FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

taqlid vs ijtihad Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

taqlid vs ijtihad Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

taqlid vs ijtihad

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

taqlid vs ijtihad Empty taqlid vs ijtihad

Post by keroncong Sun Jul 22, 2012 6:47 am

Jika masalah taqlid dan ijtihad harus ditelusuri ke
belakang, barangkali yang paling tepat ialah kita menengok
ke zaman 'Umar ibn al-Khathtab, Khalifah ke II. Bagi
orang-orang muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan
kaum Sunni, berbagai tindakan 'Umar dipandang sebagai contoh
klasik persoalan taqlid dan ijtihad. Salah satu hal yang
memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar 'Umar berkenaan
dengan persoalan pokok ini ialah isi suratnya kepada Abu
Musa al-Asy'ari, gubernur di Basrah, Irak:

"Adapun sesudah itu, sesungguhnya menegakkan hukum (al
qadla) adalah suatu kewajiban yang pasti dan tradisi
(Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika sesuatu
diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya
berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan.
Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu,
keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang berkedudukan
tinggi (syarif) tidak sempat berharap akan keadilanmu.
Memberi bukti adalah wajib atas orang yang menuduh, dan
mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari
(tuduhan). Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai)
diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi
yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang
halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali
pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau
putuskan kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali
jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu
yang benar; sebab kebenaran itu tetap abadi, dan kembali
kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan
dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang
terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan
Sunnah, kemudian temukanlah segi-segi kemiripan dan
kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang
berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang
paling mirip dengan yang benar. Untuk orang yang
mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang waktu
yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia
berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya
untuk dia sesuai dengan haknya. Tetapi jika tidak, maka
anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya,
sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan,
dan lebih jelas dari ketidakpastian (al-a'ma, kebutaan,
kegelapan) ... Barang siapa telah benar niatnya kemudian
teguh memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya
berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang
banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama
manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari
dirinya (tidak tulus), maka Allah akan menghinakannya ..."
[1]

Dari kutipan surat yang lebih panjang itu ada beberapa
prinsip pokok yang dapat kita simpulkan berkenaan dengan
masalah taqlid dan ijtihad. Prinsip-prinsip pokok itu ialah:

Pertama, prinsip keotentikan (authenticity). Dalam surat
'Umar itu prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya
bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih
dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.

Kedua, prinsip pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas
ajaran dari Kitab dan Sunnah untuk mencakup hal-hal yang
tidak dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu.
Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi.
Pengembangan ini diperlukan, sebab suatu kebenaran akan
membawa manfaat hanya kalau dapat terlaksana, dan syarat
keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.

Ketiga, prinsip pembatalan suatu keputusan perkara yang
telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah, dan
selanjutnya, pengambilan keputusan itu kepada yang benar.
Ini bisa terjadi karena adanya bahan baru yang datang
kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat, prinsip ketegasan dalam mengambil keputusan yang
menyangkut perkara yang kurang jelas sumber pengambilannya
(misalnya, tidak jelas tercantum dalam Kitab dan Sunnah),
namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam
hal ini bagaimanapun lebih baik daripada keraguan dan
ketidakpastian.

Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa apapun
yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu
benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi akibatnya dalam
hubungan dengan sesama manusia (seperti terjadinya
kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak (dalam
bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya").

Dari prinsip-prinsip itu, prinsip keotentikan adalah yang
pertama dan utama, disebabkan kedudukannya sebagai sumber
keabsahan. Karena agama adalah sesuatu yang pada dasarnya
hanya menjadi wewenang Tuhan, maka keotentikan suatu
keputusan atau pikiran keagamaan diperoleh hanya jika ia
jelas memiliki dasar referensial dalam sumber-sumber suci,
yaitu Kitab dan Sunnah. Tanpa prinsip ini maka klaim
keabsahan keagamaan akan menjadi mustahil. Justru suatu
pemikiran disebut bernilai keagamaan karena ia merupakan
segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci
agama itu.

TAQLID

Prinsip keotentikan juga menyangkut masalah konsistensi
ketaatan pada asas. Konsistensi itu, pada urutannya, akan
menjadi batu penguji lebih lanjut tingkat keabsahan suatu
pemikiran. Karena itu dalam pengembangan suatu pemikiran
keagamaan tidak mungkin dihindari kewajiban memperhatikan
hal-hal parametris dalam sistem ajaran sumber-sumber suci,
sebab hal-hal parametris itulah yang menjadi tulang punggung
kerangka ajarannya yang abadi (sesuai untuk segala zaman dan
tempat). Hal-hal parametris itu dalam Kitab Suci disebut
sebagai al-muhkamat (petunjuk-petunjuk dengan makna jelas),
yang juga disebut sebagai prinsip dasar atau induk ajaran
Kitab Suci (umm al-Kitab), kebalikan petunjuk-petunjuk
metaforikal, alegoris dan interpretatif (mutasyabihat). [2]

Karena keontentikan dan konsistensi mengimplikasikan
penerimaan terhadap suatu postulat, premis atau formula
dasar, dengan sendirinya ia juga mengandung makna taqlid
menurut makna asli (generik) kata-kata itu, yakni, sebelum
ia menjadi istilah teknis dengan makna sekunder seperti kini
umum dipahami. Sebab, taqlid dalam arti generik merupakan
unsur sikap menerima kebenaran suatu postulat berdasarkan
pengakuan bahwa sumber atau pembuat postulat mempunyai
wewenang penuh dan tinggi.

Karena salah satu konsekuensi konsep tentang Tuhan ialah
konsep tentang Dia Yang Maha Berwenang, maka menerima dengan
penuh keyakinan terhadap kebenaran ajaran-Nya dengan
sendirinya merupakan implikasi kepercayaan atau iman kepada
Rasul dan ajaran-ajaran yang dibawa-Nya. [3] Iman yang
sempurna dengan sendirinya mengandung semangat sikap pasrah
sepenuhnya.

Segi lain tentang makna penting taqlid ialah yang menyangkut
masalah akumulasi informasi dan pengalaman. Taqlid sebagai
pola penerimaan otoritas pendahulu dalam rentetan
pengembangan ilmu dan pemikiran hampir tidak mungkin
dihindari. Sebab, ekonomi pemikiran tidak mengizinkan
terlalu banyak bersandar pada kemampuan pribadi secara
terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi
tanggung jawab sendiri, dengan keharusan merintis setiap
pengembangan dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan
manusia seperti yang ada sekarang ini yang menandai zaman
modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi
dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat manusia
sepanjang sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan
pengalaman dan pengawetan serta pelembagaan dalam
karya-karya intelektual sepanjang masa itu menjadi pohon
tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa itu
kekayaan dan kesuburan seperti yang ada sekarang akan
menjadi sama sekali mustahil. Memulai suatu pengembangan
pemikiran dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya
manusia manapun dari titik nol akan hanya berakhir dengan
kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha
itu sendiri.

Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan
dasar penumbuhan kekayaan intelektual yang integral, yakni
integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual
memiliki akar-akar dalam sejarah. Jadi, keotentikan
historis, yang keontentikan itu sendiri diperlukan jika
diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka,
untuk sekedar misal, seorang Albert Camus dalam tradisi
intelektual Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat
kontemporernya tentang eksistensialisme absurdity yang
kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral
tradisi intelektual di sana yang akar-akarnya bisa
ditelusuri jauh ke masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno.
Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang Barat, tidak
dapat dipahami tanpa melihat salah satu jalur konsistensi
dan benang merah pemikiran Barat itu sendiri, melintasi
zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep
absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia
adalah salah satu hasil pertumbuhan kumulatif pemikiran
Barat. [4] Ia memiliki keabsahan sebagai pemikiran Barat
yang integral.

Jadi keintegralan dan keotentikan diperkuat oleh adanya
konstinuitas tradisi yang berkembang. Tetapi segi positff
taqlid ini hanya terwujud jika ia tidak menjadi paham
tersendiri yang tertutup, yang tumbuh menjadi "isme"
terpisah. Sebab, taqlid seperti ini (yang barangkali lebih
tepat disebut "taqlidisme") mengisyaratkan sikap penyucian
masa lampau dan pemutlakan otoritas tokoh sejarah. Memang
benar, masa lampau selalu mengandung otoritas. Tapi, justru
demi pengembangan bidang yang menjadi otoritasnya, masa
lampau beserta tokoh-tokohnya harus senantiasa terbuka untuk
diuji dan diuji kembali. Pengujian itu dilakukan dengan
pertama-tama, menemukan dan menginsafi segi-segi yang
merupakan imperatif ruang dan waktu yang ikut membentuk
suatu sosok pemikiran. Sebab, suatu sosok pemikiran tidak
pernah muncul dan berkembang dari kevakuman. Ia selalu
merupakan hasil interaksi berbagai faktor, dan faktor ruang
dan waktu acap kali dominan.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik