FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

syariat islam ala Qardhawi Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

syariat islam ala Qardhawi Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

syariat islam ala Qardhawi

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

syariat islam ala Qardhawi Empty syariat islam ala Qardhawi

Post by keroncong Sat Jan 28, 2012 5:15 am

Oleh Nirwan Syafrin Arma MA
(Kandidat PhD Bidang Pemikiran Islam di ISTAC-IIUM)

Akhir-akhir ini isu seputar penegakan Syari’at Islam menjadi salah satu tema kontroversi yang menarik perhatian berbagai kalangan. Tak kurang dari cendikiawan Muslim dan non-Muslim, aktivis Islam dan LSM, politisi, dan diplomat Barat ikut terlibat memperdebatkan dan mendiskusikan isu ini. Mengingat bervariasinya latar belakang para partisipan dalam diskursus syari’ah ini, bisa ditebak bahwa respon mereka pun juga beragam, tapi semua bermuara pada pro dan kontra. Bagi yang kontra, nampaknya ingin memberi makna tersendiri terhadap syariat dan bahkan nada-nadanya ingin memisahkan antara makna syariat (sharÊ‘ah) dan obyektifnya (maqÉÎid al-sharÊ‘ah). Tulisan ini akan merespon pandangan-pandangan yang kontra syariat dengan merujuk penjelasan para ulama klasik dalam hal ini.
Kontrovrsi penegakan Syari’at Islam dapat dikatakan baru dan belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban Islam. Absennya topik seperti ini dalam khazanah literatur keilmuan Islam bukan karena kurangnya perhatian ummat dan ‘ulama Islam terhadap isu ini. Tapi lebih cenderung karena mereka – dalam kitab-kitab fiqh, tafsir, atau ‘aqidah – tidak pernah memperdebatkan apakah melaksanakan hukum-hukum Allah itu wajib atau sebaliknya. Hal ini merupakan indikasi yang jelas bahwa para ulama dan ummat Islam sepakat tentang perihal wajibnya melaksanakan syari’at Islam. Kalaupun ada ketidak sepakatan diantara mereka, hal itu hanya berkisar seputar penafsiran dan praktik-nya. Misalnya berapakah kadar barang curian yang menjadikan seorang pencuri itu wajib dihukum potong tangan. Apakah pemotongan itu dari dari pergelangan tangan atau bukan, tangan kiri atau kanan dan lain sebagainya, sesungguhnya hanya bersifat teknis (furË‘) bukan prinsip (uÎËl). Adapun tentang yang prinsipal semua sepakat.
Isu yang mengemuka sekitar beberapa dekade terakhir abad dua puluh ini bersamaan dengan makin menguatnya hegemoni Barat atas dunia Islam, sejatinya mempunyai latar belakang yang panjang. Sejurus dengan jatuhnya kekhalifahan ‘Uthmaniyah dunia Islam mulai, satu persatu, jatuh ketangan penjajah, dan hukum perundangan Barat pun mulai diperkenalkan. Mulai saat itu debat di seputar syari’ah mulai muncul kepermukaan. Kontroversi soal ini dipicu oleh ‘Ali ‘Abd al-Raziq, salah seorang guru besar al-Azhar, melalui bukunya berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm yang terbit tahun 1926. Buku ini secara eksplisit menolak adanya hubungan antara agama dan politik (negara) dalam Islam. Baginya Nabi Muhammad saw bukan seorang politisi atau pemimpin negara, tapi hanya seorang pemimpin spritual. Sebagai pemimpin spritual, kata Raziq, tugas Nabi hanya sebatas pada penyampaian risalah ilahiyah saja, bukan mendirikan agama. Dan risalah ini, lanjutnya lagi, tidak mengatur isu-isu kedunian seperti politik, negara, perang dan seterusnya; ajarannya hanya mencakup tentang hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Pendapat seperti inilah yang kemudian dikembangkan oleh orang-orang seperti Faraj Fawdah, Fuad Zakaria, Muhammad Khalafullah, dan lain-lain. Muhammad Khalafullah dalam satu debat publik dengan kelompok Islam pernah menyatakan: “Al-Qur’an hanya menyebut nabi Muhammad sebagai rasul yang tugasnya menyeru manusia ke jalan Allah dan memberi petunjuk kepada manusia, maksudnya membangun masyarakat bukan memerintah manusia sebagaimana yang dilakukan oleh seorang raja.” Sebagaimana Abdul Raziq yang telah mendapat kritikan keras dari kalangan ulama, klaim Khalafullah juga mendapat kritikan pedas dari al-marhum al-Ghazali dan Muhammad Imarah pada forum dialog tersebut. ‘Imarah berharap supaya Khalafullah kembali kejalan yang benar sebagaimana ‘Abd al-Raziq dengan berani menarik kembali ide yang dia lontarkan dalam bukunya kontroversialnya tadi. Raziq dalam wawancara dengan Muhammad Amin di majallah Risalah al-Islam terbitan Januari 1951 mengatakan: “ungkapan bahwa ‘Islam adalah risalah ruhaniyyah semata’ merupakan sebuah ungkapan yang di lemparkan syaitan kedalam lidahku.” . Tapi RAziq harus menanggung beban atas kesalahannya itu. Ia sendiri harus minggat dari Azhar dan harus rela diturunkan dari jabatannya sebagai qadi. Inilah mungkin awal dari perdebatan sengit tentang hubungan Islam dan politik atau antara kelompok yang menginginkan syari’ah Islam dan yang menentangnya.


Era Kebangkitan Islam (al-sahwah al-Islamiyah)
Pro-kontra tentang penerapan Syari’ah Islam terus berlanjut seiring dengan perjalanan waktu. Meskipun ditentang baik oleh orang Muslim sendiri maupun politisi dan intelektual Barat, usaha-usaha untuk menegakkan Syari’at Islam di dunia Muslim tetap berjalan. Dan pada tahun 1970an usaha ini sepertinya mendapatkan momentum. Tingkat kesadaran keberagamaan masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia Muslim meningkat. Ini terbukti dengan meningkatnya wanita-wanita Muslimah mengenakan jilbab; begitu dengan jumlah mesjid, pesantren, dan institusi-instusi keagamaan yang lain terus mengalami peningkatan. Organisasi-organisasi internasional yang bernafaskan Islam pun. Perbankan Islam perlahan-lahan mulai berkembang dan menjamur. Jumlah professional Muslim yang beralih arah menjadi Muslim-Muslim yang taat beribadah juga meningkat secara signifikan.
Di belahan dunia Arab perubahan tersebut lebih drastis. Syria, sebuah negara yang berideologikan sekuler, pada pertengahan 1970an mengambil langkah yang mengagetkan. Negara yang berada dibawah pemerintahan Hafez al-Asad (m. 2000) merubah Konstitusi negaranya dengan memasukkan pasal-pasal yang mensyaratkan presiden negara tersebut beragama Islam. Mesir juga mengambil langkah yang hampir sama. Tahun 1981 Anwar Sadat (m. 1981) harus rela mengamendemen Konstitusi negaranya dengan menyatakan Syari’ah Islam sebagai sumber terpenting Hukum Mesir. Di Sudan presiden Numairi juga mengkempanyekan pengimplementasian Syari’ah Islam terutama yang berkenaan dengan Hukum Pidana.
Melihat penomena ini banyak penulis akhirnya menyimpulkan bahwa tahun 1970an merupakan awal dari kebangkitan Islam. Huntington sempat menulis begini (1996: 111),
Beginning from 1970s Islamic symbols, beliefs, practices, institutiosn, policies, and organizations won increasing commitment and support throughout the world of 1 billion Muslims stretching from Morocco to Indonesia and from Nigeria to Kazakahstan.”
Ada banyak faktor dikatakan yang mendorong lahirnya fenomena ini. Philip Khoury (l983:214) melihat faktor utama popularnya gerakan Islam adalah kegagalan pemerintah Arab berideologi sekuler yang didukung oleh kekuatan Barat dalam memenuhi aspirasi rakyatnya terutama dalam bidang ekonomi, yaitu peningkatan kesejahteraan hidup. Ini belum lagi ditambah dengan kekalahan negara Arab Islam pada perang enam hari melawan Israel yang digambarkan oleh banyak kalangan sebagai kekalahan yang memalukan dan mengaibkan. Dimata rakyat banyak kegagalan dan kekalahan ini sama saja artinya dengan kegagalan ideologi penopang pemerintah. Pada saat ini ideologi sekuler mulai ditinggalkan dan Islam mulai dilirik karena diyakini dapat menawarkan jalan alternatif.
Namun demikian Najib Ghadbian (1997:64) menolak pendapat Critical Theorists Khury diatas. Alasannya karena Khury telah mereduksi gerakan kebangkitan Islam kontemporer kepada respon terhadap hancurnya kehidupan sosial dan ekonomi ummah semata. Baginya pendapat ini seolah-olah menafikan kenyataan sejarah bahwa gerakan Islamisasi ini adalah sebuah proses yang telah berjalan cukup lama. Bagi Ghadbian pendapat yang berimplikasi bahwa “If economic problems are solved, the implication is Islamists will fade away,” adalah tidak benar sama sekali.
Khursid Ahmad sependapat dengan Ghadbian. Kata Khurshid, gerakan kebangkitan Islam hari ini merupakan bagian proses panjang sejarah tajdid (pembaharuan) dalam peradaban Islam; ia sudah bermula sejak permulaan sejarah Islam dan berlangusng hingga sekarang. Jadi ia bukan baru, tandas Khurshid. Ahmad Aziz bahkan menekankan “Islah is deeply rooted in the basic soil of Islam.” Fazlur Rahman juga bersetuju dengan pendapat ini. Katanya: “...not all reforms in Islam in recent centuries date from the dawn of modernity.” Menurut Ibrahim Abu Rabi’ kedua faktor, internal dan eksternal, berperan penting dalam proses Kebangkitan Islam kontemporer. “The point to be made here is that both the external factors-the West, capitalism, and social and economic forces- and internal factors - Islamic tajdid and the like - have produced this phenomenon, and that both sets of factors are modern themselves.” Apapun faktor pendorongnya, fakta hari ini menunjukkan bahwa Islam sedang kembali memainkan peran pentingnya dalam kehidupan. Dihampir seluruh belahan dunia Islam tuntutan penerapan Syari’at Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat hari ini terutama sekali ditengah morat-moratnya pranata sosial, budaya, politik, dan ekonomi ummah.

Argumentasi penolakan Syari’at Islam
Semakin gencar gerakan menutut pelaksaan Syari’at Islam, semakin kuat pula suara-suara penantangan terhadapnya. Apa yang menyedihkan sebenarnya adalah bahwa penolakan itu dilakuakan oleh kalangan Muslim sendiri yang bukan dari golongan awam tapi mereka yang terdidik dan terpelajar. Faraj Fawdah, misalnya, dalam suatu debat secara terus terang pernah menyatakan: “ringkasnya saya menolak penerapan Syari’at Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step... karena saya melihat dalam penerapan Syari’at Islam terkandung (konsep) negara agama (dawlah diniyah)... barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syari’ah Islam... dan barangsiapa menolaknya maka dia meolak penerapan Syari’at Islam.” Gaya penolakan seperti Fawdah ini sangat umum dikalangan cendekiawan Muslim modern. Argumentasi yang mereka ajukan untuk menjustifikasi sikap penolakan mereka kebanyakan bernuansa politis dan berkedok ilmiah. Keduanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan. Yang menolak atas nama politik selalunya berlindung dibalik prinsip demokrasi, dan yang berkedok ilmiah akan menggunakan prinsip maslahah atau yang populer dengan prinsip Maqasid syari’ah.
Bagi mereka yang menentang syari’ah Islam, hukum Islam yang terkandung didalam al-Qur’an dan di elaborasi oleh para faqih dan mufassir sudah outdate alias ketinggalan zaman; ia sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan karena gagal meciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi ummat manusia hari ini. Padahal kata mereka kemaslahatan itulah yang merupakan obyektif prima dari di Syari’atkan hukum itu sendiri. Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi dapat menciptakan kemaslahatan maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang dapat merealisasikan obyektif tadi.
Pendapat ini dianut oleh para penganut liberal. Bagi mereka apa yang terpenting bukan formal legalistik dari ajaran Islam itu, tapi substansi dari ditetapkannya hukum-hukum itu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Leonard Binder bahwa (1988:4) “for Islamic liberals the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed langauge.”
Yusuf Qaradawi menamakan kelompok liberalis sebagai neo-Mu’attilah (orang yang mengabaikan nas-nas al-Qur’an). Kelompok ini kata Qaradawi telah menyalah gunakan prinsip maqÉsid syari’ah dengan menjadikannya sebagai dalih lepas dari ikatan nas al-Qur’an yang oleh para ‘ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangka berpikir inilah para kaum liberalis akhirnya menolak hukum hudud, qisas, jilbab, hukum waris, piligami dan seterusnya.
Nampaknya, kerangka berpikir kaum liberalis ini dibangun atas dua argumen. Pertama, bahwa al-Qur’an adalah respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu, dan bahwa hukum-hukum fiqh seperti yang disebutkan diatas adalah produk ijtihad ulama abad pertengahan; Kedua, bahwa tujuan ditetapkannya hukum Islam itu bukan sekedar untuk memenuhi formal legalistiknya saja tapi lebih jauh dari pada itu yaitu untuk menciptakan maslahah kepada ummat manusia. Untuk memahami kedua argumentasi tesebut, sebaiknya kita elaborasi penjelasan argumentasi mereka lebih lanjut.
Kaum liberalis menjelaskan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah ditengah semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu dimana struktur sosial-budayanya patriarki, sistem ekonominya opresif, politiknya despotik dan juga koruptif. Ditengah sistem yang sedemikian rupa kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan merajalela, perempuan dimarginalkan dan dijadikan barang mainan, para kapitalis berkuasa sementara yang akan terus hidup menderita. Al-Qur’an turun untuk menguraikan semua kesusutan itu. Ia hadir untuk kembali mengangkat jati diri manusia yang telah terhinakan. Ia ingin membebaskan manusia dari penindasan dan kesengsaraan dan mencipatkan sebuah masyarakat yang adil (al-adÉlah), egaliter (musawah), merdeka (al-hurriyah), serta damai dan rukun (as-salamah, al-maslahah). Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan riba haram sementara jual beli halal, poligami halal tapi gonta-ganti pasangan haram, tabarruj haram akan tetapi jilbab wajib bagi wanita, hudud dikenakan kepada pelaku tindak kriminalitas dan rajam bagi penzina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam perkembangan selanjutnya dielaborasi secara terperinci oleh Fuqaha dan Mufassirun sehingga melahirkan disiplin ilmu yang dikenal dengan fiqh, usul fiqh dan tafsir. Inilah yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam pernyataannya bahwa:
“The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.”
Dengan nada yang sama dilontarkan oleh pemikir Arab liberal Abdullah Ahmad an-Na’im. Ketika mengomentari hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya ia mengatakan bahwa: “the public law of Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically tenable.” Nasr Hamid Abu Zayd meringkas dengan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah muntaj thaqafi (produk budaya). Apa yang tersirat dari pandangan-pandangan ini adalah bahwa hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an penuh dengan nuansa tatanan sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab abad ketujuh. Oleh sebab itu maka bukanlah suatu tindakan bijak untuk mengadopsi hukum-hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an tadi secara literal dan formal legalistik tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan serta hikmah terdalam dari hukum tersebut.
Argumen kedua mereka, masih berhubungan dengan argumen pertama, dibangun atas prinsip Maqasid Syari’ah (obyektif Shari’ah). Prinsip ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai obyektif /maqasid utama. Adapun obyektif utama syari’at Islam adalah menciptakan kemaslahatan (kebaikan) bagi ummat manusia. Riba diharamkan untuk menjaga kepentingan golongan lemah dan miskin dari terus diekspoitasi oleh kelompok kapitaslis. Hudud disyari’atkan untuk menciptakan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat dari keberutalan dan kebengisan para kriminal, disamping untuk menciptakan rasa adil ditengah masyarakat.
Akan tetapi, lanjut mereka, maslahah itu sendiri dapat berubah sesuai dengan peredaran waktu dan tempat. Apa yang dianggap maslahah hari ini dan ditempat belum tentu menjadi maslahah pada masa lalu atau akan datang dan ditempat yang lain. Jadi apa yang dianggap maslahah bagi masyarakat Arab abad ketujuh belum tentu menjadi maslahah bagi masyarakat hari ini. Misalnya hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina. Mendukung pandangan liberal ini Nurcholish Majid mengatakan bahwa kedua hukum ini sangat sesuai untuk dilaksanakan pada saat itu mengingat lingkungan dan tabi’at masyarakat Arab yang kasar dan ganas ketika itu. Dalam kondisi ini sudah tentu hukuman seperti itulah sangat plausible, pantas, dan layak untuk dilaksanakan. Pendapat Nurchlosih ini mendapat pembenaran dari Muhammad ‘Abid al-Jabiri, pemikir Muslim Magribi. Katanya “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.”
Jadi berangkat dari perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat kita hari ini, baik itu pada dataran sosial budayanya, atau sistem ekonomi dan politiknya, atau juga lingkungan masyarakatnya, para Muslim liberal menarik beberapa kesimpulan mengenai syariat. Diantaranya adalah bahwa hukum hudud sudah dianggap tidak relevan; hukum ini sudah tidak lagi dapat menciptakan kemaslahatan bagi ummat manusia, yang merupakan obyektif hukum itu sendiri; hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum bunuh bagi pembunuh dianggap tidak akan dapat menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Bahkan ada pula pendapat yang jelas-jelas menggunakan standar Barat bahwa hukuman tersebut melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Potong tangan, hukum bunuh, rajam bagi penzina dianggap bringas dan brutal, dan ia tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat hari ini.
Qasim Haj Hamad, pendukung ide anti asal Sudan menjelaskan bahwa makna al-Maidah ayat 48 (likullin minkum shir’atan wa minhaja) bermakna bahwa Allah telah menetapkan suatu syari’ah sesuai dengan karakteristik, kejadian, dan adat kebiasaan kamu. Dengan ayat ini, lanjutnya, Allah sesungguhnya menginginkan kita ummat manusia untuk memperhatikan kenisbian (kerelatifan) syari’ah yang diturunkannya. Ia sesuai dengan konteks historis dan masyarakat yang beragama. Berdasarkan argumenas ini dia kemudian menyimpulkan: “bahwa hukum potong tangan, rajam, dan cambuk hanya berlaku pada zaman dahulu.” Artinya untuk saat sekarang ini hukum tersebut sudah tidak berlaku lagi. Menurutnya hal ini bukan berarti kita telah merubah hukum Tuhan, sebab, katanya “sesungguhnya yang tidak berubah dalam tasyri’ ini adalah prinsip hukuman hudud atau balasan itu sendiri. Adapun mekanisme pelaksanaan prinsip itu sendiri diserahkan kepada peredaran sesuai dengan kondisi, adat kebiasaan, dan nilai-nilai (yang berlaku).”
Hamad Farhan Nur Farhat, professor dan dekan di fakultas hukum universitas Zaqaziq, juga melontarkan ide yang sama. Dia mengakui bahwa hukum Islam itu ada yang berubah dan ada yang absolute. Yang absolute baginya adalah prinsip, ide pokok hukum-hukum tersebut. Adapun ukuran dan bentuk hukum itu sendiri termasuk kategori mutaghayyirat (berubah). Berdasarkan argumen ini, seperti Jabiri Nur Farhat juga menolak hukum potong tangan. Baginya hukum ini tidak relevan dengan norma dan nilai hidup masyarakat hari ini. Bahkan menurut Ahmad Na’im hukum Islam yang kita ketahui dalam al-Qur’an bertentangan dengan standard hukum International. “current international law, including human rights standards established thereunder, cannot coexist with corresponding principles of Shari’a.” Dibahagian lain dia juga menuliskan “Shari’a violates some of the most fundamental international human rights standard.”
Sesungguhnya ide-ide inilah yang telah di boyong dan diusung oleh kelompok Liberal di Indonesia. Gerakan ini nampaknya sudah sangat terpengaruh sekali dengan ide-ide diatas seperti yang dapat dibaca dengan jelas dari artikel tokohnya yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (Kompas, 18/11/2002). Wajar kalau banyak pihak menilai bahwa artikel itu tidak membawa ide yang baru, apalagi menyegarkan. Ia hanyalah artikulasi baru atau bahkan “carbon copy” dari kesimpulan-kesimpulan para penulis yang disebut diatas yang tanpa menyebut argumentasi dan metodologi yang lengkap.
Bahkan sebenarnya apa yang diangkat oleh pemikir Muslim liberal sudah banyak direspon dan dikritisi oleh banyak ‘ulama dan cendikiawan Muslim kontemporer. Sayang, mereka tidak mengkaji dan memahami secara obyektif respon para ulaman itu. Selain itu mereka juga tidak serius dalam merujuk pendapat ulama klasik apalagi memahaminya dalam konteks kekinian. Untuk membuktikan klaim ini marilah kita tinjau bagaima pandangan cendekiawan Muslim liberal dibanding pendapat ulama klasik.

Ketetapan Nass dan Obyektif Syari’ah
Secara lexical Syari’ah berarti jalan menuju sumber air, atau air yang menjadi sumber minuman masyarakat. Secara teknikal syari’ah adalah totalitas ajaran Islam yang diturunkan Allah kepada Rasulnya Muhammad (saw) tentang ‘aqidah, moralitas, dan aspek praktikal (mu’amalat) kehidupan sehari-hari. Ibn Athir mendefinsikannya sebagai ketentuan agama yang diwajibkan Allah keatas hambanya. Jadi Syari’ah adalah agama Islam dan Islam adalah syari’ah. Namun dalam perkembangannya syari’ah selalu diidentikkan dengan fiqh dan fiqh pula dianggap produk ijtihad ‘ulama, oleh sebab itu ia harus berubah dengan perubahan tempat dan waktu. Pernyataan ini diatu sisi benar dan disisi lain salah. Ia benar karena fiqh memang merupakan hasil jerih payah ‘ulama menderivasi hukum-hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi tidak semua fiqh hasil ijtihad ‘ulama. Seperti hukum solat, puasa, zakat, dan haji. Meskipun keempat-empat perkara ini dibahas dalam kitab fiqh tapi dia bukan merupakan ijtihad ‘ulama, tapi ketentuan Allah swt yang tertulis didalam al-Qur’an. Oleh sebab itu adalah merupakan kekeliruan besar apabila kita mengangap seluruh fiqh produk ijtihad ‘ulama.
Seluruh ‘ulama Islam sepakat bahwa syari’at Islam diturunkan demi untuk kebaikan manusia, didunia ini terlebih lagi di akhirat. Imam Ibn Qayyim menuliskan seperti berikut: “Sesungguhnya dasar dan fondasi syari’at Islam adalah hikmah dan kebaikan manusia di dunia dan diakhirat. Syari’at Islam itu seluruhnya adil, rahmah, hikmah, dan maslahah (kebaikan). Oleh sebab itu setiap masalah yang lari dari prinsip keadilan kepada kezaliman, atau dari rahmah menjadi sebaliknya, atau dari kebaikan menjadi mafsadah (keburukan), atau dari hikmah kepada hal yang sia-sia bukan merupakan bagian syari’at, meskipun dimasuki melalui ta’wil.”
Dalam dunia pemikiran Islam kajian tentang maqasid syari’ah sama sekali bukan merupakan topik baru. Ahmad Raysuni menelusuri akar kajian ini se-awal Imam al-Turmidhi (w. 3 H). Turmidhi telah menggunakan perkataan maqasid sebagai judul bukunya al-Salah wa Maqasiduha, yang menguraikan tentang rahasia salat. Ide ini kemudian dikembangkan oleh ‘ulama-ulama berikutnya seperti Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H), Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyhi (w.365), Abu Bakar al-Abhari (w. 375 H), dan Imam al-Baqillani (w. 403 H). Imam Juwaini juga mamainkan peran dalam pengembangan konsep ini. Diantara ungkapan Imam Juwayni yang terpenting dalam hal ini adalah: “barang siapa yang tidak memahami obyektif perintah (awamir) dan larangan (nawahi) Allah, maka sesungguhnya dia tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan sesuatu hukum.” Ghazali (w. 505 H), murid Juwayni, kemudian mensistemasikan konsep ini dengan membaginya kepada tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat atau tazyiniyyat. Fakhruddin al-Razi (w.606 H) -sebagaimana yang diungkapkan oleh Raysuni- tidak memberikan kontribusi banyak dalam pengembangan ide ini. Hal ini, kata Raysuni, tidak mengherankan karena memang kitab al-Mahsul fi Usul al-Fiqh karya al-Razi ini hanya merupakan ringkasan dari Mu’tamad-nya Abu Husayn al-Basri, al-Burhan-nya Imam Juwayni, dan Mustasfa-nya Imam Ghazali. Demikian pula, Razi patut dipuji karena dia telah bersungguh-sungguh mempertahankan rasionalisasi hukum (ta’lil al-ahkam), ketika konsep ini mulai mengalami proses degradasi. Kata al-Razi “maslahah hendaklah menjadi bagian dari Syari’ah, karena tujuan utama keseluruhan hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (kepentingan manusia).”
Untuk beberapa lama konsep maqasid mengalami proses stagnansi seiring dengan mandeknya wacana keilmuan di dunia Islam. Fiqh Islam menjadi kaku dan baku, dan yang berkembang sebaliknya adalah tradisi taqlid. Ditengah-tengah kemdandekan inilah Imam al-Syatibi tampil dengan magnu opus-nya al-Muwafaqat dimana beliau menjabarkan dengan begitu terperinci sekali tentang konsep maqasid sl-syari’ah. Ibn ‘Asyur yang juga memainkan peran dalam pengembangan teori ini dengan kitabnya Maqasid al-Syari’ah memuji kehebatan buku ini dengan kata-katanya: “Sungguh dengan kitab ini Syatibi telah membangun...... peradaban Islam. Dengan buku ini ia dapat menunjukkan jalan dan cara merealisasikan keabadian dan kesucian agama (islam). Hanya sedikit orang saja sebelumnya yang mendapatkan jalan ini.” Begitu hebatnya kontribusi Syatibi tersebut sehinggakan konsep maqasid ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum syari’ah Islam hari ini.
Para aktivis Islam, khususnya mereka yang menuntut penerapan syari’ah, sadar betul perihal pentingnya konsep maqasid ini. Sayyid Qutb misalnya, tokoh yang selalu dituduh sebagai penggerak fundamentalis Islam kontemporer, menjelaskan bahwa shari’ah adalah sekumpulan hukum (peraturan) yang tidak pernah berubah; ia bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Syari’ah berbeda dengan fiqh, tandasanya. Kalau syari’ah sifatnya thabit (constant), fiqh memberi ruang gerakn untuk beradaptasi dengan perubahan waktu dan lingkungan, tentu saja sepanjang perubahan itu masih bisa ditolerir dalam kerangka besar prinsip Islam, yaitu maqasid syari’ah. Muhammad Qutb -juga penganjur penerapan Syari’ah Islam- menegaskan pernyataan saudara kandungnya diatas. Tulisnya: “pemimpin yang dipercayai mestilah berbuat sesuai dengan (pinsip) masalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan objetif akhir Syari’ah (maqasid al-Syari’ah)... pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standard hukum dalam membuat keputusan.”
Berdasarkan kutipan diatas maka adalah sebuah kekeliruan besar bagi pemikir Muslim liberal yang secara tidak kritis menuduh kelompok pro Syari’ah sebagai literalis, irrasional, yang sanggup mengorbankan prinsip maqasid. Merekalah sebenarnya pejuang yang sanggup mati demi mempertahankan maqasid syari’ah. Ada diantara mereka yang diculik, ditahan, disiksa, dan dibunuh. Pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin, Almarhum Hasan Hudaybi, dalam suatu dialog tentang Misra bayn al-dawlah al-diniyyag wa dawlah al-madaniyyah, dengan nada agak kesal merespon Faraj Fawdah yang menganggap gerakan Islam tidak mempunyai visi dan program. Ia mengatakan
“sebaiknya kamu berbicara tentang pemerintah yang mendekam jiwa-jiwa kami, menghalang pergerakan kami serta mencegah kami dari kerja-kerja pengkajian untuk mendapatkan pentetahuan... bagaimana mungkin kami dapat mempunyai program kalau melakukan kajian saja kami dilarang... kalaupun kami telah mempunyai program kami, kami tidak akan dibolehkan menyebarkannya dan akan dituduh mendirikan partai lalu dimasukkan ke penjara.”

Protes serupa juga terungkap dari mulut pemimpin gerakan Islam Tunisia, Rashid al-Ghannushi. Katanya “kami telah coba lebih dari sekali, ketika keadaan aman, untuk membentuk komite bahkan pusat riset untuk mempelajari bentuk negara Islam, undang-undang syari’ah dan maslahah, ekonomi... akan tetapi dengan cepat proyek dan artikel-artikel riset kami diberangus oleh pihak keamanan untuk dijadikan bukti bahwa kami terlibat dalam gerakan anti pemerintah.... Riset dan usaha kami selalu dianggap sebagai ancaman kepada keamanan.”
Demikianlah nasib yang dialami oleh para pejuang syari’at Islam, tanpa sedikitpun ada pembelaan. Kaum liberalis dan sekularis hanya berdiam diri ketika nilai-nilai kemanusian dan prinsip kebebasan dinjak-injak. Mereka berdiam diri ketika kebebeasan wanita muslimah untuk melaksanakan perintah agama mereka mengenakan jilbab diragut, tapi merasa tersinggung bila penzina akan dihukum.
Qaradawi menilai bahwa lahirnya gerakan ekstrimisme dikalangan masyarakat Islam hari ini, terutama dibarisan pemudanya, disebabkan oleh banyak faktor, bisa berupa ekonomi, budaya piskologi, dan lain-lain. Tetapi ekstrimisme juga bisa didorong oleh sikap penguasa yang seenaknya melakukan korupsi sementara rakyat banyak hidup sengsara, bersikap kuku besi memberangus kebebasan rakyat untuk bersuara, dan prinsip keadilan diabaikan begitu saja. Dalam keadaan penguasa yang seperti ini wajarlah jika ada kelompok masyarakat yang menuntut syari’at untuk diterapkan.Sikap penguasa seperti yang disebutkan diatas sebenarnya bertentangan dengan prinsip dasar maqasid syari’ah. Kaum liberal yang mengklaim memperjuangkan maqasid shariah justru menentan penerapan syari’ah, sedangkan penerapan syari’ah adalah cara untuk mengembalikan dan merealisasikan kembali prinsip maqasid. Jadi nampaknya mereka ingin mengambil maqasid nya dan meninggalkan syariatnya. Sikap masyarakat yang miring terhadap kaum liberalis sangat dapat diterima. Masyarakat menganggap klaim mereka memperjuangkan maqasid hanya sekedar mencari popularitas publik, kepentingan politik dan vested interest lainnya. Disinilah kita perlu dengan hati-hati menyikapi solgan maupun argumen-argumen yang mereka ajukan yang meskipun seolah-olah sangat agamis namun pada hakikatnya nihil daripada nilai.
Untuk melihat bagaimana ambigiusnya sikap kaum liberalis terhadap konsep maqasid tadi, ada baiknya kita ambil satu contoh kasus yang selalu menjadi bahan ejekan mereka, yaitu hukum hudud. Seperti yang diterangkan diatas kaum liberalis menolak hukum hudu dengan alasan hukum ini sudah outdated, tidak dapat merealisasikan apa yang menjadi obyektif utama dari turunkan hukum tersebut, yaitu memberikan ketenteraman dan keamanan kepada harta dan jiwa, masyarakat. Benarkah demikian, kajian terperinci perlu dilakukan.
Para ‘ulama sepakat bahwa dalam al-Qur’an ada yang ayat yang disebut dengan muhkamat dan ada yang mutsyabihat, ada yang dhan al-dalalah dan ada yang qat’i al-dalalah. Dari keseluruhan al-Qur’an tersebut, hanya beberapa ayat saja yang masuk kategori muhkamat dan qat’i al-dalalah, selebihnya dhan al-dalalah, maksudnya arti dan makna ayat tertentu ambigius dan oleh sebab itu diperlukan ijtihad. Dan iktilaf dalam kasus seperti ini bukanlah sesuatu yang aib. Adapun ijtihad dalam ayat-ayat yang qat’i al-dilalah, ‘ulama sepakat tidak membenarkannya. Dalam kitab-kitab usul al-fiqh kita mengenal kaedah-kaedah seperti la ijtihad fi mawrid al-nass (tidak ada ijtihad pada perkara yang mempunyai nas qat’i dalam al-qur’an). Artinya dalam masalah-masalah yang hukumnya telah diterangkan Allah secara jelas dan eksplisit, ijtihad yang berbentuk bayani, yaitu usaha untuk menentukan hukum, tidak dibenarkan, dan setiap Muslim diwajibkan untuk mematuhi dan menjalankannya sebagai tanda keimanannya kepada sang Yang Maha Penguasa, yang membuat Undang-Undang tadi (Law giver). Menurut ‘ulama ayat seperti ini tidak mungkin bertabrakan dengan kepentingan manusia. Karena Allah-lah yang telah menetapkan hukum tersebut dan Dia Maha Tahu keadaan hamba-Nya. Dalam kaitan ini Yusuf al-Qaradawi menuliskan:“nas yang qat’i dari segi transmisi dan maknanya tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qat’iyah (kemaslahatan yang pasti), karena sesama qat’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi.”
Demikianlah ‘ulama berkeyakinan bahwa setiap ayat yang mengandung makna pasti tidak akan pernah bertentangan dengan kepentingan manusia, meskipun secara lahirnya ataupun dalam tanggapan manusia ia mungkin mengakibatkan bahaya kepada manusia. Oleh sebab itu hukum hudud yang disangkakan tidak memberikan kebaikan manusia hari hanyalah sebuah khayalan semata. Adapun pendapat Najmuddin al-Tufi yang mengandaikan adanya pertentangan tersebut- dalam bahasa Raysuni- hanya sekedar nazari iftiradi (teori belaka). Ini terbukti dengan gagalnya al-Tufi memeberikan contoh konkrit tentang hal itu. Atas dasar ini pula tidak ada seorang ‘ulama pun di Timur dan Barat yang menolak hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya, sebab ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum-hukum ini memang dibuat secara eksplisit dan tegas, sehingga tidak menimbulkan perbedaan penafsiran. Dalam konteks inilah Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9) sampai pada kesimpulan bahwa
‘the application of the hudud is mandatory and no one h as the right to avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God.” .............“According to the Shari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of the Islamic state.” ............“all the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change or alteration” karena pertama ia dibangun diatas ayat yang qat’i al-thubut wa al-dilalah.
Benarkah hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini? Mari kita teliti lebih dalam. Setiap hukuman mempunyai tujuan ganda, pertama untuk menciptakan keadilan bagi yang teraniyaya, dan disini diperlukan adanya prinsip retributive, dan kedua sebagai pelajaran bagi masyarakat banyak, atau selalu disebut dengan detterance. Apa saja hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan hanya akan menciptakan kekacauan yang lebih hebat. Sebagai contoh, apabila keluarga yang terbunuh tidak merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pembunuh maka akan timbul kekecewaan, dan kekecewaan akan mendorong reaksi yang tidak rasional. Orang tersebut mungkin akan melakukan balasan pembunuhan, mungkin terhadap sipelaku atau kepada keluarga terdekat sipembunuh. Apabila pihak yang terbunuh juga tidak merasakan keadilan, maka dia juga akan melakukan tindakan yang sama sehingga akan terjadilah proses cycling pembunuhan, dan pada akhirnya akan menciptakan ketakutan ditengah-tengah masyarakat. Akan tetapi dengan hukum hudud, perasaan ketidak adilan tadi dapat dihindari, karena pihak yang dirugikan terpuaskan dengan hukuman yang dijatuhkan. Apakah ada hukuman yang lebih kejam bagi si orang yang menciptakan huru-hara selain hukuman bunuh itu sendiri. Jadi dengan hukum hudud prinsip keadilan yang merupakan bagian penting dari obyektif syari’ah telah terlaksana. Lantas kenapa golongan liberalis menolak hukuman hudud?
Disamping terpenuhinya principle of justice hukuman juga punya fungsi edukatif dan sekaligus preventif. Hukuman dibuat bertujuan untuk mendidik (deter) publik dan si kriminal tentang akibat (Consequence) perbuatan jahat mereka. Menurut Sa’id Ramadan al-Buti menjelaskan bahwa salah satu unsur terpenting dari sesuatu hukuman adalah bengis, kejam, dan keras (al-qaswah). Hilangnya unsur ini berarti hilanglah makna sesuatu hukuman. Semakin kejam (severe) sesuatu hukuman maka semakin effektiflah ia memberikan kesan. Karena kekejaman akan menimbulkan rasa takut dan selanjutnya yang akan menghalang calon kriminal untuk melakukan aksi kriminalitasnya. Apabila calon kriminal menghentikan kejahatannya, masyarakat akan aman, nyawa dapat diselamtkan, harta, akal, serta nasal (keturunan)pun dapat terpelihara. Inilah kemaslahatan yang ingin direalisasikan syari’ah Islam dan semua hukum yang ada didunia ini. Kalau demikian dimanakah letaknya tidak relevannya hukum hudud dalam menciptakan kemaslahatan manusia hari ini.
Sebenarnya tingginya tingkat kriminalitas dimasyarakat kita hari ini seperti korupsi, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan, disebabkan gagalnya hukum menjalankan fungsi edukatif and preventif-nya. Tentu saja kegagalan itu disebabkan banyak faktor seperti tidak adanya law enforcement. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kegagalan tersebut juga disebabkan oleh hukum itu sendiri yang sama sekali gagal memberikan perasaan jera dan takut kepada pelaku ataupun calon pelaku lainnya. Sekedar contoh saja. Akhir-akhir ini tingkat kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan incest semakin meningkat. Hal ini telah menimbulkan keresahan masyarakat. Beberapa pelaku kejahatan tersebut telah dijatuhi hukuman, akan tetapi tingkat kejahatan tersebut tidak juga menurun. Artinya dari segi law enfrocement Malaysia telah penuhi. lantas apa yang menyebabkan kejahatan ini tidak dapat dibendung. Besar kemungkinan karena hukuman itu sendiri tidak dapat menimbulkan rasa jera kepada calon kriminal yang lain. Mungkin menyadari kelemahan inilah akhirnya banyak aktivis wanita di negara ini mencadangkan supaya hukuman bagi pemerkosa dan pelaku incest ditingkatkan, seperti disebat dikhalayk ramai. Kenapa tidak tidak terapkansaja hukum Islam, bagi mereka yang melakukan incest adalah hukum bunuh.
Mari kita lihat keadaan tanah air kita hari ini. Di negara kejahatan yang paling banyak dilakukan dan yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara di republik ini adalah merebaknya kejahatan korupsi. Hampir setiap instansi pemerintahan terlibat dalam kegiatan ini. Dan mereka yang melakukan itu kebanyakan adalah pemegang tampuk kekuasaan. Kenapa kejahatan ini tidak dibendung? Yang pertama karena tidak adanya law enforcement, dan yang kedu dan tak kalah entingnya adalah hukuman yang dijatuhkan tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Bagaiman amungkin orang mengambil bermilion-milion uang negara atau uang rakyat juga hanya dihukum dengan bilangan bulan atau hanya beberapa tahun saja. Pertama, di manakah letaknya prinsip keadilan disini. Kedua, mungkinkah dengan hukuman seringan itu akan membuat orang jera dan takut. Sudah tentu tidak. Itulah sebabnya akhir-akhir ini banyak kalangan yang menuntut agar hukuman bagi kejahatan tindak pidana korupsi dinaikkan.
Kesimpulan
Di lihat dari dua perspektif tujuan hukum tadi, jelas sekali hanya hukum hudud dan rajam yang memiliki fungsi ganda tadi. Meskipun demikian, disini kita perlu tekankan bahwa hukum hudud bukanlah satu-satunya syari’ah Islam. Syari’ah Islam bukan hanya hudud, rajam, waris, dan sejenisnya. Syari’ah Islam jauh lebih komprehensif dan sempurna. Syari’ah Islam termasuk kewajiban untuk menyantuni anak yatim, memberdayakan secara ekonomi fakir miskin, memilih pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab, bersikap jujur dan seterusnya. Tuduhan bahwa kelompok pro syari’ah mereduksi ajaran Islam hanya kepada hudud, qisas, jilbab, dan poligami saja, adalah sama sekali tidak berdasar. Sesungguhnya penuduh itulah yang mereduksi hukum Islam kepada masalah-masalah tadi. Lihatlah, kebanyakan para pengecam syariah itu biasanya mengkritik hukum-hukum seputar hudud dan sebagainya. Bukankah buku Abdullah Ahmad an-Na’im Towards an Islamic Reformation, didedikasikan untuk mencerca dan mengejek hukum Allah seperti hudud dan sejensinya. Bukankah contoh-contoh yang selalu diangkat oleh Fazlur Rahman, Mohammad Arkoen, ‘Abid al-Jabiri, Syahrur dan yang seperti mereka berputar sekitar hudud, poligami, hukum warisan, dan sejenisnya. Dengan menggunakan berbagai pendekatan mereka samapai pada kesimpulan yang sama, yaitu menggugat hukum-hukum tersebut diatas.
Banyak kalangan di Indonesia kini menggunakan teori maqasid Syatibi sebagai justifikasi terhadap penolakan mereka terhadap nas-nas qur’an yang qat’i seperti hudud, jilbab, dll. Penolakan terhadap hukum wajib jilbab menggunakan alasan maqasid atau apa yang disebutnya sebagai nilai-nilai universal. Apa yang wajib, kata mereka adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency), dan kepantasan umum itu mereka anggap bersifat fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Implikasinya adalah apabila membuka awrat sudah menjadi kewajaran masyarakat, maka tidak salah bagi wanita muslimah untuk membuka awratnya, karena pada prinsipnya dia telah menjalankan makna universal pemakaian jilbab itu sendiri. Pandangan ini sangat kontras sekali dengan apa yang diungkapkan Imam Syatibi. Kata Syatibi: “tidak ada perubahan pada (hukum yang diperintahkan Allah secara jelas), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) tentang hal itu bervariasi. Oleh sebab itu sesuatu yang sudah dianggap baik tidak mungkin berubah menjadi buruk atau yang buruk sebaliknya sehingga dikatkan misalnya: bahwa membuka awrat sekarang ini bukan lagi aib atau buruk dan oleh sebab itu membuka awrat wajar diperbolehkan. Andaikan hal ini diterima, maka telah terjadi penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasulullah sama sekali tidak sah.”
Menurut ‘Abdul Majid al-Najjar akar permasalahan disini sebenarnya terletak pada kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara maqsad (obyektif ) dan hukum yang menjadi wasilah kepada obyektif . Mereka melihat keduanya terpisah antara satu dengan yang lain. Padahal sesungguhnya dua aspek itu adalah satu. Antara hukum dan obyektif hukum adalah satu ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang diperintahkan Allah dengan pasti tentulah akan mendatangkan kebaikan, dan apa yang dilarang jelas akan menimbulkan kerusakan. Axiom yang mengatakan dimana ada masalahah, disitu pasti ada shari’ah, kata Qaradawi tidak selalunya benar. Menuturnya lagi axiom itu seharunya berbunyi: haythuma wujida al-Shar’ fa thamma al-maslahah (dimana ada hukum syara’ disana pasti ada maslahah) Ini karena terkadang apa yang kita anggap sebagai maslahah sebenarnya bukan maslahah, bisa jadi ia sudah menjadi maslahah yang dikategorikan mulghah (dibatalakan), seperti khamar. Pada keadaan seperti kasus ini sudah tentu syara’ tidak hadir. Akan tetapi ketika syari’at ada, sudah pasti maslahah akan hadir disana, karena tidak mungkin Allah mensyari’atkan sesuatu tanpa ada maslahahanya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji, apakah kita menerima dan melaksanakanny dengan jawaban atau sebaliknya sami’na wa ‘sayna.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik