FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

orde baru dan generasi freemason Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

orde baru dan generasi freemason Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

orde baru dan generasi freemason

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

orde baru dan generasi freemason Empty orde baru dan generasi freemason

Post by keroncong Sun Dec 25, 2011 5:12 am

orde baru dan generasi freemason Xfiles_Orba_freemasonBANGSA
Indonesia memiliki catatan sejarah perjalanan budaya dan peradaban politik
kemanusiaan yang gelap dan kelabu. Setelah republik berada di bawah rezim
militeris Orde Baru Soeharto, yang dikenal dengan kebijakan politik destruktif
atau program dekonstruksi terhadap masyarakat dan bangsanya sendiri selama kurun
waktu tiga dasawarsa.

Seperti diketahui, sejarah perjalanan politik dan
kekuasaan rezim Orde Baru menggelar sistem kekuasaan tirani (diktator-otoriter)
menerapkan rekayasa dan kekerasan yang kejam atas bangsa ini. Dimulai sejak awal
peralihan kekuasaan republik ini terjebak dalam tiga skenario besar yang secara
tidak langsung merupakan program berorientasi pada agenda politik Barat. Disebut
demikian karena situasi dan kondisi sistem politik, sosial-ekonomi Indonesia
saat itu boleh dikata sedang luluh-lantak, berantakan akibat tekanan Barat.
Setelah berhasil menggulingkan Soekarno, Soeharto sukses memanfaatkan peluang
dan kesempatan menapak untuk membangun kekuatan dan kekuasaan rezim
militeristik.

Rezim militer Orde Baru menggelar kebijakan politik yang
dikondisikan bagi keperluan masa depan politik, ambisi kekuasaan sekaligus
menyesuaikan posisi Indonesia sebagai agen strategis kepentingan Barat (Amerika
Serikat dan sekutu-sekutunya). Sangat disadari penyesuaian politik kepentingan
dan kebijakan strategis tersebut dilatari pengaruh politik-ideologi global,
yaitu kekuatan Barat yang sekuler pro kapitalis. Penyesuaian terhadap
kepentingan Barat tersebut dilakukan Orde Baru dengan tujuan pragmatis, demi
berlangsungnya kekuasaan sekaligus memperoleh bantuan militer, pangan serta
utang yang berlanjut hingga sekarang. Program penyesuaian tersebut adalah
membangun ideologi pro1 dan secara tidak langsung
menjadi kapitalistis dan anti Komunis sekaligus anti Islam melalui nasionalisme
sempit ideologi Pancasila seraya merintis program destruksi-dekonstruksi
terhadap peta kekuatan politik yang cenderung berkiblat kepada Demokrasi dan
Islam.

Berdasarkan kenyataan sejarah budaya dan peradaban politik 35
tahun di bawah rezim Orde baru mengindikasikan adanya grand schenario
yang dijalankan rezim Soeharto sejak tampil ke permukaan antara
lain:

1. Menggelar politik rekayasa intelejen dalam rangka stigma
(pembusukan, pemojokan sekaligus mendistorsi) terhadap peta kekuatan Islam,
antara lain menghidupkan gerakan neo NII melalui Ali Murtopo. Dimulai sejak
tahun 1966 2 era hegemoni militer yang loyal dan berideologi
militer Soehartois - Ali Murtopois terus belanjut dan gentanyangan hingga
sekarang. Seluruh rekayasa intelejen Negara rezim Orde Baru dilakukan dalam
rangka menjalankan pembusukan terhadap peta kekuatan gerakan Islam melalui
provokasi dan adu domba, baik dalam partai atau organisasi maupun antar
golongan, antar agama sekaligus menjebak masyarakat muslim masuk dalam jaringan
aksi kekerasan teror, ekstremisme, radikalisme dan makar.
3

2. Menggelar kebijakan politik buka pintu bagi
masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan
sekuler
(di bawah kordinasi jaringan Freemasonry, Jessuit dan sebagainya)
yang oleh kalangan Islam dianggap sebagai bagian dari program Kristenisasi di
Asia Tenggara. Kecurigaan terhadap program ‘Kristenisasi‘ itu timbul
akibat dominasi para politisi dan para perwira berlatar belakang Kristen,
terutama kalangan Katholik, yang menempati posisi strategis dalam jajaran
birokrasi Golkar sebagai partai penguasa, dan jajaran militer Indonesia, serta
dominannya think tank Golkar, CSIS (Centre for Strategic and
International Studies) sebagai ‘pemerintah bayangan’ dan merupakan
kepanjangan tangan intelejen CIA, MI-6, Mossad dan Belanda maupun untuk
kepentingan jaringan Freemasonry, Katholik ordo Jessuit dan sebagainya
yang
berlangsung selama dua dasawarsa pertama pada era kepresidenan Soeharto dan
terus berlanjut hingga kini. 4

3. Menggelar budaya
politik totalitarian
, melalui konsep Dwifungsi ABRI dan budaya demokrasi
Pancasila-nasionalisme sempit, ekstrim dan otoriter –yang dikemas dalam konsep
asas tunggal Pancasila / UUD’45 sebagai satu-satunya konsep ideologi sebagai
sumber hukum dan tata nilai bangsa Indonesia. Sebuah konsep dan obsesi
penyelenggaraan sistem nasionalisme dalam bentuk Negara totaliter yang sekaligus
dinyatakan demokratis dan humaniter. 5

Dengan ketiga
pilar inilah sinergi kekuasaan sipil, militer dan intelejen berhasil digelar
Orde baru menjadi sebuah kekuatan dan kekuasaan yang berwujud sistem dan
kelembagaan yang luar biasa, kuat dan stabil. Konsep Dwifungsi ABRI selanjutnya
diisi dengan nafas militerisasi build-in melalui dua wajah yaitu Dwifungi
teritorial dan struktural
. Dwifungsi teritorial terwujud dalam bentuk
struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah
pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai kelurahan/desa. Mendagri
adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada presiden.
Pararel dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari
Dephankam/Mabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan
Panglima TNI adalah pengendali utama hierarkhi militer yang bertanggung jawab
hanya kepada presiden.

Dwifungi skruktural yang hadir dalam bentuk
kekaryaan TNI/Polri atau keterlibatan mereka dalam jabatan sipil, sehingga
hampir semua jabatan sipil yang strategis dimasuki militer, baik di wilayah
eksekutif (dari gubernur sampai dengan lurah/ kepala desa) maupun legislatif
(MPR, DPR sampai DPRD II). Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri,
Ditsospol dan Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis
untuk melakukan indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas
politik dan sosial. Militer selalu nimbrung dalam pengendalian pemerintahan
sampai di tingkat kabupaten dan kecamatan. Mereka tampil melalui forum Muspida
yang terdiri dari Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Kepala Pengadilan, di
tingkat kecamatan melalui forum Muspika yang memberi ruang bagi Danramil dan
Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan rakyat.

Dwifungsi ABRI
tidak hanya merambah bidang politik dan kemasyarakatan, tapi sampai bidang
ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya berupa "premanisme". Dwifungsi ABRI
menjadi ancaman dan penghalang serius bagi demokratisasi keamanan dan bahkan
stabilitas sosial-politik. Analisis ini bertolak belakang dengan ideologisasi
Dwifungsi ABRI yang mengandaikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator.
Meski pada masa Orde Baru stabilitas nasional relatif mapan, tapi bersifat semu
karena lebih kuatnya budaya rekayasa politik dan intelejen diikuti dengan
matinya demokrasi, merajalelanya kekerasan, dan kuatnya supremasi militer,
sementara elemen-elemen sipil dalam posisi lemah.

Dengan program inilah
antara kebijakan politik pemerintah, intelejen dan militer maupun pelaksana
politik di lapangan menjadi tidak bisa dibedakan. Apalagi setelah program
tersebut diterapkan sampai ke tingkat Koramil-Babinsa (Badan Pembinaan Desa) dan
Polsek-BINMAS (tingkat Kecamatan). Di bidang keamanan, kehadiran militer
terlihat dalam realitas melembaganya intervensi Sistem Hankamrata. Semua elemen
masyarakat lokal dipaksa terlibat dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan di
wilayah masing-masing di bawah "pembinaan" polisi dan tentara. Pembentukan
Babinsa, Binkamtibmas, Hansip, Kamra maupun Siskamling merupakan perwujudan dari
sistem Hankamrata. Intervensi Hankamrata telah membentuk pola hubungan antara
masyarakat dan "militer/polisi” dalam mengelola masalah keamanan dan meciptakan
pola ketergantungan masyarakat terhadap militer/polisi di bidang keamanan dan
politik serta ekonomi.

Di sini tentara dan polisi menjadi terlibat dalam
penanganan masalah keamanan desa. Dalam kesadaran semu warga masyarakat, tentara
dan poIisi tidak berbeda jenis profesinya, tetapi hanya berbeda tingkat semata,
Polisi menangani masalah keamanan yang bersifat mikro atau masalah kriminal
kecil, sedangkan tentara menangani keamanan yang bersifat makro, seperti
keributan massa dan yang bersifat instabilitas sosial-poIitik di desa. Polsek
melakukan pembinaan siskamling sekaligus meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan keamanan warga. Koramil dan Babinsa berkutat dengan kewaspadaan
terhadap kelompok yang membahayakan negara seperti bekas anggota DI-TII atau
Muslim Fundamentalis (ektrem kanan) dan PKI (ektrem kiri). Pembinaan
militer/tentara terhadap warga desa dalam hal keamanan berdampak melemahnya
kesadaran hak dan tanggungjawab mereka dalam menangani masalah yang sebetulnya
dapat diselesaikan oleh mereka sendiri.



Strategi Campur Tangan Politik Freemasonry dan Gerakan Katholik Ordo Jessuit
Dalam Politik Orde Baru




Konspirasi kekuatan politik dan ideologis antara rezim Suharto dengan
kekuatan Barat (Amerika Serikat, Inggris dan Israel) antara lain ditempuh dengan
cara menggandeng dan mengakomodir masuknya organisasi Zionis FREEMASONRY
dengan membangun eksistensi jaringan, peran, keterlibatan dalam pembangunan
Indonesia – orde baru.

Zionis FREEMASONRY sendiri, sejak awal
kemerdekaan bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI tahun 1945 mampu menempatkan
posisinya secara taktis strategis di hadapan kekuatan Islam yang mayoritas.
Melalui semangat nasionalisme yang dimiliki Sukarno, kekuatan dan agen FREEMASON
Indonesia mampu memaksakan diplomasi politiknya terhadap tokoh-tokoh (politisi)
Islam kepada satu keadaan, yaitu memberikan toleransi dan kompromi terhadap
tuntutan FREEMASON untuk menerima konsep NKRI.

Selanjutnya pengaruh
nilai filosofis FREEMASONRY terhadap NKRI, Dasar Negara, Konstitusi Negara dan
lambang Negara maupun Bendera Negara yang menggelar semangat aliran
“Humanisme Sekuler” yang secara strategis, gencar dan berkelanjutan
ditancapkan kedalam pola pikir dan pemahaman di lingkungan politisi, birokrat,
intelejen dan militer akhirnya berhasil mengungguli dan menggeser semangat
“Spiritualisme” sebagaimana yang dimiliki politisi Islam.

Melalui ajang
dan momentum kerjasama dalam hal pembinaan intelejen dan kemiliteran dengan
CIA (Amerika Serikat) MI-6 (Inggris) MOSSAD (Israel) dan
Belanda rekrutmen jaringan agen FREEMASONRY terhadap tokoh dan kader intelejen /
militer Indonesia berjalan dan mengakar.

Tindak lanjut dari pergeseran
falsafah, paham dan makna Revolusi, Kemerdekaan, NKRI, Dasar Negara, Konstitusi
Negara dan lambang Negara maupun Bendera Negara dari Islam ke Sekuler di zaman
orde lama Sukarno, dan pengaruh kekuatan FREEMASONRY semakin memperkuat dan
mempertegas, baik dalam hal kepentingan maupun eksistensi jaringannya.


Di era orde baru Suharto, FREEMASONRY turut berhasil mengendalikan
jalannya kekuasaan rezim Suharto melalui kader-kader FREEMASONRY yang berjubah
ordo Jesuit, di bawah Frater Beek. Menurut penuturan beberapa mantan intel
senior baik yang berlatar sipil maupun Angkatan Darat dan mantan kader Beek,
Suharto sendiri diyakini sejak masih menjadi perwira menengah sudah menjadi
anggota FREEMASONRY jalur Belanda Frater Beek SJ, 6 sehubungan
dengan posisi sang istri, Tien Suhartinah yang lebih dahulu direkrut dan menjadi
ummat Katholik ordo Jessuit.

Sejak berpangkat pamen, Suharto telah
menjalin hubungan dengan Liem Sioe Liong dan nama-nama lain yang akhirnya
berperan menjadi agen FREEMASON yang berjubah Lions Club dan Rotary
Club.

Ketika krisis politik di Indonesia di bawah Sukarno memanas, baik
akibat komunisme maupun provokasi Inggris terhadap Malaysia, kader-kader
FREEMASON yang ada di militer dan dinas intelejen Indonesia seperti Soeharto,
Yoga Sugama, Ali Murtopo, Soedjono Humardani, Pitut Suharto, Benny Murdani dan
Hendropriyono justru menjalankan agenda politik CIA.

Kegagalan missi
politik, militer dan intelejen Indonesia di Kalimantan Barat (PGRS/Paraku)
bentukan BPI di bawah Subandrio dalam rangka berkonfrontasi dengan Malaysia
justru merupakan kemenangan telak para jenderal FREEMASON Indonesia. Giliran
selanjutnya, atas bantuan dan petunjuk CIA, para agen FREEMASON Indonesia
merancang skenario bagi penggulingan Sukarno sekaligus memberangus tokoh-tokoh
dan organisasi komunis di Indonesia.

Setelah berhasil menjalankan
skenario pemberontakan PKI, dan para jenderal kader FREEMASON tersebut secara
leluasa merancang berbagai program konspirasi dengan agen FREEMASON yang sudah
disiapkan sejak lama di Indonesia seperti melalui organisasi gereja Katholik
seperti ordo Jessuit, ordo Carmel dan sebagainya, demikian halnya dengan
organisasi gereja Protestan seperti Bethani, Al-Shadday dan Nehemia.

Dari
sinilah konspirasi kekuatan politik dan ideologis Katholik Jessuit di bawah
Frater Jopie Beek SJ dengan militer di masa Orde Baru di bawah Soeharto,
berhasil membangun dikotomi, semangat kebencian dan permusuhan yang mendalam
antara kekuatan ideologi, massa dan komunitas politik Islam dengan Kristen
(Katholik dan ordo-ordo yang dimilikinya, Protestan dan ordo-ordo yang
dimilikinya dan lain sebagainya).

Posisi dan sikap kekuatan politik
ideologi Katholik ordo Jessuit yang dimotori Frater Jopie Beek SJ yang telah
menempatkan diri sebagai pihak yang anti (menentang dan memusuhi) kekuatan
politik ideologi Islam, dimanfaatkan dengan baik oleh pihak militer Orde Baru
sebagai ajang latihan sekaligus praktek operasi intelejen. Modal konspirasi
dengan kalangan Katholik Jesuit selanjutnya diimbangi dengan gelar konspirasi
dengan kekuatan ideologi Islam gerakan politik berlatar konstitusional
(masyarakat partai Masyumi) dan yang berlatar politik inkonstitusional dan
konfrontatif (masyarakat gerakan fundamentalis Negara Islam Indonesia dan yang
sejenis).

Konspirasi terhadap dua kekuatan ideologi dan politik keagamaan
yang bertentangan tersebut membawa implikasi terhadap prinsip baku bagi kinerja
dan operasi intelejen Indonesia. Frater Jopie Beek pun ternyata sepakat terhadap
kiat dan modus provokasi terhadap bahaya Islam bagi kaum minoritas Katholik,
Protestan dan sebagainya, demikian pula sebaliknya provokasi dan agitasi pihak
militer dan intelejen terhadap kalangan Islam.

Dalam perkembangannya,
militer dan operasi intelejen memberikan proteksi serta kemudahan terhadap
program Kristenisasi dan berbagai hal yang dapat menyulut rasa benci dan kecewa
kalangan Muslim. Terhadap kalangan muslim, militer dan intelejen membeberkan
semangat anti Islam dari kalangan Katholik Jesuit yang sangat pro dan mampu
mengendalikan militer dan Orde Baru dengan segala rencananya,
baik jangka
pendek dan jangka panjang. Bahan permainan inilah yang akhirnya menjadi trade
mark
gaya penetrasi dan infiltrasi intelejen terhadap berbagai gerakan yang
hendak dijaring, dikendalikan dan kelak pasti dihancurkannya.

Frater
Jopie Beek SJ Menurut George Junus Aditjondro (Mantan kader Beek, dalam
organisasi Jessuit Indonesia - Kasebul)


Pada awal Orde Baru,
komunitas Katholik di Indonesia sangat berada di bawah pengaruh pemikiran dan
sikap politik Pater J. Beek, seorang Jesuit berkebangsaan Belanda yang sangat
anti Komunis dan anti Islam, sudah memimpin Kursus Kader Katholik (KKK) sejak
sebelum keberhasilan kudeta militer di bawah pimpinan Soeharto tahun 1965-1966.


Beek juga berperan dalam menaikkan Soeharto ke kursi kepresidenan tahun
1968 dengan salah satu sebab adalah istri Soeharto (Tien) beragama Katholik.
Sejak kemunculan Soeharto, Beek berhasil mendekatkan diri dengan sang jendral
melalui dua orang Asisten Pribadi Soeharto, yakni Jendral Ali Murtopo dan
Jendral Soedjono Hoemardani, masing-masing didampingi oleh Yusuf dan Sofyan
Wanandi, dua orang kader Pater Beek.

Kedekatan Beek dengan tentara
didasarkan pada strategi ‘pilihlah yang terbaik di antara yang jelek’ (minus
malum)
yang dianutnya, disebarkannya di kalangan kader-kader
organisasi-organisasi massa Katholik di Indonesia. Setelah gerakan Komunis di
Indonesia dihancurkan tentara, berdasarkan catatan sejarah, Beek melihat ada dua
ancaman yang dihadapi kaum Katholik di Indonesia. Kedua ancaman itu sama-sama
berwarna hijau, yaitu Islam dan militer. Namun Beek yakin, ancaman militer
bisa dinilai lebih kecil (minus malum) dibandingkan dengan ancaman gerakan
politik Islam
, karena PKI dalam sejarahnya ternyata dibentuk oleh anggota
Syarikat Islam.

Berdasarkan pikiran itulah Beek merangkul tentara
melalui program KASEBUL (Kaderisasi Sebulan/Kawan Sebulan) dan program Teologi
Pembebasan bagi kader-kader Katholik di daerah Jogjakarta, Salatiga, Semarang
dan Jakarta Timur. Pembentukan Golkar dan ormas-ormas yang berafiliasi ke
Golkar, selama dasawarsa pertama Orde Baru didominasi kader-kader didikan KKK
dan Kasebul, yang diarahkan oleh CSIS (Centre for Strategic and International
Studies).


Gereja Katholik menerapkan strategi “satu mata uang dengan
dua sisi yang berbeda”. Di satu kelompok Jesuit, Beek menerapkan politik anti
komunis dan anti Islam, di kelompok yang lain Beek menerapkan strategi merangkul
kelompok kiri dan bersahabat dengan kelompok Islam. Umumnya kelompok ini berasal
dari ordo PROJO yaitu ordo lokal yang lahir dan berkembang di wilayah pulau
Jawa.

Kader-Kader Beek pada tahun 70-an banyak direkrut sebagai anggota
OPSUS. Kader-kader Beek yang masih aktif hingga saat ini adalah Frans Magnis
Soeseno, Harry Tjan Silalahi, Sofyan Wanandi, Julius Darmaatmadja
, dll. Beek
terlihat terakhir oleh Kader PRD pada saat latihan militer bersama dengan
kelompok Moro dan NPA di Philipina pada tahun 1987.

Di Philipina Beek
terlihat aktif membantu mengkosolidasikan kelompok-kelompok Komunis dan Muslim
untuk melawan Rezim Marcos. Proses yang dilakukan Beek persis sama dengan proses
yang terjadi di Amerika Selatan, di mana gerilyawan-gerilyawan Sandinista dan
kelompok kiri lainnya dibentuk dan dibantu pihak Gereja Katholik ordo Jesuit,
untuk melawan pemerintah. Organisasi Operasi Jesuit di Amerika Selatan dikenal
dengan sebutan organisasi “BLACK POPE”.

Sebenarnya Jesuit bukanlah
sebuah Ordo tetapi merupakan sayap militer dari Vatikan
terlihat dan dari
catatan sejarah sejarah pembentukan Orde Jesuit. Metode KASEBUL adalah metode
pelatihan militer, kader-kader tesebut dilatih dan di bawah pengawasan pihak
Militer.

Mentor-mentor KASEBUL berasal dari Militer yang beragama
Katholik. Menurut pengakuan beberapa anggota KASEBUL Angkatan tahun 90-an,
pembukaan kaderisasi dilakukan oleh Benny Moerdani, yang dikenal dengan
sebutan “Omm Seram” oleh kalangan Katholik. Beberapa Jendral yang menjadi Mentor
KASEBUL di antaranya: Brigjen (Purn) Ingnatius Soeprapto, Mayjen (Purn) Ignatius
Pranowo dll.

Strategi untuk memusuhi Islam politik dan bermesraan dengan
militer itu sejak awal sebetulnya sudah ditentang banyak rohaniwan dan
cendekiawan Katolik, seperti Chris Siner Key Timu yang selanjutnya masuk dalam
kelompok Petisi 50, Romo Mangunwijaya yang sangat akrab dengan almarhum
Kiai Hamam dari Pesantren Pabelan, Muntilan, dan Jesuit-Jesuit lain, seperti
Romo Danuwinata dan Pater Dahler, yang kemudian menyelenggarakan kursus-kursus
politik bagi kader-kader gerakan mahasiswa Katholik yang lebih terbuka dan
bersikap kritis terhadap militer dan para pemilik modal besar.

Banyak
kader dan sahabat Romo Mangun, Romo Danuwinata, dan Pater Dahler terjun aktif
dalam aksi-aksi pro-demokrasi di Indonesia sejak dini sampai saat penumbangan
rezim Soeharto, mulai dari gerakan anti-Taman Mini tahun 1971 sampai dengan
gerakan mahasiswa menentang SI MPR November 1998, di mana sejumlah mahasiswa
Unika Atma Jaya gugur. Namun sampai saat Soeharto menyadari bahwa kedekatannya
dengan kelompok ‘Katolik kanan’ bahwa strategi itu menjadi duri dalam daging
dalam hubungannya dengan gerakan Islam politik di Indonesia, antara Soeharto dan
kelompok di seputar CSIS terjadi simbiose mutualistis yang sangat akrab.


Para jendral dan politisi yang termasuk pendukung CSIS akhirnya mudah
mendapatkan promosi, para pengusaha yang rajin mendukung kebutuhan keuangan CSIS
mudah mendapatkan konsesi-konsesi bisnis, sementara tokoh-tokoh Katolik
penentang Soeharto malah dipecat dari lembaga tempat mereka bekerja akibat
tekanan aparat negara.

Chris Siner Key Timu, misalnya, dipecat dari
kedudukannya sebagai Pembantu Rektor III Unika Atma Jaya Jakarta. Sementara Romo
Danuwinata diberhentikan dari Sekretariat MAWI, yang sekarang telah berubah
menjadi Kantor Wali gereja Indonesia (KWI), setelah ia aktif mengembangkan
pemikiran-pemikiran pedagogi dan teologi pembebasan dari Amerika Latin di
Indonesia.

Namun semenjak Soeharto mulai berbulan madu dengan
tokoh-tokoh cendekiawan Islam yang terhimpun dalam ICMI, dan menunaikan ibadah
Haji, melalui aparat intelejen militer Soeharto mulai memusuhi kalangan CSIS,
dan menuduh kedua bersaudara Wanandi, Jusuf dan Sofyan, berkolusi dengan PRD
dalam kasus ledakan bom di Tanah Tinggi, Jakarta.
7

Dalam hubungannya dengan dampak moral, politik dan
piskologis akibat doktrin Beek terhadap kalangan Katholik yang berkonspirasi
dengan militer-Ali Murtopo, Aditjondro juga mengingatkan tentang korelasi
kemungkinan tetap berlanjutnya kebijakan militer yang masih menjalankan politik
intelejen untuk menciptakan semangat dan mental fundamentalisme, zona dan akar
konflik etnis maupun keagamaan dalam masyarakat bangsa Indonesia, George Junus
Aditjondro menjelaskan:

Pater Beek memang sudah lama meninggal dunia,
dan program kaderisasinya sudah lama mati karena ditinggalkan atau disaingi oleh
kalangan Jesuit yang non konservatif maupun oleh tokoh-tokoh awam Katholik
lainnya di luar CSIS. Dengan meninggalnya Ali Murtopo, dukungan terhadap CSIS
juga semakin memudar, apalagi ketika basis dukungan terhadap Golkar bergeser
dari kalangan Katholik ke kalangan HMI, berkat orang-orang seperti Abdul Gafur
dan Akbar Tanjung. Walau sejauh ini tidak ditemukan bukti mengenai latihan
kemiliteran namun praktek-praktek kaderisasi eksklusif semacam ini, dan
prasangka-prasangka penuh bias yang ditularkannya adalah amat buruk, dan
bertentangan dengan program penguatan masyarakat sipil. Ini adalah
praktek-praktek yang tidak boleh diulangi lagi pada masa yang akan datang. Tidak
mengherankan pula jika kursus-kursus kaderisasi yang eksklusif semacam ini tidak
mungkin akan digerebek oleh aparatus Negara di era kepemimpinan Jendral Murdani
misalnya, karena diselenggarakan dengan sepengetahuan mereka. Menurut data
lapangan hal ini dilakukan juga untuk konflik di Poso, Maluku dan rencana
mendatang di Pontianak.

Sejumlah kalangan mengatakan, kedekatan
Soeharto dengan sejumlah jenderal yang beragama Kristen, khususnya Maraden
Panggabean dan Benny Murdani, bukanlah indikator bahwa jenderal-jenderal itu
merupakan pimpinan, otak, atau pendukung suatu ‘gerakan fundamentalis Kristen
yang ingin mendirikan negara Kristen Raya’.
Tapi itu sekedar pilihan politis
sang diktator selama dalam dua dasawarsa pertama kekuasaannya, ketika ia
menganggap bahwa para perwira dan birokrat yang beragama Kristen merupakan alat
pendukung kekuasaannya yang paling setia. Begitu juga anggapan sang diktator
terhadap umat yang tergabung dalam gereja-gereja Kristen –baik Katolik maupun
Protestan– di Indonesia (sampai sejumlah pimpinan gereja mulai membangkang,
seperti kasus HKBP yang sudah disinggung di depan, didahului oleh para pimpinan
gereja di Papua Barat dan Timor Lorosae).

Berbagai prasangka bias, bahkan
cenderung sesat-pikir mungkin juga dipengaruhi oleh pengamatan yang keliru
tentang besarnya peranan gereja dalam perjuangan menegakkan hak-hak asasi
manusia di Timor Lorosae dan Papua Barat, apalagi dengan kemerdekaan politik
(kemerdekaan ekonomi belum) yang telah dicapai di Tilos. Ini sama sekali bukan
indikasi bahwa Tilos telah menjadi “negara Kristen”, khususnya lagi, “negara
Katholik”. Anggapan demikian malah menafikan peranan para pemuda Tilos keturunan
Arab yang beragama Islam dalam perjuangan kemerdekaan itu, mengikuti jejak
Mar’ie Alkatiri, Sekjen FRETILIN yang kini menjadi Perdana Menteri Republik
Demokratik Timor Leste (RDTL).

Peranan Gereja Katolik yang cukup
menonjol dalam perjuangan kemerdekaan Tilos, terutama dalam dasawarsa terakhir,
selain karena figur Uskup Belo, juga didorong oleh faktor politik bahwa hanya
rumah ibadahlah dan organisasi agama yang masih dapat beroperasi dengan relatif
bebas di masa penjajahan Indonesia, berkat pengakuan adanya agama yang diakui
secara resmi, dan juga karena warganegara Indonesia harus memilih satu di antara
ke-4 agama yang diakui secara resmi (sekali lagi, Katolik dan Protestan bukan
dua agama, tapi dua gereja yang didasarkan pada agama yang sama).


Setelah kemerdekaan politik tercapai peranan politik Uskup Belo langsung
merosot, dan juga jumlah orang muda yang menghadiri ibadah di gereja juga
merosot drastis. Hampir serupa keadaannya di Papua Barat, di mana berkat
dukungannya yang kuat pada hak-hak asasi orang Papua, kedua gereja yang sudah
lebih berakar di Tanah Papua, yakni Gereja Katolik dan GKI di Tanah Papua, juga
sering dituding sebagai pendukung gerakan Papua merdeka.

Padahal,
seperti di Tilos, kemerdekaan juga menjadi aspirasi sejumlah pemuda Papua
beragama Islam di daerah Fakfak dan Kepulauan Raja Ampat, yang mengalami
Islamisasi oleh Kesultanan Tidore ratusan tahun yang lalu. Sekjen Presidium
Dewan Papua, Taha al-Hamid, adalah salah seorang di antara mereka. Namun dengan
licik ia sekarang dirangkul Yorris Raweyai, tokoh Papua binaan Cendana, yang
berusaha mengempeskan gerakan kemerdekaan itu.

Sekali lagi, tidak pernah
ada cita-cita para nasionalis Papua itu untuk mendirikan “negara Kristen Papua”,
walaupun nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Kristen tentu saja mengilhami
para nasionalis Papua yang memperjuangkan kemerdekaan negeri mereka. Ini semua
perlu dibeberkan, untuk menunjukkan tentang betapa menyesatkannya propaganda
yang dalam brosur LJ/FAWJ, misalnya, dalam rekrutmen orang-orang muda dari Jawa,
yang sangat miskin pengetahuan sejarah tentang berbagai pergolakan di Kepulauan
Nusantara bagian Timur, lalu mencekoki mereka dengan sebuah teori konspirasi
yang tidak punya dasar ilmiah walau sebesar biji zarrah pun.



Pater Jopie Beek SJ menurut Richard Tanter




Pater Beek, adalah seorang misionaris Jesuit, yang meninggal tahun
1986/1987 (?), Beek menanamkan pengaruh (doktrin) yang cukup kuat di kalangan
Katholik, khususnya kalangan Katholik etnis Tionghoa pada periode akhir
Demokrasi Terpimpin maupun pada awal Orde Baru; banyak di antara kadernya yang
kemudian menduduki pos intelijen. Beek beralih menjadi warga negara Indonesia
pada sekitar tahun 1970-an, ketika pemerintahan Orde Baru menawarkan paket yang
serupa pada sekitar 50-an misionaris asal Belanda.

Pada sekitar periode
ini, ia menanggalkan nama “van” yang diwarisi dari orangtuanya; bahkan mungkin
lebih awal lagi. Pengaruh utamanya dijalarkan lewat kursus-kursus yang ia
selenggarakan bagi kaum muda Gereja, dengan memanfaatkan dana-dana dari paroki
maupun diosis, atau pun bahkan dari sumber-sumber luar negeri (termasuk
Australia).

Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan
sejumlah kecil Jesuit lainnya, termasuk Pastor Melchers dan Djikstra; kesemuanya
ini yang memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di
mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal,
tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi.

Secara
pribadi, Beek adalah seorang yang menimbulkan kesan kuat, yaitu seorang yang
powerful, sanggup menghadirkan visi yang artikulatif, berkenaan dengan peran
Gereja dalam masyarakat. Beek Seorang yang menarik dan mudah merebut kepercayaan
secara personal. Seorang yang sangat aktif, senantiasa melibatkan dirinya dalam
rentang aktivitas yang sedemikian luas.

Pada periode menjelang peristiwa
1965, Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan
ia terlibat dalam persiapan gerakan Katholik bawah-tanah. Dalam periode akhir
Demokrasi Terpimpin, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang
anti-Komunis. Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi
berbasiskan di desa, koperasi simpan-pinjam, bank, dlsb. Tiap jaringan komunitas
tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah social. Partai Katolik
Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi basis gerakan serta aktivitas kader-kader
mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam
itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung.

Visi Beek pribadi atas
peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara kemudian
mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara.
Dalam hal ini ia menuai sejumlah penentangan dari simpatisan Jesuit pada umumnya
yang berusaha untuk mengkonstruksi organisasi-organisasi berbasiskan komunitas
yang berada di luar negara. Ia juga mendapatkan tentangan dari serikat-serikat
lainnya maupun kaum awam yang tidak sepakat dengan akvitas politik Beek yang
terlalu mencolok, maupun dukungan Beek atas pemerintahan Soeharto, dan secara
lebih khusus lagi atas segmen khusus di dalamnya pada tahun 1970-an, yakni arus
OPSUS-GOLKAR.

Bagi Beek, ada dua musuh besar baik bagi Indonesia maupun
bagi Gereja adalah Komunisme dan Islam, di mana ia melihat keduanya memiliki
banyak keserupaan: sama-sama memiliki kualitas ancaman. Pasca 1965, posisi
militant yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam
kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah
Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan
tempat yang istimewa, sambil mendukung pemerintahan bergaya GOLKAR. Pemihakan
semacam ini dibenarkan Beek, dengan dalih sungguh pun banyak kesalahan yang
dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya,
membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the
lesser evil.


Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik
dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris
menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing. Beek pernah terlibat secara
sangat aktif dalam rivalitas pada tahun-tahun sebelum maupun pasca 1965, antara
arus kelompok intelijen Katholik dengan arus kelompok PSI yang juga terlibat
dalam aktivitas-aktivitas intelijen bawah-tanah (Aktivitas-aktivitas PSI ini
juga melibatkan sel-sel yang diasosiasikan satu jaringan dengan Prof. Soemitro,
di mana salah-satu anggotanya adalah Soe Hok Gie).

Beek menyelenggarakan
kursus-kursus satu-bulanan secara reguler, bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum
muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastor maupun rohaniwan, sebagai bagian dari
program kaderisasi; pelatihan ketrampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di
hadapan publik, ketrampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis sosial.


Dalam prakteknya, kursus-kursus tersebut mengambil model campuran,
perpaduan dari teknik-teknik pendidikan Jesuit dan Komunis, berbasiskan
disiplin-diri yang kuat. Kursus/pelatihan-pelatihan ini diselenggarakan dengan
pendekatan yang amat brutal atas para pesertanya: para calon kader bahkan kerap
kali diharuskan saling menghajar/memukul rekan-rekan sepelatihannya sendiri,
dihina dengan keharusan merangkak di lantai yang penuh dengan kotoran, sesi-sesi
harian yang panjang penuh dengan umpatan/caci-makian, melontarkan kritik atas
kelemahan sesama peserta, dibangunkan secara mengejutkan di tengah malam buta.


Setelah hari-hari yang melelahkan, dalam jam tidur yang amat pendek, dan
lain sebagainya, hasil akhirnya adalah: menjadi seorang kader yang sepenuhnya
setia, patuh kepada Beek secara personal; menjadi orangnya Beek seumur hidup,
yang bersedia melakukan apa saja baginya. Ketika para kader itu dipulangkan ke
habitat asalnya, orang-orang muda ini kemudian diminta untuk menghasilkan
laporan bulanan atas segala hal yang mereka dengar, lihat di dalam organisasi
masing-masing, yang dilakukan untuk Beek dan demi Beek seorang. Secara bertahap
Beek membangun untuk kepentingan dirinya, sebuah jaringan-kerja intelijen
personal. Bagi pimpinan-pimpinan Gereja yang mendukung program Beek, maka
hasilnya tentu akan memuaskan.

Pada akhir tahun 1960-an, Beek
mendapatkan tugas untuk melatih guru-guru di Irian Jaya, sebuah wilayah dengan
mayoritas Kristen, dalam rangka mempersiapkan voting bagi penentuan nasib Irian
Jaya. Dalam hal ini, maupun dalam sekian banyak aktivitas lainnya pada periode
ini, Beek amat erat terlibat dengan OPSUS-nya Ali Moertopo; 8
khususnya melalui Center for Strategic and International Studies (CSIS),
beserta dengan dua pengikutnya utamanya: Harry Tjan Silalahi dan Jusuf Wanandi
(Liem Bian Kie). Sepanjang periode ini secara reguler Beek mensirkulasikan paket
dokumen yang berisikan laporan-laporan berkenaan dengan peristiwa maupun
aktivitas-aktivitas tertentu, beserta paket analisis sosial, dan garis
aksi/tindakan yang perlu dijalankan.

Sementara Beek mungkin tidak
memiliki keterlibatan personal dalam aspek-aspek yang lebih teknis dalam
aktivitas OPSUS pada masa itu, namun logika dari posisi yang dipropagandakannya,
secara tidak langsung telah mendatangkan kebutuhan, jika perlu menerabas
batasan-batasan hukum (melanggar hukum) demi mencapai tujuannya. Metode-metode
yang diperkenalkannya selama kursus kaderisasi tentu mendorong para kadernya
untuk menghalalkan pendekatan “dengan cara apa pun demi [tercapainya] tujuan”
dalam politik.

Betapa pun, setidaknya ada satu klaim serius bahwa Beek
mungkin memiliki keterlibatan dengan para pembuat plot utama peristiwa Gestok
1965. Wertheim9 melaporkan bahwa Beek: “menyampaikan pada
seorang sahabatnya beberapa bulan sebelum meletusnya peristiwa Gestok, bahwa ia
merasa amat berat hati meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu karena
alasan kesehatannya, karena ia yakin bahwa sebuah peristiwa yang mirip dengan
pengulangan Peristiwa Madiun (1948) akan segera terulang lagi, dalam skala yang
lebih besar, yang akan berakhir dengan kekalahan mutlak PKI.”

Aktivitas
semacam ini ternyata tidak pernah mendapat pujian secara menyeluruh dalam
kalangan Gereja di Indonesia, dan khususnya menjelang akhir hidupnya, Provincial
Jesuit beserta para pimpinan Gereja lainnya justru berupaya menyingkirkan dia.
Namun agaknya hierarki Gereja pun mengalami kesukaran untuk menindak Beek, walau
pun ia berhasil dipaksa untuk kembali ke Belanda. Salah seorang kolega Beek ada
yang mengomentari, “Di tataran teori gagasan-gagasan Beek boleh-boleh saja,
namun dalam tataran praktek ia menjadi kotor”. 10 Pengaruhnya
kini terbukti dalam pandangan-pandangan pro-GOLKAR dari sejumlah anak-didiknya,
yang kemudian menduduki posisi berpengaruh di Gereja.

Secara reguler
Beek juga berkunjung ke Australia dan bekerja dengan pimpinan National Civic
Council
, B.A. Santamaria. Sejumlah pendanaan Beek agaknya juga datang dari
sumber-sumber luar negeri yang bersimpati seperti itu. Setidaknya sebagian dari
kontak-kontak pra-1975 antara intelijen Indonesia dan Australia atas Timor
(walau bukan berarti seluruhnya) agaknya berasal dari jalur yang satu ini.


Seorang adik kandung Jusuf Wanandi, Pastor Markus Wanandi, S.J. dari
Semarang, yang juga didikan Beek dengan ‘cetakan’ yang serupa di atas. Salah
satu mata-rantai yang menarik berkenaan dengan kisah sepak-terjang Beek ini
adalah kenyataan bahwa ia adalah pastor yang memberikan pemberkatan pernikahan
W.S. Rendra dengan istri pertamanya. 11




PENGAKUAN KOES BERSAUDARA DI BAWAH KORDINASI DAN PEMBINAAN INTELEJEN



Harian KOMPAS MINGGU edisi 30 Mei 2004 – LEBIH JAUH DENGAN KOES
BERSAUDARA
Di Penjara Glodok


Episode ini, sudah banyak diungkap
media massa. Tanggal 29 Juni 1965 personel Koes Bersaudara ditangkap dan ditahan
di Penjara Glodok, yang kini dikenal sebagai kompleks pertokoan itu. Alasannya,
mereka dijebloskan ke penjara karena menggelar musik yang "ke-Barat-Barat-an",
yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan politik pada masa itu. Nomo sempat
menuturkan, bagaimana kisah hidup mereka di balik terali besi selama tiga bulan.
Ada tahanan yang iba terhadap mereka, namanya Oom Ging. Si oom ini iba melihat
jatah makanan anak-anak ini. "Oom Ging lalu memberi sayuran yang ditanam
sendiri. Belakangan saya tahu, tanaman itu diberi pupuk dari kotoran Oom Ging
sendiri. Waduh...," cerita Nomo sambil tertawa.

Yang tidak banyak
diketahui orang, seperti dituturkan Yok Koeswoyo, sebenarnya mereka dimasukkan
penjara pada masa itu sebagai bagian untuk menjadikan Koes Bersaudara sebagai
intelijen tandingan (counter intelligence) di Malaysia. Saat itu, Indonesia
sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.

"Zaman dulu ada KOTI (Komando
Operasi Tertinggi). Kami direkrut oleh beliau-beliau, komandannya Kolonel Koesno
dari Angkatan Laut. Dibikin seolah-olah pemerintah yang ada tidak senang sama
kami, lalu kami ditangkap. Dalam rangka ditangkap inilah kami nanti secara
diam-diam keluar dan eksodus ke Malaysia. Di sana kami dipakai sebagai counter
intelligence. Namun, pas keluar dari penjara pada tanggal 29 November, meletus
G30S," cerita Yok.

Jadi masuk penjara itu hanya sebuah jalan menuju
fase berikutnya?


"Ya, jadi dibentuk opini seolah-olah kami tidak
suka pada Soekarno," jawab Yok.

Waktu masuk penjara ada perasaan
menyesal atau tidak?


"Tidak, kita menyadari itu
kok."

Ini tak pernah terungkap ya?

"Ya, selama ini
kita selalu rapet. Kami ikut menjaga rahasia negara. Di KOTI itu kami masuk D3,
kami bisa dibangunkan, tapi bisa juga ditidurkan."

Hal sama, katanya
dilakukan kelompok ini di paruh pertama tahun 1970-an (sebelum Timor Timur
bergabung menjadi wilayah Indonesia, atau ada pula yang menyebut sebagai proses
aneksasi), untuk Timor Timur. Dalam rangka "proyek politik" ini, katanya lahir
lagu semacam Diana (lagu itu bercerita mengenai putri petani, bernama Diana.
Perhatikan, Diana adalah nama yang tidak umum untuk petani di Jawa.) Ingat juga
lagu Da Silva.

Anda masuk ke Timor Timur ?

"Kami
berangkat ke sana. Kami bikin pertunjukan di gedung. Waktu menuju Hotel Turismo,
ada orang Timur yang mendekat dan menggedor-gedor mobil kami sambil
berteriak-teriak, ’Viva Presidente Soeharto!’ Waktu kami pulang dari Timor Timur
kami disambut sama Adam Malik di Tanah Abang," ucap Yok. (Markas CSIS, Tanah
Abang – red.)

Seru ya....

"Setelah mengalami itu
semua, nasionalisme kami tambah tebal. Itu makanya ada lagu Nusantara I, II, dan
seterusnya."




FOOTNOTE






  1. Ideologi pro bukan ideologi independen sebagaimana falsafah Pancasila hasil
    olah pikir Soekarno – Founding Fathers Republik Indonesia.


  2. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia. Selain itu orde
    baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak
    serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde
    baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya
    sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada
    masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah
    atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk
    memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional
    sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme
    kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme
    kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di
    bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat
    (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan
    Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan,
    Fillippine dan Timor Leste.


  3. Tokoh Intelejen Orde Baru sekelas Gembel Sediono, mantan bawahan Ali
    Moertopo memberikan apresiasi unik terhadap Islam dan kekuatan politik Islam,
    beliau berpendapat: Agama yang paling baik itu Islam, yang mengajarkan konsep
    demokrasi di dunia ini Islam, yang konsisten dengan konsep demokrasi juga Islam.
    Tapi Islam tidak boleh hidup di Indonesia. – Dialog dari hati ke hati dengan Tim
    CeDSoS, Juni 2004, di kediaman Bapak Gembel Sediono. Cipete - Jaksel


  4. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.


  5. Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan
    pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka.
    Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung
    atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur
    serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan
    keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan
    tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani
    Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan
    fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan
    fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata
    telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh
    politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran
    Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang,
    Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.


  6. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

    Selain itu
    orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara
    tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk
    orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung
    sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan
    kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan
    pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah
    untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional
    sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme
    kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme
    kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di
    bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat
    (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan
    Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan,
    Fillippine dan Timor Leste.


  7. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

    Selain itu
    orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara
    tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk
    orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung
    sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan
    kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan
    pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah
    untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional
    sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme
    kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme
    kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di
    bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat
    (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan
    Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan,
    Fillippine dan Timor Leste.


  8. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

    Selain itu
    orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara
    tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk
    orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung
    sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan
    kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan
    pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah
    untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional
    sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme
    kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme
    kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di
    bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat
    (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan
    Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan,
    Fillippine dan Timor Leste.


  9. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

    Selain itu
    orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara
    tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk
    orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung
    sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan
    kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan
    pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah
    untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional
    sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme
    kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme
    kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di
    bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat
    (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan
    Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan,
    Fillippine dan Timor Leste.


  10. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

    Selain itu
    orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara
    tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk
    orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung
    sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan
    kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan
    pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah
    untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional
    sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme
    kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme
    kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di
    bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat
    (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan
    Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan,
    Fillippine dan Timor Leste.


  11. Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis
    dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke
    Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan
    ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan
    tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara
    resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik
    Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya
    sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.

    Selain itu
    orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara
    tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk
    orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung
    sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan
    kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan
    pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah
    untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional
    sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme
    kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme
    kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di
    bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat
    (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan
    Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan,
    Fillippine dan Timor Leste.

keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik