FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

falsafah perekonomian islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

falsafah perekonomian islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

falsafah perekonomian islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

falsafah perekonomian islam Empty falsafah perekonomian islam

Post by keroncong Sun Feb 05, 2012 12:12 am



Pembangunan yang kini dilaksanakan di Indonesia masih mengacu dan bercorak kapitalistik. Sehingga kondisi yang terjadi pada bangsa ini banyak mengalami ketimpangan. Hal ini dapat dilihat pada bagaimana maraknya praktik-praktik KKN dikalangan elite sampai bawah. Kondisi timpang yang terus berlangsung ini sedikit banyak akan berpengaruh pula pada perjalanan bangsa ini dalam upayanya mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Melihat kondisi di atas, sudah saatnya ummat Islam paham akan kelemahan ekonomi kapitalistik. Karena ekonomi kapitalistik memiliki kelamahan-kelemahan sebagai berikut :

a. Berprinsip materialistik

Semboyan kapitalisme yang berupa “to produce, to produce and to produce”, berproduksi untuk dapat berproduksi lebih besar, menyebabkan keserakahan dan berkembangnya kehidupan yang materialistik. Melimpahnya produksi tidak lagi menjadi alat untuk mencapai suatu tujuan yang lebih luhur, karena ia telah menjadi tujuan itu sendiri.

Sebagai konsekwensi logis dari acra berproduksi seperti dikemukakan di atas adalah pola kehidupan yang konsumeristis. Untuk mendapatkan uang dalam memenuhi nafsu konsumeristik tersebut, tidak jarang seseorang menempuh segala cara. Seagala hal hanya diukur dan dinilai dari sisi perolehan uang. Bahkan orientasi kehidupan berputar tidak jauh dari sekitar uang dan uang[1].

Konsumerisme pada gilirannya juga ,elahirkan suatu “masyarakat pembosan” (throw-away society). Manusia-manusia dalam masyarakat kapityalis scenderung betah bergaul dengan barang-barangnya dalam tempo yang relatif lama, karena mereka sudah melempar barang-barang (bahkan dalam masalah wanita) yang sesungguhnya bermanfaat dan menggantinya dengan yang masih baru[2].

b. Munculnya Kesenjangan Sosial

Menurut Prof. Dr. Amien Rais dalam Cakrawala Islam (1991), sistem ekonomi kapitalis secara pasti melahirkan ketidaksamaan atau kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Umumnya orang mengakui bahwa kapitalisme memang dapat mendorong produktivitas dan memiliki kemampuan untuk melipatgandakan kekayaan, tetapi ia tetap tidak dapat menghilangkan ketimpangan. Kapitalisme yang secara teoretis memberikan kesempatan yang sama (equality of opportunity) kepad setiap anggota masyarakat, dalam kenyataannya bersifat diskriminatif. Hanya mereka yang dekat dengan sumber dana, sumber informasi atau penguasa saja yang sering mendapatkan kesempatan.

c. Konsep Azas Manfaat

Kondisi kelemahan ekonomi kapitalistik di atas tidak dapat dilepaskan dari dan berakar pada landasan falsafah kapitalisme itu sendiri, yakni azas manfaat. Nilai yang paling tinggi bagi mereka adalah bila segala suatu memberikan keuntungan materi atau bernilai ekonomi/ Mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai keuntungan. Konsep tersebut sangat bertentangan dengan fitrah manusia yang di samping mendambakan kebutuhan jasmani (materiil) juga kebutuhan rohani.

Dari uraian-uraian di atas, maka sudah wajar apabila Indonesia selama lima puluh tahun tidak mengalami kemajuan yang signifikan , bahkan ceenderung hancur. Demikian pula pada negara-negara berkembang maupun negara-negara maju (industrialistik) lainnya., hampir secara bersamaan mengalami kemunduran dan kemerosotan ekonmi.

Dari sinilah perlunya konsep ekonomi alternatif yang mapu mengantarkan manusia atau bangsa pada keadaan yang lebih baik. Konsep ekonomi Islam-lah yang tampaknya akan memberikan solusi atas resesi global yang terjadi di dunia saat ini.

Dalam kajian ini, konsep ekonomi Islam menyakngkut dua hal : sumber-sumber hukum dalam melandasi ekonomi Islam dan karakteristik ekonomi Islam serta primsip-prinsip perekonomian Islam.



A. Sumber-Sumber Dalam Melandasi Ekonomi Islam

Perbedaan yang sangat mencolok antara perekonomian Islam dengan perekonomian kapitalis dan sosialis terletak pada sumber-sumber hukum yang melandasinya. Islam bersumber dari wahyu Ilahi, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits serta hal-hal yang berkaitan dengan keduanya, seperti Ijma’, Qiyas, ataupun Istihsan dan Kemaslahatan. Sedanmgkan perkonomian kapitalis dan sosialis dilandasi oleh sumber-sumber hukum dari akal manusia saja.

Meskipun landasan hukum dalam ekonomi Islam yang pertama adalah Al-Qur’an kemudian diikuti oleh Al-Hadits, bukan berarti lapangan seluruh aspek perekonomian Islam sudah terjamah oleh keduanya. Al-Qur’an membahas secara global dan uiversal, sedangkan Al-Hadits adakalanya bersifat universal dan di saat yang lain kondisonal. Oleh karena itu pada hierarki sumber hukum Islam dalam persoalan ekonominya terdapat level ijtihad, yaitu pada wilayah Ijma’, Qiyas, maupun Istihsan dan Istislah. Sehingga wajar saja apabila pada masa kejayaan Islam, sekitar abad ke-7 sampai dengan ke-9 Masehi, bermunculan komentar-komentar(mujtahidin) yang berusaha mengejawantahkan ajaran/nilai-nilai Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang dalam era modern dikenal dengan madzab-madzab fiqih.

Masing-masing madzab dianggap sebagai “mujtahid” penuh dan mempunyai sistem teori serta penerapan hukum sendiri. Mereka dianggap ortodoks, dan diantara mereka ssendiripun menganggap hal-hal yang demikian itu. Mereka harus dibedakan dari apa yang disebut “kalangan Syi’ah” dan “kalangan Khariji” dan seterusnya, yang dianggap sebagai “bid’ah” oleh madzab-madzab terdahulu[3].

Akan tetapi perbedaan pandangan antara madzab fiqih itu memperluas kita dalam menafsirkan dan menerapkan fiqih yang merupakan kumpulan ketentuan-ketentuan hukum mengenai urusan kemanusiaan yang diambil dari syari’at – suatu nama umum bagi kumpulan lengkap kebenaran agama yang diajrkan oleh Nabi SAW[4].

Dengan dinamisme hukum Islam ini, terbuka peluang terhadap penerapan ekonomi Islam ke arah yang lebih luwes atau fleksibel, sehingga ekonomi Islam dapat melihat tantangan menuju ke arah masa depan. Seperti masalah pembangunan dan perncanaan ekonomi, bekerjanya perbankan Islam berdasarkan pembagian laba, keadilan, partisipaasi, sewa beli, organisasi pasar keuangan Islam, masalah inflasi, pengangguran dan jaminan sosial, serta sejumlah besar masalah ekonomi modern lainnya. Masalah-masalah tersebut dapat dipahami secara fleksibel dengan menggunakan konsep ijtihad pada Al-Qur’an maupun Al-Hadits sehingga mampu melahirkan syari’at dalam perso’alan ekonomi Islam.



B. Karakteristik Ekonomi Islam.

Ada empat karakteristik yang paling menonjol pada ekonomi Islam, yaitu : Rabbaniyyah (ketuhanan), akhlaq, kemanusiaan, dan pertengahan.

Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari karakteristik syari’at Islam dan kemajuan peradaban Islam. Atas dasar itu dapat dinyatakan bahwa ekonomi Islam berbeda dengan yang lainnya. Ia adalah ekonomi ilahiyyah, ekonomi yang berwawasan kemanusiaan, ekonomi yang berakhklaq dan ekonomi pertengahan. Makna dan nila-nilai pokok yang empat ini merupakan cabang, buah dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan mu’amalah Islamiyyah di bidang harta berupa produksi, konsumsi, sirkulasi dan distribusi. Semua itu dibentuk dengan nila-nilai tersebut sebagai cerminan darinya atau penegasan darinya[5].

1. Ekonomi Islam yang Ilahiyyah

Dikatakan Ilahiyyah karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridlo Allah dan cara-cara yang ditempuh tidak bertentangan dengan syari’at-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, pertukaran dan distribusi diikatkan pada prinsip-prinsip Ilahiyyah dan pada tujuan-tujuan Ilahi[6]. Dengan akata lain, seluruh aktivitas mu’amalah manusia harus terikat denan nila-nilai Ilahiyyah sehingga sseluruh anasir perekonomian Islam sedikit pun tidak terlepas dari ketentuan-ketentua aqidah yang menyeluruh tentang alam, kehidupan dan manusia. Asal-usul alam, manusia dan untuk apa manusia hidup serta ke mana akan kembali, smuanya menjadi landasan dalam berekonomi.

2. Ekonomi yang berawawasan kemanusian.

Manusia sebagai pelaku ekonomi merupakan ijin Allah, karena ia telah dipercaya sebagai kholifah-Nya.

“…sesungguhnya Aku jadikan di muka bumi ini khalifah. ….” (QS. Al-Baqarah : 30)

Makna khalifah di sini adalah “pengelola”, artinya Allah telah memberikan kepada manusia berbagai macam kemampuan dan prasarana yang memnungkinkan manusia melakukan tugas pengelolaan bumi. Karena itu, manusia wajib bekerja keras, beramal, berkreasi dan berinovasi serta tidak boleh menunggu pertolongan kecuali dari Allah, zat yang tidak akan menyia-siakan pahala orang yang melakukan kebajikan.

Dari konsep ekonomi yang berwawasan kemanusiaan ini lahir pengakuan Islam akan kepemilikan individuapabila diperoleh dengan cara yang terikat dengan syara’. Islam juga menjaga hak kepemilikan individu dengan penetapan hukum pidana dan perdata, sehingga tidak ada perampasan hak milik pribadi.

Dari konsep ini pula, Islam mengakui tujuan perekonomian diperkenankan pada tataran materiil (jasmaniah). Namun di sisi lain, tujuan akan kepuasan rohaniah tidak boleh terlupakan.

3. Etika Berekonomi

Visi diturunkan nya Islam yangh paling utama adalah perbaikan akhlaq. Sehingga seluruh aktivitas di dunia ini harus berlandaskan pada etik dan moral Islam. Rasulullah SAW. bersabda :

“Sesungguhnya tiadalah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlaq.”

Oleh karena itu, Islam sama sekali tidak mengijinkan ummatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nila-nilai keutamaan yang diajarkan oleh agama. Saat ini kita mendapatkan sistem-sistem lain yang mendahulukan usaha-usaha ekonomi dengan mengabaikan akhlaq dan berbagai konsekuensi keimanan.

Setiap muslim harus mampu meadukan ekonomi dan akhlaq, baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi. Seorang muslim tidak bebas melakukan apa saja yang diinginkannya. Namun ia terikat - dalam berekonomi - dengan nilai etik dan moral Islam (syara’).

4. Ekonomi Pertengahan

Ekonomi Islam termasuk ekonomi pertengahan dari isme besar, yaitu ekonomi kapitalisme dan sosialisme[7]. Karena kalau dilihat, ruh dari ekonomi kapitalisme adalah kebebasan individu untuk menguasai suatu barang seberapapaun jumlahnya dan bagaimanapun caranya (bi laa kammiyyah wa bi laa kaifiyyah). Sedangkan ekonomi sosialisme adalh pengekangan atau bahkan peniadaan kepemilikan individu terhadap suatu barang industri, sekaligus mereka membebaskan cara kelompok masyarakat (negara) menguasai sesuatu.

Dari sua isme besar tesebut, Islam memberikan jalan tengah, yaitu setiap individu dipersilakan memiliki suatu barang/jasa denga jumlah yang tidak terbatas. Akan tetapi harus mampu mengelola kekayaannya itu, sekaligus menyalurkannya lewat zakat. Cara perolehannya pun dibatasi oleh aturan syara’. Sehingga dari sini, individu meskipun bebas memiliki barang/jasa, tidak bisa menimbun atau memonopoli pasar, karena bertentangan dengan aturan syari’at Islam.

C. Prinsip Ekonomi Islam

Yang dimaksud dengan prinsip (asas) adalah sesuatu yang mendasari seluruh aspek hukum yang dimunculkan oleh asas tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah suatu paradigma yang mendasar dan melandasi seluruh aspek hukum yang muncul dar paradigma tersebut. Adapun prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah[8] :

1. Prinsip Kepemilikan (Al-Milkiyyah)

Hampir seluruh ideologi yang ada di dunia, pardigmanya dimulai dari prinsip kepemilikan. Komunis, misalnya, menganggap bahwa kepemilikan itu ada pada negara. Demikian pula kapitalisme, asal ideologinya berdasarkan pada prinsip kepemilikan yang bebas pada manusia (individu). Sehingga dari prinsip tersebut ideologi kapitalisme maupun sosialisme mengembangkan pemikiran-pemikiran mendasar lainnya. Oleh karena itu, wajar apabila dalam pemikiran sosialisme, dimensi individual dan motivasi-motivasi manusia dihilangkan. Sdehingga menimbulkan tidak adnya motivasi kerja, yang pada gilirannya menyebabkan penuruna secara drastis produktivitas masyarakat, karena masyarakat telah kehilangan hsrat untuk memperoleh keuntungan – sesuatu yang manusiawi.

Adapun dalam kapitalisme, pembebasan kepemilikan individu mengakibatkan pula pembebasan pemanfaatannya. Sehingga menurut paham ini manusia bebas menentukan cara mendapatkan dan memanfaatkan hartanya.

Hal itu semua sangat berbeda dengan Islam. Islam berpandangan yang khas tentang harta. Harta itu pada hakikatnya adalah milik Allah (QS. 24 : 33). Harta yang dipercayakan pada manusia, hakikatnya adalah milik Allah yang dikuasakan pada manusia (QS. 57 : 7)[9] Jadi Islam berbeda dengan kapitalisme, yang tidak mengatur kuantitas (jumlah yang diperoleh) dan kualitas (cara memperoleh) serta pemanfaatan dari harta, dan berbeda pula dengan sosialisme, yang mengatur kuantitas dan kualitas harta. Dalam Islam tidak ada kebebasna pemilikan, tetapi tidak ada pula pembatasan secara mutlak. Islam mengatur cara - bukan jumlah - pemilikan serta cara pemanfaatan pemilikan. Cara pemilikan yang sah adalah adanya legalitas dari syara’ akan suatu benda dan pemanfaatannya.

Adapun definisi pemilikan secara umum adalah suatu acar atau metode di mana manusia dengan cara tersebut menguasai manfaat sutu benda atau jasa[10]. Sedangkan ssecara syar’iyy adalah ijin Allah yang diberikan kepada manusia untuk memanfaatkan benda atau jasa.

Dari uraian di atas, kepemilikan berbeda dengan rizqi, karena rizqi adalah a’tho (pemberian). Karena ia merupakan pemberian, sedangkan pemberian itu (rizqi) hanya Allah (selaku pemberi) yang tahu, maka manusia ketika hendak meiliki pemberian (rizqi) tersebut haruslah melalui proses kepemilikan. Akan tetapi, meskipun pemberian itu sudah dimiliki (ada di tangan) secara yuridis formal kepemilikan, belum tentu itu adalah rizqi untuknya. Bisa jadi ia hanya sebagai wasilah (perantara) bagi rizqi orang lain. Jadi kalau ada istilah halal dan haram, maksudnya adalah proses kepemilikan itu, bisa halal dan bisa haram.

Di dalam ekonomis Islam konsep kepemilikan ada tiga macam :

a. Kepemilikan Individu

Pemilikan individu adalah ijin syara’ pada individu untuk memanfaatkan sesuatu benda maupun jasa. Ada lima sebab pemilikan (asbab al-tamalluk) individu, yakni belerja, warisan, keperluan harta untuk mempertahankan hidup, pemberian negara (I’tho’ al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian, barang, dan uang modal, serta harta yang diperoleh individu tanpa upaya yang berarti seperti hadiah, hibah, dan sebagainya[11].

Sementara itu Islam melarang pemilikan harta melalui suatu cara yang tidak dihalalkan oleh Allah, seperto judi, riba, pelacuran, dan lain-lain. Kegiatan ekonmi tersebut akan menyeret manusia pada kegiatan-kegiatan ekonomi haram yang lainnya. Juga dilarang memperoleh harta melalui jalan korupsi, mencuri, menipu karena pasti akan menimbulkan kerugian pada orang lain[12].

b. Kepemilikan Umum

Pemilikan umum adalah ijin Allah (Asy-Syari’) kepada masyarakat agar secara berasama-sama memanfaatkan sesuatu, berupa barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas, dan lain-lain), padang rumput (hasil hutan), barang yang memang tidak mungkin dimiliki individu seperti sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid, dan sebagainya[13].

Pengelolaan milik umum dilakukan hanya oleh negara untuk seluruh rakyat dengan cara diberikan cuma-cuma atau disunsidi separoh harga, sehingga dapat dijual murah, seperti subsidi BBM, PLN, PDAM, dan lain-lain. Dengan cara ini, rakyat dapat memperoleh beberapa kebutuhan pokok dengan murah. Subsidi yang diberikan semestinya tanpa pandang bulu, baik kaya maupun miskin. Karena yang kaya sudah dikenai zakat untuk yang miskin, jadi tetapseimbang dan adil.

c. Kepemilikan Negara

Pemilikan negara adalah ijin dari Syari’ atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara. Misalnya, harta ghonimah, fa’I, khoraj, jizyah (pajak), 1/5 harta rikaz, harta orang murtad, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan tanah milik negara. Pemilikan negara tersebut digunakan untuk bebagai keperluan yang menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai, kepeeeeerluan jihad, dan sebagainya.

2. Prinsip Pemanfaatan Pemilikan (Ath-Thasarruf Fii Al-Milkiyyah)

Kejelasan konsep pemilikan sangat berpengaruh terhadap konsep pemanfaatan harta (thasarruf al-mal), yakni siapa sesungguhnya yang berhak mengelola dan memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan pemilikan adalah cara seorang muslim memperlakukan harta miliknya, sesuai hukaum syara’. Ada dua macam pemanfaatan harta, yakni pengembangan harta (tanmiyyatu al-mal) dan peng-infaq-an harta.

a. Pengembangan Harta (Tanmiyyatu Al-Mal)

Islam mensyari’atkan hukum-hukum tertentu yang berkaitan dengan pengembangan harta, baik pengembangan melalui perdagangan, pertanian, perindustrian, dan lain-lain. Sehingga setiap cara pembagian harta yang dilarang oleh syara’ harus ditinggalkan. Seperti pengembangan melalui riba, penimbunan, penipuan, perjudian, dan sebagainya.

Hukum pengembangan harta senantiasa terikat dengan hukum mengenai cara dan sarana yang menghasilkan harta itu sendiri, misalnya hukum masalah pertanian akan berkaitan dengan hukum pertanahan, yaitu tidak boleh menelantarkan tanah lebih dari 3 (tiga) tahun, bolehnya seseorang memiliki tanah terlantar, jika ia mengolahnya dan sebagainya. Demikian pula dalam perdagangan terdapat hukum syirkah dan jual beli, dalam industri ada hukum produksi barang dan manjemen, dan lain sebagainya.

b. Infaq Harta

Infaq harta adalah pemanfaatan/ pengelolaan harta dengan atau tanpa manfaat material yang diperoleh. Berbeda dengan kapitalisme, Islam mendorong ummatnya untuk menggunakan hartanya bukan hanya sebatas kepentingan pribadi dengan kemanfaatan (msteriil) yang tampak, tetapi juga untuk kepentingan orang laian sebagai harta yang berfungsi sosial dan bernilaikan ibadah. Oleh karena itu Islam memerintahkan danmenganjurkan ummatnya untuk selalu berinfaq, apakah itu infaq wajib, seperti zakat untuk fakir miskin dan orang yang memelukannya atau untuk jihad fii sabiilillah.

Islam juga melarang penggunaan harta yang bertentangan dengan syara’ seperti risywah (suap), israf, dan tubadzir, serta sangat mencela bakhil, yaitu sikap yang menahan diri dari berinfaq yang seharusnya wajib bagi seorang muslim, seperti menolak pembayaran zakat dan lain-lain (QS. Al-Furqon : 68).

3. Prinsip Distribusi Kekayaan (Taiuz’iu Ats-Tsaiwah)

Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan antar manusia agar tercipta keadilan dan kesejahteraan besama[14], antara lain :

a. Melalui kewajiban menbayar zakat

b. Hak setiap warga negara untuk memanfaatkan pemilikan umum. Negara berhak mengolah dan mendistribusikannya kepada rakyat secara cuma-cuma atau dengan harga murah

c. Pembagian harta negara kepada yang membutuhkan, seperti pemberian sebidang tanah pada rakyat yang mampu mengolah pertanian.

d. Larangan menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya, karena emas dan perak tersebut adalah alat tukar. Sehingga apabila alat tukar ditimbun, maka kekayaannya tidak akan beredar di masyarakat.

e. Pemberian harta waris pada ahlinya



Wa Allahu A’lamu bi Ash-Showaab


[1] Ismail Yusanto, Islam dan Ideologi, Al-Izzah, Bangil, 1998, hal. 195

[2] Ibid., hal. 145

[3] HA. Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Intermasa, 1992, hal. 39

[4] Ibid., hal. 39

[5] Dr. Yusuf Qordlowy, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fii Al-Iqtishodiyy (terj), hal. 23

[6] Ibid., hal. 23

[7] Untuk lebih jelas mengenai perbandingan konsep ekonomi kapitalisme, sosialisme, fasisme dan Islam, lihat analisa MA. Mannan dalam bukunya, Ekonomi Islam, Teori dan Praktek.

[8] M. Husain Abdullah, Dirasah Fii Al-Fikr Al_Islam, 1990, hal. 54

[9] Ibid., hal. 53. Lihat juga uraian Dr. Yusuf Qardlawy dalam bukunya, “Peran Nilai dan Moril Islam dalam Perekonomian Islam”, dan Taqiyyuddijn An-Nabhany dalam bukunya “An-Nizhomu Al-Iqtishodi Fii Al-Islam”, hal. 68

[10] Ibid., hal. 53

[11] Taqiyyuddin An-Nabhany, hal. 78

[12] M. Al-Mubarak, Nizhom Al-Islam, Al-Iqtisdhody, Mabadi’ wa Qowa’id Ammah, Daar Al-Fikr, hal. 28

[13] M. Husain Abdullah, opcit., hal. 55

[14] M. Husain Abdullah, opcit., hal. 57
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik