FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

bagaimana beragama yang tak anarkis Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

bagaimana beragama yang tak anarkis Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

bagaimana beragama yang tak anarkis

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

bagaimana beragama yang tak anarkis Empty bagaimana beragama yang tak anarkis

Post by keroncong Sun Sep 04, 2016 12:41 am

Oleh: Saekhan Muchith
GLOBALISASI menyebabkan perilaku manusia cenderung menyimpang. Agama yang sebenarnya memiliki arti sangat ideal sebagai perekat, tali persaudaraan, faktor ketenteraman kehidupan ternyata berbalik menjadi alat legitimasi perilaku anarkis.
Agama dalam tataran realitas justru seringkali dieksploitasi untuk kepentingan sesaat. Agama dimanfaatkan para juru kampanye pemilu untuk meraih dukungan suara dari rakyat.
Yang lebih memprihatinkan agama dijadikan legitimasi dan pembenaran atas tindakan berperang melawan kelompok agama lain.
Islam telah menggariskan, ada dua sumber menemukan kebenaran, yaitu dengan jalan ayat kauniyah-realitas sosial (dalil aqli) dan melalui teks wahyu (dalil naqli).
Keberhasilan sebuah tindakan ditentukan sejauhmana umat beragama mampu menangkap kebenaran di dalam realitas aqliyah dan realitas naqliyah, serta sejauhmana tingkat keseimbangan dalam memahami kebenaran dalil aqliyah dengan dalil naqliyah.
Jika terlalu menitikberatkan pada kebenaran aqliyah akan melahirkan profil manusia yang sekuler rasionalis. Sebaliknya terlalu menitikberatkan pada kebenaran naqliyah akan menimbulkan profil ekstremis fundamental.
Filsuf Islam memiliki epistemologi terhadap Islam berbeda-beda, tetapi hakikatnya memiliki persamaan. Al Kindi, ahli filsafat Irak, mencoba mempertemukan antara Islam dan filsafat.
Keduanya jelas tidak ada perbedaan yang layak dipertentangkan. Al Kindi menolak konsep, ulama yang menyatakan kebenaran hanya dibangun dari pengetahuan (realitas) adalah sebuah kekufuran.
Inti dari epistemologi Al-Kindi, menuntut keseimbangan manusia dalam berpikir, bersikap dan berperilaku. Al-Kindi aliran rasionalis tetapi tidak sampai mendewakan akal. Oleh sebab itu diperlukan alat menjawab sebuah kebenaran. Alat itu biasa disebut mura'atul zihni'ainil khatai.
Al-Farobi menyatakan kebenaran pada dasarnya satu dan selalu memiliki titik persamaan antara kebenaran naqliyah dan aqliyah. Upaya untuk menemukan kebenaran dilakukan dengan cara analog.
Artinya untuk menemukan kebenaran harus terlebih dahulu melakukan analogi antara kasus satu dan kasus lainnya yang memiliki persamaan baik dari kualitas kasus maupun latarbelakang sosial.
Ibnu Shina memililiki epistemologi yang dinamakan jalan tengah. Artinya mencoba menemukan kebenaran dengan cara menemukan penyebab munculnya akar persoalan. Metode jalan tengah melahirkan sikap yang tidak gampang menerima informasi yang dianggap baik dan tidak mudah menolak informasi yang dianggap jelek.
Atas dasar itu pemeluk agama (Islam) harus memiliki tiga hal. Pertama, mengoptimalkan peran rasio (akal) untuk memahami pesan-pesan yang ada di dalam teks atau ajaran wahyu. Kedua, memiliki kemampuan berpikir analogis, sintesis. Ketiga, orang yang beragama harus senantiasa memiliki sifat, sikap dan perilaku moderat, tengah-tengah. Artinya tidak gampang mudah terpengaruh dengan isu atau informasi baik atau buruk.
Aspek Agama
Islam adalah agama yang tidak hanya membawa ajaran dalam satu dimensi saja, melainkan meliputi berbagai aspek kehidupan. Levy dalam bukunya The Sosial Structure of Islam dengan tegas merinci aspek agama yang esensial terdiri atas aspek ibadah, politik dan hukum.
Aspek ibadah: Manusia dalam pandangan Islam tersusun dari dua unsur, jasmani dan rohani. Unsur jasmani menuntut terpenuhinya kebutuhan material sedang rohani menuntut kebutuhan immaterial.
Jasmani lebih banyak dipengaruhi hawa nafsu, sehingga cenderung melahirkan kejahatan. Rohani lebih banyak didominasi roh, sehingga cenderung melahirkan kesucian. Islam menetapkan ibadah satu-satunya sarana memproses pengembangan unsur rohaniyah dalam diri manusia.
Semua jenis ibadah seperti salat, zakat, puasa dan haji memiliki tujuan dan target membuat manusia senantiasa tidak melupakan Tuhan. Dengan demikian kedekatan antara makhluk dan kholik merupakan target utama. George Antonio (1965) dalam buku Muslim Civilization menganggap ibadah tidak bisa hanya dilakukan secara formal ritualistik.
Yang paling penting terletak pada sejauhmana manusia mampu mengimplementasikan pesan-pesan yang ada dalam tindakan ibadah ke dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu orang yang telah beribadah dituntut ada kesesuaian antara rutinitas amalan ibadah dan kesalehan dalam berbuat.
Aspek politik: Persoalan yang pertama-tama muncul dalam dunia Islam bukan menyangkut masalah keyakinan (ideologis) melainkan politik (urusan jabatan kekuasaan). Nabi Muhammad SAW sendiri ketika berada di Madinah memiliki peran ganda.
Satu sisi berperan sebagai rasul (utusan) Allah dan di sisi lain sebagai kepala negara (tokoh politik). Konflik politik di antara sesama umat Islam muncul setelah wafatnya Rasulullah.
Pemicu konflik berawal dari perbedaan persepsi tentang siapa yang paling berhak memiliki kewenangan menggantikan posisi Rasulullah baik dalam urusan keagamaan maupun pemerintahan (kekuasaan). Masing-masing kelompok mempertahankan pendiriannya dengan cara emosional. Akibatnya terjadi konflik.
Aspek hukum: Islam menetapkan keberadaan masyarakat akan harmonis kalau diikat dengan hukum. Hukum yang dipakai Islam bersumber dari wahyu (Alquran dan hadist). Kalau diperhatikan dari proses penurunan ayat-ayat Alquran tentang hukum lebih banyak diturunkan di Madinah yang relatif sudah ada perkembangan peradabannya.
Itu berarti mengandung makna semakin tinggi tingkat perkembangan peradaban manusia harus segera diikuti dengan aturan atau hukum. Dibanding dengan jumlah ayat Alquran yang berjumlah 6666, ayat yang bernuansa hukum hanya berkisar 368 ayat.
Abdul Wahab Kholaf, guru besar Hukum Islam Universitas Kairo merinci ayat-ayat tentang hukum terdiri atas (a) ayat tentang ibadah ritual 140 (b) ayat tentang hidup bermasyarakat, perkawinan, perceraian, hak waris 70 (c). Ayat tentang perdagangan, perjanjian, persewaan 70 (d). Ayat tentang perilaku kriminal 30 (e) ayat mengenai hubungan Islam dengan non Islam 25 (f) ayat tentang soal pengadilan 13 (g) ayat tentang kaya-miskin 10 dan (h) ayat tentang kenegaraan 10 ayat.
Artinya Islam sangat menjunjung hukum. Esensi hukum terletak pada terwujudnya keadilan. Dengan demikian bila berbicara hukum berarti berbicara bagaimana mewujudkan keadilan.
Konsekuensi Beragama
Pola beragama kita masih cenderung sepotong-potong, sehingga tampilan perilaku umat yang beragama terkesan hanya menonjolkan aspek tertentu dan menafikan aspek lainnya. Hakikat agama tidak hanya diamalkan secara ritual formal, yang lebih penting diamalkan dalam aspek kehidupan umat manusia.
Bentuk-bentuk anarkisme pemeluk agama, ternyata disebabkan oleh pengamalan agama yang hanya sebatas aspek ritual formal keagamaan. Maka tidak heran kalau pemeluk agama setelah salat jamaah dari masjid, gereja, atau pura masih mau bertikai, melakukan pengrusakan, dan pembakaran rumah.
Orang yang rajin berpuasa, mengeluarkan zakat, naik haji, tetapi ketika memiliki posisi di jabatan politik masih saja melakukan korupsi. Orang sering menganggap agama hanya ada di dalam masjid, gereja, atau pura.
Sedang di dalam pasar, terminal, perumahan, gedung DPR/ MPR, dan di jalan raya seakan merasa tidak ada agama. Sehingga para pemeluk agama cenderung mudah melakukan tindakan yang menyimpang dari ajaran, norma, nilai yang ditetapkan tiap-tiap agama.
Kalau menginginkan benar-benar tidak ada perilaku anarki perlu ada perubahan paradigma berpikir tentang makna agama. Agama bukanlah sekadar amalan ritualistik belaka, tetapi benar-benar dijadikan inspirasi melakukan perbuatan dalam kehidupan sosial.
Agama benar-benar menjadi landasan dalam melakukan aktivitas para pemeluknya kapan saja, di mana saja dan dalam kondisi apa pun.(33)
-M Saekhan Muchith S.Ag M.Pd, dosen STAIN Kudus dan Inisnu Jepara
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik