Gaya Spiritualitas Masyarakat Islam Modern
Halaman 1 dari 1 • Share
Gaya Spiritualitas Masyarakat Islam Modern
Kecepatan arus modernitas telah melahirkan masyarakat konsumtif. Masyarakat modern, yang dicirikan dengan masyarakat konsumtif, saat ini tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli suatu produk, melainkan mengendepankan prestise yang melekat pada produk tersebut. Saat ini, perilaku konsumtif –yang sarat dengan pencarian prestise dan citra tersebut–tidak hanya mempengaruhi cara seseorang mengkonsumsi barang dan jasa, tetapi juga sudah mempengaruhi cara/gaya seseorang melakukan spiritualitas (beribadah).
Perilaku konsumtif yang melekat pada masyarakat Islam mutakhir ini terbukti tidak hanya mempengaruhi gaya hidup sesorang seperti makan, minum, berlibur dan sebagainya, tetapi juga cara melakukan spiritualitas dalam beragama (berbuka puasa, haji, dan sebaginya).
Perlu ditegaskan di sini bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku yang ditujukan untuk mengkonsumsi secara berlebihan terhadap barang dan jasa yang kurang atau bahkan tidak diperlukan. Perilaku ini lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu untuk memuaskan kesenangan dan lebih mementingkan keinginan dari pada kebutuhan.
Di dalam masyarakat Islam modern sekarang ini, kita melihat masuknya budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme dan permainan citra, yang pada tingkat kedalaman tertentu telah menyeret berbagai realitas ritual keagamaan ke dalam ruang-ruang pengaruhnya. Kita menyaksikan masyarakat Islam modern menganggap jalan spiritualitas sebagai gaya hidup (durasi, intensitas, kuantitas), penggunaan waktu, ruang, uang, dan barang di dalam kehidupan sosial. Maka, lahirlah apa yang disebut post-spiritualitas atau hiper spiritualitas.
Post-spiritualitas akan melahirkan post-ritualitas, yaitu aktivitas ritual keagamaan yang dilakukan yang menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi, bukan mengikuti model, contoh atau rujukan yang ada sebelumnya, khususnya contoh Nabi dan Rasul. Pada akhirnya, ritualitas yang dilakukan masyarakat Islam modern dengant sifat komsumtifnya akan mengacaukan tujuan utama spritualitas itu sendiri, yaitu penyujian jiwa. Inilah yang terjadi pada masyarakat Islam kita saat ini.
Melenceng dari Tujuan Utama
Aktivitas ritual keagamaan pada hakikatnya adalah ruang penyucian jiwa, yaitu pembersihan dan peleburan jiwa dari berbagai kotoran, berupa perbuatan tidak baik dan kemaksiatan. Bentuk penyuciaan tersebut juga mengikuti model yang telah dicontohkan Rasulullah dan dalil-dalil yang telah digariskan (Alqur’an). Pada umumnya, ini dilakukan lewat pengekangan hasrat rendah.
Ketika sesorang melakukan kegiatan ritual keagamaan yang secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang telah dicontohkan Nabi dan dalil-dalil yang telah digariskan tersebut, maka dia sedang tidak melakukan ritual, melainkan “hiper-ritualitas”. Hiper ritualitas merupakan ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Akibatnya, yang terjadi adalah budaya materi dan gaya hidup yang menyertainya yang justru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang penyujian jiwa.
Contoh yang paling sering kita jumpai adalah acara berbuka puasa yang dilakukan di hotel-hotel berbintang dengan mengundanng artis kondang, sehingga ada semacam citra, ilusi-ilusi, gaya hidup dan gengsi tertentu yang dibangun di baliknya. Di dalamnya, orang tidak lagi sekedar berbuka puasa dengan makanan, akan tetapi dengan image, dengan gaya hidup, dengan gengsi, dengan ilusi-ilusi gaya makanan yang disajikan atau suasana tempat yang diciptakan.
Begitu juga dengan haji plus misalnya, yang menawarkan paket haji yang serba “wah” dan serba istimewa dengan berbagai bentuk fasilitas yang menyertainya. Pemilihan hotel berbintang, makanan khusus (enak), penerbangan khusus, apartemen yang mewah, ziarah transportasi lokal dengan bus AC dan kemewahan dan kukhususan lainnya. Di dalamnya, orang tidak sekedar melakukan ibadah haji saja, melainkan mengejar image , gaya hidup, dan gengsi.
Sebenarnya, tanpa itu semua (mengundang artis, tempat yang mewah, penerbangan khusus, dan sebaginya), seseorang sudah bisa melakukan ritualitas (berbuka puasa atau berhaji) secara sederhana. Pada saat itulah ritual keagamaan kehilangan makna hakikinya.
Perilaku-perilaku spiritualitas seperti ini hanya akan mereduksi ritual ibadah menjadi fenomeno permukaan, penampakan, dan tanda-tanda dan pastinya menjauhkan seseorang dari makna yang mendalam dan nilai-nilai spiritualnya. Akibatnya, tujuan utamanya (penyujian jiwa) menjadi terganggu, kacau dan tidak bisa optimal.
Keikhlasan Beribadah
Kita semua seharusnya tidak membiarkan nilai-nilai spiritualitas kita ternodai hanya karena citra, materi, hasrat, dan gaya hidup. Kita seharusnya mengedepankan tujuan utama spiritualitas itu sendiri, yaitu penyujian jiwa.
Memang, kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia materi, hasrat, konsumsi, citra tidak bisa dileyapkan dari kehidupan manusia. Hasrat tidak bisa dibunuh, materi tidak bisa dihilangkan karena itu merupakan anugerah Tuhan. Jalan spiritualitas yang kita lakukan bukan untuk membunuh hasrat, menentang materi, menghentikan konsumsi atau melenyapkan gemerlap citra, melainkan mengendalikan atau meminimalisasi efek, dampak atau ekses-ekses yang merusak dengan cara penyucian jiwa dari berbagai pengaruh dualistik, kontradiksi, ketidakpastian, kekaburan dan ekstiminitas.
Sejarah mengajarkan kita bahwa segala suatu yang bertumbuh ke arah titik ekstrem pada akhirnya hanya akan menyebabkan penghancuran diri kita sendiri. Jalan spiritualitas adalah jalan untuk mencegah kehancuran yang diakibatkan oleh mesin hasrat yang melampaui spiriitualitas itu sendiri.
Jalan spiritualitas yang kita tempuh diharapkan mampu menjadi mesin pengendali terhadap mesin hasrat kapitalisme dan konsumerisme yang kini sedang dipuja,disanjung,dan digandrungi masyarakat Islam modern. Di sini dibutuhkan keikhlasan dalam menjalankan ibadah (spiriitualitas). Kita perlu menata niat untuk ikhlas dalam menjalankan spiritualitas. Pelepasan dari segala sesuatu yang bisa menggagalkan proses penyujian jiwa perlu kita lakukan.
Sudah saatnya, kita sebagai manusia beragama, meminimalisasi atau bahkan menghentikan segala bentuk jalan spiritualitas yang diembel-embeli mencari identitas, gengsi, citra dan gaya hidup yang hanya akan merusak hakikat spiritualitas itu sendiri.
Ketulusan dan keikhlasan hati dalam menjalankan ibadah sangat diperlukan untuk mencapai tujuan spiritualilitas secara total. Dunia, dengan segala bentuk gemerlapnya hanya akan membawa kita menjadi rusak kalau kita tidak mampu mengendalikannya. Menapaki jalan spiritualitas dengan rasa ikhlas, tulus dan sederhana akan mengantarkan kita pada kemuliaan dan kebaikan hidup, baik di dunia maupun akhirat.
AHMAD UBAIDILLAH
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6297:gaya-spiritualitas-masyarakat-islam-modern&catid=12:refleksi&Itemid=82
Perilaku konsumtif yang melekat pada masyarakat Islam mutakhir ini terbukti tidak hanya mempengaruhi gaya hidup sesorang seperti makan, minum, berlibur dan sebagainya, tetapi juga cara melakukan spiritualitas dalam beragama (berbuka puasa, haji, dan sebaginya).
Perlu ditegaskan di sini bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku yang ditujukan untuk mengkonsumsi secara berlebihan terhadap barang dan jasa yang kurang atau bahkan tidak diperlukan. Perilaku ini lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu untuk memuaskan kesenangan dan lebih mementingkan keinginan dari pada kebutuhan.
Di dalam masyarakat Islam modern sekarang ini, kita melihat masuknya budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme dan permainan citra, yang pada tingkat kedalaman tertentu telah menyeret berbagai realitas ritual keagamaan ke dalam ruang-ruang pengaruhnya. Kita menyaksikan masyarakat Islam modern menganggap jalan spiritualitas sebagai gaya hidup (durasi, intensitas, kuantitas), penggunaan waktu, ruang, uang, dan barang di dalam kehidupan sosial. Maka, lahirlah apa yang disebut post-spiritualitas atau hiper spiritualitas.
Post-spiritualitas akan melahirkan post-ritualitas, yaitu aktivitas ritual keagamaan yang dilakukan yang menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi, bukan mengikuti model, contoh atau rujukan yang ada sebelumnya, khususnya contoh Nabi dan Rasul. Pada akhirnya, ritualitas yang dilakukan masyarakat Islam modern dengant sifat komsumtifnya akan mengacaukan tujuan utama spritualitas itu sendiri, yaitu penyujian jiwa. Inilah yang terjadi pada masyarakat Islam kita saat ini.
Melenceng dari Tujuan Utama
Aktivitas ritual keagamaan pada hakikatnya adalah ruang penyucian jiwa, yaitu pembersihan dan peleburan jiwa dari berbagai kotoran, berupa perbuatan tidak baik dan kemaksiatan. Bentuk penyuciaan tersebut juga mengikuti model yang telah dicontohkan Rasulullah dan dalil-dalil yang telah digariskan (Alqur’an). Pada umumnya, ini dilakukan lewat pengekangan hasrat rendah.
Ketika sesorang melakukan kegiatan ritual keagamaan yang secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang telah dicontohkan Nabi dan dalil-dalil yang telah digariskan tersebut, maka dia sedang tidak melakukan ritual, melainkan “hiper-ritualitas”. Hiper ritualitas merupakan ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Akibatnya, yang terjadi adalah budaya materi dan gaya hidup yang menyertainya yang justru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang penyujian jiwa.
Contoh yang paling sering kita jumpai adalah acara berbuka puasa yang dilakukan di hotel-hotel berbintang dengan mengundanng artis kondang, sehingga ada semacam citra, ilusi-ilusi, gaya hidup dan gengsi tertentu yang dibangun di baliknya. Di dalamnya, orang tidak lagi sekedar berbuka puasa dengan makanan, akan tetapi dengan image, dengan gaya hidup, dengan gengsi, dengan ilusi-ilusi gaya makanan yang disajikan atau suasana tempat yang diciptakan.
Begitu juga dengan haji plus misalnya, yang menawarkan paket haji yang serba “wah” dan serba istimewa dengan berbagai bentuk fasilitas yang menyertainya. Pemilihan hotel berbintang, makanan khusus (enak), penerbangan khusus, apartemen yang mewah, ziarah transportasi lokal dengan bus AC dan kemewahan dan kukhususan lainnya. Di dalamnya, orang tidak sekedar melakukan ibadah haji saja, melainkan mengejar image , gaya hidup, dan gengsi.
Sebenarnya, tanpa itu semua (mengundang artis, tempat yang mewah, penerbangan khusus, dan sebaginya), seseorang sudah bisa melakukan ritualitas (berbuka puasa atau berhaji) secara sederhana. Pada saat itulah ritual keagamaan kehilangan makna hakikinya.
Perilaku-perilaku spiritualitas seperti ini hanya akan mereduksi ritual ibadah menjadi fenomeno permukaan, penampakan, dan tanda-tanda dan pastinya menjauhkan seseorang dari makna yang mendalam dan nilai-nilai spiritualnya. Akibatnya, tujuan utamanya (penyujian jiwa) menjadi terganggu, kacau dan tidak bisa optimal.
Keikhlasan Beribadah
Kita semua seharusnya tidak membiarkan nilai-nilai spiritualitas kita ternodai hanya karena citra, materi, hasrat, dan gaya hidup. Kita seharusnya mengedepankan tujuan utama spiritualitas itu sendiri, yaitu penyujian jiwa.
Memang, kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia materi, hasrat, konsumsi, citra tidak bisa dileyapkan dari kehidupan manusia. Hasrat tidak bisa dibunuh, materi tidak bisa dihilangkan karena itu merupakan anugerah Tuhan. Jalan spiritualitas yang kita lakukan bukan untuk membunuh hasrat, menentang materi, menghentikan konsumsi atau melenyapkan gemerlap citra, melainkan mengendalikan atau meminimalisasi efek, dampak atau ekses-ekses yang merusak dengan cara penyucian jiwa dari berbagai pengaruh dualistik, kontradiksi, ketidakpastian, kekaburan dan ekstiminitas.
Sejarah mengajarkan kita bahwa segala suatu yang bertumbuh ke arah titik ekstrem pada akhirnya hanya akan menyebabkan penghancuran diri kita sendiri. Jalan spiritualitas adalah jalan untuk mencegah kehancuran yang diakibatkan oleh mesin hasrat yang melampaui spiriitualitas itu sendiri.
Jalan spiritualitas yang kita tempuh diharapkan mampu menjadi mesin pengendali terhadap mesin hasrat kapitalisme dan konsumerisme yang kini sedang dipuja,disanjung,dan digandrungi masyarakat Islam modern. Di sini dibutuhkan keikhlasan dalam menjalankan ibadah (spiriitualitas). Kita perlu menata niat untuk ikhlas dalam menjalankan spiritualitas. Pelepasan dari segala sesuatu yang bisa menggagalkan proses penyujian jiwa perlu kita lakukan.
Sudah saatnya, kita sebagai manusia beragama, meminimalisasi atau bahkan menghentikan segala bentuk jalan spiritualitas yang diembel-embeli mencari identitas, gengsi, citra dan gaya hidup yang hanya akan merusak hakikat spiritualitas itu sendiri.
Ketulusan dan keikhlasan hati dalam menjalankan ibadah sangat diperlukan untuk mencapai tujuan spiritualilitas secara total. Dunia, dengan segala bentuk gemerlapnya hanya akan membawa kita menjadi rusak kalau kita tidak mampu mengendalikannya. Menapaki jalan spiritualitas dengan rasa ikhlas, tulus dan sederhana akan mengantarkan kita pada kemuliaan dan kebaikan hidup, baik di dunia maupun akhirat.
AHMAD UBAIDILLAH
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6297:gaya-spiritualitas-masyarakat-islam-modern&catid=12:refleksi&Itemid=82
hamba tuhan- LETNAN SATU
-
Posts : 1666
Kepercayaan : Islam
Location : Aceh - Pekanbaru
Join date : 07.10.11
Reputation : 19
Similar topics
» kritik epistemologi islam terhadap pemikiran islam modern
» [info] Kreasi Ulang Batik Solo: Gaya Modern Kontemporer
» pemerintah dan masyarakat islam
» gambaran tradisi masyarakat islam
» definisi akidah
» [info] Kreasi Ulang Batik Solo: Gaya Modern Kontemporer
» pemerintah dan masyarakat islam
» gambaran tradisi masyarakat islam
» definisi akidah
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik