islam anti nasionalis?
Halaman 1 dari 1 • Share
islam anti nasionalis?
Partai-partai yang mengkalim diri ’nasionalis’, selalu melihat Islam tidak nasionalis dan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Benarkah? [bag. 1]
oleh: Wido Q Supraha.*
Maret, bulan lalu, 17 partai politik (parpol) memberikan pernyataan bersama dan secara resmi menyatakan berkoalisi untuk mendukung salah satu calon gubernur sebuah propinsi yang juga menjadi ibukota negara Republik Indonesia, meski kemudian 2 parpol menyatakan belum bergabung dengan koalisi tersebut.
Deklarasi tersebut secara otomatis menskenariokan 1 parpol yang berideologi Islam berjalan sendirian, dan lebih jauh menjadikannya musuh utama dan terbesar di dalam perhelatan akbar pesta demokrasi yang akan berlangsung di propinsi tersebut.
www.detik.com, edisi 15 Maret 2006, menurunkan sebuah berita berjudul: ’PDIP DKI: Kita Berhadapan dengan Musuh Ideologis’. Disebutkan dalam berita itu, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPD PDIP DKI Jakarta, Budi Aris Setiadi mengungkapkan, Presiden SBY adalah musuh politik, tapi ada yang lebih dari itu, yaitu musuh ideologis, dan kita sedang berhadapan dengan musuh ideologis.
Masih menurut Budi Aris Setiadi, seperti diberitakan www.detik.com, koalisi antara 17 partai politik adalah koalisi dari partai-partai yang jelas mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), karena koalisi tersebut melihat ada ancaman ideologis yang mengancam keutuhan NKRI. PDIP akan tetap mempertahankan aspek pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika, karena yang dihadapi oleh bangsa saat ini adalah terancamnya pluralisme dan Kebhinnekatunggalikaan. Koalisi yang terjadi adalah koalisi Jakarta atau koalisi besar untuk mempertahankan pluralisme, NKRI dan kebhinnekaan, sehingga Koalisi Nasionalisme versus Sektarianisme. Diharapkan dengan koalisi ini semakin jelas siapa yang eksklusif, siapa yang inklusif, terangnya secara bersemangat.
Berita ini sebenarnya merupakan sesuatu yang penting ditinjau dari sudut pemikiran Islam. Jika dilihat dari kacamata politik pada umumnya, menebarkan fitnah atas perjuangan harakatul ishlah adalah sesuatu yang biasa terjadi. Namun, mengeluarkan sebuah pernyataan tanpa ilmu justru akan membuat geli para pendengarnya. Jadi, dalam hal ini berlaku peribahasa ”faqidu-sy-syai’ la yu’ti” (yang kehilangan/kekurangan sesuatu tidak akan [bisa] memberi).
Benarkah Islam tak memikili rasa nasionalisme? Mari kita lihat faktanya!
Islam dan Nasionalisme
Nasionalisme menjadi sebuah isme yang dianut oleh rakyat setiap negara. Islam menjadikan dakwahnya bersifat universal dan integral, dan melihat bahwa tidak ada sisi baik yang ada pada sebuah isme, kecuali telah dirangkum dan diisyaratkan dalam dakwah agama ini. Banyak orang terpesona dan mengaku sebagai seorang nasionalis dengan persepsi nasionalisme yang mereka anut masing-masing.
Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah mencintai tanah air, akrab dengannya, rindu kepadanya, dan ketertarikan pada hal di sekitarnya, maka sesungguhnya hal ini telah tertanam dalam fitrah manusia di satu sisi, dan di sisi lain diperintahkan oleh Islam.
Adalah sahabat Bilal r.a. yang telah mengorbankan segalanya demi akidah dan agama, adalah juga Bilal yang mengungkap kerinduan pada Mekah melalui bait-bait syair yang lembut dan indah.
Oh angan ... mungkinkah semalam saja aku dapat tidur
Di suatu lembah, dan rumput idkhir serta teman di sekitarku
Mungkinkah sehari saja aku mendatangi mata air mijannah
Mungkinkah Syamah dan Thafil nampakkan diri padaku
Rasulullah SAW tatkala mendengar gambaran tentang Mekah dari Ushail, tiba-tiba saja air mata beliau bercucuran, karena rindu padanya. Maka beliau berkata, ”Wahai Ushail, biarkan hati ini tenteram.”
Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekaannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putrinya, maka sesungguhnya kaum Muslimin Indonesia telah memberikan tauladan terbaik di saat perebutan kemerdekaan tanah air Indonesia dari tangan penjajah.
Hampir mayoritas perjuangan bangsa ini dipimpin oleh kaum santri dengan keberanian yang luar biasa, dan ketulusan yang tidak terbeli dengan sesuatu yang lebih murah nilainya.
Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah memperkuat ikatan antaranggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokohnya ikatan untuk kepentingan bersama, maka Islam menganggap itu sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar. Nabi SAW telah bersabda, ”Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Batasan Nasionalisme
Jika nasionalisme yang mereka anut menganggap batasnya adalah teritorial negara dan batas-batas geografis saja, maka Islam jauh lebih luas daripada itu. Islam melihat seluruh tanah air berhak mendapatkan penghormatan, penghargaan, kecintaan, ketulusan, dan jihad demi kebaikannya.
Islam memperhatikan mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan, dan tidak berkehendak terjebak kepada urusan wilayah terbatas dan sempit di muka bumi ini, karena berbagai ikatan akan menjadi renggang, kekuatan melemah, dan musuh menggunakan sebagian untuk menggunakan sebagian yang lain. Ketika sebuah bangsa hendak memperkuat dirinya dengan cara yang merugikan bangsa lain, maka Islam pun tidak akan pernah ridha dengannya.
Jika nasionalisme yang mereka anut hanya memusatkan seluruh perhatian tertuju kepada kemerdekaan negaranya saja, dan kemudikan memfokuskan pada aspek-aspek fisik semata, maka Islam lebih luas daripada itu. Islam membimbing seluruh bangsa dengan cahaya menuju rahmat. Semuanya dilakukan bukan untuk mencari harta, popularitas, kekuasaan atas orang lain, dan bukan pula untuk memperbudak bangsa lain, akan tetapi untuk mencari ridha Allah semata, membahagiakan alam denganNya. Sehingga seluruh dunia mampu bekerjasama membangun dunia yang penuh rahmat dan kasih. [bersambung].
*) Penulis adalah Alumnus Program Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia
oleh: Wido Q Supraha.*
Maret, bulan lalu, 17 partai politik (parpol) memberikan pernyataan bersama dan secara resmi menyatakan berkoalisi untuk mendukung salah satu calon gubernur sebuah propinsi yang juga menjadi ibukota negara Republik Indonesia, meski kemudian 2 parpol menyatakan belum bergabung dengan koalisi tersebut.
Deklarasi tersebut secara otomatis menskenariokan 1 parpol yang berideologi Islam berjalan sendirian, dan lebih jauh menjadikannya musuh utama dan terbesar di dalam perhelatan akbar pesta demokrasi yang akan berlangsung di propinsi tersebut.
www.detik.com, edisi 15 Maret 2006, menurunkan sebuah berita berjudul: ’PDIP DKI: Kita Berhadapan dengan Musuh Ideologis’. Disebutkan dalam berita itu, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPD PDIP DKI Jakarta, Budi Aris Setiadi mengungkapkan, Presiden SBY adalah musuh politik, tapi ada yang lebih dari itu, yaitu musuh ideologis, dan kita sedang berhadapan dengan musuh ideologis.
Masih menurut Budi Aris Setiadi, seperti diberitakan www.detik.com, koalisi antara 17 partai politik adalah koalisi dari partai-partai yang jelas mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), karena koalisi tersebut melihat ada ancaman ideologis yang mengancam keutuhan NKRI. PDIP akan tetap mempertahankan aspek pluralisme dan Bhinneka Tunggal Ika, karena yang dihadapi oleh bangsa saat ini adalah terancamnya pluralisme dan Kebhinnekatunggalikaan. Koalisi yang terjadi adalah koalisi Jakarta atau koalisi besar untuk mempertahankan pluralisme, NKRI dan kebhinnekaan, sehingga Koalisi Nasionalisme versus Sektarianisme. Diharapkan dengan koalisi ini semakin jelas siapa yang eksklusif, siapa yang inklusif, terangnya secara bersemangat.
Berita ini sebenarnya merupakan sesuatu yang penting ditinjau dari sudut pemikiran Islam. Jika dilihat dari kacamata politik pada umumnya, menebarkan fitnah atas perjuangan harakatul ishlah adalah sesuatu yang biasa terjadi. Namun, mengeluarkan sebuah pernyataan tanpa ilmu justru akan membuat geli para pendengarnya. Jadi, dalam hal ini berlaku peribahasa ”faqidu-sy-syai’ la yu’ti” (yang kehilangan/kekurangan sesuatu tidak akan [bisa] memberi).
Benarkah Islam tak memikili rasa nasionalisme? Mari kita lihat faktanya!
Islam dan Nasionalisme
Nasionalisme menjadi sebuah isme yang dianut oleh rakyat setiap negara. Islam menjadikan dakwahnya bersifat universal dan integral, dan melihat bahwa tidak ada sisi baik yang ada pada sebuah isme, kecuali telah dirangkum dan diisyaratkan dalam dakwah agama ini. Banyak orang terpesona dan mengaku sebagai seorang nasionalis dengan persepsi nasionalisme yang mereka anut masing-masing.
Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah mencintai tanah air, akrab dengannya, rindu kepadanya, dan ketertarikan pada hal di sekitarnya, maka sesungguhnya hal ini telah tertanam dalam fitrah manusia di satu sisi, dan di sisi lain diperintahkan oleh Islam.
Adalah sahabat Bilal r.a. yang telah mengorbankan segalanya demi akidah dan agama, adalah juga Bilal yang mengungkap kerinduan pada Mekah melalui bait-bait syair yang lembut dan indah.
Oh angan ... mungkinkah semalam saja aku dapat tidur
Di suatu lembah, dan rumput idkhir serta teman di sekitarku
Mungkinkah sehari saja aku mendatangi mata air mijannah
Mungkinkah Syamah dan Thafil nampakkan diri padaku
Rasulullah SAW tatkala mendengar gambaran tentang Mekah dari Ushail, tiba-tiba saja air mata beliau bercucuran, karena rindu padanya. Maka beliau berkata, ”Wahai Ushail, biarkan hati ini tenteram.”
Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekaannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putrinya, maka sesungguhnya kaum Muslimin Indonesia telah memberikan tauladan terbaik di saat perebutan kemerdekaan tanah air Indonesia dari tangan penjajah.
Hampir mayoritas perjuangan bangsa ini dipimpin oleh kaum santri dengan keberanian yang luar biasa, dan ketulusan yang tidak terbeli dengan sesuatu yang lebih murah nilainya.
Jika yang dimaksud nasionalisme oleh para penyerunya adalah memperkuat ikatan antaranggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokohnya ikatan untuk kepentingan bersama, maka Islam menganggap itu sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar. Nabi SAW telah bersabda, ”Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Batasan Nasionalisme
Jika nasionalisme yang mereka anut menganggap batasnya adalah teritorial negara dan batas-batas geografis saja, maka Islam jauh lebih luas daripada itu. Islam melihat seluruh tanah air berhak mendapatkan penghormatan, penghargaan, kecintaan, ketulusan, dan jihad demi kebaikannya.
Islam memperhatikan mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan, dan tidak berkehendak terjebak kepada urusan wilayah terbatas dan sempit di muka bumi ini, karena berbagai ikatan akan menjadi renggang, kekuatan melemah, dan musuh menggunakan sebagian untuk menggunakan sebagian yang lain. Ketika sebuah bangsa hendak memperkuat dirinya dengan cara yang merugikan bangsa lain, maka Islam pun tidak akan pernah ridha dengannya.
Jika nasionalisme yang mereka anut hanya memusatkan seluruh perhatian tertuju kepada kemerdekaan negaranya saja, dan kemudikan memfokuskan pada aspek-aspek fisik semata, maka Islam lebih luas daripada itu. Islam membimbing seluruh bangsa dengan cahaya menuju rahmat. Semuanya dilakukan bukan untuk mencari harta, popularitas, kekuasaan atas orang lain, dan bukan pula untuk memperbudak bangsa lain, akan tetapi untuk mencari ridha Allah semata, membahagiakan alam denganNya. Sehingga seluruh dunia mampu bekerjasama membangun dunia yang penuh rahmat dan kasih. [bersambung].
*) Penulis adalah Alumnus Program Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia
asmara pancaroba- KOPRAL
-
Posts : 36
Kepercayaan : Islam
Location : kota I
Join date : 16.01.13
Reputation : 13
Similar topics
» Islam Kian Berkembang di Jerman, Serangan Orang Anti Islam pun Makin Sengit!
» Dahsyat : Arnoud Van Dorn anggota partai anti Islam, anak buah Geert Wilders masuk Islam
» alasan Sekte Saksi Jehova anti hormat bendera & anti sistem demokrasi-pemilu & anti pemerintah
» ISLAM - ANTI KRISTUS
» Soeharto anti islam?
» Dahsyat : Arnoud Van Dorn anggota partai anti Islam, anak buah Geert Wilders masuk Islam
» alasan Sekte Saksi Jehova anti hormat bendera & anti sistem demokrasi-pemilu & anti pemerintah
» ISLAM - ANTI KRISTUS
» Soeharto anti islam?
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik