FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

sejarah pembakuan hukum islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

sejarah pembakuan hukum islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

sejarah pembakuan hukum islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

sejarah pembakuan hukum islam Empty sejarah pembakuan hukum islam

Post by keroncong Mon May 07, 2012 6:09 pm

        Dalam bidang fiqh  seperti  juga  dalam  bidang-bidang  yang
          lain   masa  Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat
          Nabi dan masa tampilnya imam-imam  madzhab.  Di  satu  pihak
          masa  itu bisa disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat
          Nabi, di lain pihak pada  masa  itu  juga  mulai  disaksikan
          munculnya  tokoh-tokoh  dengan sikap yang secara nisbi lebih
          mandiri, dengan penampilan kesarjanaan  di  bidang  keahlian
          yang lebih mengarah pada spesialisasi.

          Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum
          Muslim generasi kedua (mereka menjadi Muslim  ditangan  para
          Sahabat  Nabi).  Dalam pandangan keagamaan banyak ulama masa
          Tabi'in itu, bersama dengan masa para Sahabat sebelumnya dan
          masa  Tabi'in al-Tabi'in ("para pengikut dari para pengikut"
          yakni,  kaum  Muslim  generasi  ketiga),  dianggap   sebagai
          masa-masa  paling  otentik  dalam  sejarah Islam, dan ketiga
          masa  itu  sebagai  kesatuan  suasana  yang  disebut   salaf
          (Klasik).

          Walaupun  begitu  tidaklah  berarti  masa generasi kedua ini
          bebas   dari   persoalan   dan   kerumitan.   Justru   sifat
          transisional  masa  ini  ditandai  berbagai gejala kekacauan
          pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari  sisa  dan
          kelanjutan  berbagai  konflik politik, terutama yang terjadi
          sejak peristiwa pembunuhan 'Utsman, Khalifah III.  Tumbuhnya
          partisan-partisan  politik  yang  berjuang  keras memperoleh
          pengakuan dan legitimasi bagi  klaim-klaim  mereka,  seperti
          Khawarij, Syi'ah, Umawiyyah, dan sebagainya, telah mendorong
          berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian  itu  antara  lain
          menjadi  sebab  bagi  berkecamuknya praktek pemalsuan hadits
          atau penuturan dan cerita tentang  Nabi  dan  para  sahabat.
          Melukiskan   keadaan   yang  ruwet  itu  Musthafa  al-Siba'i
          mengetengahkan keterangan di bawah ini.

          Tahun  empat  puluh  Hijriah  adalah  batas  pemisah  antara
          kemurnian   Sunnah  dan  kebebasannya  dari  kebohongan  dan
          pemalsuan di satu pihak, dan ditambah-tambahnya  Sunnah  itu
          serta    digunakannya   sebagai   alat   melayani   berbagai
          kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
          setelah  perselisihan  antara  'Ali  dan  Mu'awiyah  berubah
          menjadi peperangan dan yang  banyak  menumpahkan  darah  dan
          mengorbankan   jiwa,   serta   setelah   orang-orang  Muslim
          terpecah-pecah menjadi  berbagai  kelompok.  Sebagian  besar
          orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
          Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh  dendam  terhadap
          'Ali  dan  Mu'awiyah  sekaligus  setelah  mereka itu sendiri
          sebelumnya  merupakan  pendukung  'Ali   yang   bersemangat.
          Setelah   'Ali   r.a.   wafat   dan   Mu'awiyah  habis  masa
          kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi  (Ahl
          al-Bayt)  bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak
          mereka akan kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan  taat
          pada Dinasti Umayyah.

          Begitulah,   peristiwa-peristiwa   politik   menjadi   sebab
          terpecahnya kaum Muslim dalam berbagai golongan dan  partai.
          Disesalkan, pertentangan ini kemudian mengambil bentuk sifat
          keagamaan, yang kelak mempunyai  pengaruh  yang  lebih  jauh
          bagi  tumbuhnya  aliran-aliran keagamaan dalam Islam. Setiap
          partai berusaha menguatkan posisinya  dengan  al-Qur'an  dan
          Sunnah,  dan  wajarlah  bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk
          setiap kelompok tidak selalu mendukung  klaim-klaim  mereka.
          Maka  sebagian golongan itu melakukan interpretasi al-Qur'an
          tidak menurut hakikatnya dan membawa nash-nash  Sunnah  pada
          makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi meletakkan pada
          lisan Rasul  hadits-hadits  yang  menguatkan  klaim  mereka,
          setelah  hal  itu  tidak  mungkin  mereka  lakukan  terhadap
          al-Qur'an karena  ia  sangat  terlindung  (terpelihara)  dan
          banyaknya orang Muslim yang meriwayatkan dan membacanya.

          Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang
          sahih dengan yang palsu. Sasaran pertama  yang  dituju  para
          pemalsu  hadits itu ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka
          mereka palsukanlah banyak hadits tentang kelebihan imam-imam
          mereka  dan  para tokoh kelompok mereka. Ada yang mengatakan
          bahwa yang pertama  melakukan  hal  itu  ialah  kaum  Syi'ah
          -dengan  perbedaan  berbagai  kelompok  mereka-  sebagaimana
          dituturkan Ibn Abi al-Hadid dalam  Syarh  Nahj  al-Balaghah,
          "Ketahuilah  bahwa  pangkal  kebohongan  dalam hadits-hadits
          tentang  keunggulan  (tokoh-tokoh)  muncul  dari  arah  kaum
          Syi'ah..."  Tapi  kemudian  diimbangi orang-orang bodoh dari
          kalangan Ahl al-Sunnah dengan perbuatan pemalsuan juga. [1]

          Dihadapkan keruwetan  itu,  para  Tabi'in  -dengan  dipimpin
          tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan penampilan kesarjanaan-
          mencoba melakukan sesuatu yang  amat  berat  namun  kemudian
          membuahkan  hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
          Hukum  Islam  melalui  fiqh  atau  "proses  pemahaman"  yang
          sistimatis.

          WAWASAN HUKUM ZAMAN TABI'IN

          Antara   Islam  sebagai  agama  dan  Hukum  terdapat  kaitan
          langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
          tinggal  menetap  di  Madinah  Nabi  saw. melakukan kegiatan
          legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman
          telah  ada  sejak  di  Makkah,  bahkan justru dasar-dasarnya
          telah diletakkan dengan kokoh  dalam  periode  pertama  itu.
          Dasar-dasar  itu  memang  tidak  semuanya  langsung bersifat
          kehukuman atau legalistik,  sebab  selalu  dikaitkan  dengan
          ajaran   moral   dan   etika.  Maka  sejak  di  Makkah  Nabi
          mengajarkan tentang cita-cita keadilan  sosial  yang  antara
          lain  mendasari  konsep-konsep  tentang harta yang halal dan
          yang haram (semua harta yang  diperoleh  melalui  penindasan
          adalah  haram),  keharusan  menghormati  hak milik sah orang
          lain, kewajiban mengurus  harta  anak  yatim  secara  benar,
          perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya.
          Itu  semua  tidak  akan  tidak  melahirkan   sistem   hukum,
          sekalipun  keadaan  di  Makkah  belum  mengizinkan bagi Nabi
          untuk    melaksanakannya.    Maka    tindakan    Nabi    dan
          kebijaksanaannya  di  Madinah  adalah kelanjutan yang sangat
          wajar dari apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.

          Pada masa para  sahabat  yang  kemudian  disusul  masa  para
          Tabi'in,  prinsip-prinsip  yang diwariskan Nabi itu berhasil
          digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium
          Islam  yang  meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan
          kemudian segera melebar dan meluas sehingga membentang  dari
          semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-daerah
          itu, yang dalam  wawasan  geopolitik  Yunani  kuno  dianggap
          sebagai   heatland  Oikoumene  (Daerah  Berperadaban  -Arab:
          al-Da'irat    al-Ma'murah)    telah    mempunyai     tradisi
          sosial-politik   yang  sangat  mapan  dan  tinggi,  termasuk
          tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
          warisan  Yunani-Romawi,  dan  Indo-Iran  umumnya. Karena itu
          mudah dipahami  jika  timbul  semacam  tuntutan  intelektual
          untuk  berbagai segi kehidupan masyarakat yang harus dijawab
          para penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.

          Tuntutan intelektual itu  mendorong  tumbuhnya  suatu  genre
          kegiatan  ilmiah  yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu
          Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya
          yang  telah  terjadi  pada  masa  tabi'in  itu ialah semacam
          pendekatan   ad   hoc   dan    praktis-pragmatis    terhadap
          persoalan-persoalan      hukum,      dengan      menggunakan
          prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci,  dan  dengan
          melakukan  rujukan  pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta
          masyarakat lingkungan mereka  yang  secara  ideal  terdekat,
          khususnya masyarakat Madinah.

          Pendekatan  ini  dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam
          yang lapang  dan  luwes,  sehingga  mampu  menampung  setiap
          perkembangan   yang   terjadi.   Berkenaan  dengan  hal  ini
          al-Sayyid Sabiq menjelaskan,

          ...Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut  perkembangan
          zaman  dan  tempat,  seperti  'aqa'id dan 'ibadat, diberikan
          secara  sepenuhnya  terperinci,   dengan   dijelaskan   oleh
          nash-nash   yang   bersangkutan;   maka  tidak  seorang  pun
          dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang  berkembang
          menurut  perkembangan  zaman  dan  tempat,  seperti berbagai
          kepentingan  kemasyarakatan   (al-mashalih   al-madaniyyah),
          urusan politik dan peperangan, diberikan secara garis besar,
          agar bersesuaian dengan kepentingan manusia di  semua  zaman
          dan  agar  dapat dipedomani oleh para pemegang wewenang (ulu
          al-amr) dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.[2]

          Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar
          bahwa  letak  kekuatan  Islam ialah sifatnya yang akomodatif
          terhadap setiap  perkembangan  zaman  dan  peralihan  tempat
          (shalih  li  kull  zaman wa makan- sesuai untuk setiap zaman
          dan tempat).  Untuk  mengerti  masalah  ini  sangat  menarik
          mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,

          Penetapan Hukum (al-tasyri') Islam merupakan salah satu dari
          berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci
          Islam  dan yang memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci
          itu. Penetapan hukum keagamaan  murni,  seperti  hukum-hukum
          ibadat,  tidak pernah timbul kecuali dari wahyu Allah kepada
          Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah, atau dengan
          suatu  ijtihad  yang  disetujuinya.  Dan  tugas  Rasul tidak
          keluar  dari  lingkaran  tugas  menyampaikan  (tabligh)  dan
          menjelaskan  (tabyin).  "Tidaklah  ia  (Nabi) berbicara atas
          kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan
          kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).

          Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
          bersifat kehakiman, politik  dan  perang,  maka  Rasul  saw.
          diperintahkan  bermusyawarah  mengenai  itu  semua. Dan Nabi
          pernah mempunyai suatu pendapat,  tapi  ditinggalkannya  dan
          menerima  pendapat  para  sahabat,  sebagaimana terjadi pada
          waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra. pun selalu
          meruduk  kepada  Nabi  saw.,  guna menanyakan apa yang tidak
          mereka ketahui, dan  meminta  tafsiran  tentang  makna-makna
          berbagai  nash  yang  tidak  jelas  bagi mereka. Mereka juga
          mengemukakan kepada Nabi pemahaman mereka tentang  nash-nash
          itu,   sehingga  Nabi  kadang-kadang  membenarkan  pemahaman
          mereka  itu,  dan  kadang-kadang  beliau  menerangkan  letak
          kesalahan dalam pendapat mereka itu.[3]

   Sudah  tentu  keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum
   Islam itu dipertahankan, dan bertahan, melewati  zaman  Nabi
   sendiri,  kemudian  zaman  para  Sahabat,  dan diteruskan ke
   zaman  para  Tabi'in.  Tapi  jika  pada  zaman  Nabi  tempat
   rujukannya  ialah  Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
   semua. Pada zaman para  sahabat  Nabi  itu  diwarisi  banyak
   tokoh,  yang kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi
   sejak  pertikaian  politik  pada  paroh  kedua  kekhalifahan
   'Utsman,     tanda-tanda     menyebarnya,    dan    kemudian
   berselisihnya,  tempat  rujukan  itu  sudah  mulai   nampak.
   Seperti  dilukiskan  Siba'i  yang  telah  dikutip  di  atas,
   penyebaran  dan  perselisihan  otoritas  itu  memuncak  pada
   sekitar  sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
   keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini
   terjadi  tanpa  peduli  dengan  sambutan sebagian besar umat
   Islam kepada tahun 41 Hijri sebagai "Tahun  Persatuan"  atau
   "Tahun  Solidaritas" ('Am al-Jama'ah), sebab "persatuan" dan
   "solidaritas" itu  agaknya  hanya  terbatas  pada  kenyataan
   kembalinya  kesatuan  politik  (formal)  umat Islam di bawah
   Khalifah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.

   DUA KUBU ORIENTASI FIQH: HIJAZ DAN IRAK

   Di   bawah   pimpinan   Khalifah   Mu'awiyah   (yang    masa
   kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa
   "kerajaan dengan rahmat" -al-mulk bi al-rahmah) kaum  Muslim
   dapat dikatakan kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar
   dan  'Umar  (zaman  al-Syaykhani,  "Dua  Tokoh")  yang  amat
   dirindukan  orang  banyak,  termasuk  para "aktivis militan"
   yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut]  mensponsori
   pengangkatan   'Ali  namun  akhirnya  berpisah  dan  menjadi
   golongan Khawarij). Apa pun kualitas kekhalifahan  Mu'awiyah
   itu,  namun  dalam  hal masalah penegakan hukum mereka tetap
   sedapat  mungkin  berpegang  dan  meneruskan  tradisi   para
   Khalifah  di Madinah dahulu, khususnya tradisi 'Umar. Karena
   itu ada semacam "koalisi" antara Damaskus dan Madinah  (tapi
   suatu  koalisi  yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah
   keabsahan kekuasaan Bani Umayyah itu).  Tapi  "koalisi"  itu
   mempunyai  akibat  cukup  penting  dalam  bidang fiqh, yaitu
   tumbuhnya orientasi kehukuman  (Islam)  kepada  Hadits  atau
   Tradisi  (dengan  "T"  besar)  yang  berpusat di Madinah dan
   Makkah serta mendapat dukungan langsung  atau  tak  langsung
   dari rezim Damaskus.
 
   Sementara  banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
   keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan
   Basrah   adalah  kawasan  yang  selalu  potensial  menentang
   Damaskus secara efektif. Ini  kemudian  berdampak  tumbuhnya
   dua  orientasi  dengan  perbedaan  yang cukup penting: Hijaz
   (Makkah-Madinah)  dengan  orientasi  Haditsnya,   dan   Irak
   (Kufah-Basrah)    dengan    orientasi    penalaran   pribadi
   (ra'y)-nya. Penjelasan menarik  tentang  hal  ini  diberikan
   oleh Syaykh 'Ali al-Khafif,

   Pada  zaman  itu  (zaman  Tabi'in),  dalam  ifta' (pemberian
   fatwa)  ada  dua  aliran:   aliran   yang   cenderung   pada
   kelonggaran  dan  bersandar atas penalaran, kias, penelitian
   tentang tujuan-tujuan hukum  dan  alasan-alasannya,  sebagai
   dasar   ijtihad.  Tempatnya  ialah  Irak.  Dan  aliran  yang
   cenderung tidak kepada kelonggaran dalam hal  tersebut,  dan
   hanya  bersandar  kepada bukti-bukti atsar (peninggalan atau
   "petilasan," yakni,  tradisi  atau  Sunnah)  dan  nash-nash.
   Tempatnya  ialah  Hijaz.  Adanya  dua  aliran  itu merupakan
   akibat yang wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.

   Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
   menyampaikan   seruannya,   kemudian   para  Sahabat  beliau
   menyambut, mendengarkan, memelihara sabda-sabda  beliau  dan
   menerapkannya.  Dan  (Hijaz)  tetap  menjadi  tempat tinggal
   banyak dari  mereka  (para  Sahabat)  yang  datang  kemudian
   sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa saja
   yang mereka ketahui  kepada  penduduk  (berikut)-nya,  yaitu
   kaum Tabi'in yang bersemangat untuk tinggal di sana...

   Sedangkan  Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
   pemerintahannya,  kompleksitas   kehidupannya,   dan   tidak
   mendapatkan  bagian dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat
   dan Tabi'in yang pindah kesana. Dan yang dibawa pindah  oleh
   mereka  itu  pun  masih  lebih  sedikit daripada yang ada di
   Hijaz. Padahal  peristiwa-peristiwa  (hukum)  di  Irak  itu,
   disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang
   ada  di  Hijaz;  begitu  pula  kebudayaan  penduduknya   dan
   terlatihnya  mereka  itu kepada penalaran, adalah lebih luas
   dan lebih banyak.  Karena  itulah  keperluan  mereka  kepada
   penalaran  lebih  kuat  terasa, dan penggunaannya juga lebih
   banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas  nampak,
   mengingat  sedikitnya  Sunnah  pada mereka itu tidak memadai
   untuk semua  tuntutan  mereka.  Ini  masih  ditambah  dengan
   kecenderungan  mereka untuk banyak membuat asumsi-asumsi dan
   perincian karena keinginan mendapatkan tambahan pengetahuan,
   penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.[4]

   Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah
   ("Kelompok Riwayat," karena mereka banyak  berpegang  kepada
   penuturan  masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan
   orang-orang Irak adalah Ahl al-Ra'y  ("Kelompok  Penalaran",
   dengan   isyarat   tidak   banyak  mementingkan  "riwayat"),
   sesungguhnya  itu  hanya  karakteristik   gaya   intelektual
   masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
   cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak  mengikuti
   karakteristik  umum  itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz
   terdapat seorang  sarjana  bernama  Rabi'ah  yang  tergolong
   "Kelompok  Penalaran,"  dan  di  kalangan para sarjana Irak,
   kelak,  tampil  seorang  penganut  dan   pembela   "Kelompok
   Riwayat"   yang   sangat  tegar,  yaitu  Ahmad  ibn  Hanbal.
   Disamping itu, membuat generalisasi bahwa  sesuatu  kelompok
   hanya  melakukan  satu  metode  penetapan hukum atau tasry',
   apakah itu penalaran atau penuturan  riwayat,  adalah  tidak
   tepat.   Terdapat   persilangan  antara  keduanya,  meskipun
   masing-masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari  kedua
   katagori  tersebut.  Ini  semakin memperkaya pemikiran hukum
   zaman Tabi'in.

   IJTIHAD TABI'IN SEBAGAI PENDAHULU MADZHAB-MADZHAB

   Menurut 'Ali al-Khafifi, seorang  anggota  Majma'  al-Buhuts
   al-Islamiyyah  (Badan  Riset  Islam)  Universitas  al-Azhar,
   Kairo, Ijtihad yang terjadi di zaman Tabi'in adalah  ijtihad
   mutlak.  Yaitu  ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan pendapat
   seorang mujtahid  yang  terlebih  dahulu,  dan  yang  secara
   langsung  diarahkan  membahas,  meneliti  dan  memahami yang
   benar. Ikatan hanya terjadi jika ditemukan  sebuah  pendapat
   seorang  Sahabat  Nabi,  yang diduga bersandar kepada Sunnah
   yang  karena  beberapa  sebab  Sunnah   itu   tidak   muncul
   sebelumnya,  kemudian  pada  zaman  Tabi'in itu, lebih-lebih
   zaman Tabi'in al-Tabi'in, suasana  lebih  mengizinkan  untuk
   muncul.   Misalnya,   perubahan   situasi   politik,  dengan
   perpindahan kekuasaan dari kaum Umawi ke kaum 'Abbasi, telah
   membawa  perubahan  penting  dalam sikap keagamaan. Meskipun
   sesungguhnya kaum 'Abbasi akhirnya banyak meneruskan wawasan
   hukum  keagamaan  kaum Umawi sebagai pendukung Ahl al-Sunnah
   wa al-Jama'ah (yang sebagaimana telah disinggung,  berkenaan
   dengan  hukum,  banyak berorientasi kepada preseden-preseden
   para khalifah Madinah, khususnya Umar), kaum  'Abbasi  lebih
   banyak    dan    lebih   tulus   perhatian   mereka   kepada
   masalah-masalah  keagamaan  dari  pada  kaum  Umawi.   Sikap
   berpegang  kepada  syari'ah  ini  bagi  kaum 'Abbasi berarti
   pengukuhan   legitimasi   politik   dan   kekuasaan   mereka
   (dibandingkan  dengan  kedudukan  kaum Umawi, dan dihadapkan
   kepada oposisi kaum Syi'ah  dan  Khawarij).  Tapi  disamping
   itu, sikap tersebut menciptakan suasana yang lebih mendukung
   bagi perkembangan  kajian  agama,  dan  ini  pada  urutannya
   memberi   peluang   lebih   baik  pada  para  sarjana  untuk
   menyatakan  pendapatnya,  termasuk  menuturkan  riwayat  dan
   Hadits.  Usaha  secara resmi pembakuan Sunnah (yang kemudian
   menjadi sejajar dengan  Hadits)  telah  mulai  tumbuh  sejak
   jaman  'Umar  ibn  'Abd-al'Aziz  menjelang  akhir  kekuasaan
   Umawi.  Kini  usaha  ini  memperoleh  dorongan   baru,   dan
   merangsang  tumbuhnya  berbagai  aliran pemikiran keagamaan,
   baik yang bersangkutan dengan bidang  politik,  teologi  dan
   hukum, maupun yang lain. [5]

   Semua    kegiatan    itu    juga    terpengaruh    kenyataan
   sosial-politik, berupa  semakin  beragamnya  latar  belakang
   etnis,  kultural  dan  geografis  anggota  masyarakat Islam,
   disebabkan banyaknya orang-orang bukan Arab (Syiria,  Mesir,
   Persi,  dan sebagainya) yang masuk Islam. [6] Maka zaman itu
   kita menyaksikan tampilnya  tokoh-tokoh  kesarjanaan  dengan
   bidang  kajian  ilmu  yang lebih terspesialisasi, khususnya,
   bidang  kajian  hukum  Islam  atau  fiqh.   Merekalah   para
   pendahulu  imam-imam  madzhab,  bahkan  guru-guru para calon
   imam madzhab itu.

   Suatu hal yang amat penting diperhatikan ialah adanya kaitan
   suatu  aliran  pikiran  (yakni,  madzhab, school of thought)
   dengan tempat. Telah disebutkan  adanya  dua  aliran  pokok:
   Irak  dan  Hijaz.  Namun  diantara  keduanya, dan dalam diri
   masing-masing aliran besar itu, terdapat nuansa  yang  cukup
   berarti,  dan  cukup penting diperhatikan. Nuansa-nuansa itu
   tercermin  dalam  ketokohan  sarjana   atau   'ulama'   yang
   mendominasi   suasana   intelektual  suatu  tempat,  seperti
   dituturkan al-Syaykh Muhammad al-Hudlari Beg dalam kitabnya,
   Tarikh al-Tasyri' al-Islami.

   Di Madinah tampil cukup banyak sarjana, antara lain:

    1.Sa'id ibn al Musayyib al-Makhzumi. Lahir dua tahun
      kekhalifahan 'Umar, dan sempat belajar dari para pembesar
      Sahabat Nabi. Banyak meriwayatkan Hadist yang bersambung
      dengan Abu Hurayrah. Al-Hasan al-Bashri banyak berkonsultasi
      dengannya. Wafat pada 94 H.

    2.'Urwah ibn al-Zubayr ibn al-'Awwam. Lahir dimasa
      kekhalifahan 'Utsman. Banyak belajar dari bibinya, Aisyah,
      istri Nabi saw. wafat pada 94 H.

    3.Abu Bakr ibn 'Abd-al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
      al-Makhzumi. Lahir di masa kekhalifahan 'Umar. Terkenal
      sangat saleh sehingga digelari "pendeta Quraysy" (rahib
      Quraysy). Wafat pada 94 H.

    4.'Ali ibn al-Husayn ibn 'Ali ibn Abi Thalib al-Hasyimi.
      Dia adalah imam keempat kaum Syi'ah Imamiyyah, dan dikenal
      dengan Zayn al-'Abidin. Ia belajar dari ayahnya dan dari
      pamannya, al-Hasan ibn 'Ali, 'Aisyah, ibn 'Abbas, dan
      lain-lain. Ia terkenal sangat 'alim (terpelajar), tapi tidak
      banyak meriwayatkan Hadits. Wafat pada 94 H.

    5.'Ubayd-Allah ibn 'Abd-Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud.
      Belajar dari 'Aisyah
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik