FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Hijrah, reformasi dan civil society Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Hijrah, reformasi dan civil society Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Hijrah, reformasi dan civil society

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

Hijrah, reformasi dan civil society Empty Hijrah, reformasi dan civil society

Post by keroncong Thu Dec 15, 2011 6:47 am

Hijrah
Rasulullah dari Mekah ke Madinah, 15 abad yang lalu, yakni pada tahun 1
Hijriah/662 M, adalah babak baru perjuangan dan kehidupan umat Islam; dari
kehidupan penuh ketidakadilan, kezaliman dan kelemahan, menuju kehidupan yang
terang benderang, berkeadilan dan kondisi yang kuat.



Hijrah
Nabi itu sekaligus merupakan titik awal bagi tegaknya sebuah negara yang
dibangun atas landasan Islam. Negara dalam arti yang sesungguhnya. Di sana ada
pemerintah yang berkuasa dan dipimpin langsung Nabi SAW dengan menjalankan
hukum dan roda pemerintahan, serta ada rakyat yang mendiami wilayah tertentu
yaitu Madinah. Rakyatnya terdiri dari beberapa etnis dan suku. Dan di sana ada
sistem yang berdiri sendiri, tidak tunduk pada kekuasaan lain.



Kesuksesan
hijrah itu tak lepas dari peran Muhammad SAW. Peran dan posisi signifikan yang
demikian itulah, yang membuat sejarahwan Barat, Michael Hart (1986) menempatkan
nabi penutup ini pada posisi pertama seratus tokoh berpengaruh dalam sejarah.



''Penilaian
saya ini mungkin mengejutkan beberapa pembaca, dan mungkin jadi tanda tanya
sebagian yang lain. Tapi, saya berpegang pada keyakinan, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم-lah
satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa,
baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi,'' jelas Hart.



Pengakuan
Hart memiliki landasan argumentasi apistemologis-historis. Paling tidak, bukti
dan argumentasi penilaian tersebut didasarkan antara lain pada implikasi
kehadiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dalam membawa agama Islam yang momentum kemenangannya
terjadi di dalam peristiwa hijrah.



Beralasan,
sebab hijrah sebagai peristiwa historis-sosiologis menurut Caesar E Farah
disebut sebagai titik balik kehidupan nabi dan tonggak awal peradaban.



Interpretasi
hijrah memiliki legalitas dan makna historis yang valid dan penting. Mengingat
besar arti dan implikasi positif-kreatif hijrah bagi gerakan reformasi dan
perubahan sejarah manusia itu, Sayyidina Umar bin Khattab (memerintah: 634-644
M/13-23 H) bahkan menetapkan secara resmi kalender tahun hijriah. Kalender itu
dibuka pada bulan pertama (Muharam) dalam tahun Qomariyah Arab, yaitu bulan
Juni 622. Berlanjut seterusnya dalam hitungan Qomariyah 354 hari tanpa
penambahan hari untuk penyelesaian dengan tahun Syamsiyah.



Menurut
Huston Smith dalam The Religion of Man, pada tahun 622 Masehi, suatu
perpindahan yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai hijrah atau hegira
dan diterjemahkan sebagai pelarian, dipandang sebagai titik balik dalam sejarah
dunia. Dalam menghadapi berbagai masalah, Nabi ternyata dianugrahi bakat yang
luar biasa: menjadi politikus yang mahir dan negarawan.



Pemerintahannya
menggambarkan komposisi ideal antara keadilan dan rasa kasih sayang. Sebagai
kepala negara, pelindung jiwa dan kemerdekaan rakyatnya, Nabi menegakkan
keadilan yang diperlukan demi ketertiban; dan tanpa gentar menjatuhkan hukuman
terhadap mereka yang bersalah.



Sewaktu
beliau secara pribadi dirugikan, beliau bersikap pemurah dan pengampun bahkan
terhadap musuh-musuhnya sekalipun. Dengan mengamalkan kemahiran memerintah yang
'bermutu tinggi', beliau dapat mempersatukan lima kabilah kota itu yang berbeda
dan sering bertentangan, dua di antaranya kabilah Yahudi, menjadi suatu
konfederasi yang teratur.



Pernyataan
Smith itu membenarkan keberhasilan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai pilar pemersatu,
penegak persaudaraan kerakyatan, kemanusiaan dan kenegaraan, yang kemudian
dietoskan sebagai universalitas dalam memintal pergumulan sosial yang patut
dijadikan 'preseden' kesejarahan di kalangan muslim maupun non-muslim di masa
selanjutnya.



Masuknya
manusia dalam peralihan waktu, seperti pergeseran tahun dan abad, bukan sekadar
memenuhi target historis politik, ekonomi, kultural, dan status quo semata.
Tetapi harus juga menjadi pelaku yang mampu menunjukkan jati diri
kemanusiaannya, sebagai agent of change dan pembaharu (mujtahid),
penggali kebenaran (mujaddid), dan pembongkar penyimpangan moral (mujahid).



Ketika
pelaku sosial -- yang diharapkan mampu menciptakan iklim pencerahan -- ternyata
kehilangan gairah dan spirit penyebaran kebenaran (fastabiqul khairat),
maka sulit diharapkan masyarakat dan peradaban kita akan mencapai keemasannya.
Hal inilah yang diperingatkan Allah dalam Surat Ar Ra'ad (11): ''Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum (bangsa), kecuali kaum itu mau
mengubah nasibnya sendiri.''



Dalam
konteks inilah, gerakan reformasi Muhammad SAW membangun suatu masyarakat baru
yang memiliki pranata dan aturan main yang jelas, bukan saja berimplikasi pada
kesejahteraan dan kedamaian intern masyarakat muslim, tapi juga seluruh warga
Madinah menjadi masyarakat baru yang beradab, saling menghargai dan hidup damai
berdampingan di tengah-tengah masyarakat yang multi etnis dan ras itu.



Masyarakat
baru itu, yang kemudian dikenal sebagai 'Masyarakat Madani' (Civil Society),
secara sosio-kultur-historis, merupakan representasi dari masyarakat Madinah
yang diwariskan Rasulullah, yang oleh Robert N Bellah, ahli sosiologi agama
terkemuka, disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat
modern, bahkan terlalu modern. Kondisi Timur Tengah dan umat manusia pada
umumnya saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk
menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi SAW
(Robert N Bellah, Beyond Belief, 1976, halaman 150-151).



Tegaknya
civil society itu memiliki landasan yang kuat dalam apa yang disebut
sebagai mitsaq madinah (piagam madinah). Oleh sejarahwan terkemuka, W.
Montgomery Watt, piagam pertama di dunia ini diistilahkan sebagai Konstitusi
Madinah. Tiga prinsip terpenting bagi pembangunan masyarakat baru dalam
konstitusi itu yang patut dicatat adalah dimensi politik, agama dan hukum.



Pertama,
di bidang politik, tiga kekuasaan negara; eksekutif, yudikatif dan legislatif,
dipegang langsung oleh Nabi SAW. Namun begitu, pada saat yang bersamaan, negara
dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat. Mereka tidak dibedakan
berdasarkan suku, kelompok politik, maupun agama.



Semua
lapisan masyarakat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Sehingga, ketiga
lembaga itu berdiri secara kuat dan independen. Hal ini bisa terjadi, sebab
ideologi masyarakat madani (Islam), telah mempunyai dasar interpretasi yang
jelas dan baku, yakni Alquran dan Hadits, sehingga tidak ada monopoli terhadap
interpretasi dan kepentingan ideologi.



Kedua,
di bidang agama, demi tegaknya civil society, aksentuasi dakwah Nabi
diartikulasikan secara rasional, arif dan bijak, penuh hikmah dan argumentatif.
Ketika Nabi berdakwah, semata-mata hanya untuk meningkatkan kualitas beragama,
bukan dimaksudkan untuk mengkonversi penganut agama lain.



Sebab
Nabi sadar betul, bahwa agama adalah urusan individu. Itulah sebabnya, prinsip
yang dikedepankan Nabi SAW dalam membangun masyarakat madani adalah prinsip
kebebasan beragama bagi setiap anak bangsa (pasal 25-33 Konstitusi Madinah).
Prinsip ini, setidaknya terefleksikan dari adanya pengakuan negara yang mau
melindungi kebebasan beribadah bagi umat beragama.



Secara
teologis misalnya, hal ini memiliki landasan yang kuat, yakni tidak ada paksaan
dalam beragama (QS. 2: 256).
Ketiga, bidang hukum. Terhadap hukum, prinsip Islam sangat jelas; menjadikan
nilai keadilan di atas segalanya. Dengan demikian, masyarakat madani adalah
suatu masyarakat yang tak berkelas (a classless society), yaitu hukum
yang tidak membedakan antara the have dan the have not.



Semua
sama didepan hukum, dan kepada semua memperoleh keadilan hukum. Hal demikian
yang tercermin pada sikap dan kebijakan Nabi SAW sebagai kepala negara dan
masyarakat sekaligus, dimana Nabi SAW mengakui persamaan hak setiap warga
negara, tanpa pandang bulu. Hukum wajib ditegakkan diatas nilai keadilan dan
kebenaran (Psl. 34, 40 dan 46 Konstitusi Madinah).



Jadi,
masyarakat yang terbentuk dengan demikian, adalah masyarakat madani muslim yang
independen, mandiri berlandaskan pada tuntunan Ilahi (Qardlawi, Malameh
Mujtama'; 1992), dan berfikir secara rasional sesuai jiwa Islam. Melihat akar
landasannya yang demikian jelas dan kuat, gagasan membangun konstelasi
masyarakat madani muslim menjadi demikian penting dan mendesak. Bukan tugas
yang ringan memang, tapi kita tak bisa mengelak darinya. Wallahu A'lam.



Penulis adalah
Pengamat Sosial-Keagamaan. Tulisan ini dikutip dari situs Republika.co.id
edisi, Selasa, 12 Maret 2002
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik