FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pandangan kontemporer tentang fiqih Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

pandangan kontemporer tentang fiqih Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

pandangan kontemporer tentang fiqih

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

pandangan kontemporer tentang fiqih Empty pandangan kontemporer tentang fiqih

Post by keroncong Sun Jul 22, 2012 6:45 am

Oleh Nurcholish Madjid

Bagi Yamani prinsip public interest atau kepentingan umum
adalah sangat fundamental. Berkaitan dengan prinsip ini,
dengan merujuk kepada kitab Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibn
Rajab, Yamani mengutip, dengan implikasi sebuah dukungan,
pendapat yang ekstrim dari Imam al-Tuff yang diduga dari
madzhab Hanbali (tapi juga ada yang menduganya bermadzhab
Syi'ah), yang mengatakan bahwa kepentingan umum mengatasi dan
mendahului ketentuan tekstual, sekalipun dari al-Qur'an dan
Sunnah. Maka jika terdapat pertentangan pertimbangan
kepentingan umum di satu pihak, dan ketentuan tekstual atau
nas di pihak lain, al-Tufi berpendapat bahwa kepentingan umum
itu harus dimenangkan, betapapun absahnya sebuah nas. Ia
berpandangan bahwa kepentingan umum itulah yang menjadi maksud
dan tujuan Maha Hakim (Allah), sedangkan ketentuan tekstual
yang diwahyukan dan sumber-sumber lainnya hanyalah perantara
untuk mencapai tujuan itu, dan tujuan harus selalu mendahului
perantaraan atau cara.[32]

Lebih jauh, Yamani mengritik sebagian kaum Orientalis yang
tidak memahami Syari'ah dan mencampuradukkan dua unsurnya yang
berbeda namun tidak terpisah, yaitu hukum-hukum keagaman
('ibadat) dan hukum-hukum kegiatan manusia dalam hidup
keduniaan (mu'amalat):

The religious essence and value of the Shari'a must
never be overestimated. Many Western Orientalists who
wrote about Shari'a failed to distinguish between what
is purely religious and the principles of secular
transactions. Though both are derived from the same
source, the latter principles have to be viewed as a
system of civil Iaw, based on public interest and
utility, and therefore always evolving to an ideal
best... The Prophet himself had set precedence for this
religious-secular relationship when he said "I am only
human, if I order something pertaining to your religion
comply, if I order something of my opinion consider it
in the light that I am only human." Or when he said,
"You know better about your civil non-religious
matters." [33]

PENUTUP

Dari seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan, fiqh dan
sistem hukum Islam memiliki kesempatan besar untuk diterapkan
dalam zaman modern. Tetapi prasyaratnya ialah, kaum Muslim
harus mampu terlebih dahulu menangkap pesan dasar agamanya,
dan berdasarkan itu, mengembangkan pemikiran hukum yang akan
menjawab tuntutan zaman dan tempat. Halangan terbesar bagi
kemungkinan itu datang dari sikap-sikap dogmatic dan
literalis, yang kini masih banyak melanda kaum Muslim. Tapi
dengan bekal inner dynamics Islam itu sendiri, masa depan yang
lebih baik tentu dapat diciptakan, sehingga akan terbukti
ramalan Gellner: Kaum Muslim adalah penarik manfaat yang
sebenarnya dari modernitas.

CATATAN

1. Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
(Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil.
1, h. 108.

2. ... Only Islam survives as a serious faith pervading
both a folk and a Great Tradition. Its great Tradition
is modernisable; and the operation can be presented,
not as an innovation or concession to oursiders, but
rather as the continuation and completion of and old
dialogue within Islam... Thus in Islam, and only in
Islam, purification modernization on the one hand, and
the reaffirmation of a putative old local identity on
the other, can be done in one and the same language and
set of symbols. The old folk version, once a shallow of
the central tradition now becomes a repidiated
scapegoat, blamed for retardation and foreign
domination. Hence, though not the source of modernity,
Islam may yet turn out to be its beneficiary. The fact
that its central, official, "pure" variant was
egalitarian and scholarly, whilst hierarchy and
ecstaasy pertained to its expendable, eventually
disavowed, peripheral forms, greatly aids its
adaptation to the modern world. In an age of aspiration
to universal literacy, the open class of scholars can
expand towards embracing the entire community, and thus
the 'protestant' ideal of equal access for all
believers can be implemented. Modern egalitarianism is
satisfied. Whilst European Protestantism merely
prepared the ground for nationalism by furthering
literacy, the reawakened Muslim potential for
egalitarian scripturalism can actually fuse with
nationalism, so that one can hardly tell which one of
the two is of most benefit to the other. (Ernest
Gallner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), h. 4-5).

3. By various obvious criteria --universalism,
scripturalism, spiritual egalitarianism, the extension
of full participation in the sacred community not to
one, or some, but to all, and the rational
systematisation of social life-- Islam is, of the three
great Western monotheisms, the one closest to
modernity. (Gallner, h. 7).

4. Maxime Rodinson, Islam and Capitalism., terjemahan
dari Perancis oleh Brian Peace (Austin: University of
Texas Press, 1978), h. 1.

5. Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: The
University of Chicago Press, 1988), h. 211.

6. Lihat QS. Yasin/36:60

7. QS. al-A'raf/7:172.

8. Lihat QS. Thaha/20:115.

9. Lihat QS. al-Baqarah/2:40.

10. Lihat QS. al-Ra'd/13:20.

11. Lihat QS. al-Ra'd/13:25.

12. Muhammad Asad, The Message of the Qur'an (London:
E.J. Brill, 1980), h.363, catatan 42.

13.Ibid., h. 7-8, catatan 21.

14. Lihat QS. Ali Imran 3:79.

15. QS. al-Ahzab/433:7.

16. Lihat QS. al-Hadid/57:4.

17. Lihat QS. al-Baqarah/2:2.

18. Lihat QS. al-Ma'idah/5:16.

19. Bulugh al-Maram, hadits No. 1551.

20. Ibid., hadits No. 1561.

21. Lihat QS. Ali Imran 3:19 dan 85.

22. "Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi ataupun
Nasrani, melainkan seorang hanif (lurus kepada
kebenaran), dan seorang muslim (pasrah kepada Tuhan),
dan tidaklah dia termasuk mereka yang musyrik.
Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Ibrahim
ialah mereka yang benar-benar mengikutinya dan Nabi ini
(Muhammad) serta mereka yang beriman. Allah adalah
pembimbing kaum beriman itu." (QS. Ali Imran/3:67-68).

23. Terdapat banyak penegasan, langsung dan tidak
langsung, berkenaan dengan keislaman para Nabi. Suatu
penegasan bahwa semua penganut agama (yang benar secara
generik, hanif) menyembah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, dan bersikap pasrah kepada-Nya (Islam).
Secara umum dapat disimpulkan dari firman Allah tentang
sikap anak turun Ya'qub Israil):

"Adakah kamu menjadi saksi ketika maut datang kepada
Ya'qub, ketika ia bertanya anak-anaknya: 'Apa yang kamu
sembah sesudahku?' Mereka menjawab: 'Kami menyembah
Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma'il dan
Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kami semua pasrah
(muslimun) kepada-Nya.'" (QS. al-Baqarah 2:133).

Setiap orang yang dikaruniai Allah pangkat kenabian
pasti menyeru manusia agar berkesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyun) dan tidak akan menyimpang dari garis
lurus itu setelah para pengikutnya benar-benar menjadi
kaum yang pasrah kepada-Nya (muslimun):

"Tidak pernah terjadi pada seorang manusia yang
kepadanya Allah mengaruniakan kitab suci, ajaran
kebenaran (hukum) dan kenabian kemudian berkata kepada
orang banyak: 'Jadilah kamu semua hamba-hamba bagiku,
bukan bagi Allah!' Melainkan (ia tentu berkata):
'Jadilah kamu orang-orang yang berkesadaran Ketuhanan
(Rabbaniyyun) berdasarkan kitab suci yang kamu ajarkan
dan berdasarkan yang kamu sendiri pelajari.' Dan ia
(Nabi itu) tidak menyuruh kamu agar kamu mengambil para
malaikat dan para Nabi yang lain sebagai tuhan-tuhan.
Apakah patut ia menyuruh kamu menjadi kafir sesudah
kamu semua menjadi orang-orang yang pasrah (muslimun)?"
(QS. Ali Imran/3:79-80).

24. Lihat QS. al-Ma'idah/5:8.

25. Lihat QS. al-Nisa/4:58.

26. QS. al-Rahman/55:7-9.

27. Ibn Taymiyyah, dalam risalahnya, al-Amr bi
al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar
al-Kitab a-jadid, 1396 H/1976 M), h. 40.

28. Ibid.

29. Fat'hi Utsman, al-Din li al Waqi' (Kuwait: al-Dar
al-Kuwaytiyyah, tt.), h.91-92.

30. Muhammad Asad, h. 149-150, catatan 48.

31. Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary
Issues (Jeddah: The Saudi Publishing House 1388 H), h.
6-7).

32. Ibid., h. 10-11.

33. Ibid., h. 13-14.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik