FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

gairah cinta dan kelesuan Ukkhuwah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

gairah cinta dan kelesuan Ukkhuwah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

gairah cinta dan kelesuan Ukkhuwah

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

gairah cinta dan kelesuan Ukkhuwah Empty gairah cinta dan kelesuan Ukkhuwah

Post by keroncong Sun Dec 18, 2011 3:57 pm

KH Rahmat Abdullah (Ketua MPP Partai
Keadilan)



Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling
mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling
bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan
Kanjeng Nabi Shallallahu’alaihi wasallam : "Cintailah saudaramu secara
proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah
orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi
kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi,
Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada
reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin
fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat
kepada Alkhaliq. (HSR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).



Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah
menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah.
Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke
bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper)
tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan
diri).



Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia
yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu in lam takun bihim
falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika
ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila
tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi
bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan
mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara
kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).



Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah



Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi
kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara
dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun
pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti
yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum
yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).



Masing-masing kita punya pengalaman pribadi
dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi,
tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau
oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan
telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan
lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari
tanggungjawab keluarga.



Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran
masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua
masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari
suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu.
Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red)
mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar
melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah
telah mengelupas. Kala itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi
petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk
dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah
(sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?"
Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da’wati" : Isteriku atau da’wahku
?".



Dia mulai gundah, kalau berangkat istri
cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam
tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas
24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita
menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu
kita meninggalkan da’wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun
cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan
sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari.
Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan
menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak
berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah
menikmati berkah da’wah.



Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga
dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya
tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia
absen dalam pertemuan kader (liqa’). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai
menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna :
kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada
dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam
tugas-tugas da’wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil
dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya
kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan
dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun
yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang.
Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali
dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya
melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak
pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik
halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah
pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri
oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka
menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna
bighoirihim".



Di Titik Lemah Ujian Datang



Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan
jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS
Al-A’raf Ayat 163 : "Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika
mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan
buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak
bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena
kefasikan mereka". Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar
ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita.
Ini terkait dengan ujian.



Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang
daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian,
seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran,
keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai
kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih
banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila.
Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan,
alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik.
Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang
dibawah.



Seorang masyaikh da’wah ketika selesai
menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif
berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya
suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima. Beberapa tahun
kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Syaikh
tersebut.



Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah
kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji
kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu
yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50
datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da’wah datang orang menyibukkan
mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang
kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir,
tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus
menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum
tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara,
karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.



Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah




Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di
langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan
datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir
orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan
mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam
da’wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang
tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas
da’wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan
beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan
mengutamakan tugas da’wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ?
Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ?



Karena itu mari melihat dimana titik lemah
kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi
meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan
rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal
hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang
salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja
mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya
mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak
bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah adalah
nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika
da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka
menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan
impian yang tak kunjung putus.



Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di
titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang
sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah
dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu
lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas,
riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak
menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan
jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin
selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi.
Dan itu arti pembesaran bencana.



Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul,
nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan
realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ,
niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi
dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah
kepemimpinan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ? Ternyata banyak orang
yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil
dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban
tanggungjawab dan penyesalan.



Seni Membuat Alasan



Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena
kita hidup di masyarakat Da’wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi.
Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya
kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham
bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila
disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan
hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka",
demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ?
"Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau
tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits
Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.



Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang
ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun
selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan
lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan
ya Akhi".



Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia
Besar



Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita
‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini.
Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna
kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan
da’wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan
: ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan
Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar
dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs.
49;17).



ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan
da’wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa,
lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia
yang tidak maksum dan sempurna – menung-gu musibah dan kegagalan, untuk kemudian
mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya
tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.



Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi
ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta
tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya
dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu",
seperti pesan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam . Cukuplah kemuliaan
ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling
mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta
fi'Llah.



Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta
orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami
kepada cinta-Mu.[]
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik