nabi bagi umatnya. “Saya meminta kepada pendeta agar mereka membuktikan kepada saya bahwa Yesus adalah Tuhan atau anak Tuhan,” cetus Laurence.
Sebanyak 88 kali Yesus menyebut dirinya sebagai Anak Manusia di dalam Alkitab. Laurence tidak menemukan satu kalimat pun di dalam Alkitab yang menyatakan Yesus mengklaim dirinya sebagai anak Tuhan. Yesus yang merupakan pendeta Yahudi itu tidak pernah mengajarkan kepada setiap umatnya untuk menanggung dosa-dosa yang dilakukan Adam.
Setiap ayah tidak menanggung dosa anaknya, dan setiap anak tidak menanggung dosa ayahnya. Hal inilah yang selama ini menjadi pedoman setiap umat Kristen, yang diajarkan oleh Paulus. Namun kenyataannya, Yesus tidak pernah mengajarkan hal itu. “Setiap orang menanggung dosanya masing-masing,” kata Laurence mengutip dari Alkitab.
Karena ada dua ajaran yang ditemukannya, ajaran Yesus dan Paulus, Laurence harus membuat pilihan. Ia lebih nyaman dengan ajaran Yesus. Ia pun mengikuti ajaran Yesus sang Nabi Allah. Laurence berhenti mempelajari Kristen karena agama tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya.
Ia mempercayai Yesus adalah seorang Nabi, alih-alih seorang anak Tuhan. Semakin mempelajari Kristen dan berusaha untuk menjadi Kristiani yang taat, kian ia menyadari agama ini tidaklah cocok. Tidak satu sekte pun yang merepresentasikan keyakinannya, sampai ia menemukan Islam.
Ia menemukan dalam Alkitab Yesus berkata akan ada Nabi terakhir setelah dirinya. Muhammad datang membawa agama yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya, yaitu Islam. Dan bagi Laurence Islam sangatlah sesuai dengan keyakinan yang ia miliki. Ia pun mulai membaca Alquran dan buku-buku tentang Islam.
Dan setelah itu tidak ada lagi keraguan baginya untuk tidak memeluk Islam. “Buku-buku tersebut menjelaskan dengan jelas mengenai keyakinan yang saya anut. Dan karena itulah saya memilih Islam,” ujarnya bahagia.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/15/mrfyp7-pria-atheis-ini-akhirnya-menemukan-sang-pencipta-dalam-islam
Bagi Laurence, Islam sangatlah sesuai dengan keyakinannya.
Orangtua mana yang tak merasa bahagia atas kelahiran anak mereka? Perasaan itulah yang membuncah di dalam hati Laurence Brown sangat bayi perempuan kecilnya terlahir. Kebahagiaan Laurence luntur seketika dan berubah menjadi ketakutan, karena bayi mungilnya divonis mengalami kelainan di arteri besar jantungnya.
Akibat kelainan itu, jantung Hanna -- nama anak perempuan Laurence itu -- tak bisa memasok oksigen ke seluruh tubuh mungilnya. Akibatnya tubuh bagian bawah sang gadis kecil terlihat membiru, seolah mati.
Dokter pun segera membawa Hanna ke ruang rawat intensif untuk menanganinya lebih lanjut. Laurence menyadari, penyakit yang diderita anaknya adalah masalah kecil yang banyak membuat orang meninggal. Dan mereka meninggal dengan cara yang tidak menyenangkan. Mereka harus menjalani operasi dan mengkonsumsi obat. Lalu beberapa tahun kemudian dioperasi lagi, dan terus begitu sampai ajal menjemput.
Menyaksikan kondisi putrinya yang lemah tak berdaya itu membuat lulusan tiga perguruan tinggi terkemuka, Cornell University, Brown Medical School, dan George Washington University itu tidak bisa mengontrol diri. Untuk pertama kalian, Laurence tak mampu menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya.
Sebelumnya, Laurence selalu berupaya mengatasi kesulitannya yang dihadapinya. Ketika membutuhkan lebih banyak uang, ia akan bekerja lebih keras agar memperoleh lebih banyak uang. Kali itu, ia benar-benar terpojok. Tak mampu berbuat apapun untuk menyelamatkan buah hatinya.
‘’Untuk pertama kalinya dalam hidup saya membutuhkan pertolongan,” ujar Laurence dalam The Deen Show, sebuah talkshow yang mengisahkan perjalanan hidup para mualaf. Laurance yang atheis alias tak mempercayai Tuhan baru tersadar. Ia membutuhkan bantuan Dia yang Maha Agung.
Laurence dibesarkan tanpa agama. Dia tidak pernah mengenal Tuhan. Kejadian ini justru membuatnya berkenalan dengan sosok yang dipercayai menjadi Pencipta. Melihat kondisi anaknya, ia melangkahkan kaki untuk pertama kalinya ke dalam ruang doa.
Dengan cara seorang atheis, ia berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, jika Engkau memang ada, maka selamatkanlah jiwaku — jika aku mempunyai jiwa. Aku butuh pertolongan-Mu.”
Ia lalu bernazar, ‘’Apabila Tuhan dapat menyelamatkan anak gadisnya dan menuntunnya pada agama yang paling Dia senangi, maka ia akan menjalankan agama tersebut.’’ Janji yang menurutnya cukup sederhana.
Tuhan pun mendengarkan doanya. Tuhan menyelamatkan anaknya dari kelainan jantung yang dideritanya. Hanna tidak harus dioperasi dan tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan. Ia dapat tumbuh dewasa seperti anak-anak seumurnya.
Tentulah Laurence amat bahagia. Tim medis pun memberikan penjelasan yang logis bagi Laurence dan diri mereka sendiri mengenai kesembuhan Hanna. Tapi bagi Laurence, tidak ada penjelasan yang lebih logis daripada kuasa Tuhan atas kesembuhan Hanna.
Tuhan telah melaksanakan janjinya. Maka Laurence pun harus melaksanakan janjinya, yait menjalankan agama Tuhan. Pertama ia mempelajari Yahudi, namun kemudian ia berpindah ke Kristen. “Saya pikir saya menemukannya di dalam Kristen,” katanya ketika menceritakan pengalaman spiritualnya dalam mencari kebenaran.
Selama bertahun-tahun Laurence mencari kebenaran di dalam Kristen. Ia mengikuti berbagai jenis kebaktian, sekte, dan gereja Kristen. Ia ikut serta dalam sekte Quaker (perkumpulan agama sahabat, muncul di Inggris pada abad ke-17), Mormon, Katolik Roma, Yunani Ortodoks dan masih banyak lagi. Namun tidak satu pun yang dapat memuaskan pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di hatinya.
Pensiunan perwira Angkatan Udara Amerika Serikat dengan pangkat mayor ini sering berdiskusi dengan pendeta mengenai beberapa hal tentang Kristen, namun pendeta tersebut tidak memberinya jawaban yang memuaskan. “Saya menyukai beberapa ajaran di dalam Kristen, tapi ada juga beberapa yang saya tidak mengerti dan mereka tidak bisa menjawabnya.”
Salah satu pertanyaan yang diajukannya kepada pendeta adalah mengenai fondasi agama itu sendiri. Seperti halnya trinitas. Setelah menelusuri Alkitab, ia tidak menemukan pernyataan yang mengatakan konsep trinitas. Tuhan, seperti yang tertulis dalam Perjanjian Lama, adalah satu.
Ketika ia membicarakan hal itu, pendetanya malah berkata, “Oh itu, saya lupa.” Laurence sangat terkejut. Bagaimana mungkin hal sepenting itu dan menjadi landasan dalam agama dilupakan begitu saja.
Hal lain yang mengganggunya adalah keberadaan Yesus Kristus sebagai seorang Anak Tuhan. Penulis buku MisGod’ed, God’ed, dan The Eighth Scroll ini percaya bahwa Yesus adalah seorang manusia yang diutus sebagai nabi bagi umatnya. “Saya meminta kepada pendeta agar mereka membuktikan kepada saya bahwa Yesus adalah Tuhan atau anak Tuhan,” cetus Laurence.
Sebanyak 88 kali Yesus menyebut dirinya sebagai Anak Manusia di dalam Alkitab. Laurence tidak menemukan satu kalimat pun di dalam Alkitab yang menyatakan Yesus mengklaim dirinya sebagai anak Tuhan. Yesus yang merupakan pendeta Yahudi itu tidak pernah mengajarkan kepada setiap umatnya untuk menanggung dosa-dosa yang dilakukan Adam.
Setiap ayah tidak menanggung dosa anaknya, dan setiap anak tidak menanggung dosa ayahnya. Hal inilah yang selama ini menjadi pedoman setiap umat Kristen, yang diajarkan oleh Paulus. Namun kenyataannya, Yesus tidak pernah mengajarkan hal itu. “Setiap orang menanggung dosanya masing-masing,” kata Laurence mengutip dari Alkitab.
Karena ada dua ajaran yang ditemukannya, ajaran Yesus dan Paulus, Laurence harus membuat pilihan. Ia lebih nyaman dengan ajaran Yesus. Ia pun mengikuti ajaran Yesus sang Nabi Allah. Laurence berhenti mempelajari Kristen karena agama tersebut tidak sesuai dengan keyakinannya.
Ia mempercayai Yesus adalah seorang Nabi, alih-alih seorang anak Tuhan. Semakin mempelajari Kristen dan berusaha untuk menjadi Kristiani yang taat, kian ia menyadari agama ini tidaklah cocok. Tidak satu sekte pun yang merepresentasikan keyakinannya, sampai ia menemukan Islam.
Ia menemukan dalam Alkitab Yesus berkata akan ada Nabi terakhir setelah dirinya. Muhammad datang membawa agama yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya, yaitu Islam. Dan bagi Laurence Islam sangatlah sesuai dengan keyakinan yang ia miliki. Ia pun mulai membaca Alquran dan buku-buku tentang Islam.
Dan setelah itu tidak ada lagi keraguan baginya untuk tidak memeluk Islam. “Buku-buku tersebut menjelaskan dengan jelas mengenai keyakinan yang saya anut. Dan karena itulah saya memilih Islam,” ujarnya bahagia.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/15/mrfyp7-pria-atheis-ini-akhirnya-menemukan-sang-pencipta-dalam-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
berbahagialah para ilmuwan yang berhasil membuktikan kebenaran ayat-ayat Quran dan dapat hidayah
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Dr Bilal Philip, Penggila Marxisme yang Menjadi Pakar Islam
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
“Tidak ada waktu untuk liburan, ketika Anda menyadari betapa sedikit waktu yang ada, dan betapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk Islam,” kata Bilal Philips, mengawali kisah hidupnya dari seorang non-Islam, menjadi pakar Islam yang giat berdakwah.
Abu Ameenah Bilal Philips, merupakan seorang mualaf yang mengabdikan dirinya pada pendidikan Islam. Ia sangat terpesona pada agama yang dibawa Rasulullah ini hingga mempelajarinya ke Haramain, tanah kelahiran Islam. Setelah mumpuni berislam dari Universitas Madinah dan Universitas King Saud Riyadh, ia pun menjadi dosen teologi Islam bahkan membentuk Islamic Online University yang berpusat di Qatar.
Bilal lahir di Jamaika di tengah keluarga intelek. Kedua orangtuanya merupakan guru, kakeknya bahkan seorang pendeta dan pakar Al Kitab. Tak heran jika Bilal tumbuh menjadi seorang Kristen yang taat. Di usia 11 tahun, Bilal ikut keluarganya pindah ke Kanada. Di kota itulah ia kemudian mengenyam pendidikan dan tumbuh dewasa.
Bilal dan keluarganya sempat pindah ke Malaysia. Disanalah kontak pertama Bilal dengan Islam. Namun Bilal belum tertarik pada agama rahmatan lil alamin ini. Saat itu Bilal masih masih sangat muda dan lebih suka bermain musik rock ketimbang memikirkan agamanya.
Tak lama, ia dan keluarga kembali ke Kanada. Saat Bilal kuliah, pemuda tengah digandrungi pesta ganja. Namun Bilal tak ikut serta, fenomena itu justru membuatnya mengambil pelajaran biokimia disamping kuliah seni yang ia dapat dengan beasiswa.
Pencarian jati diri Bilal belum berakhir, di kampus ia tertarik dengan politik mahasiswa. Ia pun terlibat dalam aksi mahasiswa. Ia pun kemudian belajar sosialisme kemudian tergila-gila dengan Marxis-Leninis. Ia pun kemudian menekuni sosial-pilitik hingga pergi ke California. Ia bergabung dengan para aktivis kulit hitam disana.
Namun Bilal dikecewakan karena teman-temannya merupakan pecandu narkoba. Sikap anti-narkoba Bilal masih berakar kuat. Ia pun beralih haluan dan kembali ke Kanada. Bilal mempelajari ideologi lain. Ia kemudian terpesona pada komunisme di China. Sosialisme rupanya mengakar kuat pada hati Bilal.
Ia pun pergi ke Cina untuk mendapat pelatihan perang gerilya pendukung komunisme. Namun setibanya disana, Bilal merasakan hal sama saat ia bergabung dengan sosialis di California. Hanya saja kali ini bukan narkoba. Teman-teman komunisnya merupakan para perokok berat. Ia pun kembali kecewa. Ia kembali ke Kanada.
Saat kembali ke kampus, salah seorang teman perempuannya di kelompok mahasiswa dikabarkan memeluk Islam. Ia pun kemudian mulai mempelajari ajaran Islam. Ia membaca banyak literatur Islam dan ada satu buku yang memberikannya banyak pengaruh bagi hatinya. Buku tersebut bertajuk “Islam; agama yang disalahpahami” karya Muhammad Qutb.
Tak hanya mempelajari ajarannya, Bilal juga mempelajari sejarahnya. Ia pun terpesona dengan peran muslimin dalam pembebasan negara-negara Afrika dari kolonialisme Eropa. Bilal makin merasakan ketertarikan pada Islam. Ia pun mulai membela Islam hingga kemudian memutuskan bersyahadat. “Aku mulai membela Islam. Akhirnya beberapa introspeksi dan refleksi membuat saya memeluk Islam pada tahun 1972,” ujarnya dalam biografinya di SaudiGazzette.
Setelah berislam, Bilal ingin menyempurnakan pengetahuannya tentang Islam. Tak puas mempelajari otodidak, Bilal pun memutuskan pergi ke tanah kelahiran Islam, Arab Saudi. “Saya bergabung dengan Universitas Madinah dan mengambil gelar dalam Usoolud Deen (disiplin Islam) pada tahun 1979. Kemudian mengambil MA dalam teologi Islam dari Universitas Riyadh pada tahun 1985 dan menyelesaikan Ph.D., dalam Teologi Islam di tahun 1994,” kata Bilal yang sangat haus mempelajari ilmu.
Setelah menjadi pakar Islam, Bilal pun membagi ilmunya di banyak negara. Ia menjadi guru di Riyadh, menjadi dosen di UEA hingga berdakwah di Filiphina. Enggan membuang waktu, ia pun kemudian membangun kampus sendiri dengan pengajaran online, yakni Islamic Online University yang berpusat di Qatar.
Pengalaman Spiritual
Hingga memutuskan bersyahadat, Bilal sesungguhnya pernah mengalami sebuah peristiwa spiritual yang menegangkan. Kepada Saudi Gazette Bilal mengakui bahwa selama mempelajari Islam otodidak, ia hanya jatuh hati pada gaya politik Islam. Namun dalam hal keimanan, ia belum mampu membangunnya di hati. Konsep Tuhan yang selama ini ia pahami dalam filsafat komunis tentu sangat jauh berbeda dari Islam. "Dalam hati saya gagasan yang kabur tentang Allah masih ada,” ujarnya.
Keimanan pada Allah baru dirasakan Bilal setelah mengalami peristiwa menegangkan dalam mimpinya. Bilal bermimpi mengendarai sepeda ke gudang. Ia memasukinya dan segalanya gelap gulita. Bulu kuduk Bilal berkidik. Ia berusaha pergi darisana. Tapi sejauh apapun ia pergi, ia tak kunjung mampu keluar. “Serasa akan mati,” kisah Bilal.
Ia diliputi ketakutan yang sangat karena berada di ruang yang amat sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun. Bilal pun mulai menjerit mencari pertolongan. Namun tenggorokannya tiba-tiba sesak tak mampu bersuara. Ia berusaha keras meminta bantuan, namun tak ada yang mampu ia lakukan. Badannya lemas, ia menyerah. Bilal pun terbangun.
“Mimpi ini meninggalkan kesan berat bahwa tidak ada yang bisa membawa saya keluar dari situasi seperti itu, kecuali Tuhan. Hanya Tuhan yang mampu membawa saya keluar dari keadaan putus asa mutlak, dan membawa saya kembali,” pungkasnya.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/26/ms3zu2-dr-bilal-philip-penggila-marxisme-yang-menjadi-pakar-islam
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
“Tidak ada waktu untuk liburan, ketika Anda menyadari betapa sedikit waktu yang ada, dan betapa banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk Islam,” kata Bilal Philips, mengawali kisah hidupnya dari seorang non-Islam, menjadi pakar Islam yang giat berdakwah.
Abu Ameenah Bilal Philips, merupakan seorang mualaf yang mengabdikan dirinya pada pendidikan Islam. Ia sangat terpesona pada agama yang dibawa Rasulullah ini hingga mempelajarinya ke Haramain, tanah kelahiran Islam. Setelah mumpuni berislam dari Universitas Madinah dan Universitas King Saud Riyadh, ia pun menjadi dosen teologi Islam bahkan membentuk Islamic Online University yang berpusat di Qatar.
Bilal lahir di Jamaika di tengah keluarga intelek. Kedua orangtuanya merupakan guru, kakeknya bahkan seorang pendeta dan pakar Al Kitab. Tak heran jika Bilal tumbuh menjadi seorang Kristen yang taat. Di usia 11 tahun, Bilal ikut keluarganya pindah ke Kanada. Di kota itulah ia kemudian mengenyam pendidikan dan tumbuh dewasa.
Bilal dan keluarganya sempat pindah ke Malaysia. Disanalah kontak pertama Bilal dengan Islam. Namun Bilal belum tertarik pada agama rahmatan lil alamin ini. Saat itu Bilal masih masih sangat muda dan lebih suka bermain musik rock ketimbang memikirkan agamanya.
Tak lama, ia dan keluarga kembali ke Kanada. Saat Bilal kuliah, pemuda tengah digandrungi pesta ganja. Namun Bilal tak ikut serta, fenomena itu justru membuatnya mengambil pelajaran biokimia disamping kuliah seni yang ia dapat dengan beasiswa.
Pencarian jati diri Bilal belum berakhir, di kampus ia tertarik dengan politik mahasiswa. Ia pun terlibat dalam aksi mahasiswa. Ia pun kemudian belajar sosialisme kemudian tergila-gila dengan Marxis-Leninis. Ia pun kemudian menekuni sosial-pilitik hingga pergi ke California. Ia bergabung dengan para aktivis kulit hitam disana.
Namun Bilal dikecewakan karena teman-temannya merupakan pecandu narkoba. Sikap anti-narkoba Bilal masih berakar kuat. Ia pun beralih haluan dan kembali ke Kanada. Bilal mempelajari ideologi lain. Ia kemudian terpesona pada komunisme di China. Sosialisme rupanya mengakar kuat pada hati Bilal.
Ia pun pergi ke Cina untuk mendapat pelatihan perang gerilya pendukung komunisme. Namun setibanya disana, Bilal merasakan hal sama saat ia bergabung dengan sosialis di California. Hanya saja kali ini bukan narkoba. Teman-teman komunisnya merupakan para perokok berat. Ia pun kembali kecewa. Ia kembali ke Kanada.
Saat kembali ke kampus, salah seorang teman perempuannya di kelompok mahasiswa dikabarkan memeluk Islam. Ia pun kemudian mulai mempelajari ajaran Islam. Ia membaca banyak literatur Islam dan ada satu buku yang memberikannya banyak pengaruh bagi hatinya. Buku tersebut bertajuk “Islam; agama yang disalahpahami” karya Muhammad Qutb.
Tak hanya mempelajari ajarannya, Bilal juga mempelajari sejarahnya. Ia pun terpesona dengan peran muslimin dalam pembebasan negara-negara Afrika dari kolonialisme Eropa. Bilal makin merasakan ketertarikan pada Islam. Ia pun mulai membela Islam hingga kemudian memutuskan bersyahadat. “Aku mulai membela Islam. Akhirnya beberapa introspeksi dan refleksi membuat saya memeluk Islam pada tahun 1972,” ujarnya dalam biografinya di SaudiGazzette.
Setelah berislam, Bilal ingin menyempurnakan pengetahuannya tentang Islam. Tak puas mempelajari otodidak, Bilal pun memutuskan pergi ke tanah kelahiran Islam, Arab Saudi. “Saya bergabung dengan Universitas Madinah dan mengambil gelar dalam Usoolud Deen (disiplin Islam) pada tahun 1979. Kemudian mengambil MA dalam teologi Islam dari Universitas Riyadh pada tahun 1985 dan menyelesaikan Ph.D., dalam Teologi Islam di tahun 1994,” kata Bilal yang sangat haus mempelajari ilmu.
Setelah menjadi pakar Islam, Bilal pun membagi ilmunya di banyak negara. Ia menjadi guru di Riyadh, menjadi dosen di UEA hingga berdakwah di Filiphina. Enggan membuang waktu, ia pun kemudian membangun kampus sendiri dengan pengajaran online, yakni Islamic Online University yang berpusat di Qatar.
Pengalaman Spiritual
Hingga memutuskan bersyahadat, Bilal sesungguhnya pernah mengalami sebuah peristiwa spiritual yang menegangkan. Kepada Saudi Gazette Bilal mengakui bahwa selama mempelajari Islam otodidak, ia hanya jatuh hati pada gaya politik Islam. Namun dalam hal keimanan, ia belum mampu membangunnya di hati. Konsep Tuhan yang selama ini ia pahami dalam filsafat komunis tentu sangat jauh berbeda dari Islam. "Dalam hati saya gagasan yang kabur tentang Allah masih ada,” ujarnya.
Keimanan pada Allah baru dirasakan Bilal setelah mengalami peristiwa menegangkan dalam mimpinya. Bilal bermimpi mengendarai sepeda ke gudang. Ia memasukinya dan segalanya gelap gulita. Bulu kuduk Bilal berkidik. Ia berusaha pergi darisana. Tapi sejauh apapun ia pergi, ia tak kunjung mampu keluar. “Serasa akan mati,” kisah Bilal.
Ia diliputi ketakutan yang sangat karena berada di ruang yang amat sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun. Bilal pun mulai menjerit mencari pertolongan. Namun tenggorokannya tiba-tiba sesak tak mampu bersuara. Ia berusaha keras meminta bantuan, namun tak ada yang mampu ia lakukan. Badannya lemas, ia menyerah. Bilal pun terbangun.
“Mimpi ini meninggalkan kesan berat bahwa tidak ada yang bisa membawa saya keluar dari situasi seperti itu, kecuali Tuhan. Hanya Tuhan yang mampu membawa saya keluar dari keadaan putus asa mutlak, dan membawa saya kembali,” pungkasnya.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/26/ms3zu2-dr-bilal-philip-penggila-marxisme-yang-menjadi-pakar-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Mukjizat Alquran Bikin Dr Shekharan Memeluk Islam
REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Tahun lalu, Dr Indu Chadra Shekharan begitu takjub dengan ceramah Mohammed Ali, Direktur rumah sakit tempat ia bekerja. Saat itu, Ali mengatakan Islam dalam bahasa Arab berarti penyerahan diri, tunduk dan perdamaian.
Perkataan itu yang selanjutnya menunjukan seorang Muslim sejati berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas dunia. Dr Shekharan pun semakin kagum ketika Ali bercerita tentang Alquran.
Ia ingat betul, dan telah dibuktikannya sendiri, Alquran memiliki fakta-fakta empiris yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Hal ini sekaligus membuktikan Alquran bukanlah buatan Rasulullah Muhammad Sallallahu 'Alaihi wa Sallam melainkan pencipta-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
"Tidak ada manusia yang bisa membuat Alquran. Banyak fakta ilmiah yang ditemukan dalam Alquran dan terbukti kebenarannya," katanya seperti dilansir Arabnews.com, Kamis (15/8).
Menurut Dr Shekharan, Alquran bukanlah kitab ilmu pengetahuan biasa melainkan sebuah kitab peringatan dan mukjizat. "Saya percaya, apa yang dikatakan dalam Alquran ini akan ditemukan para ilmuwan di abad-abad mendatang," katanya yang akhirnya memutuskan untuk menjadi Muslim.
Sebagai satu contoh, lanjutnya, teori Big Bang yang dijelaskan dalam Alquran. Lalu ada posisi gunung yang menjaga kestabilan bumi. Keindahan cerita lebah dan semut yang secara khusus dikisahkan dalam Alquran.
Melihat dari begitu luar biasanya mukjizat Alquran, Dr Shekharan mengajak umat Islam untuk mempelajarinya. Menjadikan Alquran sebagai panduan menciptakan harmonisasi dan perdamaian dunia. "Alquran menawarkan solusi kebutuhan atas manusia modern yang kerap dilanda konflik dan masalah," imbuh Dr Shekharan.
Dr Shekharan lahir dan dibesarkan dalam keluarga Hindu di Thiruvanandapuran, Kerala. Orang tuanya, profesor medis. Ia ibu dari dua anak.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/16/mrkb5b-mukjizat-alquran-bikin-dr-shekharan-memeluk-islam
REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Tahun lalu, Dr Indu Chadra Shekharan begitu takjub dengan ceramah Mohammed Ali, Direktur rumah sakit tempat ia bekerja. Saat itu, Ali mengatakan Islam dalam bahasa Arab berarti penyerahan diri, tunduk dan perdamaian.
Perkataan itu yang selanjutnya menunjukan seorang Muslim sejati berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas dunia. Dr Shekharan pun semakin kagum ketika Ali bercerita tentang Alquran.
Ia ingat betul, dan telah dibuktikannya sendiri, Alquran memiliki fakta-fakta empiris yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Hal ini sekaligus membuktikan Alquran bukanlah buatan Rasulullah Muhammad Sallallahu 'Alaihi wa Sallam melainkan pencipta-Nya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
"Tidak ada manusia yang bisa membuat Alquran. Banyak fakta ilmiah yang ditemukan dalam Alquran dan terbukti kebenarannya," katanya seperti dilansir Arabnews.com, Kamis (15/8).
Menurut Dr Shekharan, Alquran bukanlah kitab ilmu pengetahuan biasa melainkan sebuah kitab peringatan dan mukjizat. "Saya percaya, apa yang dikatakan dalam Alquran ini akan ditemukan para ilmuwan di abad-abad mendatang," katanya yang akhirnya memutuskan untuk menjadi Muslim.
Sebagai satu contoh, lanjutnya, teori Big Bang yang dijelaskan dalam Alquran. Lalu ada posisi gunung yang menjaga kestabilan bumi. Keindahan cerita lebah dan semut yang secara khusus dikisahkan dalam Alquran.
Melihat dari begitu luar biasanya mukjizat Alquran, Dr Shekharan mengajak umat Islam untuk mempelajarinya. Menjadikan Alquran sebagai panduan menciptakan harmonisasi dan perdamaian dunia. "Alquran menawarkan solusi kebutuhan atas manusia modern yang kerap dilanda konflik dan masalah," imbuh Dr Shekharan.
Dr Shekharan lahir dan dibesarkan dalam keluarga Hindu di Thiruvanandapuran, Kerala. Orang tuanya, profesor medis. Ia ibu dari dua anak.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/16/mrkb5b-mukjizat-alquran-bikin-dr-shekharan-memeluk-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Lantunan Azan Menuntun Gadis Berdarah Yunani Memeluk Islam
Saat itu, Janna sedang berlibur ke Uni Emirat Arab. Inilah pertama kalinya, Janna mendengar lantunan azan. Hari itu bertepatan dengan Jumat. Ia bersama keluarganya sedang singgah di sebuah pasar.
‘’Aku melihat semua orang tiba-tiba berhenti melakukan kegiatan,’’ ujarnya seperti dikutip dalam laman onislam.net.
Janna menyaksikan orang-orang menghentikan mobil mereka dan keluar sambil membawa sajadah. “Dan orang-orang itu shalat di jalanan,” tuturnya. Suara azan benar-benaar telah menyentuh lubuk hatinya yang paling dalam. Cahaya hidayah perlahan mulai menyinari kalbunya.
Ia merasa kumandang azan telah mengubah sesuatu yang ada di dalam dirinya. Namun, saat itu Janna tidak mengetahuinya. Dalam hati kecilnya, ia meyakini ada sesuatu yang hebat dan menggelitik sanubarinya. ‘’Ingin rasanya aku mengetahui apa arti dari kalimah azan itu,’’ ucapnya.
Sejak itulah muncul sebuah tekad untuk mencari tahu tentang Islam. Di dalam Islam, ia mengaku menemukan kebenaran yang selama ini tidak pernah ditemukan di dalam agama lain. Janna berasal dari keluarga yang menganut agama Yunani Ortodoks. Meski begitu, ia tidak begitu memahami agama tersebut.
Janna mengaku tidak pernah menemukan kebenaran dalam ajaran agama yang diwariskan orangtuanya itu. Ia hanya diminta untuk percaya dan menurut saja pada agama Yunani Ortodoks itu.
Perlahan namun pasti, ia membaca tentang Islam. Janna menemukan jawaban yang tidak dapat ditemukannya dalam agamanya. Keyakinannya terhadap Islam menjadi semakin besar ketika ia membaca biografi Nabi Muhammad SAW.
‘’Membaca biografi beliau mengingatkan saya pada apa yang harus saya tahu dan baca tentang Yesus,” kata dia. Dengan penuh semangat, ia terus membaca dan membaca biografi Rasulullah. Dalam hatinya tumbuh rasa kekaguman kepada sosok manusia yang berakhlak paling mulia itu.
‘’Rasulullah SAW begitu gagah dan dan berwibawa,’’ ungkapnya. Lelaki pilihan yang diutus Tuhan itu, kata Janna, adalah seorang yang memiliki karakter dan sifat yang sangat hebat. Ia mengaku belum pernah membaca biografi seseorang tokoh yang semulia itu.
****
Setelah membaca membaca seluruh biografi Nabi Muhammad, pikiran buruk tentang Islam yang selama ini diketahuinya langsung lenyap. Ia semakin tertarik pada Islam. Janna pun melakukan pencarian tentang Islam dari nol dan mencari kebenaran sendiri dengan meneliti Islam.
“Semua yang saya tahu tentang Islam sebelumnya adalah salah,” ujarnya menegaskan. Tidak butuh waktu lama bagi Janna untuk mengikrarkan diri menjadi pemeluk Islam. Ia sangat yakin tidak ada agama lain yang dapat menjawab seluruh pertanyaannya, kecuali Islam.
Akan tetapi, meskipun telah meyakini Islam sebagai agama yang benar, namun Janna masih terlalu takut untuk bersyahadat. Janna mengaku takut menghadapi reaksi orangtua dan keluarganya yang lain apabila ia menganut Islam. Keluarganya tidak akan menerima kenyataan ini. Dan kalaupun mereka mengetahuinya, maka hidupnya akan berubah secara dramatis.
Ia lalu menemui seorang temannya di Jerman. Ia bernama Noha dan berasal dari Mesir. Kepada Noha-lah Janna belajar tentang Islam. Ia belajar shalat dan berdiskusi tentang Islam. Noha dengan sabar menjelaskan banyak hal yang ditanyakan temannya itu mengenai Islam.
Janna menanyakan banyak hal yang ia rasa janggal dalam agamanya. Dengan penuh kesabaran Noha menjawabnya. Jawaban Noha membuatnya semakin yakin mengenai Islam. Setelah pertemuannya dengan Noha, sekitar satu setengah bulan kemudian Janna mengucap dua kalimah syahadat.
Ia melakukan itu di asrama mahasiswa di Jerman. Tadinya ia hanya akan bersyahadat di depan Noha. Akan tetapi ketentuannya tidak boleh hanya satu orang saja yang menjadi saksi. Akhirnya Janna bersyahadat di depan dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut.
“Saya tidak pernah melupakan hari ketika saya bersyahadat. Dan saya tidak pernah melupakan hari pertama saya shalat sebagai Muslim,” kata dia bahagia. Kumandang azan memang telah menginspirasi banyak orang untuk mencari tahu tentang Islam.
Dari seruan merdu suara azan ini pula telah banyak melahirkan mualaf-mualaf yang menemukan kebenaran dalam Islam. Panggilan shalat bagi umat Muslim itu telah menjadi sebuah panggilan menuju Islam.
***
Janna adalah seseorang yang tidak senang mendengar pembicaraan tentang kematian. Ia membenci percakapan mengenai tema itu dan memilih meninggalkan orang-orang ketika percakapan tentang kematian dimulai. Percakapan tentang seseorang yang meninggal saja dia tidak suka, apalagi datang ke pemakaman.
Suatu hari, salah satu pamannya meninggal dunia di depan matanya. Peristiwa itu memunculkan sebuah pertanyaan besar dalam diri Janna. Selama ini, ia berpikir hidup hanyalah sebatas kehidupan di dunia saja. Namun setelah melihat pamannya menghembuskan napas terakhirnya di depan mata Janna, ia menyadari keberadaannya di dunia lebih dari apa yang dipikirkan sebelumnya.
“Setiap orang berinvestasi waktu terlalu banyak dan tidak menyadari hal itu dapat direnggut dalam satu detik,” ujarnya. Setelah kematian sang paman, ia melewati waktu dengan penuh kecemasan. Ia terbangun tiga kali dalam semalam hanya untuk mengecek ayah dan ibunya masih bernapas di tempat mereka tidur. Ia sangat takut kehilangan mereka.
Ketakutan Janna terhadap kematian bukannya tidak beralasan. Selama ini ia berpikir kematian adalah akhir dari segalanya. Namun ketika ia membaca tentang Islam, Janna menemukan jawaban apa yang akan terjadi terhadap manusia ketika ia meninggal. Ada kehidupan kekal setelah manusia mati.
Janna sempat mempelajari beberapa agama selain Islam. Akan tetapi tidak ada satu agama pun dapat memberi penjelasan yang sangat logis kecuali Islam. Kini hatinya telah terpaut pada Islam.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/26/ms0fcc-lantunan-azan-menuntun-gadis-berdarah-yunani-memeluk-islam
Saat itu, Janna sedang berlibur ke Uni Emirat Arab. Inilah pertama kalinya, Janna mendengar lantunan azan. Hari itu bertepatan dengan Jumat. Ia bersama keluarganya sedang singgah di sebuah pasar.
‘’Aku melihat semua orang tiba-tiba berhenti melakukan kegiatan,’’ ujarnya seperti dikutip dalam laman onislam.net.
Janna menyaksikan orang-orang menghentikan mobil mereka dan keluar sambil membawa sajadah. “Dan orang-orang itu shalat di jalanan,” tuturnya. Suara azan benar-benaar telah menyentuh lubuk hatinya yang paling dalam. Cahaya hidayah perlahan mulai menyinari kalbunya.
Ia merasa kumandang azan telah mengubah sesuatu yang ada di dalam dirinya. Namun, saat itu Janna tidak mengetahuinya. Dalam hati kecilnya, ia meyakini ada sesuatu yang hebat dan menggelitik sanubarinya. ‘’Ingin rasanya aku mengetahui apa arti dari kalimah azan itu,’’ ucapnya.
Sejak itulah muncul sebuah tekad untuk mencari tahu tentang Islam. Di dalam Islam, ia mengaku menemukan kebenaran yang selama ini tidak pernah ditemukan di dalam agama lain. Janna berasal dari keluarga yang menganut agama Yunani Ortodoks. Meski begitu, ia tidak begitu memahami agama tersebut.
Janna mengaku tidak pernah menemukan kebenaran dalam ajaran agama yang diwariskan orangtuanya itu. Ia hanya diminta untuk percaya dan menurut saja pada agama Yunani Ortodoks itu.
Perlahan namun pasti, ia membaca tentang Islam. Janna menemukan jawaban yang tidak dapat ditemukannya dalam agamanya. Keyakinannya terhadap Islam menjadi semakin besar ketika ia membaca biografi Nabi Muhammad SAW.
‘’Membaca biografi beliau mengingatkan saya pada apa yang harus saya tahu dan baca tentang Yesus,” kata dia. Dengan penuh semangat, ia terus membaca dan membaca biografi Rasulullah. Dalam hatinya tumbuh rasa kekaguman kepada sosok manusia yang berakhlak paling mulia itu.
‘’Rasulullah SAW begitu gagah dan dan berwibawa,’’ ungkapnya. Lelaki pilihan yang diutus Tuhan itu, kata Janna, adalah seorang yang memiliki karakter dan sifat yang sangat hebat. Ia mengaku belum pernah membaca biografi seseorang tokoh yang semulia itu.
****
Setelah membaca membaca seluruh biografi Nabi Muhammad, pikiran buruk tentang Islam yang selama ini diketahuinya langsung lenyap. Ia semakin tertarik pada Islam. Janna pun melakukan pencarian tentang Islam dari nol dan mencari kebenaran sendiri dengan meneliti Islam.
“Semua yang saya tahu tentang Islam sebelumnya adalah salah,” ujarnya menegaskan. Tidak butuh waktu lama bagi Janna untuk mengikrarkan diri menjadi pemeluk Islam. Ia sangat yakin tidak ada agama lain yang dapat menjawab seluruh pertanyaannya, kecuali Islam.
Akan tetapi, meskipun telah meyakini Islam sebagai agama yang benar, namun Janna masih terlalu takut untuk bersyahadat. Janna mengaku takut menghadapi reaksi orangtua dan keluarganya yang lain apabila ia menganut Islam. Keluarganya tidak akan menerima kenyataan ini. Dan kalaupun mereka mengetahuinya, maka hidupnya akan berubah secara dramatis.
Ia lalu menemui seorang temannya di Jerman. Ia bernama Noha dan berasal dari Mesir. Kepada Noha-lah Janna belajar tentang Islam. Ia belajar shalat dan berdiskusi tentang Islam. Noha dengan sabar menjelaskan banyak hal yang ditanyakan temannya itu mengenai Islam.
Janna menanyakan banyak hal yang ia rasa janggal dalam agamanya. Dengan penuh kesabaran Noha menjawabnya. Jawaban Noha membuatnya semakin yakin mengenai Islam. Setelah pertemuannya dengan Noha, sekitar satu setengah bulan kemudian Janna mengucap dua kalimah syahadat.
Ia melakukan itu di asrama mahasiswa di Jerman. Tadinya ia hanya akan bersyahadat di depan Noha. Akan tetapi ketentuannya tidak boleh hanya satu orang saja yang menjadi saksi. Akhirnya Janna bersyahadat di depan dua puluh mahasiswa di ruangan tersebut.
“Saya tidak pernah melupakan hari ketika saya bersyahadat. Dan saya tidak pernah melupakan hari pertama saya shalat sebagai Muslim,” kata dia bahagia. Kumandang azan memang telah menginspirasi banyak orang untuk mencari tahu tentang Islam.
Dari seruan merdu suara azan ini pula telah banyak melahirkan mualaf-mualaf yang menemukan kebenaran dalam Islam. Panggilan shalat bagi umat Muslim itu telah menjadi sebuah panggilan menuju Islam.
***
Janna adalah seseorang yang tidak senang mendengar pembicaraan tentang kematian. Ia membenci percakapan mengenai tema itu dan memilih meninggalkan orang-orang ketika percakapan tentang kematian dimulai. Percakapan tentang seseorang yang meninggal saja dia tidak suka, apalagi datang ke pemakaman.
Suatu hari, salah satu pamannya meninggal dunia di depan matanya. Peristiwa itu memunculkan sebuah pertanyaan besar dalam diri Janna. Selama ini, ia berpikir hidup hanyalah sebatas kehidupan di dunia saja. Namun setelah melihat pamannya menghembuskan napas terakhirnya di depan mata Janna, ia menyadari keberadaannya di dunia lebih dari apa yang dipikirkan sebelumnya.
“Setiap orang berinvestasi waktu terlalu banyak dan tidak menyadari hal itu dapat direnggut dalam satu detik,” ujarnya. Setelah kematian sang paman, ia melewati waktu dengan penuh kecemasan. Ia terbangun tiga kali dalam semalam hanya untuk mengecek ayah dan ibunya masih bernapas di tempat mereka tidur. Ia sangat takut kehilangan mereka.
Ketakutan Janna terhadap kematian bukannya tidak beralasan. Selama ini ia berpikir kematian adalah akhir dari segalanya. Namun ketika ia membaca tentang Islam, Janna menemukan jawaban apa yang akan terjadi terhadap manusia ketika ia meninggal. Ada kehidupan kekal setelah manusia mati.
Janna sempat mempelajari beberapa agama selain Islam. Akan tetapi tidak ada satu agama pun dapat memberi penjelasan yang sangat logis kecuali Islam. Kini hatinya telah terpaut pada Islam.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/13/08/26/ms0fcc-lantunan-azan-menuntun-gadis-berdarah-yunani-memeluk-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Konsep Trinitas Tak Masuk Akal, Kathryn Memilih Islam
Saya pernah bertanya pada pendeta,'Saya tidak paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?' Tapi pendeta itu menjawab 'Yakini saja'. Mereka tidak memberikan jawabannya
Kathryn Bouchard dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik yang moderat. Kedua orangtuanya adalah guru sekolah Katolik. Hubungan antar keluarg mereka terbilang akrab satu sama lain.
Kathryn yang asal Kanada menghabiskan masa remajanya di London dan Ontario. Seperti penganut Katolik lainnya, ia pergi ke gereja setiap hari minggu, sekolah di sekolah Katolik hingga ke jenjang universitas.
Kathyrn kuliah di Brescia University College, sebuah perguruan tinggi Kristen khusus perempuan yang berafiliasi dengan Universitas Western Ontario.
"Meski saya dibesarkan dalam lingkungan Katolik, orangtua mendorong saya untuk berteman dengan beragam orang dari berbagai latar belakang dan boleh menanyakan apa saja berkaitan dengan kehidupan dan agama," kata Kathryn.
Konsep Trinitas Yang Tak Masuk Akal
Ia mulai mempelajari agama-agama dalam usia yang relatif masih mudah ketika ia berusia 16 atau 17 tahun dan masih duduk di sekolah menengah. Kathryn mengatakan, ia tidak mau menjadi bagian dari sebuah agama hanya karena ia sudah menganut agama itu sejak ia dilahirkan. Itulah sebabnya, Kathryn tidak sungkan mempelajari beragam agama mulai dari Hindu, Budha sampai Yudaisme. Ketika itu, ia hanya sedikt saja mengeksplorasi agama Islam.
Alasan Kathryn mempelajari beragam agama, salah satunya karena banyak hal dalam ajaran Katolik yang tidak dipahami Kathryn. "Kami sering kedatangan pendeta di sekolah dan kami melakukan pengakuan dosa. Saya pernah bertanya pada seorang pendeta,'Saya betul-betul tidak paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?' Tapi pendeta itu menjawab 'Yakini saja'. Mereka tidak memberikan jawabannya," tutur Kathryn.
Ia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang konsep Trinitas dalam agama Kristen, hingga ia di bangku kuliah dan mempelajari berbagai ilmu di seminari dan mempelajari teologi agama Katolik.
"Jika saya menanyakan tentang Trinitas, mereka akan menjawab 'ayah dan ibumu saling mencintai, ketika mereka memiliki anak, itu seperti tiga dalam satu dengan identitas berbeda'.
Jadi, banyak sekali analogi yang diberikan untuk menjelaskan bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan dan menjadi anak Tuhan dan menjadi dirinya sendiri. Saya pikir banyak penganut Kristen yang menerima konsep ini tanpa memahaminya, " ujar Kathryn.
Ia lalu menanyakan konsep Trinitas ke beberapa temannya dan ia mendapat jawaban bahwa konsep Trinitas ada dan ditetapkan sebagai dasar kepercayaan dalam agama Kristen setelah Yesus wafat.
Sebuah jawaban yang mengejutkan Kathryn, karena itu artinya semua dasar dalam ajaran Kristen adalah ciptaan manusia. Yesus semasa hidupnya tidak pernah bilang dirinya adalah anak Tuhan dan tidak pernah mengatakan bahwa dirinya Tuhan.
"Saya membaca Gospel Mathias pertama dan dalam Gospel itu Yesus tidak direferensikan sebagai anak Tuhan, tapi anak seorang manusia. Tapi dalam Gospel yang ditulis setelah Yesus wafat, banyak sekali disebutkan bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Dan disebutkan pula bahwa ada alasan politis dibalik argumen konsep Trinitas," papar Kathryn.
Yesus & Tuhan (Allah), 2 oknum yang berbeda
Ia melanjutkan,"Saya juga menemukan bahwa Yesus berdoa dan memohon pertolongan pada Tuhan. Jika Yesus minta pertolongan pada Tuhan, lalu bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan. Ini tidak masuk akal buat saya."
Mengenal Islam
Setelah menyelesaikan studinya di Ontario, Kathryn pindah ke Montreal dan di kota ini ia bertemu dengan banyak Muslim dari berbagai latar belakang mulai dari Eropa, Afrika dan Karibia. Keberagaman ini membuka mata Kathryn bahwa pemeluk Islam ternyata berasal dari berbagai latar belakang kebangsaaan. Fakta ini mendorongnya untuk lebih banyak belajar tentang Muslim dan latar belakang mereka.
Kathryn mulai membaca banyak referensi tentang Islam. Tapi ia menemukan bahwa contoh-contoh ekstrim tentang Islam di internet sehingga ia sempat berkomentar "Saya tidak mau menjadi bagian dari agama ini (Islam)." Oleh sang ayah, Kathryn disuruh terus membaca karena menurut sang ayah, dalam banyak hal sering terjadi salah penafsiran.
Kathryn pun melanjutkan pencariannya tentang Islam. Ia bergabung dengan situs "Muslimahs", sebuah situs internasional yang beranggotakan para Muslimah maupun para mualaf dari berbagai negara. Dari situs inilah ia banyak belajar dan bertanya tentang Islam.
Kathryn mengatakan banyak hal yang ingin ia ketahui tentang ajaran Islam. Misalnya, apa saja persamaan dan perbedaan ajaran Islam dan Kristen, bagaimana posisi Yesus dalam Islam, siapa Nabi Muhammad, masalah poligami dan berbagai isu Islam yang muncul pasca serangan 11 September 2001 di AS.
Selama kuliah di Montreal, Kathryn belajar banyak hal tentang Islam. Ketika ia pulang ke London, orangtuanya mengira bahwa Kathryn hanya rindu kembali ke rumah dan bukan untuk memperdalam minatnya pada Islam. Kathryn lalu membeli al-Quran dan buku-buku hadist. Pada ayahnya, ia bilang bahwa al-Quran bukan buatan manusia, ketika membaca al-Quran sepertinya Tuhan sedang bicara pada kita.
"Anda merasa bahwa ada juga kebenaran yang ditulis dalam alkitab, tapi Anda tidak akan merasa bahwa itu semua tidak ditulis langsung oleh Tuhan. Sedangkan al-Quran, Anda akan merasakan kebenaran yang sesungguhnya," ujar Kathryn.
"Saya juga menemukan banyak ilmu pengetahuan yang sudah lebih dulu diungkap oleh al-Quran dan baru muncul kemudian dalam kehidupan manusia. Saya pikir, al-Quran diturunkan pada manusia dengan tingkat emosional dan logis. Islam mendorong umatnya untuk berpikir dan mencari ilmu," sambung Kathryn.
Kathryn pun mulai belajar salat, datang ke ceramah-ceramah agama dan mengontak masjid terdekat untuk mencari informasi apakah masjid itu punya program untuk orang-orang sepertinya dirinya, yang berminat pada agama Islam.
"Pertama kali saya masuk ke masjid, saya menangis. Saya merasakan ada energi yang begitu besar yang tidak saya rasakan ketika saya ke gerejat," kisah Kathryn yang kemudian belajar membaca al-Quran di masjid itu. Ia terus belajar dan bergaul dengan para warga Muslim. Sedikit demi sedikit, Kathryn bisa mengubah gaya hidupnya.
Ditanya apakah orangtuanya keberatan dengan perubahan dirinya. Kathryn mengaku butuh waktu cukup panjang untuk meyakinkan orangtuanya bahwa ia tidak menjauh dari keluarganya jika memeluk Islam.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
pengajian di Islamic Center bimbingan Dr Munir El-Kassem
Kathryn mengungkapkan bahwa ia sendiri tidak pernah menyangka akhirnya memutuskan masuk Islam dan itu semua terjadi begitu saja. Saat itu, di bulan Juni tahun 2008, seperti biasanya ia datang ke pengajian mingguan di sebuah Islamic Center. Ia sama sekali berniat mengucapkan dua kalimat syahadat hari itu. Tapi ketika ia tiba di gedung Islamic Center, banyak sekali orang-orang yang telah ia kenal hadir.
Hari itu, tema pengajian adalah umrah. Banyak anak-anak muda Muslim yang datang dan menceritakan pengalaman mereka ikut umrah serta bagaimana hidup mereka berubah setelah umrah. Pengajian dibimbing oleh Dr Munir El-Kassem. Saat Dr El-Kassem bertanya apakah ada diantara para hadirin yang ingin mengajukan pertanyaan, Kathryn dengan spontan mengangkat tangan dan berkata,"Bisakah saya mengucapkan syahadat?" Kathryn sempat kaget sendiri dengan pertanyaan itu karena ia merasa tidak merencanakannya. Semua terjadi begitu saja, spontan.
"Seketika ruangan menjadi sunyi dan saya pikir Dr El-Kassem juga terkejut. Saya memang mengenakan kerudung setiap kali datang pengajian sebagai bentuk penghormatan saya pada Islam. Dr El-Kassem lalu meminta saya maju ke depan dan menceritakan di depan hadirin bagaimana saya bisa sampai pada Islam," tutur Kathryn.
Kathryn mengaku gemetar ketika mengucapkan dua kalimat syahadat. "Tapi saya merasa hati saya begitu lapang, penuh dengan cahaya ibarat sebuah pintu hati yang terbuka. Saya mereka sudah mengambil jalan yang benar," ungkap Kathryn.
Itulah hari bersejarah bagi Kathryn, hari dimana ia memulai kehidupan sebagai seorang Muslimah. Tahun pertama menjalankan puasa di bulan Ramadhan, diakui Kathryn sangat berat. Namun ia merasa bahagia setelah menjadi seorang Muslim. Kathryn mengaku hidupnyan lebih teratur, disiplin dan sehat karena ia tidak lagi makan daging babi dan minum minuman beralkohol. Kathryn juga mengatakan bahwa ia kini tahu apa sebenarnya tujuan dan mau kemana arah hidupnya.
http://berita.muslim-menjawab.com/2009/03/konsep-trinitas-tak-masuk-akal-kathryn.html
Saya pernah bertanya pada pendeta,'Saya tidak paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?' Tapi pendeta itu menjawab 'Yakini saja'. Mereka tidak memberikan jawabannya
Kathryn Bouchard dibesarkan dalam lingkungan keluarga Katolik yang moderat. Kedua orangtuanya adalah guru sekolah Katolik. Hubungan antar keluarg mereka terbilang akrab satu sama lain.
Kathryn yang asal Kanada menghabiskan masa remajanya di London dan Ontario. Seperti penganut Katolik lainnya, ia pergi ke gereja setiap hari minggu, sekolah di sekolah Katolik hingga ke jenjang universitas.
Kathyrn kuliah di Brescia University College, sebuah perguruan tinggi Kristen khusus perempuan yang berafiliasi dengan Universitas Western Ontario.
"Meski saya dibesarkan dalam lingkungan Katolik, orangtua mendorong saya untuk berteman dengan beragam orang dari berbagai latar belakang dan boleh menanyakan apa saja berkaitan dengan kehidupan dan agama," kata Kathryn.
Konsep Trinitas Yang Tak Masuk Akal
Ia mulai mempelajari agama-agama dalam usia yang relatif masih mudah ketika ia berusia 16 atau 17 tahun dan masih duduk di sekolah menengah. Kathryn mengatakan, ia tidak mau menjadi bagian dari sebuah agama hanya karena ia sudah menganut agama itu sejak ia dilahirkan. Itulah sebabnya, Kathryn tidak sungkan mempelajari beragam agama mulai dari Hindu, Budha sampai Yudaisme. Ketika itu, ia hanya sedikt saja mengeksplorasi agama Islam.
Alasan Kathryn mempelajari beragam agama, salah satunya karena banyak hal dalam ajaran Katolik yang tidak dipahami Kathryn. "Kami sering kedatangan pendeta di sekolah dan kami melakukan pengakuan dosa. Saya pernah bertanya pada seorang pendeta,'Saya betul-betul tidak paham dengan konsep Trinitas. Bisakah Anda menjelaskannya?' Tapi pendeta itu menjawab 'Yakini saja'. Mereka tidak memberikan jawabannya," tutur Kathryn.
Ia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang konsep Trinitas dalam agama Kristen, hingga ia di bangku kuliah dan mempelajari berbagai ilmu di seminari dan mempelajari teologi agama Katolik.
"Jika saya menanyakan tentang Trinitas, mereka akan menjawab 'ayah dan ibumu saling mencintai, ketika mereka memiliki anak, itu seperti tiga dalam satu dengan identitas berbeda'.
Jadi, banyak sekali analogi yang diberikan untuk menjelaskan bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan dan menjadi anak Tuhan dan menjadi dirinya sendiri. Saya pikir banyak penganut Kristen yang menerima konsep ini tanpa memahaminya, " ujar Kathryn.
Ia lalu menanyakan konsep Trinitas ke beberapa temannya dan ia mendapat jawaban bahwa konsep Trinitas ada dan ditetapkan sebagai dasar kepercayaan dalam agama Kristen setelah Yesus wafat.
Sebuah jawaban yang mengejutkan Kathryn, karena itu artinya semua dasar dalam ajaran Kristen adalah ciptaan manusia. Yesus semasa hidupnya tidak pernah bilang dirinya adalah anak Tuhan dan tidak pernah mengatakan bahwa dirinya Tuhan.
"Saya membaca Gospel Mathias pertama dan dalam Gospel itu Yesus tidak direferensikan sebagai anak Tuhan, tapi anak seorang manusia. Tapi dalam Gospel yang ditulis setelah Yesus wafat, banyak sekali disebutkan bahwa Yesus adalah anak Tuhan. Dan disebutkan pula bahwa ada alasan politis dibalik argumen konsep Trinitas," papar Kathryn.
Yesus & Tuhan (Allah), 2 oknum yang berbeda
Ia melanjutkan,"Saya juga menemukan bahwa Yesus berdoa dan memohon pertolongan pada Tuhan. Jika Yesus minta pertolongan pada Tuhan, lalu bagaimana Yesus bisa menjadi Tuhan. Ini tidak masuk akal buat saya."
Mengenal Islam
Setelah menyelesaikan studinya di Ontario, Kathryn pindah ke Montreal dan di kota ini ia bertemu dengan banyak Muslim dari berbagai latar belakang mulai dari Eropa, Afrika dan Karibia. Keberagaman ini membuka mata Kathryn bahwa pemeluk Islam ternyata berasal dari berbagai latar belakang kebangsaaan. Fakta ini mendorongnya untuk lebih banyak belajar tentang Muslim dan latar belakang mereka.
Kathryn mulai membaca banyak referensi tentang Islam. Tapi ia menemukan bahwa contoh-contoh ekstrim tentang Islam di internet sehingga ia sempat berkomentar "Saya tidak mau menjadi bagian dari agama ini (Islam)." Oleh sang ayah, Kathryn disuruh terus membaca karena menurut sang ayah, dalam banyak hal sering terjadi salah penafsiran.
Kathryn pun melanjutkan pencariannya tentang Islam. Ia bergabung dengan situs "Muslimahs", sebuah situs internasional yang beranggotakan para Muslimah maupun para mualaf dari berbagai negara. Dari situs inilah ia banyak belajar dan bertanya tentang Islam.
Kathryn mengatakan banyak hal yang ingin ia ketahui tentang ajaran Islam. Misalnya, apa saja persamaan dan perbedaan ajaran Islam dan Kristen, bagaimana posisi Yesus dalam Islam, siapa Nabi Muhammad, masalah poligami dan berbagai isu Islam yang muncul pasca serangan 11 September 2001 di AS.
Selama kuliah di Montreal, Kathryn belajar banyak hal tentang Islam. Ketika ia pulang ke London, orangtuanya mengira bahwa Kathryn hanya rindu kembali ke rumah dan bukan untuk memperdalam minatnya pada Islam. Kathryn lalu membeli al-Quran dan buku-buku hadist. Pada ayahnya, ia bilang bahwa al-Quran bukan buatan manusia, ketika membaca al-Quran sepertinya Tuhan sedang bicara pada kita.
"Anda merasa bahwa ada juga kebenaran yang ditulis dalam alkitab, tapi Anda tidak akan merasa bahwa itu semua tidak ditulis langsung oleh Tuhan. Sedangkan al-Quran, Anda akan merasakan kebenaran yang sesungguhnya," ujar Kathryn.
"Saya juga menemukan banyak ilmu pengetahuan yang sudah lebih dulu diungkap oleh al-Quran dan baru muncul kemudian dalam kehidupan manusia. Saya pikir, al-Quran diturunkan pada manusia dengan tingkat emosional dan logis. Islam mendorong umatnya untuk berpikir dan mencari ilmu," sambung Kathryn.
Kathryn pun mulai belajar salat, datang ke ceramah-ceramah agama dan mengontak masjid terdekat untuk mencari informasi apakah masjid itu punya program untuk orang-orang sepertinya dirinya, yang berminat pada agama Islam.
"Pertama kali saya masuk ke masjid, saya menangis. Saya merasakan ada energi yang begitu besar yang tidak saya rasakan ketika saya ke gerejat," kisah Kathryn yang kemudian belajar membaca al-Quran di masjid itu. Ia terus belajar dan bergaul dengan para warga Muslim. Sedikit demi sedikit, Kathryn bisa mengubah gaya hidupnya.
Ditanya apakah orangtuanya keberatan dengan perubahan dirinya. Kathryn mengaku butuh waktu cukup panjang untuk meyakinkan orangtuanya bahwa ia tidak menjauh dari keluarganya jika memeluk Islam.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
pengajian di Islamic Center bimbingan Dr Munir El-Kassem
Kathryn mengungkapkan bahwa ia sendiri tidak pernah menyangka akhirnya memutuskan masuk Islam dan itu semua terjadi begitu saja. Saat itu, di bulan Juni tahun 2008, seperti biasanya ia datang ke pengajian mingguan di sebuah Islamic Center. Ia sama sekali berniat mengucapkan dua kalimat syahadat hari itu. Tapi ketika ia tiba di gedung Islamic Center, banyak sekali orang-orang yang telah ia kenal hadir.
Hari itu, tema pengajian adalah umrah. Banyak anak-anak muda Muslim yang datang dan menceritakan pengalaman mereka ikut umrah serta bagaimana hidup mereka berubah setelah umrah. Pengajian dibimbing oleh Dr Munir El-Kassem. Saat Dr El-Kassem bertanya apakah ada diantara para hadirin yang ingin mengajukan pertanyaan, Kathryn dengan spontan mengangkat tangan dan berkata,"Bisakah saya mengucapkan syahadat?" Kathryn sempat kaget sendiri dengan pertanyaan itu karena ia merasa tidak merencanakannya. Semua terjadi begitu saja, spontan.
"Seketika ruangan menjadi sunyi dan saya pikir Dr El-Kassem juga terkejut. Saya memang mengenakan kerudung setiap kali datang pengajian sebagai bentuk penghormatan saya pada Islam. Dr El-Kassem lalu meminta saya maju ke depan dan menceritakan di depan hadirin bagaimana saya bisa sampai pada Islam," tutur Kathryn.
Kathryn mengaku gemetar ketika mengucapkan dua kalimat syahadat. "Tapi saya merasa hati saya begitu lapang, penuh dengan cahaya ibarat sebuah pintu hati yang terbuka. Saya mereka sudah mengambil jalan yang benar," ungkap Kathryn.
Itulah hari bersejarah bagi Kathryn, hari dimana ia memulai kehidupan sebagai seorang Muslimah. Tahun pertama menjalankan puasa di bulan Ramadhan, diakui Kathryn sangat berat. Namun ia merasa bahagia setelah menjadi seorang Muslim. Kathryn mengaku hidupnyan lebih teratur, disiplin dan sehat karena ia tidak lagi makan daging babi dan minum minuman beralkohol. Kathryn juga mengatakan bahwa ia kini tahu apa sebenarnya tujuan dan mau kemana arah hidupnya.
http://berita.muslim-menjawab.com/2009/03/konsep-trinitas-tak-masuk-akal-kathryn.html
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Yusuf Islam (Formerly Cat Stevens) Famous ex-Rock Star.
Testimony of Yusuf Islam (Formerly Cat Stevens)
Famous ex-musician, formerly Cat Stevens. A must read !
All I have to say is all what you know already, to confirm what you already know, the message of the Prophet (Sallallahu alaihi wa sallam) as given by God - the Religion of Truth. As human beings we are given a consciousness and a duty that has placed us at the top of creation. Man is created to be God's deputy on earth, and it is important to realize the obligation to rid ourselves of all illusions and to make our lives a preparation for the next life. Anybody who misses this chance is not likely to be given another, to be brought back again and again, because it says in Qur'an Majeed that when man is brought to account, he will say, "O Lord, send us back and give us another chance." The Lord will say, "If I send you back you will do the same." I was brought up in the modern world of all the luxury and the high life of show business. I was born in a Christian home, but we know that every child is born in his original nature - it is only his parents that turn him to this or that religion. I was given this religion (Christianity) and thought this way. I was taught that God exists, but there was no direct contact with God, so we had to make contact with Him through Jesus - he was in fact the door to God. This was more or less accepted by me, but I did not swallow it all. I looked at some of the statues of Jesus; they were just stones with no life. And when they said that God is three, I was puzzled even more but could not argue. I more or less believed it, because I had to have respect for the faith of my parents. Gradually I became alienated from this religious upbringing. I started making music. I wanted to be a big star. All those things I saw in the films and on the media took hold of me, and perhaps I thought this was my God, the goal of making money. I had an uncle who had a beautiful car. "Well," I said, "he has it made. He has a lot of money." The people around me influenced me to think that this was it; this world was their God. I decided then that this was the life for me; to make a lot of money, have a 'great life.' Now my examples were the pop stars. I started making songs, but deep down I had a feeling for humanity, a feeling that if I became rich I would help the needy. (It says in the Qur'an, we make a promise, but when we make something, we want to hold onto it and become greedy.) So what happened was that I became very famous. I was still a teenager, my name and photo were splashed in all the media. They made me larger than life, so I wanted to live larger than life and the only way to do that was to be intoxicated (with liquor and drugs).
IN HOSPITAL
After a year of financial success and 'high' living, I became very ill, contracted TB and had to be hospitalized. It was then that I started to think: What was to happen to me? Was I just a body, and my goal in life was merely to satisfy this body? I realized now that this calamity was a blessing given to me by Allah, a chance to open my eyes - "Why am I here? Why am I in bed?" - and I started looking for some of the answers. At that time there was great interest in the Eastern mysticism. I began reading, and the first thing I began to become aware of was death, and that the soul moves on; it does not stop. I felt I was taking the road to bliss and high accomplishment. I started meditating and even became a vegetarian. I now believed in 'peace and flower power,' and this was the general trend. But what I did believe in particular was that I was not just a body. This awareness came to me at the hospital. One day when I was walking and I was caught in the rain, I began running to the shelter and then I realized, 'Wait a minute, my body is getting wet, my body is telling me I am getting wet.' This made me think of a saying that the body is like a donkey, and it has to be trained where it has to go. Otherwise, the donkey will lead you where it wants to go. Then I realized I had a will, a God-given gift: follow the will of God. I was fascinated by the new terminology I was learning in the Eastern religion. By now I was fed up with Christianity. I started making music again and this time I started reflecting my own thoughts. I remember the lyric of one of my songs. It goes like this: "I wish I knew, I wish I knew what makes the Heaven, what makes the Hell. Do I get to know You in my bed or some dusty cell while others reach the big hotel?" and I knew I was on the Path. I also wrote another song, "The Way to Find God Out." I became even more famous in the world of music. I really had a difficult time because I was getting rich and famous, and at the same time, I was sincerely searching for the Truth. Then I came to a stage where I decided that Buddhism is all right and noble, but I was not ready to leave the world. I was too attached to the world and was not prepared to become a monk and to isolate myself from society. I tried Zen and Ching, numerology, tarot cards and astrology. I tried to look back into the Bible and could not find anything. At this time I did not know anything about Islam, and then, what I regarded as a miracle occurred. My brother had visited the mosque in Jerusalem and was greatly impressed that while on the one hand it throbbed with life (unlike the churches and synagogues which were empty), on the other hand, an atmosphere of peace and tranquillity prevailed.
THE QUR'AN
When he came to London he brought back a translation of the Qur'an, which he gave to me. He did not become a Muslim, but he felt something in this religion, and thought I might find something in it also. And when I received the book, a guidance that would explain everything to me - who I was; what was the purpose of life; what was the reality and what would be the reality; and where I came from - I realized that this was the true religion; religion not in the sense the West understands it, not the type for only your old age. In the West, whoever wishes to embrace a religion and make it his only way of life is deemed a fanatic. I was not a fanatic, I was at first confused between the body and the soul. Then I realized that the body and soul are not apart and you don't have to go to the mountain to be religious. We must follow the will of God. Then we can rise higher than the angels. The first thing I wanted to do now was to be a Muslim. I realized that everything belongs to God, that slumber does not overtake Him. He created everything. At this point I began to lose the pride in me, because hereto I had thought the reason I was here was because of my own greatness. But I realized that I did not create myself, and the whole purpose of my being here was to submit to the teaching that has been perfected by the religion we know as Al-Islam. At this point I started discovering my faith. I felt I was a Muslim. On reading the Qur'an, I now realized that all the Prophets sent by God brought the same message. Why then were the Jews and Christians different? I know now how the Jews did not accept Jesus as the Messiah and that they had changed His Word. Even the Christians misunderstand God's Word and called Jesus the son of God. Everything made so much sense. This is the beauty of the Qur'an; it asks you to reflect and reason, and not to worship the sun or moon but the One Who has created everything. The Qur'an asks man to reflect upon the sun and moon and God's creation in general. Do you realize how different the sun is from the moon? They are at varying distances from the earth, yet appear the same size to us; at times one seems to overlap the other. Even when many of the astronauts go to space, they see the insignificant size of the earth and vastness of space. They become very religious, because they have seen the Signs of Allah. When I read the Qur'an further, it talked about prayer, kindness and charity. I was not a Muslim yet, but I felt that the only answer for me was the Qur'an, and God had sent it to me, and I kept it a secret. But the Qur'an also speaks on different levels. I began to understand it on another level, where the Qur'an says, "Those who believe do not take disbelievers for friends and the believers are brothers." Thus at this point I wished to meet my Muslim brothers.
CONVERSION
Then I decided to journey to Jerusalem (as my brother had done). At Jerusalem, I went to the mosque and sat down. A man asked me what I wanted. I told him I was a Muslim. He asked what was my name. I told him, "Stevens." He was confused. I then joined the prayer, though not so successfully. Back in London, I met a sister called Nafisa. I told her I wanted to embrace Islam and she directed me to the New Regent Mosque. This was in 1977, about one and a half years after I received the Qur'an. Now I realized that I must get rid of my pride, get rid of Iblis, and face one direction. So on a Friday, after Jumma' I went to the Imam and declared my faith (the Kalima) at this hands. You have before you someone who had achieved fame and fortune. But guidance was something that eluded me, no matter how hard I tried, until I was shown the Qur'an. Now I realize I can get in direct contact with God, unlike Christianity or any other religion. As one Hindu lady told me, "You don't understand the Hindus. We believe in one God; we use these objects (idols) to merely concentrate." What she was saying was that in order to reach God, one has to create associates, that are idols for the purpose. But Islam removes all these barriers. The only thing that moves the believers from the disbelievers is the salat. This is the process of purification.
Finally I wish to say that everything I do is for the pleasure of Allah and pray that you gain some inspirations from my experiences. Furthermore, I would like to stress that I did not come into contact with any Muslim before I embraced Islam. I read the Qur'an first and realized that no person is perfect. Islam is perfect, and if we imitate the conduct of the Holy Prophet (Sallallahu alaihi wa sallam) we will be successful. May Allah give us guidance to follow the path of the ummah of Muhammad (Sallallahu alaihi wa sallam). Ameen!
By Yusuf Islam
January 1st, 1985
http://mualaf.muslim-menjawab.com/2009/01/yusuf-islam-formerly-cat-stevens-famous.html
Testimony of Yusuf Islam (Formerly Cat Stevens)
Famous ex-musician, formerly Cat Stevens. A must read !
All I have to say is all what you know already, to confirm what you already know, the message of the Prophet (Sallallahu alaihi wa sallam) as given by God - the Religion of Truth. As human beings we are given a consciousness and a duty that has placed us at the top of creation. Man is created to be God's deputy on earth, and it is important to realize the obligation to rid ourselves of all illusions and to make our lives a preparation for the next life. Anybody who misses this chance is not likely to be given another, to be brought back again and again, because it says in Qur'an Majeed that when man is brought to account, he will say, "O Lord, send us back and give us another chance." The Lord will say, "If I send you back you will do the same." I was brought up in the modern world of all the luxury and the high life of show business. I was born in a Christian home, but we know that every child is born in his original nature - it is only his parents that turn him to this or that religion. I was given this religion (Christianity) and thought this way. I was taught that God exists, but there was no direct contact with God, so we had to make contact with Him through Jesus - he was in fact the door to God. This was more or less accepted by me, but I did not swallow it all. I looked at some of the statues of Jesus; they were just stones with no life. And when they said that God is three, I was puzzled even more but could not argue. I more or less believed it, because I had to have respect for the faith of my parents. Gradually I became alienated from this religious upbringing. I started making music. I wanted to be a big star. All those things I saw in the films and on the media took hold of me, and perhaps I thought this was my God, the goal of making money. I had an uncle who had a beautiful car. "Well," I said, "he has it made. He has a lot of money." The people around me influenced me to think that this was it; this world was their God. I decided then that this was the life for me; to make a lot of money, have a 'great life.' Now my examples were the pop stars. I started making songs, but deep down I had a feeling for humanity, a feeling that if I became rich I would help the needy. (It says in the Qur'an, we make a promise, but when we make something, we want to hold onto it and become greedy.) So what happened was that I became very famous. I was still a teenager, my name and photo were splashed in all the media. They made me larger than life, so I wanted to live larger than life and the only way to do that was to be intoxicated (with liquor and drugs).
IN HOSPITAL
After a year of financial success and 'high' living, I became very ill, contracted TB and had to be hospitalized. It was then that I started to think: What was to happen to me? Was I just a body, and my goal in life was merely to satisfy this body? I realized now that this calamity was a blessing given to me by Allah, a chance to open my eyes - "Why am I here? Why am I in bed?" - and I started looking for some of the answers. At that time there was great interest in the Eastern mysticism. I began reading, and the first thing I began to become aware of was death, and that the soul moves on; it does not stop. I felt I was taking the road to bliss and high accomplishment. I started meditating and even became a vegetarian. I now believed in 'peace and flower power,' and this was the general trend. But what I did believe in particular was that I was not just a body. This awareness came to me at the hospital. One day when I was walking and I was caught in the rain, I began running to the shelter and then I realized, 'Wait a minute, my body is getting wet, my body is telling me I am getting wet.' This made me think of a saying that the body is like a donkey, and it has to be trained where it has to go. Otherwise, the donkey will lead you where it wants to go. Then I realized I had a will, a God-given gift: follow the will of God. I was fascinated by the new terminology I was learning in the Eastern religion. By now I was fed up with Christianity. I started making music again and this time I started reflecting my own thoughts. I remember the lyric of one of my songs. It goes like this: "I wish I knew, I wish I knew what makes the Heaven, what makes the Hell. Do I get to know You in my bed or some dusty cell while others reach the big hotel?" and I knew I was on the Path. I also wrote another song, "The Way to Find God Out." I became even more famous in the world of music. I really had a difficult time because I was getting rich and famous, and at the same time, I was sincerely searching for the Truth. Then I came to a stage where I decided that Buddhism is all right and noble, but I was not ready to leave the world. I was too attached to the world and was not prepared to become a monk and to isolate myself from society. I tried Zen and Ching, numerology, tarot cards and astrology. I tried to look back into the Bible and could not find anything. At this time I did not know anything about Islam, and then, what I regarded as a miracle occurred. My brother had visited the mosque in Jerusalem and was greatly impressed that while on the one hand it throbbed with life (unlike the churches and synagogues which were empty), on the other hand, an atmosphere of peace and tranquillity prevailed.
THE QUR'AN
When he came to London he brought back a translation of the Qur'an, which he gave to me. He did not become a Muslim, but he felt something in this religion, and thought I might find something in it also. And when I received the book, a guidance that would explain everything to me - who I was; what was the purpose of life; what was the reality and what would be the reality; and where I came from - I realized that this was the true religion; religion not in the sense the West understands it, not the type for only your old age. In the West, whoever wishes to embrace a religion and make it his only way of life is deemed a fanatic. I was not a fanatic, I was at first confused between the body and the soul. Then I realized that the body and soul are not apart and you don't have to go to the mountain to be religious. We must follow the will of God. Then we can rise higher than the angels. The first thing I wanted to do now was to be a Muslim. I realized that everything belongs to God, that slumber does not overtake Him. He created everything. At this point I began to lose the pride in me, because hereto I had thought the reason I was here was because of my own greatness. But I realized that I did not create myself, and the whole purpose of my being here was to submit to the teaching that has been perfected by the religion we know as Al-Islam. At this point I started discovering my faith. I felt I was a Muslim. On reading the Qur'an, I now realized that all the Prophets sent by God brought the same message. Why then were the Jews and Christians different? I know now how the Jews did not accept Jesus as the Messiah and that they had changed His Word. Even the Christians misunderstand God's Word and called Jesus the son of God. Everything made so much sense. This is the beauty of the Qur'an; it asks you to reflect and reason, and not to worship the sun or moon but the One Who has created everything. The Qur'an asks man to reflect upon the sun and moon and God's creation in general. Do you realize how different the sun is from the moon? They are at varying distances from the earth, yet appear the same size to us; at times one seems to overlap the other. Even when many of the astronauts go to space, they see the insignificant size of the earth and vastness of space. They become very religious, because they have seen the Signs of Allah. When I read the Qur'an further, it talked about prayer, kindness and charity. I was not a Muslim yet, but I felt that the only answer for me was the Qur'an, and God had sent it to me, and I kept it a secret. But the Qur'an also speaks on different levels. I began to understand it on another level, where the Qur'an says, "Those who believe do not take disbelievers for friends and the believers are brothers." Thus at this point I wished to meet my Muslim brothers.
CONVERSION
Then I decided to journey to Jerusalem (as my brother had done). At Jerusalem, I went to the mosque and sat down. A man asked me what I wanted. I told him I was a Muslim. He asked what was my name. I told him, "Stevens." He was confused. I then joined the prayer, though not so successfully. Back in London, I met a sister called Nafisa. I told her I wanted to embrace Islam and she directed me to the New Regent Mosque. This was in 1977, about one and a half years after I received the Qur'an. Now I realized that I must get rid of my pride, get rid of Iblis, and face one direction. So on a Friday, after Jumma' I went to the Imam and declared my faith (the Kalima) at this hands. You have before you someone who had achieved fame and fortune. But guidance was something that eluded me, no matter how hard I tried, until I was shown the Qur'an. Now I realize I can get in direct contact with God, unlike Christianity or any other religion. As one Hindu lady told me, "You don't understand the Hindus. We believe in one God; we use these objects (idols) to merely concentrate." What she was saying was that in order to reach God, one has to create associates, that are idols for the purpose. But Islam removes all these barriers. The only thing that moves the believers from the disbelievers is the salat. This is the process of purification.
Finally I wish to say that everything I do is for the pleasure of Allah and pray that you gain some inspirations from my experiences. Furthermore, I would like to stress that I did not come into contact with any Muslim before I embraced Islam. I read the Qur'an first and realized that no person is perfect. Islam is perfect, and if we imitate the conduct of the Holy Prophet (Sallallahu alaihi wa sallam) we will be successful. May Allah give us guidance to follow the path of the ummah of Muhammad (Sallallahu alaihi wa sallam). Ameen!
By Yusuf Islam
January 1st, 1985
http://mualaf.muslim-menjawab.com/2009/01/yusuf-islam-formerly-cat-stevens-famous.html
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Nuh Ha Mim Keller, From an American Catholic to one of the leading contemporary scholars of Islam.
In the name of Allah, Most Merciful and Compassionate
Becoming Muslim
© Nuh Ha Mim Keller
Source: http://masud.co.uk/ISLAM/nuh/bmuslim.htm
His Work: http://masud.co.uk/ISLAM/nuh/default.htm#convert
"I studied philosophy at the university and it taught me to ask two things of whoever claimed to have the truth: What do you mean, and how do you know? When I asked these questions of my own religious tradition, I found no answers, and realized that Christianity had slipped from my hands."
The story of American former Catholic, Nuh Ha Mim Keller, who in the 25 years since his conversion has gone on to become one of the leading contemporary scholars of Islam.
Born in 1954 in the farm country of the northwestern United States, I was raised in a religious family as a Roman Catholic. The Church provided a spiritual world that was unquestionable in my childhood, if anything more real than the physical world around me, but as I grew older, and especially after I entered a Catholic university and read more, my relation to the religion became increasingly called into question, in belief and practice.
One reason was the frequent changes in Catholic liturgy and ritual that occurred in the wake of the Second Vatican Council of 1963, suggesting to laymen that the Church had no firm standards. To one another, the clergy spoke about flexibility and liturgical relevance, but to ordinary Catholics they seemed to be groping in the dark. God does not change, nor the needs of the human soul, and there was no new revelation from heaven. Yet we rang in the changes, week after week, year after year; adding, subtracting, changing the language from Latin to English, finally bringing in guitars and folk music. Priests explained and explained as laymen shook their heads. The search for relevance left large numbers convinced that there had not been much in the first place.
A second reason was a number of doctrinal difficulties, such as the doctrine of the Trinity, which no one in the history of the world, neither priest nor layman, had been able to explain in a convincing way, and which resolved itself, to the common mind at least, in a sort of godhead-by-committee, shared between God the Father, who ruled the world from heaven; His son Jesus Christ, who saved humanity on earth; and the Holy Ghost, who was pictured as a white dove and appeared to have a considerably minor role. I remember wanting to make special friends with just one of them so he could handle my business with the others, and to this end, would sometimes pray earnestly to this one and sometimes to that; but the other two were always stubbornly there. I finally decided that God the Father must be in charge of the other two, and this put the most formidable obstacle in the way of my Catholicism, the divinity of Christ. Moreover, reflection made it plain that the nature of man contradicted the nature of God in every particular, the limitary and finite on the one hand, the absolute and infinite on the other. That Jesus was God was something I cannot remember having ever really believed, in childhood or later.
Another point of incredulity was the trading of the Church in stocks and bonds in the hereafter it called indulgences. Do such and such and so-and-so many years will be remitted from your sentence in purgatory that had seemed so false to Martin Luther at the outset of the Reformation.
I also remember a desire for a sacred scripture, something on the order of a book that could furnish guidance. A Bible was given to me one Christmas, a handsome edition, but on attempting to read it, I found it so rambling and devoid of a coherent thread that it was difficult to think of a way to base one's life upon it. Only later did I learn how Christians solve the difficulty in practice, Protestants by creating sectarian theologies, each emphasizing the texts of their sect and downplaying the rest; Catholics by downplaying it all, except the snippets mentioned in their liturgy. Something seemed lacking in a sacred book that could not be read as an integral whole.
Moreover, when I went to the university, I found that the authenticity of the book, especially the New Testament, had come into considerable doubt as a result of modern hermeneutical studies by Christians themselves. In a course on contemporary theology, I read the Norman Perrin translation of The Problem of the Historical Jesus by Joachim Jeremias, one of the principal New Testament scholars of this century. A textual critic who was a master of the original languages and had spent long years with the texts, he had finally agreed with the German theologian Rudolph Bultmann that without a doubt it is true to say that the dream of ever writing a biography of Jesus is over, meaning that the life of Christ as he actually lived it could not be reconstructed from the New Testament with any degree of confidence. If this were accepted from a friend of Christianity and one of its foremost textual experts, I reasoned, what was left for its enemies to say? And what then remained of the Bible except to acknowledge that it was a record of truths mixed with fictions, conjectures projected onto Christ by later followers, themselves at odds with each other as to who the master had been and what he had taught. And if theologians like Jeremias could reassure themselves that somewhere under the layers of later accretions to the New Testament there was something called the historical Jesus and his message, how could the ordinary person hope to find it, or know it, should it be found?
I studied philosophy at the university and it taught me to ask two things of whoever claimed to have the truth: What do you mean, and how do you know? When I asked these questions of my own religious tradition, I found no answers, and realized that Christianity had slipped from my hands. I then embarked on a search that is perhaps not unfamiliar to many young people in the West, a quest for meaning in a meaningless world.
I began where I had lost my previous belief, with the philosophers, yet wanting to believe, seeking not philosophy, but rather a philosophy.
I read the essays of the great pessimist Arthur Schopenhauer, which taught about the phenomenon of the ages of life, and that money, fame, physical strength, and intelligence all passed from one with the passage of years, but only moral excellence remained. I took this lesson to heart and remembered it in after years. His essays also drew attention to the fact that a person was wont to repudiate in later years what he fervently espouses in the heat of youth. With a prescient wish to find the Divine, I decided to imbue myself with the most cogent arguments of atheism that I could find, that perhaps I might find a way out of them later. So I read the Walter Kaufmann translations of the works of the immoralist Friedrich Nietzsche. The many-faceted genius dissected the moral judgments and beliefs of mankind with brilliant philological and psychological arguments that ended in accusing human language itself, and the language of nineteenth-century science in particular, of being so inherently determined and mediated by concepts inherited from the language of morality that in their present form they could never hope to uncover reality. Aside from their immunological value against total skepticism, Nietzsche's works explained why the West was post-Christian, and accurately predicted the unprecedented savagery of the twentieth century, debunking the myth that science could function as a moral replacement for the now dead religion.
At a personal level, his tirades against Christianity, particularly in The Genealogy of Morals, gave me the benefit of distilling the beliefs of the monotheistic tradition into a small number of analyzable forms. He separated unessential concepts (such as the bizarre spectacle of an omnipotent deitys suicide on the cross) from essential ones, which I now, though without believing in them, apprehended to be but three alone: that God existed; that He created man in the world and defined the conduct expected of him in it; and that He would judge man accordingly in the hereafter and send him to eternal reward or punishment.
It was during this time that I read an early translation of the Qur'an which I grudgingly admired, between agnostic reservations, for the purity with which it presented these fundamental concepts. Even if false, I thought, there could not be a more essential expression of religion. As a literary work, the translation, perhaps it was Sales, was uninspired and openly hostile to its subject matter, whereas I knew the Arabic original was widely acknowledged for its beauty and eloquence among the religious books of mankind. I felt a desire to learn Arabic to read the original.
On a vacation home from school, I was walking upon a dirt road between some fields of wheat, and it happened that the sun went down. By some inspiration, I realized that it was a time of worship, a time to bow and pray to the one God. But it was not something one could rely on oneself to provide the details of, but rather a passing fancy, or perhaps the beginning of an awareness that atheism was an inauthentic way of being.
I carried something of this disquiet with me when I transferred to the University of Chicago, where I studied the epistemology of ethical theory how moral judgments were reached reading and searching among the books of the philosophers for something to shed light on the question of meaninglessness, which was both a personal concern and one of the central philosophical problems of our age.
According to some, scientific observation could only yield description statements of the form X is Y, for example, The object is red, Its weight is two kilos, Its height is ten centimeters, and so on, in each of which the functional was a scientifically verifiable is, whereas in moral judgments the functional element was an ought, a description statement which no amount of scientific observation could measure or verify. It appeared that ought was logically meaningless, and with it all morality whatsoever, a position that reminded me of those described by Lucian in his advice that whoever sees a moral philosopher coming down the road should flee from him as from a mad dog. For such a person, expediency ruled, and nothing checked his behavior but convention.
As Chicago was a more expensive school, and I had to raise tuition money, I found summer work on the West Coast with a seining boat fishing in Alaska. The sea proved a school in its own right, one I was to return to for a space of eight seasons, for the money. I met many people on boats, and saw something of the power and greatness of the wind, water, storms, and rain; and the smallness of man. These things lay before us like an immense book, but my fellow fishermen and I could only discern the letters of it that were within our context: to catch as many fish as possible within the specified time to sell to the tenders. Few knew how to read the book as a whole. Sometimes, in a blow, the waves rose like great hills, and the captain would hold the wheel with white knuckles, our bow one minute plunging gigantically down into a valley of green water, the next moment reaching the bottom of the trough and soaring upwards towards the sky before topping the next crest and starting down again.
Early in my career as a deck hand, I had read the Hazel Barnes translation of Jean Paul Sartres "Being and Nothingness", in which he argued that phenomena only arose for consciousness in the existential context of human projects, a theme that recalled Marx's 1844 manuscripts, where nature was produced by man, meaning, for example, that when the mystic sees a stand of trees, his consciousness hypostatizes an entirely different phenomenal object than a poet does, for example, or a capitalist. To the mystic, it is a manifestation; to the poet, a forest; to the capitalist, lumber. According to such a perspective, a mountain only appears as tall in the context of the project of climbing it, and so on, according to the instrumental relations involved in various human interests. But the great natural events of the sea surrounding us seemed to defy, with their stubborn, irreducible facticity, our uncomprehending attempts to come to terms with them. Suddenly, we were just there, shaken by the forces around us without making sense of them, wondering if we would make it through. Some, it was true, would ask Gods help at such moments, but when we returned safely to shore, we behaved like men who knew little of Him, as if those moments had been a lapse into insanity, embarrassing to think of at happier times. It was one of the lessons of the sea that in fact, such events not only existed but perhaps even preponderated in our life. Man was small and weak, the forces around him were large, and he did not control them.
Sometimes a boat would sink and men would die. I remember a fisherman from another boat who was working near us one opening, doing the same job as I did, piling web. He smiled across the water as he pulled the net from the hydraulic block overhead, stacking it neatly on the stern to ready it for the next set. Some weeks later, his boat overturned while fishing in a storm, and he got caught in the web and drowned. I saw him only once again, in a dream, beckoning to me from the stern of his boat.
The tremendousness of the scenes we lived in, the storms, the towering sheer cliffs rising vertically out of the water for hundreds of feet, the cold and rain and fatigue, the occasional injuries and deaths of workers these made little impression on most of us. Fishermen were, after all, supposed to be tough. On one boat, the family that worked it was said to lose an occasional crew member while running at sea at the end of the season, invariably the sole non-family member who worked with them, his loss saving them the wages they would have otherwise had to pay him.
The captain of another was a twenty-seven-year-old who delivered millions of dollars worth of crab each year in the Bering Sea. When I first heard of him, we were in Kodiak, his boat at the city dock they had tied up to after a lengthy run some days before. The captain was presently indisposed in his bunk in the stateroom, where he had been vomiting up blood from having eaten a glass uptown the previous night to prove how tough he was.
He was in somewhat better condition when I later saw him in the Bering Sea at the end of a long winter king crab season. He worked in his wheelhouse up top, surrounded by radios that could pull in a signal from just about anywhere, computers, Loran, sonar, depth-finders, radar. His panels of lights and switches were set below the 180-degree sweep of shatterproof windows that overlooked the sea and the men on deck below, to whom he communicated by loudspeaker. They often worked round the clock, pulling their gear up from the icy water under watchful batteries of enormous electric lights attached to the masts that turned the perpetual night of the winter months into day. The captain had a reputation as a screamer, and had once locked his crew out on deck in the rain for eleven hours because one of them had gone inside to have a cup of coffee without permission. Few crewmen lasted longer than a season with him, though they made nearly twice the yearly income of, say, a lawyer or an advertising executive, and in only six months. Fortunes were made in the Bering Sea in those years, before overfishing wiped out the crab.
At present, he was at anchor, and was amiable enough when we tied up to him and he came aboard to sit and talk with our own captain. They spoke at length, at times gazing thoughtfully out at the sea through the door or windows, at times looking at each other sharply when something animated them, as the topic of what his competitors thought of him. "They wonder why I have a few bucks", he said. "Well I slept in my own home one night last year."
He later had his crew throw off the lines and pick the anchor, his eyes flickering warily over the water from the windows of the house as he pulled away with a blast of smoke from the stack. His watchfulness, his walrus-like physique, his endless voyages after game and markets, reminded me of other predatory hunter-animals of the sea. Such people, good at making money but heedless of any ultimate end or purpose, made an impression on me, and I increasingly began to wonder if men didn't need principles to guide them and tell them why they were there. Without such principles, nothing seemed to distinguish us above our prey except being more thorough, and technologically capable of preying longer, on a vaster scale, and with greater devastation than the animals we hunted.
These considerations were in my mind the second year I studied at Chicago, where I became aware through studies of philosophical moral systems that philosophy had not been successful in the past at significantly influencing peoples morals and preventing injustice, and I came to realize that there was little hope for it to do so in the future. I found that comparing human cultural systems and societies in their historical succession and multiplicity had led many intellectuals to moral relativism, since no moral value could be discovered which on its own merits was transculturally valid, a reflection leading to nihilism, the perspective that sees human civilizations as plants that grow out of the earth, springing from their various seeds and soils, thriving for a time, and then dying away.
Some heralded this as intellectual liberation, among them Emile Durkheim in his "Elementary Forms of the Religious Life", or Sigmund Freud in his "Totem and Taboo", which discussed mankind as if it were a patient and diagnosed its religious traditions as a form of a collective neurosis that we could now hope to cure, by applying to them a thoroughgoing scientific atheism, a sort of salvation through pure science.
On this subject, I bought the Jeremy Shapiro translation of "Knowledge and Human Interests" by Jurgen Habermas, who argued that there was no such thing as pure science that could be depended upon to forge boldly ahead in a steady improvement of itself and the world. He called such a misunderstanding scientism, not science. Science in the real world, he said, was not free of values, still less of interests. The kinds of research that obtain funding, for example, were a function of what their society deemed meaningful, expedient, profitable, or important. Habermas had been of a generation of German academics who, during the thirties and forties, knew what was happening in their country, but insisted they were simply engaged in intellectual production, that they were living in the realm of scholarship, and need not concern themselves with whatever the state might choose to do with their research. The horrible question mark that was attached to German intellectuals when the Nazi atrocities became public after the war made Habermas think deeply about the ideology of pure science. If anything was obvious, it was that the nineteenth-century optimism of thinkers like Freud and Durkheim was no longer tenable.
I began to re-assess the intellectual life around me. Like Schopenhauer, I felt that higher education must produce higher human beings. But at the university, I found lab people talking to each other about forging research data to secure funding for the coming year; luminaries who wouldn't permit tape recorders at their lectures for fear that competitors in the same field would go one step further with their research and beat them to publication; professors vying with each other in the length of their courses syllabuses. The moral qualities I was accustomed to associate with ordinary, unregenerate humanity seemed as frequently met with in sophisticated academics as they had been in fishermen. If one could laugh at fishermen who, after getting a boatload of fish in a big catch, would cruise back and forth in front of the others to let them see how laden down in the water they were, ostensibly looking for more fish; what could one say about the Ph.D.'s who behaved the same way about their books and articles? I felt that their knowledge had not developed their persons, that the secret of higher man did not lie in their sophistication.
I wondered if I hadn't gone down the road of philosophy as far as one could go. While it had debunked my Christianity and provided some genuine insights, it had not yet answered the big questions. Moreover, I felt that this was somehow connected I didn't know whether as cause or effect to the fact that our intellectual tradition no longer seemed to seriously comprehend itself. What were any of us, whether philosophers, fishermen, garbagemen, or kings, except bit players in a drama we did not understand, diligently playing out our roles until our replacements were sent, and we gave our last performance? But could one legitimately hope for more than this? I read "Kojves Introduction to the Reading of Hegel", in which he explained that for Hegel, philosophy did not culminate in the system, but rather in the Wise Man, someone able to answer any possible question on the ethical implications of human actions. This made me consider our own plight in the twentieth century, which could no longer answer a single ethical question.
It was thus as if this century's unparalleled mastery of concrete things had somehow ended by making us things. I contrasted this with Hegel's concept of the concrete in his "Phenomenology of Mind". An example of the abstract, in his terms, was the limitary physical reality of the book now held in your hands, while the concrete was its interconnection with the larger realities it presupposed, the modes of production that determined the kind of ink and paper in it, the aesthetic standards that dictated its color and design, the systems of marketing and distribution that had carried it to the reader, the historical circumstances that had brought about the readers literacy and taste; the cultural events that had mediated its style and usage; in short, the bigger picture in which it was articulated and had its being. For Hegel, the movement of philosophical investigation always led from the abstract to the concrete, to the more real. He was therefore able to say that philosophy necessarily led to theology, whose object was the ultimately real, the Deity. This seemed to me to point up an irreducible lack in our century. I began to wonder if, by materializing our culture and our past, we had not somehow abstracted ourselves from our wider humanity, from our true nature in relation to a higher reality.
At this juncture, I read a number of works on Islam, among them the books of Seyyed Hossein Nasr, who believed that many of the problems of western man, especially those of the environment, were from his having left the divine wisdom of revealed religion, which taught him his true place as a creature of God in the natural world and to understand and respect it. Without it, he burned up and consumed nature with ever more effective technological styles of commercial exploitation that ruined his world from without while leaving him increasingly empty within, because he did not know why he existed or to what end he should act.
I reflected that this might be true as far as it went, but it begged the question as to the truth of revealed religion. Everything on the face of the earth, all moral and religious systems, were on the same plane, unless one could gain certainty that one of them was from a higher source, the sole guarantee of the objectivity, the whole force, of moral law. Otherwise, one man's opinion was as good as another's, and we remained in an undifferentiated sea of conflicting individual interests, in which no valid objection could be raised to the strong eating the weak.
I read other books on Islam, and came across some passages translated by W. Montgomery Watt from "That Which Delivers from Error" by the theologian and mystic Ghazali, who, after a mid-life crises of questioning and doubt, realized that beyond the light of prophetic revelation there is no other light on the face of the earth from which illumination may be received, the very point to which my philosophical inquiries had led. Here was, in Hegel's terms, the Wise Man, in the person of a divinely inspired messenger who alone had the authority to answer questions of good and evil.
I also read A.J. Arberrys translation "The Qur'an Interpreted", and I recalled my early wish for a sacred book. Even in translation, the superiority of the Muslim scripture over the Bible was evident in every line, as if the reality of divine revelation, dimly heard of all my life, had now been placed before my eyes. In its exalted style, its power, its inexorable finality, its uncanny way of anticipating the arguments of the atheistic heart in advance and answering them; it was a clear exposition of God as God and man as man, the revelation of the awe-inspiring Divine Unity being the identical revelation of social and economic justice among men.
I began to learn Arabic at Chicago, and after studying the grammar for a year with a fair degree of success, decided to take a leave of absence to try to advance in the language in a year of private study in Cairo. Too, a desire for new horizons drew me, and after a third season of fishing, I went to the Middle East.
In Egypt, I found something I believe brings many to Islam, namely, the mark of pure monotheism upon its followers, which struck me as more profound than anything I had previously encountered. I met many Muslims in Egypt, good and bad, but all influenced by the teachings of their Book to a greater extent than I had ever seen elsewhere. It has been some fifteen years since then, and I cannot remember them all, or even most of them, but perhaps the ones I can recall will serve to illustrate the impressions made.
One was a man on the side of the Nile near the Miqyas Gardens, where I used to walk. I came upon him praying on a piece of cardboard, facing across the water. I started to pass in front of him, but suddenly checked myself and walked around behind, not wanting to disturb him. As I watched a moment before going my way, I beheld a man absorbed in his relation to God, oblivious to my presence, much less my opinions about him or his religion. To my mind, there was something magnificently detached about this, altogether strange for someone coming from the West, where praying in public was virtually the only thing that remained obscene.
Another was a young boy from secondary school who greeted me near Khan al-Khalili, and because I spoke some Arabic and he spoke some English and wanted to tell me about Islam, he walked with me several miles across town to Giza, explaining as much as he could. When we parted, I think he said a prayer that I might become Muslim.
Another was a Yemeni friend living in Cairo who brought me a copy of the Qur'an at my request to help me learn Arabic. I did not have a table beside the chair where I used to sit and read in my hotel room, and it was my custom to stack the books on the floor. When I set the Qur'an by the others there, he silently stooped and picked it up, out of respect for it. This impressed me because I knew he was not religious, but here was the effect of Islam upon him.
Another was a woman I met while walking beside a bicycle on an unpaved road on the opposite side of the Nile from Luxor. I was dusty, and somewhat shabbily clothed, and she was an old woman dressed in black from head to toe who walked up, and without a word or glance at me, pressed a coin into my hand so suddenly that in my surprise I dropped it. By the time I picked it up, she had hurried away. Because she thought I was poor, even if obviously non-Muslim, she gave me some money without any expectation for it except what was between her and her God. This act made me think a lot about Islam, because nothing seemed to have motivated her but that.
Many other things passed through my mind during the months I stayed in Egypt to learn Arabic. I found myself thinking that a man must have some sort of religion, and I was more impressed by the effect of Islam on the lives of Muslims, a certain nobility of purpose and largesse of soul, than I had ever been by any other religions or even atheisms effect on its followers. The Muslims seemed to have more than we did.
Christianity had its good points to be sure, but they seemed mixed with confusions, and I found myself more and more inclined to look to Islam for their fullest and most perfect expression. The first question we had memorized from our early catechism had been Why were you created? to which the correct answer was To know, love, and serve God. When I reflected on those around me, I realized that Islam seemed to furnish the most comprehensive and understandable way to practice this on a daily basis.
As for the inglorious political fortunes of the Muslims today, I did not feel these to be a reproach against Islam, or to relegate it to an inferior position in a natural order of world ideologies, but rather saw them as a low phase in a larger cycle of history. Foreign hegemony over Muslim lands had been witnessed before in the thorough going destruction of Islamic civilization in the thirteenth century by the Mongol horde, who razed cities and built pyramids of human heads from the steppes of Central Asia to the Muslim heartlands, after which the fullness of destiny brought forth the Ottoman Empire to raise the Word of Allah and make it a vibrant political reality that endured for centuries. It was now, I reflected, merely the turn of contemporary Muslims to strive for a new historic crystallization of Islam, something one might well aspire to share in.
When a friend in Cairo one day asked me, Why don't you become a Muslim?, I found that Allah had created within me a desire to belong to this religion, which so enriches its followers, from the simplest hearts to the most magisterial intellects. It is not through an act of the mind or will that anyone becomes a Muslim, but rather through the mercy of Allah, and this, in the final analysis, was what brought me to Islam in Cairo in 1977.
Is it not time that the hearts of those who believe should be humbled to the Remembrance of God and the Truth which He has sent down, and that they should not be as those to whom the Book was given aforetime, and the term seemed over long to them, so that their hearts have become hard, and many of them are ungodly? Know that God revives the earth after it was dead. We have indeed made clear for you the signs, that haply you will understand. (Qur'an 57:16-17)
http://mualaf.muslim-menjawab.com/2009/01/becoming-muslim.html
In the name of Allah, Most Merciful and Compassionate
Becoming Muslim
© Nuh Ha Mim Keller
Source: http://masud.co.uk/ISLAM/nuh/bmuslim.htm
His Work: http://masud.co.uk/ISLAM/nuh/default.htm#convert
"I studied philosophy at the university and it taught me to ask two things of whoever claimed to have the truth: What do you mean, and how do you know? When I asked these questions of my own religious tradition, I found no answers, and realized that Christianity had slipped from my hands."
The story of American former Catholic, Nuh Ha Mim Keller, who in the 25 years since his conversion has gone on to become one of the leading contemporary scholars of Islam.
Born in 1954 in the farm country of the northwestern United States, I was raised in a religious family as a Roman Catholic. The Church provided a spiritual world that was unquestionable in my childhood, if anything more real than the physical world around me, but as I grew older, and especially after I entered a Catholic university and read more, my relation to the religion became increasingly called into question, in belief and practice.
One reason was the frequent changes in Catholic liturgy and ritual that occurred in the wake of the Second Vatican Council of 1963, suggesting to laymen that the Church had no firm standards. To one another, the clergy spoke about flexibility and liturgical relevance, but to ordinary Catholics they seemed to be groping in the dark. God does not change, nor the needs of the human soul, and there was no new revelation from heaven. Yet we rang in the changes, week after week, year after year; adding, subtracting, changing the language from Latin to English, finally bringing in guitars and folk music. Priests explained and explained as laymen shook their heads. The search for relevance left large numbers convinced that there had not been much in the first place.
A second reason was a number of doctrinal difficulties, such as the doctrine of the Trinity, which no one in the history of the world, neither priest nor layman, had been able to explain in a convincing way, and which resolved itself, to the common mind at least, in a sort of godhead-by-committee, shared between God the Father, who ruled the world from heaven; His son Jesus Christ, who saved humanity on earth; and the Holy Ghost, who was pictured as a white dove and appeared to have a considerably minor role. I remember wanting to make special friends with just one of them so he could handle my business with the others, and to this end, would sometimes pray earnestly to this one and sometimes to that; but the other two were always stubbornly there. I finally decided that God the Father must be in charge of the other two, and this put the most formidable obstacle in the way of my Catholicism, the divinity of Christ. Moreover, reflection made it plain that the nature of man contradicted the nature of God in every particular, the limitary and finite on the one hand, the absolute and infinite on the other. That Jesus was God was something I cannot remember having ever really believed, in childhood or later.
Another point of incredulity was the trading of the Church in stocks and bonds in the hereafter it called indulgences. Do such and such and so-and-so many years will be remitted from your sentence in purgatory that had seemed so false to Martin Luther at the outset of the Reformation.
I also remember a desire for a sacred scripture, something on the order of a book that could furnish guidance. A Bible was given to me one Christmas, a handsome edition, but on attempting to read it, I found it so rambling and devoid of a coherent thread that it was difficult to think of a way to base one's life upon it. Only later did I learn how Christians solve the difficulty in practice, Protestants by creating sectarian theologies, each emphasizing the texts of their sect and downplaying the rest; Catholics by downplaying it all, except the snippets mentioned in their liturgy. Something seemed lacking in a sacred book that could not be read as an integral whole.
Moreover, when I went to the university, I found that the authenticity of the book, especially the New Testament, had come into considerable doubt as a result of modern hermeneutical studies by Christians themselves. In a course on contemporary theology, I read the Norman Perrin translation of The Problem of the Historical Jesus by Joachim Jeremias, one of the principal New Testament scholars of this century. A textual critic who was a master of the original languages and had spent long years with the texts, he had finally agreed with the German theologian Rudolph Bultmann that without a doubt it is true to say that the dream of ever writing a biography of Jesus is over, meaning that the life of Christ as he actually lived it could not be reconstructed from the New Testament with any degree of confidence. If this were accepted from a friend of Christianity and one of its foremost textual experts, I reasoned, what was left for its enemies to say? And what then remained of the Bible except to acknowledge that it was a record of truths mixed with fictions, conjectures projected onto Christ by later followers, themselves at odds with each other as to who the master had been and what he had taught. And if theologians like Jeremias could reassure themselves that somewhere under the layers of later accretions to the New Testament there was something called the historical Jesus and his message, how could the ordinary person hope to find it, or know it, should it be found?
I studied philosophy at the university and it taught me to ask two things of whoever claimed to have the truth: What do you mean, and how do you know? When I asked these questions of my own religious tradition, I found no answers, and realized that Christianity had slipped from my hands. I then embarked on a search that is perhaps not unfamiliar to many young people in the West, a quest for meaning in a meaningless world.
I began where I had lost my previous belief, with the philosophers, yet wanting to believe, seeking not philosophy, but rather a philosophy.
I read the essays of the great pessimist Arthur Schopenhauer, which taught about the phenomenon of the ages of life, and that money, fame, physical strength, and intelligence all passed from one with the passage of years, but only moral excellence remained. I took this lesson to heart and remembered it in after years. His essays also drew attention to the fact that a person was wont to repudiate in later years what he fervently espouses in the heat of youth. With a prescient wish to find the Divine, I decided to imbue myself with the most cogent arguments of atheism that I could find, that perhaps I might find a way out of them later. So I read the Walter Kaufmann translations of the works of the immoralist Friedrich Nietzsche. The many-faceted genius dissected the moral judgments and beliefs of mankind with brilliant philological and psychological arguments that ended in accusing human language itself, and the language of nineteenth-century science in particular, of being so inherently determined and mediated by concepts inherited from the language of morality that in their present form they could never hope to uncover reality. Aside from their immunological value against total skepticism, Nietzsche's works explained why the West was post-Christian, and accurately predicted the unprecedented savagery of the twentieth century, debunking the myth that science could function as a moral replacement for the now dead religion.
At a personal level, his tirades against Christianity, particularly in The Genealogy of Morals, gave me the benefit of distilling the beliefs of the monotheistic tradition into a small number of analyzable forms. He separated unessential concepts (such as the bizarre spectacle of an omnipotent deitys suicide on the cross) from essential ones, which I now, though without believing in them, apprehended to be but three alone: that God existed; that He created man in the world and defined the conduct expected of him in it; and that He would judge man accordingly in the hereafter and send him to eternal reward or punishment.
It was during this time that I read an early translation of the Qur'an which I grudgingly admired, between agnostic reservations, for the purity with which it presented these fundamental concepts. Even if false, I thought, there could not be a more essential expression of religion. As a literary work, the translation, perhaps it was Sales, was uninspired and openly hostile to its subject matter, whereas I knew the Arabic original was widely acknowledged for its beauty and eloquence among the religious books of mankind. I felt a desire to learn Arabic to read the original.
On a vacation home from school, I was walking upon a dirt road between some fields of wheat, and it happened that the sun went down. By some inspiration, I realized that it was a time of worship, a time to bow and pray to the one God. But it was not something one could rely on oneself to provide the details of, but rather a passing fancy, or perhaps the beginning of an awareness that atheism was an inauthentic way of being.
I carried something of this disquiet with me when I transferred to the University of Chicago, where I studied the epistemology of ethical theory how moral judgments were reached reading and searching among the books of the philosophers for something to shed light on the question of meaninglessness, which was both a personal concern and one of the central philosophical problems of our age.
According to some, scientific observation could only yield description statements of the form X is Y, for example, The object is red, Its weight is two kilos, Its height is ten centimeters, and so on, in each of which the functional was a scientifically verifiable is, whereas in moral judgments the functional element was an ought, a description statement which no amount of scientific observation could measure or verify. It appeared that ought was logically meaningless, and with it all morality whatsoever, a position that reminded me of those described by Lucian in his advice that whoever sees a moral philosopher coming down the road should flee from him as from a mad dog. For such a person, expediency ruled, and nothing checked his behavior but convention.
As Chicago was a more expensive school, and I had to raise tuition money, I found summer work on the West Coast with a seining boat fishing in Alaska. The sea proved a school in its own right, one I was to return to for a space of eight seasons, for the money. I met many people on boats, and saw something of the power and greatness of the wind, water, storms, and rain; and the smallness of man. These things lay before us like an immense book, but my fellow fishermen and I could only discern the letters of it that were within our context: to catch as many fish as possible within the specified time to sell to the tenders. Few knew how to read the book as a whole. Sometimes, in a blow, the waves rose like great hills, and the captain would hold the wheel with white knuckles, our bow one minute plunging gigantically down into a valley of green water, the next moment reaching the bottom of the trough and soaring upwards towards the sky before topping the next crest and starting down again.
Early in my career as a deck hand, I had read the Hazel Barnes translation of Jean Paul Sartres "Being and Nothingness", in which he argued that phenomena only arose for consciousness in the existential context of human projects, a theme that recalled Marx's 1844 manuscripts, where nature was produced by man, meaning, for example, that when the mystic sees a stand of trees, his consciousness hypostatizes an entirely different phenomenal object than a poet does, for example, or a capitalist. To the mystic, it is a manifestation; to the poet, a forest; to the capitalist, lumber. According to such a perspective, a mountain only appears as tall in the context of the project of climbing it, and so on, according to the instrumental relations involved in various human interests. But the great natural events of the sea surrounding us seemed to defy, with their stubborn, irreducible facticity, our uncomprehending attempts to come to terms with them. Suddenly, we were just there, shaken by the forces around us without making sense of them, wondering if we would make it through. Some, it was true, would ask Gods help at such moments, but when we returned safely to shore, we behaved like men who knew little of Him, as if those moments had been a lapse into insanity, embarrassing to think of at happier times. It was one of the lessons of the sea that in fact, such events not only existed but perhaps even preponderated in our life. Man was small and weak, the forces around him were large, and he did not control them.
Sometimes a boat would sink and men would die. I remember a fisherman from another boat who was working near us one opening, doing the same job as I did, piling web. He smiled across the water as he pulled the net from the hydraulic block overhead, stacking it neatly on the stern to ready it for the next set. Some weeks later, his boat overturned while fishing in a storm, and he got caught in the web and drowned. I saw him only once again, in a dream, beckoning to me from the stern of his boat.
The tremendousness of the scenes we lived in, the storms, the towering sheer cliffs rising vertically out of the water for hundreds of feet, the cold and rain and fatigue, the occasional injuries and deaths of workers these made little impression on most of us. Fishermen were, after all, supposed to be tough. On one boat, the family that worked it was said to lose an occasional crew member while running at sea at the end of the season, invariably the sole non-family member who worked with them, his loss saving them the wages they would have otherwise had to pay him.
The captain of another was a twenty-seven-year-old who delivered millions of dollars worth of crab each year in the Bering Sea. When I first heard of him, we were in Kodiak, his boat at the city dock they had tied up to after a lengthy run some days before. The captain was presently indisposed in his bunk in the stateroom, where he had been vomiting up blood from having eaten a glass uptown the previous night to prove how tough he was.
He was in somewhat better condition when I later saw him in the Bering Sea at the end of a long winter king crab season. He worked in his wheelhouse up top, surrounded by radios that could pull in a signal from just about anywhere, computers, Loran, sonar, depth-finders, radar. His panels of lights and switches were set below the 180-degree sweep of shatterproof windows that overlooked the sea and the men on deck below, to whom he communicated by loudspeaker. They often worked round the clock, pulling their gear up from the icy water under watchful batteries of enormous electric lights attached to the masts that turned the perpetual night of the winter months into day. The captain had a reputation as a screamer, and had once locked his crew out on deck in the rain for eleven hours because one of them had gone inside to have a cup of coffee without permission. Few crewmen lasted longer than a season with him, though they made nearly twice the yearly income of, say, a lawyer or an advertising executive, and in only six months. Fortunes were made in the Bering Sea in those years, before overfishing wiped out the crab.
At present, he was at anchor, and was amiable enough when we tied up to him and he came aboard to sit and talk with our own captain. They spoke at length, at times gazing thoughtfully out at the sea through the door or windows, at times looking at each other sharply when something animated them, as the topic of what his competitors thought of him. "They wonder why I have a few bucks", he said. "Well I slept in my own home one night last year."
He later had his crew throw off the lines and pick the anchor, his eyes flickering warily over the water from the windows of the house as he pulled away with a blast of smoke from the stack. His watchfulness, his walrus-like physique, his endless voyages after game and markets, reminded me of other predatory hunter-animals of the sea. Such people, good at making money but heedless of any ultimate end or purpose, made an impression on me, and I increasingly began to wonder if men didn't need principles to guide them and tell them why they were there. Without such principles, nothing seemed to distinguish us above our prey except being more thorough, and technologically capable of preying longer, on a vaster scale, and with greater devastation than the animals we hunted.
These considerations were in my mind the second year I studied at Chicago, where I became aware through studies of philosophical moral systems that philosophy had not been successful in the past at significantly influencing peoples morals and preventing injustice, and I came to realize that there was little hope for it to do so in the future. I found that comparing human cultural systems and societies in their historical succession and multiplicity had led many intellectuals to moral relativism, since no moral value could be discovered which on its own merits was transculturally valid, a reflection leading to nihilism, the perspective that sees human civilizations as plants that grow out of the earth, springing from their various seeds and soils, thriving for a time, and then dying away.
Some heralded this as intellectual liberation, among them Emile Durkheim in his "Elementary Forms of the Religious Life", or Sigmund Freud in his "Totem and Taboo", which discussed mankind as if it were a patient and diagnosed its religious traditions as a form of a collective neurosis that we could now hope to cure, by applying to them a thoroughgoing scientific atheism, a sort of salvation through pure science.
On this subject, I bought the Jeremy Shapiro translation of "Knowledge and Human Interests" by Jurgen Habermas, who argued that there was no such thing as pure science that could be depended upon to forge boldly ahead in a steady improvement of itself and the world. He called such a misunderstanding scientism, not science. Science in the real world, he said, was not free of values, still less of interests. The kinds of research that obtain funding, for example, were a function of what their society deemed meaningful, expedient, profitable, or important. Habermas had been of a generation of German academics who, during the thirties and forties, knew what was happening in their country, but insisted they were simply engaged in intellectual production, that they were living in the realm of scholarship, and need not concern themselves with whatever the state might choose to do with their research. The horrible question mark that was attached to German intellectuals when the Nazi atrocities became public after the war made Habermas think deeply about the ideology of pure science. If anything was obvious, it was that the nineteenth-century optimism of thinkers like Freud and Durkheim was no longer tenable.
I began to re-assess the intellectual life around me. Like Schopenhauer, I felt that higher education must produce higher human beings. But at the university, I found lab people talking to each other about forging research data to secure funding for the coming year; luminaries who wouldn't permit tape recorders at their lectures for fear that competitors in the same field would go one step further with their research and beat them to publication; professors vying with each other in the length of their courses syllabuses. The moral qualities I was accustomed to associate with ordinary, unregenerate humanity seemed as frequently met with in sophisticated academics as they had been in fishermen. If one could laugh at fishermen who, after getting a boatload of fish in a big catch, would cruise back and forth in front of the others to let them see how laden down in the water they were, ostensibly looking for more fish; what could one say about the Ph.D.'s who behaved the same way about their books and articles? I felt that their knowledge had not developed their persons, that the secret of higher man did not lie in their sophistication.
I wondered if I hadn't gone down the road of philosophy as far as one could go. While it had debunked my Christianity and provided some genuine insights, it had not yet answered the big questions. Moreover, I felt that this was somehow connected I didn't know whether as cause or effect to the fact that our intellectual tradition no longer seemed to seriously comprehend itself. What were any of us, whether philosophers, fishermen, garbagemen, or kings, except bit players in a drama we did not understand, diligently playing out our roles until our replacements were sent, and we gave our last performance? But could one legitimately hope for more than this? I read "Kojves Introduction to the Reading of Hegel", in which he explained that for Hegel, philosophy did not culminate in the system, but rather in the Wise Man, someone able to answer any possible question on the ethical implications of human actions. This made me consider our own plight in the twentieth century, which could no longer answer a single ethical question.
It was thus as if this century's unparalleled mastery of concrete things had somehow ended by making us things. I contrasted this with Hegel's concept of the concrete in his "Phenomenology of Mind". An example of the abstract, in his terms, was the limitary physical reality of the book now held in your hands, while the concrete was its interconnection with the larger realities it presupposed, the modes of production that determined the kind of ink and paper in it, the aesthetic standards that dictated its color and design, the systems of marketing and distribution that had carried it to the reader, the historical circumstances that had brought about the readers literacy and taste; the cultural events that had mediated its style and usage; in short, the bigger picture in which it was articulated and had its being. For Hegel, the movement of philosophical investigation always led from the abstract to the concrete, to the more real. He was therefore able to say that philosophy necessarily led to theology, whose object was the ultimately real, the Deity. This seemed to me to point up an irreducible lack in our century. I began to wonder if, by materializing our culture and our past, we had not somehow abstracted ourselves from our wider humanity, from our true nature in relation to a higher reality.
At this juncture, I read a number of works on Islam, among them the books of Seyyed Hossein Nasr, who believed that many of the problems of western man, especially those of the environment, were from his having left the divine wisdom of revealed religion, which taught him his true place as a creature of God in the natural world and to understand and respect it. Without it, he burned up and consumed nature with ever more effective technological styles of commercial exploitation that ruined his world from without while leaving him increasingly empty within, because he did not know why he existed or to what end he should act.
I reflected that this might be true as far as it went, but it begged the question as to the truth of revealed religion. Everything on the face of the earth, all moral and religious systems, were on the same plane, unless one could gain certainty that one of them was from a higher source, the sole guarantee of the objectivity, the whole force, of moral law. Otherwise, one man's opinion was as good as another's, and we remained in an undifferentiated sea of conflicting individual interests, in which no valid objection could be raised to the strong eating the weak.
I read other books on Islam, and came across some passages translated by W. Montgomery Watt from "That Which Delivers from Error" by the theologian and mystic Ghazali, who, after a mid-life crises of questioning and doubt, realized that beyond the light of prophetic revelation there is no other light on the face of the earth from which illumination may be received, the very point to which my philosophical inquiries had led. Here was, in Hegel's terms, the Wise Man, in the person of a divinely inspired messenger who alone had the authority to answer questions of good and evil.
I also read A.J. Arberrys translation "The Qur'an Interpreted", and I recalled my early wish for a sacred book. Even in translation, the superiority of the Muslim scripture over the Bible was evident in every line, as if the reality of divine revelation, dimly heard of all my life, had now been placed before my eyes. In its exalted style, its power, its inexorable finality, its uncanny way of anticipating the arguments of the atheistic heart in advance and answering them; it was a clear exposition of God as God and man as man, the revelation of the awe-inspiring Divine Unity being the identical revelation of social and economic justice among men.
I began to learn Arabic at Chicago, and after studying the grammar for a year with a fair degree of success, decided to take a leave of absence to try to advance in the language in a year of private study in Cairo. Too, a desire for new horizons drew me, and after a third season of fishing, I went to the Middle East.
In Egypt, I found something I believe brings many to Islam, namely, the mark of pure monotheism upon its followers, which struck me as more profound than anything I had previously encountered. I met many Muslims in Egypt, good and bad, but all influenced by the teachings of their Book to a greater extent than I had ever seen elsewhere. It has been some fifteen years since then, and I cannot remember them all, or even most of them, but perhaps the ones I can recall will serve to illustrate the impressions made.
One was a man on the side of the Nile near the Miqyas Gardens, where I used to walk. I came upon him praying on a piece of cardboard, facing across the water. I started to pass in front of him, but suddenly checked myself and walked around behind, not wanting to disturb him. As I watched a moment before going my way, I beheld a man absorbed in his relation to God, oblivious to my presence, much less my opinions about him or his religion. To my mind, there was something magnificently detached about this, altogether strange for someone coming from the West, where praying in public was virtually the only thing that remained obscene.
Another was a young boy from secondary school who greeted me near Khan al-Khalili, and because I spoke some Arabic and he spoke some English and wanted to tell me about Islam, he walked with me several miles across town to Giza, explaining as much as he could. When we parted, I think he said a prayer that I might become Muslim.
Another was a Yemeni friend living in Cairo who brought me a copy of the Qur'an at my request to help me learn Arabic. I did not have a table beside the chair where I used to sit and read in my hotel room, and it was my custom to stack the books on the floor. When I set the Qur'an by the others there, he silently stooped and picked it up, out of respect for it. This impressed me because I knew he was not religious, but here was the effect of Islam upon him.
Another was a woman I met while walking beside a bicycle on an unpaved road on the opposite side of the Nile from Luxor. I was dusty, and somewhat shabbily clothed, and she was an old woman dressed in black from head to toe who walked up, and without a word or glance at me, pressed a coin into my hand so suddenly that in my surprise I dropped it. By the time I picked it up, she had hurried away. Because she thought I was poor, even if obviously non-Muslim, she gave me some money without any expectation for it except what was between her and her God. This act made me think a lot about Islam, because nothing seemed to have motivated her but that.
Many other things passed through my mind during the months I stayed in Egypt to learn Arabic. I found myself thinking that a man must have some sort of religion, and I was more impressed by the effect of Islam on the lives of Muslims, a certain nobility of purpose and largesse of soul, than I had ever been by any other religions or even atheisms effect on its followers. The Muslims seemed to have more than we did.
Christianity had its good points to be sure, but they seemed mixed with confusions, and I found myself more and more inclined to look to Islam for their fullest and most perfect expression. The first question we had memorized from our early catechism had been Why were you created? to which the correct answer was To know, love, and serve God. When I reflected on those around me, I realized that Islam seemed to furnish the most comprehensive and understandable way to practice this on a daily basis.
As for the inglorious political fortunes of the Muslims today, I did not feel these to be a reproach against Islam, or to relegate it to an inferior position in a natural order of world ideologies, but rather saw them as a low phase in a larger cycle of history. Foreign hegemony over Muslim lands had been witnessed before in the thorough going destruction of Islamic civilization in the thirteenth century by the Mongol horde, who razed cities and built pyramids of human heads from the steppes of Central Asia to the Muslim heartlands, after which the fullness of destiny brought forth the Ottoman Empire to raise the Word of Allah and make it a vibrant political reality that endured for centuries. It was now, I reflected, merely the turn of contemporary Muslims to strive for a new historic crystallization of Islam, something one might well aspire to share in.
When a friend in Cairo one day asked me, Why don't you become a Muslim?, I found that Allah had created within me a desire to belong to this religion, which so enriches its followers, from the simplest hearts to the most magisterial intellects. It is not through an act of the mind or will that anyone becomes a Muslim, but rather through the mercy of Allah, and this, in the final analysis, was what brought me to Islam in Cairo in 1977.
Is it not time that the hearts of those who believe should be humbled to the Remembrance of God and the Truth which He has sent down, and that they should not be as those to whom the Book was given aforetime, and the term seemed over long to them, so that their hearts have become hard, and many of them are ungodly? Know that God revives the earth after it was dead. We have indeed made clear for you the signs, that haply you will understand. (Qur'an 57:16-17)
http://mualaf.muslim-menjawab.com/2009/01/becoming-muslim.html
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Testimony of Abdur-Raheem Greene (Formerly Anthony Greene)
Testimony of Abdur-Raheem Greene (Formerly Anthony Greene)
the well known caller to Islam
Interviewed by Islamic Voice, Volume 11-11 No: 130, November 1997
[Green]
Lanky, blonde, green-eyed, 33-years-old Abdur-Raheem Greene appears to be a character straight out of a Hollywood movie Ben Hur. The Tanzania-born British embraced Islam in 1988 and has been a dawah practitioner in Britain since then. He wears a look that instantly evokes comparison with the popular portrayal of the Prophet Jesus (Pbuh) in the imagery of Christian Europe. Greene’s tryst with Islam took place in Egypt where he mostly spent his vacations. He lectured in Bangalore in early October on “God’s Final Revelation.” He spoke to the Islamic Voice while in the city.
[Excerpts]
Your background
I was born to British parents in Darussalam in Tanzania in 1964. My father Gavin Green was a colonial administrator in the still existent British empire. He later joined Barclays Bank in 1976 and was sent to Egypt to set up Egyptian Barclays Bank. I was educated at famous Roman Catholic Monastic School called Ampleforth College and went on to study history in the London University. However, I left my education unfinished.
Currently, I am working with an Islamic media company based in England and engage myself in dawah activities including lectures on Islam in London’s famous Hyde Park.
What kept you from obtaining a degree?
I grew totally disillusioned with the British educational system. It was thoroughly Eurocentric and projected world history in a way that suggested that the civilisation attained its full glory and apogee in Europe. Having lived in Egypt and seen some of the majestic ruins which only archaeologists have access to, I found the West’s interpretation of history totally fallacious. I began a private study of histories of other peoples of the world, various religious scriptures and philosophy. I was practising Buddhism for nearly three years though never formally embraced it.
Study of the Holy Qur’an immediately attracted me. Its message had a magical appeal and I grew convinced that it was a divine revelation. I believe only Allah guided me, none else. I don’t know what made me deserve Islam.
But anything specific that could have appealed to you?
I was dissatisfied with Christianity from the age of eight. The concept that was taught to us through rhymes such as Hail Mary! Was not at all acceptable to me. While on one hand the Christians described God to be eternal and infinite they felt no compunctions in ascribing birth of God from the womb of Mary. This made me think that Mary must be greater than God.
Secondly, the Christians’ concept of trinity was puzzlesome for me. The similitude like Canadian Maple leaf being one despite three sections appeared utterly unapplicable.
The crunch came when an Egyptian started questioning me. Despite being confused about the Christian belief I was trying to be dogmatic as most white, middle-class, English Christians do. I was flummoxed when he led me to accept that the God died on the crucifix, thus laying bare the hollowness of the Christian claims of eternity and infinity of God. I now came to realise that I was believing in as absurd a concept as two plus two is equal to five all through my adolescent years.
West’s prelaid, programmed life intensely repelled me. I began to question if a person has to live a life merely to get strait-jacketed in a rigorous schedule. I found Europeans struggling a lot to enjoy life. They had no higher purpose in life.
West’s capacity to brainwash its people became plain to me when I discussed the Palestine issue with Egyptians and Palestinians. Several myths-historical, political, economic - were fabricated by the Zionists and propagated unchallenged by the Western media. How could a land vacated by Jews 2000 years earlier be their homeland? I also came to know that existing Jewish people were actually Slavs, not Semites and that Palestinian land was always a green orchard. Israel fabricated the myth of “magical transformation of desert into greenland.”
The American double-speak and hypocrisy began to sink in as I studied the US role in planting and sustaining despotic rulers in Latin America while punishing the Soviet Bloc.
What contrast have you found between people’s lives in Egypt and the UK?
Egyptians were poor, suffered hardships, yet were happy. They left everything in the hands of Allah and forget their miseries when they return home. Prayers help them place their worries before their God. I noticed humility as well as intimacy in Islamic prayers.
But in England I found people shallow, materialistic. They try to be happy but happiness is superficial. Their prayers combined songs, dances, clapping but no humility, nor intimacy with God.
I realised that popular opinion in the West was totally hostage to the Zionist-controlled media. The question of Palestine was one among these. My conversation with Palestinians revealed as to how the West had believed in myths about Israel. First among them was that the Jews had the right to return to their original homeland in Israel. Secondly they conveniently described themselves Semitic while the fact was that most Jews of the world were Slavs who had later converted to Judaism. Thirdly Israel’s economic miracle was theorised to create the economic and scientific myth.
The fact was that I never got to know the Palestinian side of the issue. I got convinced that the people of the West were brainwashed by the media. I found that the US was trying every trick to punish nations indulging in small violations of human rights in the third world but was itself sending death squads into Latin American nations to liquidate their leaders who refused to toe the US line. Such hypocrisy is never criticised by the US media.
How do you find life as a Muslim in the UK?
The Western psyche emphasizes one’s individuality. This is at variance with Islam. Any sincere Muslim feels disturbed. He or she is constantly bombarded by sex and sexuality. Most girls lose virginity by 13 and it is normal for girls to have three to four boyfriends.
The dilemma before Muslims in the West is as to how to integrate with a society so steeped in sex, drugs, drinks and sexual intimacy. And if no integration, then how to save themselves from ghettoisation.
Has the dawah work produced some results in the UK?
Dawah is progressing at a steady pace. Neo-converts have a lot of enthusiasm. They know how dark is the life for a commoner.
How does a common British citizen look at the organisations like the Muslim Parliament?
This kind of terminology is frightening and intimidating for a common citizen. The Muslim Parliament was an organisation founded by Kaleem Siddiqui. I cannot praise him as a italics. Such attempts are doomed to failure. This is an attempt to create artificial unity.
Does the Hizbut Tahrir find approval in Britain?
Again this organisation unnecessarily intimidates the people. The objective of dawah is to invite the people to worship one Allah. The Holy Prophet (Pbuh) did not preach Khilafah. All this is damaging for Islam in the UK. They say the only place to meet a Jew is on a battlefield while a Muslim should expect him to be sitting or standing next to him.
Your family life
I have two wives, both British-born Muslims of Indian origin and six children.
Does not the British law prohibit bigamy?
It does. Yet several Britishers are bigamists. But those who practise bigamy can protect the second marriage under the provisions of “common law wives”. Under this children out of such marriages are legitimate and wives inherit property.
http://mualaf.muslim-menjawab.com/2009/01/testimony-of-abdur-raheem-greene.html
Testimony of Abdur-Raheem Greene (Formerly Anthony Greene)
the well known caller to Islam
Interviewed by Islamic Voice, Volume 11-11 No: 130, November 1997
[Green]
Lanky, blonde, green-eyed, 33-years-old Abdur-Raheem Greene appears to be a character straight out of a Hollywood movie Ben Hur. The Tanzania-born British embraced Islam in 1988 and has been a dawah practitioner in Britain since then. He wears a look that instantly evokes comparison with the popular portrayal of the Prophet Jesus (Pbuh) in the imagery of Christian Europe. Greene’s tryst with Islam took place in Egypt where he mostly spent his vacations. He lectured in Bangalore in early October on “God’s Final Revelation.” He spoke to the Islamic Voice while in the city.
[Excerpts]
Your background
I was born to British parents in Darussalam in Tanzania in 1964. My father Gavin Green was a colonial administrator in the still existent British empire. He later joined Barclays Bank in 1976 and was sent to Egypt to set up Egyptian Barclays Bank. I was educated at famous Roman Catholic Monastic School called Ampleforth College and went on to study history in the London University. However, I left my education unfinished.
Currently, I am working with an Islamic media company based in England and engage myself in dawah activities including lectures on Islam in London’s famous Hyde Park.
What kept you from obtaining a degree?
I grew totally disillusioned with the British educational system. It was thoroughly Eurocentric and projected world history in a way that suggested that the civilisation attained its full glory and apogee in Europe. Having lived in Egypt and seen some of the majestic ruins which only archaeologists have access to, I found the West’s interpretation of history totally fallacious. I began a private study of histories of other peoples of the world, various religious scriptures and philosophy. I was practising Buddhism for nearly three years though never formally embraced it.
Study of the Holy Qur’an immediately attracted me. Its message had a magical appeal and I grew convinced that it was a divine revelation. I believe only Allah guided me, none else. I don’t know what made me deserve Islam.
But anything specific that could have appealed to you?
I was dissatisfied with Christianity from the age of eight. The concept that was taught to us through rhymes such as Hail Mary! Was not at all acceptable to me. While on one hand the Christians described God to be eternal and infinite they felt no compunctions in ascribing birth of God from the womb of Mary. This made me think that Mary must be greater than God.
Secondly, the Christians’ concept of trinity was puzzlesome for me. The similitude like Canadian Maple leaf being one despite three sections appeared utterly unapplicable.
The crunch came when an Egyptian started questioning me. Despite being confused about the Christian belief I was trying to be dogmatic as most white, middle-class, English Christians do. I was flummoxed when he led me to accept that the God died on the crucifix, thus laying bare the hollowness of the Christian claims of eternity and infinity of God. I now came to realise that I was believing in as absurd a concept as two plus two is equal to five all through my adolescent years.
West’s prelaid, programmed life intensely repelled me. I began to question if a person has to live a life merely to get strait-jacketed in a rigorous schedule. I found Europeans struggling a lot to enjoy life. They had no higher purpose in life.
West’s capacity to brainwash its people became plain to me when I discussed the Palestine issue with Egyptians and Palestinians. Several myths-historical, political, economic - were fabricated by the Zionists and propagated unchallenged by the Western media. How could a land vacated by Jews 2000 years earlier be their homeland? I also came to know that existing Jewish people were actually Slavs, not Semites and that Palestinian land was always a green orchard. Israel fabricated the myth of “magical transformation of desert into greenland.”
The American double-speak and hypocrisy began to sink in as I studied the US role in planting and sustaining despotic rulers in Latin America while punishing the Soviet Bloc.
What contrast have you found between people’s lives in Egypt and the UK?
Egyptians were poor, suffered hardships, yet were happy. They left everything in the hands of Allah and forget their miseries when they return home. Prayers help them place their worries before their God. I noticed humility as well as intimacy in Islamic prayers.
But in England I found people shallow, materialistic. They try to be happy but happiness is superficial. Their prayers combined songs, dances, clapping but no humility, nor intimacy with God.
I realised that popular opinion in the West was totally hostage to the Zionist-controlled media. The question of Palestine was one among these. My conversation with Palestinians revealed as to how the West had believed in myths about Israel. First among them was that the Jews had the right to return to their original homeland in Israel. Secondly they conveniently described themselves Semitic while the fact was that most Jews of the world were Slavs who had later converted to Judaism. Thirdly Israel’s economic miracle was theorised to create the economic and scientific myth.
The fact was that I never got to know the Palestinian side of the issue. I got convinced that the people of the West were brainwashed by the media. I found that the US was trying every trick to punish nations indulging in small violations of human rights in the third world but was itself sending death squads into Latin American nations to liquidate their leaders who refused to toe the US line. Such hypocrisy is never criticised by the US media.
How do you find life as a Muslim in the UK?
The Western psyche emphasizes one’s individuality. This is at variance with Islam. Any sincere Muslim feels disturbed. He or she is constantly bombarded by sex and sexuality. Most girls lose virginity by 13 and it is normal for girls to have three to four boyfriends.
The dilemma before Muslims in the West is as to how to integrate with a society so steeped in sex, drugs, drinks and sexual intimacy. And if no integration, then how to save themselves from ghettoisation.
Has the dawah work produced some results in the UK?
Dawah is progressing at a steady pace. Neo-converts have a lot of enthusiasm. They know how dark is the life for a commoner.
How does a common British citizen look at the organisations like the Muslim Parliament?
This kind of terminology is frightening and intimidating for a common citizen. The Muslim Parliament was an organisation founded by Kaleem Siddiqui. I cannot praise him as a italics. Such attempts are doomed to failure. This is an attempt to create artificial unity.
Does the Hizbut Tahrir find approval in Britain?
Again this organisation unnecessarily intimidates the people. The objective of dawah is to invite the people to worship one Allah. The Holy Prophet (Pbuh) did not preach Khilafah. All this is damaging for Islam in the UK. They say the only place to meet a Jew is on a battlefield while a Muslim should expect him to be sitting or standing next to him.
Your family life
I have two wives, both British-born Muslims of Indian origin and six children.
Does not the British law prohibit bigamy?
It does. Yet several Britishers are bigamists. But those who practise bigamy can protect the second marriage under the provisions of “common law wives”. Under this children out of such marriages are legitimate and wives inherit property.
http://mualaf.muslim-menjawab.com/2009/01/testimony-of-abdur-raheem-greene.html
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
“Saya tidak bisa menemukan jawaban-jawabannya di Alkitab. Begitu saya sadar bahwa Trinitas cuma sebuah mitos dan bahwa Tuhan cukup kuat untuk menyelamatkan seseorang tanpa membutuhkan bantuan dari seorang anak atau siapapun, atau apapun.
Semuanya kemudian berubah. Keyakinan saya selama ini terhadap ajaran Kristen runtuh. Saya tidak lagi mempercayai ajaran Kristen atau menjadi seorang Kristiani.”
Jalan untuk meraih cita-citanya sebagai pendeta atau pemimpin misionaris terbuka lebar, namun jalan yang terbentang itu justru membawanya untuk mengenal Islam. Sehingga ia akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim dan melepaskan semua ambisinya, meski pada saat itu ia sudah menjadi pembantu pendeta.
Dia adalah Abdullah DeLancey, seorang warga Kanada yang menceritakan perjalanannya menjadi seorang Muslim. “Dulu, saya adalah penganut Kristen Protestan. Keluarga saya membesarkan saya dalam ajaran Gereja Pantekosta, hingga saya dewasa dan saya memilih menjadi seorang jamaah Gereja Baptist yang fundamental,” kata DeLancey mengawali ceritanya.
Menurutnya, sebagai seorang Kristen yang taat, kala itu dia kerap terlibat dengan berbagai aktivitas gereja seperti memberikan khotbah pada sekolah minggu dan kegiatan-kegiatan lainnya. “Saya akhirnya terpilih sebagai pembantu pendeta. Saya benar-benar ingin mengabdi lebih banyak lagi pada Tuhan dan memutuskan untuk mengejar karir sampai menjadi seorang Pendeta,” tutur DeLancey yang kini bekerja memberikan pelayanan pada para pasien di sebuah rumah sakit lokal.
Keinginannya, sebenarnya menjadi seorang pendeta atau menjadi seorang misionaris. Namun ia berpikir, jika menjadi seorang Pendeta maka akan memperkuat komitmen hidupnya dan keluarganya pada gereja secara penuh. DeLancey pun mendapatkan beasiswa untuk mengambil gelar sarjana di bidang agama.
“Sebelum mengikuti kuliah di Bible College, saya berpikir untuk lebih menelaah ajaran-ajaran Kristen dan saya mulai menanyakan sejumlah pertanyaan-pertanyaan serius tentang ajaran agama saya. Saya mempertanyakan masalah Trinitas, mengapa Tuhan membutuhkan seorang anak dan mengapa Yesus harus dikorbankan untuk menebus dosa-dosa manusia seperti yang disebutkan dalam Alkitab,” ujar DeLancey.
Hal lainnya yang menjadi tanda tanya bagi DeLancey, bagaimana bisa orang-orang yang disebutkan dalam “Kitab Perjanjian Lama” bisa “selamat” dan masuk surga padahal Yesus belum lahir. “Saya dengan serius merenungkan semua ajaran Kristen, yang selama ini saya abaikan,” sambung DeLancey.
Ia mengakui tidak mendapatkan jawaban yang masuk akal dan cukup beralasan atas semua pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar ajaran Kristen itu. “Lantas, untuk apa Tuhan memberikan kita akal yang luar biasa jika kemudian kita tidak boleh menggunakannya. Itulah yang perintahkan agama Kristen, agama Kristen meminta kita untuk tidak menggunakan akal ketika menyatakan bahwa Anda harus punya keyakinan. Sebuah keyakinan yang buta,” kata DeLancey, mengenang pengalamannya di masa lalu.
Sejak itu, DeLancey sadar bahwa selama ini ia sudah menelan ajaran Kristen dengan secara buta dan tidak pernah mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya membuatnya bingung. “Saya sama sekali tidak pernah menyadarinya,” ujar DeLancey.
“Saya tidak bisa menemukan jawaban-jawabannya di Alkitab. Begitu saya sadar bahwa Trinitas cuma sebuah mitos dan bahwa Tuhan cukup kuat untuk “menyelamatkan” seseorang tanpa membutuhkan bantuan dari seorang anak atau siapapun, atau apapun. Semuanya kemudian berubah. Keyakinan saya selama ini terhadap ajaran Kristen runtuh. Saya tidak lagi mempercayai ajaran Kristen atau menjadi seorang Kristiani.”
“Saya meninggalkan gereja untuk selamanya dan istri saya mengikuti langkah saya, karena ia juga mengalami hal yang sama dalam menerima ajaran-ajaran Kristen. Inilah yang akan menjadi awal perjalanan spritual saya, ketika itu saya tanpa agama tapi tetap percaya pada Tuhan,” papar DeLancey.
Hidayah Itupun Datang
DeLancey mengakui, saat-saat itu menjadi saat-saat yang sulit bagi dirinya dan keluarganya yang selama ini hanya tahu ajaran Kristen. Namun ia terus mencari kebenaran dan mulai mempelajari berbagai agama. DeLancey tetap menemui kejanggalan-kejanggalan dalam agama-agama yang dipelajarinya, sampai ia mendengar tentang agama Islam.
“Islam !!! Apalagi itu? Sepanjang yang saya ingat, saya tidak pernah mengenal seorang Muslim dan tidak pernah mendengar Islam, bahkan pembicaraan tentang Islam sebagai salah satu agama di tempat saya tinggal di Kanada kecuali cerita-cerita buruk tentang Islam. Ketika itu, saya sama sekali tidak mempertimbangkan Islam,” tutur DeLancey.
Tapi kemudian, DeLancey mulai membaca-baca informasi tentang Islam dan mulai membaca isi Alquran. Isi Alquran itulah yang mengubah kehidupannya sehingga ia tertarik untuk membaca segala sesuatu tentang Islam. Beruntung, DeLancey menemukan sebuah masjid yang letaknya sekitar 100 mil dari kota tempat tinggalnya.
“Saya lalu membawa keluarga saya ke masjid ini. Dalam perjalanan, saya merasa gugup tapi juga dipenuhi semangat dan saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya akan diizinkan masuk ke masjid karena saya bukan seorang Arab atau Muslim,” kisahnya.
Setelah sampai di masjid, saya pun merasa bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia dan keluarganya disambut hangat oleh seorang Imam dan sejumlah Muslim di masjid itu. “Mereka sangat baik. Tidak seburuk berita-berita tentang Muslim,” aku DeLancey.
Di masjid itu, DeLancey diberi buku yang ditulis oleh Ahmad Deedat dan ia diyakinkan bisa menjadi seorang Muslim. DeLancey membaca semua material-material tentang Islam dan sangat menghargai pemberian itu, karena di perpustakaan di tempatnya tinggal hanya ada empat buku tentang Islam.
“Setelah mempelajari buku-buku itu, saya sangat syok. Bagaimana bisa saya menjadi seorang Kristiani begitu lama dan tidak pernah mendengar ada kebenaran? Saya akhirnya meyakini Islam dan ingin masuk Islam,” kisah DeLancey.
Ia kemudian mengontak komunitas Muslim di kotanya dan pada 24 Maret 2006 saya pergi ke masjid dan mengucapkan syahadah beberapa saat sebelum pelaksanaan salat Jumat, dengan disaksikan komunitas Muslim di kotanya.
“Saya mengucapkan La illaha ill Allah, Muhammadur Rasul Allah, tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Saya pun menjadi seorang Muslim. Hari itu adalah hari paling indah dalam hidup saya. Saya mencintai Islam dan merasakan kedamaian sekarang,” tukas DeLancey mengingat kembali saat-saat ia menjadi seorang Mualaf.
DeLancey mengakui, ia dan keluarganya menghadapi masa-masa sulit setelah memutuskan memeluk Islam terutama dari teman-temannya yang Kristen dan dari kedua orangtuanya. Ia tidak diakui lagi sebagai anak dan teman-temannya yang Kristen tidak mau lagi bicara dengannya. DeLancey dijauhi bahkan ditertawai.
“Saya senang menjadi seorang Muslim, tak masalah jika teman-teman saya sesama orang Kanada memandang saya aneh karena memilih menjadi seorang Muslim. Karena saya sendiri yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya pada Allah setelah saya mati.”
“Allah memberi saya kekuatan dan Allah yang Maha Besar menolong saya untuk melewati masa-masa sulit setelah saya masuk agama Islam. Saya punya banyak sekali saudara seiman sekarang,” tandas DeLancey.
Setelah masuk Islam, DeLancey mengubah nama depannya dan jadilah namanya sekarang Abdullah DeLancey. menjadi orang pertama dan satu-satunya pembimbing rohani Islam yang dibolehkan bekerja di rumah sakit di kotanya. Ia juga mengelola sebuah situs Islam Muslimforlife.com yang dididirikannya.
“Saya seorang Muslim dan saya sangat bahagia menjadi seorang Muslim. Rasa syukur saya panjatkan pada Allah swt,” tukas DeLancey mengakhiri kisah perjalanannya dari seorang pembantu pastor menjadi seorang Muslim.
http://iwanblog.wordpress.com/2013/07/11/kisah-mualaf-kisah-dari-seorang-pembantu-pastor-menjadi-seorang-muslim/
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Kisah Mualaf Inggris, Perceraian Tak Membuatnya Meninggalkan Islam
Pekan kemarin media massa internasional memberitakan bahwa jumlah mualaf di Inggris meningkat pesat, meski agama Islam di negeri itu, seperti umumnya di negara-negara Barat, digambarkan secara negatif dan masih menjadi target kecurigaan masyarakat.
Sensus yang pernah dilakukan di seluruh wilayah Kerajaan Inggris menyebutkan bahwa pertambahan mualaf antara 14.000 sampai 25.000 orang. Tapi sebuah studi terbaru yang dilakukan lembaga think-tank lintas agama Faith Matters menyebutkan bahwa jumlah mualaf di Inggris lebih besar dari estimasi selama ini. Menurut lembaga itu, jumlah mualaf di Inggris mencapai 100.000 orang, dimana setiap tahunnya dipekirakan ada 5.000 warga Inggris yang menjadi orang Islam baru atau mualaf.
Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan jumlah orang yang menjadi mualaf setiap tahunnya di Jerman dan Perancis. Di kedua negara tersebut, diperkirakan hanya 4.000 orang yang mengucapkan syahadat.setiap tahunnya.
Yang unik dari catatan mualaf di Inggris, kebanyakan dari mereka ternyata kaum perempuan. Salah satu dari perempuan Inggris yang memilih jalan Islam itu adalah Chaterine Heseltine, seorang pengajar di sebuah sekolah perawat di London Utara. Meski ia masuk Islam karena menikah dengan seorang pemuda muslim, Heseltine mempelajari Islam dengan serius. Ketika perkawinannya kandas, Heseltine tetap teguh dengan keislamannya. Ia mengakui bahwa agama Islam telah memberikan arah serta tujuan bagi kehidupannya sekarang, dan Heseltine pun tidak segan-segan mematuhi ajaran Islam untuk menutup aurat, mengenakan jilbab.
Heseltine terbilang masih muda, usianya baru 31 tahun. Ia dibesarkan di London Utara dalam keluarga yang tidak pernah mengajarkannya untuk menjalankan ajaran agama apapun. Heseltine lebih memilih menjadi seorang penganut agnostik, sampai akhirnya ia mengenal Islam dan mulai mempelajarinya karena rasa ingin tahu.
"Kalau Anda bertanya saat usia saya masih 16 tahun, apakah saya mau menjadi seorang muslim, saya akan menjawab 'tidak, terima kasih.' Saat itu saya sedang senang-senangnya minum-minum, berpesta dan keluyuran bersama teman-teman," kenang Heseltine tentang masa remajanya.
"Dibesarkan di London Utara, kami tidak pernah menjalankan ibadah agama di rumah; Saya selalu berpikir bahwa agama itu kuno dan sudah tidak relevan lagi," ujarnya.
Heseltine lalu bertemu dengan seorang pemuda muslim yang dipanggilnya Syed. Pemuda muslim--yang kini menjadi suaminya--inilah yang mengubah semua pandangannya tentang agama. "Dia masih muda, seorang muslim, percaya pada Tuhan. Yang membedakannya dengan anak-anak muda lainnya, dia tidak minum mimuman keras," tutur Heseltine tentang Syed.
Ia melanjutkan, "Sebelum bertemu Syed, saya hampir tidak pernah menanyakan apa yang saya yakini dalam hati. Saya memilih menjadi seorang agnostik."
Heseltine dan Syed akhirnya saling jatuh cinta. Namun Heseltine segera menyadari, bagaimana ia bisa hidup bersama kelak jika Syed seorang muslim dan dirinya bukan muslim. Sejak itulah mulai tumbuh rasa ingin tahu Heseltine soal Islam dan ia mulai membaca buku-buku tentang Islam, termasuk membaca terjemahan Al-Quran.
"Awalnya, Al-Quran hanya membuat saya tertarik di tingkat intelektualnya saja, belum menyentuh sisi emosional dan spiritual saya. Saya mengagumi penjelasan dalam Al-Quran tentang alam semesta. Saya kagum bahwa 1.500 tahun lalu, Islam telah memberikan hak-hak pada perempuan, yang tidak dimiliki perempuan di Barat," imbuh Heseltine.
"Agama bukan isu yang 'keren' untuk dibicarakan, saya berusaha tetap menjaga minat saya pada Islam selama tiga tahun. Tapi di tahun pertama kuliah, saya dan Syed memutuskan untuk menikah, dan saya tahu inilah saatnya saya mengatakannya pada kedua orang tua saya," sambungnya.
Kedua orang tua Heseltine tidak terlalu antusias mendengar rencana pernikahan itu. Mereka mengungkapkan kekhawatirannya jika puterinya menikah, lalu menjadi seorang muslimah. Orang tua Heseltine membayangkan hal-hal negatif tentang posisi perempuan dalan rumah tangga muslim. "Tidak bisakah kau hidup bersama dulu (tanpa ikatan pernikahan)?" Ibu Heseltine malah menyarankan "tradisi" yang oleh masyarakat Barat sudah menjadi hal yang lazim.
"Tak seorang pun menyadari betapa seriusnya saya untuk pindah agama. Banyak orang mengira bahwa saya masuk Islam hanya untuk membuat senang keluarga Syed, bukan karena saya meyakini agama itu," tutur Heseltine.
Heseltine dan Syed tetap menikah dengan adat Bengali. Mereka lalu tinggal di sebuah flat. Di awal menikah, Heseltine belum terpikr untuk mengenakan jilbab, ia hanya mengenakan bandana atau topi. Pelan-pelan, Heseltine memulai cara hidup yang islami. "Saya ingin orang menilai dari intelijensia dan karakter saya, bukan dari penampilan," tukasnya.
Sebagai orang yang tidak pernah menjadi bagian komunitas agama, apalagi komunitas agama yang menjadi minoritas di negaranya, Heseltine mengakui harus melakukan penyesuaian diri yang besar. Beberapa temannya ada yang syok melihat Heseltine menjadi seorang muslimah, sebagian lagi bisa menerima 'identitas' barunya itu.
"Apa, tidak minum-minum, tidak pakai narkoba, tidak pacaran? Saya tidak bisa melakukannya," kata seorang teman Heseltine yang syok mengetahui Heseltine sudah menganut agama Islam. Bukan cuma itu, butuh waktu bagi Heseltine untuk mengingatkan teman-temannya yang lelaki agar tidak lagi mencium pipinya saat bertemu. "Saya harus mengatakan, 'maaf, ini soal menjadi seorang muslim'," ungkapnya.
Seiring waktu berjalan, Heseltine malah lebih religius dibandingkan Syed, suaminya. Perbedaan-perbedaan pun mulai bermunculan. Pada akhirnya, Heseltine berpikir bahwa kehidupan perkawinan adalah sesuatu yang berat bagi Syed. Syed makin menjauh dan hubungannya dengan Heseltine makin renggang. Setelah tujuh tahun menikah, perceraian tak bisa dicegah lagi. Heseltine kembali ke orang tuanya.
"Ketika saya pulang ke rumah orang tua, semua orang sangat terkejut karena kemana-mana saya masih mengenakan jilbab. Tapi, jika ada satu hal yang memperkuat keimanan saya, saya merasakan sendiri menjadi seorang muslim yang independen, bebas dari bayang-bayang seorang Syed," ujar Heseltine.
"Islam telah memberi saya tujuan dan arah kehidupan. Saya melibatkan diri dengan organisasi Muslim Public Affairs Committee dan ikut berkampanye melawan Islamofobia, melawan diskriminasi terhadap perempuan, berkampanye untuk mengentaskan kemiskinan, juga berkampanye untuk mendukung rakyat Palestina."
"Ketika banyak orang menyebut kami 'ekstrimis', saya hanya berpikir sebutan itu sangat konyol. Banyak persoalan dalam komunitas Muslim, tapi kalau kita merasa tertekan, hal itu hanya akan mempersulit kita untuk maju," papar Heseltine.
Ia menegaskan, sebagai seorang muslim, ia juga masih merasa sebagai bagian dari masyarakat Inggris. Butuh beberapa saat bagi Heseltine untuk menyesuaikan kedua identitas itu.
"Tapi sekarang, saya merasa percaya menjadi diri saya apa adanya. Saya bagian dari dua dunia itu dan tak seorang pun boleh merampas kedua dunia itu dari saya," tandasnya.
http://stiualhikmah.ac.id/index.php/artikel-ilmiah-2/88-kisah-mualaf-inggris-perceraian-tak-membuatnya-meninggalkan-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Pengusaha nasional terkemuka asal Kota Solo, Robby Sumampow, kini menjadi mualaf. Pengusaha keturunan Tionghoa ini, melafalkan dua kalimat syahadat atas bimbingan Habib Syech bin Abdulqodir Assegaf, 27 Ramadan lalu di kediaman Habib Syech, Pasar Kliwon, Solo.
Kabar Robby masuk Islam, dibenarkan Ketua Panitia Shalawat Akbar dan Halal Bihalal, Heru S Notonegoro. ''Kalau tak salah, 5 Agustus lalu, beliau menyatakan masuk Islam di hadapan Habib Syech. Saya sendiri ikut mengantarkan beliau ke sana,'' tutur Heru S. Notonegoro yang juga kawan dekat Robby Sumampow.
Heru yang selama ini berprofesi sebagai pengacara, menilai langkah Robby Sumampow menjadi mualaf benar-benar sebuah hidayah dari Allah SWT.
''Siapa yang bisa mempengaruhi Pak Robby? Karakter beliau itu sangat keras. Jadi, keputusan beliau masuk Islam ini benar-benar sebuah hidayah. Tak ada yang memaksa atau karena akibat sesuatu yang memaksa beliau. Ini benar-benar sebuah hidayah,'' ungkap Heru lagi.
Robby Sumampow, selama ini dikenal sebagai pemilik restoran dan hiburan serta Hotel Amarelo dan Akasia. Di tingkat nasional, Robby adalah mantan Presiden Komisaris PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk.
Sejak 2007, Robby Sumampow adalah Komisaris Utama PT Indo Kordsa. Ia juga menjabat sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Citra Marga Nusaphala Persada tbk PT. Dia, juga menjabat sebagai Direktur PT Branta Mulia Tbk.
Kabar Robby masuk Islam, dibenarkan Ketua Panitia Shalawat Akbar dan Halal Bihalal, Heru S Notonegoro. ''Kalau tak salah, 5 Agustus lalu, beliau menyatakan masuk Islam di hadapan Habib Syech. Saya sendiri ikut mengantarkan beliau ke sana,'' tutur Heru S. Notonegoro yang juga kawan dekat Robby Sumampow.
Heru yang selama ini berprofesi sebagai pengacara, menilai langkah Robby Sumampow menjadi mualaf benar-benar sebuah hidayah dari Allah SWT.
''Siapa yang bisa mempengaruhi Pak Robby? Karakter beliau itu sangat keras. Jadi, keputusan beliau masuk Islam ini benar-benar sebuah hidayah. Tak ada yang memaksa atau karena akibat sesuatu yang memaksa beliau. Ini benar-benar sebuah hidayah,'' ungkap Heru lagi.
Robby Sumampow, selama ini dikenal sebagai pemilik restoran dan hiburan serta Hotel Amarelo dan Akasia. Di tingkat nasional, Robby adalah mantan Presiden Komisaris PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk.
Sejak 2007, Robby Sumampow adalah Komisaris Utama PT Indo Kordsa. Ia juga menjabat sebagai Komisaris Utama dan Komisaris Citra Marga Nusaphala Persada tbk PT. Dia, juga menjabat sebagai Direktur PT Branta Mulia Tbk.
gusti_bara- SERSAN MAYOR
-
Posts : 628
Location : braling
Join date : 12.08.12
Reputation : 19
Re: Para MUALAF
thanks sharingnya :)
Pendeta Masuk Islam Setelah Membaca Injil Hebron
Thomas Leiden adalah keturunan solok dari sabar Malaysia. Semula ia penganut roman katolik. Ia sempat mengenyam pendidikan di seminary kepaderian Vatikan, Italia atas biaya persatuan Kristen Sabah.
Semasa menjadi paderi, Thomas kerap membuat catatan sederhana mengenai Islam, Buddha, hindu, dan Kristen untuk menambah pengetahuan. Ini semua dipicu oleh konflik diri yang terus menguat terhadap eksistensi paderi. Seorang paderi diberi tanggung jawab besar untuk mengampuni dosa manusia. Hal inilah yang membuat keyakinan iman Thomas mulai digerogoti keraguan. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa mengampuni dosa manusia lain, sedangkan para Nabi dan Rosul saja tidak mampu mengampuni dosa manusia. Keraguan ini kemudian mendorong Thomas untuk lebih serius mempelajari agama Islam.
Semasa belajar di Vatikan, suatu hari ia diberi tugas oleh seorang paderi untuk menjaga sakristi perpustakaan yang terdapat di gereja. Sebelum meninggalkan Thomas, seraya menyerahkan sejumlah kunci almari perpustakaan tersebut, paderi itu berpesan agar Thomas tidak membuka salah satu almari disana. Tentu saja larangan ini membuat Thomas heran, sementara kunci almari tersebut diserahkan kepadanya. Larangan ini justru membuat Thomas penasaran. Akhirnya, ia pun mengambil sebuah kitab injil berbahasa hebron dalam almari tersebut. Thomas menemukan banyak sekali kebenaran, terutama yang berkaitan dengan agama islam, yang selama ini sama sekali tidak pernah diungkap. Thomas berpikir ini barangkali sengaja disembunyikan. Dengan kesadarannya, injil hebron itu pun disembunyikan untuk dikaji lagi lebih mendalam.
Suasana pun gempar karena kehilangan injil hebron itu. Namun tak sampai mencuat ke permukaan. Paderi yang pernah menitipkan kunci sakristi perpustakaan menanyai Thomas apakah ia yang mengambil injil hebron itu. Jelas saja, Thomas menjawab tidak. Ia takkan mengakui bahwa sebenarnya dialah yang mengambil injil hebroon itu. Sebab ia ingin menguak kebanaran yang terkandung dalam kitab tersebut.
Akhirnya, pada saat pembaiatan sumpah para paderi, disebabkan injil tersebut hilang, mereka meletakkan kitab suci Al-Quran (yang dibalut dan senantiasa tersimpan di almari) sebagai ganti injil hebron tadi. Al-Quran digunakan di dalam upacara mengangkat sumpah. Semua paderi tidak tahu hal ini kecuali Thomas.
Pada akhirnya Thomas memeluk islam dan sampai saat ini bekerja di Majelis Agama Islam Malaka. (Kisah Para Mualaf Merengkuh Hidayah, 2010)
http://bloghidayah.wordpress.com/2012/02/08/pendeta-masuk-islam-setelah-membaca-injil-hebron/
https://www.facebook.com/IslamicMotivationIndonesia
Pendeta Masuk Islam Setelah Membaca Injil Hebron
Thomas Leiden adalah keturunan solok dari sabar Malaysia. Semula ia penganut roman katolik. Ia sempat mengenyam pendidikan di seminary kepaderian Vatikan, Italia atas biaya persatuan Kristen Sabah.
Semasa menjadi paderi, Thomas kerap membuat catatan sederhana mengenai Islam, Buddha, hindu, dan Kristen untuk menambah pengetahuan. Ini semua dipicu oleh konflik diri yang terus menguat terhadap eksistensi paderi. Seorang paderi diberi tanggung jawab besar untuk mengampuni dosa manusia. Hal inilah yang membuat keyakinan iman Thomas mulai digerogoti keraguan. Bagaimana mungkin manusia biasa bisa mengampuni dosa manusia lain, sedangkan para Nabi dan Rosul saja tidak mampu mengampuni dosa manusia. Keraguan ini kemudian mendorong Thomas untuk lebih serius mempelajari agama Islam.
Semasa belajar di Vatikan, suatu hari ia diberi tugas oleh seorang paderi untuk menjaga sakristi perpustakaan yang terdapat di gereja. Sebelum meninggalkan Thomas, seraya menyerahkan sejumlah kunci almari perpustakaan tersebut, paderi itu berpesan agar Thomas tidak membuka salah satu almari disana. Tentu saja larangan ini membuat Thomas heran, sementara kunci almari tersebut diserahkan kepadanya. Larangan ini justru membuat Thomas penasaran. Akhirnya, ia pun mengambil sebuah kitab injil berbahasa hebron dalam almari tersebut. Thomas menemukan banyak sekali kebenaran, terutama yang berkaitan dengan agama islam, yang selama ini sama sekali tidak pernah diungkap. Thomas berpikir ini barangkali sengaja disembunyikan. Dengan kesadarannya, injil hebron itu pun disembunyikan untuk dikaji lagi lebih mendalam.
Suasana pun gempar karena kehilangan injil hebron itu. Namun tak sampai mencuat ke permukaan. Paderi yang pernah menitipkan kunci sakristi perpustakaan menanyai Thomas apakah ia yang mengambil injil hebron itu. Jelas saja, Thomas menjawab tidak. Ia takkan mengakui bahwa sebenarnya dialah yang mengambil injil hebroon itu. Sebab ia ingin menguak kebanaran yang terkandung dalam kitab tersebut.
Akhirnya, pada saat pembaiatan sumpah para paderi, disebabkan injil tersebut hilang, mereka meletakkan kitab suci Al-Quran (yang dibalut dan senantiasa tersimpan di almari) sebagai ganti injil hebron tadi. Al-Quran digunakan di dalam upacara mengangkat sumpah. Semua paderi tidak tahu hal ini kecuali Thomas.
Pada akhirnya Thomas memeluk islam dan sampai saat ini bekerja di Majelis Agama Islam Malaka. (Kisah Para Mualaf Merengkuh Hidayah, 2010)
http://bloghidayah.wordpress.com/2012/02/08/pendeta-masuk-islam-setelah-membaca-injil-hebron/
https://www.facebook.com/IslamicMotivationIndonesia
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Jamilah Kolocotronis : Bercita-cita menjadi pendeta malah masuk Islam
Jamilah Kolocotronis, melalui jalan berliku untuk sampai menjadi seorang Muslim. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justeru saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya. Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertamakalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun'im dari Thailand. "Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah," kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun'im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun'im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun'im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun'im.
Jamilah pun mengundang Mun'im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun'im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun'im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah "Muslim" dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun'im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun '70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitan bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.
"Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An'am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam," ujar Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. "Saya cuma ingin menemukan kebenaran," kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.
"Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai," tukas Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika
http://mualaf.com/index.php/muallaf-foreigner/item/693-cibercita-cita-menjadi-pendeta-malah-masuk-islam
Jamilah Kolocotronis, melalui jalan berliku untuk sampai menjadi seorang Muslim. Uniknya, ia mendapatkan hidayah dari Allah swt mengikrarkan dua kalimat syahadat, justeru saat ia menempuh pendidikan demi mewujudukan cita-citanya menjadi seorang pendeta agama Kristen Lutheran yang dianutnya. Kisah Jamilah berawal pada tahun 1976. Meski kuliah di sebuah universitas negeri, ia masih memendam keinginan untuk menjadi pendeta. Jamilah lalu mendatangi seorang pastor di sebuah gereja Lutheran dan menyampaikan keinginannya untuk membantu apa saja di gereja. Pastor itu kemudian meminta Jamilah untuk mewakilinya di acara piknik untuk para mahasiswa baru dari negara lain. Dalam acara ini, untuk pertamakalinya Jamilah bertemu dengan seorang Muslim.
Muslim itu bernama Abdul Mun'im dari Thailand. "Ia punya senyum yang manis dan sangat sopan. Saat kami berbincang-bincang, ia seringkali menyebut kata Allah," kata Jamilah.
Jamilah mengaku agak aneh mendengar Mun'im menyebut nama Tuhan, karena sejak kecil ia diajarkan bahwa orang di luar penganut Kristen akan masuk neraka. Saat itu, Jamilah merasa bahwa Mun'im adalah golongan orang yang akan masuk neraka, meski Mun'im percaya pada Tuhan dan berperilaku baik. Jamilah bertekad untuk bisa mengkristenkan Mun'im.
Jamilah pun mengundang Mun'im datang ke gereja. Tapi betapa malu hatinya Jamilah ketika melihat Mun'im datang ke gereja dengan membawa al-Quran. Usai kebaktian, Jamilah dan Mun'im berbincang tentang Islam dan al-Quran. Selama ini, Jamilah hanya mendengar istilah "Muslim" dan memahaminya dengan hal-hal yang negatif. Kala itu, sejak era tahun 1960-an warga kulit putih di AS meyakini bahwa warga Muslim kulit hitam ingin menyingkirkan warga kulit putih.
Selama dua tahun, Jamilah tetap melakukan kontak dengan Mun'im. Lewat aktivitasnya di sebuah Klub International, Jamilah juga bertemu dengan beberapa Muslim lainnya. Jamilah tetap berusaha melakukan kegiatan misionarisnya untuk memurtadkan mereka dan masih punya keinginan kuat untuk menjadi pendeta meski waktu itu, di era tahun '70-an gereja-gereja belum bisa menerima perempuan di sekolah seminari.
Waktu terus berjalan, kebijakan pun berubah. Setelah menyelesaikan studinya di universitas, sebuah seminari Lutheran mau menerimanya sebagai siswa. Jamilah pun langsung mengemasi barang-barangnya dan pergi ke Chicago untuk memulai pelatihan menjadi pendeta.
Tapi, cuma satu semester Jamilah merasakan semangat belajarnya di seminari itu. Jamilah sangat kecewa dengan kenyataan bahwa seminari itu tidak lebih sebagai tempat untuk bersosialisasi dimana pesta-pesta digelar dan minum-minuman keras sudah menjadi hal yang biasa. Jamilah makin kecewa ketika seorang profesor mengatakan bahwa para cendikiawan Kristen mengakui bahwa Alkitan bukan kitab suci yang sempurna, tapi sebagai pendeta mereka tidak boleh mengungkapkan hal itu pada para jamaah gereja. Ketika Jamilah bertanya mengapa, jawabannya tidak memuaskan dan ia diminta menerima saja keyakinan itu.
Jamilah akhirnya memutuskan meninggalkan seminari dan pulang ke rumah. Ia memutuskan untuk lebih meluangkan waktu untuk mencari kebenaran. Di tengah pencariannya itu, Jamilah diterima kerja sebagai sekretaris di daerah pinggiran St. Louis tak jauh dari rumahnya.
Mencari Kesalahan al-Quran
Suatu hari Jamilah masuk ke sebuah toko buku dan menemukan al-Quran di toko buku itu. Jamilah tertarik untuk membelinya karena ia ingin mencari kelemahan dalam al-Quran. Jamilah berpikir, sebagai orang yang bergelar sarjana di bidang filosofi dan agama serta pernah mengenyam pendidikan di seminari, pastilah mudah baginya menemukan kelemahan-kelemahan al-Quran sehingga ia bisa mempengaruhi teman-teman Muslimnya bahwa mereka salah.
"Saya baca al-Quran dan mencari kesalahan serta ketidakkonsistenan dalam al-Quran. Tapi saya sama sekali tak menemukannya. Saya malah terkesan saat membaca Surat Al-An'am ayat 73. Untuk pertama kalinya saya ingin mengetahui lebih banyak tentang Islam," ujar Jamilah.
Jamilah memutuskan untuk kembali ke universitasnya dulu dan mengambil gelar master di bidang filosofi dan agama. Pada saat yang sama, selain mengunjungi kebaktian di gereja, Jamilah juga datang ke masjid pada saat salat Jumat. Saat itu, Jamilah mengaku belum siap menjadi seorang Muslim. Masih banyak ganjalan pertanyaan memenuhi kepalanya.
Namun Jamilah tetap melanjutkan pencariannya tentang agama. Ia banyak mendapat penjelasan dari teman-temannya di universitas yang Muslim tentang berbagai keyakinan dalam Kristen yang selama ini ketahui. Selain mempelajari Islam, Jamilah juga mempelajari agama Budha. "Saya cuma ingin menemukan kebenaran," kata Jamilah.
Mengucap Dua Kalimat Syahadat
Seiring berjalannya waktu, Jamilah merasakan kecenderungannya pada Islam pada musim panas 1980. Satu hal yang masih mengganggu pikirannya ketika itu adalah mengapa orang Islam harus berwudhu sebelum salat. Ia menganggap itu tidak logis karena manusia seharusnya bisa mengakses dirinya pada Tuhan kapan saja. Namun pertanyaan yang mengganggu itu akhirnya terjawab dan Jamilah bisa menerima jawabannya.
Akhirnya, malam itu Jamilah membulatkan tekadnya untuk menerima Islam sebagai agamanya. Ia pergi ke sebuah masjid kecil dekat universitas. Kala itu, malam ke-9 di bulan Ramadhan, Jamilah mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan oleh sejumlah pengunjung masjid.
"Butuh beberapa hari untuk beradaptasi, tapi saya merasakan kedamaian. Saya sudah melakukan pencarian begitu lama dan sekarang saya merasa menemukan tempat yang damai," tukas Jamilah.
Setelah menjadi seorang Muslim, awalnya Jamilah menyembunyikan keislamannya dari teman-teman di kampus bahkan keluarganya. Menceritakan pada keluarganya bahwa ia sudah menjadi seorang Muslim bukan persoalan gampang buat Jamilah. Begitupula ketika ia ingin mengenakan jilbab. Tapi jalan berliku dan berat itu berhasil dilaluinya. Kini, Jamilah sudah berjilbab, ia tidak jadi pendeta tapi sekarang ia menjadi kepala sekolah di Salam School, Milwaukee. Di tengah kesibukannya mengurus enam puteranya, Jamilah mengajar paruh waktu dan menulis novel bertema Muslim Amerika
http://mualaf.com/index.php/muallaf-foreigner/item/693-cibercita-cita-menjadi-pendeta-malah-masuk-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
ChuaGim Sam lahir dari keluarga yang pemeluk taoisme. Namun ia dan orangtuanya, seperti penganut taoisme pada umumnya, tidak paham dengan sejarah dan prinsip-prinsip ajaran taoisme, karena mereka menerima keyakinan itu atas dasar keyakinan turun temurun. Begitu pula Chua Gim Sam, sampai usian 9 tahun menerima agama turun temurun itu tanpa banyak bertanya.....
Mengapa sampai usia 9 tahun? Karena pada saat itu, seorang guru dan teman-temannya di sekolah mengatakan bahwa mereka semua harus menjadi Kristiani. Jika mereka tidak mau menjadi seorang Kristiani, mereka akan dihukum mati. Chua kecil sangat takut akan ancaman itu. Karenanya, sejak saat itu, ia memeluk dua agama; taoisme karena turunan dari keluarga, dan Kristen karena takut akan ancaman. Sampai beranjak remaja, Chua yang asal Singapura, tidak bisa menentukan agama mana yang ia praktekkan dalam kehidupan sehari-seharinya.
Di Sekolah Menengah Pertama, Chua memilih agama Budha sebagai pilihan mata pelajaran agamanya di sekolah, dengan alasan agama itu paling mudah dipelajari. Doktrin agama Budha begitu berpengaruh pada hidupnya ketika itu, karena menurutnya, ajaran agama ini sangat logis dan praktis. Meski menurut Chua, ajaran Budha kurang mengenalkan konsep Tuhan sebagai Penguasa Tertinggi.
Petualangan Chua belajar agama berlanjut, ketika ia masuk ke sekolah milik misionaris St Andrew Junior High School. Di sekolah ini, seluruh siswa--kecuali yang muslim--wajib mengikuti pelajaran agama Kristen yang berbasis ajaran Protestan Anglikan. Seorang pastor yang mengajar prinsip-prinsip ajaran agama ProtestanAnglikan membuat Chua yang ketika itu berusia 17 tahun, begitu terkesan sehingga ia yakin akan kebenaran ajaran agama itu.
Sampai lulus sekolah menengah atas, dan ia bergabung dalam akademi kemiliteran, Chua tidak pernah bisa betah ikut dalam satu jamaah gereja sesuai ajaran Kristen yang diyakininya. Ia merasa belum menemukan ajaran Kristen yang membuat hatinya tenang dan damai.
Tapi menjelang tahun terakhirnya di sekolah kemiliteran, seorang teman mengajaknya bergabung dengan gereja St. John St. Margaret. Di gereja inilah Chua merasa betah dan aktif dalam kegiatan gereja yang mengurusi anak-anak dan olah raga.
Mengenal Islam
Saat sedang giat-giatnya di gereja, Chua bertemu dengan seorang muslimah. Chua berusaha meyakinkan muslimah itu tentang ajaran Kristen di gerejanya, tapi ia terkesima dengan keteguhan muslimah tersebut yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, meski si muslimah tersebut tidak bisa menjelaskan kebenaran yang diyakininya itu.
Tapi peristiwa itu mendorong Chua untuk bertanya tentang Islam dengan seorang temannya yang juga muslimah. Lagi-lagi, Chua tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, karena temannya mengaku tidak mampu menjelaskan lebih mendalam tentang Islam. Sahabat Chua yang muslimah itu lalu menyarankan Chua untuk datang ke Darul Arqam jika ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Darul Arqam adalah sebuah Asosiasi Mualaf Singapura.
Chua mengikuti saran temannya itu, meski ia memandang Islam sebagai agama terorisme dan agama yang tidak masuk akal. "Alasan saya cuma, jika agama Islam adalah agama yang baik, maka penganutnya seharusnya juga manusia yang baik," kata Chua.
Selama ini, ujarnya, dari sedikit teman muslim yang dikenalnya, ada yang baik dan ada yang menurutnya bukan muslim yang baik. Ketika di sekolah menengah pertama, Chua ingat ada satu teman muslimnya, tapi tidak pernah berusaha menyebarkan ajaran Islam padanya.
"Keluarga saya juga tidak senang dengan Islam, karena mereka melihat apa terjadi di Timur Tengah dan melihat orang-orang muslim asal Malaysia yang menjadi pegawai ayah saya, rata-rata malas dan berperilaku kurang baik," ungkap Chua.
Namun Chua tetap datang ke Darul Arqam, dan langsung mengikuti kelas orientasi. Ia dikenalkan dengan seorang pembimbing bernama Remy. Dari Remi, Chua mengetahui dua hal yang membuatnya sangat tercengang. Pertama, bahwa Islam bukan agama yang berdasarkan pada "perasaan" seperti agama Kristen. Kedua, Remi mengatakan padanya, "Jangan terburu-buru masuk Islam, sampai kamu mengajukan pertanyaan sebanyak yang ingin kamu tahu. Kalau kamu sudah tidak punya pertanyaan lagi, barulah kamu memutuskan masuk Islam."
"Dalam ajaran Kristen, Anda tidak bisa mengajukan pertanyaan karena semakin banyak pertanyaan yang Anda ingin tahu jawabannya, Anda akan semakin bingung," kata Chua membandingkan pengalamannya selama ini sebagai Kristiani.
Setelah merenungkan dua hal penting tadi. Remi merekomendasikan Chua sebuah buku berjudul "Islam in Focus". Isi buku itu membuat Chua syok. Ia menemukan banyak hal yang tidak masuk akal dalam ajaran Kristen tapi tidak pernah ada penjelasannya, justru ia temukan jawabannya dalam buku tersebut. Ia juga syok menemukan fakta ada beberapa kesamaan prinsip dalam Islam dengan prinsip dalam agama Budha yang pernah dipelajarinya.
Sepekan kemudian, Chua kembali datang ke Darul Arqam dan mengikuti kelas untuk pemula. Di kelas ini, Chua belajar tentang rukun Iman dan rukun Islam. Tapi kelas itu membuatnya bosan sehingga Chua tidak pernah hadir lagi. Ia lebih memilih membaca buku tentang Islam berjudul "The Choice, Islam and Christianity" yang ditulis Ahmad Deedat dan "The Basis of Muslim Belief" yang ditulis oleh Gary Millier. Chua sangat terkesan dengan buku itu dan memutuskan untuk bertemu lagi dengan Remi.
Remi lalu mengenalkan Chua dengan Ustaz Zulkifli, yang kemudian menjadi teman Chua berdiskusi tentang Islam selama beberapa minggu. "Selama saya belajar Islam, saya juga berusaha mencari informasi tentang Islam dari buku-buku Kristen, tapi isinya menjelek-jelekkan Islam. Dengan bekal pengetahuan saya tentang Islam, saya bisa menyangkal semua klaim palsu yang dibuat oleh orang-orang Kristen tentang Islam," tukas Chua.
Ia terus belajar tentang Islam dengan membaca Al-Quran dan membaca buku-buku tentang Islam. Chua juga berdiskusi dengan sejumlah ustaz yang berusaha membantunya menemukan jalan kebenaran Islam.
Suatu hari, kata Chua, Ustadz Zulkifli menanyakan padanya "Kapan kamu akan masuk Islam". Chua tak bisa menjawab pertanyaan itu, tapi ia memikirkannya dalam-dalam sampai ia tidak bisa menemukan satu alasan pun untuk tidak memeluk Islam. Akhirnya, Chua memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menambahkan kata "Ihsan"--sebagai nama muslimnya--di depan nama aslinya.
Keluarga Chaos
Keluarga Ihsan Chua Gim Sam awalnya tidak menganggap serius bahwa anak mereka sudah memeluk Islam. Mereka, kata Ihsan, berpikir bahwa dirinya cuma memakai nama Islam tapi tetap akan makan babi dan bergaya hidup nonmuslim.
Tapi begitu keluarganya tahu bahwa ia benar-benar sudah menjadi seorang muslim dan menjalankan ajaran Islam, situasinya jadi chaos dan makin runyam, ketika Ihsan Chua ikut berpuasa di bulan Ramadan. Ia nyaris diusir kedua orang tuanya. Selama berbulan-bulan, Ihsan mengalami tekanan dari keluarganya.
"Saya tidak makan di rumah. Saya dituding tidak mencintai keluarga saya lagi. Hampir setiap hari terjadi pertengkaran antara saya dan keluarga. Saya berusaha menjelaskan tentang Islam pada mereka, tapi mereka tidak tahu," imbuh Ihsan Chua.
Lama kelamaan, ia jadi takut pulang ke rumah. Ihsan pulang jika sudah larut malam. Namun suatu malam, ibunya datang mendekati dan mengatakan bahwa ia tidak perlu pulang ke rumah larut malam. Ibunya bilang bahwa ayahnya sangat khawatir melihat Ihsan selalu pulang malam.
"Ibu juga menawarkan akan memasak makanan buat saya secara terpisah," kata Ihsan yang tentu saja bahagia melihat perubah sikap orang tuanya.
Sekarang, hampir semua keluarganya makan makanan halal. "Ibu lebih nyaman memasak makanan yang bisa dimakan seluruh keluarga, termasuk anak lelakinya yang muslim. Situasi di rumah pun makin membaik. Alhamdulillah," tandas Ihsan menutup kisahnya menjadi seorang muslim.
http://kisahceritaislamm.blogspot.com/2012/12/cerita-cerita-nyata-chua-gim-sam-kisah.html
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
KOKO LIEM
Ustadz Koko Liem, Nama lengkap pria berkacamata ini adalah H. Mohammad Ustman Ansori, SQ, MA, al-Hafidz. Masa kecil, ia memiliki nama Tionghoa “Liem Hai Thai”, Sebagai muallaf, jalan hidupnya justru masuk di jalur dakwah Islam setelah berproses panjang untuk menemukan fitrahnya dan menekuni ilmu tafsir. Namanya pertama kali berkibar sejak menjadi finalis dalam ajang Mimbar Dai yang digagas oleh TPI, Meskipun berhasil menjadi finalis, Koko Liem gagal menembus lima besar ajang tersebut. Sejak saat itu, kesempatan dakwahnya justru makin besar karena sudah banyak orang mengenalnya. Banyak pihak yang memanggilnya untuk mengisi ceramah di pengajian-pengajian. Liem pun sering mengisi ceramah diberbagai acara di televisi dan radio. Liem mempunyai gaya yang khas ketika berdakwah. Dengan berbalut baju tradisional china, Liem tak malu menonjolkan identitasnya sebagai keturunan etnis Tionghoa. Bahkan disetiap dakwahnya, ia selalu menyisipkan Bahasa Mandarin. Lewat mimiknya yang jenaka, Liem selalu melontarkan banyolan yang membuat jamaahnya begitu antusias mendengarnya. “Saya ini orang Tionghoa bu dengan ciri khas mata yang sipit. Jadi, kalau ibu mengatakan mata saya belo, berarti itu fitnah bu,” candanya kepada jamaahnya. B. Masa Kecil Koko Liem & Proses Masuk Islam Segala sesuatu membutuhkan proses, termasuk ketika seorang manusia menemukan fitrahnya sebagai muslim. Proses panjang penuh liku membawa sosok Liem Hai Thai mengenal Islam. Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Liem dibesarkan dalam keluarga Budha yang taat. Setiap menjelang magrib, dia bersama keluarganya secara rutin menyembah Pay Pekkong, arwah leluhur dari orang ternama. Ayahnya adalah seorang aktivis Klenteng. Liem lahir di Dumai, Riau, 17 Januari 1979 dari pasangan bernama Liem Guanho dan Laihua. Liem merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Perkenalannya dengan islam terjadi ketika dirinya menginjak kelas dua di sekolah dasar negeri. Ketika anak-anak non muslim seperti dirinya keluar kelas saat pelajaran agama Islam berlangsung, ia memilih tidak keluar kelas. Liem justru betah mendengarkan kisah Nabi-nabi yang diceritakan oleh guru agama Islam di sekolahnya. Ketertarikannya terhadap Islam pun tumbuh. Lime kecil selalu hadir dalam perayaan hari besar Islam di sekolah. Meski demikian, Liem tetap menjalankan kewajibannya untuk menyembah Pey Pekkong bersama keluarganya. Perasaan berkecamuk dalam diri Liem kian tumbuh ketika dirinya mendengar suara adzan setiap hari. Perasaan itu kian menjadi ketika mendengar takbir menjelang Idul Fitri. Bahkan, ia mengaku takbir yang ia dengar sewaktu kecil begitu merasuk dalam sanubarinya hingga menghadirkan setetes air mata. Menginjak SMP, Liem yang diterima masuk SMP Syeikh Umar, Dumai Riau,tetap melanjutkan pergaulannya dengan Islam melalui kebiasaanya mengikuti pelajaran agama Islam. Liem yang beranjak dewasa, begitu kagum dengan kisah keimanan Nabi Ibrahim AS. Namun sebagai anak dari suhu Budha, setiap hari minggu Koko Liem diwajibkan oleh orangtuanya untuk berangkat ke sekolah agama Budha di Wihara Dumai Pekanbaru Riau. Diantara dua pendidikan ini ajaran Islamlah yang menurutnya sesuai dengan logika. Ibadah dalam Islam menggunakan satu bahasa berbeda dengan Budha yang menggunakan beragam bahasa sesuai dengan sukunya masing-masing. Kegundahan hati yang kian besar, membuat dirinya bertanya pada sang kakak, Liem Hai Seng. Kakak Liem yang juga muallaf dan mengganti namanya menjadi Muhammad Abdul Nashir ini menyarankan kepada sang adik untuk mengikuti kata hatinya. C. Koko Liem Masuk Islam Ketertarikan Koko Liem terhadap Islam memuncak saat Hj. Saniati guru agama Islam menceritakan kisah Nabi Ibrahim. Ibrahim dilahirkan bukan dari orangtua yang mengenal Allah. Ayahnya yang bernama Adzar seorang penyembah sekaligus pembuat patung yang dijadikan Tuhan. Akan tetapi Allah memberikan hidayah akal kepada Ibrahim. Secara logika patung yang terbuat dari batu itu tidak mungkin bisa berbicara apalagi menolong hambanya sampai akhirnya Ibrahim menemukan Islam sebagai pegangan hidupnya. Kondisi ini sama persis dengan apa yang dialami oleh Koko Liem anak dari ayah sang penyembah patung Tao Pekong. “Disinilah akal saya berperan. Disamping Allah memberikan hidayah akal, Ia juga memberi hidayah agama” ujar peran Kyai di Sinetron Kiamat Sudah Dekat 3. Maka pada 21 Juli 1994 ia pergi diam-diam ke Duri Riau yang jaraknya 90 km dari Dumai tempat tinggalnya. Tepat di Masjid Raya Pasar Duri ia mengucapkan kalimat syahadat dihadapan H. Arwan Mahiddin dengan disaksikan oleh ribuan jamaah. Setelah masuk islam dia berganti nama menjadi Muhammad Utsman Ansori D. Kejadian Pahit Setelah Koko Liem Masuk Islam Dengan modal ilmu pengetahuan agama yang diajarkan disekolahnya ditambah dengan bimbingan dari teman-teman muslimnya, anak yang waktu itu masih menginjak kelas 2 SMP berusaha rutin melakukan ibadah salat lima waktu secara sembunyi-sembunyi di kamar atau di rumah temannya. Suatu hari pemilik nama Islam Muhammad Utsman Anshori ini lupa mengunci pintu kamarnya, seusai Salat Isya tiba-tiba ayahnya masuk dan kaget melihat sajadah dihadapannya beserta pakaian muslim serta peci yang tidak sempat dilepas oleh Koko Liem. “Kamu masuk Islam apa tidak?” bentak ayahnya. Dengan jujur ia membenarkan keislamannya. “Nggak mungkin saya nggak jujur, Islam mengajarkan itu” kenang lulusan S2 Konsentrasi Ilmu Tafsir, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. Tak pelak lagi ia langsung diusir oleh ayahnya saat itu juga. Sementara sang ibu tercinta Laihwa hanya diam tidak berkutik melihat anaknya diusir oleh suaminya. Kurang dua minggu dari keislamannya, Koko Liem dengan pakaian yang menempel di badan dan uang seratus ribu hasil tabungannya berjalan sendiri di kegelapan malam menyusuri sepanjang jalan Dumai yang ditumbuhi banyak pepohonan besar menuju Duri sejauh 90 km. Tidak ada tempat yang dituju saat itu karena ayahnya sudah menghubungi sanak keluarga di Riau untuk tidak menerima Koko Liem anak durhaka yang telah keluar dari agama Budha. “Saya boleh tidak punya harta, saya boleh tidak punya orangtua tapi jangan sampai saya tidak punya Allah.” ujar finalis mimbar da’i di TPI. Musala demi musala ia singgahi sebagai tempat menginap sementara, sampai akhirnya dihari kedua pengembaraanya Koko Liem singgah di musala Utama Simpang Padang Duri Riau. Di tempat ini ia berkenalan dengan imam musala Ustadz Faisal sekaligus menjadi guru pertama yang mengajarkan banyak hal tentang Islam. Musala tempat pemeran bintang iklan bersama Dedy Mizwar ini menginap suatu hari mengadakan peringatan hari besar umat Islam yang diisi oleh ustadz Ali Mukhsin pengasuh pondok pesantren Jabal Nur di Kandis Riau. Seusai acara para jamaah memperkenalkan Liem Hai Thai kepada ustadz Ali Mukhsin. Dengan kemurahan hati beliau bersedia mengangkat Koko Liem sebagai anaknya. Koko Liem kembali menyambung pendidikannya yang terputus sejak kelas 2 SMP ke sekolah baru di kelas 3 Tsanawiyyah YLPI (Yayasan Lembaga Pendidikan Islam) Mutiara Duri Riau. Selama tiga minggu tinggal di ayah angkatnya, Koko Liem mencoba berkunjung ke rumah orangtuanya di jalan Tegalega bukit Datuk Dumai Riau. Setiba di rumah orangtuanya Koko Liem kembali diusir oleh ayahnya. Namun tindakan ayahnya ini tidak menyurutkan nyali Koko Liem untuk terus menjalin silaturahim dengan orangtua. Tiga hari sekali Koko Liem rutin berkunjung ke rumah orangtuanya. “Kalau kamu diusir dari rumah itu masih mending, Rasul lahir di Makkah ia diusir dari negaranya, hijrah ke Madinah namun kemudian beliau jadi besar” ujar ustadz Ali Mukhsin menyemangati anak angkatnya. Teringat dengan kisah Nabi Nuh yang disuruh oleh Allah membuat perahu. Sedangkan waktu itu di tempat nabi Nuh tidak ada pohon. Maka nabi Nuh terlebih dahulu menanam pohon. Setelah sekian lama menunggu akhirnya pohon tersebut ditebang dan dijadikan perahu. Waktu yang sangat panjang untuk memperjuangkan perintah Allah. Maka tidak heran jika usia nabi Nuh mencapai 960 tahun. Kisah ini menjadi prinsip suami dari Ima Ismawati. S.Thi ini untuk tetap memperjuangkan silaturahim dengan orangtua. Ia yakin suatu waktu usahanya akan berhasil. Tiga bulan kemudian keinginan pengasuh Pondok Pesantren Pembinaan Muallaf Shengho Budaya Sentul Selatan Jawa Barat ini terwujud. Ayahnya menerima dengan ikhlas keislaman anaknya. Tapi masalah baru kemudian muncul Bibi dari ayahnya Ako Kotiu memanggil Koko Liem ke rumahnya dan memaksa untuk kembali menyembah Tao Pekong dengan iming-iming uang tiga juta rupiah. “Bi, jangankan uang tiga juta! andaikan rumah bibi yang besar ini bisa bibi jadikan emas kemudian diberikan kepada saya untuk mengajak saya masuk Budha maka demi Tuhan saya tidak akan meninggalkan agama Islam” tegas penceramah yang pernah mengisi di berbagai televisi dan radio nasional ini sambil meninggalkan bibinya yang terdiam seribu bahasa dan uang yang pada waktu itu jumlahnya sangat besar. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tsanawiyyah YLPI Riau tahun 1995, Koko Liem merantau ke Balaraja, Banten Jawa Barat untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Daar el Qolam Gintung. Di pondok ini pula Koko Liem berkenalan dengan ustadz Jefry sahabat dekatnya. Selanjutnya pada tahun 1999 Koko Liem merantau kembali. Kali ini Jawa Timur menjadi tempat pilihannya yaitu di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran Raudhatul Muchsinin. Dengan waktu hanya 1 tahun 8 bulan Koko Liem berhasil menghafal Alquran 30 juz. Bekal dari hafalan ini memberi kesempatan Koko Liem untuk menerima beasiswa S1 dan S2 di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. Pada tahun 2001, Koko Liem dianugerahi jodoh dan menikah dengan Ima Ismawati, S.Thi (alumni Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, Jurusan Tafsir Hadits). Dari pernikahannya tersebut, Lim kini dikaruniai dua orang putri yang diberi nama Isyah Mardhiyyah Ustman (Tasya Liem) & Syahda Al Ghina Utsman (Syahda Liem). Sekian kisah dari cerita dan proses ustadz koko liem masuk islam, semoga bisa menginspirasi kita semua, Koko liem yang baru masuk islam saja bisa menghafal 30 juz alquran.
Sumber Artikel: http://www.masuk-islam.com/kisah-dan-cerita-koko-liem-masuk-agama-islam-lengkap.html
Ustadz Koko Liem, Nama lengkap pria berkacamata ini adalah H. Mohammad Ustman Ansori, SQ, MA, al-Hafidz. Masa kecil, ia memiliki nama Tionghoa “Liem Hai Thai”, Sebagai muallaf, jalan hidupnya justru masuk di jalur dakwah Islam setelah berproses panjang untuk menemukan fitrahnya dan menekuni ilmu tafsir. Namanya pertama kali berkibar sejak menjadi finalis dalam ajang Mimbar Dai yang digagas oleh TPI, Meskipun berhasil menjadi finalis, Koko Liem gagal menembus lima besar ajang tersebut. Sejak saat itu, kesempatan dakwahnya justru makin besar karena sudah banyak orang mengenalnya. Banyak pihak yang memanggilnya untuk mengisi ceramah di pengajian-pengajian. Liem pun sering mengisi ceramah diberbagai acara di televisi dan radio. Liem mempunyai gaya yang khas ketika berdakwah. Dengan berbalut baju tradisional china, Liem tak malu menonjolkan identitasnya sebagai keturunan etnis Tionghoa. Bahkan disetiap dakwahnya, ia selalu menyisipkan Bahasa Mandarin. Lewat mimiknya yang jenaka, Liem selalu melontarkan banyolan yang membuat jamaahnya begitu antusias mendengarnya. “Saya ini orang Tionghoa bu dengan ciri khas mata yang sipit. Jadi, kalau ibu mengatakan mata saya belo, berarti itu fitnah bu,” candanya kepada jamaahnya. B. Masa Kecil Koko Liem & Proses Masuk Islam Segala sesuatu membutuhkan proses, termasuk ketika seorang manusia menemukan fitrahnya sebagai muslim. Proses panjang penuh liku membawa sosok Liem Hai Thai mengenal Islam. Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Liem dibesarkan dalam keluarga Budha yang taat. Setiap menjelang magrib, dia bersama keluarganya secara rutin menyembah Pay Pekkong, arwah leluhur dari orang ternama. Ayahnya adalah seorang aktivis Klenteng. Liem lahir di Dumai, Riau, 17 Januari 1979 dari pasangan bernama Liem Guanho dan Laihua. Liem merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Perkenalannya dengan islam terjadi ketika dirinya menginjak kelas dua di sekolah dasar negeri. Ketika anak-anak non muslim seperti dirinya keluar kelas saat pelajaran agama Islam berlangsung, ia memilih tidak keluar kelas. Liem justru betah mendengarkan kisah Nabi-nabi yang diceritakan oleh guru agama Islam di sekolahnya. Ketertarikannya terhadap Islam pun tumbuh. Lime kecil selalu hadir dalam perayaan hari besar Islam di sekolah. Meski demikian, Liem tetap menjalankan kewajibannya untuk menyembah Pey Pekkong bersama keluarganya. Perasaan berkecamuk dalam diri Liem kian tumbuh ketika dirinya mendengar suara adzan setiap hari. Perasaan itu kian menjadi ketika mendengar takbir menjelang Idul Fitri. Bahkan, ia mengaku takbir yang ia dengar sewaktu kecil begitu merasuk dalam sanubarinya hingga menghadirkan setetes air mata. Menginjak SMP, Liem yang diterima masuk SMP Syeikh Umar, Dumai Riau,tetap melanjutkan pergaulannya dengan Islam melalui kebiasaanya mengikuti pelajaran agama Islam. Liem yang beranjak dewasa, begitu kagum dengan kisah keimanan Nabi Ibrahim AS. Namun sebagai anak dari suhu Budha, setiap hari minggu Koko Liem diwajibkan oleh orangtuanya untuk berangkat ke sekolah agama Budha di Wihara Dumai Pekanbaru Riau. Diantara dua pendidikan ini ajaran Islamlah yang menurutnya sesuai dengan logika. Ibadah dalam Islam menggunakan satu bahasa berbeda dengan Budha yang menggunakan beragam bahasa sesuai dengan sukunya masing-masing. Kegundahan hati yang kian besar, membuat dirinya bertanya pada sang kakak, Liem Hai Seng. Kakak Liem yang juga muallaf dan mengganti namanya menjadi Muhammad Abdul Nashir ini menyarankan kepada sang adik untuk mengikuti kata hatinya. C. Koko Liem Masuk Islam Ketertarikan Koko Liem terhadap Islam memuncak saat Hj. Saniati guru agama Islam menceritakan kisah Nabi Ibrahim. Ibrahim dilahirkan bukan dari orangtua yang mengenal Allah. Ayahnya yang bernama Adzar seorang penyembah sekaligus pembuat patung yang dijadikan Tuhan. Akan tetapi Allah memberikan hidayah akal kepada Ibrahim. Secara logika patung yang terbuat dari batu itu tidak mungkin bisa berbicara apalagi menolong hambanya sampai akhirnya Ibrahim menemukan Islam sebagai pegangan hidupnya. Kondisi ini sama persis dengan apa yang dialami oleh Koko Liem anak dari ayah sang penyembah patung Tao Pekong. “Disinilah akal saya berperan. Disamping Allah memberikan hidayah akal, Ia juga memberi hidayah agama” ujar peran Kyai di Sinetron Kiamat Sudah Dekat 3. Maka pada 21 Juli 1994 ia pergi diam-diam ke Duri Riau yang jaraknya 90 km dari Dumai tempat tinggalnya. Tepat di Masjid Raya Pasar Duri ia mengucapkan kalimat syahadat dihadapan H. Arwan Mahiddin dengan disaksikan oleh ribuan jamaah. Setelah masuk islam dia berganti nama menjadi Muhammad Utsman Ansori D. Kejadian Pahit Setelah Koko Liem Masuk Islam Dengan modal ilmu pengetahuan agama yang diajarkan disekolahnya ditambah dengan bimbingan dari teman-teman muslimnya, anak yang waktu itu masih menginjak kelas 2 SMP berusaha rutin melakukan ibadah salat lima waktu secara sembunyi-sembunyi di kamar atau di rumah temannya. Suatu hari pemilik nama Islam Muhammad Utsman Anshori ini lupa mengunci pintu kamarnya, seusai Salat Isya tiba-tiba ayahnya masuk dan kaget melihat sajadah dihadapannya beserta pakaian muslim serta peci yang tidak sempat dilepas oleh Koko Liem. “Kamu masuk Islam apa tidak?” bentak ayahnya. Dengan jujur ia membenarkan keislamannya. “Nggak mungkin saya nggak jujur, Islam mengajarkan itu” kenang lulusan S2 Konsentrasi Ilmu Tafsir, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. Tak pelak lagi ia langsung diusir oleh ayahnya saat itu juga. Sementara sang ibu tercinta Laihwa hanya diam tidak berkutik melihat anaknya diusir oleh suaminya. Kurang dua minggu dari keislamannya, Koko Liem dengan pakaian yang menempel di badan dan uang seratus ribu hasil tabungannya berjalan sendiri di kegelapan malam menyusuri sepanjang jalan Dumai yang ditumbuhi banyak pepohonan besar menuju Duri sejauh 90 km. Tidak ada tempat yang dituju saat itu karena ayahnya sudah menghubungi sanak keluarga di Riau untuk tidak menerima Koko Liem anak durhaka yang telah keluar dari agama Budha. “Saya boleh tidak punya harta, saya boleh tidak punya orangtua tapi jangan sampai saya tidak punya Allah.” ujar finalis mimbar da’i di TPI. Musala demi musala ia singgahi sebagai tempat menginap sementara, sampai akhirnya dihari kedua pengembaraanya Koko Liem singgah di musala Utama Simpang Padang Duri Riau. Di tempat ini ia berkenalan dengan imam musala Ustadz Faisal sekaligus menjadi guru pertama yang mengajarkan banyak hal tentang Islam. Musala tempat pemeran bintang iklan bersama Dedy Mizwar ini menginap suatu hari mengadakan peringatan hari besar umat Islam yang diisi oleh ustadz Ali Mukhsin pengasuh pondok pesantren Jabal Nur di Kandis Riau. Seusai acara para jamaah memperkenalkan Liem Hai Thai kepada ustadz Ali Mukhsin. Dengan kemurahan hati beliau bersedia mengangkat Koko Liem sebagai anaknya. Koko Liem kembali menyambung pendidikannya yang terputus sejak kelas 2 SMP ke sekolah baru di kelas 3 Tsanawiyyah YLPI (Yayasan Lembaga Pendidikan Islam) Mutiara Duri Riau. Selama tiga minggu tinggal di ayah angkatnya, Koko Liem mencoba berkunjung ke rumah orangtuanya di jalan Tegalega bukit Datuk Dumai Riau. Setiba di rumah orangtuanya Koko Liem kembali diusir oleh ayahnya. Namun tindakan ayahnya ini tidak menyurutkan nyali Koko Liem untuk terus menjalin silaturahim dengan orangtua. Tiga hari sekali Koko Liem rutin berkunjung ke rumah orangtuanya. “Kalau kamu diusir dari rumah itu masih mending, Rasul lahir di Makkah ia diusir dari negaranya, hijrah ke Madinah namun kemudian beliau jadi besar” ujar ustadz Ali Mukhsin menyemangati anak angkatnya. Teringat dengan kisah Nabi Nuh yang disuruh oleh Allah membuat perahu. Sedangkan waktu itu di tempat nabi Nuh tidak ada pohon. Maka nabi Nuh terlebih dahulu menanam pohon. Setelah sekian lama menunggu akhirnya pohon tersebut ditebang dan dijadikan perahu. Waktu yang sangat panjang untuk memperjuangkan perintah Allah. Maka tidak heran jika usia nabi Nuh mencapai 960 tahun. Kisah ini menjadi prinsip suami dari Ima Ismawati. S.Thi ini untuk tetap memperjuangkan silaturahim dengan orangtua. Ia yakin suatu waktu usahanya akan berhasil. Tiga bulan kemudian keinginan pengasuh Pondok Pesantren Pembinaan Muallaf Shengho Budaya Sentul Selatan Jawa Barat ini terwujud. Ayahnya menerima dengan ikhlas keislaman anaknya. Tapi masalah baru kemudian muncul Bibi dari ayahnya Ako Kotiu memanggil Koko Liem ke rumahnya dan memaksa untuk kembali menyembah Tao Pekong dengan iming-iming uang tiga juta rupiah. “Bi, jangankan uang tiga juta! andaikan rumah bibi yang besar ini bisa bibi jadikan emas kemudian diberikan kepada saya untuk mengajak saya masuk Budha maka demi Tuhan saya tidak akan meninggalkan agama Islam” tegas penceramah yang pernah mengisi di berbagai televisi dan radio nasional ini sambil meninggalkan bibinya yang terdiam seribu bahasa dan uang yang pada waktu itu jumlahnya sangat besar. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tsanawiyyah YLPI Riau tahun 1995, Koko Liem merantau ke Balaraja, Banten Jawa Barat untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Daar el Qolam Gintung. Di pondok ini pula Koko Liem berkenalan dengan ustadz Jefry sahabat dekatnya. Selanjutnya pada tahun 1999 Koko Liem merantau kembali. Kali ini Jawa Timur menjadi tempat pilihannya yaitu di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran Raudhatul Muchsinin. Dengan waktu hanya 1 tahun 8 bulan Koko Liem berhasil menghafal Alquran 30 juz. Bekal dari hafalan ini memberi kesempatan Koko Liem untuk menerima beasiswa S1 dan S2 di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. Pada tahun 2001, Koko Liem dianugerahi jodoh dan menikah dengan Ima Ismawati, S.Thi (alumni Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, Jurusan Tafsir Hadits). Dari pernikahannya tersebut, Lim kini dikaruniai dua orang putri yang diberi nama Isyah Mardhiyyah Ustman (Tasya Liem) & Syahda Al Ghina Utsman (Syahda Liem). Sekian kisah dari cerita dan proses ustadz koko liem masuk islam, semoga bisa menginspirasi kita semua, Koko liem yang baru masuk islam saja bisa menghafal 30 juz alquran.
Sumber Artikel: http://www.masuk-islam.com/kisah-dan-cerita-koko-liem-masuk-agama-islam-lengkap.html
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Kenneth L Jenkins, Mantan Pendeta yang Merasa Terlahir Kembali Dalam Islam
Hidayah bisa menghampiri siapa saja. Bila Allah SWT telah berkehendak maka seorang pendeta pun bisa berpaling menjadi Muslim yang taat. Mungkin itulah kisah yang dihadapi Kenneth L Jenkins dalam hidupnya. Dilahirkan dan dibesarkan dilingkungan yang tergolong agamis, Jenkis adalah seorang pemeluk Kristen Pantekosta di Amerika Serikat. Dia lebih banyak diasuh oleh kakeknya karena ibunya sebagai orang tua tunggal. Pantas bila dia terbilang jamaat yang taat mengingat kakeknya sudah mengajarinya tentang kehidupan gereja sejak kecil. Dan tak heran pula bila di usia enam tahun, dia sudah mengetahui banyak ajaran dalam Injil.
Setiap hari Minggu, Jenkins menuturkan, seluruh anggota keluarganya selalu pergi ke gereja. Saat seperti itu, ungkapnya, menjadi momen bagi dirinya beserta kedua saudaranya untuk mengenakan pakaian terbaik mereka. Setelah lulus SMA dan masuk universitas, Jenkins memutuskan untuk lebih aktif dalam kegiatan keagamaan. Ia datang ke gereja setiap saat, mempelajari kitab Injil setiap hari, dan menghadiri kuliah yang diberikan oleh para pemuka agama Kristen.
Hal ini membuatnya amat menonjol di kalangan para jemaat. Pada usia 20 tahun, gereja memintanya untuk bergabung. Sejak itulah Jenkins mulai memberikan khutbah kepada para jemaat yang lain. Setelah menamatkan pendidikannya di jenjang universitas, Jenkins memutuskan untuk bekerja secara penuh di gereja sebagai pendakwah. Sasaran utamanya komunitas warga kulit hitam Amerika.
Ketika melakukan interaksi dengan komunitas inilah ia menemukan kenyataan bahwa banyak di antara para pemuka gereja yang menggunakan Injil untuk kepentingan politis, yakni untuk mendukung posisi mereka pada isu-isu tertentu. Kemudian, Jenkins memutuskan untuk pindah ke Texas. Di kota ini ia sempat bergabung dengan dua gereja Pantekosta yang berbeda. Namun, lagi-lagi ia mendapatkan kenyataan bahwa para pendeta di kedua gereja ini melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi norma aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi gereja.
Ia mendapatkan fakta di lapangan bahwa sejumlah pemimpin gereja melakukan perbuatan menyimpang tanpa tersentuh oleh hukum. Mendapati kenyataan seperti ini, dalam diri Jenkins mulai timbul berbagai pertanyaan atas keyakinan yang ia anut. ''Saat itu saya mulai berpikir untuk mencari sebuah perubahan,'' ujarnya.
Perubahan yang diinginkan Jenkins datang ketika ia mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan di Arab Saudi. Setibanya di Arab Saudi, ia menemukan perbedaan yang mencolok dalam gaya hidup orang-orang Muslim di negara Timur Tengah tersebut. Dari sana kemudian timbul keinginan dalam diri pendeta ini untuk mempelajari lebih jauh agama yang dianut oleh masyarakat Muslim di Arab Saudi.
Perlahan, dia mulai mengagumi kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul yang diutus untuk membawa Islam. Dan dia pun ingin tahu lebih banyak lagi mengenainya. Untuk menjawab rasa ingin tahunya itu, Jenkins pun memutuskan untuk meminjam buku-buku mengenai Islam melalui salah seorang kerabatnya yang ia ketahui sangat dekat dengan komunitas Muslim. Buku-buku tersebut ia baca satu per satu. Dan, di antara buku-buku yang ia pinjam tersebut terdapat terjemahan Alquran. Ia menamatkan bacaan terjemahan Alquran ini dalam waktu empat bulan.
Berbagai pertanyaan seputar Islam yang ia lontarkan kepada teman-teman Muslimnya mendapatkan jawaban yang sangat memuaskan. Jika teman Muslimnya ini tidak bisa memberikan jawaban yang memadai, mereka akan menanyakan hal tersebut kepada seseorang yang lebih paham. Dan pada hari berikutnya, baru jawaban dari orang tersebut disampaikan kepadanya.
Rasa persaudaraan dan sikap rendah hati yang ditunjukkan oleh para teman Muslimnya ini, diakui Jenkins, membuatnya tertarik untuk mempelajari Islam lebih dalam. Rasa kekaguman Jenkins juga ditujukan kepada kaum Muslimah yang ia jumpai selama bermukim di Arab Saudi. Agama Islam yang baru dikenal olehnya, menurut Jenkins, juga tidak mengenal adanya perbedaan status sosial. Semua hal yang ia saksikan selama tinggal di Arab Saudi menurutnya merupakan sesuatu yang indah.
Kendati demikian, diakui Jenkins, saat itu dalam dirinya masih terdapat keragu-raguan antara Islam dengan keyakinan yang sudah dianutnya sejak masa kanak-kanak. Namun, semua keraguan tersebut terjawab manakala salah seorang teman Muslimnya memberikan dia sebuah kaset video yang berisi perdebatan antara Syekh Ahmed Deedat dan Pendeta Jimmy Swaggart. Setelah menonton perdebatan tersebut, Pendeta Gereja Pantekosta ini kemudian memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Kemudian oleh salah seorang kawan, Jenkins diajak menemui seorang ulama setempat, Syekh Abdullah bin Abdulaziz bin Baz. Di hadapan sang ulama, Jenkins pun secara resmi menerima Islam sebagai keyakinan barunya.
Tak butuh waktu lama, kabar mengenai masuk Islamnya Jenkins, telah sampai ke telinga para rekan-rekannya sesama pendeta dan aktivis gereja. Karena itu, setibanya di Amerika Serikat, berbagai hujatan dan kritikan bertubi-tubi datang kepadanya. Tak hanya itu, Jenkins juga dicap dengan berbagai label, mulai dari orang murtad hingga tercela. Ia juga dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya.
Namun, semua itu tidak membuatnya gentar dan berpaling dari Islam. ''Islam membuat saya seperti terlahir kembali, dari kegelapan menjadi terang. Saya tidak merasa terusik dengan semua itu, karena saya merasa sangat bahagia bahwa Allah Mahakuasa yang telah memberi kan saya petunjuk,'' tuturnya.
Ingin Jadi Pendakwah
Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Al-Madinah, Jenkins mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang pendakwah. Dia tak akan menghentikan aktivitasnya sebagai seorang juru dakwah, sebagaimana yang pernah ia lakukan saat masih memeluk Kristen Pantekosta. ''Saat ini, tujuan saya adalah belajar bahasa Arab dan terus belajar untuk mendapatkan pengetahuan lebih dalam tentang Islam, selain itu saya sekarang bergerak di bidang dakwah, terutama kepada non-Muslim,'' ujarnya.
Mantan pendeta ini juga berharap bisa membuat sebuah karya tulis mengenai perbandingan agama. Karena, menurutnya, adalah tugas umat Islam di seluruh dunia untuk menyebarkan ajaran Islam. ''Sebagai orang yang telah menghabiskan waktu yang lama sebagai penginjil, saya merasa memiliki kewajiban untuk mendidik masyarakat tentang kesalahan dan kontradiksi dari kisah-kisah di dalam Kitab Injil yang selama ini diyakini oleh jutaan orang,'' ungkapnya.
http://mualaf.com/index.php/kisah-muallaf-rohaniawan-budayawan/item/753-kenneth-l-jenkins-mantan-pendeta-yang-merasa-terlahir-kembali-dalam-islam
Hidayah bisa menghampiri siapa saja. Bila Allah SWT telah berkehendak maka seorang pendeta pun bisa berpaling menjadi Muslim yang taat. Mungkin itulah kisah yang dihadapi Kenneth L Jenkins dalam hidupnya. Dilahirkan dan dibesarkan dilingkungan yang tergolong agamis, Jenkis adalah seorang pemeluk Kristen Pantekosta di Amerika Serikat. Dia lebih banyak diasuh oleh kakeknya karena ibunya sebagai orang tua tunggal. Pantas bila dia terbilang jamaat yang taat mengingat kakeknya sudah mengajarinya tentang kehidupan gereja sejak kecil. Dan tak heran pula bila di usia enam tahun, dia sudah mengetahui banyak ajaran dalam Injil.
Setiap hari Minggu, Jenkins menuturkan, seluruh anggota keluarganya selalu pergi ke gereja. Saat seperti itu, ungkapnya, menjadi momen bagi dirinya beserta kedua saudaranya untuk mengenakan pakaian terbaik mereka. Setelah lulus SMA dan masuk universitas, Jenkins memutuskan untuk lebih aktif dalam kegiatan keagamaan. Ia datang ke gereja setiap saat, mempelajari kitab Injil setiap hari, dan menghadiri kuliah yang diberikan oleh para pemuka agama Kristen.
Hal ini membuatnya amat menonjol di kalangan para jemaat. Pada usia 20 tahun, gereja memintanya untuk bergabung. Sejak itulah Jenkins mulai memberikan khutbah kepada para jemaat yang lain. Setelah menamatkan pendidikannya di jenjang universitas, Jenkins memutuskan untuk bekerja secara penuh di gereja sebagai pendakwah. Sasaran utamanya komunitas warga kulit hitam Amerika.
Ketika melakukan interaksi dengan komunitas inilah ia menemukan kenyataan bahwa banyak di antara para pemuka gereja yang menggunakan Injil untuk kepentingan politis, yakni untuk mendukung posisi mereka pada isu-isu tertentu. Kemudian, Jenkins memutuskan untuk pindah ke Texas. Di kota ini ia sempat bergabung dengan dua gereja Pantekosta yang berbeda. Namun, lagi-lagi ia mendapatkan kenyataan bahwa para pendeta di kedua gereja ini melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi norma aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi gereja.
Ia mendapatkan fakta di lapangan bahwa sejumlah pemimpin gereja melakukan perbuatan menyimpang tanpa tersentuh oleh hukum. Mendapati kenyataan seperti ini, dalam diri Jenkins mulai timbul berbagai pertanyaan atas keyakinan yang ia anut. ''Saat itu saya mulai berpikir untuk mencari sebuah perubahan,'' ujarnya.
Perubahan yang diinginkan Jenkins datang ketika ia mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan di Arab Saudi. Setibanya di Arab Saudi, ia menemukan perbedaan yang mencolok dalam gaya hidup orang-orang Muslim di negara Timur Tengah tersebut. Dari sana kemudian timbul keinginan dalam diri pendeta ini untuk mempelajari lebih jauh agama yang dianut oleh masyarakat Muslim di Arab Saudi.
Perlahan, dia mulai mengagumi kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul yang diutus untuk membawa Islam. Dan dia pun ingin tahu lebih banyak lagi mengenainya. Untuk menjawab rasa ingin tahunya itu, Jenkins pun memutuskan untuk meminjam buku-buku mengenai Islam melalui salah seorang kerabatnya yang ia ketahui sangat dekat dengan komunitas Muslim. Buku-buku tersebut ia baca satu per satu. Dan, di antara buku-buku yang ia pinjam tersebut terdapat terjemahan Alquran. Ia menamatkan bacaan terjemahan Alquran ini dalam waktu empat bulan.
Berbagai pertanyaan seputar Islam yang ia lontarkan kepada teman-teman Muslimnya mendapatkan jawaban yang sangat memuaskan. Jika teman Muslimnya ini tidak bisa memberikan jawaban yang memadai, mereka akan menanyakan hal tersebut kepada seseorang yang lebih paham. Dan pada hari berikutnya, baru jawaban dari orang tersebut disampaikan kepadanya.
Rasa persaudaraan dan sikap rendah hati yang ditunjukkan oleh para teman Muslimnya ini, diakui Jenkins, membuatnya tertarik untuk mempelajari Islam lebih dalam. Rasa kekaguman Jenkins juga ditujukan kepada kaum Muslimah yang ia jumpai selama bermukim di Arab Saudi. Agama Islam yang baru dikenal olehnya, menurut Jenkins, juga tidak mengenal adanya perbedaan status sosial. Semua hal yang ia saksikan selama tinggal di Arab Saudi menurutnya merupakan sesuatu yang indah.
Kendati demikian, diakui Jenkins, saat itu dalam dirinya masih terdapat keragu-raguan antara Islam dengan keyakinan yang sudah dianutnya sejak masa kanak-kanak. Namun, semua keraguan tersebut terjawab manakala salah seorang teman Muslimnya memberikan dia sebuah kaset video yang berisi perdebatan antara Syekh Ahmed Deedat dan Pendeta Jimmy Swaggart. Setelah menonton perdebatan tersebut, Pendeta Gereja Pantekosta ini kemudian memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Kemudian oleh salah seorang kawan, Jenkins diajak menemui seorang ulama setempat, Syekh Abdullah bin Abdulaziz bin Baz. Di hadapan sang ulama, Jenkins pun secara resmi menerima Islam sebagai keyakinan barunya.
Tak butuh waktu lama, kabar mengenai masuk Islamnya Jenkins, telah sampai ke telinga para rekan-rekannya sesama pendeta dan aktivis gereja. Karena itu, setibanya di Amerika Serikat, berbagai hujatan dan kritikan bertubi-tubi datang kepadanya. Tak hanya itu, Jenkins juga dicap dengan berbagai label, mulai dari orang murtad hingga tercela. Ia juga dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya.
Namun, semua itu tidak membuatnya gentar dan berpaling dari Islam. ''Islam membuat saya seperti terlahir kembali, dari kegelapan menjadi terang. Saya tidak merasa terusik dengan semua itu, karena saya merasa sangat bahagia bahwa Allah Mahakuasa yang telah memberi kan saya petunjuk,'' tuturnya.
Ingin Jadi Pendakwah
Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Al-Madinah, Jenkins mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang pendakwah. Dia tak akan menghentikan aktivitasnya sebagai seorang juru dakwah, sebagaimana yang pernah ia lakukan saat masih memeluk Kristen Pantekosta. ''Saat ini, tujuan saya adalah belajar bahasa Arab dan terus belajar untuk mendapatkan pengetahuan lebih dalam tentang Islam, selain itu saya sekarang bergerak di bidang dakwah, terutama kepada non-Muslim,'' ujarnya.
Mantan pendeta ini juga berharap bisa membuat sebuah karya tulis mengenai perbandingan agama. Karena, menurutnya, adalah tugas umat Islam di seluruh dunia untuk menyebarkan ajaran Islam. ''Sebagai orang yang telah menghabiskan waktu yang lama sebagai penginjil, saya merasa memiliki kewajiban untuk mendidik masyarakat tentang kesalahan dan kontradiksi dari kisah-kisah di dalam Kitab Injil yang selama ini diyakini oleh jutaan orang,'' ungkapnya.
http://mualaf.com/index.php/kisah-muallaf-rohaniawan-budayawan/item/753-kenneth-l-jenkins-mantan-pendeta-yang-merasa-terlahir-kembali-dalam-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Idris Tawfiq, Mantan Pastor yang Memilih Islam
'Allah menyeru manusia ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).'' (QS Yunus: 25) Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah SWT akan memberikan hidayah (jalan kebaikan) kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk memilih Islam. Tak peduli siapa pun. Baik dia budak, majikan, pejabat, bahkan tokoh agama non-Islam sekalipun.
Ayat tersebut, layak disematkan pada Idris Tawfiq, seorang pastor di Inggris yang akhirnya menerima Islam. Ia menjadi mualaf setelah mempelajari Islam dan melihat sikap kelemahlembutan serta kesederhanaan pemeluknya.
Sebelumnya, Idris Tawfiq adalah seorang pastor gereja Katholik Roma di Inggris. Mulanya, ia memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Baginya saat itu, Islam hanya identik dengan terorisme, potong tangan, diskriminatif terhadap perempuan, dan lain sebagainya.
Namun, pandangan itu mulai berubah, ketika ia melakukan kunjungan ke Mesir. Di negeri Piramida itu, Idris Tawfiq menyaksikan ketulusan dan kesederhanaan kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah dan serta keramahan sikap mereka.
Ia melihat, sikap umat Islam ternyata sangat jauh bertolak belakang dengan pandangan yang ia dapatkan selama ini di negerinya. Menurutnya, Islam justru sangat lembut, toleran, sederhanan, ramah, dan memiliki sifat keteladanan yang bisa dijadikan contoh bagi agama lainnya.
Di Mesir inilah, Tawfiq merasa mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Awalnya hanya sebagai pengisi liburan, menyaksikan Pirmadia, unta, pasir, dan pohon palem. Namun, hal itu malah membawanya pada Islam dan membuat perubahan besar dalam hidupnya.
''Awalnya mau berlibur. Saya mengambil penerbangan carter ke Hurghada. Dari Eropa saya mengunjungi beberapa pantai. Lalu, saya naik bis pertama ke Kairo, dan saya menghabiskan waktu yang paling indah dalam hidup saya.''
''Ini adalah kali pertama saya pengenalan ke umat Islam dan Islam. Saya melihat bagaimana Mesir yang lemah lembut seperti itu, orang-orang manis, tapi juga sangat kuat,'' terangnya.
''Saya menyaksikan mereka tenang, lembut, dan tertib dalam beribadah. Begitu ada suara panggilan shalat (azan--Red), mereka yang sebagian pedagang, segera berkemas dan menuju Masjid. Indah sekali saya melihatnya,'' terangnya.
Dari sinilah, pandangan Tawfiq berubah tentang Islam. ''Waktu itu, seperti warga Inggris lainnya, pengetahuan saya tentang Islam tak lebih seperti yang saya lihat di TV, memberikan teror dan melakukan pengeboman. Ternyata, itu bukanlah ajaran Islam. Hanya oknumnya yang salah dalam memahami Islam,'' tegasnya.
Ia pun mempelajari Alquran. Pelajaran yang didapatkannya adalah keterangan dalam Alquran yang menyatakan: ' Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang Yahudi dan Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang beriman adalah orang yang berkata, ''Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.'' Yang demikian itu disebabkan di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena seungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.'' (Al-Maidah ayat 82).
Ayat ini membuatnya berpikir keras. Baginya, Islam sangat baik, toleran. Justru, pihak lain yang memusuhinya. Inilah yang menjadi awal keislaman mantan pastor Inggris dan akhirnya menerima Islam.
Sepulang dari Mesir, Tawfiq masih menjadi penganut agama Katholik. Bahkan, ketika dia aktif mengajarkan pelajaran agama kepada para siswa di sebuah sekolah umum di Inggris, ia diminta mengajarkan pendidikan Studi agama.
''Saya mengajar tentang agama Kristen, Islam, Yudaisme, Buddha dan lain-lain. Jadi, setiap hari saya harus membaca tentang agama Islam untuk bisa saya ajarkan pada para siswa. Dan, di sana banyak terdapat siswa Muslim keturunan Arab. Mereka memberikan contoh pesahabatan yang baik, bersikap santun dengan teman lainnya. Dari sini, saya makin intens berhubungan dengan siswa Muslim,'' ujarnya.
Dan selama bulan Ramadhan, kata dia, dia menyaksikan umat Islam, termasuk para siswanya, berpuasa serta melaksanakan shalat tarawih bersama-sama. ''Hal itu saya saksikan hampir sebulan penuh. Dan, lama kelamaan saya belajar dengan mereka, kendati waktu itu saya belum menjadi Muslim,'' papar Tawfiq.
Dari sini kemudian Tawfiq mempelajari Alquran. Ia membaca ayat-ayat Alquran dari terjemahannya. Dan ketika membaca ayat 83 surah Al-Maidah, ia pun tertegun.
''Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran).'' (Al-Maidah ayat 83).
Secara tiba-tiba, kata Tawfiq, ia pun merasakan apa yang disampaikan Alquran. Ia menangis. Namun, hal itu ia sembunyikan dari pandangan para siswanya. Ia merasa ada sesuatu di balik ayat tersebut.
Dari sini, Tawfiq makin intensif mempelajari Islam. Bahkan, ketika terjadi peristiwa 11 September 2001, dengan dibomnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, dan ketika banyak orang menyematkan pelakunya kalangan Islam. Ia menjadi heran. Kendati masih memeluk Kristen Katholik, ia yakin, Islam tidak seperti itu.
''Awalnya saya sempat takut juga. Saya khawatir peristiwa serupa terulang di Inggris. Apalagi, orang barat telah mencap pelakunya adalah orang Islam. Mereka pun mengecamnya dengan sebutan teroris,'' kata Tawfiq.
Namun, Tawfiq yakin, Islam tidak seperti yang dituduhkan. Apalagi, pengalamannya sewaktu di Mesir, Islam sangat baik, dan penuh dengan toleransi. Ia pun bertanya-tanya. ''Mengapa Islam? Mengapa kita menyalahkan Islam sebagai agama teroris. Bagaimana bila kejadian itu dilakukan oleh orang Kristen? Apakah kemudian Kristen akan dicap sebagai pihak teroris pula?'' Karena itu, ia menilai hal tersebut hanyalah dilakukan oknum tertentu, bukan ajaran Islam.
Masuk Islam
Dari situ, ia pun mencari jawabannya. Ia berkunjung ke Masjid terbesar di London. Di sana berbicara dengan Yusuf Islam tentang Islam. Ia pun kemudian memberanikan diri bertanya pada Yusuf Islam. ''Apa yang akan kamu lakukan bila menjadi Muslim?''
Yusuf Islam menjawab. ''Seorang Muslim harus percaya pada satu Tuhan, shalat lima kali sehari, dan berpuasa selama bulan Ramadhan,'' ujar Yusuf.
Tawfiq berkata, ''Semua itu sudah pernah saya lakukan.''
Yusuf berkata, ''Lalu apa yang Anda tunggu?''
Saya katakan, ''Saya masih seorang pemeluk Kristiani.''
Pembicaraan terputus ketika akan dilaksanakan Shalat Zhuhur. Para jamaah bersiap-siap melaksanakan shalat. Dan, saat shalat mulai dilaksanakan, saya mundur ke belakang, dan menunggu hingga selesai shalat.
Namun, di situlah ia mendengar sebuah suara yang mempertanyakan sikapnya. ''Saya lalu berteriak, kendati dalam hati. ''Siapa yang mencoba bermain-main dengan saya.''
Namun, suara itu tak saya temukan. Namun, suara itu mengajak saya untuk berislam. Akhirnya, setelah shalat selesai dilaksanakan, Tawfiq segera mendatangi Yusuf Islam. Dan, ia menyatakan ingin masuk Islam di hadapan umum. Ia meminta Yusuf Islam mengajarkan cara mengucap dua kalimat syahadat.
''Ayshadu an Laa Ilaha Illallah. Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.'' Saya bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah.
Jamaah pun menyambut dengan gembira. Ia kembali meneteskan air mata, bukan sedih, tapi bahagia.
Ia mantap memilih agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini. Dan, ia tidak menyesali telah menjadi pengikutnya. Berbagai gelar dan penghargaan yang diterimanya dari gereja, ia tanggalkan.
Seperti diketahui, Idris Tawfiq memperoleh gelar kesarjanaan dari University of Manchester dalam bidang sastra, dan gelar uskup dari University of Saint Thomas Aquinas di Roma. Dengan gelar tersebut, ia mengajarkan pandangan Katholik pada jemaatnya. Namun, akhirnya ia beralih mengajarkan Islam kepada masyarakatnya. Selama bertahun-tahun, Tawfiq mengepalai pusat Studi keagamaan di berbagai sekolah di Inggris dan Wales, sebelum dia masuk agama Islam.
''Dulu saya senang menjadi imam (pastor--Red) untuk membantu masyarakat selama beberapa tahun lalu. Namun, saya merasa ada sesuatu yang tidak nyaman dan kurang tepat. Saya beruntung, Allah SWT memberikan hidayah pada saya, sehingga saya semakin mantap dalam memilih Islam. Saya tidak menyesal meninggalkan tugas saya di gereja. Saya percaya, kejadian (Islamnya--Red) ini, lebih baik dibandingkan masa lalu saya,'' terangnya. sya/osa/berbagai sumber
Berdakwah Lewat Lisan dan Tulisan
Ketika ditanyakan pada Idris Tawfiq tentang perbedaan besar antara Kristen Katholik dan Islam, ia berkata: ''Dasar dari agama Islam adalah Allah. Semua perkara disaksikan Allah, tak ada yang luput dari perhatian-Nya. Ini berbeda dengan yang saya dapatkan dari agama sebelumnya. Islam merupakan agama yang komprehensif.''
Ia menambahkan, Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah setiap saat. Tak terbatas hanya pada hari Minggu. Selain itu, kata dia, Islam mengajarkan umatnya cara menyapa orang lain dengan lembut, bersikap ramah, mengajarkan adab makan dan minum, memasuki kamar orang lain, cara bersilaturahim yang baik. ''Tak hanya itu, semua persoalan dibahas dan diajarkan oleh Islam,'' terangnya.
Penceramah dan penulis
Caranya bertutur kata, sikapnya yang sopan dan santun banyak disukai masyarakat. Gaya berbicaranya yang baik sangat sederhana dan lemah lembut, menyentuh hati, serta menyebabkan orang untuk berpikir. Ia pun kini giat berceramah dan menulis buku tentang keislaman.
Ia memberikan ceramah ke berbagai tempat dengan satu tujuan, menyebarkan dakwah Islam. Idris Tawfiq mengatakan, dia bukan sarjana. Namun, ia memiliki cara menjelaskan tentang Islam dalam hal-hal yang sangat sederhana. Dia memiliki banyak pengalaman dalam berceramah dan mengenali karakter masyarakat.
Ia juga banyak memberikan bimbingan dan pelatihan menulis serta berpidato bagi siswa maupun orang dewasa. Kesempatan ini digunakannya untuk mengajarkan pada orang lain. Termasuk, menjelaskan Islam pada dunia Barat yang banyak menganut agama non-Muslim.
Idris juga dikenal sebagai penulis. Tulisannya tersebar di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan website di Inggris Raya. Ia juga menjadi kontributor regional dan Konsultan untuk website www.islamonline.net dan ww.readingislam.com.
Dia menulis artikel mingguan di Mesir Mail, koran tertua Mesir berbahasa Inggris, dan Sawt Al-Azhar, surat kabar Al-Azhar University. Dia adalah pengarang sejumlah buku. Antara lain, Dari surga yang penuh kenikmatan: sederhana, pengenalan Islam; Berbicara ke Pemuda Muslim; Berbicara ke Mualaf. Selain itu, ia juga menjadi juru bicara umat Islam di Barat. Ia juga banyak berceramah melalui radio dan televisi.
http://mualaf.com/index.php/kisah-muallaf-rohaniawan-budayawan/item/709-idris-tawfiq-mantan-pastor-yang-memilih-islam
'Allah menyeru manusia ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).'' (QS Yunus: 25) Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah SWT akan memberikan hidayah (jalan kebaikan) kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk memilih Islam. Tak peduli siapa pun. Baik dia budak, majikan, pejabat, bahkan tokoh agama non-Islam sekalipun.
Ayat tersebut, layak disematkan pada Idris Tawfiq, seorang pastor di Inggris yang akhirnya menerima Islam. Ia menjadi mualaf setelah mempelajari Islam dan melihat sikap kelemahlembutan serta kesederhanaan pemeluknya.
Sebelumnya, Idris Tawfiq adalah seorang pastor gereja Katholik Roma di Inggris. Mulanya, ia memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Baginya saat itu, Islam hanya identik dengan terorisme, potong tangan, diskriminatif terhadap perempuan, dan lain sebagainya.
Namun, pandangan itu mulai berubah, ketika ia melakukan kunjungan ke Mesir. Di negeri Piramida itu, Idris Tawfiq menyaksikan ketulusan dan kesederhanaan kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah dan serta keramahan sikap mereka.
Ia melihat, sikap umat Islam ternyata sangat jauh bertolak belakang dengan pandangan yang ia dapatkan selama ini di negerinya. Menurutnya, Islam justru sangat lembut, toleran, sederhanan, ramah, dan memiliki sifat keteladanan yang bisa dijadikan contoh bagi agama lainnya.
Di Mesir inilah, Tawfiq merasa mendapatkan kedamaian yang sesungguhnya. Awalnya hanya sebagai pengisi liburan, menyaksikan Pirmadia, unta, pasir, dan pohon palem. Namun, hal itu malah membawanya pada Islam dan membuat perubahan besar dalam hidupnya.
''Awalnya mau berlibur. Saya mengambil penerbangan carter ke Hurghada. Dari Eropa saya mengunjungi beberapa pantai. Lalu, saya naik bis pertama ke Kairo, dan saya menghabiskan waktu yang paling indah dalam hidup saya.''
''Ini adalah kali pertama saya pengenalan ke umat Islam dan Islam. Saya melihat bagaimana Mesir yang lemah lembut seperti itu, orang-orang manis, tapi juga sangat kuat,'' terangnya.
''Saya menyaksikan mereka tenang, lembut, dan tertib dalam beribadah. Begitu ada suara panggilan shalat (azan--Red), mereka yang sebagian pedagang, segera berkemas dan menuju Masjid. Indah sekali saya melihatnya,'' terangnya.
Dari sinilah, pandangan Tawfiq berubah tentang Islam. ''Waktu itu, seperti warga Inggris lainnya, pengetahuan saya tentang Islam tak lebih seperti yang saya lihat di TV, memberikan teror dan melakukan pengeboman. Ternyata, itu bukanlah ajaran Islam. Hanya oknumnya yang salah dalam memahami Islam,'' tegasnya.
Ia pun mempelajari Alquran. Pelajaran yang didapatkannya adalah keterangan dalam Alquran yang menyatakan: ' Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang Yahudi dan Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang beriman adalah orang yang berkata, ''Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.'' Yang demikian itu disebabkan di antara mereka itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena seungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.'' (Al-Maidah ayat 82).
Ayat ini membuatnya berpikir keras. Baginya, Islam sangat baik, toleran. Justru, pihak lain yang memusuhinya. Inilah yang menjadi awal keislaman mantan pastor Inggris dan akhirnya menerima Islam.
Sepulang dari Mesir, Tawfiq masih menjadi penganut agama Katholik. Bahkan, ketika dia aktif mengajarkan pelajaran agama kepada para siswa di sebuah sekolah umum di Inggris, ia diminta mengajarkan pendidikan Studi agama.
''Saya mengajar tentang agama Kristen, Islam, Yudaisme, Buddha dan lain-lain. Jadi, setiap hari saya harus membaca tentang agama Islam untuk bisa saya ajarkan pada para siswa. Dan, di sana banyak terdapat siswa Muslim keturunan Arab. Mereka memberikan contoh pesahabatan yang baik, bersikap santun dengan teman lainnya. Dari sini, saya makin intens berhubungan dengan siswa Muslim,'' ujarnya.
Dan selama bulan Ramadhan, kata dia, dia menyaksikan umat Islam, termasuk para siswanya, berpuasa serta melaksanakan shalat tarawih bersama-sama. ''Hal itu saya saksikan hampir sebulan penuh. Dan, lama kelamaan saya belajar dengan mereka, kendati waktu itu saya belum menjadi Muslim,'' papar Tawfiq.
Dari sini kemudian Tawfiq mempelajari Alquran. Ia membaca ayat-ayat Alquran dari terjemahannya. Dan ketika membaca ayat 83 surah Al-Maidah, ia pun tertegun.
''Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran).'' (Al-Maidah ayat 83).
Secara tiba-tiba, kata Tawfiq, ia pun merasakan apa yang disampaikan Alquran. Ia menangis. Namun, hal itu ia sembunyikan dari pandangan para siswanya. Ia merasa ada sesuatu di balik ayat tersebut.
Dari sini, Tawfiq makin intensif mempelajari Islam. Bahkan, ketika terjadi peristiwa 11 September 2001, dengan dibomnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, dan ketika banyak orang menyematkan pelakunya kalangan Islam. Ia menjadi heran. Kendati masih memeluk Kristen Katholik, ia yakin, Islam tidak seperti itu.
''Awalnya saya sempat takut juga. Saya khawatir peristiwa serupa terulang di Inggris. Apalagi, orang barat telah mencap pelakunya adalah orang Islam. Mereka pun mengecamnya dengan sebutan teroris,'' kata Tawfiq.
Namun, Tawfiq yakin, Islam tidak seperti yang dituduhkan. Apalagi, pengalamannya sewaktu di Mesir, Islam sangat baik, dan penuh dengan toleransi. Ia pun bertanya-tanya. ''Mengapa Islam? Mengapa kita menyalahkan Islam sebagai agama teroris. Bagaimana bila kejadian itu dilakukan oleh orang Kristen? Apakah kemudian Kristen akan dicap sebagai pihak teroris pula?'' Karena itu, ia menilai hal tersebut hanyalah dilakukan oknum tertentu, bukan ajaran Islam.
Masuk Islam
Dari situ, ia pun mencari jawabannya. Ia berkunjung ke Masjid terbesar di London. Di sana berbicara dengan Yusuf Islam tentang Islam. Ia pun kemudian memberanikan diri bertanya pada Yusuf Islam. ''Apa yang akan kamu lakukan bila menjadi Muslim?''
Yusuf Islam menjawab. ''Seorang Muslim harus percaya pada satu Tuhan, shalat lima kali sehari, dan berpuasa selama bulan Ramadhan,'' ujar Yusuf.
Tawfiq berkata, ''Semua itu sudah pernah saya lakukan.''
Yusuf berkata, ''Lalu apa yang Anda tunggu?''
Saya katakan, ''Saya masih seorang pemeluk Kristiani.''
Pembicaraan terputus ketika akan dilaksanakan Shalat Zhuhur. Para jamaah bersiap-siap melaksanakan shalat. Dan, saat shalat mulai dilaksanakan, saya mundur ke belakang, dan menunggu hingga selesai shalat.
Namun, di situlah ia mendengar sebuah suara yang mempertanyakan sikapnya. ''Saya lalu berteriak, kendati dalam hati. ''Siapa yang mencoba bermain-main dengan saya.''
Namun, suara itu tak saya temukan. Namun, suara itu mengajak saya untuk berislam. Akhirnya, setelah shalat selesai dilaksanakan, Tawfiq segera mendatangi Yusuf Islam. Dan, ia menyatakan ingin masuk Islam di hadapan umum. Ia meminta Yusuf Islam mengajarkan cara mengucap dua kalimat syahadat.
''Ayshadu an Laa Ilaha Illallah. Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.'' Saya bersaksi, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah.
Jamaah pun menyambut dengan gembira. Ia kembali meneteskan air mata, bukan sedih, tapi bahagia.
Ia mantap memilih agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini. Dan, ia tidak menyesali telah menjadi pengikutnya. Berbagai gelar dan penghargaan yang diterimanya dari gereja, ia tanggalkan.
Seperti diketahui, Idris Tawfiq memperoleh gelar kesarjanaan dari University of Manchester dalam bidang sastra, dan gelar uskup dari University of Saint Thomas Aquinas di Roma. Dengan gelar tersebut, ia mengajarkan pandangan Katholik pada jemaatnya. Namun, akhirnya ia beralih mengajarkan Islam kepada masyarakatnya. Selama bertahun-tahun, Tawfiq mengepalai pusat Studi keagamaan di berbagai sekolah di Inggris dan Wales, sebelum dia masuk agama Islam.
''Dulu saya senang menjadi imam (pastor--Red) untuk membantu masyarakat selama beberapa tahun lalu. Namun, saya merasa ada sesuatu yang tidak nyaman dan kurang tepat. Saya beruntung, Allah SWT memberikan hidayah pada saya, sehingga saya semakin mantap dalam memilih Islam. Saya tidak menyesal meninggalkan tugas saya di gereja. Saya percaya, kejadian (Islamnya--Red) ini, lebih baik dibandingkan masa lalu saya,'' terangnya. sya/osa/berbagai sumber
Berdakwah Lewat Lisan dan Tulisan
Ketika ditanyakan pada Idris Tawfiq tentang perbedaan besar antara Kristen Katholik dan Islam, ia berkata: ''Dasar dari agama Islam adalah Allah. Semua perkara disaksikan Allah, tak ada yang luput dari perhatian-Nya. Ini berbeda dengan yang saya dapatkan dari agama sebelumnya. Islam merupakan agama yang komprehensif.''
Ia menambahkan, Islam mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa beribadah kepada Allah setiap saat. Tak terbatas hanya pada hari Minggu. Selain itu, kata dia, Islam mengajarkan umatnya cara menyapa orang lain dengan lembut, bersikap ramah, mengajarkan adab makan dan minum, memasuki kamar orang lain, cara bersilaturahim yang baik. ''Tak hanya itu, semua persoalan dibahas dan diajarkan oleh Islam,'' terangnya.
Penceramah dan penulis
Caranya bertutur kata, sikapnya yang sopan dan santun banyak disukai masyarakat. Gaya berbicaranya yang baik sangat sederhana dan lemah lembut, menyentuh hati, serta menyebabkan orang untuk berpikir. Ia pun kini giat berceramah dan menulis buku tentang keislaman.
Ia memberikan ceramah ke berbagai tempat dengan satu tujuan, menyebarkan dakwah Islam. Idris Tawfiq mengatakan, dia bukan sarjana. Namun, ia memiliki cara menjelaskan tentang Islam dalam hal-hal yang sangat sederhana. Dia memiliki banyak pengalaman dalam berceramah dan mengenali karakter masyarakat.
Ia juga banyak memberikan bimbingan dan pelatihan menulis serta berpidato bagi siswa maupun orang dewasa. Kesempatan ini digunakannya untuk mengajarkan pada orang lain. Termasuk, menjelaskan Islam pada dunia Barat yang banyak menganut agama non-Muslim.
Idris juga dikenal sebagai penulis. Tulisannya tersebar di berbagai surat kabar, majalah, jurnal, dan website di Inggris Raya. Ia juga menjadi kontributor regional dan Konsultan untuk website www.islamonline.net dan ww.readingislam.com.
Dia menulis artikel mingguan di Mesir Mail, koran tertua Mesir berbahasa Inggris, dan Sawt Al-Azhar, surat kabar Al-Azhar University. Dia adalah pengarang sejumlah buku. Antara lain, Dari surga yang penuh kenikmatan: sederhana, pengenalan Islam; Berbicara ke Pemuda Muslim; Berbicara ke Mualaf. Selain itu, ia juga menjadi juru bicara umat Islam di Barat. Ia juga banyak berceramah melalui radio dan televisi.
http://mualaf.com/index.php/kisah-muallaf-rohaniawan-budayawan/item/709-idris-tawfiq-mantan-pastor-yang-memilih-islam
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
Syeikh Yusuf Estes Mantan Penginjil
Awalnya ia bekerja sebagai musisi di gereja sekaligus penginjil. Namun kini, ia berkeliling dunia dan telah banyak mengislamkan orang. Di bawah ini adalah penuturannya. Yusuf Estes lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun 1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi di gereja, penginjil sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ. Awal 1991 ia terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu. Namun akhirnya ia justru memeluk Islam diikuti oleh istri, anak-anak, ayah serta mertuanya.
Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk “Qasas Ul Anbiya” yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.
Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, dai di penjara sejak tahun1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com.
Nama saya Yusuf Estes. Saat ini dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.
Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi misinformasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab.
Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha.
Keluarga Kristen taat
Saya lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (white anglo saxon protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun 1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, masih Texas.
Sebagai seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke banyak gereja di berbagai tempat guna menambah pengalaman dan pengetahuan Kristen. Kala itu saya benar-benar haus untuk mempelajari ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen, bahkan ajaran Hindu, Budha, Yahudi,hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya satu ajaran yang saya tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian sama sekali, yakni Islam.
Saya suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan menyanyi di berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar musik dan tahun 1963 punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya beri nama “Estes Music Studios.” Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun lamanya saya bersama dengan ayah mengelola bisnis entertainment. Kami juga punya toko alat musik piano dan organ di Texas, Oklahoma hingga Florida.
Ayah dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu hingga aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen. Dia sangat menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula saya belajar Bibel dalam berbagai versi dan terjemahan.
Ayah saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat pertanyaan:”Apakah Tuhan yang menulis Bibel?” Biasanya jawabannya adalah: “Bibel adalah rangkaian kata inspirasi seorang lelaki yang berasal dari Tuhan.” Itu bermakna, menurut saya, manusialah yang menulis Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban itu menimbulkan banyak tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu menambahkan,”Akan tetapi (Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan kepada manusia.” Begitulah.
Mencari Tuhan
Beranjak dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya “menyerah”. Saya tidak mungkin jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit. Saya belum bisa menerima tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi “Tiga” atau Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia “Tuhan Bapa” bagaimana mungkin pada saat yang sama juga menjadi “Anak Tuhan?”
Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme, Yahudi dan banyak lagi. Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati usia ke-50 saya belum menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya mencoba bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para evangelis dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai tempat dan negara. Kami sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel sebenarnya, kenapa Bibel banyak versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi terkini dengan versi terdahulu. Dan, bahkan, dalam berbagai versi Bibel, saya tidak menemukan satupun kata “Trinitas.”
Kolega saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” tersebut. Sampai akhirnya datanglah satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan saya dengan Islam. Kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah membebani saya selama bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh dan ganjil.
Jumpa pria Mesir
Ceritanya, awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang pengusaha dari Mesir. Ia meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir itu. Bagi saya inilah kali pertama mengadakan kontak bisnis internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah piramid, patung Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa pria itu seorang Muslim.
Apa? Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin hubungan dengan orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way! Saya mengingatkan ayah agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan menyebut hal-hal negatif tentang orang Islam. Orang Islam teroris, pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi. Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah padang pasir (maksudnya Ka’bah-red.). Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu.
Ayah tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati. Akhirnya saya menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam tersebut. Tapi untuk pertemuan tersebut saya buat semacam “aturan” khusus. Antara lain; saya mau bertemu dengannya pada hari Minggu setelah kegiatan di gereja, sehingga punya “kekuatan” kala bertemu nanti. Saya musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci ala gereja bertuliskan “Yesus Tuhan Kami.” Istri dan kedua anak perempuan saya juga harus datang di saat pertemuan pertamakali dengan orang Islam itu.
Tibalah hari H. Ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah mana orang Islam itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya. Mendadak saya dilanda kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam yang dimaksud. Hati saya membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan tidak punya rambut sama sekali alias botak. Ia tidak bersorban dan tidak pula berjubah. Malah pakai jas.
Spontan saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati orang-orang yang hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan surban melilit di kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal. Khas orang Arab. Namun tidak ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya. Yang lebih mengejutkan, pria itu malah menegur saya dengan sangat ramah. Ia menyambut dan menjabat tangan saya dengan hangat. Namun saya tidak terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu pikiran, yakni bagaimana meng-Kristenkan pria Mesir itu.
Interogasi
Selepas perkenalan singkat, saya pun mulai “menginterogasi” pria Mesir tersebut. Anda percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu menjawab ya. Saya mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain seperti keyakinan Islam kepada Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud, Sulaiman hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan makin ternganga kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik!
Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga percaya dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa diimani; sebagai utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah, ibunya adalah Maryam. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Ah padahal sebelumnya saya sangat benci dengan Islam. Kini saya harus mempelajarinya? Bagaimana mungkin?
Akhirnya kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang keimanan. Pria ini sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia mendengar dengan serius setiap kata-kata saya dan tidak menyela sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi menyukai pria itu. Namun waktu itu yang masih terpikir oleh saya adalah mencari cara untuk mengajaknya masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.
Menjadi mitra bisnis
Saya akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu. Kami sering mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara Texas. Sepanjang hari kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam dan Kristen ketimbang masalah bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan, arti hidup, maksud penciptaan manusia dan alam serta isinya, tentang Nabi, dan banyak lainnya lagi.
Satu ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini ia tinggal bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal di mesjid selama beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di rumah kami saja. Ia pun setuju.
Satu ketika salah seorang teman saya –seorang pendeta- mengalami serangan jantung. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal beberapa saat disana. Saya pun musti menjenguknya beberapa kali dalam seminggu. Muhammad sering saya ajak serta. Rupanya teman saya itu tidak begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak berdiskusi apapun tentang Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang pria yang kemudian tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia menggunakan kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria itu seperti sedang depresi berat.
Pria di kursi roda mencari Tuhan
Akhirnya saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman dalam hidupnya. Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan. Saya kisahkan tentang Nabi Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian dalam gelap namun masih ada Tuhan bersamanya.
Selepas mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan kepalanya seraya meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah yang melandanya. Selanjutnya ia ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di hadapan saya. Saya berujar bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu justru menjawab; “Sebenarnya saya dulu seorang pendeta.”
“Apa? Saya barusan menceramahi seorang pendeta ? Saya benar-benar syok kala itu. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini sebenarnya?
Rupanya pendeta itu –namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang telah berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia malah depresi dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di rumah kami. Dalam perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter tentang Islam. Saya sungguh terkejut kala diberitahu para pendeta Kristen juga belajar tentang Islam dan bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya tentunya.
Sejak itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut malam. Satu ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala Muhammad menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400 tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara Al-Quran tetap terpelihara?
Sang pendeta masuk Islam!
Satu hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang Islam di Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya pada Peter ada kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara apa-apa di mesjid. Mereka (orang Islam) cuma datang dan shalat saja. Tidak ada acara seremoni apapun. Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian apapun?
Beberapa hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini lain. Mereka tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir sesuatu terjadi terhadap mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan seorang pria berjubah. Saya sungguh terkejut dengan laki-laki yang datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah dan topi putih. Ah rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban Peter bak petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa yang terjadi? Pendeta masuk Islam?
Saya benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Saya ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru menyatakan ia juga ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh Tuhan! Saya benar-benar tidak percaya.
Saya turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi dengannya. Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad minta izin shalat Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran telah datang. Saya harus membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis di belakang rumah, saya memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan papan itu menghadap ke arah orang Islam shalat. Saya pun bersujud menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.
Sekeluarga masuk Islam
Pagi itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan pendeta Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia ke-47 saya jadi seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga ikut bersyahadah. Ayah baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak itu saya dan ayah sering ke mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua saya akhirnya juga mengikuti kami. Di usianya yang ke-86 ia memeluk Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa bulan selepas bersyahadah. Semoga Allah ampuni dia. Amiin.
Adapun anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam. Setelah sepuluh tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran.
Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke mana-mana, hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik dari kalangan birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari Hindu, Katolik, Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat ini saya juga mengelola sebuah website yakni Islamalways.com yang punya motto terkenal, " where we're always open 24 hours a day and always plenty of free parking." (kami buka 24 jam sehari dan banyak tempat parkir gratis).
Islam telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih bermakna. Semoga Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan sebarkan hidayah itu ke seluruh alam. Amin
http://mualaf.com/index.php/kisah-muallaf-rohaniawan-budayawan/item/546-kisah-islamnya-syeikh-yusuf-estes-mantan-penginjil
Awalnya ia bekerja sebagai musisi di gereja sekaligus penginjil. Namun kini, ia berkeliling dunia dan telah banyak mengislamkan orang. Di bawah ini adalah penuturannya. Yusuf Estes lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun 1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi di gereja, penginjil sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ. Awal 1991 ia terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu. Namun akhirnya ia justru memeluk Islam diikuti oleh istri, anak-anak, ayah serta mertuanya.
Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk “Qasas Ul Anbiya” yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.
Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, dai di penjara sejak tahun1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com.
Nama saya Yusuf Estes. Saat ini dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.
Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi misinformasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab.
Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha.
Keluarga Kristen taat
Saya lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (white anglo saxon protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun 1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, masih Texas.
Sebagai seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke banyak gereja di berbagai tempat guna menambah pengalaman dan pengetahuan Kristen. Kala itu saya benar-benar haus untuk mempelajari ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen, bahkan ajaran Hindu, Budha, Yahudi,hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya satu ajaran yang saya tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian sama sekali, yakni Islam.
Saya suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan menyanyi di berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar musik dan tahun 1963 punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya beri nama “Estes Music Studios.” Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun lamanya saya bersama dengan ayah mengelola bisnis entertainment. Kami juga punya toko alat musik piano dan organ di Texas, Oklahoma hingga Florida.
Ayah dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu hingga aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen. Dia sangat menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula saya belajar Bibel dalam berbagai versi dan terjemahan.
Ayah saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat pertanyaan:”Apakah Tuhan yang menulis Bibel?” Biasanya jawabannya adalah: “Bibel adalah rangkaian kata inspirasi seorang lelaki yang berasal dari Tuhan.” Itu bermakna, menurut saya, manusialah yang menulis Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban itu menimbulkan banyak tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu menambahkan,”Akan tetapi (Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan kepada manusia.” Begitulah.
Mencari Tuhan
Beranjak dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya “menyerah”. Saya tidak mungkin jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit. Saya belum bisa menerima tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi “Tiga” atau Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia “Tuhan Bapa” bagaimana mungkin pada saat yang sama juga menjadi “Anak Tuhan?”
Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme, Yahudi dan banyak lagi. Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati usia ke-50 saya belum menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya mencoba bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para evangelis dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai tempat dan negara. Kami sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel sebenarnya, kenapa Bibel banyak versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi terkini dengan versi terdahulu. Dan, bahkan, dalam berbagai versi Bibel, saya tidak menemukan satupun kata “Trinitas.”
Kolega saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” tersebut. Sampai akhirnya datanglah satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan saya dengan Islam. Kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah membebani saya selama bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh dan ganjil.
Jumpa pria Mesir
Ceritanya, awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang pengusaha dari Mesir. Ia meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir itu. Bagi saya inilah kali pertama mengadakan kontak bisnis internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah piramid, patung Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa pria itu seorang Muslim.
Apa? Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin hubungan dengan orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way! Saya mengingatkan ayah agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan menyebut hal-hal negatif tentang orang Islam. Orang Islam teroris, pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi. Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah padang pasir (maksudnya Ka’bah-red.). Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu.
Ayah tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati. Akhirnya saya menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam tersebut. Tapi untuk pertemuan tersebut saya buat semacam “aturan” khusus. Antara lain; saya mau bertemu dengannya pada hari Minggu setelah kegiatan di gereja, sehingga punya “kekuatan” kala bertemu nanti. Saya musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci ala gereja bertuliskan “Yesus Tuhan Kami.” Istri dan kedua anak perempuan saya juga harus datang di saat pertemuan pertamakali dengan orang Islam itu.
Tibalah hari H. Ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah mana orang Islam itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya. Mendadak saya dilanda kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam yang dimaksud. Hati saya membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan tidak punya rambut sama sekali alias botak. Ia tidak bersorban dan tidak pula berjubah. Malah pakai jas.
Spontan saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati orang-orang yang hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan surban melilit di kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal. Khas orang Arab. Namun tidak ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya. Yang lebih mengejutkan, pria itu malah menegur saya dengan sangat ramah. Ia menyambut dan menjabat tangan saya dengan hangat. Namun saya tidak terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu pikiran, yakni bagaimana meng-Kristenkan pria Mesir itu.
Interogasi
Selepas perkenalan singkat, saya pun mulai “menginterogasi” pria Mesir tersebut. Anda percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu menjawab ya. Saya mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain seperti keyakinan Islam kepada Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud, Sulaiman hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan makin ternganga kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik!
Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga percaya dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa diimani; sebagai utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah, ibunya adalah Maryam. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Ah padahal sebelumnya saya sangat benci dengan Islam. Kini saya harus mempelajarinya? Bagaimana mungkin?
Akhirnya kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang keimanan. Pria ini sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia mendengar dengan serius setiap kata-kata saya dan tidak menyela sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi menyukai pria itu. Namun waktu itu yang masih terpikir oleh saya adalah mencari cara untuk mengajaknya masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.
Menjadi mitra bisnis
Saya akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu. Kami sering mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara Texas. Sepanjang hari kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam dan Kristen ketimbang masalah bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan, arti hidup, maksud penciptaan manusia dan alam serta isinya, tentang Nabi, dan banyak lainnya lagi.
Satu ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini ia tinggal bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal di mesjid selama beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di rumah kami saja. Ia pun setuju.
Satu ketika salah seorang teman saya –seorang pendeta- mengalami serangan jantung. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal beberapa saat disana. Saya pun musti menjenguknya beberapa kali dalam seminggu. Muhammad sering saya ajak serta. Rupanya teman saya itu tidak begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak berdiskusi apapun tentang Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang pria yang kemudian tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia menggunakan kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria itu seperti sedang depresi berat.
Pria di kursi roda mencari Tuhan
Akhirnya saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman dalam hidupnya. Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan. Saya kisahkan tentang Nabi Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian dalam gelap namun masih ada Tuhan bersamanya.
Selepas mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan kepalanya seraya meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah yang melandanya. Selanjutnya ia ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di hadapan saya. Saya berujar bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu justru menjawab; “Sebenarnya saya dulu seorang pendeta.”
“Apa? Saya barusan menceramahi seorang pendeta ? Saya benar-benar syok kala itu. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini sebenarnya?
Rupanya pendeta itu –namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang telah berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia malah depresi dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di rumah kami. Dalam perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter tentang Islam. Saya sungguh terkejut kala diberitahu para pendeta Kristen juga belajar tentang Islam dan bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya tentunya.
Sejak itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut malam. Satu ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala Muhammad menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400 tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara Al-Quran tetap terpelihara?
Sang pendeta masuk Islam!
Satu hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang Islam di Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya pada Peter ada kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara apa-apa di mesjid. Mereka (orang Islam) cuma datang dan shalat saja. Tidak ada acara seremoni apapun. Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian apapun?
Beberapa hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini lain. Mereka tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir sesuatu terjadi terhadap mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan seorang pria berjubah. Saya sungguh terkejut dengan laki-laki yang datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah dan topi putih. Ah rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban Peter bak petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa yang terjadi? Pendeta masuk Islam?
Saya benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Saya ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru menyatakan ia juga ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh Tuhan! Saya benar-benar tidak percaya.
Saya turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi dengannya. Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad minta izin shalat Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran telah datang. Saya harus membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis di belakang rumah, saya memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan papan itu menghadap ke arah orang Islam shalat. Saya pun bersujud menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.
Sekeluarga masuk Islam
Pagi itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan pendeta Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia ke-47 saya jadi seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga ikut bersyahadah. Ayah baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak itu saya dan ayah sering ke mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua saya akhirnya juga mengikuti kami. Di usianya yang ke-86 ia memeluk Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa bulan selepas bersyahadah. Semoga Allah ampuni dia. Amiin.
Adapun anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam. Setelah sepuluh tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran.
Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke mana-mana, hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik dari kalangan birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari Hindu, Katolik, Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat ini saya juga mengelola sebuah website yakni Islamalways.com yang punya motto terkenal, " where we're always open 24 hours a day and always plenty of free parking." (kami buka 24 jam sehari dan banyak tempat parkir gratis).
Islam telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih bermakna. Semoga Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan sebarkan hidayah itu ke seluruh alam. Amin
http://mualaf.com/index.php/kisah-muallaf-rohaniawan-budayawan/item/546-kisah-islamnya-syeikh-yusuf-estes-mantan-penginjil
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Re: Para MUALAF
dari kisah-kisah ini bisa diambil hikmah dan pelajaran, supaya bisa menjemput hidayah bagi yang belum mendapat hidayah
Mutiara- KAPTEN
-
Posts : 3660
Kepercayaan : Islam
Location : DKI
Join date : 01.08.13
Reputation : 45
Halaman 3 dari 7 • 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7
Similar topics
» Foto para MUALAF
» Dubes Mualaf
» kenapa islam dan muslim membohongi para mualaf?
» Mualaf di bulan Ramadhan
» ada 6000 mualaf di aceh
» Dubes Mualaf
» kenapa islam dan muslim membohongi para mualaf?
» Mualaf di bulan Ramadhan
» ada 6000 mualaf di aceh
Halaman 3 dari 7
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik