FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Topics tagged under 276 on FORUM LASKAR ISLAM Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Topics tagged under 276 on FORUM LASKAR ISLAM Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI

Waktu sekarang Sun Apr 28, 2024 8:02 am

Ditemukan 1 data yang cocok

Video Ahok: Anda Dibohongi Alquran Surat Al-Maidah 51 Viral di Medsos

lanjutan #276

ryo wrote:
dee-nee wrote:
anda sendiri punya ga data dari hadits2 atau dari dokumen2 lainnya mengenai adanya pernyataan ulama, imam jaman dahulu ?? ... bahwa Al Maidah 51 artinya 'larangan bagi umat muslim tuk memilih non muslim sbg pemimpin'


--->

Dari Sammak bin Harb, dari Iyadh,
أن عمر أمر أبا موسى الأشعري أن يرفع إليه ما أخذ وما أعطى في أديم واحد، وكان له كاتب نصراني، فرفع إليه ذلك، فعجب عمر رضي الله عنه وقال: إن هذا لحفيظ، هل أنت قارئ لنا كتابًا في المسجد جاء من الشام؟ فقال: إنه لا يستطيع أن يدخل المسجد فقال عمر: أجُنُبٌ هو؟ قال: لا بل نصراني. قال: فانتهرني وضرب فخذي، ثم قال: أخرجوه” ثم قرأ: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ

Umar memerintahkan Abu Musa al-Asy’ari untuk melaporkan semua yang diterima dan yang diserahkan dalam satu catatan. Abu Musa memiliki juru tulis beragama nasrani. Kemudian catatan itu diserahkan. Dan Umar radhiyallahu ‘anhu terheran, beliau mengatakan, “Ini sangat rinci.” Lalu beliau meminta,

“Apakah nanti di masjid, kamu bisa membacakan untuk kami, surat yang datang dari Syam?”
Abu Musa mengatakan, “Dia tidak boleh masuk masjid?”
Tanya Umar, “Mengapa? Apakah dia junub?”
“Bukan, dia nasrani.” Jawab Abu Musa.
Umar langsung membentakku dan memukul pahaku, dan mengatakan, “Keluarkan dia.”

kemudian beliau membaca firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim..” (QS. Al-Maidah: 51)

Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu katsir dalam tafsirnya (3/132)

Sumber: https://konsultasisyariah.com/28439-tafsir-surat-al-maidah-ayat-51.html


1. Kisah diatas BUKAN dalam hal menunjuk pemimpin ... karena juru tulis tidak bisa disebut pemimpin

maka sesuai dengan permintaan saya sebelumnya

sekali lagi .... saya minta ANDA BUKTIKAN PADA SAYA ... bahwa ada data dari hadits2 atau dari dokumen2 lainnya mengenai adanya pernyataan ulama, imam jaman dahulu bhw tafsiran Al Maidah 51 adalah 'larangan bagi umat muslim tuk memilih non muslim sbg PEMIMPIN'


2. kisah diatas juga sudah ada argumentasi-nya

http://www.fiqhmenjawab.net/2016/10/bagaimana-memahami-kisah-umar-bin-khattab-dan-abu-musa-al-asyari/

Belakangan ini beredar kutipan kisah Sayyidina Umar bin Khattab, Khalifah kedua, dengan sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ari. Dialog yang dinukil dari Tafsir Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Maidah:51 dipakai sebagian pihak untuk menyerang kandidat tertentu dalam Pilkada DKI. Bagaimana sebenarnya kisah tersebut? Mari kita pelajari bersama, dan untuk sementara kita niatkan untuk mengaji saja, bukan membahas Pilkada. Ini biar kajian kita menjadi obyektif.

Kisahnya sendiri dikutip oleh sejumlah kitab Tafsir, dengan perbedaan redaksi, perbedaan riwayat dan perbedaan konteks ayat ketika kisah ini diceritakan ulang. Begitu juga kita harus memahami pernyataan Khalifah Umar baik dalam konteks Usul al-Fiqh maupun dalam konteks Fiqh Siyasah. Mari kita bahas satu per satu.

1. Memahami background kisah

Pemahaman akan konteks akan membantu kita memahami teks. Pada masa Khalifah Umar kekuasaan Islam mulai meluas merambah area di luar Hijaz. Abu Musa al-Asy’ari diangkat menjadi Gubernur di Bashrah dan Iraq. Khalifah Umar meminta laporan berkala kepada para Gubernurnya. Maka diriwayatkan Abu Musa mengangkat seorang Kristen sebagai Katib (sekretaris). Sekretaris yang tidak disebutkan namanya ini bertugas mencatat pengeluaran Abu Musa selaku Gubernur. Abu Musa membawa Sekretarisnya ini memasuki Madinah, dan mereka menghadap Khalifah Umar. Umar takjub dengan kerapian catatan yang dibuat oleh sekretaris Abu Musa.

Datang pula laporan keuangan dari Syam. Mengingat ketrampilan sang sekretaris, Khalifah memintanya untuk membacakan laporan dari Syam itu di Masjid Nabawi. Abu Musa mengatakan, “Tidak bisa orang ini masuk ke Masjid Nabawi.” Umar bertanya, “Mengapa? Apakah dia sedang junub?”
“Bukan, dia Nasrani.” Jawab Abu Musa.
Umar langsung membentak Abu Musa dan memukul pahanya, dan mengatakan, “Usir dia! (akhrijuhu)”
Kemudian Khalifah Umar membaca QS al-Maidah:51.

Kisah di atas dinukil dari Tafsir Ibn Katsir yang meriwayatkan dari Ibn Abi Hatim. Saya cek kitab Tafsir Ibn Abi Hatim dan menemukan kisah yang sama. Kisah tersebut juga dicantumkan dalam sejumlah kitab tafsir lainnya seperti Tafsir al-Darr al-Mansur.

Baca juga: TAFSIR AL-MAIDAH AYAT 51 MENURUT PROF QURAISH SHIHAB

2. Perbedaan redaksi

Riwayat berbeda dicantumkan dalam Tafsir al-Qurtubi, dimana di bagian akhir dialog ada perbedaan ucapan Umar. Imam al-Qurtubi juga mencantumkan kisah di atas bukan dalam QS al-Maidah:51 tapi dalam QS Ali Imran:118. Ini yang disampaikan Umar versi Tafsir al-Qurtubi: “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang Allah telah jauhkan, Jangan memberi mereka kehormatan ketika Allah telah menghinakan mereka, dan jangan mempercayai mereka ketika Allah telah mengatakan mereka tidak bisa dipercaya”.

Dalam riwayat lain yang dicantumkan oleh Kitab Tafsir al-Razi, sebagaimana juga disebutkan dalam Kitab Tafsir Bahrul Muhit, al-Lubab fi Ulumil Kitab, Tafsir al-Naisaburi ada lanjutan dialognya:

Abu Musa berkata: “Tidak akan sempurna urusan di Bashrah kecuali dibantu orang ini”

Khalifah Umar yang sedang murka, menjawab singkat: “Mati saja lah orang Kristen itu. Wassalam”

Para ulama menafsirkan maksud perkataan Umar terakhir itu dengan makna: “Pecat dia sekarang karena kalau besok-besok dia meninggal dan kamu sudah bergantung pada dia, kamu akan repot, maka anggap saja sekarang dia sudah meninggal, dan cari bantuan orang lain untuk mengurusi urusan itu.”

Dalam Kitab Tafsir al-Razi, Tafsir al-Wasith Sayyid Tantawi, dan juga kitab Syurut al-Nasara li Ibn Zabr ada redaksi lain dalam dialog di atas. Abu Musa berkilah di depan Khalifah: “lahu dinuhu wa liya kitabatuhu” (baginya urusan agamanya, dan bagiku adalah urusan ketrampilan dia). Abu Musa seolah mengingatkan Khalifah dengan ungkapan yang mirip dalam al-Qur’an: lakum dinukum waliya din. Tetapi Khalifah tetap menolaknya.

3. Kenapa Khalifah Umar Marah?

Dialog di atas terjadi di Madinah. Di sini kunci kita memahami kemarahan Khalifah Umar. Abu Musa membawa sekretarisnya yang Kristen ke wilayah Madinah yang khusus untuk umat Islam saja. Bahkan Umar baru tahu dia seorang Nasrani itu setelah mau diajak bicara di Masjid. Barulah Abu Musa mengaku kepada Khalifah latar belakang sekretarisnya ini. Ini sebabnya kalimat yang diucapkan oleh Khalifah Umar saat memarahi Abu Musa: “usir dia atau keluarkan dia” Ini maksudnya usir dia dari Madinah. Disusul dengan ungkapan Khalifah Umar, “Jangan bawa mereka mendekati sesuatu yang telah Allah jauhkan dari mereka”

Maksudnya adalah keharaman wilayah Madinah yang steril dari non Muslim karena Allah sudah jauhkan mereka, eh kok malah di bawa masuk oleh Abu Musa. Jadi ini bukan semata-mata persoalan Abu Musa mengangkat orang Kristen, tapi ini pada kesucian wilayah Madinah. Pemahaman ini dikonfirmasi oleh Ibn Katsir dalam kitabnya yang lain yang berjudul Musnad al-Faruq.

Sebab kemarahan kedua yang bisa kita ambil dari kisah di atas adalah ketergantungan Abu Musa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan zakat, jizyah dalam baitul mal. Indikasi ketergantunga itu tampak dengan Abu Musa tidak bisa menjelaskan sendiri catatan pengeluaran yang telah dibuat sekretarisnya, malah sampai membawa sekretaris yabng Kristen itu mendampingi dia memberi laporan kepada Khalifah.

Bagi sang Khalifah, rahasia negara menjadi beresiko ketika posisi strategis semacam itu dipercayakan kepada non-Muslim di masa saat Khalifah Umar sednag melakukan ekspansi dakwah ke wilayah non-Muslim, seperti pembebasan Iraq dan Mesir. Inilah pula konteksnya ketika Khalifah Umar mengutip QS al-Maidah:51 dimana Allah melarang mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai awliya (sekutu/kawan akrab), yang menurut Ibn Katsir ketika menjelaskan QS al-Nisa:144:

“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai ‘awliya’ mereka, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.”

Maka jelas ‘illat larangan yang dipahami Umar bin Khattab ada dalam kasus Abu Musa ini, yaitu ketergantungan Abu Musa kepada anak buahnya, posisi strategis dalam hal catatan keluar-masuk zakat-jizyah, serta potensi bocornya rahasia negara yang tengah melakukan ekspansi dakwah.

Yang menarik adalah Sa’id Hawa dalam al-Asas fi al-Tafsir mengatakan: “apakah anda bisa pahami tentang larangan memberikan kafir dzimmi posisi untuk mengerjakan urusan umat Islam?” Beliau menjawab sendiri: “Masalah ini tergantung konteksnya, karena perbedaan posisi jabatan, kondisi, dan lokasi serta zaman.”

4. Sahihkah riwayatnya?

Tidak satupun 9 kitab Hadis Utama yang meriwayatkan kisah di atas. Berarti kisah di atas itu bukan masuk kategori Hadits, tapi Atsar Sahabat. Kisahnya berhenti di Umar, bukan di Rasulullah SAW. Kisah ini justru dimuat di Kitab Tafsir. Pelacakan saya hanya satu kitab Hadits (di luar kutubut tis’ah) yang memuatnya yaitu Sunan al-Kubra lil Baihaqi. Imam Baihaqi memasukkan dua riwayat yang berbeda mengenai kisah di atas (9/343 dan 10/216). Atsar ini dinyatakan sanadnya hasan melalui jalur Simak bin Harb oleh kitab Silsilah al-Atsar al-Shahihah. Sementara Al-albani mensahihkan Atsar ini dalam jalur yang lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab beliau Irwa al-Ghalil.

Dalam Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah kisah mengenai jawaban Umar, “Mati sajalah si Kristen itu” disampaikan kepada Khalid bin Walid. Bukan berkenaan dengan Abu Musa. Namun ulama lain mengatakan itu Abu Musa. Dalam kitab Zahratut Tafasir, Abu Zahrah mengatakan kata-kata Umar “mati sajalah si Krsten itu” dilakukan dalam surat menyurat dengan Abu Musa, bukan dialog langsung. Demikianlah kesimpangsiuran kisah di atas, dengan berbagai redaksi dan riwayat yang berbeda. Tapi sekali lagi ini bukan Hadits Nabi. Ini merupakan Atsar sahabat.

Baca juga: SAATNYA MEMBACA KITAB TAFSIR AL-MAIDAH AYAT 51

5. Qaulus Shabi atau keputusan Khalifah?

Umar bin Khattab adalah sahabat Nabi. Abu Musa al-Asy’ari juga sahabat Nabi. Keduanya berbeda pandangan dalam hal ini. Pendapat keduanya dalam usul al-fiqh disebut sebagai qaulus shahabi. Singkatnya ini adalah ijtihad para sahabat Nabi yang tidak disandarkan kepada Nabi. Artinya murni pemahaman mereka sepeninggal Nabi SAW.

Para ulama usul al-fiqh ada yang menerima kehujjahan qaulus shahabi sebagai salah satu sumber hukum Islam, seperti pendapatnya Imam Malik, namun Imam Syafi’i (qaul jadid) dan para pengikut beliau seperti Imam al-Ghazali serta Imam al-Amidi menolak kehujjahan qaulus shahabi. Itu artinya, pendapat Khalifah Umar dan Abu Musa sama-sama sah dan bisa dipertimbangkan bagi mazhab Maliki, namun tidka mengapa pendapat keduanya ditolak menurut mazhab Syafi’i.

Itu kalau kita memahami dari sudut usul al-fiqh. Kalau kita melihatnya dari sudut Fiqh Siyasah, maka keputusan Umar lebih kuat karena ia memutuskan dalam posisi sebagai khalifah, dan suka atau tidak suka, sebagai Gubernur bawahan Khalifah, Abu Musa harus ikut keputusan Umar. Namun keputusan Khalifah itu tidak otomatis dianggap ijma’ (kesepakatan) karena jelas ada perbedaan pendapat dikalangan sahabat.

Dengan kata lain, sikap Umar itu adalah kebijaksanaan beliau saat itu, yang seperti dicatat oleh sejarah, berbeda dengan kebijakan para Khalifah lainnya yang mengangkat non-Muslim sebagai pejabat seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’awiyah, Khalifah al-Mu’tadhid, Khalifah al-Mu’tamid, dan Khalifah al-Muqtadir.

Seperti yang disinggung pengarang al-Asas fi tafsir al-Qur’an di atas, kondisi dan konteksnya berbeda dengan apa yang dihadapi oleh Khalifah Umar. Boleh jadi begitu juga apa yang dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.

Wa Allahu a’lam bi al-Shawab

Tabik,

Oleh: Prof. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahladtul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School


gimana ?? .... balik ke permintaan saya yang merah
by dee-nee
on Sun Nov 06, 2016 1:55 am
 
Search in: RUANG KHUSUS :: TANYA-JAWAB
Topik: Video Ahok: Anda Dibohongi Alquran Surat Al-Maidah 51 Viral di Medsos
Balasan: 535
Dilihat: 12586

Kembali Ke Atas

Navigasi: