FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh Empty Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh

Post by Rindu Thu May 12, 2016 5:44 pm

http://www.hidupkatolik.com/2013/10/03/beato-dionisius-dan-redemptus-martir-di-aceh

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh Santo-beato-dionisius-hidup-katolik

Dua profesional ulung dalam karier pelayaran dan kemiliteran akhir nya berganti haluan dan hidup membiara sebagai Karmelit. Keduanya pun tuntas mempersembahkan diri dengan mati sahid di Aceh.

Serambi Mekkah menjadi sebutan khas untuk provinsi di ujung Barat Laut Indonesia yang begitu melegenda. Nang groe Aceh Darusallam, begitulah nama resminya kini. Di tempat inilah, dua biara wan misionaris Ordo Karmel Tak Berkasut (Ordo Carmelitarum Discalceatarum, OCD) menumpahkan darah kemartiran mereka.

Sebelum paruh pertama abad XVII, RP Dionisius à Nativité OCD dan Bruder Redemptus à Crucé OCD mati sahid di Aceh. Mereka dibunuh oleh tentara kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tani karena imannya akan Kristus.

Navigator Ulung


Dionisius bernama asli Pierre Berthelot, putra sulung dari 10 bersaudara pasangan bangsawan Perancis Berthelot dan Fleurie Morin. Ia lahir di Honfleur, Perancis, 12 Desember 1600. Ayahnya berprofesi sebagai dokter dan nahkoda kapal. Pierre mewarisi tradisi kesalehan kristiani orangtuanya. Ia tumbuh dalam semangat rendah hati, iman yang teguh, dan kesiapsediaan berkorban.

Sejak usia 12 tahun, Pierre telah mengikuti jejak sang ayah mengarungi lautan. Selama tujuh tahun, ganasnya lautan membentuknya menjadi pelaut handal.
Bakat intelektualnya mengemuka dalam kecakapannya menggambar peta sebagai navigasi pelayaran. Ia telah melanglang buana hingga Spanyol, Inggris dan Amerika.

Tak heran, Pierre diangkat sebagai navigator L’Espérance, kapal dagang ekspedisi Perancis ke India pada usia 19 tahun. Namun naas, L’Espérance ditaklukkan VOC Belanda karena berebut rempah-rempah. Akibatnya, ia dibawa sebagai tawanan ke Jawa.

Pasca dibebaskan, ahli navigasi itu mengadu nasib ke daerah koloni Portugis di Malaka. Lalu Pierre bekerja pada Portugis. Kepiawaiannya membuat peta
segera melejit. Namanya melambung berkat kejeniusan dan keberaniannya sebagai pelaut. Hal ini memikat hati Raja Portugis, yang menobatkannya sebagai ‘ahli navigasi dan pembuat peta Asia’. Salah satu buah karyanya, peta Pulau Sumatra hingga kini tersimpan di Museum Inggris.

Menemukan Jalan


Dari Malaka, Pierre hijrah ke Goa, India. Kariernya sangat cemerlang, tapi hatinya terasa hampa. Kekeringan jiwanya menjadi dorongan kuat untuk merefleksikan makna hidup secara hakiki. Alih-alih melanjutkan kariernya, Pierre justru memutar haluan hidupnya dengan masuk Biara Karmelit di Goa pada 1635.

Pada 25 Desember 1636, Pierre mengikrarkan kaul sebagai Karmelit dan memilih nama biarawan Dionisius à Nativité. Menurut Bapa Rohaninya, hidup Dionisius mencerminkan kesucian seorang Karmelit. Doa-doanya amat kontemplatif dan inspiratif, seolah aura surgawi menyelimuti dirinya kala bertelut dalam doa.

Sebagai Karmelit, formasi Dionisius dipercepat karena permintaan Wakil Raja Portugis di Goa, Peter da Silva yang menghendakinya ikut dalam lawatan persahabatan pada Sultan Iskandar Tani di Aceh pada 1638. Sultan Aceh ini belum lama meneruskan takhta pendahulunya Sultan Iskandar Muda, yang menorehkan keretakan relasi dengan Portugis. Dionisius akan dijadikan navigator dalam pelayaran, sekaligus Bapa Rohani bagi delegasi Portugis yang ingin memperbaiki relasi dengan Aceh. Kefasihan Bahasa Melayunya pun tak diragukan lagi. Maka pada 24 Agustus 1638, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr Alfonso Mendez.

Sahabat Seperjalanan


Dalam perutusan itu, Dionisius meminta agar Bruder Redemptus à Crucé OCD mendampinginya. Bruder Karmelit yang bernama asli Thomas Rodriguez da Cunha itu adalah mantan serdadu Portugis yang ditugaskan di Goa. Ia lahir pada 1598 di Paredes, Portugis dan berasal dari keluarga petani miskin yang
memeluk erat tradisi kristiani.

Setelah berdinas sekian lama, Thomas mengalami kegamangan dalam hidupnya. Ia terpanggil menjadi biarawan. Padahal kariernya gemilang, menerima pangkat Kapten dan Komandan pasukan pengawalan khusus di Meliapor, India. Akhirnya pada 1615, Biara Karmelit di Goa menjadi tempat berlabuh bagi jiwanya yang gamang. Ia menjadi bruder dan bekerja sebagai penjaga pintu biara, pelayan imam, koster, penerima tamu, dan pengajar anak-anak. Pribadinya hangat, bersahabat dan suka bercanda.

Redemptus inilah yang dipilih Dionisius menemaninya dalam misi damai ke
Aceh. Apalagi mereka menjadi sahabat dekat selama di biara. Permintaan pastor muda ini dikabulkan dan mulailah delegasi Portugis berlayar ke Aceh. Mereka berangkat pada 25 September 1638, dengan satu kapal dagang dan dua kapal perang.

Berubah Haluan
Dionisius menjalani misi perdamaian ke Aceh bersama Redemptus, beberapa
bangsawan Portugis, dua orang Fransiskan, seorang pribumi dan puluhan awak
kapal. Sebelum berangkat, Redemptus sempat berkelakar dengan beberapa
kolega di biaranya. Ia minta agar mereka melukis dirinya. “Siapa tahu nanti saya jadi martir,” urainya setengah bercanda.

Mereka berlabuh di Ole-Ole (sekarang Kutaraja); dan disambut hangat oleh penduduk setempat pada 25 Oktober 1638. Di balik keramahan penduduk
Aceh itu, tersirat niat jahat yang tak disadari oleh delegasi Portugis. Pihak Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Tani dan punggawa Kerajaan Aceh
dengan menyemai fitnah pada delegasi Portugis. Dikatakan bahwa utusan Raja
Portugis bukan untuk mempererat tali persahabatan, melainkan membawa misi kristenisasi. Mereka dizolimi dengan tuduhan akan mengubah rakyat Aceh yang sudah beragama Islam agar memeluk agama Katolik. Sang Sultan pun sudah termakan hasutan Belanda.

Alhasil, misi damai ke Aceh diterima dengan permusuhan. Seluruh delegasi
Portugis segera ditangkap dan dipenjarakan. Mereka disiksa agar menyangkal imannya akan Kristus.

Darah Kemartiran


Mereka meringkuk di penjara dalam kondisi mengenaskan selama sebulan.
Dionisius dan Redemptus terus berjuang meneguhkan iman dan menghibur saudara-saudaranya. Namun, beberapa orang yang bernyali ciut akhirnya memilih menyangkal imannya akan Kristus dan menjadi muslim.

Kehabisan akal, Sultan Iskandar Tani pun mengeluarkan maklumat untuk menghukum mati para tawanan itu. Mereka harus dibunuh, bukan karena mereka berkebangsaan Portugis, tapi karena mereka beriman Katolik. Perintah eksekusi yang akan digelar di pesisir pantai itu diterjemahkan Dionisius pada
teman-temannya.

Sebelum aksi bengis para algojo di mulai, mereka berdoa. Dionisius mengambil salib dan memperlihatkannya pada mereka agar jangan mundur. Ia mohon ampun pada Tuhan dan menerimakan absolusi pada teman-temannya satu persatu. Pembantaian massal pun terjadi pada 29 November 1638. Redemptus ditusuk tombak, lalu lehernya disembelih secara keji.

Kala teman-temannya tumbang satu per satu, Dionisius masih bersaksi tentang Kristus dengan penuh semangat. Para algojo makin naik pitam dan kian beringas. Menjelang tiba giliran Dionisius, para eksekutor hanya terpaku di hadapannya. Keganasan mereka seolah tertahan oleh kekuatan maha dahsyat yang melingkupi imam muda itu. Tak ada seorang algojo pun berani mengeksekusinya. Mendapat laporan itu, sultan segera mengirim bala bantuan.

Saat itulah Dionisus berdoa agar Tuhan berkenan menjadikannya martir. Kerinduan hatinya pun terjawab. Dengan tenang, ia menyerahkan diri pada para algojo. Segera gada hinggap di kepalanya, disusul sebilah pedang menebas lehernya. Kepalanya pun menggelinding terpisah dari raganya. Tanah rencong pun berlumuran darah martir.

Keajaiban Tuhan


Usai pembantaian, jenazah Dionisius dan Redemptus masih tetap utuh selama tujuh bulan. Jasad keduanya tetap segar dan tak sedikitpun membusuk. Konon,
banyak orang kebingungan dengan dua jenazah itu. Tiap kali dibuang, baik ke laut maupun ke tengah hutan, jasad itu selalu kembali ke tempat pembunuhannya.

Lalu dua jenazah itu dimakamkan secara terhormat di Pulau Dien atau ‘Pulau Buangan’. Akhirnya, keduanya dibawa ke Goa dan disemayamkan di sana.

Selang 260 tahun lebih, pengorbanan dua Karmelit ini diakui Takhta Suci. Pada 10 Juni 1900, Paus Leo XIII menyematkan gelar Beato pada Dionisius dan Redemptus. Dua martir di Aceh ini diperingati tiap 29 November.
avatar
Rindu
SERSAN MAYOR
SERSAN MAYOR

Male
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7

Kembali Ke Atas Go down

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh Empty Re: Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh

Post by Rindu Thu May 12, 2016 5:44 pm

http://www.imankatolik.or.id/kalender/1Des.html

Beato Dionisius dan Redemptus a Cruce, Martir Indonesia

Pierre Berthelot - demikian nama Santo Dionisius - lahir di kota Honfleur, Prancis pada tanggal 12 Desember 1600. Ayahnya Berthelot dan Ibunya Fleurie Morin adalah bangsawan Prancis yang harum namanya. Semua adiknya: Franscois, Jean, Andre, Geoffin dan Louis menjadi pelaut seperti ayahnya. Sang ayah adalah seorang dokter dan nakoda kapal. Pierre sendiri semenjak kecil (12 tahun) telah mengikuti ayahnya mengarungi lautan luas; dan ketika berusia 19 tahun ia sudah menjadi seorang pelaut ulung. Selain darah pelaut, ia juga mewarisi dari ayahnya hidup keagamaan yang kuat, yang tercermin di dalam kerendahan hatinya, kekuatan imannya, kemurnian dan kesediaan berkorban. Ia kemudian memasuki dinas perusahaan dagang Prancis. Dalam rangka tugas dagang, ia berlayar sampai ke Banten, Indonesia. Tetapi kapalnya dibakar oleh saudagar-saudagar Belanda dari kongsi dagang VOC. Berkat pengalamannya mengarungi lautan, ia sangat pandai menggambar peta laut dan memberikan petunjuk jalan.
Pierre kemudian bekerja pada angkatan laut Portugis di Goa, India. Namun ia senantiasa tidak puas dengan pekerjaannya itu. Ada keresahan yang senantiasa mengusik hatinya. Ia selalu merenungkan dan mencari arti hidup yang lebih mendalam. Ketika itu ia sudah berusia 35 tahun. Akan tetapi usia tidak menghalangi dorongan hatinya untuk hidup membiara. Ia diterima di biara Karmel. Namanya diubah menjadi Dionisius a Nativitate. Sekalipun ia sudah menjalani hidup membiara, namun ia masih beberapa kali menyumbangkan keahliannya kepada pemerintah, baik dengan menggambar peta maupun dengan mengangkat senjata membuyarkan blokade di Goa yang dilancarkan oleh armada Belanda (1636).
Di biara Karmel itulah, ia bertemu dengan Redemptus a Cruce, seorang bruder yang bertugas sebagai penjaga pintu biara dan koster, penerima tamu dan pengajar anak-anak. Redemptus lahir di Paredes, Portugal pada tahun 1598 dari sebuah keluarga tani yang miskin namun saleh dan taat agama. Orangtuanya memberinya nama Thomas Rodriguez da Cunha. Semenjak usia muda, ia masuk dinas ketentaraan Portugis dan ditugaskan ke India. Ia kemudian menarik diri dari dinas ketentaraan karena ingin menjadi biarawan untuk mengabdikan dirinya pada tugas-tugas keagamaan. Ia diterima sebagai bruder di biara Karmel.
Suatu ketika Raja Muda di Goa bermaksud mengirim utusan ke Aceh, Indonesia, yang baru saja berganti sultan dari Sultan Iskandar Muda ke Sultan Iskandar Thani. Ia ingin menjalin hubungan persahabatan karena hubungannya dengan sultan terdahulu tidak begitu baik. Sebagai seorang bekas pelaut yang sudah pernah datang ke Banten, Dionisius ditunjuk sebagai almosenir, juru bahasa dan pandu laut. Oleh karena itu tahbisan imamatnya dipercepat. Dionisius ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1637 oleh Mgr. Alfonso Mendez. Bruder Redemptus dengan izinan atasannya ikut serta dalam perjalanan dinas itu sebagai pembantu.
Pastor tentara Dionisius bersama rombongannya berangkat ke Aceh pada tanggal 25 September 1638 dengan tiga buah kapal: satu kapal dagang dan dua kapal perang. Penumpang kapal itu ialah: Don Fransisco de Sosa (seorang bangsawan Portugis), Pater Dionisius, Bruder Redemptus, Don Ludovico dan Soza, dua orang Fransiskan Rekolek, seorang pribumi dan 60 orang lainnya. Mereka berlabuh di Ole-Ole (kini: Kotaraja) dan disambut dengan ramah.
Tetapi keramahan orang Aceh ternyata hanya merupakan tipu muslihat saja. Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang hanya untuk meng-katolik-kan bangsa Aceh yang sudah memeluk agama Islam. Mereka semua segera ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa agar menyangkal imannya. Selama sebulan mereka meringkuk di dalam penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara mereka meninggalkan imannya. Dionisius dan Redemptus terus meneguhkan iman saudara-saudaranya dan memberi mereka hiburan. Akhirnya di pesisir pantai tentara sultan mengumumkan bahwa mereka dihukum bukan karena berkebangsaan Portugis melainkan beriman KatoIik. Maklumat sultan ini diterjemahkan oleh Dionisius kepada teman-temannya. Sebelum menyerahkan nyawa ke tangan para algojo, mereka semua berdoa dan Pater Dionisius mengambil salib dan memperlihatkan kepada mereka supaya jangan mundur, melainkan bersedia mengorbankan nyawa demi Kristus Yang Tersalib dan yang telah menebus dosa dunia, dosa mereka. Dionisius memohon ampun kepada Tuhan dan memberikan absolusi terakhir kepada mereka satu per satu. Segera tentara menyeret Dionisius dan mulailah pembantaian massal.
Sepeninggal teman-temannya, Pater Dionisius masih bersaksi tentang Kristus dengan penuh semangat. Kotbahnya itu justru semakin menambah kebencian rakyat Aceh terhadapnya. Algojo-algojo semakin beringas untuk segera menamatkan riwayat Dionisius. Namun langkah mereka terhenti di hadapan Dionisius. Dengan sekuat tenaga mereka menghunuskan kelewang dan tombak akan tetapi seolah-olah ada kekuatan yang menahan, sehingga tidak ada yang berani. Segera kepala algojo mengirim utusan kepada sultan agar menambah bala bantuan. Dionisus berdoa kepada Tuhan agar niatnya menjadi martir dikabulkan. Dan permintaan itu akhirnya dikabulkan Tuhan. Dionisius menyerahkan diri kepada algojo-algojo itu. Seorang algojo - orang Kristen Malaka yang murtad - mengangkat gada dan disambarkan keras-keras mengenai kepala Dionisius, disusul dengan kelewang yang memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.
Kemartiran Dionisius dengan kawan-kawannya disahkan Tuhan: mayat mereka selama 7 bulan tidak hancur, tetap segar seperti sedang tidur. Menurut saksi mata, jenazah Dionisius sangat merepotkan orang sekitarnya, karena setiap kali dibuang - ke laut dan tengah hutan - senantiasa kembali lagi ke tempat ia dibunuh. Akhirnya jenazahnya dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien ('pulau buangan'). Kemudian dipindahkan ke Goa, India. Martir-martir itu dibunuh pada tanggal 29 Nopember 1638. Bersama Redemptus, Dionisius digelarkan 'beato' pada tahun 1900.
avatar
Rindu
SERSAN MAYOR
SERSAN MAYOR

Male
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7

Kembali Ke Atas Go down

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh Empty Re: Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh

Post by Rindu Thu May 12, 2016 5:46 pm

http://yesaya.indocell.net/id1254.htm
Beato Dionisius a Nativitate
& Beato Redemptus a Cruce
Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh 1x1
Martir Indonesia

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh 2a77fa640

Pierre Berthelot (Jr) dilahirkan di kota pelabuhan Honfleur, Calvados, Perancis, pada tanggal 12 Desember 1600. Ia adalah yang sulung dari sepuluh anak pasangan Pierre Berthelot (Sr) dan Fleurie Morin. Ayahnya seorang dokter dan kapten kapal.

Sejak usia duabelas tahun, Pierre telah mengikuti ayahnya mengarungi samudera luas. Pada tahun 1619, ketika usianya sembilanbelas tahun, Pierre yang telah menjadi seorang pelaut ulung ikut berlayar dalam suatu ekspedisi dagang Perancis ke India sebagai ahli navigasi. Malang, kapalnya diserang VOC Belanda dan ia dibawa sebagai tawanan ke Jawa. Setelah bebas, Pierre menetap di Malaka, di mana ia bekerja pada angkatan laut Portugis. Pierre seorang yang gagah berani dan jenius; karirnya begitu gemilang. Raja Portugis menyebutnya sebagai “ahli navigasi dan pembuat peta Asia” yang luar biasa. Peta-peta laut yang dibuatnya amat terkenal, antara lain peta pulau Sumatera yang hingga kini disimpan di Museum Inggris. Ekspedisi pelayaran kerap membawanya ke Goa, India, di mana ia berkenalan dengan Biara Karmel Tak Berkasut dengan kepala biaranya, P Philip dari Trinitas. Pada tahun 1634, ketika usianya tigapuluh empat tahun, Pierre meninggalkan karirnya untuk menggabungkan diri dalam Biara Karmel. Pada tanggal 25 Desember 1636, ia mengucapkan kaulnya dan menerima nama biara Dionisius a Nativitate. Dionisius mendapat karunia kontemplasi; pada lebih dari satu kesempatan, pada saat berdoa, ia tampak dilingkupi oleh semarak surgawi. Di Biara Karmel itulah, Dionisius bertemu dengan Redemptus a Cruce.

Thomas Rodriguez da Cunha, dilahirkan di Paredes, Portugal pada tahun 1598, putera dari pasangan petani yang miskin namun saleh. Ia masuk dinas ketentaraan Portugis dan ditugaskan ke India. Pada tahun 1615, Thomas meninggalkan karirnya untuk menggabungkan diri dalam Biara Karmel di Goa. Ia menjadi seorang broeder Karmel dengan nama Redemptus a Cruce, yang melayani sebagai portir [= penjaga pintu] dan sakristan. Redemptus adalah seorang yang amat menyenangkan, bersahabat dan periang. Ketika ditugaskan pergi dalam ekspedisi ke Sumatera, ia berkelakar dengan teman-teman sebiara agar mereka melukis dirinya, kalau-kalau ia nanti wafat sebagai martir.

Pada tahun 1638 Raja Muda Portugis di Goa, Peter da Silva, bermaksud mengirim utusan ke Aceh, yang baru saja berganti penguasa dari Sultan Iskandar Muda ke Sultan Iskandar Thani. Ia bermaksud menjalin hubungan persahabatan karena hubungannya dengan sultan terdahulu tidak begitu baik. Raja Muda meminta Karmelit untuk mengijinkan Dionisius ikut dalam rombongan delegasi sebagai pembimbing rohani, sekaligus sebagai ahli maritim, pula seorang yang fasih berbicara bahasa Melayu. Komunitas Karmel harus taat pada keputusan pemerintah. Karenanya, studi Dionisius dipercepat agar ia dapat ditahbiskan sebagai imam. Dan akhirnya, pada tanggal 24 Agustus 1638, Dionisius ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Alfonso Mendez. Untuk perjalanan ke Aceh ini, P Dionisius minta ijin agar Broeder Redemptus diperkenankan ikut bersamanya sebagai rekan seperjalanan.

Pada tanggal 25 September 1638, Pater Dionisius dan Broeder Redemptus pun meninggalkan Goa bersama rombongan misi perdamaian dan perdagangan Portugis. Perjalanan yang lancar membawa mereka tiba dengan selamat di Aceh pada tanggal 25 Oktober 1638. Mereka berlabuh di Ole-Ole (sekarang bernama Kotaraja) dan disambut dengan ramah oleh penduduk setempat. Tetapi keramahan masyarakat Aceh ternyata hanya merupakan tipu-muslihat saja. Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang untuk mengkatolikkan bangsa Aceh yang sudah memeluk agama Islam. Sekonyong-konyong kedua biarawan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara hingga sebulan lamanya. Karena tetap menolak untuk mengingkari iman, kedua biarawan dijatuhi hukuman mati. Di pesisir pantai, P Dionisius, dengan salib di tangannya, dipaksa menyaksikan mereka menggorok leher Redemptus yang lebih dulu menjadi martir. Selanjutnya, algojo yang beringas dengan sekuat tenaga menghunuskan kelewang dan tombak ke arah Dionisius. Tetapi sungguh ajaib, seolah ada suatu kekuatan dahsyat yang menahan, sehingga para algojo tidak berani maju. Sadar akan hal itu, P Dionisus segera mengatupkan kedua tangannya berdoa memohon kepada Tuhan agar kerinduannya menjadi seorang martir dikabulkan. Dan permohonan orang kudus ini didengarkan Tuhan. Seorang algojo - seorang Kristen Malaka yang murtad - mengangkat gada dan disambarkan keras-keras ke kepala P Dionisius, disusul dengan kelewang yang memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.

Kemartiran Dionisius dan Redemptus sungguh berkenan di mata Tuhan. Selama tujuh bulan, jenazah tidak hancur, melainkan tetap segar seolah sedang tidur. Menurut saksi mata, jenazah P Dionisius amat merepotkan masyarakat sekitar, karena setiap kali dibuang, entah ke dalam laut maupun ke tengah hutan, senantiasa kembali lagi ke tempat di mana ia dimartir. Akhirnya, jenazah dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien (`pulau buangan') dan di kemudian hari dipindahkan ke Goa, India. Para saksi iman itu wafat sebagai martir pada tanggal 29 Nopember 1638. Dionisius dan Redemptus dimaklumkan sebagai `beato' oleh Paus Leo XIII pada tanggal 10 Juni 1900. Pesta kedua biarawan Karmel ini dirayakan oleh segenap Karmelit pada tanggal 29 November. Di Indonesia, pesta B Dionisius dan B Redemptus dirayakan sebagai peringatan wajib setiap tanggal 1 Desember.
avatar
Rindu
SERSAN MAYOR
SERSAN MAYOR

Male
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7

Kembali Ke Atas Go down

Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh Empty Re: Beato Dionisius dan Redemptus: Martir di Aceh

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik