FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

militansi kader dakwah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

militansi kader dakwah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

militansi kader dakwah

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

militansi kader dakwah Empty militansi kader dakwah

Post by keroncong Sun Dec 18, 2011 3:55 pm

Oleh: KH Rahmat Abdullah



Assalamu’alaikum Wr. Wb.



Ba’da tahmid wa shalawat.



Ikhwah rahimakumullah,



Allah Subhanahu wata’ala berfirman di dalam
Al-Qur’an Surat 19 Ayat 12 : Ya Yahya hudzil kitaaba bi quwwah ..”.



Tatkala Allah Subhanahu wata’ala memberikan
perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk
taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang
bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.



Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya
oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai,
berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang
yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah
(kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.



Namun kebatilan pun dibela dengan
sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib ra
menyatakan : “Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan dikalahkan oleh
Al-bathil yang tertata dengan baik”.



Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,



Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya
dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang sabar dan lulus dalam ujian
kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang diberikan Allah hanya yang
mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.




Di situlah letak hikmahnya yakni bahwa seorang
da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan
ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan, azam yang lemah dan pengorbanan
yang sedikit.



Ali sempat mengeluh ketika melihat semangat
juang pasukannya mulai melemah, sementara para pemberontak sudah demikian
destruktif, berbuat dan berlaku seenak-enaknya. Para pengikut Ali saat itu malah
menjadi ragu-ragu dan gamang, sehingga Ali perlu mengingatkan mereka dengan
kalimatnya yang terkenal tersebut.



Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,



Ketika Allah menyuruh Nabi Musa as mengikuti
petunjuk-Nya, tersirat di dalamnya sebuah pesan abadi, pelajaran yang mahal dan
kesan yang mendalam: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat)
segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami
berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang
teguh kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan
memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasiq”.(QS. Al-A’raaf
(7):145)



Demikian juga perintah-Nya terhadap Yahya,
dalam surat Maryam ayat 12: “Hudzil kitaab bi quwwah” (Ambil kitab ini dengan
quwwah). Yahya juga diperintahkan oleh Allah untuk mengemban amanah-Nya dengan
jiddiyah (kesungguh-sungguhan). Jiddiyah ini juga nampak pada diri Ulul Azmi
(lima orang Nabi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad yang dianggap memiliki
azam terkuat).



Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang
memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka
bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi
dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka
bawa tetap hidup sepeninggal mereka.



Apa artinya usia panjang namun tanpa isi,
sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang
dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal
sekian-sekian”.



Hendaknya kita melihat bagaimana kisah
kehidupan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya. Usia
mereka hanya sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang,
namun sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai
segi dan sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi
kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya.



Seharusnyalah kisah-kisah tersebut menjadi
ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita. Seperti digambarkan dalam QS.
11:120, orang-orang yang beristiqomah di jalan Allah akan mendapatkan buah yang
pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak kunjung dapat menarik ibrah dan
tidak semakin bertambah teguh, besar kemungkinannya ada yang salah dalam diri
kita. Seringkali kurangnya jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dalam diri kita
membuat kita mudah berkata hal-hal yang membatalkan keteladanan mereka atas diri
kita. Misalnya: “Ah itu kan Nabi, kita bukan Nabi. Ah itu kan istri Nabi, kita
kan bukan istri Nabi”. Padahal memang tanpa jiddiyah sulit bagi kita untuk
menarik ibrah dari keteladanan para Nabi, Rasul dan
pengikut-pengikutnya.



Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,



Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling
memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan
harta.



Misalnya anak yang mendapatkan warisan
berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk berfoya-foya karena
merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari tetes keringatnya
sendiri.



Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada
padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak
yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat
kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan seterusnya.



Demikian pula dalam kaitannya dengan masalah
ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah. Tidak mungkin seseorang bisa
keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah tanpa
tekad, kemauan dan kerja keras.



Kita dapat melihatnya dalam kisah Nabi Musa as.
Kita melihat bagaimana kesabaran, keuletan, ketangguhan dan kedekatan
hubungannya dengan Allah membuat Nabi Musa as berhasil membawa umatnya terbebas
dari belenggu tirani dan kejahatan Fir’aun.



Berkat do’a Nabi Musa as dan pertolongan Allah
melalui cara penyelamatan yang spektakuler, selamatlah Nabi Musa dan para
pengikutnya menyeberangi Laut Merah yang dengan izin Allah terbelah menyerupai
jalan dan tenggelamlah Fir’aun beserta bala tentaranya.





Namun apa yang terjadi? Sesampainya di seberang
dan melihat suatu kaum yang tengah menyembah berhala, mereka malah meminta
dibuatkan berhala yang serupa untuk disembah. Padahal sewajarnya mereka yang
telah lama menderita di bawah kezaliman Fir’aun dan kemudian diselamatkan Allah,
tentunya merasa sangat bersyukur kepada Allah dan berusaha mengabdi kepada-Nya
dengan sebaik-baiknya. Kurangnya iman, pemahaman dan kesungguh-sungguhan membuat
mereka terjerumus kepada kejahiliyahan.



Sekali lagi marilah kita menengok kekayaan
sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah. Kembali kita akan menarik ibrah dari
kisah Nabi Musa as dan kaumnya.



Dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 20-26 :



“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada
kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu, ketika Dia mengangkat
nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka dan
diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di
antara umat-umat yang lain”.



“Hai, kaumku, masuklah ke tanah suci
(Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke
belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang
merugi”.



“Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam
negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali
tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari negri itu. Jika mereka keluar
dari negri itu, pasti kami akan memasukinya”.



“Berkatalah dua orang di antara orang-orang
yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya:
“Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu
memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.



“Mereka berkata: “Hai Musa kami sekali-kali
tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya, karena itu
pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami
hanya duduk menanti di sini saja”.



“Berkata Musa: “Ya Rabbku, aku tidak menguasai
kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan
orang-orang yang fasiq itu”.



“Allah berfirman: “(Jika demikian), maka
sesungguhnya negri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama
itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka
janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasiq
itu”.



Rangkaian ayat-ayat tersebut memberikan
pelajaran yang mahal dan sangat berharga bagi kita, yakni bahwa manusia adalah
anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan yang sangat terpengaruh oleh
lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi jika mereka mau berusaha
seperti tertera dalam QS. Ar-Ra’du (13):11, “Sesungguhnya Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha merubahnya sendiri”.



Nabi Musa as adalah pemimpin yang dipilihkan
Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka tsiqqah pada Nabi Musa. Apalagi telah
terbukti ketika mereka berputus asa dari pengejaran dan pengepungan Fir’aun
beserta bala tentaranya yang terkenal ganas, Allah Subhanahu wata’ala berkenan
mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga menjawab segala kecemasan,
keraguan dan kegalauan mereka seperti tercantum dalam QS. Asy-Syu’ara
(26):61-62, “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa
menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak
Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku”.



Semestinya kaum Nabi Musa melihat dan mau
menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai Allah pasti akan
dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena jaminan kesuksesan
yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan bersama al-haq
dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya melihat laut, musuh dan
kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi semua itu sambil di sisi
lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh merupakan opium, candu yang
berbahaya.



Mereka menginginkan hasil tanpa kerja keras dan
kesungguh-sungguhan. Mereka adalah “qaumun jabbarun” yang rendah, santai dan
materialistik. Seharusnya mereka melihat bagaimana kesudahan nasib Fir’aun yang
dikaramkan Allah di laut Merah.



Seandainya mereka yakin akan pertolongan Allah
dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu tsiqqah pada kepemimpinan Nabi
Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah akan memasuki Palestina dengan
selamat. Bukankah Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman dalam QS. 47:7, “In
tanshurullah yanshurkum wayutsabbit bihil aqdaam” (Jika engkau menolong Allah,
Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu).



Hendaknya jangan sampai kita seperti Bani
Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya, mereka dengan segala
kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang sendiri. “Pergilah
engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan akhlak dan
militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki negri itu.
Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa memasuki negri
itu.



Namun demikian, Allah yang Rahman dan Rahim
tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna dan salwa, padahal mereka dalam
kondisi sedang dihukum.



Tetapi tetap saja kedegilan mereka tampak
dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka mengatakan kepada Nabi Musa
tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.



Orientasi keduniawian yang begitu dominan pada
diri mereka membuat mereka begitu kurang ajar dan tidak beradab dalam bersikap
terhadap pemimpin. Mereka berkata: “Ud’uulanaa robbaka” (Mintakan bagi kami pada
Tuhanmu). Seyogyanya mereka berkata: “Pimpinlah kami untuk berdo’a pada Tuhan
kita”.



Kebodohan seperti itu pun kini sudah mentradisi
di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus Muslim, tidak pernah ke masjid
tapi mampu membayar sehingga banyak orang di masjid yang menyalatkan jenazah
salah seorang keluarga mereka, sementara mereka duduk-duduk atau berdiri
menonton saja.



Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memang
telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak kalian pasti akan
mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa”. Sahabat
bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Siapa
lagi?”.



Kebodohan dalam meneladani Rasulullah juga bisa
terjadi di kalangan para pemikul dakwah sebagai warasatul anbiya (pewaris nabi).




Mereka mengambil keteladanan dari beliau secara
tidak tepat. Banyak ulama atau kiai yang suka disambut, dielu-elukan dan
dilayani padahal Rasulullah tidak suka dilayani, dielu-elukan apalagi didewakan.
Sebaliknya mereka enggan untuk mewarisi kepahitan, pengorbanan dan perjuangan
Rasulullah. Hal itu menunjukkan merosotnya militansi di kalangan ulama-ulama
amilin.



Mengapa hal itu juga terjadi di kalangan ulama,
orang-orang yang notabene sudah sangat faham. Hal itu kiranya lebih disebabkan
adanya pergeseran dalam hal cinta dan loyalitas, cinta kepada Allah, Rasul dan
jihad di jalan-Nya telah digantikan dengan cinta kepada dunia.



Mentalitas Bal’am, ulama di zaman Fir’aun
adalah mentalitas anjing sebagaimana digambarkan di Al-Qur’an. Dihalau dia
menjulurkan lidah, didiamkan pun tetap menjulurkan lidah. Bal’am bukannya
memihak pada Musa, malah memihak pada Fir’aun. Karena ia menyimpang dari jalur
kebenaran, maka ia selalu dibayang-bayangi, didampingi syaithan. Ulama jenis
Bal’am tidak mau berpihak dan menyuarakan kebenaran karena lebih suka menuruti
hawa nafsu dan tarikan-tarikan duniawi yang rendah.



Kader yang tulus dan bersemangat tinggi pasti
akan memiliki wawasan berfikir yang luas dan mulia. Misalnya, manusia yang
memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang berharganya cincin berlian,
mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi anjing yang ada di dekat
cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi cincin berlian.



Ia baru akan berlari mengejar tulang, lalu
mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya. Sampailah anjing tersebut di tepi
telaga yang bening dan ia serasa melihat musuh di permukaan telaga yang
dianggapnya akan merebut tulang darinya. Karena kebodohannya ia tak tahu bahwa
itu adalah bayangan dirinya. Ia menerkam bayangan dirinya tersebut di telaga,
hingga ia tenggelam dan mati.



Kebahagiaan sejati akan diperoleh manusia bila
ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan rapuh, dan sebaliknya justru
berorientasi pada keabadian.



Nabi Yusuf as sebuah contoh keistiqomahan, ia
memilih di penjara daripada harus menuruti hawa nafsu rendah manusia. Ia yang
benar di penjara, sementara yang salah malah bebas.

Ada satu hal lagi yang bisa kita petik dari
kisah Nabi Yusuf as. Wanita-wanita yang mempergunjingkan Zulaikha diundang ke
istana untuk melihat Nabi Yusuf. Mereka mengiris-iris jari-jari tangan mereka
karena terpesona melihat Nabi Yusuf. “Demi Allah, ini pasti bukan manusia”.
Kekaguman dan keterpesonaan mereka pada seraut wajah tampan milik Nabi Yusuf
membuat mereka tidak merasakan sakitnya teriris-iris.



Hal yang demikian bisa pula terjadi pada
orang-orang yang punya cita-cita mulia ingin bersama para nabi dan rasul,
shidiqin, syuhada dan shalihin. Mereka tentunya akan sanggup melupakan sakitnya
penderitaan dan kepahitan perjuangan karena keterpesonaan mereka pada surga
dengan segala kenikmatannya yang dijanjikan.



Itulah ibrah yang harus dijadikan pusat
perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah adalah sekedar
mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat berinfaq,
padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan waktu
untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki berupa ilmu
dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.



Semoga kita terhindar dari
penyimpangan-penyimpangan seperti itu dan tetap memiliki jiddiyah, militansi
untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Amin.



Wallahu a’lam bis shawab.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik