100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
Halaman 4 dari 5 • Share
Halaman 4 dari 5 • 1, 2, 3, 4, 5
100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
First topic message reminder :
100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
Sumber :
A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang & Randy Petersen, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Immanuel, 1999.
Pendahuluan
Sepuluh peristiwa terpenting apa yang pernah terjadi dalam kehidupan Anda selama kurun waktu lima tahun terakhir ini? Sekarang tanyakanlah kepada ayah, puteri, suami atau istri, atau dua orang sahabat karib Anda untuk menjawab pertanyaan yang sama tentang diri Anda. Segera Anda menyadari bahwa cara pandang kita terhadap suatu peristiwa bisa berbeda dengan orang lain, termasuk mereka yang sangat dekat dengan kita.
Sekarang marilah kita mengakui bahwa tidak seorang pun dapat dengan pasti menunjuk tanggal-tanggal terpenting dalam sejarah gereja. Tentunya, daftar yang ada pada Tuhan tentang hal itu mungkin akan sangat berbeda dengan daftar yang kita buat.
Kami tidak bermaksud menjadi wasit resmi untuk menentukan peristiwa apa yang terpenting dalam kehidupan gereja pada abad-abad lampau. Namun kami berupaya menampilkan selintas berbagai peristiwa dalam sejarah umat Tuhan yang rumit. Peristiwa tersebut diharapkan akan memberi garis-garis besar serta para pelaku yang telah membentuk kekristenan kepada yang bukan sejarawan dan bukan pengamat.
Banyak orang Kristen dewasa ini ingin mengetahui lebih banyak tentang asal-usul keyakinan mereka serta berapa banyak ajaran dan praktik gereja mereka yang telah terwujud. Namun mereka tidak mempunyai waktu atau kecenderungan membaca karya akademis yang berjilid-jilid banyaknya. Hanya buku semacam inilah yang dapat memberikan kepuasan bagi kehausan mereka. Bagi orang-orang non-Kristen, buku ini merupakan buku acuan andal untuk lebih mengenal para tokoh terkemuka, berbagai gerakan, makna dan peristiwa-peristiwa dalam sejarah kekristenan yang panjang.
Kami memulai sejarah gereja setelah (atau setidak-tidaknya yang di luar) peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam Perjanjian Baru. Jelas bahwa kebangkitan, pertobatan Paulus, Konsili Yerusalem dan sebagainya adalah peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah gereja. Namun di mana kita harus berhenti? Oleh karenanya, kami memilih hanya peristiwa-peristiwa yang tidak tercatat dalam Perjanjian Baru.
Kami tidak menyusun beragam peristiwa tersebut menurut urutan pentingnya, tetapi secara kronologis agar dapat menelusuri abad demi abad.
Beberapa pilihan yang bernilai tinggi telah kami lewatkan karena kami merasa bahwa hal itu dapat digabungkan dengan peristiwa lain. Misalnya, karena survei telah membuktikan bahwa Ninety-Five Theses Luther dan Diet of Worms ada kaitan satu sama lain, maka kami hanya menyertakan judul pertama yang meliputi keduanya.
Peristiwa-peristiwa lainnya telah disertakan bukan saja karena pentingnya tetapi bagaimana dampak peristiwa-peristiwa itu, atau betapa keadaan akan berbeda, jika peristiwa-peristiwa tersebut tidak terjadi. Misalnya Sidang Sinode Whitby tidak mungkin tercatat sebagai salah satu persidangan gereja besar, tetapi sangatlah penting bahwa Gereja Inggris memilih untuk bersatu dengan Roma pada waktu itu. Sejarah mungkin akan berbeda jika mereka memilih alternatif lain.
Kami juga rnenyertakan beberapa hal yang mungkin terkesan direkayasa dan mengada-ada. Dunia tidak berubah, begitu gereja, pada saat kelahiran Bach dan Handel. Namun, tidak menyertakan sumbangsih musik mereka bagi kehidupan ibadah sungguh akan merupakan suatu cacat. Oleh karena itu, beberapa peristiwa disertakan di sini khususnya karena nilai simbolisnya.
Meskipun demikian, terdapat beberapa alternatif menarik yang kami tidak sertakan dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, karena kita masih sangat dekat dengan peristiwa-peristiwa itu untuk perspektif yang dibutuhkan.
Mungkin ada cemoohan atas pilihan-pilihan kami yang lebih banyak berbicara tentang dunia Barat, kaum lelaki, Protestan dan kaum evangelikal. Di satu pihak, memang hal ini tak terelakkan, dan di lain pihak hal ini mencerminkan bias kami.
Tetapi kami tidak bersikukuh bahwa pilihan kami inilah yang final. Sebenarnya dari awal kami mengharaukan tanggapan para pembaca yang ingin menyodorkan kemungkinan adanya peristiwaperistiwa laip yang dapat disertakan atau yang dapat dilewatkan. Untuk itu kami mengundang para pembaca agar menulis pendapatnya kepada kami, disertai dengan alasan-alasan rinci. Jika tanggapan tersebut cukup meyakinkan, maka kami akan menerbitkan jilid kedua dengan judul "Kejadiankejadian Penting Lain dalam Sejarah Gereja" (More Important Events in Church History). Kami mengundang mereka yang ingin memberi komentar mengenai jilid kedua untuk menulis. Kirimkan kepada: Ken Curtis, Christian History Institute, Box 540, Worcester, PA 19490, atau Fax ke 215-584. 4610.
Ketika saya menjabat sebagai editor majalah Christian History, kami menulis kepada para pelanggan dan meminta mereka mengirimkan peristiwa-peristiwa yang mereka anggap layak dibukukan. Kemudian, setelah memilah-milah dan menyusun daftar ini, kami mengirimnya kembali kepada mereka 'dengan catatan agar mereka dapat menandai pilihan-pilihan yang mereka setujui dan yang tidak disetujui; serta menambahkan, bila perlu, hal-hal yang tidak tercantum. Jawaban mereka mewujudkan daftar baru. Sebuah survei juga telah dilayangkan kepada para anggota American Society of Church History, sebuah kelompok sejarawan gereja profesional. Dalam memilih judul-judul peristiwa yang terdapat dalam buku ini, hasil survei tersebut mendapat perhatian cukup, meskipun saya yang bertanggung jawab dalam pemilihan final.
Sejak semula, dengan melakukan pemilihan, kami sepenuhnya sadar bahwa beberapa hal terpenting sungguh sukar dikenali dan diukur. Kami seperti bendaharawan di Bait Allah yang mungkin tidak menghiraukan pentingnya "uang keping yang dipersembahkan seorang janda". Yesus telah menjelaskan bahwa cinta kasih merupakan tanda istimewa para pengikut-Nya. Ia juga berbicara tegas akan hal-hal sederhana seperti memberikan secangkir air atas nama-Nya. Banyak isi buku ini yang merefleksikan kualitas dasar kekristenan. Namun, apa saja sesungguhnya yang terpenting tidak akan kita ketahui hingga hari penghakiman umat manusia, yang memperlihatkan mana gandum dan mana debu jerami.
Ken Curtis
100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
Sumber :
A. Kenneth Curtis, J. Stephen Lang & Randy Petersen, 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen, Immanuel, 1999.
Pendahuluan
Sepuluh peristiwa terpenting apa yang pernah terjadi dalam kehidupan Anda selama kurun waktu lima tahun terakhir ini? Sekarang tanyakanlah kepada ayah, puteri, suami atau istri, atau dua orang sahabat karib Anda untuk menjawab pertanyaan yang sama tentang diri Anda. Segera Anda menyadari bahwa cara pandang kita terhadap suatu peristiwa bisa berbeda dengan orang lain, termasuk mereka yang sangat dekat dengan kita.
Sekarang marilah kita mengakui bahwa tidak seorang pun dapat dengan pasti menunjuk tanggal-tanggal terpenting dalam sejarah gereja. Tentunya, daftar yang ada pada Tuhan tentang hal itu mungkin akan sangat berbeda dengan daftar yang kita buat.
Kami tidak bermaksud menjadi wasit resmi untuk menentukan peristiwa apa yang terpenting dalam kehidupan gereja pada abad-abad lampau. Namun kami berupaya menampilkan selintas berbagai peristiwa dalam sejarah umat Tuhan yang rumit. Peristiwa tersebut diharapkan akan memberi garis-garis besar serta para pelaku yang telah membentuk kekristenan kepada yang bukan sejarawan dan bukan pengamat.
Banyak orang Kristen dewasa ini ingin mengetahui lebih banyak tentang asal-usul keyakinan mereka serta berapa banyak ajaran dan praktik gereja mereka yang telah terwujud. Namun mereka tidak mempunyai waktu atau kecenderungan membaca karya akademis yang berjilid-jilid banyaknya. Hanya buku semacam inilah yang dapat memberikan kepuasan bagi kehausan mereka. Bagi orang-orang non-Kristen, buku ini merupakan buku acuan andal untuk lebih mengenal para tokoh terkemuka, berbagai gerakan, makna dan peristiwa-peristiwa dalam sejarah kekristenan yang panjang.
Kami memulai sejarah gereja setelah (atau setidak-tidaknya yang di luar) peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam Perjanjian Baru. Jelas bahwa kebangkitan, pertobatan Paulus, Konsili Yerusalem dan sebagainya adalah peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah gereja. Namun di mana kita harus berhenti? Oleh karenanya, kami memilih hanya peristiwa-peristiwa yang tidak tercatat dalam Perjanjian Baru.
Kami tidak menyusun beragam peristiwa tersebut menurut urutan pentingnya, tetapi secara kronologis agar dapat menelusuri abad demi abad.
Beberapa pilihan yang bernilai tinggi telah kami lewatkan karena kami merasa bahwa hal itu dapat digabungkan dengan peristiwa lain. Misalnya, karena survei telah membuktikan bahwa Ninety-Five Theses Luther dan Diet of Worms ada kaitan satu sama lain, maka kami hanya menyertakan judul pertama yang meliputi keduanya.
Peristiwa-peristiwa lainnya telah disertakan bukan saja karena pentingnya tetapi bagaimana dampak peristiwa-peristiwa itu, atau betapa keadaan akan berbeda, jika peristiwa-peristiwa tersebut tidak terjadi. Misalnya Sidang Sinode Whitby tidak mungkin tercatat sebagai salah satu persidangan gereja besar, tetapi sangatlah penting bahwa Gereja Inggris memilih untuk bersatu dengan Roma pada waktu itu. Sejarah mungkin akan berbeda jika mereka memilih alternatif lain.
Kami juga rnenyertakan beberapa hal yang mungkin terkesan direkayasa dan mengada-ada. Dunia tidak berubah, begitu gereja, pada saat kelahiran Bach dan Handel. Namun, tidak menyertakan sumbangsih musik mereka bagi kehidupan ibadah sungguh akan merupakan suatu cacat. Oleh karena itu, beberapa peristiwa disertakan di sini khususnya karena nilai simbolisnya.
Meskipun demikian, terdapat beberapa alternatif menarik yang kami tidak sertakan dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, karena kita masih sangat dekat dengan peristiwa-peristiwa itu untuk perspektif yang dibutuhkan.
Mungkin ada cemoohan atas pilihan-pilihan kami yang lebih banyak berbicara tentang dunia Barat, kaum lelaki, Protestan dan kaum evangelikal. Di satu pihak, memang hal ini tak terelakkan, dan di lain pihak hal ini mencerminkan bias kami.
Tetapi kami tidak bersikukuh bahwa pilihan kami inilah yang final. Sebenarnya dari awal kami mengharaukan tanggapan para pembaca yang ingin menyodorkan kemungkinan adanya peristiwaperistiwa laip yang dapat disertakan atau yang dapat dilewatkan. Untuk itu kami mengundang para pembaca agar menulis pendapatnya kepada kami, disertai dengan alasan-alasan rinci. Jika tanggapan tersebut cukup meyakinkan, maka kami akan menerbitkan jilid kedua dengan judul "Kejadiankejadian Penting Lain dalam Sejarah Gereja" (More Important Events in Church History). Kami mengundang mereka yang ingin memberi komentar mengenai jilid kedua untuk menulis. Kirimkan kepada: Ken Curtis, Christian History Institute, Box 540, Worcester, PA 19490, atau Fax ke 215-584. 4610.
Ketika saya menjabat sebagai editor majalah Christian History, kami menulis kepada para pelanggan dan meminta mereka mengirimkan peristiwa-peristiwa yang mereka anggap layak dibukukan. Kemudian, setelah memilah-milah dan menyusun daftar ini, kami mengirimnya kembali kepada mereka 'dengan catatan agar mereka dapat menandai pilihan-pilihan yang mereka setujui dan yang tidak disetujui; serta menambahkan, bila perlu, hal-hal yang tidak tercantum. Jawaban mereka mewujudkan daftar baru. Sebuah survei juga telah dilayangkan kepada para anggota American Society of Church History, sebuah kelompok sejarawan gereja profesional. Dalam memilih judul-judul peristiwa yang terdapat dalam buku ini, hasil survei tersebut mendapat perhatian cukup, meskipun saya yang bertanggung jawab dalam pemilihan final.
Sejak semula, dengan melakukan pemilihan, kami sepenuhnya sadar bahwa beberapa hal terpenting sungguh sukar dikenali dan diukur. Kami seperti bendaharawan di Bait Allah yang mungkin tidak menghiraukan pentingnya "uang keping yang dipersembahkan seorang janda". Yesus telah menjelaskan bahwa cinta kasih merupakan tanda istimewa para pengikut-Nya. Ia juga berbicara tegas akan hal-hal sederhana seperti memberikan secangkir air atas nama-Nya. Banyak isi buku ini yang merefleksikan kualitas dasar kekristenan. Namun, apa saja sesungguhnya yang terpenting tidak akan kita ketahui hingga hari penghakiman umat manusia, yang memperlihatkan mana gandum dan mana debu jerami.
Ken Curtis
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
75) Tahun 1812 Adoniram dan Ann Judson Berlayar Menuju India
Adoniram Judson (1788 - 1850) dan Ann Haseltine Judson (1789 - 1826)
Hari itu merupakan bulan madu! Adoniram Judson menikahi Ann Hasseltine pada tanggal 5 Februari 1812, dan dalam waktu dua minggu mereka berlayar ke India, karena ditunjuk sebagai misionaris oleh American Board of Commissioners for Foreign Missions (Badan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri) yang baru dibentuk. Tampaknya, sebagian besar waktu mereka di atas kapal mereka habiskan untuk bermain tali, berdansa, mempelajari dan membahas Alkitab.
Mereka membahas baptisan. Dalam studi Kitab Sucinya, Adoniram memutuskan bahwa para Konggregasionalis salah tentang baptisan, dan bahwa para Baptislah yang benar. Ann tentunya menghormati keputusan pribadinya, namun mengingatkan dia bahwa mereka dikirim dan didanai bagi misi mereka sebagai Kongregasionalis. Ada baiknya hal ini dipikirkan matang-matang sebelum terlanjur membuat keputusan.
Adoniram yang agak keras menang dalam pertengkaran itu. Ann pun menjadi seorang Baptis seperti rekan misionaris seperjalanan mereka, Luther Rice. Ketika mereka tiba di Kalkutta, pasangan Judson itu mengirim Rice kembali dengan surat pengunduran diri dan dengan tugas yang amat berat: mencari dukungan dari gerejagereja Baptis; sebab para Baptis di Amerika belum mempunyai perkumpulan misi.
Rice melakukan tugasnya dengan sangat baik, dan pasangan Judson dapat tinggal di Asia, serta mengukir sejarah sebagai misionaris asing pertama dari Amerika Serikat.
Enam tahun sebelumnya, tak seorang pun menduga bahwa baik Ann maupun Adoniram akan terjun ke dalam tugas-tugas misi. Ann adalah seorang yang berkemauan keras, berinisiatif sendiri dan seorang remaja yang riang. Adoniram seorang yang agak pemarah tetapi pemuda yang cerdas, yang dibesarkan secara religius, namun terhanyut ke dunia panggung di New York. Tulisan-tulisan Hannah More dan John Bunyan telah membawa Ann lebih dekat kepada Allah. Bagi Adoniram, yang membuatnya semakin dekat kepada Allah ialah kematian mendadak seorang teman kuliahnya yang pernah membujuknya menolak kekristenan. Pada tahun 1808, Adoniram pulang ke Boston dan mengabdikan dirinya kepada Kristus.
Membaca tentang negara-negara Asia seperti India dan Myanmar, mereka terpanggil untuk menjadi misionaris di sana. Hal itu tidak mudah karena belum ada badan penginjilan di Amerika yang akan mengirim dia.
The Haystack Prayer Meeting (Persekutuan Doa Penimbunan Jerami) membawa perubahan itu. Sekelompok mahasiswa dari Williams College dan Andover Seminary lari menuju sebuah lumbung untuk berteduh dari hujan. Di situ, dekat setumpuk jerami, mereka mulai mendoakan kebutuhan dunia ini. Setiap yang hadir, termasuk Adoniram Judson, merasa terpanggil untuk pelayanan misioner. Di bawah pimpinan Samuel J. Mills, mereka menghadap Gereja Kongregasional untuk penugasan. American Board of Commissioner for Foreign Missions telah didirikan pada tahun 1810, tetapi perlu waktu untuk mendapatkan dukungan bagi orang-orang yang baru ditunjuk. Karena tidak sabar, Adoniram berlayar ke London, mencoba mencari dukungan dari London Missionary Society (Perkumpulan Misioner London), ketika itu perang sedang berkecamuk antara Perancis dan Inggris dan pihak Perancis menangkap kapalnya. Judson menghabiskan waktu yang kurang menyenangkan untuk beberapa lama sebagai tawanan perang, hingga ia dapat meyakinkan bahwa ia adalah orang Amerika, bukan orang Inggris. Ia kembali ke Boston dengan selamat, dan badan tersebut bersedia mengirimnya bersama empat orang lainnya pada tahun 1812.
Sementara itu, Adoniram bertemu Ann dan menjalin hubungan kasih. Ia menjanjikan Ann kehidupan keras, pelayanan misionaris di ternpat-tempat prirnitif, kerja keras dan tanpa fasilitas. Wanita mana yang dapat bertahan? Namun, dari awal Ann bertindak sebagai seorang rekan setia Adoniram, dengan melibatkan diri sepenuhnya dalam upaya-upaya misi. Ketika ia diteguhkan untuk tugas misi, Ann turut berlutut dengannya, sehari setelah pernikahan mereka. Kemudian mereka berangkat.
Namun, lebih banyak lagi kesulitan yang menanti mereka di India. Para penguasa Inggris di India tidak mengizinkan orang-orang Amerika ini tinggal di India. William Carey menganjurkan mereka pindah ke Myanmar. Putranya, Felix, adalah duta besar di sana dan dapat memberikan pondokan bagi mereka untuk sementara. Banyak lagi kesulitan yang dihadapi untuk masuk ke Myanmar, namun pasangan Judson akhirnya sampai juga dan segera mereka memulai pekerjaannya, belajar bahasa setempat,- mengawali dengan sekolah untuk anak-anak perempuan dan menerjemahkan Perjanjian Baru. Ann belajar bahasa Myanmar seperti Adoniram, dan membantu penerjemahan.
Setelah enam tahun, baru mereka memenangkan jiwa baru yang pertama. Kesukaran berlanjut, Ann mempunyai masalah kesehatan dan harus kembali ke Amerika Serikat untuk sementara. Tidak lama setelah ia kembali ke Myanmar, Perang Inggris – Myanmar pecah. Adoniram ditawan dan dipenjarakan selama dua tahun. Ann pindah ke tempat yang berdekatan dan mengunjunginya secara teratur. Cobaan ini merusak kesehatan Ann dan Adoniram.
Tentara Inggris membebaskan Adoniram, namun tidak lama kemudian Ann meninggal, pada usia tiga puluh enam tahun. Adoniram bekerja dua puluh empat tahun lagi di Myanmar dan sekarang hasilnya lebih banyak lagi. Perjanjian Baru terjemahan bahasa Myanmar oleh pasangan Judson diterbitkan, juga katekisasi yang ditulis oleh Ann. (Ann juga telah menerjemahkan ke dalam bahasa Siam beberapa bagian Kitab Suci.) Judson telah mendirikan enam puluh tiga gereja, sebagian besar di tengah-tengah suku Karen, masyarakat pegunungan antara Myanmar dan Siam. Adalah kepercayaan tradisi Karen bahwa akan ada orang asing yang mengunjungi mereka dan memulihkan pengetahuan tentang Allah yang sesungguhnya, yang telah hilang dari mereka. Sampai sekarang, sudah lebih dari 100.000 orang Karen yang telah dibaptis sebagai orang-orang Kristen. American Baptist Foreign Missioner Society (Perkumpulan Misi Luar Negeri Baptis Amerika) turunan perkumpulan misi Baptis yang dibentuk Luther Rice – mendukung perluasan pekerjaan di tengah-tengah suku Karen.
Suami istri Judson memulai dua misi kemasyarakatan yang berbeda. Hal ini, pada gilirannya, memicu pembentukan beberapa organisasi Kristen dan dewan misi di Amerika. Mereka memelopori suatu pelayanan Kristen di Asia Tenggara. Mereka juga berfungsi sebagai inspirasi bagi para pasangan misionaris yang tak terhitung jumlahnya dalam melakukan misi-misi lapangan yang berat secara bersama-sama.
Adoniram Judson (1788 - 1850) dan Ann Haseltine Judson (1789 - 1826)
Hari itu merupakan bulan madu! Adoniram Judson menikahi Ann Hasseltine pada tanggal 5 Februari 1812, dan dalam waktu dua minggu mereka berlayar ke India, karena ditunjuk sebagai misionaris oleh American Board of Commissioners for Foreign Missions (Badan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri) yang baru dibentuk. Tampaknya, sebagian besar waktu mereka di atas kapal mereka habiskan untuk bermain tali, berdansa, mempelajari dan membahas Alkitab.
Mereka membahas baptisan. Dalam studi Kitab Sucinya, Adoniram memutuskan bahwa para Konggregasionalis salah tentang baptisan, dan bahwa para Baptislah yang benar. Ann tentunya menghormati keputusan pribadinya, namun mengingatkan dia bahwa mereka dikirim dan didanai bagi misi mereka sebagai Kongregasionalis. Ada baiknya hal ini dipikirkan matang-matang sebelum terlanjur membuat keputusan.
Adoniram yang agak keras menang dalam pertengkaran itu. Ann pun menjadi seorang Baptis seperti rekan misionaris seperjalanan mereka, Luther Rice. Ketika mereka tiba di Kalkutta, pasangan Judson itu mengirim Rice kembali dengan surat pengunduran diri dan dengan tugas yang amat berat: mencari dukungan dari gerejagereja Baptis; sebab para Baptis di Amerika belum mempunyai perkumpulan misi.
Rice melakukan tugasnya dengan sangat baik, dan pasangan Judson dapat tinggal di Asia, serta mengukir sejarah sebagai misionaris asing pertama dari Amerika Serikat.
Enam tahun sebelumnya, tak seorang pun menduga bahwa baik Ann maupun Adoniram akan terjun ke dalam tugas-tugas misi. Ann adalah seorang yang berkemauan keras, berinisiatif sendiri dan seorang remaja yang riang. Adoniram seorang yang agak pemarah tetapi pemuda yang cerdas, yang dibesarkan secara religius, namun terhanyut ke dunia panggung di New York. Tulisan-tulisan Hannah More dan John Bunyan telah membawa Ann lebih dekat kepada Allah. Bagi Adoniram, yang membuatnya semakin dekat kepada Allah ialah kematian mendadak seorang teman kuliahnya yang pernah membujuknya menolak kekristenan. Pada tahun 1808, Adoniram pulang ke Boston dan mengabdikan dirinya kepada Kristus.
Membaca tentang negara-negara Asia seperti India dan Myanmar, mereka terpanggil untuk menjadi misionaris di sana. Hal itu tidak mudah karena belum ada badan penginjilan di Amerika yang akan mengirim dia.
The Haystack Prayer Meeting (Persekutuan Doa Penimbunan Jerami) membawa perubahan itu. Sekelompok mahasiswa dari Williams College dan Andover Seminary lari menuju sebuah lumbung untuk berteduh dari hujan. Di situ, dekat setumpuk jerami, mereka mulai mendoakan kebutuhan dunia ini. Setiap yang hadir, termasuk Adoniram Judson, merasa terpanggil untuk pelayanan misioner. Di bawah pimpinan Samuel J. Mills, mereka menghadap Gereja Kongregasional untuk penugasan. American Board of Commissioner for Foreign Missions telah didirikan pada tahun 1810, tetapi perlu waktu untuk mendapatkan dukungan bagi orang-orang yang baru ditunjuk. Karena tidak sabar, Adoniram berlayar ke London, mencoba mencari dukungan dari London Missionary Society (Perkumpulan Misioner London), ketika itu perang sedang berkecamuk antara Perancis dan Inggris dan pihak Perancis menangkap kapalnya. Judson menghabiskan waktu yang kurang menyenangkan untuk beberapa lama sebagai tawanan perang, hingga ia dapat meyakinkan bahwa ia adalah orang Amerika, bukan orang Inggris. Ia kembali ke Boston dengan selamat, dan badan tersebut bersedia mengirimnya bersama empat orang lainnya pada tahun 1812.
Sementara itu, Adoniram bertemu Ann dan menjalin hubungan kasih. Ia menjanjikan Ann kehidupan keras, pelayanan misionaris di ternpat-tempat prirnitif, kerja keras dan tanpa fasilitas. Wanita mana yang dapat bertahan? Namun, dari awal Ann bertindak sebagai seorang rekan setia Adoniram, dengan melibatkan diri sepenuhnya dalam upaya-upaya misi. Ketika ia diteguhkan untuk tugas misi, Ann turut berlutut dengannya, sehari setelah pernikahan mereka. Kemudian mereka berangkat.
Namun, lebih banyak lagi kesulitan yang menanti mereka di India. Para penguasa Inggris di India tidak mengizinkan orang-orang Amerika ini tinggal di India. William Carey menganjurkan mereka pindah ke Myanmar. Putranya, Felix, adalah duta besar di sana dan dapat memberikan pondokan bagi mereka untuk sementara. Banyak lagi kesulitan yang dihadapi untuk masuk ke Myanmar, namun pasangan Judson akhirnya sampai juga dan segera mereka memulai pekerjaannya, belajar bahasa setempat,- mengawali dengan sekolah untuk anak-anak perempuan dan menerjemahkan Perjanjian Baru. Ann belajar bahasa Myanmar seperti Adoniram, dan membantu penerjemahan.
Setelah enam tahun, baru mereka memenangkan jiwa baru yang pertama. Kesukaran berlanjut, Ann mempunyai masalah kesehatan dan harus kembali ke Amerika Serikat untuk sementara. Tidak lama setelah ia kembali ke Myanmar, Perang Inggris – Myanmar pecah. Adoniram ditawan dan dipenjarakan selama dua tahun. Ann pindah ke tempat yang berdekatan dan mengunjunginya secara teratur. Cobaan ini merusak kesehatan Ann dan Adoniram.
Tentara Inggris membebaskan Adoniram, namun tidak lama kemudian Ann meninggal, pada usia tiga puluh enam tahun. Adoniram bekerja dua puluh empat tahun lagi di Myanmar dan sekarang hasilnya lebih banyak lagi. Perjanjian Baru terjemahan bahasa Myanmar oleh pasangan Judson diterbitkan, juga katekisasi yang ditulis oleh Ann. (Ann juga telah menerjemahkan ke dalam bahasa Siam beberapa bagian Kitab Suci.) Judson telah mendirikan enam puluh tiga gereja, sebagian besar di tengah-tengah suku Karen, masyarakat pegunungan antara Myanmar dan Siam. Adalah kepercayaan tradisi Karen bahwa akan ada orang asing yang mengunjungi mereka dan memulihkan pengetahuan tentang Allah yang sesungguhnya, yang telah hilang dari mereka. Sampai sekarang, sudah lebih dari 100.000 orang Karen yang telah dibaptis sebagai orang-orang Kristen. American Baptist Foreign Missioner Society (Perkumpulan Misi Luar Negeri Baptis Amerika) turunan perkumpulan misi Baptis yang dibentuk Luther Rice – mendukung perluasan pekerjaan di tengah-tengah suku Karen.
Suami istri Judson memulai dua misi kemasyarakatan yang berbeda. Hal ini, pada gilirannya, memicu pembentukan beberapa organisasi Kristen dan dewan misi di Amerika. Mereka memelopori suatu pelayanan Kristen di Asia Tenggara. Mereka juga berfungsi sebagai inspirasi bagi para pasangan misionaris yang tak terhitung jumlahnya dalam melakukan misi-misi lapangan yang berat secara bersama-sama.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
76) Tahun 1816 Richard Allen Mendirikan Gereja Episkopal Methodis Afrika
Kejadian ini terjadi pada tahun 1787 di Gereja Methodis St. George, di Philadelphia. Richard Allen, seorang kulit hitam, telah berkhotbah di sana beberapa kali, tetapi pada hari Minggu ini ia duduk di serambi. Karena sesuatu dan lain hal, bagian yang biasanya dipisahkan untuk orang berkulit hitam pada hari ini tidak tersedia, dan para penjaga pintu telah mengalihkan para pengunjung berkulit hitam ke bagian lain. Namun, tampaknya ada kesalahpahaman, dan mereka duduk di tempat yang salah.
Ketika mereka berlutut untuk berdoa, seorang wali melihat orang-orang kulit hitam yang ada di bagian kulit putih; serta-merta saja ia mendatangi orang-orang kulit hitam itu untuk menyeret keluar salah seorang di antara mereka. Dia adalah Pdt. Absolom Jones, seorang pemimpin Methodis kulit hitam terkemuka. "Kau harus berdiri," seru sang wali tersebut, "Kau tidak boleh berlutut di sini."
"Tunggu sampai doa selesai," jawab Jones.
"Tidak, kau harus berdiri sekarang juga, atau saya akan memanggil bantuan untuk menyeretmu keluar."
"Tunggu sampai doa selesai," Jones mengulangi, "dan saya akan berdiri dan tidak akan menyusahkan Anda lagi."
Akan tetapi tampaknya tidak dapat ditunggu lagi. Sang wali dan seorang penjaga pintu mulai menyeret Jones dan jemaat kulit hitarn lainnya keluar. Sementara itu doa pun telah usai. Allen dan para kulit hitam lainnya keluar. "Mereka tidak lagi kita ganggu," tulis Allen, dan menambahkan bahwa mereka telah mendanai perlengkapan gereja tersebut dengan murah hati. Mereka telah mendanai pemasangan lantai yang di atasnya mereka berlutut.
Allen dan Jones menuntun orang-orangnya mengadakan kebaktian tersendiri di sebuah gudang yang disewa. Lambat-laun mereka membeli sebidang tanah dan membangun sebuah gereja. Namun mereka melanjutkan perjuangan mereka dengan Methodis kulit putih, khususnya mereka yang ada di St. George.
Kejadian-kejadian seperti itu bukannya tidak umum pada masa itu. Tetapi sungguh ironis bahwa kejadian berlutut itu terjadi justru di sebuah Gereja Methodis, karena para Methodis di Amerikalah yang dengan cepat menyikapi bahwa seorang budak pun adalah manusia juga, dan punya kebutuhan untuk mengenal Yesus seperti orang kulit putih mana pun. Misionaris-misionaris Methodis telah ditunjuk untuk membimbing para budak dan mereka yang telah dibebaskan. Dan para pemimpin Methodis mengetahui betul bahwa misionaris kulit hitam lebih efektif untuk saudara-saudaranya yang berkulit hitam.
Richard Allen lahir sebagai seorang budak pada tahun 1760, di rumah Benyamin Chew, seorang pengacara terkemuka di Philadelphia. Keluarganya telah dijual kepada seorang petani di dekat Dover Delaware. Di sana Allen menjadi Kristen pada usia remaja. Ia mulai bergaul dengan kelompok Methodis. Pada suatu kesempatan ia mengatur agar sang pengkhotbah dapat berkhotbah di rumah tuannya. Tuannya, meskipun bukan seorang Kristen, terkesan oleh teks sang pengkhotbah ("Engkau ditimbang di sebuah timbangan dan ditemukan masih kurang"). Akibatnya, Allen dan saudaranya diberi kesempatan membeli kebebasan mereka.
Sebagai orang bebas, Allen bekerja sebagai pembelah kayu dan tukang batu. la tetap sebagai seorang gerejawan aktif. Selama masa Revolusi ia menjadi kusir kereta pengantar garam. Di sepanjang perjalanannya ia juga berkhotbah. Keahliannya berbicara membuatnya populer, baik di kalangan kulit hitam maupun kulit putih. Sepanjang perjalanannya di Delaware, New Jersey dan Pennsylvania, dengan mengambil pekerjaan sambilan, ia juga berkhotbah pada ma-lam hari dan pada akhir pekan.
Pada tahun 1784, Gereja Episkopal Methodis dengan resmi didirikan di Amerika Serikat. John Wesley menunjuk Thomas Coke dan Francis Asbury sebagai "pembantu"nya untuk mengarnati gereja Amerika, dengan Richard Whatcoat dan Thomas Vassey sebagai pemimpin-pemimpin yang diangkat. Selama Perang Revolusi khususnya, gerakan Methodis di Amerika telah terpecah-pecah – sebagian karena masih merupakan gerakan dalam lingkungan Gereja Anglikan, dan perang tersebut justru menekan kesetiaan semacam itu. Tindakan-tindakan Wesley pada tahun 1784 menyatukan perpecahan tersebut, dan untuk pertama kalinya mengukuhkan Methodis sebagai gereja tersendiri.
Richard Allen menarik perhatian Richard Whatcoat, yang ditempatkan di lingkungan Baltimore. Whatcoat mengundang Allen untuk ikut bersamanya tatkala ia mengunjungi gereja. Kemudian Allen dalam perjalanannya diundang untuk bergabung dengan Asbury.
Ketika Allen mendarat di Philadelphia, ia berkhotbah di Gereja St. George jika mempunyai kesempatan, namun pada waktu-waktu itulah akhirnya ia meninggalkan tempat itu, seperti apa yang telah kita lihat. Salah seorang yang berlutut yang ikut tersinggung, Absolom Jones, memisahkan diri dari Methodis pada tahun 1793, dan membentuk Gereja Episkopal Protestan Kulit Hitam, namun Allen menolaknya. "Saya tidak dapat menjadi apa pun kecuali seorang Methodis," tulisnya, "karena saya dilahirkan dan dibangkitkan di bawah mereka, dan saya dapat berjalan terus dengan mereka. "
Ia pun berjalan terus bersama dengan mereka, dengan mengawali Gereja Bethel Episkopal Methodis Afrika di Philadelphia pada tahun 1794. Francis Asbury yang menyampaikan khotbah peresmian. Namun demikian, para pemimpin St. George mencoba menguasai gereja Allen. Sesungguhnya orang-orang kulit hitam tidak mempunyai hak yang leluasa pada masa itu, namun Gereja Bethel berusaha memenangkan kasus pengadilan melawan St. George.
Bintang Allen mulai bersinar lebih terang dalam denominasi Methodis, meskipun tekanan-tekanan dari gereja saingan di seberang kota berlanjut marak. Allen diteguhkan sebagai diaken pada tahun 1799 dan sebagai penatua pada tahun 1816 – dua posisi yang tidak pernah terdengar dicapai oleh seorang kulit hitam. Namun, pada tahun 1816, ia mernutuskan meninggalkan Methodis dan memulai denominasi baru, Gereja Episkopal Methodis Afrika (African Methodist Episcopal [AME] Church). Gereja Allen bergabung dengan beberapa gereja kulit hitam independen lainnya, dan Allen menjadi uskup kelompok baru ini. Baltimore dan Philadelphia menjadi titik-titik fokus denominasi baru ini.
Allen membuat administrasi yang hebat bagi gereja baru ini, dengan corak garis Methodis. Ia terus mengadakan perjalanan, berkhotbah dan mendirikan gereja-gereja baru hingga akhir hayatnya pada tahun 1831. Jumlah gereja AME bertumbuh terus segera setelah masa Perang Saudara, karena budak-budak yang dibebaskan mencari tempat-tempat kebaktian yang sungguh-sungguh bebas.
Denominasi baru ini merupakan inspirasi bagi orang-orang Kristen yang tertekan. Pada saat itu, hal ini merupakan deklarasi kemerdekaan yang hebat. Orang percaya kulit hitam akan melayani Kristus dengan senang hati, tetapi mereka tidak bisa diperlakukan melewati batas oleh saudara-saudara kulit putih mereka. Kepemimpinan Allen yang berani telah berbuat banyak untuk memelihara spiritualitas kulit hitam yang kuat di Amerika, yang sampai sekarang masih hidup.
Kejadian ini terjadi pada tahun 1787 di Gereja Methodis St. George, di Philadelphia. Richard Allen, seorang kulit hitam, telah berkhotbah di sana beberapa kali, tetapi pada hari Minggu ini ia duduk di serambi. Karena sesuatu dan lain hal, bagian yang biasanya dipisahkan untuk orang berkulit hitam pada hari ini tidak tersedia, dan para penjaga pintu telah mengalihkan para pengunjung berkulit hitam ke bagian lain. Namun, tampaknya ada kesalahpahaman, dan mereka duduk di tempat yang salah.
Ketika mereka berlutut untuk berdoa, seorang wali melihat orang-orang kulit hitam yang ada di bagian kulit putih; serta-merta saja ia mendatangi orang-orang kulit hitam itu untuk menyeret keluar salah seorang di antara mereka. Dia adalah Pdt. Absolom Jones, seorang pemimpin Methodis kulit hitam terkemuka. "Kau harus berdiri," seru sang wali tersebut, "Kau tidak boleh berlutut di sini."
"Tunggu sampai doa selesai," jawab Jones.
"Tidak, kau harus berdiri sekarang juga, atau saya akan memanggil bantuan untuk menyeretmu keluar."
"Tunggu sampai doa selesai," Jones mengulangi, "dan saya akan berdiri dan tidak akan menyusahkan Anda lagi."
Akan tetapi tampaknya tidak dapat ditunggu lagi. Sang wali dan seorang penjaga pintu mulai menyeret Jones dan jemaat kulit hitarn lainnya keluar. Sementara itu doa pun telah usai. Allen dan para kulit hitam lainnya keluar. "Mereka tidak lagi kita ganggu," tulis Allen, dan menambahkan bahwa mereka telah mendanai perlengkapan gereja tersebut dengan murah hati. Mereka telah mendanai pemasangan lantai yang di atasnya mereka berlutut.
Allen dan Jones menuntun orang-orangnya mengadakan kebaktian tersendiri di sebuah gudang yang disewa. Lambat-laun mereka membeli sebidang tanah dan membangun sebuah gereja. Namun mereka melanjutkan perjuangan mereka dengan Methodis kulit putih, khususnya mereka yang ada di St. George.
Kejadian-kejadian seperti itu bukannya tidak umum pada masa itu. Tetapi sungguh ironis bahwa kejadian berlutut itu terjadi justru di sebuah Gereja Methodis, karena para Methodis di Amerikalah yang dengan cepat menyikapi bahwa seorang budak pun adalah manusia juga, dan punya kebutuhan untuk mengenal Yesus seperti orang kulit putih mana pun. Misionaris-misionaris Methodis telah ditunjuk untuk membimbing para budak dan mereka yang telah dibebaskan. Dan para pemimpin Methodis mengetahui betul bahwa misionaris kulit hitam lebih efektif untuk saudara-saudaranya yang berkulit hitam.
Richard Allen lahir sebagai seorang budak pada tahun 1760, di rumah Benyamin Chew, seorang pengacara terkemuka di Philadelphia. Keluarganya telah dijual kepada seorang petani di dekat Dover Delaware. Di sana Allen menjadi Kristen pada usia remaja. Ia mulai bergaul dengan kelompok Methodis. Pada suatu kesempatan ia mengatur agar sang pengkhotbah dapat berkhotbah di rumah tuannya. Tuannya, meskipun bukan seorang Kristen, terkesan oleh teks sang pengkhotbah ("Engkau ditimbang di sebuah timbangan dan ditemukan masih kurang"). Akibatnya, Allen dan saudaranya diberi kesempatan membeli kebebasan mereka.
Sebagai orang bebas, Allen bekerja sebagai pembelah kayu dan tukang batu. la tetap sebagai seorang gerejawan aktif. Selama masa Revolusi ia menjadi kusir kereta pengantar garam. Di sepanjang perjalanannya ia juga berkhotbah. Keahliannya berbicara membuatnya populer, baik di kalangan kulit hitam maupun kulit putih. Sepanjang perjalanannya di Delaware, New Jersey dan Pennsylvania, dengan mengambil pekerjaan sambilan, ia juga berkhotbah pada ma-lam hari dan pada akhir pekan.
Pada tahun 1784, Gereja Episkopal Methodis dengan resmi didirikan di Amerika Serikat. John Wesley menunjuk Thomas Coke dan Francis Asbury sebagai "pembantu"nya untuk mengarnati gereja Amerika, dengan Richard Whatcoat dan Thomas Vassey sebagai pemimpin-pemimpin yang diangkat. Selama Perang Revolusi khususnya, gerakan Methodis di Amerika telah terpecah-pecah – sebagian karena masih merupakan gerakan dalam lingkungan Gereja Anglikan, dan perang tersebut justru menekan kesetiaan semacam itu. Tindakan-tindakan Wesley pada tahun 1784 menyatukan perpecahan tersebut, dan untuk pertama kalinya mengukuhkan Methodis sebagai gereja tersendiri.
Richard Allen menarik perhatian Richard Whatcoat, yang ditempatkan di lingkungan Baltimore. Whatcoat mengundang Allen untuk ikut bersamanya tatkala ia mengunjungi gereja. Kemudian Allen dalam perjalanannya diundang untuk bergabung dengan Asbury.
Ketika Allen mendarat di Philadelphia, ia berkhotbah di Gereja St. George jika mempunyai kesempatan, namun pada waktu-waktu itulah akhirnya ia meninggalkan tempat itu, seperti apa yang telah kita lihat. Salah seorang yang berlutut yang ikut tersinggung, Absolom Jones, memisahkan diri dari Methodis pada tahun 1793, dan membentuk Gereja Episkopal Protestan Kulit Hitam, namun Allen menolaknya. "Saya tidak dapat menjadi apa pun kecuali seorang Methodis," tulisnya, "karena saya dilahirkan dan dibangkitkan di bawah mereka, dan saya dapat berjalan terus dengan mereka. "
Ia pun berjalan terus bersama dengan mereka, dengan mengawali Gereja Bethel Episkopal Methodis Afrika di Philadelphia pada tahun 1794. Francis Asbury yang menyampaikan khotbah peresmian. Namun demikian, para pemimpin St. George mencoba menguasai gereja Allen. Sesungguhnya orang-orang kulit hitam tidak mempunyai hak yang leluasa pada masa itu, namun Gereja Bethel berusaha memenangkan kasus pengadilan melawan St. George.
Bintang Allen mulai bersinar lebih terang dalam denominasi Methodis, meskipun tekanan-tekanan dari gereja saingan di seberang kota berlanjut marak. Allen diteguhkan sebagai diaken pada tahun 1799 dan sebagai penatua pada tahun 1816 – dua posisi yang tidak pernah terdengar dicapai oleh seorang kulit hitam. Namun, pada tahun 1816, ia mernutuskan meninggalkan Methodis dan memulai denominasi baru, Gereja Episkopal Methodis Afrika (African Methodist Episcopal [AME] Church). Gereja Allen bergabung dengan beberapa gereja kulit hitam independen lainnya, dan Allen menjadi uskup kelompok baru ini. Baltimore dan Philadelphia menjadi titik-titik fokus denominasi baru ini.
Allen membuat administrasi yang hebat bagi gereja baru ini, dengan corak garis Methodis. Ia terus mengadakan perjalanan, berkhotbah dan mendirikan gereja-gereja baru hingga akhir hayatnya pada tahun 1831. Jumlah gereja AME bertumbuh terus segera setelah masa Perang Saudara, karena budak-budak yang dibebaskan mencari tempat-tempat kebaktian yang sungguh-sungguh bebas.
Denominasi baru ini merupakan inspirasi bagi orang-orang Kristen yang tertekan. Pada saat itu, hal ini merupakan deklarasi kemerdekaan yang hebat. Orang percaya kulit hitam akan melayani Kristus dengan senang hati, tetapi mereka tidak bisa diperlakukan melewati batas oleh saudara-saudara kulit putih mereka. Kepemimpinan Allen yang berani telah berbuat banyak untuk memelihara spiritualitas kulit hitam yang kuat di Amerika, yang sampai sekarang masih hidup.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
77) Tahun 1817 Elizabeth Fry Mengawali Pelayanan bagi Narapidana Perempuan di Penjara
"Jauh di mata, jauh di hati", begitulah perumpamaan bagi para narapidana Inggris pada awal-awal tahun 1800-an. Keadaan penjara-penjara gelap, tidak bersih, berdesak-desakan dan tanpa harapan. Para tersangka bermacammacam kriminalitas — baik dengan kekerasan ataupun tidak — dimasukkan ke dalam penjara tanpa perbedaan antara terpidana dan terdakwa yang menunggu peradilan. Para wanita yang menjanda ataupun yang ditinggalkan suaminya, sering terlilit utang dan dipenjarakan, dengan membawa anak-anak mereka.
John Howard, seorang awam Kristen yang menjadi sherif Bedfordshire pada tahun 1773, telah meminta perhatian masyarakat tentang kondisi penjara-penjara Eropa yang kotor. Ia mengadakan perjalanan sejauh 50.000 mil dan menghabiskan uangnya sendiri sebanyak 30.000 pound untuk memperjuangkan pembaruan penjara. Malangnya, mereka tergerak tetapi tidak termotivasi untuk mengubah keadaan. Ketika Howard kembali dari sebuah perjalanan yang menyiksa untuk mencari fakta di Italia, ia menyaksikan pengumpulan dana bagi sebuah patung untuk menghormati dia. Satu-satunya wujud peringatan yang diinginkannya, ia berkata pada mereka, adalah melanjutkan pembaruan penjara. Namun sampai awal tahun 1850-an keadaannya tetap sama.
Penerus John Howard yang hampir tidak dapat dipercaya ialah seorang wanita, Elizabeth Fry. Putri seorang pedagang wol dan bankir yang kaya, Elizabeth Gurney dibesarkan di keluarga Quaker yang liberal. Ketika la menjadi seorang gadis kecil, - ia membaca buku-buku Voltaire, Rousseau dan Thomas Paine. Pada usia tujuh belas tahun, dalam buku hariannya ia menulis bahwa ia tidak punya agama.
Akan tetapi tahun berikutnya ia bertemu dengan seorang Quaker dari Amerika, William Savery, yang mengajarkan dia tentang kehadiran Allah. Ia mulai menghadiri pertemuan Quaker yang lebih terbatas dan menjadi lebih serius akan imannya.
Pada usia kedua puluh, Elizabeth menikahi Joseph Fry, juga dari keluarga bankir yang kaya. Ia melahirkan sebelas orang anak. Namun, keterlibatannya dengan pertemuan Quaker bertumbuh, dan pada tahun 1811, pada usia tiga puluh tahun ia diakui sebagai seorang "pendeta".
Tiga tahun kemudian ia mengunjungi Newgate, sebuah penjara dekat London. Terkejut akan kondisinya, ia melakukan apa yang ia dapat, dengan membawa pakaian bagi anak-anak para narapidana wanita. Meskipun John Howard telah berusaha, namun sistem hukuman Inggris bertambah buruk. Antara tahun 1800 dan 1817, angka narapidana bertambah dua kali lipat, dan menimbulkan kepadatan luar biasa. Sesuatu harus dilakukan, khususnya bagi para wanita dan anak-anak, yang dalam banyak hal, satu-satunya kesalahan mereka adalah kemiskinan.
Pada tahun 1817, Fry mengorganisasi sebuah tim wanita untuk menjenguk narapidana wanita secara teratur, membacakan Alkitab kepada mereka, dan mengajar mereka menjahit. Pekerjaan berguna ini mengubah prilaku kehidupan para penghuni penjara itu. Banyak perusahaan di London mulai mendukung upayaupaya Fry dan ia pun dielu-elukan di seluruh Inggris.
Oleh karena perang melawan Napoleon usai, orang-orang Inggris mengalihkan perhatian mereka ke masalah-masalah lain. Satu di antaranya adalah reformasi penjara. Fry memperluas komite-komite wanita pelawat penjaranya ke kawasan-kawasan baru, dan pada tahun 1821 mendirikan British Society for Promoting Reformation of Female Prisoners (Perkumpulan Inggris untuk Meningkatkan Reformasi bagi Narapidana Wanita). Thomas Buxton, yang di kemudian hari akan membantu Wilberforce memenangkan perjuangan untuk memberantas perbudakan, menerbitkan suatu studi tentang penjara Newgate pada tahun 1818, yaitu ketika ia mempertanyakan apakah sistem hukuman sebenarnya membantu atau menyiksa masyarakat. Tidak lama kemudian, reformator ini mendapat perhatian dari Menteri Dalam Negeri Robert Peel yang berkuasa, yang mendesak melalui parlemen agar Undang-undang Penjara tahun 1823 dibatalkan.
Hal ini membarui penjara-penjara Inggris secara radikal dan membatasi jumlah pelanggaran yang digolongkan ke dalam hukuman mati (sampai 500). Robert Peel juga memprakarsai pasukan polisi tetap, yang anggotanya dikenal sebagai "bobbies", dari julukan Peel.
Sampai ajalnya pada tahun 1845, Fry terus meningkatkan perbaikan-perbaikan kondisi penjara. Meskipun negara Eropa lainnya mengikuti jejak Inggris, Inggris sendiri tampaknya kembali dengan sikap yang lebih keras. Namun upaya Fry abadi hasilnya. Bersama-sama dengan tokoh sezamannya, seperti William Wilberforce dan Goerge Mueller, ia mengajak generasi-generasi orang Kristen untuk memangku tanggung jawab sosial mereka secara serius. Ia juga melanjutkan tradisi turun-temurun, yaitu wanita adalah penunjuk jalan bagi usaha-usaha karitatif.
"Jauh di mata, jauh di hati", begitulah perumpamaan bagi para narapidana Inggris pada awal-awal tahun 1800-an. Keadaan penjara-penjara gelap, tidak bersih, berdesak-desakan dan tanpa harapan. Para tersangka bermacammacam kriminalitas — baik dengan kekerasan ataupun tidak — dimasukkan ke dalam penjara tanpa perbedaan antara terpidana dan terdakwa yang menunggu peradilan. Para wanita yang menjanda ataupun yang ditinggalkan suaminya, sering terlilit utang dan dipenjarakan, dengan membawa anak-anak mereka.
John Howard, seorang awam Kristen yang menjadi sherif Bedfordshire pada tahun 1773, telah meminta perhatian masyarakat tentang kondisi penjara-penjara Eropa yang kotor. Ia mengadakan perjalanan sejauh 50.000 mil dan menghabiskan uangnya sendiri sebanyak 30.000 pound untuk memperjuangkan pembaruan penjara. Malangnya, mereka tergerak tetapi tidak termotivasi untuk mengubah keadaan. Ketika Howard kembali dari sebuah perjalanan yang menyiksa untuk mencari fakta di Italia, ia menyaksikan pengumpulan dana bagi sebuah patung untuk menghormati dia. Satu-satunya wujud peringatan yang diinginkannya, ia berkata pada mereka, adalah melanjutkan pembaruan penjara. Namun sampai awal tahun 1850-an keadaannya tetap sama.
Penerus John Howard yang hampir tidak dapat dipercaya ialah seorang wanita, Elizabeth Fry. Putri seorang pedagang wol dan bankir yang kaya, Elizabeth Gurney dibesarkan di keluarga Quaker yang liberal. Ketika la menjadi seorang gadis kecil, - ia membaca buku-buku Voltaire, Rousseau dan Thomas Paine. Pada usia tujuh belas tahun, dalam buku hariannya ia menulis bahwa ia tidak punya agama.
Akan tetapi tahun berikutnya ia bertemu dengan seorang Quaker dari Amerika, William Savery, yang mengajarkan dia tentang kehadiran Allah. Ia mulai menghadiri pertemuan Quaker yang lebih terbatas dan menjadi lebih serius akan imannya.
Pada usia kedua puluh, Elizabeth menikahi Joseph Fry, juga dari keluarga bankir yang kaya. Ia melahirkan sebelas orang anak. Namun, keterlibatannya dengan pertemuan Quaker bertumbuh, dan pada tahun 1811, pada usia tiga puluh tahun ia diakui sebagai seorang "pendeta".
Tiga tahun kemudian ia mengunjungi Newgate, sebuah penjara dekat London. Terkejut akan kondisinya, ia melakukan apa yang ia dapat, dengan membawa pakaian bagi anak-anak para narapidana wanita. Meskipun John Howard telah berusaha, namun sistem hukuman Inggris bertambah buruk. Antara tahun 1800 dan 1817, angka narapidana bertambah dua kali lipat, dan menimbulkan kepadatan luar biasa. Sesuatu harus dilakukan, khususnya bagi para wanita dan anak-anak, yang dalam banyak hal, satu-satunya kesalahan mereka adalah kemiskinan.
Pada tahun 1817, Fry mengorganisasi sebuah tim wanita untuk menjenguk narapidana wanita secara teratur, membacakan Alkitab kepada mereka, dan mengajar mereka menjahit. Pekerjaan berguna ini mengubah prilaku kehidupan para penghuni penjara itu. Banyak perusahaan di London mulai mendukung upayaupaya Fry dan ia pun dielu-elukan di seluruh Inggris.
Oleh karena perang melawan Napoleon usai, orang-orang Inggris mengalihkan perhatian mereka ke masalah-masalah lain. Satu di antaranya adalah reformasi penjara. Fry memperluas komite-komite wanita pelawat penjaranya ke kawasan-kawasan baru, dan pada tahun 1821 mendirikan British Society for Promoting Reformation of Female Prisoners (Perkumpulan Inggris untuk Meningkatkan Reformasi bagi Narapidana Wanita). Thomas Buxton, yang di kemudian hari akan membantu Wilberforce memenangkan perjuangan untuk memberantas perbudakan, menerbitkan suatu studi tentang penjara Newgate pada tahun 1818, yaitu ketika ia mempertanyakan apakah sistem hukuman sebenarnya membantu atau menyiksa masyarakat. Tidak lama kemudian, reformator ini mendapat perhatian dari Menteri Dalam Negeri Robert Peel yang berkuasa, yang mendesak melalui parlemen agar Undang-undang Penjara tahun 1823 dibatalkan.
Hal ini membarui penjara-penjara Inggris secara radikal dan membatasi jumlah pelanggaran yang digolongkan ke dalam hukuman mati (sampai 500). Robert Peel juga memprakarsai pasukan polisi tetap, yang anggotanya dikenal sebagai "bobbies", dari julukan Peel.
Sampai ajalnya pada tahun 1845, Fry terus meningkatkan perbaikan-perbaikan kondisi penjara. Meskipun negara Eropa lainnya mengikuti jejak Inggris, Inggris sendiri tampaknya kembali dengan sikap yang lebih keras. Namun upaya Fry abadi hasilnya. Bersama-sama dengan tokoh sezamannya, seperti William Wilberforce dan Goerge Mueller, ia mengajak generasi-generasi orang Kristen untuk memangku tanggung jawab sosial mereka secara serius. Ia juga melanjutkan tradisi turun-temurun, yaitu wanita adalah penunjuk jalan bagi usaha-usaha karitatif.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
78) Tahun 1830 Mulainya Kebangunan Rohani Perkotaan oleh Charles G. Finney
Kebangunan rohani telah melanda selatan dan timur New England, sampai ke perbatasan barat Tennesee dan Kentucky menjelang tahun 1800. Sementara bergerak ke barat, kebangkitan itu semakin dikenal karena emosionalitas mereka yang bertobat.
Seperti kebanyakan Calvinis, para Presbiterian meragukan pertobatan yang beremosi tinggi itu, namun dari jajaran mereka sendiri muncul seorang revivalis abad kesembilan belas yang menarik dan efektif.
Charles Grandison Finney dilahirkan pada tahun 1792 di Connecticut. Seperti kebanyakan orang pada masanya, ia pindah ke barat – pada tahun 1794 orangtuanya pindah ke bagian barat New York. Finney muda belajar di sebuah biro hukum di Adams, New York dan telah diterima sebagai pengacara negara.
Ia tertarik pada Alkitab karena menemui banyak acuan ke Alkitab dalam buku-buku hukum. Finney mulai membaca firman Allah dan menghadiri kebaktian. Setelah pergumulan keras beberapa waktu lamanya, pada tahun 1821 ia bertobat. "Aku telah," katanya, "dibayar Tuhan Yesus Kristus untuk membela perkaraNya." Segera pula ia mulai berkhotbah.
Finney bergabung dengan Gereja Presbiterian dan ditahbiskan pada tahun 1824, setelah ia belajar dari pendetanya. Dengan menunggang kuda ia keluar masuk kampung, sambil mengumpulkan massa. Pengkhotbah yang berperawakan tinggi mempesona dan lantang ini berbicara kepada mereka dengan gaya langsung dan sederhana, seperti ia berhadapan dengan para juri.
Para pengkhotbah pertemuan kebangunan rohani terkenal dalam hal membangkitkan emosi. Meskipun Finney menghindari gaya teater di podium, namun ia berupaya mendapatkan perhatian para pendengarnya. la berkata, "Umat manusia tidak akan bertindak sebelum mereka tertarik." Dengan bekerja soma dengan Roh Kudus, ia berupaya menyampaikan firman Tuhan kepada orang banyak.
Pada tahun 1830, Finney memimpin kebangunan rohani yang meraih sukses hebat di Rochester, New York. Sejak itu, kebangunan rohani menjadi ciri kehidupan perkotaan Amerika.
Pada tahun 1832, Finney pindah ke Gereja Presbiterian Kedua di New York City. Tetapi ia selalu keberatan dengan Presbiterian bermuatan Calvinisme yang tinggi, dan pada tahun 1834 pindah lagi ke Gereja Kongregasional, Broadway Tabernacle, yang dibangun khusus untuknya.
Beberapa metode kebangunan rohani Finney — yang disebut langkah-langkah baru berasal dari para pengkhotbah di perbatasan yang menekankan emosionalisme. Ia menggunakan "bangku kerinduan", yang ditempatkan di depan, agar orang-orang berdosa dapat minta didoakan. Finney mengadakan pertemuan-pertemuan semalam suntuk untuk tnendoakan orang-orang berdosa dengan menyebutkan nama yang bersangkutan, dan para wanita dapat berdoa di muka umum. Meskipun ia tidak mendorong mereka, para revivalis diperkenankan berteriak, meratap dan menunjukkan tanda-tanda emosi lainnya. Langkah-langkah baru ini merupakan standar karya kebangunan rohani. Gereja-gereja yang menganutnya bertumbuh, sekalipun banyak kritikan akan cara-cara ini.
Sebelum Finney mengunjungi sebuah kota, ia merekrut para pendeta dan orang-orang awam dari gereja-gereja setempat. XIereka mengorganisasi pertemuan-pertemuan doa, dan setelah pertemuan kebangunan rohani, mereka dapat bekerja dengan para petobat baru dengan mengunjungi dan mengundang tnereka ke gereja. Jika gereja-gereja setempat tidak bersedia terlibat dalam tindak lanjutnya, Finney tidak akan berkhotbah di tempat tersebut. Itu merupakan peraturan penting.
Selain itu, para pendukung setempat menyebarkan brosur, menempelkan poster-poster dan memasang iklan pada berbagai surat kabar. Promosi telah menjadi bagian dari pekabaran Injil.
Meskipun harus berhadapan &ngan oposisi, namun tenaga, tekad dan kecerdasan Finney – dan sukses langkah-langkah barunya – menjadikan ide-idenya populer. Kebangunan rohani modern telah dimulai.
Dalam tulisannya Lectures on Revivals of Religion (Kuliah tentang Kebangkitan Agama) yang dipublikasikan pada tahun 1835, Finney menjelaskan, "Kebangunan rohani bukanlah mujizat atau bergantung pada mujizat dalam hal apa pun, tetapi merupakan hasil tepat guna dari cara-cara yang sudah ada."
Metode Finney diterima dengan baik oleh sebuah negara yang telah mengembangkan pandangan yang tinggi akan nilai manusia biasa di bawah demokrasi model Jackson. Para revivalis telah membuat orang biasa sebagai partisipan dalam drama religius yang agung, dan mengajak mereka agar yakin bahwa tiap pribadi dapat membuat pilihan yang tepat bagi Tuhan. Dengan berfokus pada kemampuan tiap orang untuk menilai dirinya sendiri, ia sependapat dengan ide orang Amerika bahwa seorang pegawai atau bocah peladang mempunyai rasio yang sama nilainya dengan pemilik perkebunan.
Pada tahun 1835, Finney pergi ke Oberlin College untuk mengajar teologi. Enam tahun kemudian ia menjadi ketua perguruan tersebut. Ia mengadakan kebangunan rohani terus-menerus sampai is wafat pada tahun 1875.
Kebangunan rohani telah melanda selatan dan timur New England, sampai ke perbatasan barat Tennesee dan Kentucky menjelang tahun 1800. Sementara bergerak ke barat, kebangkitan itu semakin dikenal karena emosionalitas mereka yang bertobat.
Seperti kebanyakan Calvinis, para Presbiterian meragukan pertobatan yang beremosi tinggi itu, namun dari jajaran mereka sendiri muncul seorang revivalis abad kesembilan belas yang menarik dan efektif.
Charles Grandison Finney dilahirkan pada tahun 1792 di Connecticut. Seperti kebanyakan orang pada masanya, ia pindah ke barat – pada tahun 1794 orangtuanya pindah ke bagian barat New York. Finney muda belajar di sebuah biro hukum di Adams, New York dan telah diterima sebagai pengacara negara.
Ia tertarik pada Alkitab karena menemui banyak acuan ke Alkitab dalam buku-buku hukum. Finney mulai membaca firman Allah dan menghadiri kebaktian. Setelah pergumulan keras beberapa waktu lamanya, pada tahun 1821 ia bertobat. "Aku telah," katanya, "dibayar Tuhan Yesus Kristus untuk membela perkaraNya." Segera pula ia mulai berkhotbah.
Finney bergabung dengan Gereja Presbiterian dan ditahbiskan pada tahun 1824, setelah ia belajar dari pendetanya. Dengan menunggang kuda ia keluar masuk kampung, sambil mengumpulkan massa. Pengkhotbah yang berperawakan tinggi mempesona dan lantang ini berbicara kepada mereka dengan gaya langsung dan sederhana, seperti ia berhadapan dengan para juri.
Para pengkhotbah pertemuan kebangunan rohani terkenal dalam hal membangkitkan emosi. Meskipun Finney menghindari gaya teater di podium, namun ia berupaya mendapatkan perhatian para pendengarnya. la berkata, "Umat manusia tidak akan bertindak sebelum mereka tertarik." Dengan bekerja soma dengan Roh Kudus, ia berupaya menyampaikan firman Tuhan kepada orang banyak.
Pada tahun 1830, Finney memimpin kebangunan rohani yang meraih sukses hebat di Rochester, New York. Sejak itu, kebangunan rohani menjadi ciri kehidupan perkotaan Amerika.
Pada tahun 1832, Finney pindah ke Gereja Presbiterian Kedua di New York City. Tetapi ia selalu keberatan dengan Presbiterian bermuatan Calvinisme yang tinggi, dan pada tahun 1834 pindah lagi ke Gereja Kongregasional, Broadway Tabernacle, yang dibangun khusus untuknya.
Beberapa metode kebangunan rohani Finney — yang disebut langkah-langkah baru berasal dari para pengkhotbah di perbatasan yang menekankan emosionalisme. Ia menggunakan "bangku kerinduan", yang ditempatkan di depan, agar orang-orang berdosa dapat minta didoakan. Finney mengadakan pertemuan-pertemuan semalam suntuk untuk tnendoakan orang-orang berdosa dengan menyebutkan nama yang bersangkutan, dan para wanita dapat berdoa di muka umum. Meskipun ia tidak mendorong mereka, para revivalis diperkenankan berteriak, meratap dan menunjukkan tanda-tanda emosi lainnya. Langkah-langkah baru ini merupakan standar karya kebangunan rohani. Gereja-gereja yang menganutnya bertumbuh, sekalipun banyak kritikan akan cara-cara ini.
Sebelum Finney mengunjungi sebuah kota, ia merekrut para pendeta dan orang-orang awam dari gereja-gereja setempat. XIereka mengorganisasi pertemuan-pertemuan doa, dan setelah pertemuan kebangunan rohani, mereka dapat bekerja dengan para petobat baru dengan mengunjungi dan mengundang tnereka ke gereja. Jika gereja-gereja setempat tidak bersedia terlibat dalam tindak lanjutnya, Finney tidak akan berkhotbah di tempat tersebut. Itu merupakan peraturan penting.
Selain itu, para pendukung setempat menyebarkan brosur, menempelkan poster-poster dan memasang iklan pada berbagai surat kabar. Promosi telah menjadi bagian dari pekabaran Injil.
Meskipun harus berhadapan &ngan oposisi, namun tenaga, tekad dan kecerdasan Finney – dan sukses langkah-langkah barunya – menjadikan ide-idenya populer. Kebangunan rohani modern telah dimulai.
Dalam tulisannya Lectures on Revivals of Religion (Kuliah tentang Kebangkitan Agama) yang dipublikasikan pada tahun 1835, Finney menjelaskan, "Kebangunan rohani bukanlah mujizat atau bergantung pada mujizat dalam hal apa pun, tetapi merupakan hasil tepat guna dari cara-cara yang sudah ada."
Metode Finney diterima dengan baik oleh sebuah negara yang telah mengembangkan pandangan yang tinggi akan nilai manusia biasa di bawah demokrasi model Jackson. Para revivalis telah membuat orang biasa sebagai partisipan dalam drama religius yang agung, dan mengajak mereka agar yakin bahwa tiap pribadi dapat membuat pilihan yang tepat bagi Tuhan. Dengan berfokus pada kemampuan tiap orang untuk menilai dirinya sendiri, ia sependapat dengan ide orang Amerika bahwa seorang pegawai atau bocah peladang mempunyai rasio yang sama nilainya dengan pemilik perkebunan.
Pada tahun 1835, Finney pergi ke Oberlin College untuk mengajar teologi. Enam tahun kemudian ia menjadi ketua perguruan tersebut. Ia mengadakan kebangunan rohani terus-menerus sampai is wafat pada tahun 1875.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
79) Tahun ±1830 John Nelson Darby Membantu Mengawali Plymouth Brethren
John Nelson Darby. 1800 - 1882
Lima pria berkumpul untuk kebaktian di sebuah rumah di Dublin, Fitzwilliam Square pada bulan November, 1829. Tuan rumah, Francis Hutchinson, menggelar kebaktian sederhana dan mengundang mereka bertemu di sana secara teratur pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas gereja mereka yang lain.
Bagi yang berpikiran modern, pertemuan seperti itu kelihatannya tidak luar biasa. Tetapi pada waktu itu hal tersebut adalah sesuatu yang tidak umum. Gereja Inggris yang telah dikukuhkan mendominasi kehidupan dan praktik religius. Persekutuan dan kebaktian di luar gereja dianggap tidak benar. Mengadakan komuni tanpa seorang imam adalah skandal.
John Nelson Darby hadir pada pertemuan tersebut, namun agak kurang tepat jika ia dikatakan sebagai pendiri Plymouth Brethren (Persaudaraan Plymouth). Dia hanyalah salah seorang dari antaranya yang hertindak sebagai pemimpin pada hari-hari awalnya, meskipun ia menjadi juru bicara yang patut dikagumi.
Pada tiga dekade pertama abad kesembilan belas, semangat spiritual sedang bekerja di Irlandia. Beberapa orang Katolik berpindah ke Gereja Anglikan atau ke gereja-gereja lain, gerakan independen juga sedang bangkit. Orang-orang Kristen secara berkelompok mulai mengadakan pertemuan di luar gereja mapan – dengan hanya Alkitab sebagai pedoman mereka.
Gerakan Plymouth Brethren mungkin berpaling kembali ke Anthony Norris Groves, seorang dokter gigi Kristen sejati. Ia bersedia meninggalkan praktiknya untuk pelayanan misi di Persia. Dengan patuh ia memasuki Trinity College, di Dublin pada tahun 1826, menyiapkan diri untuk penahbisan. Namun, di sana ia berhubungan dengan sejumlah orang Dublin yang berpikiran independen. Teman ini telah mengguncang pandangannya mengenai high church. Namun ia pernah bertanya-tanya, apa perlunya semua kelas dan ujian-ujian ini bagi saya untuk menjadi seorang misionaris? Akhirnya ia memutuskan bahwa ia tidak membutuhkan pentahbisan ataupun perkumpulan misi resmi. la cukup melangkah dalam iman.
Groves mengumpulkan teman dari Dublin dan Plymouth serta berangkat ke Bagdad pada tahun 1829. Dukungan terhadap Groves telah menjadi faktor pemersatu karena kelompok-kelompok bertemu untuk mendoakan dia dan mengumpulkan dana untuk mendukung dia.
Sementara itu, John Nelson Darby sedang bertugas sebagai kurator di County Wicklow. la telah belajar hukum di Trinity College, namun segera menanti penahbisan. Ia pun seorang gerejawan sejati, tetapi ia menjadi kecewa karena kebijakan "pintu tertutup" gerejanya. Tampaknya, atasannya lebih mempedulikan keanggotaan gereja ketimbang Kristus.
Setelah terluka dalam kecelakaan pada tahun 1827, Darby mengambil cuti dari gerejanya untuk memulihkan kesehatannya di Dublin. Di sana ia bertemu dengan sejumlah orang yang berpikiran sama, beberapa dari lingkungan pendukung Groves. Kelompok ini mendukung ideide yang sudah terbentuk dalam benak Darby. Tidak lama kemudian ia meninggalkan kedudukannya, tetapi ia belum memisahkan diri dari gerejanya. Ia menjadi pendukung terang-terangan bagi keterbukaan dan kesatuan gereja dengan menerbitkan selebaran yang menganjurkan perubahan kebijakan dalam gereja. Ia menyerukan spiritualitas yang benar di antara orang Kristen dan kembali ke Kitab Suci. Satu aspek Kitab Suci yang telah diabaikan ialah nubuat. la terpesona akan teori-teori akhir zaman dan meminta agar para pemimpin Kristen memperhatikan hal ini. Serentetan konferensi nubuat diadakan pada awal-awal tahun 1830-an untuk memikirkan hal ini.
Pandangan dominan yang terdapat di gereja yang mapan bersifat "pascamillenium", yaitu gereja akan membawa era perdamaian, setelah itu Baru Kristus akan kembali. Tetapi Darby berpegang pada ajaran Manuel de Lacunza, biarawan Chile abad kedelapan belas. Lacunza berpegang pada kedatangan kembali pramillenial – dunia akan menuju kehancuran hingga Kristus datang dan memulai dengan pemerintahan seribu tahun-Nya. (Lacunza juga mengemukakan bahwa Kristus pertama akan tampil untuk memisahkan orang-orang yang setia kepada-Nya dari bencana-bencana yang teramat buruk, sebelum Ia kembali untuk mendirikan pemerintahan-Nya.)
Pada tahun 1831, fokus gerakan tersebut mulai berpindah ke Plymouth, Inggris. Pada tahun-tahun berikutnya terdapat semacam konsolidasi dari kelompok-kelompok yang berbedabeda. Para "Brethren", begitulah mereka dikenal, mencoba menanggalkan semua perlengkapan yang bukan alkitabiah dari gereja mereka. Komuni diadakan setiap Minggu, tidak ada seorang pendeta pun yang diteguhkan (setiap orang adalah pendeta); dan orang-orang dari se-gala denominasi disambut atas nama Kristus. Para Brethren juga percaya pada perdamaian (dan musyawarah), dan tentunya pada pentingnya nubuat.
Di Bristol, seorang imigran Jerman bernama George Mueller mendirikan sebuah panti asuhan. Diilhami contoh A.N. Groves yang menjalankan misi dalam iman, dengan iman Mueller bertekad menjalankan panti asuhannya. Ia tidak meminta uang, hanya percaya bahwa Allah akan melengkapinya. Pelayanan Mueller menjadi legenda, suatu bukti iman sederhana Plymouth Brethren yang bertumbuh.
Sementara itu, Darby melanjutkan perjalanannya, berbicara dan menulis. Ketika mengadakan tur di Swiss pada tahun 1838, ia mendirikan sejumlah Gereja Brethren di sana. Suatu revolusi politik pada tahun 1845 menimbulkan penyiksaan terhadap gereja-gereja ini, dan Darby sendiri nyaris menjadi korban.
Pada waktu yang bersamaan, kontroversi muncul di antara Brethren, khususnya mengenai anugerah spiritual, pembasuhan kaki, tugas penatua dan interpretasi nubuat. Perpecahan besar terjadi antara Darby dan B.W. Newton, yang dapat dianggap sebagai mitra pendiri gerakan. Akhirnya Newton mengundurkan diri dari gereja, dan kemudian konflik pun meningkat sehingga memisahkan Darby dan Mueller. Akibat ketidaksepakatan mereka ialah perpecahan antara Brethren Eksklusif (yang tidak akan berekanan dengan mereka yang berdoktrin kurang sehat) dan Brethren Terbuka. Tentunya, eksklusivitas kelompok yang pertama tadi menimbulkan perpecahan-perpecahan selanjutnya, mencerminkan ironi yang menyedihkan bahwa sukar berpegang bersama-sama pada kesatuan gereja dan kemurnian doktrin.
Seperti Disciples of Chirst di Amerika Serikat, Plymouth Brethren menyuntikkan perlunya tekanan kesederhanaan dalam kehidupan gereja di Inggris. Gereja tersebut telah mendapatkan pengikut-pengikut yang cukup berarti di seluruh dunia, termasuk figur-figur terkemuka seperti Samuel Tregelles dan pakar Perjanjian Baru modern F.F. Bruce.
Akan tetapi, kemasyhuran utama Darby ialah eskatologinya. Pandangannya tentang nubuat dikenal sebagai dispensasionalisme (dispensationalism). Itu menjadi tema utama pada konferensi nubuat pada tahun 1800-an serta gerakan fundamentalis pada awal-awal tahun 1900-an.
John Nelson Darby. 1800 - 1882
Lima pria berkumpul untuk kebaktian di sebuah rumah di Dublin, Fitzwilliam Square pada bulan November, 1829. Tuan rumah, Francis Hutchinson, menggelar kebaktian sederhana dan mengundang mereka bertemu di sana secara teratur pada waktu-waktu yang tidak mengganggu aktivitas gereja mereka yang lain.
Bagi yang berpikiran modern, pertemuan seperti itu kelihatannya tidak luar biasa. Tetapi pada waktu itu hal tersebut adalah sesuatu yang tidak umum. Gereja Inggris yang telah dikukuhkan mendominasi kehidupan dan praktik religius. Persekutuan dan kebaktian di luar gereja dianggap tidak benar. Mengadakan komuni tanpa seorang imam adalah skandal.
John Nelson Darby hadir pada pertemuan tersebut, namun agak kurang tepat jika ia dikatakan sebagai pendiri Plymouth Brethren (Persaudaraan Plymouth). Dia hanyalah salah seorang dari antaranya yang hertindak sebagai pemimpin pada hari-hari awalnya, meskipun ia menjadi juru bicara yang patut dikagumi.
Pada tiga dekade pertama abad kesembilan belas, semangat spiritual sedang bekerja di Irlandia. Beberapa orang Katolik berpindah ke Gereja Anglikan atau ke gereja-gereja lain, gerakan independen juga sedang bangkit. Orang-orang Kristen secara berkelompok mulai mengadakan pertemuan di luar gereja mapan – dengan hanya Alkitab sebagai pedoman mereka.
Gerakan Plymouth Brethren mungkin berpaling kembali ke Anthony Norris Groves, seorang dokter gigi Kristen sejati. Ia bersedia meninggalkan praktiknya untuk pelayanan misi di Persia. Dengan patuh ia memasuki Trinity College, di Dublin pada tahun 1826, menyiapkan diri untuk penahbisan. Namun, di sana ia berhubungan dengan sejumlah orang Dublin yang berpikiran independen. Teman ini telah mengguncang pandangannya mengenai high church. Namun ia pernah bertanya-tanya, apa perlunya semua kelas dan ujian-ujian ini bagi saya untuk menjadi seorang misionaris? Akhirnya ia memutuskan bahwa ia tidak membutuhkan pentahbisan ataupun perkumpulan misi resmi. la cukup melangkah dalam iman.
Groves mengumpulkan teman dari Dublin dan Plymouth serta berangkat ke Bagdad pada tahun 1829. Dukungan terhadap Groves telah menjadi faktor pemersatu karena kelompok-kelompok bertemu untuk mendoakan dia dan mengumpulkan dana untuk mendukung dia.
Sementara itu, John Nelson Darby sedang bertugas sebagai kurator di County Wicklow. la telah belajar hukum di Trinity College, namun segera menanti penahbisan. Ia pun seorang gerejawan sejati, tetapi ia menjadi kecewa karena kebijakan "pintu tertutup" gerejanya. Tampaknya, atasannya lebih mempedulikan keanggotaan gereja ketimbang Kristus.
Setelah terluka dalam kecelakaan pada tahun 1827, Darby mengambil cuti dari gerejanya untuk memulihkan kesehatannya di Dublin. Di sana ia bertemu dengan sejumlah orang yang berpikiran sama, beberapa dari lingkungan pendukung Groves. Kelompok ini mendukung ideide yang sudah terbentuk dalam benak Darby. Tidak lama kemudian ia meninggalkan kedudukannya, tetapi ia belum memisahkan diri dari gerejanya. Ia menjadi pendukung terang-terangan bagi keterbukaan dan kesatuan gereja dengan menerbitkan selebaran yang menganjurkan perubahan kebijakan dalam gereja. Ia menyerukan spiritualitas yang benar di antara orang Kristen dan kembali ke Kitab Suci. Satu aspek Kitab Suci yang telah diabaikan ialah nubuat. la terpesona akan teori-teori akhir zaman dan meminta agar para pemimpin Kristen memperhatikan hal ini. Serentetan konferensi nubuat diadakan pada awal-awal tahun 1830-an untuk memikirkan hal ini.
Pandangan dominan yang terdapat di gereja yang mapan bersifat "pascamillenium", yaitu gereja akan membawa era perdamaian, setelah itu Baru Kristus akan kembali. Tetapi Darby berpegang pada ajaran Manuel de Lacunza, biarawan Chile abad kedelapan belas. Lacunza berpegang pada kedatangan kembali pramillenial – dunia akan menuju kehancuran hingga Kristus datang dan memulai dengan pemerintahan seribu tahun-Nya. (Lacunza juga mengemukakan bahwa Kristus pertama akan tampil untuk memisahkan orang-orang yang setia kepada-Nya dari bencana-bencana yang teramat buruk, sebelum Ia kembali untuk mendirikan pemerintahan-Nya.)
Pada tahun 1831, fokus gerakan tersebut mulai berpindah ke Plymouth, Inggris. Pada tahun-tahun berikutnya terdapat semacam konsolidasi dari kelompok-kelompok yang berbedabeda. Para "Brethren", begitulah mereka dikenal, mencoba menanggalkan semua perlengkapan yang bukan alkitabiah dari gereja mereka. Komuni diadakan setiap Minggu, tidak ada seorang pendeta pun yang diteguhkan (setiap orang adalah pendeta); dan orang-orang dari se-gala denominasi disambut atas nama Kristus. Para Brethren juga percaya pada perdamaian (dan musyawarah), dan tentunya pada pentingnya nubuat.
Di Bristol, seorang imigran Jerman bernama George Mueller mendirikan sebuah panti asuhan. Diilhami contoh A.N. Groves yang menjalankan misi dalam iman, dengan iman Mueller bertekad menjalankan panti asuhannya. Ia tidak meminta uang, hanya percaya bahwa Allah akan melengkapinya. Pelayanan Mueller menjadi legenda, suatu bukti iman sederhana Plymouth Brethren yang bertumbuh.
Sementara itu, Darby melanjutkan perjalanannya, berbicara dan menulis. Ketika mengadakan tur di Swiss pada tahun 1838, ia mendirikan sejumlah Gereja Brethren di sana. Suatu revolusi politik pada tahun 1845 menimbulkan penyiksaan terhadap gereja-gereja ini, dan Darby sendiri nyaris menjadi korban.
Pada waktu yang bersamaan, kontroversi muncul di antara Brethren, khususnya mengenai anugerah spiritual, pembasuhan kaki, tugas penatua dan interpretasi nubuat. Perpecahan besar terjadi antara Darby dan B.W. Newton, yang dapat dianggap sebagai mitra pendiri gerakan. Akhirnya Newton mengundurkan diri dari gereja, dan kemudian konflik pun meningkat sehingga memisahkan Darby dan Mueller. Akibat ketidaksepakatan mereka ialah perpecahan antara Brethren Eksklusif (yang tidak akan berekanan dengan mereka yang berdoktrin kurang sehat) dan Brethren Terbuka. Tentunya, eksklusivitas kelompok yang pertama tadi menimbulkan perpecahan-perpecahan selanjutnya, mencerminkan ironi yang menyedihkan bahwa sukar berpegang bersama-sama pada kesatuan gereja dan kemurnian doktrin.
Seperti Disciples of Chirst di Amerika Serikat, Plymouth Brethren menyuntikkan perlunya tekanan kesederhanaan dalam kehidupan gereja di Inggris. Gereja tersebut telah mendapatkan pengikut-pengikut yang cukup berarti di seluruh dunia, termasuk figur-figur terkemuka seperti Samuel Tregelles dan pakar Perjanjian Baru modern F.F. Bruce.
Akan tetapi, kemasyhuran utama Darby ialah eskatologinya. Pandangannya tentang nubuat dikenal sebagai dispensasionalisme (dispensationalism). Itu menjadi tema utama pada konferensi nubuat pada tahun 1800-an serta gerakan fundamentalis pada awal-awal tahun 1900-an.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
80) Tahun 1833 Khotbah John Keble tentang "Murtad Nasional" Memicu Gerakan Oxford
Kardinal John Henry Newman (1801-1890), figur terpenting dalam Gerakan Oxford
Methodisme telah berupaya membawa kehidupan baru dalam Gereja Anglikan, namun berakhir dengan membentuk denominasi baru. Menjelang akhir tahun 1820-an kehadiran pengunjung di Gereja Inggris merosot secara drastis. Sementara Methodisme bertumbuh sehat, gereja yang menetaskannya menjadi kering dan kosong.
Orang yang merasa peduli akan situasi Gereja Anglikan itu ialah rohaniwan Anglikan didikan Oxford, seorang yang berhati baik. John Keble rnerasakan bahwa gerejanya kehilangan kekuatannya karena telah berpaling dari tradisi liturgi yang kaya dan tulisan-tulisan para bapa Gereja. Jika Gereja Inggris tidak menyadari warisan penerusan kerasulannya, Keble percaya bahwa gereja akan menjadi lemah sehingga memberi peluang bagi para pembangkang Protestan dan Katolik, dan akhirnya akan lenyap.
Keble menerbitkan sekumpulan sajak devosional yang mencerminkan liturgi, dengan harihari para santo dan pesta-pestanya. Sajak-sajak indah dalam The Christian Year's menunjukkan kehangatan yang umumnya dihubungkan dengan Methodis dan para pembangkang lainnya, namun karya itu tetap berada dalam tradisi Anglikan.
Pada tanggal 14 Juli 1833, Keble berkhotbah di Oriel College. Khotbahnya, "Kemurtadan Nasional", menyerang parlemen karena mengurangi jumlah para uskup di gereja Irlandia dengan tuduhan bahwa hal tersebut adalah bukti campur tangan negara dalam urusan Gereja. Gereja yang asalnya ilahi tidak dapat diatur oleh perundang-undangan duniawi.
Kata-kata Keble ini mengawali gerakan Oxford (atau Tractarianism), yang mengupayakan pembaruan dalam Gereja Anglikan dengan mengembalikannya ke berbagai kepercayaan dan praktik awal gereja. Di antara-para pendukung gerakan Oxford terdapat murid-murid Keble, yaitu Richard Froude, John Henry Newman dan Edward Pusey.
Newman mulai menerbitkan Tracts for the Times. Dia, Keble dan Froude menulis sembilan puluh traktat antara tahun 1833 sampai 1841. Selebaran empat halaman itu, yang dijual seharga satu penny selembar, tidak dibubuhi nama penulis, sementara Newman berkeliling Oxordshire menjualnya kepada kaum rohaniwan.
Beberapa traktat telah mendorong Gereja Inggris kembali ke lingkungan Katolik. Meskipun Gereja Anglikan tidak lagi begitu hidup, namun gereja tersebut takut kembali ke Katolikisme, khususnya setelah pencabutan undang-undang tahun 1828, yang menolak hak orang-orang Katolik menduduki jabatan pemerintahan – hak yang ditolak bagi mereka sejak Test Act tahun 1673. Kritik-kritik tentang Traktarianisme memuncak pada tahun 1841, ketika Newman menulis traktat bahwa sakramen bukan hanya baptisan dan komuni. Sebagai tambahan, is juga mengajukan kepercayaan akan purgatory, kehadiran Kristus sesungguhnya dalam Ekaristi dan doa kepada para santo. Uskup Oxford menanggapinya dengan perintah untuk mengakhiri serial traktat itu.
Beberapa rohaniwan Anglikan – Newman di antaranya – membelot ke Katolik, tetapi sebagian bestir dari mereka yang bersimpati pada para penulis Traktat tetap bertahan di Gereja Inggris. Meskipun mereka memuji tradisi-tradisi Gereja, termasuk pakaian rohaniwan dalam kebaktian, kebiasaan berlutut, pengakuan dosa, komuni, wangi kemenyan dan juga kebiaraan, namun banyak yang anti-Katolik. Mereka menginginkan agama yang menyentuh kelima indra, tetapi terutama mereka tidak menginginkan hubungan dengan paus ataupun hierarkinya yang tersebar di seluruh dunia.
Setelah Newman meninggalkan gerakan Oxford pada tahun 1845, gerakan itu berupaya berpegang pada ritual, arsitektur dan musik yang terbaik, dengan menolak aspek-aspek lain Katolikisme. Edward Pusey ketika itu menjadi juru bicara paling fasih dari gerakan tersebut.
Banyak anggota evangelikal menjadi gusar akan praktik-praktik Anglo-Katolik ini. Pada tahun 1846 mereka membentuk Evangelical Alliance (Aliansi Evangelikal). Namun, apa yang berawal sebagai gerakan anti-Traktarian menjadi pembuka jalan untuk menarik para anggota evangelikal ke dalam rekanan nasional. Meskipun mereka menentang ritualisme gerakan
Oxford, para evangelikal tidak dapat membantah bahwa hal itu berpengaruh positif terhadap gereja Anglikan. Daripada memandang diri mereka sendiri sebagai pejabat-pejabat Inggris, para rohaniwan Anglikan yang mendukung gerakan Oxford memandang tradisi kerasulan dengan serius. Daripada hanya mengajarkan moral dalam pelayanan kebaktian mereka, mereka mulai mengembangkan rasa hormat. Sebagai basil perubahan persepsi ini, istilah la-ma high church muncul kembali. Banyak biarawan dan biarawati mulai bekerja dengan si miskin di kota-kota yang industrinya meningkat.
Selain itu, sejumlah penulis-penulis himne (kidung) yang baik berkembang dari dalam gerakan Oxford. Para penulis terdahulu datang dari jajaran pembangkang. Sekarang, Keble, Frederick W. Faber dan John Mason Neale, penerjemah himne Yunani dan Latin yang sudah lama hilang ke dalam syair Inggris, bergabung dengan mereka.
Kardinal John Henry Newman (1801-1890), figur terpenting dalam Gerakan Oxford
Methodisme telah berupaya membawa kehidupan baru dalam Gereja Anglikan, namun berakhir dengan membentuk denominasi baru. Menjelang akhir tahun 1820-an kehadiran pengunjung di Gereja Inggris merosot secara drastis. Sementara Methodisme bertumbuh sehat, gereja yang menetaskannya menjadi kering dan kosong.
Orang yang merasa peduli akan situasi Gereja Anglikan itu ialah rohaniwan Anglikan didikan Oxford, seorang yang berhati baik. John Keble rnerasakan bahwa gerejanya kehilangan kekuatannya karena telah berpaling dari tradisi liturgi yang kaya dan tulisan-tulisan para bapa Gereja. Jika Gereja Inggris tidak menyadari warisan penerusan kerasulannya, Keble percaya bahwa gereja akan menjadi lemah sehingga memberi peluang bagi para pembangkang Protestan dan Katolik, dan akhirnya akan lenyap.
Keble menerbitkan sekumpulan sajak devosional yang mencerminkan liturgi, dengan harihari para santo dan pesta-pestanya. Sajak-sajak indah dalam The Christian Year's menunjukkan kehangatan yang umumnya dihubungkan dengan Methodis dan para pembangkang lainnya, namun karya itu tetap berada dalam tradisi Anglikan.
Pada tanggal 14 Juli 1833, Keble berkhotbah di Oriel College. Khotbahnya, "Kemurtadan Nasional", menyerang parlemen karena mengurangi jumlah para uskup di gereja Irlandia dengan tuduhan bahwa hal tersebut adalah bukti campur tangan negara dalam urusan Gereja. Gereja yang asalnya ilahi tidak dapat diatur oleh perundang-undangan duniawi.
Kata-kata Keble ini mengawali gerakan Oxford (atau Tractarianism), yang mengupayakan pembaruan dalam Gereja Anglikan dengan mengembalikannya ke berbagai kepercayaan dan praktik awal gereja. Di antara-para pendukung gerakan Oxford terdapat murid-murid Keble, yaitu Richard Froude, John Henry Newman dan Edward Pusey.
Newman mulai menerbitkan Tracts for the Times. Dia, Keble dan Froude menulis sembilan puluh traktat antara tahun 1833 sampai 1841. Selebaran empat halaman itu, yang dijual seharga satu penny selembar, tidak dibubuhi nama penulis, sementara Newman berkeliling Oxordshire menjualnya kepada kaum rohaniwan.
Beberapa traktat telah mendorong Gereja Inggris kembali ke lingkungan Katolik. Meskipun Gereja Anglikan tidak lagi begitu hidup, namun gereja tersebut takut kembali ke Katolikisme, khususnya setelah pencabutan undang-undang tahun 1828, yang menolak hak orang-orang Katolik menduduki jabatan pemerintahan – hak yang ditolak bagi mereka sejak Test Act tahun 1673. Kritik-kritik tentang Traktarianisme memuncak pada tahun 1841, ketika Newman menulis traktat bahwa sakramen bukan hanya baptisan dan komuni. Sebagai tambahan, is juga mengajukan kepercayaan akan purgatory, kehadiran Kristus sesungguhnya dalam Ekaristi dan doa kepada para santo. Uskup Oxford menanggapinya dengan perintah untuk mengakhiri serial traktat itu.
Beberapa rohaniwan Anglikan – Newman di antaranya – membelot ke Katolik, tetapi sebagian bestir dari mereka yang bersimpati pada para penulis Traktat tetap bertahan di Gereja Inggris. Meskipun mereka memuji tradisi-tradisi Gereja, termasuk pakaian rohaniwan dalam kebaktian, kebiasaan berlutut, pengakuan dosa, komuni, wangi kemenyan dan juga kebiaraan, namun banyak yang anti-Katolik. Mereka menginginkan agama yang menyentuh kelima indra, tetapi terutama mereka tidak menginginkan hubungan dengan paus ataupun hierarkinya yang tersebar di seluruh dunia.
Setelah Newman meninggalkan gerakan Oxford pada tahun 1845, gerakan itu berupaya berpegang pada ritual, arsitektur dan musik yang terbaik, dengan menolak aspek-aspek lain Katolikisme. Edward Pusey ketika itu menjadi juru bicara paling fasih dari gerakan tersebut.
Banyak anggota evangelikal menjadi gusar akan praktik-praktik Anglo-Katolik ini. Pada tahun 1846 mereka membentuk Evangelical Alliance (Aliansi Evangelikal). Namun, apa yang berawal sebagai gerakan anti-Traktarian menjadi pembuka jalan untuk menarik para anggota evangelikal ke dalam rekanan nasional. Meskipun mereka menentang ritualisme gerakan
Oxford, para evangelikal tidak dapat membantah bahwa hal itu berpengaruh positif terhadap gereja Anglikan. Daripada memandang diri mereka sendiri sebagai pejabat-pejabat Inggris, para rohaniwan Anglikan yang mendukung gerakan Oxford memandang tradisi kerasulan dengan serius. Daripada hanya mengajarkan moral dalam pelayanan kebaktian mereka, mereka mulai mengembangkan rasa hormat. Sebagai basil perubahan persepsi ini, istilah la-ma high church muncul kembali. Banyak biarawan dan biarawati mulai bekerja dengan si miskin di kota-kota yang industrinya meningkat.
Selain itu, sejumlah penulis-penulis himne (kidung) yang baik berkembang dari dalam gerakan Oxford. Para penulis terdahulu datang dari jajaran pembangkang. Sekarang, Keble, Frederick W. Faber dan John Mason Neale, penerjemah himne Yunani dan Latin yang sudah lama hilang ke dalam syair Inggris, bergabung dengan mereka.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
81) Tahun 1854 Hudson Taylor Tiba di China
Hudson Taylor (1832-1905)
Tak seorang pun tahu ia datang. Hudson Taylor turun dari kapal di Shanghai setelah melalui perjalanan meletihkan, dan tak seorang pun menyambut dia. Karier misionernya yang cemerlang baru dimulai, namun ia tidak mempunyai tempat untuk menginap. Ia tidak dapat berbahasa China dan orang-orang China yang dapat berbahasa Inggris sangat sedikit. Di atas semuanya ini, perang saudara sedang berlangsung – tidak jauh dari kota itu.
Taylor menanyakan tentang beberapa misionaris Barat yang ia ketahui di Konsulat Inggris. Seorang telah meninggal, dan yang lainnya telah pulang. Akhirnya ia menemukan Dr. Walter Medhurst, dari London Missionary Society, dan berencana tinggal bersama dia.
Hal ini bukanlah seperti yang diidamidamkan Taylor. Dibesarkan dalam keluarga Methodis, ia telah mendengar cerita tentang negeri China dari ayahnya yang adalah seorang pengkhotbah. Ia belajar tentang Robert Morrison, seorang Presbiterian Skotlandia yang memulai pelayanan di Guangzhou pada tahun 1807, melakukan penerjemahan bagi para pedagang dan berkhotbah tentang Yesus. Ketika Hudson muda menjadi Kristen, pada usianya yang ketujuh belas, hampir pada saat yang sama ia mengalami panggilannya. Ia mempelajari kedokteran dan teologi, dan mencari tahu tentang daratan China yang luas.
Ketika pemberontakan Taiping pecah pada tahun 1850, mula-mula hal itu tampaknya merupakan kabar baik bagi para misionaris. Pemimpin pemberontak telah dipengaruhi traktat Kristen. Ia bermaksud menghapus penyembahan berhala dan korupsi di China. Ia menamakan gerakannya Taiping, "perdamaian besar". (la juga yakin bahwa ia adalah adik Yesus Kristus, namun keeksentrikan seperti itu pada awalnya tidak jelas.)
Seluruh Inggris menaruh perhatian baru pada China. Suatu badan misi baru, China Evangelization Society (Perkumpulan Evangelisasi China), menerbitkan seruan bagi Para pekerja. Taylor yang tidak disenangi London Missionary Society menawarkan jasanya. Mereka menjemput dia dari sekolah. la berumur dua puluh dua tahun ketika ia mendarat di Shanghai.
Semangat telah mengalahkan kebijaksanaan, sekurang-kurangnya dalam badan misi itu. Benar, mereka telah inenempatkan orangnya di lapangan, namun mereka tidak memberikan petunjuk, tidak memiliki falsafah misi, dan hampir tidak melakukan apa pun untuk merintis jalannya. Mereka juga secara rutin kekurangan dana.
Taylor terpaksa membuat peraturannya sendiri. Salah satunya berkenaan dengan berpakaian seperti orang China. Rekan-rekannya dari Inggris kaget, namun Taylor mempunyai alasan tersendiri. "Saya sangat puas bahwa pakaian adat ini merupakan sarana mutlak bebas," tulisnya. "Menetap dengan tenteram di antara orang-orang itu, mendapatkan komunikasi yang ramah dan tidak tegang dari mereka, menghilangkan prasangka mereka, meraih penghargaan dan kepercayaan mereka, dan hidup sebagai panutan bagi mereka tentang bagaimana seharusnya keberadaan seorang China Kristen, semuanya perlu menggunakan bukan saja pakaian ini, tetapi juga kebiasaan mereka. Kapelkapel yang tampak asing, dan sesungguhnya memberi iklim asing bagi semua yang berkaitan dengan agama, telah menjadi penghalang besar bagi penyebaran kebendran di antara orangorang China. Tetapi mengapa agama Kristen harus diberi aspek asing? Firman Allah tidak membutuhkan itu. Yang kita butuhkan bukan pelepasan (adat) kebangsaan mereka, tetapi pengkristenan mereka."
Para misionaris datang ke negeri tertutup ini, membuntuti kesuksesan para pedagang dan prajurit. Sejak Morrison menjadi penerjemah bagi East India Trading Company (Perusahaan Dagang India Timur), hubungannya sudah dapat diterka. Ketika Inggris Raya melancarkan perang candu yang memalukan — sesungguhnya berperang untuk mempertahankan hak perdagangan candu bagi sutra China — perjanjianperjanjian sepihak menyertakan juga ketetapan istimewa bagi para misionaris. Pesannya cukup jelas: Peradaban kuno China telah dilecehkan oleh mesin-mesin perang modern Eropa — dan orang Eropa membawa serta agama Kristen bersamanya. China justru sedang dijadikan satu lagi koloni bagi kerajaan "Kristen" Inggris.
Taylor harus bergumul dengan sejarah ini. Walau bagaimanapun perjanjian-perjanjian ter
sebut memudahkan bagi seorang misionaris. Namun, perjanjian-perjanjian itu mempersulit hubungan serius dengan masyarakat setempat. Ia berharap dapat mengakhiri mental kolonial dengan mengambil adat setempat.
Dalam tugas enam tahun pertamanya, Taylor bekerja di Shanghai, Swatow dan Ningpo, dengan mempelajari bahasanya, menerjemahkan Alkitab, serta menjalankan sebuah rumah sakit. Ketika itu, ia telah mengundurkan diri dari masyarakat misi dan bekerja secara independen.
Sekembalinya ke Inggris pada tahun 1860, ia mulai antusias dengan misi China. la menulis sebuah buku tentang kebutuhan misi di sana dan dengan rajin mencari misionaris-misionaris baru. Taylor mendirikan China Inland Mission (Misi Pedalaman China) — dan ia bertekad tidak akan berbuat kesalahan-kesalahan seperti badan misi terdahulu. CIM tidak akan mengadakan permohonan langsung untuk dana, tidak akan menjamin gaji bagi pekerja-pekerjanya, namun akan membagi semua pendapatan secara merata. C1M akan mempekerjakan orangorang dari berbagai negara dan dari denominasi yang berbeda, dan juga memberi tugas-tugas misionaris penuh bagi wanita, baik yang sudah bersuami atau belum. Pada waktu itu, hal seperti ini merupakan sesuatu yang radikal. Taylor juga memaksakan agar misionaris CIM mengikuti praktiknya dengan berpakaian China.
Enam bolas misionaris kembali ke Gina bersama-sama Taylor pada tahun 1866. Mereka memulai pekerjaan di daerah-daerah baru, memberitakan Injil kepada mereka yang belum pernah mendengarnya. Dalam waktu singkat, CIM menjadi badan misi terkemuka di China. Menjelang wafatnya Taylor pada tahun 1905, terdapat 205 pangkalan misi, 849 misionaris dan kira-kira 125.000 orang Kristen China.
Hudson Taylor bukanlah misionaris pertama di China. Tetapi penolakannya dengan tenang untuk "menjalankan misi seperti biasa" telah membawa kesuksesan besar baginya di anak benua itu.
Suatu insiden menggambarkan ketulusan hati dan pandangan ke depan yang dikemukakan Taylor pada perkumpulan misinya. CIM, seperti halnya misi-misi lain, kehilangan orang-orang dan hartanya dalam pemberontakan Boxer tahun 1900. Pasukan Inggris terjun lagi, menyelesaikan krisis dan mengenakan denda besar terhadap pemerintah China. Uang ini dipakai untuk mengganti harta misi yang hilang. Tetapi CIM menolak menerima penggantian uang – orang-orang China sendiri telah kehilangan banyak.
Pada tahun-tahun berikutnya, misionaris CIM menemukan bahwa pengabdian mereka untuk berada bersama-sama orang-orang China itu telah berbuat lebih banyak dalam membuka hati mereka pada Kristus daripada perjanjian diplomatik apa pun yang mungkin dicapai. Hudson Taylor telah mengetahui semuanya.
Hudson Taylor (1832-1905)
Tak seorang pun tahu ia datang. Hudson Taylor turun dari kapal di Shanghai setelah melalui perjalanan meletihkan, dan tak seorang pun menyambut dia. Karier misionernya yang cemerlang baru dimulai, namun ia tidak mempunyai tempat untuk menginap. Ia tidak dapat berbahasa China dan orang-orang China yang dapat berbahasa Inggris sangat sedikit. Di atas semuanya ini, perang saudara sedang berlangsung – tidak jauh dari kota itu.
Taylor menanyakan tentang beberapa misionaris Barat yang ia ketahui di Konsulat Inggris. Seorang telah meninggal, dan yang lainnya telah pulang. Akhirnya ia menemukan Dr. Walter Medhurst, dari London Missionary Society, dan berencana tinggal bersama dia.
Hal ini bukanlah seperti yang diidamidamkan Taylor. Dibesarkan dalam keluarga Methodis, ia telah mendengar cerita tentang negeri China dari ayahnya yang adalah seorang pengkhotbah. Ia belajar tentang Robert Morrison, seorang Presbiterian Skotlandia yang memulai pelayanan di Guangzhou pada tahun 1807, melakukan penerjemahan bagi para pedagang dan berkhotbah tentang Yesus. Ketika Hudson muda menjadi Kristen, pada usianya yang ketujuh belas, hampir pada saat yang sama ia mengalami panggilannya. Ia mempelajari kedokteran dan teologi, dan mencari tahu tentang daratan China yang luas.
Ketika pemberontakan Taiping pecah pada tahun 1850, mula-mula hal itu tampaknya merupakan kabar baik bagi para misionaris. Pemimpin pemberontak telah dipengaruhi traktat Kristen. Ia bermaksud menghapus penyembahan berhala dan korupsi di China. Ia menamakan gerakannya Taiping, "perdamaian besar". (la juga yakin bahwa ia adalah adik Yesus Kristus, namun keeksentrikan seperti itu pada awalnya tidak jelas.)
Seluruh Inggris menaruh perhatian baru pada China. Suatu badan misi baru, China Evangelization Society (Perkumpulan Evangelisasi China), menerbitkan seruan bagi Para pekerja. Taylor yang tidak disenangi London Missionary Society menawarkan jasanya. Mereka menjemput dia dari sekolah. la berumur dua puluh dua tahun ketika ia mendarat di Shanghai.
Semangat telah mengalahkan kebijaksanaan, sekurang-kurangnya dalam badan misi itu. Benar, mereka telah inenempatkan orangnya di lapangan, namun mereka tidak memberikan petunjuk, tidak memiliki falsafah misi, dan hampir tidak melakukan apa pun untuk merintis jalannya. Mereka juga secara rutin kekurangan dana.
Taylor terpaksa membuat peraturannya sendiri. Salah satunya berkenaan dengan berpakaian seperti orang China. Rekan-rekannya dari Inggris kaget, namun Taylor mempunyai alasan tersendiri. "Saya sangat puas bahwa pakaian adat ini merupakan sarana mutlak bebas," tulisnya. "Menetap dengan tenteram di antara orang-orang itu, mendapatkan komunikasi yang ramah dan tidak tegang dari mereka, menghilangkan prasangka mereka, meraih penghargaan dan kepercayaan mereka, dan hidup sebagai panutan bagi mereka tentang bagaimana seharusnya keberadaan seorang China Kristen, semuanya perlu menggunakan bukan saja pakaian ini, tetapi juga kebiasaan mereka. Kapelkapel yang tampak asing, dan sesungguhnya memberi iklim asing bagi semua yang berkaitan dengan agama, telah menjadi penghalang besar bagi penyebaran kebendran di antara orangorang China. Tetapi mengapa agama Kristen harus diberi aspek asing? Firman Allah tidak membutuhkan itu. Yang kita butuhkan bukan pelepasan (adat) kebangsaan mereka, tetapi pengkristenan mereka."
Para misionaris datang ke negeri tertutup ini, membuntuti kesuksesan para pedagang dan prajurit. Sejak Morrison menjadi penerjemah bagi East India Trading Company (Perusahaan Dagang India Timur), hubungannya sudah dapat diterka. Ketika Inggris Raya melancarkan perang candu yang memalukan — sesungguhnya berperang untuk mempertahankan hak perdagangan candu bagi sutra China — perjanjianperjanjian sepihak menyertakan juga ketetapan istimewa bagi para misionaris. Pesannya cukup jelas: Peradaban kuno China telah dilecehkan oleh mesin-mesin perang modern Eropa — dan orang Eropa membawa serta agama Kristen bersamanya. China justru sedang dijadikan satu lagi koloni bagi kerajaan "Kristen" Inggris.
Taylor harus bergumul dengan sejarah ini. Walau bagaimanapun perjanjian-perjanjian ter
sebut memudahkan bagi seorang misionaris. Namun, perjanjian-perjanjian itu mempersulit hubungan serius dengan masyarakat setempat. Ia berharap dapat mengakhiri mental kolonial dengan mengambil adat setempat.
Dalam tugas enam tahun pertamanya, Taylor bekerja di Shanghai, Swatow dan Ningpo, dengan mempelajari bahasanya, menerjemahkan Alkitab, serta menjalankan sebuah rumah sakit. Ketika itu, ia telah mengundurkan diri dari masyarakat misi dan bekerja secara independen.
Sekembalinya ke Inggris pada tahun 1860, ia mulai antusias dengan misi China. la menulis sebuah buku tentang kebutuhan misi di sana dan dengan rajin mencari misionaris-misionaris baru. Taylor mendirikan China Inland Mission (Misi Pedalaman China) — dan ia bertekad tidak akan berbuat kesalahan-kesalahan seperti badan misi terdahulu. CIM tidak akan mengadakan permohonan langsung untuk dana, tidak akan menjamin gaji bagi pekerja-pekerjanya, namun akan membagi semua pendapatan secara merata. C1M akan mempekerjakan orangorang dari berbagai negara dan dari denominasi yang berbeda, dan juga memberi tugas-tugas misionaris penuh bagi wanita, baik yang sudah bersuami atau belum. Pada waktu itu, hal seperti ini merupakan sesuatu yang radikal. Taylor juga memaksakan agar misionaris CIM mengikuti praktiknya dengan berpakaian China.
Enam bolas misionaris kembali ke Gina bersama-sama Taylor pada tahun 1866. Mereka memulai pekerjaan di daerah-daerah baru, memberitakan Injil kepada mereka yang belum pernah mendengarnya. Dalam waktu singkat, CIM menjadi badan misi terkemuka di China. Menjelang wafatnya Taylor pada tahun 1905, terdapat 205 pangkalan misi, 849 misionaris dan kira-kira 125.000 orang Kristen China.
Hudson Taylor bukanlah misionaris pertama di China. Tetapi penolakannya dengan tenang untuk "menjalankan misi seperti biasa" telah membawa kesuksesan besar baginya di anak benua itu.
Suatu insiden menggambarkan ketulusan hati dan pandangan ke depan yang dikemukakan Taylor pada perkumpulan misinya. CIM, seperti halnya misi-misi lain, kehilangan orang-orang dan hartanya dalam pemberontakan Boxer tahun 1900. Pasukan Inggris terjun lagi, menyelesaikan krisis dan mengenakan denda besar terhadap pemerintah China. Uang ini dipakai untuk mengganti harta misi yang hilang. Tetapi CIM menolak menerima penggantian uang – orang-orang China sendiri telah kehilangan banyak.
Pada tahun-tahun berikutnya, misionaris CIM menemukan bahwa pengabdian mereka untuk berada bersama-sama orang-orang China itu telah berbuat lebih banyak dalam membuka hati mereka pada Kristus daripada perjanjian diplomatik apa pun yang mungkin dicapai. Hudson Taylor telah mengetahui semuanya.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
82) Tahun 1854 Soren Kierkegaard Menerbitkan Serangan terhadap Kekristenan
Patung Soren Kierkegaard (1813-1855) di Copenhagen, Denmark
Teologi abad kedua puluh mungkin berbeda sekali jika bukan karena seorang wanita muda bernama Regina Olsen. Dia adalah calon mempelai seorang Denmark yang cerdas, Soren Kierkegaard. Pertunangan dan putusnya mereka membuat Soren tergila-gila dengan penulisan falsafah. Karya-karya yang dihasilkannya telah membuat banyak perubahan dalam bentuk pemikiran modern.
Kierkegaard lahir dalam keluarga berada pada tahun 1831. Ayahnya seorang usahawan sukses, dan telah pensiun lebih awal. Sekarang ia gemar mengundang para profesor untuk makan malam dan bertukar pikiran. Soren, yang termuda, adalah "sang Yusuf' di keluarganya. Ayahnya sangat menyenanginya serta mengagumi ketangkasan berpikirnya.
Pada usia tujuh belas, Soren dikirim ke Universitas Kopenhagen. Ayahnya ingin ia menjadi pendeta, tetapi Soren menolaknya. Ini adalah salah satu sebab pertengkarannya dengan sang ayah yang melanjutkan pembiayaan pendidikan Soren dan gaya hidupnya yang boros. Kierkegaard muda menjadi semacam mahasiswa abadi. Ia mencoba memperbaiki hubungan dengan ayahnya, tidak berapa lama sebelum Kierkegaard tua meninggal. Setelah itu Soren melanjutkan pendidikan teologi, meskipun ia tidak pernah ditahbiskan.
Kemudian Regina Olsen menarik perhatiannya. Ia baru berumur belasan tahun, namun Soren memutuskan untuk mendapatkannya. Masalahnya Regina sedang mengincar orang lain. Soren mulai memikat Regina dan keluarganya secara ofensif, yang menyebabkan Regina putus dengan pacarnya, dan akhirnya meminta Regina jadi pasangan hidupnya.
Namun, sekarang Soren tidak menginginkannya lagi. Atau ia memandang dirinya tak berharga bagi Regina. Tampaknya ia mempunyai rahasia yang dalam dan gelap yang menyebabkan ia tidak dapat menikmati keintimannya dengan Regina. Apa yang harus dilakukannya? Jika ia putuskan pertunangannya, hal itu akan mempermalukan Regina. Itu kurang adil. Tetapi jika Regina memutuskannya, adalah lebih baik. Maka Soren berupaya agar Regina terdorong untuk memutuskannya. Ia menjadi pemarah dan tidak ramah. Regina bertahan cukup lama, namun akhirnya ia tidak dapat bertahan lagi.
Seluruh episode ini menjadi beban berat dalam hati Kierkegaard yang memang sudah suram. Ia merupakan penjahat dan korban dari kejahatannya sendiri. Ia mulai menggores serangkaian tulisan filsafat, mempertanyakan anggapan pada masanya. Semuanya diterbitkan dengan nama samaran. Kemudian ia menerbitkan buku dengan namanya sendiri, yang merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Salah satu dari yang pertama – Either/Or – dipuji oleh The Corsair, sebuah jurnal sindiran yang jarang memuji apa pun. Kierkegaard merasa malu dengan sindiran itu dan meminta jurnal itu menariknya. The Corsair hanya mengejek dia dan terus mempermalukan Kierkegaard di muka umum.
Hal ini tambah mengasingkan filsuf yang sudah kesepian itu. Kegagalan dengan Regina Olsen telah menodai namanya di masyarakat, dan sekarang The Corsair menjelekkannya di muka umum.
Namun, ia melanjutkan tulisannya dengan mengalihkan perhatiannya ke tema-tema keagamaan. Bagaimana seseorang dapat menjadi Kristen sejati dalam dunia yang telah terpuruk ini? Jawabannya tidak menunjukkan harapan. Ia tidak menaruh harapan pada sistem-sistem ataupun lembaga-lembaga pada zamannya. Hanya mujizat Tuhan yang dapat menyelamatkan kita, tegasnya.
Ia belum berupaya menyerang gereja yang teroganisasi, namun dalam benaknya ia sudah mengarah ke sana. Gereja Denmark pada waktu itu cukup mewah dan teratur, serta merupakan pemelihara upacara dan teologi Lutheran yang baik. Namun, Kierkegaard tidak melihat kehidupan di dalamnya. Mungkin karena takut ke mana tulisannya akan mengarah, Kierkegaard berhenti menulis pada tahun 1850.
Kematian temannya J. P. Mynster, uskup Zealand, menggerakkan dia kembali menulis. Mynster, dengan caranya sendiri, telah berupaya mendorong Gereja Denmark dengan hasil yang terbatas. Kierkegaard mengambil kesempatan untuk mengkritik gereja habis-habisan karena mengabaikan ajaran Kristus yang benar,
karena perhatiannya pada bentuk dan sistem filsafatnya, dan karena pemujaan terhadap uang serta kekuasaan. Antara Desember 1854 sampai Mei 1855, ia menerbitkan 21 karangan dalam harian The Fatherland dan kemudian dalam jurnalnya sendiri.
Pada bulan Oktober 1855, Kierkegaard diserang stroke dan meninggal sebulan kemudian.
Tulisan-tulisannya mempengaruhi beberapa pemikir ulung abad kesembilan belas, namun pengaruh terbesarnya belum muncul hingga waktu yang lama di kemudian hari. Kierkegaard telah dielu-elukan sebagai Bapak "Eksistensialisme", yang meraih ketenarannya pada abad kedua puluh. Para ahli filsafat dan teolog mengembangkan pemikirannya dengan berbagai cara, ada yang mungkin membuat Kierkegaard marah dan yang lain mungkin ia setujui.
Kierkegaard berjasa bagi banyak unsur subjektivitas dalam pemikiran teologi modern, tetapi subjektivitas itu datang dari kerendahan hati. Ia berkesimpulan bahwa Allah bukanlah Benda yang secara ilmiah dapat dibedah dan dianalisis. Ia adalah Keberadaan (Being) yang hidup dan bertindak, yang berhadapan dengan kita untuk menyelamatkan kita.
Bukan hanya kita sebagai manusia seperti kepingan-kepingan teka-teki, kita juga adalah keberadaan, seru Kierkegaard, dengan kemauan, harapan dan kesedihan. Kierkegaard memerangi sistem yang abstrak — apakah itu filsafat ataupun keagamaan — yang mencari semacam Kebenaran yang abstrak. la menegaskan bahwa agama harus mengajar bagaimana kita harus hidup.
Pemikir Denmark ini putus asa dengan tidak sanggupnya kita sebagai manusia menghampiri Allah dengan akal. Akal kita hanya membawa kita jauh dan kemudian kita melompat ke dalam kegelapan, dengan keyakinan bahwa Allah akan menemui kita di sana. Lompatan ini membutuhkan komitmen penuh, penolakan terhadap nilai-nilai duniawi dan kadang-kadang terhadap nilai-nilai gereja.
Mengikuti saat-saat Pencerahan, keputusasaan Kierkegaard sungguh mengejutkan bagi orang pada masanya. Namun, pemikiran Kierkegaard mengantisipasi Revolusi Industri yang tidak manusiawi serta kebangkitan dan kejatuhan Modernisme. Orang Denmark yang agung ini telah mendahului satu abad dari zamannya.
Patung Soren Kierkegaard (1813-1855) di Copenhagen, Denmark
Teologi abad kedua puluh mungkin berbeda sekali jika bukan karena seorang wanita muda bernama Regina Olsen. Dia adalah calon mempelai seorang Denmark yang cerdas, Soren Kierkegaard. Pertunangan dan putusnya mereka membuat Soren tergila-gila dengan penulisan falsafah. Karya-karya yang dihasilkannya telah membuat banyak perubahan dalam bentuk pemikiran modern.
Kierkegaard lahir dalam keluarga berada pada tahun 1831. Ayahnya seorang usahawan sukses, dan telah pensiun lebih awal. Sekarang ia gemar mengundang para profesor untuk makan malam dan bertukar pikiran. Soren, yang termuda, adalah "sang Yusuf' di keluarganya. Ayahnya sangat menyenanginya serta mengagumi ketangkasan berpikirnya.
Pada usia tujuh belas, Soren dikirim ke Universitas Kopenhagen. Ayahnya ingin ia menjadi pendeta, tetapi Soren menolaknya. Ini adalah salah satu sebab pertengkarannya dengan sang ayah yang melanjutkan pembiayaan pendidikan Soren dan gaya hidupnya yang boros. Kierkegaard muda menjadi semacam mahasiswa abadi. Ia mencoba memperbaiki hubungan dengan ayahnya, tidak berapa lama sebelum Kierkegaard tua meninggal. Setelah itu Soren melanjutkan pendidikan teologi, meskipun ia tidak pernah ditahbiskan.
Kemudian Regina Olsen menarik perhatiannya. Ia baru berumur belasan tahun, namun Soren memutuskan untuk mendapatkannya. Masalahnya Regina sedang mengincar orang lain. Soren mulai memikat Regina dan keluarganya secara ofensif, yang menyebabkan Regina putus dengan pacarnya, dan akhirnya meminta Regina jadi pasangan hidupnya.
Namun, sekarang Soren tidak menginginkannya lagi. Atau ia memandang dirinya tak berharga bagi Regina. Tampaknya ia mempunyai rahasia yang dalam dan gelap yang menyebabkan ia tidak dapat menikmati keintimannya dengan Regina. Apa yang harus dilakukannya? Jika ia putuskan pertunangannya, hal itu akan mempermalukan Regina. Itu kurang adil. Tetapi jika Regina memutuskannya, adalah lebih baik. Maka Soren berupaya agar Regina terdorong untuk memutuskannya. Ia menjadi pemarah dan tidak ramah. Regina bertahan cukup lama, namun akhirnya ia tidak dapat bertahan lagi.
Seluruh episode ini menjadi beban berat dalam hati Kierkegaard yang memang sudah suram. Ia merupakan penjahat dan korban dari kejahatannya sendiri. Ia mulai menggores serangkaian tulisan filsafat, mempertanyakan anggapan pada masanya. Semuanya diterbitkan dengan nama samaran. Kemudian ia menerbitkan buku dengan namanya sendiri, yang merupakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Salah satu dari yang pertama – Either/Or – dipuji oleh The Corsair, sebuah jurnal sindiran yang jarang memuji apa pun. Kierkegaard merasa malu dengan sindiran itu dan meminta jurnal itu menariknya. The Corsair hanya mengejek dia dan terus mempermalukan Kierkegaard di muka umum.
Hal ini tambah mengasingkan filsuf yang sudah kesepian itu. Kegagalan dengan Regina Olsen telah menodai namanya di masyarakat, dan sekarang The Corsair menjelekkannya di muka umum.
Namun, ia melanjutkan tulisannya dengan mengalihkan perhatiannya ke tema-tema keagamaan. Bagaimana seseorang dapat menjadi Kristen sejati dalam dunia yang telah terpuruk ini? Jawabannya tidak menunjukkan harapan. Ia tidak menaruh harapan pada sistem-sistem ataupun lembaga-lembaga pada zamannya. Hanya mujizat Tuhan yang dapat menyelamatkan kita, tegasnya.
Ia belum berupaya menyerang gereja yang teroganisasi, namun dalam benaknya ia sudah mengarah ke sana. Gereja Denmark pada waktu itu cukup mewah dan teratur, serta merupakan pemelihara upacara dan teologi Lutheran yang baik. Namun, Kierkegaard tidak melihat kehidupan di dalamnya. Mungkin karena takut ke mana tulisannya akan mengarah, Kierkegaard berhenti menulis pada tahun 1850.
Kematian temannya J. P. Mynster, uskup Zealand, menggerakkan dia kembali menulis. Mynster, dengan caranya sendiri, telah berupaya mendorong Gereja Denmark dengan hasil yang terbatas. Kierkegaard mengambil kesempatan untuk mengkritik gereja habis-habisan karena mengabaikan ajaran Kristus yang benar,
karena perhatiannya pada bentuk dan sistem filsafatnya, dan karena pemujaan terhadap uang serta kekuasaan. Antara Desember 1854 sampai Mei 1855, ia menerbitkan 21 karangan dalam harian The Fatherland dan kemudian dalam jurnalnya sendiri.
Pada bulan Oktober 1855, Kierkegaard diserang stroke dan meninggal sebulan kemudian.
Tulisan-tulisannya mempengaruhi beberapa pemikir ulung abad kesembilan belas, namun pengaruh terbesarnya belum muncul hingga waktu yang lama di kemudian hari. Kierkegaard telah dielu-elukan sebagai Bapak "Eksistensialisme", yang meraih ketenarannya pada abad kedua puluh. Para ahli filsafat dan teolog mengembangkan pemikirannya dengan berbagai cara, ada yang mungkin membuat Kierkegaard marah dan yang lain mungkin ia setujui.
Kierkegaard berjasa bagi banyak unsur subjektivitas dalam pemikiran teologi modern, tetapi subjektivitas itu datang dari kerendahan hati. Ia berkesimpulan bahwa Allah bukanlah Benda yang secara ilmiah dapat dibedah dan dianalisis. Ia adalah Keberadaan (Being) yang hidup dan bertindak, yang berhadapan dengan kita untuk menyelamatkan kita.
Bukan hanya kita sebagai manusia seperti kepingan-kepingan teka-teki, kita juga adalah keberadaan, seru Kierkegaard, dengan kemauan, harapan dan kesedihan. Kierkegaard memerangi sistem yang abstrak — apakah itu filsafat ataupun keagamaan — yang mencari semacam Kebenaran yang abstrak. la menegaskan bahwa agama harus mengajar bagaimana kita harus hidup.
Pemikir Denmark ini putus asa dengan tidak sanggupnya kita sebagai manusia menghampiri Allah dengan akal. Akal kita hanya membawa kita jauh dan kemudian kita melompat ke dalam kegelapan, dengan keyakinan bahwa Allah akan menemui kita di sana. Lompatan ini membutuhkan komitmen penuh, penolakan terhadap nilai-nilai duniawi dan kadang-kadang terhadap nilai-nilai gereja.
Mengikuti saat-saat Pencerahan, keputusasaan Kierkegaard sungguh mengejutkan bagi orang pada masanya. Namun, pemikiran Kierkegaard mengantisipasi Revolusi Industri yang tidak manusiawi serta kebangkitan dan kejatuhan Modernisme. Orang Denmark yang agung ini telah mendahului satu abad dari zamannya.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
83) Tahun 1854 Charles Haddon Spurgeon Menjadi Imam di London
Charles Haddon Spurgeon (1834 - 1892)
"Tentunya itu suatu kekeliruan."
Itulah yang dipikirkan Charles Spurgeon ketika dia diminta berkhotbah di Kapel New Park
Street, di London. Tempat itu adalah gereja yang bergengsi, dengan bangunan tua yang indah, dan Spurgeon saat itu baru berumur Sembilan belas tahun.
Namun, sama sekali tidak ada kekeliruan, karena setelah Spurgeon bicara, ia diundang untuk menjadi pendeta gereja tersebut. Ia memegang jabatan itu selama hampir empat dekade.
Spurgeon hampir bukan merupakan tipe orang yang menyadari kelasnya dalam masyarakat London. la dilahirkan di kalangan Huguenot, di suatu pedesaan di Essex. Ia tinggal dengan kakek dan neneknya ketika ia masih kecil, karena orangtuanya terlalu miskin untuk merawat dia. Nenek dan ayahnya adalah pendeta Kongregasionalis, tetapi Charles masuk ke sekolah pertanian – meskipun hanya untuk beberapa bulan.
Bergumul dengan kebutuhan jiwanya, Spurgeon bertekad pergi ke gereja pada hari Minggu pertama tahun 1850. Topan salju menghambat kepergiannya ke gereja sesuai rencananya, namun ia berhenti di sebuah kapel Methodic Primitif terdekat. Pembicaranya bodoh, seperti yang diingat Spurgeon, tetapi hal itu merupakan tantangan bagi Charles muda ini. Akibatnya, Charles Spurgeon menjadi Kristen dalam usia enam belas tahun.
Tidak lama kemudian, Spurgeon menyadari bahwa ia mempunyai bakat berbicara. Pada tahun 1852 ia menjadi gembala sebuah gereja Baptis kecil di Waterbeach. Daerah itu sungguh rawan dan orang-orangnya terkenal pemabuk. Spurgeon mengembangkan gaya langsung. Para pendengarnya tidak akan betah dengan keterangan-keterangan teologi yang menggunakan kata-kata indah, oleh sebab itu ia memberitakan kepada mereka apa yang dikatakan dalam Alkitab. Berita tentang "pengkhotbah muda" ini telah tersebar di Waterbeach. Itulah waktunya ketika sidang Kapel New Park Street memutuskan memberi dia kesempatan.
Gereja itu pernah mempunyai sejarah yang dapat dibanggakan, tetapi jatuh pada masa-masa kesukaran. Gedung yang indah itu dapat menampung lebih dari seribu orang, namun akhirakhir itu untuk mengumpulkan seratus orang saja sudah sulit bagi sidang di sana. Delapan puluh orang menghadiri pelayanan pembukaan Spurgeon. Mungkin pengkhotbah muda ini dapat melakukan sesuatu.
Ia melakukannya. Gaya langsungnya membuat para warga London mengakui kata-katanya. Pengunjung kebaktian pun menjamur. Tidak lama kemudian gedung kuno itu penuh sesak. Gereja tersebut terpaksa harus menyewa gedung pertemuan Exeter Hall yang menampung 4.500 orang.
Pertumbuhan cepat seperti ini menarik perhatian pers London, yang pemberitaannya ten-tang pengkhotbah baru itu tidak selalu menyenangkan. "Semua pidatonya berbau busuk dan vulgar," tulis sebuah harian. Harian lain menyebut "Gaya seperti itu berasal dari bahasa pasaran yang vulgar, diselingi gaya yang kasar.... Semua misteri khidmat agama kita yang suci olehnya diperlakukan dengan kasar. Inilah khotbah yang didengar 5.000 orang".
Jumlah itu menjadi 10.000 – dan lebih. Dalam waktu singkat gedung pertemuan itu sudah tidak sanggup menampung para pendengar Spurgeon. Gereja menyewa gedung Surrey Music Hall yang berkapasitas 12.000 tempat duduk dan penuh juga, sementara 10.000 orang lagi menunggu di luar. Malangnya, upacara pembukaan di sana membawa bencana. Beberapa perusuh berteriak "kebakaran"! Dalam kepanikan, tujuh orang meninggal dunia dan 27 orang luka parah. Dengan insiden ini pun keberadaan Spurgeon belum disukai pers London.
Akan tetapi pada tahun 1860-an, kegairahan baru akan evangelikal bangkit di Inggris, dan Spurgeon berada di tengah-tengahnya. Para ahli sejarah menyebutnya Kebangkitan Evangelikal Kedua. Para pengkhotbah lain, seperti Alexander Maclaren di Manchester dan John Clifford di London, juga menarik massa. Menjelang 1861, Kapel New Park Street telah membangun fasilitas baru, Metropolitan Tabernacle, yang memuat 6.000 pengunjung. Pelayanan Spurgeon baru berawal. Ia menerbitkan khotbah-khotbahnya serta ulasan-ulasan dan buku-buku renungan – seluruhnya 140 buah buku, semasa hidupnya. Ia mendirikan sekolah pendeta dan panti asuhan Stockwell yang mengasuh 500 anak. Ia menjadi presiden perkumpulan pembagi Alkitab. Ia berkhotbah di mana saja dan kapan saja.
Gaya Spurgeon mungkin sederhana dan langsung, namun ia bukanlah seorang teolog. Ia adalah seorang Baptis Calvinistik. Bagaimanapun, perpaduan tradisi ini telah membantu membawa struktur Calvinisme ke agama kelas bawah dan menyajikan iman Baptis pada gereja-gereja kelas atas.
Bakatnya adalah berkomunikasi. Dengan membaca karya-karyanya sekarang, kita menemukan kekuatan modern di dalamnya. Ingatlah bahwa ia hidup pada zaman bergaya: Apa yang Anda katakan tidaklah selalu begitu penting daripada bagaimana Anda menyampaikannya. Namun Spurgeon tidak mempunyai waktu untuk berbasa-basi dengan sopan. Ia menggunakan gambaran kuat dan pilihan kata-kata untuk menyampaikan maksudnya secara langsung. Dalam melakukan hal itu, ia telah memberikan contoh bagi para pengkhotbah yang akan datang. Karya-karya tulis "pangeran pengkhotbah ini" sampai hari ini terjual luas.
Charles Haddon Spurgeon (1834 - 1892)
"Tentunya itu suatu kekeliruan."
Itulah yang dipikirkan Charles Spurgeon ketika dia diminta berkhotbah di Kapel New Park
Street, di London. Tempat itu adalah gereja yang bergengsi, dengan bangunan tua yang indah, dan Spurgeon saat itu baru berumur Sembilan belas tahun.
Namun, sama sekali tidak ada kekeliruan, karena setelah Spurgeon bicara, ia diundang untuk menjadi pendeta gereja tersebut. Ia memegang jabatan itu selama hampir empat dekade.
Spurgeon hampir bukan merupakan tipe orang yang menyadari kelasnya dalam masyarakat London. la dilahirkan di kalangan Huguenot, di suatu pedesaan di Essex. Ia tinggal dengan kakek dan neneknya ketika ia masih kecil, karena orangtuanya terlalu miskin untuk merawat dia. Nenek dan ayahnya adalah pendeta Kongregasionalis, tetapi Charles masuk ke sekolah pertanian – meskipun hanya untuk beberapa bulan.
Bergumul dengan kebutuhan jiwanya, Spurgeon bertekad pergi ke gereja pada hari Minggu pertama tahun 1850. Topan salju menghambat kepergiannya ke gereja sesuai rencananya, namun ia berhenti di sebuah kapel Methodic Primitif terdekat. Pembicaranya bodoh, seperti yang diingat Spurgeon, tetapi hal itu merupakan tantangan bagi Charles muda ini. Akibatnya, Charles Spurgeon menjadi Kristen dalam usia enam belas tahun.
Tidak lama kemudian, Spurgeon menyadari bahwa ia mempunyai bakat berbicara. Pada tahun 1852 ia menjadi gembala sebuah gereja Baptis kecil di Waterbeach. Daerah itu sungguh rawan dan orang-orangnya terkenal pemabuk. Spurgeon mengembangkan gaya langsung. Para pendengarnya tidak akan betah dengan keterangan-keterangan teologi yang menggunakan kata-kata indah, oleh sebab itu ia memberitakan kepada mereka apa yang dikatakan dalam Alkitab. Berita tentang "pengkhotbah muda" ini telah tersebar di Waterbeach. Itulah waktunya ketika sidang Kapel New Park Street memutuskan memberi dia kesempatan.
Gereja itu pernah mempunyai sejarah yang dapat dibanggakan, tetapi jatuh pada masa-masa kesukaran. Gedung yang indah itu dapat menampung lebih dari seribu orang, namun akhirakhir itu untuk mengumpulkan seratus orang saja sudah sulit bagi sidang di sana. Delapan puluh orang menghadiri pelayanan pembukaan Spurgeon. Mungkin pengkhotbah muda ini dapat melakukan sesuatu.
Ia melakukannya. Gaya langsungnya membuat para warga London mengakui kata-katanya. Pengunjung kebaktian pun menjamur. Tidak lama kemudian gedung kuno itu penuh sesak. Gereja tersebut terpaksa harus menyewa gedung pertemuan Exeter Hall yang menampung 4.500 orang.
Pertumbuhan cepat seperti ini menarik perhatian pers London, yang pemberitaannya ten-tang pengkhotbah baru itu tidak selalu menyenangkan. "Semua pidatonya berbau busuk dan vulgar," tulis sebuah harian. Harian lain menyebut "Gaya seperti itu berasal dari bahasa pasaran yang vulgar, diselingi gaya yang kasar.... Semua misteri khidmat agama kita yang suci olehnya diperlakukan dengan kasar. Inilah khotbah yang didengar 5.000 orang".
Jumlah itu menjadi 10.000 – dan lebih. Dalam waktu singkat gedung pertemuan itu sudah tidak sanggup menampung para pendengar Spurgeon. Gereja menyewa gedung Surrey Music Hall yang berkapasitas 12.000 tempat duduk dan penuh juga, sementara 10.000 orang lagi menunggu di luar. Malangnya, upacara pembukaan di sana membawa bencana. Beberapa perusuh berteriak "kebakaran"! Dalam kepanikan, tujuh orang meninggal dunia dan 27 orang luka parah. Dengan insiden ini pun keberadaan Spurgeon belum disukai pers London.
Akan tetapi pada tahun 1860-an, kegairahan baru akan evangelikal bangkit di Inggris, dan Spurgeon berada di tengah-tengahnya. Para ahli sejarah menyebutnya Kebangkitan Evangelikal Kedua. Para pengkhotbah lain, seperti Alexander Maclaren di Manchester dan John Clifford di London, juga menarik massa. Menjelang 1861, Kapel New Park Street telah membangun fasilitas baru, Metropolitan Tabernacle, yang memuat 6.000 pengunjung. Pelayanan Spurgeon baru berawal. Ia menerbitkan khotbah-khotbahnya serta ulasan-ulasan dan buku-buku renungan – seluruhnya 140 buah buku, semasa hidupnya. Ia mendirikan sekolah pendeta dan panti asuhan Stockwell yang mengasuh 500 anak. Ia menjadi presiden perkumpulan pembagi Alkitab. Ia berkhotbah di mana saja dan kapan saja.
Gaya Spurgeon mungkin sederhana dan langsung, namun ia bukanlah seorang teolog. Ia adalah seorang Baptis Calvinistik. Bagaimanapun, perpaduan tradisi ini telah membantu membawa struktur Calvinisme ke agama kelas bawah dan menyajikan iman Baptis pada gereja-gereja kelas atas.
Bakatnya adalah berkomunikasi. Dengan membaca karya-karyanya sekarang, kita menemukan kekuatan modern di dalamnya. Ingatlah bahwa ia hidup pada zaman bergaya: Apa yang Anda katakan tidaklah selalu begitu penting daripada bagaimana Anda menyampaikannya. Namun Spurgeon tidak mempunyai waktu untuk berbasa-basi dengan sopan. Ia menggunakan gambaran kuat dan pilihan kata-kata untuk menyampaikan maksudnya secara langsung. Dalam melakukan hal itu, ia telah memberikan contoh bagi para pengkhotbah yang akan datang. Karya-karya tulis "pangeran pengkhotbah ini" sampai hari ini terjual luas.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
84) Tahun 1855 Pertobatan Dwight L. Moody
Dwight L. Moody (1837-1899)
Ketika berumur tujuh belas tahun, ia berupaya ke kota besar, Boston. Setelah menjelajahi kota itu berminggu-minggu lamanya, ia menemukan pekerjaan sebagai penjual sepatu di toko pamannya. Ia tinggal di lantai atas. "Saya mendapat kamar di lantai tiga," tulisnya, "saya dapat membuka jendela serta ada tiga buah bangunan yang penuh dengan gadis-gadis tercantik di kota ini – mereka mengoceh seperti burung kakak tua."
Satu dari sembilan orang anak yang dibesarkan oleh seorang janda di pedalaman Northfield, Massachusetts, Dwight L. Moody, tidak pernah mendapatkan pendidikan tinggi, tetapi ia mempunyai cita-cita dan tekad. Namun, Boston tidak ramah kepadanya. "Jika seseorang ingin merasakan bahwa ia seorang diri di dunia ini," tulis Moody, "ia tidak perlu pergi ke hutan tempat ia akan mendapati dirinya sendiri sebagai teman, tetapi biarlah ia pergi ke salah satu kota-kota besar ini, dan biarlah dia melewati jalanan yang ada dan ia akan bertemu ribuan orang dan tidak satu pun yang tabu atau mengenal dia."
"Saya ingat ketika saya pergi ke kota itu dan mencari pekerjaan, lalu gagal. Tampaknya seperti ada tempat bagi orang lain di dunia ini tetapi tidak untuk saya. Selama dua hari saya dihinggapi perasaan mengerikan bahwa saya tidak diingini oleh siapa pun."
Moody mendengarkan pidato para abolisionis di Faneuil Hall yang letaknya tidak jauh. Ia bergabung dengan YMCA, sebuah organisasi yang baru saja diimpor dari Inggris, dan ia mulai mengunjungi Mt. Vernon Congregational Church (Gereja Kongregasional Mt. Vernon) untuk mendengarkan khotbah Edward Norris Kirk yang terkenal itu.
Ia menemukan khotbahnya berbobot dan meluap-luap; begitu meluap-luapnya sehingga kadang-kadang ia tertidur. "Seorang mahasiswa muda dari Harvard menyikut saya, dan saya bangun sambil mengusap-usap mata. Saya menatap sang gembala, yang melihat dan memperhatikan. Saya pikir ia sedang berkhotbah langsung kepada saya. Saya berkata kepada diri sendiri, siapa yang mengatakan tentang saya pada Dr. Kirk? ... Pada penutupannya ... saya tank kerah jas saya dan keluar secepat mungkin."
Guru sekolah Minggunya, Edward Kimball, mengamati jejak Moody, dan mendesak dia kembali ke gereja apabila ia mangkir. Ia juga menantang Moody membaca Alkitab secara teratur; Moody mencoba membaca tetapi tidak dapat mengerti. "Tidak banyak orang yang pernah saya lihat yang benaknya secara spiritual lebih gelap daripada benak dia ketika dia masuk ke kelas saya," tulis Kimball di kemudian hari.
Pada tanggal 21 April 1855, Kimball merasakan bahwa sudah waktunya menganjurkan Moody berjanji kepada Kristus. Ia menuju ke toko sepatu, berubah pikiran, dan jalan melewati toko itu, kemudian kembali terburu-buru, serta masuk ke toko itu. Ia menemukan Moody sedang membungkus dan menyemir sepatu. Orang muda itu sudah siap mendengarkannya. Pada hari itu juga D.L. Moody menjadi Kristen.
Moody membutuhkan waktu untuk mengerti implikasi dari iman kepercayaannya itu. Sesungguhnya ia ditolak menjadi anggota gereja karena ia gagal dalam ujian masuk – ia tidak dapat menjelaskan apa yang telah dilakukan Kristus baginya. Tetapi hatinya berubah. Ia tidak malu menjadi orang Kristen dan terus-menerus mempelajari keyakinannya.
Tidak lama kemudian ia merasa jenuh dengan Boston dan memboyong cita-citanya ke barat, ke Chicago. Sikap lantangnya lebih diterima di sana, dan ia berhasil dalam penjualan sepatunya. Ia juga terlibat dalam berbagai upaya penginjilan. Suatu ketika ia mengembara dalam suatu misi di North Wells Street dan bertanya apakah ia dapat diterima mengajar sekolah Minggu. Jawaban yang diterima adalah bahwa misi di situ punya cukup banyak guru, namun murid-muridnya tidak ada. Jika ia dapat mengumpulkan murid-murid, maka ia dapat mengajar mereka. Hal ini bukanlah masalah bagi Moody yang memiliki keterampilan penjualan. Tidak lama kemudian ia mengajar sejumlah anak jalanan.
Memasuki tahun 1861 ia sudah bekerja penuh waktu dalam pelayanan, baik di sekolah Minggunya maupun YMCA. la mendapat dukungan dari pengusaha setempat seperti John Farwell dan Cyrus McCormick. Pada tahun 1864, misinya menjadi sebuah gereja.
Menjelang tahun 1871 pelayanan Moody di Chicago sudah nyaman, aman, dan bertumbuh. Ia pernah berpikir mengadakan perjalanan sebagai penginjil, tetapi mengapa harus meninggalkan keadaan yang sehat seperti itu? Bagaimanapun kebakaran besar di Chicago telah mengubah pikirannya. Gereja, rumah dan YMCA semuanya telah menjadi abu, sama nasibnya dengan usaha-usaha para pendukung terbaiknya. Karena sukar mengumpulkan dana dari kota-kota lain untuk membangun kembali pelayanan Chicago itu, Moody pun mulai berkelana.
Pada tahun 1873 ia berangkat ke Inggris. Pertemuan-pertemuan penginjilannya bagaikan badai bagi Kepulauan Britania. Setelah dua tahun ia kembali ke Amerika Serikat sebagai seorang selebriti bertaraf internasional. Ia diundang berkhotbah di banyak kota di Amerika.
Sambil membangun tradisi revivalis yang didirikan Charles Finney, Moody membawa penginjilan ke zaman industri. la mengkhotbahkan Injil yang sederhana, bebas dari bermacammacam denominasi. Hal itu memperbesar daya tarik serta dukungannya. Ia bersekutu dengan para pengusaha. Merekalah para pemimpin generasi baru, bukan para pengkhotbah. Ia menekankan supaya mereka menggunakan harta mereka untuk hal-hal baik seperti peduli kepada orang-orang miskin perkotaan. Moody menerapkan teknik usahanya pada perencanaan penginjilannya. Musik, konseling dan follow-upnya adalah bagian-bagian dari pendekatan terorganisasi untuk mengambil hati orang.
Pada tahun 1879, Moody mengalihkan perhatiannya kepada pendidikan dengan mendirikan Northfield Seminary bagi para gadis, dan kemudian Mount Hermon School bagi anakanak lelaki. Ia memulai konferensi-konferensi Alkitab musim panas dan sebuah institut Alkitab yang sekarang memakai namanya. Pada awalnya, ia takut bersaing dengan seminariseminari yang ada, tetapi ia melihat kebutuhan yang lebih besar untuk latihan-latihan praktik dalam pelayanan. Bukannya tren liberal di seminari Amerika yang menjadi masalah baginya, tetapi pengasingan seminari-seminari itu dari orang banyak. la bermaksud melatih para komunikator yang akan membawa firman Allah yang sederhana kepada mereka yang membutuhkannya.
Cara-cara praktis ini telah berlanjut dalam lingkungan yang menyandang namanya. Moody Bible Institute, umpamanya, terus melatih para pendeta, misionaris dan pekerja gereja lainnya. Namun pengaruh Moody telah melampaui halhal itu. Ia merupakan pendahulu bagi para penginjil seperti Billy Sunday dan Billy Graham. Aspek sosial penginjilannya juga telah mengilhami komitmen yang dalam pada pelayanan sosial di kalangan evangelikal.
Dwight L. Moody (1837-1899)
Ketika berumur tujuh belas tahun, ia berupaya ke kota besar, Boston. Setelah menjelajahi kota itu berminggu-minggu lamanya, ia menemukan pekerjaan sebagai penjual sepatu di toko pamannya. Ia tinggal di lantai atas. "Saya mendapat kamar di lantai tiga," tulisnya, "saya dapat membuka jendela serta ada tiga buah bangunan yang penuh dengan gadis-gadis tercantik di kota ini – mereka mengoceh seperti burung kakak tua."
Satu dari sembilan orang anak yang dibesarkan oleh seorang janda di pedalaman Northfield, Massachusetts, Dwight L. Moody, tidak pernah mendapatkan pendidikan tinggi, tetapi ia mempunyai cita-cita dan tekad. Namun, Boston tidak ramah kepadanya. "Jika seseorang ingin merasakan bahwa ia seorang diri di dunia ini," tulis Moody, "ia tidak perlu pergi ke hutan tempat ia akan mendapati dirinya sendiri sebagai teman, tetapi biarlah ia pergi ke salah satu kota-kota besar ini, dan biarlah dia melewati jalanan yang ada dan ia akan bertemu ribuan orang dan tidak satu pun yang tabu atau mengenal dia."
"Saya ingat ketika saya pergi ke kota itu dan mencari pekerjaan, lalu gagal. Tampaknya seperti ada tempat bagi orang lain di dunia ini tetapi tidak untuk saya. Selama dua hari saya dihinggapi perasaan mengerikan bahwa saya tidak diingini oleh siapa pun."
Moody mendengarkan pidato para abolisionis di Faneuil Hall yang letaknya tidak jauh. Ia bergabung dengan YMCA, sebuah organisasi yang baru saja diimpor dari Inggris, dan ia mulai mengunjungi Mt. Vernon Congregational Church (Gereja Kongregasional Mt. Vernon) untuk mendengarkan khotbah Edward Norris Kirk yang terkenal itu.
Ia menemukan khotbahnya berbobot dan meluap-luap; begitu meluap-luapnya sehingga kadang-kadang ia tertidur. "Seorang mahasiswa muda dari Harvard menyikut saya, dan saya bangun sambil mengusap-usap mata. Saya menatap sang gembala, yang melihat dan memperhatikan. Saya pikir ia sedang berkhotbah langsung kepada saya. Saya berkata kepada diri sendiri, siapa yang mengatakan tentang saya pada Dr. Kirk? ... Pada penutupannya ... saya tank kerah jas saya dan keluar secepat mungkin."
Guru sekolah Minggunya, Edward Kimball, mengamati jejak Moody, dan mendesak dia kembali ke gereja apabila ia mangkir. Ia juga menantang Moody membaca Alkitab secara teratur; Moody mencoba membaca tetapi tidak dapat mengerti. "Tidak banyak orang yang pernah saya lihat yang benaknya secara spiritual lebih gelap daripada benak dia ketika dia masuk ke kelas saya," tulis Kimball di kemudian hari.
Pada tanggal 21 April 1855, Kimball merasakan bahwa sudah waktunya menganjurkan Moody berjanji kepada Kristus. Ia menuju ke toko sepatu, berubah pikiran, dan jalan melewati toko itu, kemudian kembali terburu-buru, serta masuk ke toko itu. Ia menemukan Moody sedang membungkus dan menyemir sepatu. Orang muda itu sudah siap mendengarkannya. Pada hari itu juga D.L. Moody menjadi Kristen.
Moody membutuhkan waktu untuk mengerti implikasi dari iman kepercayaannya itu. Sesungguhnya ia ditolak menjadi anggota gereja karena ia gagal dalam ujian masuk – ia tidak dapat menjelaskan apa yang telah dilakukan Kristus baginya. Tetapi hatinya berubah. Ia tidak malu menjadi orang Kristen dan terus-menerus mempelajari keyakinannya.
Tidak lama kemudian ia merasa jenuh dengan Boston dan memboyong cita-citanya ke barat, ke Chicago. Sikap lantangnya lebih diterima di sana, dan ia berhasil dalam penjualan sepatunya. Ia juga terlibat dalam berbagai upaya penginjilan. Suatu ketika ia mengembara dalam suatu misi di North Wells Street dan bertanya apakah ia dapat diterima mengajar sekolah Minggu. Jawaban yang diterima adalah bahwa misi di situ punya cukup banyak guru, namun murid-muridnya tidak ada. Jika ia dapat mengumpulkan murid-murid, maka ia dapat mengajar mereka. Hal ini bukanlah masalah bagi Moody yang memiliki keterampilan penjualan. Tidak lama kemudian ia mengajar sejumlah anak jalanan.
Memasuki tahun 1861 ia sudah bekerja penuh waktu dalam pelayanan, baik di sekolah Minggunya maupun YMCA. la mendapat dukungan dari pengusaha setempat seperti John Farwell dan Cyrus McCormick. Pada tahun 1864, misinya menjadi sebuah gereja.
Menjelang tahun 1871 pelayanan Moody di Chicago sudah nyaman, aman, dan bertumbuh. Ia pernah berpikir mengadakan perjalanan sebagai penginjil, tetapi mengapa harus meninggalkan keadaan yang sehat seperti itu? Bagaimanapun kebakaran besar di Chicago telah mengubah pikirannya. Gereja, rumah dan YMCA semuanya telah menjadi abu, sama nasibnya dengan usaha-usaha para pendukung terbaiknya. Karena sukar mengumpulkan dana dari kota-kota lain untuk membangun kembali pelayanan Chicago itu, Moody pun mulai berkelana.
Pada tahun 1873 ia berangkat ke Inggris. Pertemuan-pertemuan penginjilannya bagaikan badai bagi Kepulauan Britania. Setelah dua tahun ia kembali ke Amerika Serikat sebagai seorang selebriti bertaraf internasional. Ia diundang berkhotbah di banyak kota di Amerika.
Sambil membangun tradisi revivalis yang didirikan Charles Finney, Moody membawa penginjilan ke zaman industri. la mengkhotbahkan Injil yang sederhana, bebas dari bermacammacam denominasi. Hal itu memperbesar daya tarik serta dukungannya. Ia bersekutu dengan para pengusaha. Merekalah para pemimpin generasi baru, bukan para pengkhotbah. Ia menekankan supaya mereka menggunakan harta mereka untuk hal-hal baik seperti peduli kepada orang-orang miskin perkotaan. Moody menerapkan teknik usahanya pada perencanaan penginjilannya. Musik, konseling dan follow-upnya adalah bagian-bagian dari pendekatan terorganisasi untuk mengambil hati orang.
Pada tahun 1879, Moody mengalihkan perhatiannya kepada pendidikan dengan mendirikan Northfield Seminary bagi para gadis, dan kemudian Mount Hermon School bagi anakanak lelaki. Ia memulai konferensi-konferensi Alkitab musim panas dan sebuah institut Alkitab yang sekarang memakai namanya. Pada awalnya, ia takut bersaing dengan seminariseminari yang ada, tetapi ia melihat kebutuhan yang lebih besar untuk latihan-latihan praktik dalam pelayanan. Bukannya tren liberal di seminari Amerika yang menjadi masalah baginya, tetapi pengasingan seminari-seminari itu dari orang banyak. la bermaksud melatih para komunikator yang akan membawa firman Allah yang sederhana kepada mereka yang membutuhkannya.
Cara-cara praktis ini telah berlanjut dalam lingkungan yang menyandang namanya. Moody Bible Institute, umpamanya, terus melatih para pendeta, misionaris dan pekerja gereja lainnya. Namun pengaruh Moody telah melampaui halhal itu. Ia merupakan pendahulu bagi para penginjil seperti Billy Sunday dan Billy Graham. Aspek sosial penginjilannya juga telah mengilhami komitmen yang dalam pada pelayanan sosial di kalangan evangelikal.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
85) Tahun 1857 David Livingstone Menerbitkan Missionary Travels
David Livingstone (1813-1873)
From the September, 1896, Century Magazine
Sepanjang hidupnya David Livingstone berupaya mendamaikan pengetahuan ilmiah dengan kekristenan. Sebagai seorang pemuda berusia belasan tahun, ia menolak membaca buku-buku Kristen yang diberikan ayahnya, dan lebih menyukai karya tentang ilmu pengetahuan dan perjalanan. Buku yang akhirnya membawa pertobatan baginya ialah buku yang mencoba menggabungkan iman dengan ilmu pengetahuan.
Pada tahun berikutnya, Livingstone membaca lembaran yang mengajak para dokter misionaris ke China. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mendaftarkan diri di sebuah Sekolah Kedokteran di Glasgow dan akhirnya melamar ke London Missionary Society (LMS). Karena surat referensi teologisnya kurang, maka pada awalnya LMS tidak menerimanya secara penuh. Sampai waktu ia diterima, perang candu pun telah pecah di China, dan rasanya kurang bijaksana mengirim misionaris ke sana.
Meskipun hal itu tampaknya sungguh buruk sekali pada waktu itu, perubahan keadaan ini telah menentukan nasib Livingstone, ia mengubah masa depannya dengan pergi ke benua Afrika. Tidak lama kemudian Livingstone bertemu dengan Robert Moffat, yang pernah memelopori tugas misioner di Afrika Selatan. Livingstone memutuskan pergi ke benua itu dan bergabung dengan tim Moffat pada tahun 1841.
Pangkalan misi tersebut letaknya 600 mil di pedalaman, dan Livingstone mulai gelisah. Ada begitu banyak daerah di benua itu yang harus dicapai; ia tidak gembira sebagai seorang misionaris meths saja di sebuah kelompok kecil yang statis. Ia ingin menjelajah. Ia bergabung dengan misionaris lain untuk mendirikan pangkalan Baru, dan kemudian melanjutkan perjalanan jauhnya ke pedalaman.
Pelayanan ini luar biasa sulitnya. Living-stone bekerja keras selama sepuluh tahun di antara orang-orang Tswana dan hanya satu orang yang bertobat. Pada suatu ketika, ia diserang seekor singa dan ia terluka parah. Putri Moffat, Mary, merawat Livingstone hingga kesehatannya pulih. Pada tahun 1845 Livingstone menikahinya. Secara keseluruhan, pernikahan itu tidak langgeng. Mary menemukan sifat petualangan David yang tak kunjung padam.
Livingstone membuang kebijakan misi "konservatif' LMS. Polanya ialah: pergi ke satu daerah, memenangkan jiwa-jiwa, membangun gereja di sana, dan mengolahnya, serta melanjutkan perjalanan hanya apabila gereja tersebut telah berjalan dengan baik. Proses itu sangat lamban. Livingstone melihat bahwa keadaan di Afrika sangat buruk untuk penginjilan. Ketidaktahuan kebudayaan Afrika, ditambah dengan pengalaman pahit orang-orang Afrika dengan para pedagang budak kulit putih dapat menimbulkan perlawanan kuat. Mengapa tidak menyusup ke dalam dengan cara positif, membantu orangorang Afrika mengembangkan usaha mereka sendiri dan belajar tentang cara-cara mereka? Cara ini tidak akan membangun gereja dalam waktu singkat, tetapi akan mewujudkan kondisi yang akan sangat menolong penginjilan pada generasi yang akan datang.
Pada akhir tahun 1852, keluarganya dengan selamat dikirim ke Inggris. Livingstone berangkat dalam suatu ekspedisi cross-country. Ia menemukan Sungai Zambezi. Sungai itu tentunya mengalir dari sumber tertentu. Mungkin ia dapat menemukan rute sungai di pedalaman yang melintasi benua itu dari Samudra Hindia hingga ke Atlantik. Hal ini akan membuka kesempatan berdagang bagi orang-orang setempat dan proses ini pun akan menjadi pukulan bagi para pedagang budak.
Perjalanan ke barat sungguh menyulitkan, penuh penyakit, gersang dan serangan binatang liar serta suku-suku yang tidak ramah. Akhirnya, ia tiba di Atlantik pada tahun 1854 dan dari sana, ia sebenarnya dapat saja berlayar ke Inggris. Tetapi banyak lagi yang harus dijelajahinya. Dapatkah Zambezi diikuti sampai ke Samudra Hindia? Ia memberanikan diri menempuh arah timur, dan sampai di pantainya pada tahun 1856.
Dari sana ia berlayar ke Inggris dan tiba untuk menerima sambutan kepahlawanan. Penjelajahan daerah-daerah yang belum dijangkau mendapat sambutan hebat pada zaman itu. Seorang penjelajah seperti Livingstone dieluelukan seperti kita menghormati astronot pertama yang mendarat di Mars. Livingstone bekerja keras bukan saja untuk menghasilkan geografi baru, tetapi juga berbuat banyak hal mulia seperti tugas-tugas penginjilan, perdagangan dan penghapusan perbudakan. Laporan perjalanannya, Missionary Travels (Perjalanan Penginjilan) yang ditulis pada tahun 1857, menjadi best-seller.
Pada tahun berikutnya, Livingstone kembali ke Afrika, namun, tidak dengan London Missionary Society. Meskipun ia mengaku bahwa ia masih merupakan seorang misionaris, ia pergi sebagai agen pemerintah Inggris. Namun ekspedisi ini membawa petaka. Tampaknya jeram Sungai Zambezi itu tidak dapat diarungi kapal. Rute-rute alternatif tidak ditemukan. Harapan untuk pelayaran melalui daerah pedalaman melintasi Afrika telah sirna. Sementara itu keadaan Mary Livingstone sungguh memalukan. Ketenaran David dan perasaannya yang tidak aman telah membuat Mary menjadi seorang pemabuk. Ketika David pergi ke Afrika meninggalkannya, dia tidak mendapat perlakuan baik. Karena kecemasannya, seperti orang mengamuk ia berlayar untuk menemuinya, namun meninggal dunia tidak lama setelah pertemuan mereka.
Oleh karena ekspedisinya ditarik kembali, Livingstone kembali ke Inggris pada tahun 1864. Kali ini ia hanya menjadi berita yang gagal, berita basi yang hanya diberikan penghormatan sopan ibarat pada sebuah relikwi. Ia berangkat atas kemauan sendiri, untuk terakhir kalinya, ke benua tercintanya. Kali ini ia mencari sumber Sungai Nil. Dalam proses itu ia menemukan beberapa danau di pedalaman.
Tahun berganti tahun berlalu tanpa berita apa pun darinya. Beberapa ekspedisi berangkat untuk mencarinya. Yang paling terkenal dari semuanya itu adalah ekspedisi yang melibatkan Henry M. Stanley, wartawan Herald New York, pada tahun 1871. Akhirnya mereka menemukan Livingstone di Ujiji, di danau Tanganyika. Ia mengucapkan kalimat yang bermakna besar itu, "Dr. Livingstone, saya kira." Namun ia tak dapat meyakinkannya untuk pulang (Stanley sendiri kemudian menjadi misionaris di Afrika).
Livingstone wafat pada tahun 1873. Ia ditemukan berlutut di sebuah gubuk primitif. Hatinya dikubur di negara angkatnya, dan jasadnya dikembalikan ke Inggris. Di sana misionaris besar ini mendapat penghormatan dengan dikebumikan di Westminster Abbey.
Seperti banyak penggerak utama dalam sejarah kekristenan, David Livingstone adalah seorang yang berpandangan independen. Ia menantang ide-ide misi yang ada pada masanya, yang selalu mendorong ke luar. Ia mempunyai visi bagi kesejahteraan ekonomis-spiritual terpadu untuk orang-orang Afrika, namun tampaknya ia menolak mentalitas kolonial orang-orang sezamannya. Faktanya ialah bahwa karya Livingstone mewujudkan syarat-syarat bagi pertumbuhan kekristenan. Satu abad setelah kematiannya, gereja Afrika meluas dengan pesat.
David Livingstone (1813-1873)
From the September, 1896, Century Magazine
Sepanjang hidupnya David Livingstone berupaya mendamaikan pengetahuan ilmiah dengan kekristenan. Sebagai seorang pemuda berusia belasan tahun, ia menolak membaca buku-buku Kristen yang diberikan ayahnya, dan lebih menyukai karya tentang ilmu pengetahuan dan perjalanan. Buku yang akhirnya membawa pertobatan baginya ialah buku yang mencoba menggabungkan iman dengan ilmu pengetahuan.
Pada tahun berikutnya, Livingstone membaca lembaran yang mengajak para dokter misionaris ke China. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia mendaftarkan diri di sebuah Sekolah Kedokteran di Glasgow dan akhirnya melamar ke London Missionary Society (LMS). Karena surat referensi teologisnya kurang, maka pada awalnya LMS tidak menerimanya secara penuh. Sampai waktu ia diterima, perang candu pun telah pecah di China, dan rasanya kurang bijaksana mengirim misionaris ke sana.
Meskipun hal itu tampaknya sungguh buruk sekali pada waktu itu, perubahan keadaan ini telah menentukan nasib Livingstone, ia mengubah masa depannya dengan pergi ke benua Afrika. Tidak lama kemudian Livingstone bertemu dengan Robert Moffat, yang pernah memelopori tugas misioner di Afrika Selatan. Livingstone memutuskan pergi ke benua itu dan bergabung dengan tim Moffat pada tahun 1841.
Pangkalan misi tersebut letaknya 600 mil di pedalaman, dan Livingstone mulai gelisah. Ada begitu banyak daerah di benua itu yang harus dicapai; ia tidak gembira sebagai seorang misionaris meths saja di sebuah kelompok kecil yang statis. Ia ingin menjelajah. Ia bergabung dengan misionaris lain untuk mendirikan pangkalan Baru, dan kemudian melanjutkan perjalanan jauhnya ke pedalaman.
Pelayanan ini luar biasa sulitnya. Living-stone bekerja keras selama sepuluh tahun di antara orang-orang Tswana dan hanya satu orang yang bertobat. Pada suatu ketika, ia diserang seekor singa dan ia terluka parah. Putri Moffat, Mary, merawat Livingstone hingga kesehatannya pulih. Pada tahun 1845 Livingstone menikahinya. Secara keseluruhan, pernikahan itu tidak langgeng. Mary menemukan sifat petualangan David yang tak kunjung padam.
Livingstone membuang kebijakan misi "konservatif' LMS. Polanya ialah: pergi ke satu daerah, memenangkan jiwa-jiwa, membangun gereja di sana, dan mengolahnya, serta melanjutkan perjalanan hanya apabila gereja tersebut telah berjalan dengan baik. Proses itu sangat lamban. Livingstone melihat bahwa keadaan di Afrika sangat buruk untuk penginjilan. Ketidaktahuan kebudayaan Afrika, ditambah dengan pengalaman pahit orang-orang Afrika dengan para pedagang budak kulit putih dapat menimbulkan perlawanan kuat. Mengapa tidak menyusup ke dalam dengan cara positif, membantu orangorang Afrika mengembangkan usaha mereka sendiri dan belajar tentang cara-cara mereka? Cara ini tidak akan membangun gereja dalam waktu singkat, tetapi akan mewujudkan kondisi yang akan sangat menolong penginjilan pada generasi yang akan datang.
Pada akhir tahun 1852, keluarganya dengan selamat dikirim ke Inggris. Livingstone berangkat dalam suatu ekspedisi cross-country. Ia menemukan Sungai Zambezi. Sungai itu tentunya mengalir dari sumber tertentu. Mungkin ia dapat menemukan rute sungai di pedalaman yang melintasi benua itu dari Samudra Hindia hingga ke Atlantik. Hal ini akan membuka kesempatan berdagang bagi orang-orang setempat dan proses ini pun akan menjadi pukulan bagi para pedagang budak.
Perjalanan ke barat sungguh menyulitkan, penuh penyakit, gersang dan serangan binatang liar serta suku-suku yang tidak ramah. Akhirnya, ia tiba di Atlantik pada tahun 1854 dan dari sana, ia sebenarnya dapat saja berlayar ke Inggris. Tetapi banyak lagi yang harus dijelajahinya. Dapatkah Zambezi diikuti sampai ke Samudra Hindia? Ia memberanikan diri menempuh arah timur, dan sampai di pantainya pada tahun 1856.
Dari sana ia berlayar ke Inggris dan tiba untuk menerima sambutan kepahlawanan. Penjelajahan daerah-daerah yang belum dijangkau mendapat sambutan hebat pada zaman itu. Seorang penjelajah seperti Livingstone dieluelukan seperti kita menghormati astronot pertama yang mendarat di Mars. Livingstone bekerja keras bukan saja untuk menghasilkan geografi baru, tetapi juga berbuat banyak hal mulia seperti tugas-tugas penginjilan, perdagangan dan penghapusan perbudakan. Laporan perjalanannya, Missionary Travels (Perjalanan Penginjilan) yang ditulis pada tahun 1857, menjadi best-seller.
Pada tahun berikutnya, Livingstone kembali ke Afrika, namun, tidak dengan London Missionary Society. Meskipun ia mengaku bahwa ia masih merupakan seorang misionaris, ia pergi sebagai agen pemerintah Inggris. Namun ekspedisi ini membawa petaka. Tampaknya jeram Sungai Zambezi itu tidak dapat diarungi kapal. Rute-rute alternatif tidak ditemukan. Harapan untuk pelayaran melalui daerah pedalaman melintasi Afrika telah sirna. Sementara itu keadaan Mary Livingstone sungguh memalukan. Ketenaran David dan perasaannya yang tidak aman telah membuat Mary menjadi seorang pemabuk. Ketika David pergi ke Afrika meninggalkannya, dia tidak mendapat perlakuan baik. Karena kecemasannya, seperti orang mengamuk ia berlayar untuk menemuinya, namun meninggal dunia tidak lama setelah pertemuan mereka.
Oleh karena ekspedisinya ditarik kembali, Livingstone kembali ke Inggris pada tahun 1864. Kali ini ia hanya menjadi berita yang gagal, berita basi yang hanya diberikan penghormatan sopan ibarat pada sebuah relikwi. Ia berangkat atas kemauan sendiri, untuk terakhir kalinya, ke benua tercintanya. Kali ini ia mencari sumber Sungai Nil. Dalam proses itu ia menemukan beberapa danau di pedalaman.
Tahun berganti tahun berlalu tanpa berita apa pun darinya. Beberapa ekspedisi berangkat untuk mencarinya. Yang paling terkenal dari semuanya itu adalah ekspedisi yang melibatkan Henry M. Stanley, wartawan Herald New York, pada tahun 1871. Akhirnya mereka menemukan Livingstone di Ujiji, di danau Tanganyika. Ia mengucapkan kalimat yang bermakna besar itu, "Dr. Livingstone, saya kira." Namun ia tak dapat meyakinkannya untuk pulang (Stanley sendiri kemudian menjadi misionaris di Afrika).
Livingstone wafat pada tahun 1873. Ia ditemukan berlutut di sebuah gubuk primitif. Hatinya dikubur di negara angkatnya, dan jasadnya dikembalikan ke Inggris. Di sana misionaris besar ini mendapat penghormatan dengan dikebumikan di Westminster Abbey.
Seperti banyak penggerak utama dalam sejarah kekristenan, David Livingstone adalah seorang yang berpandangan independen. Ia menantang ide-ide misi yang ada pada masanya, yang selalu mendorong ke luar. Ia mempunyai visi bagi kesejahteraan ekonomis-spiritual terpadu untuk orang-orang Afrika, namun tampaknya ia menolak mentalitas kolonial orang-orang sezamannya. Faktanya ialah bahwa karya Livingstone mewujudkan syarat-syarat bagi pertumbuhan kekristenan. Satu abad setelah kematiannya, gereja Afrika meluas dengan pesat.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
86) Tahun 1865 William Booth Mendirikan Bala Keselamatan
Sementara industri bertumbuh, perlakuan semena-mena terhadap kelas-kelas pekerja pun meningkat.
Inggris sedang bergerak dari kehidupan pertanian ke kehidupan yang berorientasi pabrik, dan daerah-daerah kumuh di London pun bertumbuh. Ribuan orang dari dusun membanjiri London, mencari pekerjaan, dan sexing kali mereka tinggal serta bekerja dalam kondisi-kondisi yang amat buruk.
Gereja seharusnya menjadi pelopor pertama meringankan penderitaan, namun Gereja sendiri dalam keadaan kekurangan. Seperti di seluruh Inggris, London telah terbagi-bagi dalam jemaat-jemaat, garis-garis yang tidak pernah berubah berabad-abad lamanya. Meskipun penduduk kota kian bertambah, namun Gereja Inggris tidak mempunyai cukup persediaan untuk menambah kaum rohaniwan bagi gereja. Untuk membangun jemaat baru dibutuhkan undang-undang parlemen, yang prosesnya lamban dan panjang.
Methodisme, yang telah menjadi agama kelas menengah khususnya, juga tidak dapat dengan efektif mencapai kelas pekerja. Methodis telah berupaya mencapai orang-orang yang telah berpindah ke Gereja Inggris, namun orang-orang miskin baru yang bermukim di lorong-lorong masih belum tersentuh Injil.
Prihatin dengan keadaan orang-orang miskin, maka pada tahun 1865 William Booth dan istrinya, Catherine, mendirikan misi bagi orang-orang miskin di East End London. Diawali dari sebuah tenda sederhana muncullah pelayanan Bala Keselamatan.
Di sekeliling pasangan penginjil ini terdapat rumah-rumah yang penuh sesak dengan kekerasan keluarga, mabuk-mabukan, prostitusi dan tuna karya. Kemakmuran yang menjadi lam-bang teratas kelas menengah Victorian tidak meluas ke East End.
Upaya perundang-undangan tampaknya tidak memecahkan masalah ini, dan William yakin bahwa hal itu akan berubah hanya bila hati berubah. Sekali orang-orang telah mengenal Kristus, perilaku dan kondisi mereka dapat membaik.
Itu tidak berarti bahwa pasangan Booth tidak memperhatikan masalah-masalah di sekeliling mereka. Mereka mendirikan kedai "Food for the Million" (Makanan untuk jutaan orang), dengan menyajikan makanan murah. Jika perut seseorang terisi penuh, ia cenderung mendengarkan berita mereka tentang keselamatan dari Kristus.
Meskipun banyak ide-ide organisasi Methodisme telah ditinggalkan Booth, namun ia selangkah lebih maju dengan akhirnya menciptakan organisasi yang mengikuti garis-garis militer. Seorang pengikutnya mengiklankan sebuah pertemuan sebagai "The Hallejah Army Fighting for God" (Pasukan Halleluya Bertempur untuk 'I'uhan). Kontrol Booth yang togas akan organisasinya membuat beberapa orang memanggilnya jenderal. Menjelang tahun 1878, kelompok ini mengambil nama Bala Keselamatan, dan jenderalnya sengaja telah mengorganisasikannya dengan pakaian seragam, perwira-perwira, marching brass band dan majalah dengan nama The War Cry.
Ada orang-orang Kristen yang tersinggung dengan Bala Keselamatan. Sebenarnya, marching band tidak memiliki kewibawaan musik Anglikan. Apakah Iblis sedang menggunakan Bala Keselamatan untuk membuat kekristenan bahan tertawaan? Namun, Bala Keselamatan meraih sukses. Band-bandnya dapat didengar di jalan-jalan kota, dan mereka memainkan irama-irama populer dan sekuler dengan kata-kata Kristen. "Mengapa iblis harus menguasai semua irama yang terbaik?" tanya Booth.
Selain itu, di bawah pengaruh Bala Keselamatan, kehidupan keluarga-keluarga membaik. Mereka mulai memperhatikan masalah-masalah kelaparan dan tuna wisma, serta Injil diberitakan kepada banyak orang yang bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di gereja.
Namun, sementara orang-orang Kristen menentang Bala Keselamatan, beberapa non-Kristen menunjukkan reaksi yang lebih kelas lagi. Ketika kelas pekerja bertobat kepada Kristus, mereka menganut kebijakan dengan berhenti minum. Hal ini merugikan perusahaan bir, dan mereka menjadi marah kepada Bala Keselamatan. Pada dua dekade terakhir abad kesembilan belas, perwira-perwira Bala Keselamatan diserang serta bangunan mereka dihancurkan.
Namun, para pengejek itu harus mengakui bahwa Bala Keselamatan telah melakukan tindakan yang baik di kala mereka mengubah pemabuk dan pemukul anak menjadi ayah yang benar dan pekerja yang baik.
Catherine, istri William, dengan kebolehannya mendukung William dalam upaya-upayanya, dan misi mereka ini diteruskan oleh anakanak asuh mereka yang berjumlah besar. Bala Keselamatan tersebar bukan saja di Inggris, tetapi juga di setiap penjuru dunia.
Dalam seluruh hidupnya, William telah mengadakan perjalanan sejauh lima juta mil, mengkhotbahkan hampir 60.000 khotbah, dan menarik kira-kira 16.000 perwira untuk bekerja dengan dia. Dalam buku terlarisnya In Darkest England and the Way Out, ia menunjukkan kepada banyak orang zaman Victoria bahwa mereka tidak perlu bermisi ke luar negeri untuk mencari "orang-orang miskin yang belum mengenal Allah" dan yang membutuhkan Kristus. Booth mendirikan agen-agen yang peduli akan kebutuhan fisik dan sosial orang-orang, serta memberitakan Injil. Melalui kariernya, ia telah mengasah teknik-teknik komunikasi dengan orang banyak dan berbagi tentang Kristus. Ketika ia wafat pada tahun 1912, 40.000 orang mengantar dia ke pemakaman.
Ketika Bala Keselamatan membawa berita kepada si miskin di Inggris, ia melakukan pekerjaan yang sama seperti Dia yang melayani para nelayan, wanita-wanita tuna susila dan para penderita penyakit kusta.
Sementara industri bertumbuh, perlakuan semena-mena terhadap kelas-kelas pekerja pun meningkat.
Inggris sedang bergerak dari kehidupan pertanian ke kehidupan yang berorientasi pabrik, dan daerah-daerah kumuh di London pun bertumbuh. Ribuan orang dari dusun membanjiri London, mencari pekerjaan, dan sexing kali mereka tinggal serta bekerja dalam kondisi-kondisi yang amat buruk.
Gereja seharusnya menjadi pelopor pertama meringankan penderitaan, namun Gereja sendiri dalam keadaan kekurangan. Seperti di seluruh Inggris, London telah terbagi-bagi dalam jemaat-jemaat, garis-garis yang tidak pernah berubah berabad-abad lamanya. Meskipun penduduk kota kian bertambah, namun Gereja Inggris tidak mempunyai cukup persediaan untuk menambah kaum rohaniwan bagi gereja. Untuk membangun jemaat baru dibutuhkan undang-undang parlemen, yang prosesnya lamban dan panjang.
Methodisme, yang telah menjadi agama kelas menengah khususnya, juga tidak dapat dengan efektif mencapai kelas pekerja. Methodis telah berupaya mencapai orang-orang yang telah berpindah ke Gereja Inggris, namun orang-orang miskin baru yang bermukim di lorong-lorong masih belum tersentuh Injil.
Prihatin dengan keadaan orang-orang miskin, maka pada tahun 1865 William Booth dan istrinya, Catherine, mendirikan misi bagi orang-orang miskin di East End London. Diawali dari sebuah tenda sederhana muncullah pelayanan Bala Keselamatan.
Di sekeliling pasangan penginjil ini terdapat rumah-rumah yang penuh sesak dengan kekerasan keluarga, mabuk-mabukan, prostitusi dan tuna karya. Kemakmuran yang menjadi lam-bang teratas kelas menengah Victorian tidak meluas ke East End.
Upaya perundang-undangan tampaknya tidak memecahkan masalah ini, dan William yakin bahwa hal itu akan berubah hanya bila hati berubah. Sekali orang-orang telah mengenal Kristus, perilaku dan kondisi mereka dapat membaik.
Itu tidak berarti bahwa pasangan Booth tidak memperhatikan masalah-masalah di sekeliling mereka. Mereka mendirikan kedai "Food for the Million" (Makanan untuk jutaan orang), dengan menyajikan makanan murah. Jika perut seseorang terisi penuh, ia cenderung mendengarkan berita mereka tentang keselamatan dari Kristus.
Meskipun banyak ide-ide organisasi Methodisme telah ditinggalkan Booth, namun ia selangkah lebih maju dengan akhirnya menciptakan organisasi yang mengikuti garis-garis militer. Seorang pengikutnya mengiklankan sebuah pertemuan sebagai "The Hallejah Army Fighting for God" (Pasukan Halleluya Bertempur untuk 'I'uhan). Kontrol Booth yang togas akan organisasinya membuat beberapa orang memanggilnya jenderal. Menjelang tahun 1878, kelompok ini mengambil nama Bala Keselamatan, dan jenderalnya sengaja telah mengorganisasikannya dengan pakaian seragam, perwira-perwira, marching brass band dan majalah dengan nama The War Cry.
Ada orang-orang Kristen yang tersinggung dengan Bala Keselamatan. Sebenarnya, marching band tidak memiliki kewibawaan musik Anglikan. Apakah Iblis sedang menggunakan Bala Keselamatan untuk membuat kekristenan bahan tertawaan? Namun, Bala Keselamatan meraih sukses. Band-bandnya dapat didengar di jalan-jalan kota, dan mereka memainkan irama-irama populer dan sekuler dengan kata-kata Kristen. "Mengapa iblis harus menguasai semua irama yang terbaik?" tanya Booth.
Selain itu, di bawah pengaruh Bala Keselamatan, kehidupan keluarga-keluarga membaik. Mereka mulai memperhatikan masalah-masalah kelaparan dan tuna wisma, serta Injil diberitakan kepada banyak orang yang bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di gereja.
Namun, sementara orang-orang Kristen menentang Bala Keselamatan, beberapa non-Kristen menunjukkan reaksi yang lebih kelas lagi. Ketika kelas pekerja bertobat kepada Kristus, mereka menganut kebijakan dengan berhenti minum. Hal ini merugikan perusahaan bir, dan mereka menjadi marah kepada Bala Keselamatan. Pada dua dekade terakhir abad kesembilan belas, perwira-perwira Bala Keselamatan diserang serta bangunan mereka dihancurkan.
Namun, para pengejek itu harus mengakui bahwa Bala Keselamatan telah melakukan tindakan yang baik di kala mereka mengubah pemabuk dan pemukul anak menjadi ayah yang benar dan pekerja yang baik.
Catherine, istri William, dengan kebolehannya mendukung William dalam upaya-upayanya, dan misi mereka ini diteruskan oleh anakanak asuh mereka yang berjumlah besar. Bala Keselamatan tersebar bukan saja di Inggris, tetapi juga di setiap penjuru dunia.
Dalam seluruh hidupnya, William telah mengadakan perjalanan sejauh lima juta mil, mengkhotbahkan hampir 60.000 khotbah, dan menarik kira-kira 16.000 perwira untuk bekerja dengan dia. Dalam buku terlarisnya In Darkest England and the Way Out, ia menunjukkan kepada banyak orang zaman Victoria bahwa mereka tidak perlu bermisi ke luar negeri untuk mencari "orang-orang miskin yang belum mengenal Allah" dan yang membutuhkan Kristus. Booth mendirikan agen-agen yang peduli akan kebutuhan fisik dan sosial orang-orang, serta memberitakan Injil. Melalui kariernya, ia telah mengasah teknik-teknik komunikasi dengan orang banyak dan berbagi tentang Kristus. Ketika ia wafat pada tahun 1912, 40.000 orang mengantar dia ke pemakaman.
Ketika Bala Keselamatan membawa berita kepada si miskin di Inggris, ia melakukan pekerjaan yang sama seperti Dia yang melayani para nelayan, wanita-wanita tuna susila dan para penderita penyakit kusta.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
87) Tahun 1870 Paus Pius IX Memproklamasikan Doktrin Infalibilitas Paus
Apakah Italia akan tampak sebagai suatu daerah di atas peta atau sebuah negara kesatuan?
Siapa yang akan memerintah negara baru tersebut?
Pada pertengahan abad kesembilan belas, inilah pertanyaan-pertanyaan yang menanti jawaban. Eropa telah melihat banyak perubahan pada tahun 1848, ketika gelombang nasionalisme menyapu benua itu. Di Perancis, Italia dan selusin negara lain, masyarakat telah mulai menuntut hak mereka akan negara mereka sendiri, berdasarkan bahasa dan letak geografis, daripada diperintah negara-negara lain. Sisilia berupaya memerdekakan diri dari kerajaan Bourbon, dan daerah-daerah bagian utara Italia berupaya mengakhiri kungkungan pemerintahan Austria.
Paus yang baru, Pius IX, mendukung risorgimento ('kebangkitan") itu, yang hendak menciptakan negara berbahasa Italia. Ketika ia memberikan daerah-daerah kepausan sebuah konstitusi, paus telah menyenangkan hati kaum liberal. Hal itu tidak bertahan lama. Ketika kaum revolusioner membunuh perdana menteri yang baru, paus lari dari daerah kepausan untuk sementara waktu. la kembali dengan bantuan tentara Perancis; sekarang ia melihat ancaman kaum liberal dan ingin memberi dukungan bagi pemerintahan absolut lama.
Pada tahun 1869, paus yang sedang terkepung mengadakan Konsili Vatikan I. Falsafah-falsafah liberal serta rasa nasionalisme yang meningkat telah menjadi dorongan untuk berpikir lebih bebas dalam gereja. Para imam dan uskup mulai mempertanyakan kekuasaan paus. Dalam dunia yang tidak lagi merupakan Katolik semuanya, kepausan telah kehilangan pengaruh politiknya juga. Gereja perlu memperhatikan tantangan-tantangan pemikiran kaum liberal dan melemahnya kepentingan tradisi dalam gereja.
Pada tahun 1854, paus menyatakan bahwa Perawan Maria telah dikandung tanpa dosa – doktrin Immaculate Conception. Meskipun banyak orang Katolik telah menerimanya selama bertahun-tahun lamanya, dan sekarang hal itu telah menjadi doktrin gereja yang baku.
Sembilan tahun kemudian paus menyimpulkan hal itu dalam Syllabus of Errors (ikhtisar Ajaran-ajaran Sesat). Dalam upayanya melawan arus liberalisme, ia membuat daftar hal-hal yang tidak boleh dipercayai orang-orang Katolik, termasuk pemikiran modern: seperti rasionalisme atau sosialisme, perkawinan di catatan sipil, dan banyak lagi bentuk-bentuk toleransi agama.
Konsili Vatikan itu mengemukakan peranan paus yang berlangsung di gereja. Paus berupaya mengukuhkan dua hal: bahwa paus, bergelar Vicar of Christ (Wakil Kristus), mempunyai kuasa penuh dan langsung terhadap seluruh gereja dan hierarkinya; dan bila ia bicara ex cathedra ("dari kursinya", dalam kapasitasnya sebagai paus), ia tidak dapat sesat (infallible). Meskipun ada liberalisme dalam gereja namun paus menang pada Konsili Vatikan I itu. Keduanya dijadikan doktrin gereja.
Meskipun kaum liberal tidak menyetujuinya, bagi banyak orang, absolutisme seperti itu adalah sesuatu yang patut disambut. Mereka hidup dalam zaman yang rancu; banyak hal telah berubah secara politik maupun filosofis. Banyak orang Katolik menghendaki kepastian bahwa beberapa hal – seperti paus dan ajaran-ajaran gereja — akan tetap kokoh.
Paus tidak memegang otoritas politiknya, karena kira-kira dua bulan setelah Konsili Vatikan I, Victor Immanuel menduduki Roma, dan penduduknya memilih pembentukan kerajaan Italia. Meskipun paus kehilangan kuasa sementara, namun ia telah meraih keefektifan spiritual. Dari Vatikan ia menjalankan lebih banyak otoritas daripada pejabat tinggi gereja yang paling berkuasa pada Abad Pertengahan.
Gereja Katolik tidak berubah hingga Konsili Vatikan II.
Apakah Italia akan tampak sebagai suatu daerah di atas peta atau sebuah negara kesatuan?
Siapa yang akan memerintah negara baru tersebut?
Pada pertengahan abad kesembilan belas, inilah pertanyaan-pertanyaan yang menanti jawaban. Eropa telah melihat banyak perubahan pada tahun 1848, ketika gelombang nasionalisme menyapu benua itu. Di Perancis, Italia dan selusin negara lain, masyarakat telah mulai menuntut hak mereka akan negara mereka sendiri, berdasarkan bahasa dan letak geografis, daripada diperintah negara-negara lain. Sisilia berupaya memerdekakan diri dari kerajaan Bourbon, dan daerah-daerah bagian utara Italia berupaya mengakhiri kungkungan pemerintahan Austria.
Paus yang baru, Pius IX, mendukung risorgimento ('kebangkitan") itu, yang hendak menciptakan negara berbahasa Italia. Ketika ia memberikan daerah-daerah kepausan sebuah konstitusi, paus telah menyenangkan hati kaum liberal. Hal itu tidak bertahan lama. Ketika kaum revolusioner membunuh perdana menteri yang baru, paus lari dari daerah kepausan untuk sementara waktu. la kembali dengan bantuan tentara Perancis; sekarang ia melihat ancaman kaum liberal dan ingin memberi dukungan bagi pemerintahan absolut lama.
Pada tahun 1869, paus yang sedang terkepung mengadakan Konsili Vatikan I. Falsafah-falsafah liberal serta rasa nasionalisme yang meningkat telah menjadi dorongan untuk berpikir lebih bebas dalam gereja. Para imam dan uskup mulai mempertanyakan kekuasaan paus. Dalam dunia yang tidak lagi merupakan Katolik semuanya, kepausan telah kehilangan pengaruh politiknya juga. Gereja perlu memperhatikan tantangan-tantangan pemikiran kaum liberal dan melemahnya kepentingan tradisi dalam gereja.
Pada tahun 1854, paus menyatakan bahwa Perawan Maria telah dikandung tanpa dosa – doktrin Immaculate Conception. Meskipun banyak orang Katolik telah menerimanya selama bertahun-tahun lamanya, dan sekarang hal itu telah menjadi doktrin gereja yang baku.
Sembilan tahun kemudian paus menyimpulkan hal itu dalam Syllabus of Errors (ikhtisar Ajaran-ajaran Sesat). Dalam upayanya melawan arus liberalisme, ia membuat daftar hal-hal yang tidak boleh dipercayai orang-orang Katolik, termasuk pemikiran modern: seperti rasionalisme atau sosialisme, perkawinan di catatan sipil, dan banyak lagi bentuk-bentuk toleransi agama.
Konsili Vatikan itu mengemukakan peranan paus yang berlangsung di gereja. Paus berupaya mengukuhkan dua hal: bahwa paus, bergelar Vicar of Christ (Wakil Kristus), mempunyai kuasa penuh dan langsung terhadap seluruh gereja dan hierarkinya; dan bila ia bicara ex cathedra ("dari kursinya", dalam kapasitasnya sebagai paus), ia tidak dapat sesat (infallible). Meskipun ada liberalisme dalam gereja namun paus menang pada Konsili Vatikan I itu. Keduanya dijadikan doktrin gereja.
Meskipun kaum liberal tidak menyetujuinya, bagi banyak orang, absolutisme seperti itu adalah sesuatu yang patut disambut. Mereka hidup dalam zaman yang rancu; banyak hal telah berubah secara politik maupun filosofis. Banyak orang Katolik menghendaki kepastian bahwa beberapa hal – seperti paus dan ajaran-ajaran gereja — akan tetap kokoh.
Paus tidak memegang otoritas politiknya, karena kira-kira dua bulan setelah Konsili Vatikan I, Victor Immanuel menduduki Roma, dan penduduknya memilih pembentukan kerajaan Italia. Meskipun paus kehilangan kuasa sementara, namun ia telah meraih keefektifan spiritual. Dari Vatikan ia menjalankan lebih banyak otoritas daripada pejabat tinggi gereja yang paling berkuasa pada Abad Pertengahan.
Gereja Katolik tidak berubah hingga Konsili Vatikan II.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
88) Tahun 1886 Gerakan Relawan Mahasiswa Dimulai
Pada salah satu konferensi musim panas yang diadakan Dwight L. Moody, revivalis agung ini mengundang para mahasiswa perguruan tinggi ke konferensi Mt. Hermon, di Northfield, Massachusetts, untuk pemahaman Alkitab dan persekutuan selama sebulan. Konferensi yang diadakan pada bulan Juli 1886 itu dihadiri 151 mahasiswa.
Pada dua minggu pertama, konferensi itu berjalan biasa. Tidak membicarakan misi sama sekali. Pemahaman Alkitab adalah acara setiap harinya. Namun seorang mahasiswa dari Princeton berdoa tentang kebutuhan dunia. Ia merasakan bahwa Allah akan memakai persekutuan ini untuk memicu gerakan pekabaran Injil. Mahasiswa tersebut benar.
Ia mengumpulkan dua puluh satu orang yang berpikiran sama untuk berdoa bersama-sama. Mereka berdoa agar semangat misi dapat mengisi konferensi itu. Pada tanggal 16 Juli, pembicara A.T. Pierson menyampaikan pidato yang membangkitkan tantangan penginjilan: "Semua harus pergi dan pergi untuk semua." Semangat itu menjadi lebih marak pada tanggal 24 Juli, dengan "pertemuan sepuluh negara". Wakil dari sepuluh negara dan kebangsaan berbicara secara singkat, melaporkan kebutuhan di negara mereka. Pada minggu-minggu terakhir konferensi itu, banyak mahasiswa memutuskan mengabdikan hidup mereka bagi pelayanan misi. Menjelang akhir konferensi, seratus dari antara mereka telah membuat komitmen yang sama.
Pada hari terakhir konferensi itu, para mahasiswa memikirkan cara untuk memelihara semangat tersebut dan menyebarkannya. Mereka menunjuk Robert P. Wilder untuk mendatangi berbagai perguruan tinggi sepanjang tahun itu, memberitakan apa yang terjadi di Mt. Hermon. Ia mulai mengumpulkan mahasiswa yang bertekad mengabarkan Injil. Pada tahun berikutnya, Wilder dan seorang rekannya mengunjungi 167 perguruan tinggi, dan 2.200 mahasiswa berikrar untuk bekerja di ladang misi.
Akan tetapi, menjelang 1888 semangat itu mulai menurun. Gerakan tersebut membutuhkan kepemimpinan dan organisasi. Pada pertemuan di Mt. Hermon, suatu kelompok inti terdiri dari lima puluh orang memutuskan menunjuk tiga pimpinan dewan: Wilder mewakili Inter-Seminary Missionary Alliance (Aliansi Misionaris Antar-Seminari); Nettie Dunn dari YWCA; dan John R. Mott dari YMCA. Mott akan berperan sebagai tokoh sentral dengan menjadikan gerakan mahasiswa ini sebagai lembaga kegiatan penginjilan dan oikumene seluruh dunia.
Mott baru lulus dari Universitas Cornell, tempat ia aktif dalam kepemimpinan YMCA. Ia berkemauan keras memenangkan jiwa-jiwa, maka ia mengambil peranannya dalam Gerakan Relawan Mahasiswa (Student Volunteer Movement – SVM) yang baru dibentuk dengan sangat serius. Komunikasi, publisitas dan organisasi – Mott unggul dalam bidang-bidang ini. Ia memastikan kelompok misi lain agar tahu bahwa SVM bukan untuk menyaingi mereka, tetapi mendukung mereka. Para mahasiswa yang berjiwa misi dari berbagai perguruan tinggi dikumpulkan dan dibagi dalam "kelompok", bertemu secara teratur untuk berdoa Berta membangkitkan semangat. Konvensi-konvensi mahasiswa relawan diadakan setiap empat tahun sekali. Mott dan para pemimpin lainnya mengadakan perjalanan jauh dalam upaya mereka mencari, melatih dan mengirim misionaris-misionaris baru.
Motto yang tersiar luas dengan jelas adalah: "Penginjilan dunia dalam generasi ini". Mott menulis sebuah buku dengan judul tersebut. Menjelang 1914, SVM telah berjasa mengirim sebanyak 5.000 misionaris ke ladang misi.
Akan tetapi di balik jumlah tersebut, gerakan itu berjasa bagi kegairahan penginjilan baru se-Dunia. Organisasi-organisasi lain mendapat keuntungan dari itu. Pada tahun 1895, Mott ikut membentuk Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia dan menjadi sekjennya yang pertama. Gerakan penginjilan orang awam lahir pada konferensi SVM tahun 1906, dengan mengadakan kampanye mencari dukungan orang-orang awam untuk misi. Mott juga merupakan figur utama pada Konferensi Pekabaran Injil Internasional di Edinburgh pada tahun 1910. Hal ini kemudian mengarah pada pembentukan World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja se-Dunia).
Mott telah terkenal luas dan telah memberikan pengaruh besar. Presiden Wilson menawarinya menjadi duta besar di China; tetapi ia menolak. Princeton berpikir menjadakan dia presiden perguruan tersebut, juga ia tolak. Mott mendapat kesempatan menjadi menteri luar negeri, ia menolak. la adalah orang yang menyatu dengan misi, dan misi adalah misi.
Semangat misi di Amerika Serikat mati setelah Perang Dunia I. Namun, misionaris-misionaris yang diilhami SVM melayani bertahun-tahun lamanya. Gerakan Relawan Mahasiswa telah melakukan apa yang telah dilakukan William Carey satu abad sebelumnya, membangkitkan keinginan bermisi pada waktu-waktu kritis.
Pada salah satu konferensi musim panas yang diadakan Dwight L. Moody, revivalis agung ini mengundang para mahasiswa perguruan tinggi ke konferensi Mt. Hermon, di Northfield, Massachusetts, untuk pemahaman Alkitab dan persekutuan selama sebulan. Konferensi yang diadakan pada bulan Juli 1886 itu dihadiri 151 mahasiswa.
Pada dua minggu pertama, konferensi itu berjalan biasa. Tidak membicarakan misi sama sekali. Pemahaman Alkitab adalah acara setiap harinya. Namun seorang mahasiswa dari Princeton berdoa tentang kebutuhan dunia. Ia merasakan bahwa Allah akan memakai persekutuan ini untuk memicu gerakan pekabaran Injil. Mahasiswa tersebut benar.
Ia mengumpulkan dua puluh satu orang yang berpikiran sama untuk berdoa bersama-sama. Mereka berdoa agar semangat misi dapat mengisi konferensi itu. Pada tanggal 16 Juli, pembicara A.T. Pierson menyampaikan pidato yang membangkitkan tantangan penginjilan: "Semua harus pergi dan pergi untuk semua." Semangat itu menjadi lebih marak pada tanggal 24 Juli, dengan "pertemuan sepuluh negara". Wakil dari sepuluh negara dan kebangsaan berbicara secara singkat, melaporkan kebutuhan di negara mereka. Pada minggu-minggu terakhir konferensi itu, banyak mahasiswa memutuskan mengabdikan hidup mereka bagi pelayanan misi. Menjelang akhir konferensi, seratus dari antara mereka telah membuat komitmen yang sama.
Pada hari terakhir konferensi itu, para mahasiswa memikirkan cara untuk memelihara semangat tersebut dan menyebarkannya. Mereka menunjuk Robert P. Wilder untuk mendatangi berbagai perguruan tinggi sepanjang tahun itu, memberitakan apa yang terjadi di Mt. Hermon. Ia mulai mengumpulkan mahasiswa yang bertekad mengabarkan Injil. Pada tahun berikutnya, Wilder dan seorang rekannya mengunjungi 167 perguruan tinggi, dan 2.200 mahasiswa berikrar untuk bekerja di ladang misi.
Akan tetapi, menjelang 1888 semangat itu mulai menurun. Gerakan tersebut membutuhkan kepemimpinan dan organisasi. Pada pertemuan di Mt. Hermon, suatu kelompok inti terdiri dari lima puluh orang memutuskan menunjuk tiga pimpinan dewan: Wilder mewakili Inter-Seminary Missionary Alliance (Aliansi Misionaris Antar-Seminari); Nettie Dunn dari YWCA; dan John R. Mott dari YMCA. Mott akan berperan sebagai tokoh sentral dengan menjadikan gerakan mahasiswa ini sebagai lembaga kegiatan penginjilan dan oikumene seluruh dunia.
Mott baru lulus dari Universitas Cornell, tempat ia aktif dalam kepemimpinan YMCA. Ia berkemauan keras memenangkan jiwa-jiwa, maka ia mengambil peranannya dalam Gerakan Relawan Mahasiswa (Student Volunteer Movement – SVM) yang baru dibentuk dengan sangat serius. Komunikasi, publisitas dan organisasi – Mott unggul dalam bidang-bidang ini. Ia memastikan kelompok misi lain agar tahu bahwa SVM bukan untuk menyaingi mereka, tetapi mendukung mereka. Para mahasiswa yang berjiwa misi dari berbagai perguruan tinggi dikumpulkan dan dibagi dalam "kelompok", bertemu secara teratur untuk berdoa Berta membangkitkan semangat. Konvensi-konvensi mahasiswa relawan diadakan setiap empat tahun sekali. Mott dan para pemimpin lainnya mengadakan perjalanan jauh dalam upaya mereka mencari, melatih dan mengirim misionaris-misionaris baru.
Motto yang tersiar luas dengan jelas adalah: "Penginjilan dunia dalam generasi ini". Mott menulis sebuah buku dengan judul tersebut. Menjelang 1914, SVM telah berjasa mengirim sebanyak 5.000 misionaris ke ladang misi.
Akan tetapi di balik jumlah tersebut, gerakan itu berjasa bagi kegairahan penginjilan baru se-Dunia. Organisasi-organisasi lain mendapat keuntungan dari itu. Pada tahun 1895, Mott ikut membentuk Federasi Mahasiswa Kristen Sedunia dan menjadi sekjennya yang pertama. Gerakan penginjilan orang awam lahir pada konferensi SVM tahun 1906, dengan mengadakan kampanye mencari dukungan orang-orang awam untuk misi. Mott juga merupakan figur utama pada Konferensi Pekabaran Injil Internasional di Edinburgh pada tahun 1910. Hal ini kemudian mengarah pada pembentukan World Council of Churches (Dewan Gereja-gereja se-Dunia).
Mott telah terkenal luas dan telah memberikan pengaruh besar. Presiden Wilson menawarinya menjadi duta besar di China; tetapi ia menolak. Princeton berpikir menjadakan dia presiden perguruan tersebut, juga ia tolak. Mott mendapat kesempatan menjadi menteri luar negeri, ia menolak. la adalah orang yang menyatu dengan misi, dan misi adalah misi.
Semangat misi di Amerika Serikat mati setelah Perang Dunia I. Namun, misionaris-misionaris yang diilhami SVM melayani bertahun-tahun lamanya. Gerakan Relawan Mahasiswa telah melakukan apa yang telah dilakukan William Carey satu abad sebelumnya, membangkitkan keinginan bermisi pada waktu-waktu kritis.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
89) 1906 Kebangunan Rohani Azusa Street Memunculkan Aliran Pentakostalisme
"Dengan mengembuskan ucapan-ucapan asing dan mengomat-ngamitkan pengakuan iman, yang tampaknya tidak dapat dimengerti orang lain, sekte. agama paling baru muncul di Los Angeles."
Itulah yang diberitakan oleh harian Los Angeles Times, hari Rabu tanggal 18 April 1906. "Pertemuan diadakan di sebuah pondok yang hampir rubuh di Azusa Street, dan para pengikut doktrin-doktrin yang mengerikan ini mempraktikkan upacara-upacara paling fanatik, mengkhotbahkan teori-teori liar, dan memaksakan mereka sendiri dalam keadaan kegembiraan yang tidak waras dengan semangat mereka sendiri."
Publisitas negatif semacam ini sesungguhnya membantu mengumpulkan massa. Sesuatu yang supranatural sedang berlangsung dalam gedung tua ini. William J. Seymour, seorang pengkhotbah kesucian kulit hitam Gereja Baptis, baru tiba dari Houston, memanggil orangorang percaya untuk mengambil langkah ekstra. Dua langkah ekstra tersebut sebenarnya adalah: la ingin mereka "dikuduskan" dan "dibaptis dalam Roh Kudus". Pembaptisan itu, katanya, akan diikuti dengan kemampuan berbahasa lidah.
Sebenarnya telah pernah ada beberapa orang berbahasa lidah yang muncul dengan tibatiba di negeri itu dan di Eropa pada tahun-tahun silam, tetapi Azusa Street merupakan ledakan terbesar. Pertemuan yang berlangsung di "pondok yang hampir rubuh" ini berlanjut se-lama beberapa tahun lamanya. Banyak orang pergi ke sana hanya untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana.
Dunia ini sudah matang untuk kebangkitan. Akhir tahun 1800-an, terjadi Revolusi Industri yang berat. Manusia menjadi gerigi dalam mesin-mesin masyarakat. Celah antara si kaya dan si miskin bertambah lebar. Malangnya, Gereja selalu berpaling kepada orang kaya. Juga kelompok-kelompok yang secara tradisional bersifat "biasa", seperti Baptis dan Methodis, lebih menekankan sopan-santun ketimbang kekuatan rohani. Berkat para tokoh kebangkitan seperti Finney dan Moody, gereja-gereja menjadi penuh. Tetapi banyak yang menyatakan diri Kristen masih memiliki banyak kekurangan.
Gerakan "kesucian" adalah langkah awal menuju pembaruan. Gerakan ini – sebagian besar dari Gereja Methodis – mencari "anugerah kedua" dari Allah, yaitu bahwa orang-orang percaya akan "dikuduskan" untuk kehidupan Kris-ten yang suci. Ajaran Keswick pun ada dampaknya di Eropa dan Amerika. Dalam Pertemuan tahunan Keswick di Britania Raya, guru-guru Keswick meminta orang-orang Kristen: "Berjalan dalam kuasa kebangkitan Kristus," "biarkan Kristus bertakhta dalam jiwamu." Tidak ada yang terlalu radikal terjadi di sini, hanya dorongan untuk kepenuhan pengalaman Kristen, dengan menggunakan bahasa yang kelak ditiru para pengikut Pentakosta.
Satu lagi aliran pemikiran yang menambah urgensi gerakan Pentakosta yang baru muncul ini ialah pramillenialisme, yang dipopulerkan J. N. Darby dan Plymouth Brethren. Pergantian abad membawa kedua-duanya, pra- dan pascamillenialisme, ke depan. Banyak yang mewartakan berawalnya "abad Kristian", yaitu bahwa gereja (dan teknologi) akan membawa ke kerajaan Allah. Namun, para pramillenialis berseru bahwa akhir zaman sudah dekat, dengan menampilkan, seperti dinubuatkan, peluapan kebangunan rohani.
Untuk mengetahui latar belakang gerakan Pentakosta ini kits harus mundur ke belakang pada tahun 1896. William F. Bryant memimpin (gerakan) kebangkitan di Cherokee County, Carolina Utara, yang menyertakan bahasa lidah. Sementara manifestasi ini berlanjut, banyak orang yang telah dikeluarkan dari gereja, bangunan gereja dibakar dan Bryant sendiri ditembak. Bahasa lidah tidak populer di Cherokee County.
Tentunya, kebangkitan Welsh tahun 1904 — 1906 mempunyai dampak pada iklim agama masa itu. Evan Roberts, seorang mantan penambang, yang mengadakan perjalanan di seluruh Wales dan di kemudian hari di dunia, memproklamasikan pelayanan Roh Kudus. Bahasa lidah tidak ditekankan secara khusus, namun kekuatan roh ditekankan. Sepasang pendeta wilayah Los Angeles telah mengunjungi Wales dan berupaya membawa kebangkitan ini ke gerejagereja mereka, dengan sedikit sukses. Namun, benih pemulihan telah ditanam di Los Angeles.
Atau Anda ingin melihat Gerakan Pemulihan, yang mengajak kembali ke berkat dan praktik-praktik gereja rasuli, khususnya penyembuhan. John Alexander Dowie mengaku dirinya Elia Sang Pemulih dan memulai komunitas Kristen (yang di kemudian hari menjadi Zion, Illinois). Di Maine, Frank Sandford juga mengaku sebagai Elia Sang Pemulih, dengan memulai sebuah komunitas di Shiloh.
Pada tahun 1900, Charles Fox Parham menghabiskan waktu selama lebih kurang enam minggu di Shiloh. Seorang pengkhotbah kesucian Gereja Methodis, Kansas, sedang mencari "iman rasuli". Ia bersama-sama istrinya telah memulai "rumah penyembuhan" di Topeka. Di sana orang-orang dapat menginap dengan cumacuma sementara mereka berdoa untuk penyembuhan. Di Shiloh, Parham terkesan dengan Sekolah Alkitab "the Holy Ghost and Us" (Roh Kudus dan Kita) Sandford. Sekolah tersebut dengan togas anti-akademik. Satu-satunya teks adalah Alkitab, gurunya hanya Roh Kudus. Ketika Parham kembali, ia mendirikan sekolah serupa. Kira-kira empat puluh orang murid mendaftarkan diri.
Pada bulan Desember tahun itu, Parham meminta murid-muridnya mencari dalam Kitab Suci jika ada tanda-tanda yang mengisyaratkan pembaptisan Roh Kudus. Ketika mereka berkumpul untuk kebaktian semalam suntuk pada Malam Tahun Baru, mereka mendapatkan jawabannya: bahasa lidah. Agnes Ozman berdoa untuk menerima Roh Kudus dan "kemuliaan turun ke atas dirinya", seperti diungkapkan Parham, "suatu cahaya tampaknya mengelilingi kepala dan mukanya, dan ia mulai berbicara dalam bahasa China dan tidak dapat berbahasa Inggris selama tiga hari". Pada bulan berikutnya sebagian besar mahasiswa mengalami hal serupa.
Upaya Parham menyebarkan kebangkitan ini di Kansas City dan di Lawrence gagal. Gereja-gereja menentangnya, harian-harian mengejeknya. Pada tahun 1903, seorang wanita dari Texas sembuh setelah Parham mendoakannya, dan ia mengundang Parham untuk memimpin suatu kebangkitan di Galena, Texas. Hal itu meraih sukses. Menjelang tahun 1905, pertemuanpertemuan "Pentakostal" atau "Full Gospel" semacam itu diselenggarakan di Missouri, Kansas dan Texas dengan kira-kira 25.000 pengikut.
Setelah suatu kampanye di Houston pada tahun 1905, Parham mendirikan satu lagi sekolah Alkitab di sana. Salah seorang mahasiswa yang lebih menjanjikan ialah: William J. Seymour. Seorang wanita dari .Los Angeles mengunjungi sekolah Houston dan mengalami baptisan Roh Kudus. Sekembalinya, ia mendesak gereja misi Nazarenenya untuk memanggil Seymour sebagai pendeta pendamping.
Ironisnya, gereja yang telah membawa kebangkitan Pentakosta ke Los Angeles tidak ingin berhubungan dengan hal itu. Penekanan Seymour tentang bahasa lidah menyinggung beberapa anggota gereja dan selanjutnya ia ditolak gereja. Akhirnya, ia memimpin kebaktian di rumah beberapa orang temannya. Kebaktian ini berlanjut selama tiga hari tiga malam. Menariknya, makin banyak orang dan jumlahnya melebihi jumlah yang dapat ditampung di rumah tersebut. Orang-orang tersebut mengadakan persiapan untuk berpindah ke suatu bangunan di Azusa Street, yang dahulu adalah Gereja Methodis. Di sana duduk (dan berdiri) di alas bangku papan, di antara bahan-bahan bangunan, orang-orang itu meneruskan kebaktian yang dipenuhi Roh Kudus. Gereja itu dinamai Apostolic Faith Gospel Mission (Gereja Misi Iman Rasuli).
Seluruh jajaran pembaruan spiritual tampaknya menyatu di gedung. Gedung itu merupakan "Mekah"-nya gerakan Pentakosta. Selama bertahun-tahun lamanya tempat tersebut merupakan kiblat bagi gerakan Pentakosta. Orang-orang berkunjung dan berupaya membawa kembali apa saja yang mereka temukan di sana.
Kendati di sini pusat geografisnya, gerakan Pentakostal sangat majemuk. Terdapat sejumlah pemimpin yang berhaluan karismatik, termasuk Seymour dan Parham, yang mengumpulkan pengikut-pengikut dan bertengkar satu dengan yang lain untuk hal-hal sepele. Gerakan tersebut memang secara sengaja bersifat antiorganisasi dan anti-denominasi – berjalan terus ke mana Roh Kudus memimpin. Hal ini menjelaskan mengapa dewasa ini aliran-aliran Pentakosta yang ada hanya dalam jumlah kecil.
Assemblies of God (Sidang Jemaat Allah), yang merupakan aliran Pentakosta terbesar dewasa ini, dimulai sebagai upaya mendapatkan kohesi – dan beberapa peraturan – dalam gerakan tersebut. Ada tuduhan mengenai penyelewengan keuangan dan seksual di pihak para pengkhotbah terkemuka. Terdapat juga serangkaian pertikaian doktrin di antara mereka.
Sekelompok Pentakostal Selatan, yang dipimpin Eudorus N. Bell, menamakan diri mereka Iman Rasuli dan mengupayakan persatuan dalam gerakan tersebut. Ketika yang lain bergabung, namanya pun diganti menjadi Church of God in Christ (Gereja Tuhan dalam Kristus). Menjelang 1913, telah disertakan 352 pendeta dalam keanggotaan yang tidak terikat. Pada bulan April 1914, kelompok ini memanggil para pengikut Pentakosta untuk menghadiri pertemuan di Hot Springs, Arkansas. Tujuannya: kesatuan, stabilitas, mendapat pengesahan bagi gerakan tersebut, dan mengukuhkan program misi serta mendirikan sekolah Alkitab. Maka, lahirlah aliran Assemblies of God.
Sementara isu Pentakosta bersifat memecah-belah di kalangan gereja-gereja non-Pentakosta, gerakan Pentakostal sendiri mungkin adalah tangan kekristenan yang paling berenergi di abad kedua puluh ini. Tekanannya akan misi dan periginjilan telah menghasilkan pertumbuhan luar biasa bagi gerakan tersebut, baik di Amerika Serikat maupun di dunia.
"Dengan mengembuskan ucapan-ucapan asing dan mengomat-ngamitkan pengakuan iman, yang tampaknya tidak dapat dimengerti orang lain, sekte. agama paling baru muncul di Los Angeles."
Itulah yang diberitakan oleh harian Los Angeles Times, hari Rabu tanggal 18 April 1906. "Pertemuan diadakan di sebuah pondok yang hampir rubuh di Azusa Street, dan para pengikut doktrin-doktrin yang mengerikan ini mempraktikkan upacara-upacara paling fanatik, mengkhotbahkan teori-teori liar, dan memaksakan mereka sendiri dalam keadaan kegembiraan yang tidak waras dengan semangat mereka sendiri."
Publisitas negatif semacam ini sesungguhnya membantu mengumpulkan massa. Sesuatu yang supranatural sedang berlangsung dalam gedung tua ini. William J. Seymour, seorang pengkhotbah kesucian kulit hitam Gereja Baptis, baru tiba dari Houston, memanggil orangorang percaya untuk mengambil langkah ekstra. Dua langkah ekstra tersebut sebenarnya adalah: la ingin mereka "dikuduskan" dan "dibaptis dalam Roh Kudus". Pembaptisan itu, katanya, akan diikuti dengan kemampuan berbahasa lidah.
Sebenarnya telah pernah ada beberapa orang berbahasa lidah yang muncul dengan tibatiba di negeri itu dan di Eropa pada tahun-tahun silam, tetapi Azusa Street merupakan ledakan terbesar. Pertemuan yang berlangsung di "pondok yang hampir rubuh" ini berlanjut se-lama beberapa tahun lamanya. Banyak orang pergi ke sana hanya untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana.
Dunia ini sudah matang untuk kebangkitan. Akhir tahun 1800-an, terjadi Revolusi Industri yang berat. Manusia menjadi gerigi dalam mesin-mesin masyarakat. Celah antara si kaya dan si miskin bertambah lebar. Malangnya, Gereja selalu berpaling kepada orang kaya. Juga kelompok-kelompok yang secara tradisional bersifat "biasa", seperti Baptis dan Methodis, lebih menekankan sopan-santun ketimbang kekuatan rohani. Berkat para tokoh kebangkitan seperti Finney dan Moody, gereja-gereja menjadi penuh. Tetapi banyak yang menyatakan diri Kristen masih memiliki banyak kekurangan.
Gerakan "kesucian" adalah langkah awal menuju pembaruan. Gerakan ini – sebagian besar dari Gereja Methodis – mencari "anugerah kedua" dari Allah, yaitu bahwa orang-orang percaya akan "dikuduskan" untuk kehidupan Kris-ten yang suci. Ajaran Keswick pun ada dampaknya di Eropa dan Amerika. Dalam Pertemuan tahunan Keswick di Britania Raya, guru-guru Keswick meminta orang-orang Kristen: "Berjalan dalam kuasa kebangkitan Kristus," "biarkan Kristus bertakhta dalam jiwamu." Tidak ada yang terlalu radikal terjadi di sini, hanya dorongan untuk kepenuhan pengalaman Kristen, dengan menggunakan bahasa yang kelak ditiru para pengikut Pentakosta.
Satu lagi aliran pemikiran yang menambah urgensi gerakan Pentakosta yang baru muncul ini ialah pramillenialisme, yang dipopulerkan J. N. Darby dan Plymouth Brethren. Pergantian abad membawa kedua-duanya, pra- dan pascamillenialisme, ke depan. Banyak yang mewartakan berawalnya "abad Kristian", yaitu bahwa gereja (dan teknologi) akan membawa ke kerajaan Allah. Namun, para pramillenialis berseru bahwa akhir zaman sudah dekat, dengan menampilkan, seperti dinubuatkan, peluapan kebangunan rohani.
Untuk mengetahui latar belakang gerakan Pentakosta ini kits harus mundur ke belakang pada tahun 1896. William F. Bryant memimpin (gerakan) kebangkitan di Cherokee County, Carolina Utara, yang menyertakan bahasa lidah. Sementara manifestasi ini berlanjut, banyak orang yang telah dikeluarkan dari gereja, bangunan gereja dibakar dan Bryant sendiri ditembak. Bahasa lidah tidak populer di Cherokee County.
Tentunya, kebangkitan Welsh tahun 1904 — 1906 mempunyai dampak pada iklim agama masa itu. Evan Roberts, seorang mantan penambang, yang mengadakan perjalanan di seluruh Wales dan di kemudian hari di dunia, memproklamasikan pelayanan Roh Kudus. Bahasa lidah tidak ditekankan secara khusus, namun kekuatan roh ditekankan. Sepasang pendeta wilayah Los Angeles telah mengunjungi Wales dan berupaya membawa kebangkitan ini ke gerejagereja mereka, dengan sedikit sukses. Namun, benih pemulihan telah ditanam di Los Angeles.
Atau Anda ingin melihat Gerakan Pemulihan, yang mengajak kembali ke berkat dan praktik-praktik gereja rasuli, khususnya penyembuhan. John Alexander Dowie mengaku dirinya Elia Sang Pemulih dan memulai komunitas Kristen (yang di kemudian hari menjadi Zion, Illinois). Di Maine, Frank Sandford juga mengaku sebagai Elia Sang Pemulih, dengan memulai sebuah komunitas di Shiloh.
Pada tahun 1900, Charles Fox Parham menghabiskan waktu selama lebih kurang enam minggu di Shiloh. Seorang pengkhotbah kesucian Gereja Methodis, Kansas, sedang mencari "iman rasuli". Ia bersama-sama istrinya telah memulai "rumah penyembuhan" di Topeka. Di sana orang-orang dapat menginap dengan cumacuma sementara mereka berdoa untuk penyembuhan. Di Shiloh, Parham terkesan dengan Sekolah Alkitab "the Holy Ghost and Us" (Roh Kudus dan Kita) Sandford. Sekolah tersebut dengan togas anti-akademik. Satu-satunya teks adalah Alkitab, gurunya hanya Roh Kudus. Ketika Parham kembali, ia mendirikan sekolah serupa. Kira-kira empat puluh orang murid mendaftarkan diri.
Pada bulan Desember tahun itu, Parham meminta murid-muridnya mencari dalam Kitab Suci jika ada tanda-tanda yang mengisyaratkan pembaptisan Roh Kudus. Ketika mereka berkumpul untuk kebaktian semalam suntuk pada Malam Tahun Baru, mereka mendapatkan jawabannya: bahasa lidah. Agnes Ozman berdoa untuk menerima Roh Kudus dan "kemuliaan turun ke atas dirinya", seperti diungkapkan Parham, "suatu cahaya tampaknya mengelilingi kepala dan mukanya, dan ia mulai berbicara dalam bahasa China dan tidak dapat berbahasa Inggris selama tiga hari". Pada bulan berikutnya sebagian besar mahasiswa mengalami hal serupa.
Upaya Parham menyebarkan kebangkitan ini di Kansas City dan di Lawrence gagal. Gereja-gereja menentangnya, harian-harian mengejeknya. Pada tahun 1903, seorang wanita dari Texas sembuh setelah Parham mendoakannya, dan ia mengundang Parham untuk memimpin suatu kebangkitan di Galena, Texas. Hal itu meraih sukses. Menjelang tahun 1905, pertemuanpertemuan "Pentakostal" atau "Full Gospel" semacam itu diselenggarakan di Missouri, Kansas dan Texas dengan kira-kira 25.000 pengikut.
Setelah suatu kampanye di Houston pada tahun 1905, Parham mendirikan satu lagi sekolah Alkitab di sana. Salah seorang mahasiswa yang lebih menjanjikan ialah: William J. Seymour. Seorang wanita dari .Los Angeles mengunjungi sekolah Houston dan mengalami baptisan Roh Kudus. Sekembalinya, ia mendesak gereja misi Nazarenenya untuk memanggil Seymour sebagai pendeta pendamping.
Ironisnya, gereja yang telah membawa kebangkitan Pentakosta ke Los Angeles tidak ingin berhubungan dengan hal itu. Penekanan Seymour tentang bahasa lidah menyinggung beberapa anggota gereja dan selanjutnya ia ditolak gereja. Akhirnya, ia memimpin kebaktian di rumah beberapa orang temannya. Kebaktian ini berlanjut selama tiga hari tiga malam. Menariknya, makin banyak orang dan jumlahnya melebihi jumlah yang dapat ditampung di rumah tersebut. Orang-orang tersebut mengadakan persiapan untuk berpindah ke suatu bangunan di Azusa Street, yang dahulu adalah Gereja Methodis. Di sana duduk (dan berdiri) di alas bangku papan, di antara bahan-bahan bangunan, orang-orang itu meneruskan kebaktian yang dipenuhi Roh Kudus. Gereja itu dinamai Apostolic Faith Gospel Mission (Gereja Misi Iman Rasuli).
Seluruh jajaran pembaruan spiritual tampaknya menyatu di gedung. Gedung itu merupakan "Mekah"-nya gerakan Pentakosta. Selama bertahun-tahun lamanya tempat tersebut merupakan kiblat bagi gerakan Pentakosta. Orang-orang berkunjung dan berupaya membawa kembali apa saja yang mereka temukan di sana.
Kendati di sini pusat geografisnya, gerakan Pentakostal sangat majemuk. Terdapat sejumlah pemimpin yang berhaluan karismatik, termasuk Seymour dan Parham, yang mengumpulkan pengikut-pengikut dan bertengkar satu dengan yang lain untuk hal-hal sepele. Gerakan tersebut memang secara sengaja bersifat antiorganisasi dan anti-denominasi – berjalan terus ke mana Roh Kudus memimpin. Hal ini menjelaskan mengapa dewasa ini aliran-aliran Pentakosta yang ada hanya dalam jumlah kecil.
Assemblies of God (Sidang Jemaat Allah), yang merupakan aliran Pentakosta terbesar dewasa ini, dimulai sebagai upaya mendapatkan kohesi – dan beberapa peraturan – dalam gerakan tersebut. Ada tuduhan mengenai penyelewengan keuangan dan seksual di pihak para pengkhotbah terkemuka. Terdapat juga serangkaian pertikaian doktrin di antara mereka.
Sekelompok Pentakostal Selatan, yang dipimpin Eudorus N. Bell, menamakan diri mereka Iman Rasuli dan mengupayakan persatuan dalam gerakan tersebut. Ketika yang lain bergabung, namanya pun diganti menjadi Church of God in Christ (Gereja Tuhan dalam Kristus). Menjelang 1913, telah disertakan 352 pendeta dalam keanggotaan yang tidak terikat. Pada bulan April 1914, kelompok ini memanggil para pengikut Pentakosta untuk menghadiri pertemuan di Hot Springs, Arkansas. Tujuannya: kesatuan, stabilitas, mendapat pengesahan bagi gerakan tersebut, dan mengukuhkan program misi serta mendirikan sekolah Alkitab. Maka, lahirlah aliran Assemblies of God.
Sementara isu Pentakosta bersifat memecah-belah di kalangan gereja-gereja non-Pentakosta, gerakan Pentakostal sendiri mungkin adalah tangan kekristenan yang paling berenergi di abad kedua puluh ini. Tekanannya akan misi dan periginjilan telah menghasilkan pertumbuhan luar biasa bagi gerakan tersebut, baik di Amerika Serikat maupun di dunia.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
90) Tahun 1910-1915 Penerbitan Buku The Fundamentals Memunculkan Gerakan Fundamentalis
Lyman Stewart memiliki sebuah mimpi. Ia pun memiliki uang banyak. Stewart, presiden Union Oil Company, memperhatikan gelombang pasang modernisme di gereja-gereja Amerika. Sesuatu harus dilakukan tentang ini; orang-orang harus disiagakan; orang-orang Kristen harus disadarkan akan ancaman bagi iman tradisionalnya. Mungkin sebuah buku, sederetan buku-buku, upaya informasi besar-besaran. Namun Stewart sadar bahwa ia bukan seorang terpelajar.
Ketika ia sedang duduk di gereja, ia mendengar berita dari A.C. Dixon, pendeta Chicago's Moody Church (Gereja Moody Chicago). Inilah orangnya yang ia butuhkan. Usai kebaktian, Stewart membicarakan idenya dengan Dixon. "Ini dari Tuhan," kata Dixon. "Mari kita berdoa."
Itulah awal upaya penerbitan yang membuat gerakan fundamentalis memperoleh namanya dan mungkin juga fokusnya. Dixon membentuk suatu badan yang mengesankan, terdiri dari para pemuka Kristen, dan membentuk Perusahaan Penerbitan Testimony. Lyman Stewart mendapat bantuan dana dari saudaranya, Milton. Semuanya terkumpul 300.000 dolar A.S bagi proyek tersebut. Guru-guru Alkitab terkemuka pada waktu itu diminta menulis artikel untuk buklet berseri 125 halaman ini. Artikel-artikel tersebut meliputi pokok-pokok doktrin dasar serta isu-isu penting waktu itu – sosialisme, evolusi dan uang. Dixon mengedit lima artikel yang pertama kemudian berpindah ke London. Louis Meyer mengedit lima berikutnya sebelum ia meninggal. R. A. Torrey mengedit dua yang terakhir. Nama Kakak-heradik Stewart tidak disebutkan dalam kedua belas buklet tersebut, hanya disebutkan sebagai "Dua Orang Awam Kristen". Telah tercetak kira-kira 3 juta eksemplar dalam kurun waktu enam tahun berikutnya, untuk dibagikan kepada "setiap pendeta, penginjil. misionaris, mahasiswa teologi, pembina sekolah Minggu, sekretaris YMCA atau YWCA" yang dapat ditemui. Buku ini juga dikirim ke luar negeri, sebagian besar ke Inggris.
Kurang jelas dampak apa yang dihasilkan buku-buku ini. Seperti apologi-apologi para Bapa Gereja awal, The Fundamentals mungkin telah berbuat lebih banyak untuk menyatukan dan mendidik orang-orang yang telah setuju dengan mereka daripada meyakinkan dan menobatkan pembaca-pembaca yang menjadi sasaran mereka. Curtis Lee Laws, seorang editor penganut Baptis, yang menemukan istilah fundamentalis pada tahun 1920, merujuk ke para Baptis konservatif yang berpegang pada "fundamental-fundamental iman".
Melihat ke belakang, tampaknya gerakan fundamentalis ini membaurkan beberapa tren gereja Amerika yang ada sebelumnya, dan dengan keras menentang beberapa tren yang ada dalam masyarakat serta sarjana liberal. Sungguh sukar dimengerti. Gerakan tersebut merupakan gerakan sosial dan teologis, yang gelisah dan evangelistik, triumfalis dan putus asa.
Gerakan fundamentalis memulai dengan tradisi kebangunan rohani yang dicontohkan Dwight L. Moody. Gerakan tersebut mengajarkan bahwa pokok-pokok teologi tidaklah penting jika dibandingkan dengan pertobatan jiwa bagi Kerajaan Allah.
Gerakan ini ditambah juga oleh tradisi hesucian, dengan akar yang kukuh pada aliran Methodis, dilanjutkan dengan konferensi-konferensi Keswick pada tahun-tahun terakhir 1800-an. Kebenaran pribadi dipandang sebagai pertumbuhan mutlak kehidupan yang dekat dengan Yesus. Selain itu, digerakkan pula oleh sentimen Kerajaan Seribu Tahun yang menjamur.
Mendekati abad kedua puluh, ada perasaan bahwa tidak lama lagi dunia ini akan berakhir. Langkah-langkah Revolusi Industri yang pesat membuat banyak orang bertanya-tanya di mana semuanya ini akan berakhir. Konferensi-konferensi nubuat muncul dalam jumlah bestir pada tahun-tahun 1800-an akhir. Sejumlah orang Kristen melihat sisi baik dari apa yang dicapai manusia, meramalkan bahwa tahun 1900-an akan merupakan "abad Kristian". Para pascamillenialis meyakini bahwa kekristenan akan membawa era keadilan dan kedamaian. Tetapi gejolak sosial pada masa itu juga menyuburkan anggapan pramillenialisme, khususnya ditinjau dari dispensasionalisme J. N. Darby., Banyak yang beranggapan bahwa dunia akan memburuk hingga Kristus datang untuk mengakhirinya.
Mungkin Revolusi Industri telah mengaduk campuran-campuran ini menjadi satu, namun katalis yang sebenarnya adalah "modernisme". Komponen utamanya adalah teori evolusi Charles Darwin. Sepanjang sejarah ilmu pengetahuan (sekurang-kurangnya sejak Inkuisisi), telah ada semacam gentleman's agreement antara Gereja dan laboratorium: Telah diasumsikan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan akan sesuai dengan kebenaran agama. Sekarang, dengan tiba-tiba saja Darwin menerbitkan gambaran tentang evolusi spesies dan akhirnya asalusul manusia yang tidak sepaham dengan ajaran gereja. Lebih-lebih lagi, ide-ide ini mulai mendapat pengakuan dari dunia akademis.
Sementara itu, di antara para filsuf dan para teolog (khususnya di Jerman) ada ide-ide baru tentang Allah dan Alkitab yang sedang beredar. Teori-teori ini merugikan absolutisme yang telah diterima gereja selama berabad-abad Wibawa Alkitab serta identitas Kristus yang telah diakui, dipertanyakan. Lebih-Iebih lagi, ide-ide ini dibahas di seminari-seminari yang jumlahnya sangat banyak.
Orang-orang biasa diberitahu para akademisi dan rohaniwan ini bahwa adalah bodoh mempercayai Alkitab, bahwa adalah terhormat mempercayai evolusi. Orang-orang konservatif Kristen melawan hal ini. Pada tahun 1895, Konferensi Alkitab Niagara menentukan lima iman Kristen "yang pokok": (1) ketidakkeliruan Kitab Suci; (2) kelahiran (dari) perawan dan keilahian Kristus; (3) penanggungan dosa-dosa manusia oleh Kristus; (4) kebangkitan fisik Kristus; (5) kembalinya Kristus. Hal-hal ini telah diakui secara luas di gereja-gereja konservatif.
Namun, hal ini hampir tidak ada hubungannya dengan fundamentalisme. Anda dapat berbondong-bondong mengadakan oposisi terhadap teori Darwin, namun jika Anda mulai menggembor-gemborkan Immanuel Kant dan Friedrich Schleiermacher, Anda akan kehilangan beberapa simpatisan. Ada yang berpendapat bahwa teori-teori ini akan lenyap begitu saja; yang lain berpendapat lebih baik berkonsentrasi pada penginjilan dan misi (gereja ketika itu masih berada di tengah-tengah puncaknya kesadaran akan misi).
Perang Dunia I telah memicu para fundamentalis beraksi. Sebelum Amerika masuk dalam kancah peperangan, banyak orang Kristen (seperti juga banyak orang Amerika) menentang hal itu. Sesungguhnya, pada taraf-taraf awal, orang-orang Kristen konservatif diserang orangorang Kristen liberal dengan tuduhan tidak patriotik dan tidak mendukung usaha-usaha perang. (Beberapa oposisi kaum konservatif terhadap perang ini berasal dari paham kedamaian yang ada di Alkitab, sebagian karena ingin "terpisah" dari dunia.)
Namun, setelah kekejaman orang-orang Jerman disiarkan (dan mungkin terlampau dibesar-besarkan), langsung saja para pengkhotbah menyimpulkan kaitannya: Jerman adalah tempat kelahiran falsafah orang-orang modern! Jadi inilah akibatnya – kebrutalan, kebiadaban dan kehancuran.
Tiba-tiba saja masa depan dunia dalam keadaan bahaya. Gerakan fundamentalis sesungguhnya mulai bergerak setelah perang dunia. Asosiasi Fundamental Kristen se-Dunia, yang dipimpin William B. Riley, yang dibentuk pada tahun 1919, memperingatkan betapa bahayanya modernisme bagi masyarakat Amerika. Para pengkhotbah seperti Billy Sunday dan John Roach Straton mulai mengkritik keburukan-keburukan yang berjangkit dalam masyarakat pascaperang. Karena bekerja sebagai revivalis, mereka mengarahkan tradisi kesucian ke luar. Bangsa yang besar ini akan terjerumus ke dalam kebiadaban, seru mereka, kecuali mereka kembali ke kebenaran Allah.
Selama lima tahun berikutnya dan seterusnya, kaum fundamentalis mendapat dukungan. Pada denominasi-denominasi Protestan utama, khususnya di antara kaum Northern Baptist dan Presbiterian di utara, kekuatan-kekuatan fundamentalis mencoba memaksakan kembali ke hal-hal dasar. Serangkaian berbagai keyakinan dasar, pernyataan ajaran, kebutuhan penginjilan, dan penelitian pada seminari-seminari, semuanya ini telah disusun dalam agenda. Mereka kurang meraih sukses. Dalam banyak hal, hasil akhirnya adalah perpecahan aliran.
Perang epik ini berlangsung bukan dalam konvensi gereja, tetapi di ruang pengadilan di Dayton, Tennessee, pada sidang pengadilan Scopes yang terkenal itu. Mata seluruh bangsa tertuju pada pengacara-pengacara selebriti – William Jennings Bryan di pihak fundamentalis, Clarence Darrow di pihak guru sekolah yang evolusionis. Bryan memenangkan pertempuran, namun kalah dalam peperangan. Scopes dinyatakan bersalah (keputusannya kemudian dibatalkan), tetapi Darrow membuat Bryan tampak buruk. Opini publik mungkin sudah tidak mendukung para fundamentalis, tetapi pengadilan telah mengesahkannya. Mereka telah dikenal dan diejek sebagai rimba terpencil dan orang-orang yang fanatik, namun tidak berpengetahuan.
Setelah tahun 1925, fundamentalisme mundur, terpisah dari dunia ini, menunggu kedatangan Kristus dan mempelajari firman Allah yang tidak mungkin salah. Kelompok ini tetap merupakan kelompok yang mempunyai subkebudayaan yang tertutup, yang membangkitkan gerakan evangelikal tahun 1940-an dan seterusnya, serta melahirkan kebangkitan neofundamentalis sekitar tahun 1980.
Lyman Stewart memiliki sebuah mimpi. Ia pun memiliki uang banyak. Stewart, presiden Union Oil Company, memperhatikan gelombang pasang modernisme di gereja-gereja Amerika. Sesuatu harus dilakukan tentang ini; orang-orang harus disiagakan; orang-orang Kristen harus disadarkan akan ancaman bagi iman tradisionalnya. Mungkin sebuah buku, sederetan buku-buku, upaya informasi besar-besaran. Namun Stewart sadar bahwa ia bukan seorang terpelajar.
Ketika ia sedang duduk di gereja, ia mendengar berita dari A.C. Dixon, pendeta Chicago's Moody Church (Gereja Moody Chicago). Inilah orangnya yang ia butuhkan. Usai kebaktian, Stewart membicarakan idenya dengan Dixon. "Ini dari Tuhan," kata Dixon. "Mari kita berdoa."
Itulah awal upaya penerbitan yang membuat gerakan fundamentalis memperoleh namanya dan mungkin juga fokusnya. Dixon membentuk suatu badan yang mengesankan, terdiri dari para pemuka Kristen, dan membentuk Perusahaan Penerbitan Testimony. Lyman Stewart mendapat bantuan dana dari saudaranya, Milton. Semuanya terkumpul 300.000 dolar A.S bagi proyek tersebut. Guru-guru Alkitab terkemuka pada waktu itu diminta menulis artikel untuk buklet berseri 125 halaman ini. Artikel-artikel tersebut meliputi pokok-pokok doktrin dasar serta isu-isu penting waktu itu – sosialisme, evolusi dan uang. Dixon mengedit lima artikel yang pertama kemudian berpindah ke London. Louis Meyer mengedit lima berikutnya sebelum ia meninggal. R. A. Torrey mengedit dua yang terakhir. Nama Kakak-heradik Stewart tidak disebutkan dalam kedua belas buklet tersebut, hanya disebutkan sebagai "Dua Orang Awam Kristen". Telah tercetak kira-kira 3 juta eksemplar dalam kurun waktu enam tahun berikutnya, untuk dibagikan kepada "setiap pendeta, penginjil. misionaris, mahasiswa teologi, pembina sekolah Minggu, sekretaris YMCA atau YWCA" yang dapat ditemui. Buku ini juga dikirim ke luar negeri, sebagian besar ke Inggris.
Kurang jelas dampak apa yang dihasilkan buku-buku ini. Seperti apologi-apologi para Bapa Gereja awal, The Fundamentals mungkin telah berbuat lebih banyak untuk menyatukan dan mendidik orang-orang yang telah setuju dengan mereka daripada meyakinkan dan menobatkan pembaca-pembaca yang menjadi sasaran mereka. Curtis Lee Laws, seorang editor penganut Baptis, yang menemukan istilah fundamentalis pada tahun 1920, merujuk ke para Baptis konservatif yang berpegang pada "fundamental-fundamental iman".
Melihat ke belakang, tampaknya gerakan fundamentalis ini membaurkan beberapa tren gereja Amerika yang ada sebelumnya, dan dengan keras menentang beberapa tren yang ada dalam masyarakat serta sarjana liberal. Sungguh sukar dimengerti. Gerakan tersebut merupakan gerakan sosial dan teologis, yang gelisah dan evangelistik, triumfalis dan putus asa.
Gerakan fundamentalis memulai dengan tradisi kebangunan rohani yang dicontohkan Dwight L. Moody. Gerakan tersebut mengajarkan bahwa pokok-pokok teologi tidaklah penting jika dibandingkan dengan pertobatan jiwa bagi Kerajaan Allah.
Gerakan ini ditambah juga oleh tradisi hesucian, dengan akar yang kukuh pada aliran Methodis, dilanjutkan dengan konferensi-konferensi Keswick pada tahun-tahun terakhir 1800-an. Kebenaran pribadi dipandang sebagai pertumbuhan mutlak kehidupan yang dekat dengan Yesus. Selain itu, digerakkan pula oleh sentimen Kerajaan Seribu Tahun yang menjamur.
Mendekati abad kedua puluh, ada perasaan bahwa tidak lama lagi dunia ini akan berakhir. Langkah-langkah Revolusi Industri yang pesat membuat banyak orang bertanya-tanya di mana semuanya ini akan berakhir. Konferensi-konferensi nubuat muncul dalam jumlah bestir pada tahun-tahun 1800-an akhir. Sejumlah orang Kristen melihat sisi baik dari apa yang dicapai manusia, meramalkan bahwa tahun 1900-an akan merupakan "abad Kristian". Para pascamillenialis meyakini bahwa kekristenan akan membawa era keadilan dan kedamaian. Tetapi gejolak sosial pada masa itu juga menyuburkan anggapan pramillenialisme, khususnya ditinjau dari dispensasionalisme J. N. Darby., Banyak yang beranggapan bahwa dunia akan memburuk hingga Kristus datang untuk mengakhirinya.
Mungkin Revolusi Industri telah mengaduk campuran-campuran ini menjadi satu, namun katalis yang sebenarnya adalah "modernisme". Komponen utamanya adalah teori evolusi Charles Darwin. Sepanjang sejarah ilmu pengetahuan (sekurang-kurangnya sejak Inkuisisi), telah ada semacam gentleman's agreement antara Gereja dan laboratorium: Telah diasumsikan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan akan sesuai dengan kebenaran agama. Sekarang, dengan tiba-tiba saja Darwin menerbitkan gambaran tentang evolusi spesies dan akhirnya asalusul manusia yang tidak sepaham dengan ajaran gereja. Lebih-lebih lagi, ide-ide ini mulai mendapat pengakuan dari dunia akademis.
Sementara itu, di antara para filsuf dan para teolog (khususnya di Jerman) ada ide-ide baru tentang Allah dan Alkitab yang sedang beredar. Teori-teori ini merugikan absolutisme yang telah diterima gereja selama berabad-abad Wibawa Alkitab serta identitas Kristus yang telah diakui, dipertanyakan. Lebih-Iebih lagi, ide-ide ini dibahas di seminari-seminari yang jumlahnya sangat banyak.
Orang-orang biasa diberitahu para akademisi dan rohaniwan ini bahwa adalah bodoh mempercayai Alkitab, bahwa adalah terhormat mempercayai evolusi. Orang-orang konservatif Kristen melawan hal ini. Pada tahun 1895, Konferensi Alkitab Niagara menentukan lima iman Kristen "yang pokok": (1) ketidakkeliruan Kitab Suci; (2) kelahiran (dari) perawan dan keilahian Kristus; (3) penanggungan dosa-dosa manusia oleh Kristus; (4) kebangkitan fisik Kristus; (5) kembalinya Kristus. Hal-hal ini telah diakui secara luas di gereja-gereja konservatif.
Namun, hal ini hampir tidak ada hubungannya dengan fundamentalisme. Anda dapat berbondong-bondong mengadakan oposisi terhadap teori Darwin, namun jika Anda mulai menggembor-gemborkan Immanuel Kant dan Friedrich Schleiermacher, Anda akan kehilangan beberapa simpatisan. Ada yang berpendapat bahwa teori-teori ini akan lenyap begitu saja; yang lain berpendapat lebih baik berkonsentrasi pada penginjilan dan misi (gereja ketika itu masih berada di tengah-tengah puncaknya kesadaran akan misi).
Perang Dunia I telah memicu para fundamentalis beraksi. Sebelum Amerika masuk dalam kancah peperangan, banyak orang Kristen (seperti juga banyak orang Amerika) menentang hal itu. Sesungguhnya, pada taraf-taraf awal, orang-orang Kristen konservatif diserang orangorang Kristen liberal dengan tuduhan tidak patriotik dan tidak mendukung usaha-usaha perang. (Beberapa oposisi kaum konservatif terhadap perang ini berasal dari paham kedamaian yang ada di Alkitab, sebagian karena ingin "terpisah" dari dunia.)
Namun, setelah kekejaman orang-orang Jerman disiarkan (dan mungkin terlampau dibesar-besarkan), langsung saja para pengkhotbah menyimpulkan kaitannya: Jerman adalah tempat kelahiran falsafah orang-orang modern! Jadi inilah akibatnya – kebrutalan, kebiadaban dan kehancuran.
Tiba-tiba saja masa depan dunia dalam keadaan bahaya. Gerakan fundamentalis sesungguhnya mulai bergerak setelah perang dunia. Asosiasi Fundamental Kristen se-Dunia, yang dipimpin William B. Riley, yang dibentuk pada tahun 1919, memperingatkan betapa bahayanya modernisme bagi masyarakat Amerika. Para pengkhotbah seperti Billy Sunday dan John Roach Straton mulai mengkritik keburukan-keburukan yang berjangkit dalam masyarakat pascaperang. Karena bekerja sebagai revivalis, mereka mengarahkan tradisi kesucian ke luar. Bangsa yang besar ini akan terjerumus ke dalam kebiadaban, seru mereka, kecuali mereka kembali ke kebenaran Allah.
Selama lima tahun berikutnya dan seterusnya, kaum fundamentalis mendapat dukungan. Pada denominasi-denominasi Protestan utama, khususnya di antara kaum Northern Baptist dan Presbiterian di utara, kekuatan-kekuatan fundamentalis mencoba memaksakan kembali ke hal-hal dasar. Serangkaian berbagai keyakinan dasar, pernyataan ajaran, kebutuhan penginjilan, dan penelitian pada seminari-seminari, semuanya ini telah disusun dalam agenda. Mereka kurang meraih sukses. Dalam banyak hal, hasil akhirnya adalah perpecahan aliran.
Perang epik ini berlangsung bukan dalam konvensi gereja, tetapi di ruang pengadilan di Dayton, Tennessee, pada sidang pengadilan Scopes yang terkenal itu. Mata seluruh bangsa tertuju pada pengacara-pengacara selebriti – William Jennings Bryan di pihak fundamentalis, Clarence Darrow di pihak guru sekolah yang evolusionis. Bryan memenangkan pertempuran, namun kalah dalam peperangan. Scopes dinyatakan bersalah (keputusannya kemudian dibatalkan), tetapi Darrow membuat Bryan tampak buruk. Opini publik mungkin sudah tidak mendukung para fundamentalis, tetapi pengadilan telah mengesahkannya. Mereka telah dikenal dan diejek sebagai rimba terpencil dan orang-orang yang fanatik, namun tidak berpengetahuan.
Setelah tahun 1925, fundamentalisme mundur, terpisah dari dunia ini, menunggu kedatangan Kristus dan mempelajari firman Allah yang tidak mungkin salah. Kelompok ini tetap merupakan kelompok yang mempunyai subkebudayaan yang tertutup, yang membangkitkan gerakan evangelikal tahun 1940-an dan seterusnya, serta melahirkan kebangkitan neofundamentalis sekitar tahun 1980.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
91) Tahun 1919 Tafsiran Surat Roma oleh Karl Bath Diterbitkan
Karl Barth (1886-1968)
Dr. Karl Barth sedang santai di antara sesi-sesi Sidang Raya I
Dewan Gereja-gereja se-Dunia bersama Dr. Emil Brunner
Pada abad kesembilan belas, liberalisme telah menekankan kemajuan manusia dan perubahan dalam dunia.
Namun jika manusia telah maju sebegitu jauh, mengapa ia harus terlibat dalam perang dunia? Jika penemuan-penemuannya dalam teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi begitu efektif, mengapa ia mengarahkan penemuan-penemuan itu kepada yang lain?
Manusia telah tersanjung dengan kemampuannya sendiri. Langkah-langkah panjang yang dicapai ilmu pengetahuan tampaknya membuat dunia menjadi tempat yang tidak misterius lagi. Daripada mencari Allah yang supranatural, banyak orang mencoba mewujudkan surga di atas bumi.
Darwin dan para ahli ilmu pengetahuan lainnya mempertanyakan unsur-unsur supranatural yang dikandung Alkitab. Apakah manusia sesungguhnya ciptaan khusus? Apakah mujizat benar-benar dapat terjadi? Apabila kita dapat mengatur sendiri alam ini, mengapa kita harus membutuhkan Allah? Teologi liberal pada zaman ini menggambarkan Allah tanpa murka, Kristus yang hanya mengajarkan etika, dan kerajaan dunia ini.
Akan tetapi, Perang Dunia I mempertanyakan semuanya itu. Dengan kemajuan Eropa Kristen yang masih meragukan, banyak orang melihat sifat kemerosotan pemikiran liberal. Salah satunya adalah seorang pendeta, Karl Barth. Karena berhadapan dengan kekejainan peperangan, pendeta liberal ini berpaling pada Surat Paulus untuk Jemaat Roma. Apa yang ia temukan di situ mengubah imannya dan mewujudkan gejolak dalam teologi yang mengingatkannya pada Agustinus, Luther dan Wesley.
Tafsiran Surat Roma, yang disebut "bom di tempat bermain para teolog liberal", menerangkan Allah sebagai yang berdaulat dan transenden. Kejatuhan manusia seperti yang ada dalam Kitab Kejadian 3 adalah benar, ujar Barth. Di situ, seluruh keberadaan manusia telah rusak karena dosa dan ia tak lagi dapat menemukan kebenaran Allah dengan usahanya sendiri. Allah harus menampakkan diri-Nya pada manusia, dan la melakukannya melalui Yesus Kristus.
Pernyataan ulang doktrin Barth ini, yang menggunakan istilah-istilah Protestan klasik, mengundang diskusi. Menjelang tahun 1930, pendeta tersebut telah menjadi profesor teologi di Jerman.
Bersama-sama dengan yang lain di Confessing Church (Gereja yang Mengaku), Barth menentang para Nazi dan menulis sebagian besar "Barmen Declaration" (Deklarasi Barmen), yang mengajak orang-orang Kristen menentang tipu muslihat Hitler yang dipakai untuk melawan Gereja. Satu tahun kemudian, pada tahun 1935, Barth diusir dari Jerman dan ia pergi ke Basel, Swiss, untuk mengajar teologi. Selama berada di sana ia banyak menulis, termasuk karya utamanya Church Dogmatics (Dogmatika Gereja), suatu mahakarya Protestan.
Ide-ide Barth menjadi dasar bagi neo-orthodoksi. Teologi abad kedua puluh ini antiliberal, dalam tekanannya pada studi Alkitab, dosa, dan dalam sikapnya terhadap kedaulatan Allah. Namun, teologi ini bersifat ambivalen terhadap historisitas Alkitab, khususnya pada Perjanjian Lama. Sambil menegaskan sebagian besar ajar-an Alkitab, teologi ini tidak perlu menerima bahwa setiap peristiwa dalam Alkitab terjadi dalam ruang dan waktu. Para pengkritiknya telah mengatakan bahwa neo-orthodoksi berupaya juga "menikmati hasilnya dari kedua sisi yang berbeda", dengan menegaskan doktrin tradisional, sementara memberi juga peluang bagi para skeptik yang meragukan sifat historis Kristen.
Para teolog seperti Emil Brunner, Gustaf Aulen, Reinhold, Richard Niebuhr dan Friedrich Gogarten sepaham dengan kepercayaan Barth tentang kedaulatan Allah dan dosa manusia, serta menekankan bahwa iman berarti lebih dari sekadar mengatakan ya terhadap beberapa proposisi teologis. Karena ne-oorthodoksi menerima perlunya "lompatan iman" untuk mengatasi kebenaran yang tampaknya sulit dan berkontradiksi, maka paham itu disebut teologi krisis.
Di dunia yang telah mengalami dua peperangan berat, ide-ide Barth membawa kembali gereja-gereja pada tema-tema dosa dan kedaulatan Allah. Banyak orang Kristen menganggap bahwa tulisan-tulisannya yang berjilid-jilid itu merangsang dan membingungkan. Barth bermain-main dengan universalisme, ide bahwa akhirnya Allah akan menyelamatkan semua orang, meskipun ia tidak pernah berbenturan dengan pertanyaan itu. Dalam teologinya yang berpusat pada Kristus, ia sering kali menempatkan Kristus dalam Perjanjian Lama di tempat-tempat yang mustahil. Ia juga tidak setuju bahwa Kitab Suci tidak dapat salah atau tidak dapat keliru.
Dari sisi positif, Barth mendorong pemahaman Alkitab yang serius, menekankan khotbah-khotbah yang dinamis dan mengembalikan manusia pada pengertian kebutuhannya akan Allah Yang Mahakuasa. Ketika banyak orang berpaling pada dunia untuk berharap, ia panggil mereka kembali untuk menatap kepada Kristus.
Karl Barth (1886-1968)
Dr. Karl Barth sedang santai di antara sesi-sesi Sidang Raya I
Dewan Gereja-gereja se-Dunia bersama Dr. Emil Brunner
Pada abad kesembilan belas, liberalisme telah menekankan kemajuan manusia dan perubahan dalam dunia.
Namun jika manusia telah maju sebegitu jauh, mengapa ia harus terlibat dalam perang dunia? Jika penemuan-penemuannya dalam teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi begitu efektif, mengapa ia mengarahkan penemuan-penemuan itu kepada yang lain?
Manusia telah tersanjung dengan kemampuannya sendiri. Langkah-langkah panjang yang dicapai ilmu pengetahuan tampaknya membuat dunia menjadi tempat yang tidak misterius lagi. Daripada mencari Allah yang supranatural, banyak orang mencoba mewujudkan surga di atas bumi.
Darwin dan para ahli ilmu pengetahuan lainnya mempertanyakan unsur-unsur supranatural yang dikandung Alkitab. Apakah manusia sesungguhnya ciptaan khusus? Apakah mujizat benar-benar dapat terjadi? Apabila kita dapat mengatur sendiri alam ini, mengapa kita harus membutuhkan Allah? Teologi liberal pada zaman ini menggambarkan Allah tanpa murka, Kristus yang hanya mengajarkan etika, dan kerajaan dunia ini.
Akan tetapi, Perang Dunia I mempertanyakan semuanya itu. Dengan kemajuan Eropa Kristen yang masih meragukan, banyak orang melihat sifat kemerosotan pemikiran liberal. Salah satunya adalah seorang pendeta, Karl Barth. Karena berhadapan dengan kekejainan peperangan, pendeta liberal ini berpaling pada Surat Paulus untuk Jemaat Roma. Apa yang ia temukan di situ mengubah imannya dan mewujudkan gejolak dalam teologi yang mengingatkannya pada Agustinus, Luther dan Wesley.
Tafsiran Surat Roma, yang disebut "bom di tempat bermain para teolog liberal", menerangkan Allah sebagai yang berdaulat dan transenden. Kejatuhan manusia seperti yang ada dalam Kitab Kejadian 3 adalah benar, ujar Barth. Di situ, seluruh keberadaan manusia telah rusak karena dosa dan ia tak lagi dapat menemukan kebenaran Allah dengan usahanya sendiri. Allah harus menampakkan diri-Nya pada manusia, dan la melakukannya melalui Yesus Kristus.
Pernyataan ulang doktrin Barth ini, yang menggunakan istilah-istilah Protestan klasik, mengundang diskusi. Menjelang tahun 1930, pendeta tersebut telah menjadi profesor teologi di Jerman.
Bersama-sama dengan yang lain di Confessing Church (Gereja yang Mengaku), Barth menentang para Nazi dan menulis sebagian besar "Barmen Declaration" (Deklarasi Barmen), yang mengajak orang-orang Kristen menentang tipu muslihat Hitler yang dipakai untuk melawan Gereja. Satu tahun kemudian, pada tahun 1935, Barth diusir dari Jerman dan ia pergi ke Basel, Swiss, untuk mengajar teologi. Selama berada di sana ia banyak menulis, termasuk karya utamanya Church Dogmatics (Dogmatika Gereja), suatu mahakarya Protestan.
Ide-ide Barth menjadi dasar bagi neo-orthodoksi. Teologi abad kedua puluh ini antiliberal, dalam tekanannya pada studi Alkitab, dosa, dan dalam sikapnya terhadap kedaulatan Allah. Namun, teologi ini bersifat ambivalen terhadap historisitas Alkitab, khususnya pada Perjanjian Lama. Sambil menegaskan sebagian besar ajar-an Alkitab, teologi ini tidak perlu menerima bahwa setiap peristiwa dalam Alkitab terjadi dalam ruang dan waktu. Para pengkritiknya telah mengatakan bahwa neo-orthodoksi berupaya juga "menikmati hasilnya dari kedua sisi yang berbeda", dengan menegaskan doktrin tradisional, sementara memberi juga peluang bagi para skeptik yang meragukan sifat historis Kristen.
Para teolog seperti Emil Brunner, Gustaf Aulen, Reinhold, Richard Niebuhr dan Friedrich Gogarten sepaham dengan kepercayaan Barth tentang kedaulatan Allah dan dosa manusia, serta menekankan bahwa iman berarti lebih dari sekadar mengatakan ya terhadap beberapa proposisi teologis. Karena ne-oorthodoksi menerima perlunya "lompatan iman" untuk mengatasi kebenaran yang tampaknya sulit dan berkontradiksi, maka paham itu disebut teologi krisis.
Di dunia yang telah mengalami dua peperangan berat, ide-ide Barth membawa kembali gereja-gereja pada tema-tema dosa dan kedaulatan Allah. Banyak orang Kristen menganggap bahwa tulisan-tulisannya yang berjilid-jilid itu merangsang dan membingungkan. Barth bermain-main dengan universalisme, ide bahwa akhirnya Allah akan menyelamatkan semua orang, meskipun ia tidak pernah berbenturan dengan pertanyaan itu. Dalam teologinya yang berpusat pada Kristus, ia sering kali menempatkan Kristus dalam Perjanjian Lama di tempat-tempat yang mustahil. Ia juga tidak setuju bahwa Kitab Suci tidak dapat salah atau tidak dapat keliru.
Dari sisi positif, Barth mendorong pemahaman Alkitab yang serius, menekankan khotbah-khotbah yang dinamis dan mengembalikan manusia pada pengertian kebutuhannya akan Allah Yang Mahakuasa. Ketika banyak orang berpaling pada dunia untuk berharap, ia panggil mereka kembali untuk menatap kepada Kristus.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
92) Tahun 1921 Radio Kristen Pertama Mengudara
Paul Rader (1879 - 1938) , pelopor penyiar radio Kristen
Radio itu baru berumur dua bulan. Westing-house Company yang memulainya di Pittsburgh, dengan siaran pemilihan umum pada tahun 1920, menggunakan kode panggilan KDKA. Para pendengar pertama menggunakan pesawat buatan sendiri, namun sekarang Westinghouse dengan pesat menjual pesawat-pesawat radio yang sudah dibuat sebelumnya, dan para pembeli membutuhkan acara untuk didengarkan. Dalam upaya menyusun acara, stasiun siaran memutuskan menyertakan pelayanan gereja dalam siarannya.
Seorang insinyur di Westinghouse adalah anggota Gereja Episkopal Calvary di Pittsburgh. Kemudian diadakanlah persiapan untuk menyiarkan kebaktian dari sana pada hari Minggu pertama, petang, pada tahun 1921. Pendeta senior yang skeptis membiarkan rekannya, Lewis B. Whittemore, melayani kebaktian tersebut. Dua orang insinyur KDKA – seorang Katolik, yang lain seorang Yahudi – menangani peralatan itu. Mereka mengenakan jubah koor agar kehadiran mereka tidak menarik perhatian para jemaat. Tanggapan terhadap siaran itu begitu positif hingga kebaktian itu menjadi acara tetap dalam KDKA.
Di daerah Chicago, pengkhotbah Paul Rader memboyong kwartet bass ke "studio" di atap sebuah gedung, di mana tersedia sebuah peti dengan sebuah lubang pada satu sisi. "Anda bersiap-siap saja dengan instrumen Anda terarah ke lubang itu," kata teknisi itu. "Bila saya katakan main, Anda pun main."
Ia masukkan mikrofon telepon tua ke dalam lubang itu dan berkata, "Main." Kwartet tersebut pun main. Kemudian Rader berkhotbah. Tanggapan baik yang mereka terima membuat Rader mencari stasiun-stasiun lain di daerah Chicago. Melihat WBBM tutup pada hari Minggu, ia mengatur untuk memakai studio tersebut. Rader menjalankan stasiun seminggu sekali, setiap hari Minggu, selama empat belas jam sehari – WJBT, "Where Jesus Blesses Thousands".
Seperti pada kemajuan teknologi lain, orang Kristen Evangelikal khawatir dengan pengenalan pada radio ini. Sesungguhnya bukankah iblis adalah "pangeran penguasa udara"? Sebagian besar pelopor pengkhotbah radio justru dihadapkan dengan lebih banyak penentang dari gereja ketimbang dari masyarakat luar.
Di Omaha, Nebraska, WOAW (kemudian menjadi WOW) memulai siarannya pada bulan April 1923. Tawaran stasiun itu ditolak beberapa pengkhotbah, sebelum mereka meminta R.R. Brown, seorang pendeta dari Persekutuan Kris-ten dan Misionaris (Christian and Missionary Alliance) yang merupakan orang baru di kota itu. Brown berusaha meminta saran seorang teman yang mengatakan bahwa ia telah berdoa agar Allah "mendapat keuntungan" dengan stasiun radio baru (dan yang berpotensial) ini. Mungkinkah keuntungan itu ada pada diri Brown?
Brown setuju melakukan acara pertama, namun ketika ia meninggalkan studio itu seusai siaran, seseorang datang menemuinya dengan pernyataan bahwa pikirannya telah diubah Roh Kudus dan ia bertobat karena siaran itu. Brown meneriakkan: "Halleluya! Pengurapan dapat dilakukan melalui transmisi!"
Di Chicago, WGES sedang mempersiapkan siaran jarak jauh untuk meliput Illinois Product Exposition pada tahun 1925. Siaran hampir mulai tetapi para musisi belum juga tiba. Secara kebetulan, seorang pejabat stasiun mendengar dua orang bocah sedang memainkan alat musik terompet di tenda Moody Bible Institute, ia berlari untuk "meminjam" jasa anak-anak ini. Beberapa hari kemudian, stasiun tersebut mengundang Moody Bible Institute untuk mengadakan program satu jam setiap hari Minggu. Hal ini akhirnya membuat Moody memiliki stasiun sendiri, WMBI.
Pada tahun 1928, Donald Grey Barnhouse menjadi pengkhotbah pertama yang menyewa jaringan nasional dengan mengudara di CBS dari Philadelphia's Tenth Presbyterian Church (Gereja Presbiterian Philadelphia Kesepuluh). Pada tahun 1930, Clarence Jones dan Reuben Larson meluncurkan stasiun radio penginjilan pertama, HCJB, di Quito, Ekuador – stasiun radio pertama di negeri itu. Dalam masa demam radio pada pertengahan tahun 1920-an, banyak gereja dan lembaga-lembaga pelayanan mulai mengadakan siaran. Menjelang tahun 1928, terdapat enam puluh stasiun radio keagamaan. Kemudian Komisi Radio Federal. melembagakan peraturan-peraturan baru dengan menstandarkan gelombang dan menghilangkan kekacauan. Peraturan-peraturan ini mematikan stasiun-stasiun kecil, namun membantu yang telah kokoh. Menjelang tahun 1932, hanya tiga puluh stasiun keagamaan yang tinggal. Namun, pada setengah abad berikutnya, kekuatan media Kristen bertumbuh. Para pemimpin seperti Billy Graham, Rex Humbard, Oral Roberts dan Pat Robertson, dengan tidak melupakan Uskup Fulton Sheen, adalah orang-orang pertama yang melakukan siaran melalui televisi pada tahun 1950-an dan 1960-an. Radio dan TV memainkan peran penting dalam kebangkitan kembali fundamentalis pada tahun 1970-an.
Awal mula gerakan dalam radio Kristen, kembali pada tahun dua puluhan, menunjukkan sedikit skizofrenia kaum fundamentalisme Amerika. Istilah umum untuk hal itu adalah Pemisahan. Para pengkhotbah fundamentalis seperti Billy Sunday meminta para pendengar agar menjauhi "keduniawian" dalam segala bentuknya. Namun, para fundamentalis juga merupakan pengurus bagi Injil yang keluar. Agar setia padanya, mereka harus memberitakannya ke luar. Hal ini membutuhkan segala cara yang memungkinkan – termasuk gelombang radio – untuk mengajarkan tentang Yesus. Dengan demikian, bangkitnya radio Kristen merupakan pendahulu gerakan evangelikal pada tahun 1930-an dan 1940-an, di mana dorongan untuk penginjilan mulai melunakkan garis-garis keras kaum separatis.
Ketika siaran televisi Kristen lebih meluas dari radio Kristen, siaran keagamaan menjadi bisnis besar. Televisi telah menawan publik Amerika sebegitu rupa sehingga menjadi sumber utama bagi kegiatan waktu senggang, ataupun kala tidak beraktivitas. Orang-orang Kris-ten pun telah tertarik pada televisi. Para pengkhotbah yang berjiwa usaha membangun organisasi-organisasi dan institusi-institusi (tamantaman untuk bersantai, perguruan tinggi-perguruan tinggi, katedral-katedral kristal) atas dasar pelayanan televisi mereka. Mereka pun berupaya meniti karir dalam kancah politik pada tahun delapan puluhan, dan salah seorang dari mereka yang berupaya menjadi presiden mereka adalah Pat Robertson.
Pelayanan televisi keagamaan ini menjangkau hanya sebagian kecil publik Amerika Utara. Para analis rating audiens siaran duniawi mengetahui hal itu, dan tidak melihat bahwa program keagamaan sebagai ancaman besar untuk merebut para audiens. Tetapi orang-orang Kris-ten yang telah terpikat oleh siaran itu memikirkan bahwa sekurang-kurangnya mereka telah menghadirkan diri dalam dunia televisi yang kuat dan mensubsidikan uang sebesar dua miliar dolar Amerika per tahun untuk siaran keagamaan menjelang akhir tahun 1980-an.
Sedihnya, skandal moral yang melibatkan dua dari antara pelayan-pelayan besar mengumpulkan lebih banyak "angka rating rata-rata" pada perhitungan pendengar daripada program-program televisi keagamaan yang telah dicapai selama ini. Seperti televisi mengubah cara Amerika memilih para politisinya pada tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan, maka siaran keagamaan di televisi membawa dampak bagi persepsi umum tentang hakikat dan arti kekristenan. Terlampau dini untuk mengetahui bagaimana televisi keagamaan berdampak pada gereja masa kini, namun penting untuk menyelidikinya.
Paul Rader (1879 - 1938) , pelopor penyiar radio Kristen
Radio itu baru berumur dua bulan. Westing-house Company yang memulainya di Pittsburgh, dengan siaran pemilihan umum pada tahun 1920, menggunakan kode panggilan KDKA. Para pendengar pertama menggunakan pesawat buatan sendiri, namun sekarang Westinghouse dengan pesat menjual pesawat-pesawat radio yang sudah dibuat sebelumnya, dan para pembeli membutuhkan acara untuk didengarkan. Dalam upaya menyusun acara, stasiun siaran memutuskan menyertakan pelayanan gereja dalam siarannya.
Seorang insinyur di Westinghouse adalah anggota Gereja Episkopal Calvary di Pittsburgh. Kemudian diadakanlah persiapan untuk menyiarkan kebaktian dari sana pada hari Minggu pertama, petang, pada tahun 1921. Pendeta senior yang skeptis membiarkan rekannya, Lewis B. Whittemore, melayani kebaktian tersebut. Dua orang insinyur KDKA – seorang Katolik, yang lain seorang Yahudi – menangani peralatan itu. Mereka mengenakan jubah koor agar kehadiran mereka tidak menarik perhatian para jemaat. Tanggapan terhadap siaran itu begitu positif hingga kebaktian itu menjadi acara tetap dalam KDKA.
Di daerah Chicago, pengkhotbah Paul Rader memboyong kwartet bass ke "studio" di atap sebuah gedung, di mana tersedia sebuah peti dengan sebuah lubang pada satu sisi. "Anda bersiap-siap saja dengan instrumen Anda terarah ke lubang itu," kata teknisi itu. "Bila saya katakan main, Anda pun main."
Ia masukkan mikrofon telepon tua ke dalam lubang itu dan berkata, "Main." Kwartet tersebut pun main. Kemudian Rader berkhotbah. Tanggapan baik yang mereka terima membuat Rader mencari stasiun-stasiun lain di daerah Chicago. Melihat WBBM tutup pada hari Minggu, ia mengatur untuk memakai studio tersebut. Rader menjalankan stasiun seminggu sekali, setiap hari Minggu, selama empat belas jam sehari – WJBT, "Where Jesus Blesses Thousands".
Seperti pada kemajuan teknologi lain, orang Kristen Evangelikal khawatir dengan pengenalan pada radio ini. Sesungguhnya bukankah iblis adalah "pangeran penguasa udara"? Sebagian besar pelopor pengkhotbah radio justru dihadapkan dengan lebih banyak penentang dari gereja ketimbang dari masyarakat luar.
Di Omaha, Nebraska, WOAW (kemudian menjadi WOW) memulai siarannya pada bulan April 1923. Tawaran stasiun itu ditolak beberapa pengkhotbah, sebelum mereka meminta R.R. Brown, seorang pendeta dari Persekutuan Kris-ten dan Misionaris (Christian and Missionary Alliance) yang merupakan orang baru di kota itu. Brown berusaha meminta saran seorang teman yang mengatakan bahwa ia telah berdoa agar Allah "mendapat keuntungan" dengan stasiun radio baru (dan yang berpotensial) ini. Mungkinkah keuntungan itu ada pada diri Brown?
Brown setuju melakukan acara pertama, namun ketika ia meninggalkan studio itu seusai siaran, seseorang datang menemuinya dengan pernyataan bahwa pikirannya telah diubah Roh Kudus dan ia bertobat karena siaran itu. Brown meneriakkan: "Halleluya! Pengurapan dapat dilakukan melalui transmisi!"
Di Chicago, WGES sedang mempersiapkan siaran jarak jauh untuk meliput Illinois Product Exposition pada tahun 1925. Siaran hampir mulai tetapi para musisi belum juga tiba. Secara kebetulan, seorang pejabat stasiun mendengar dua orang bocah sedang memainkan alat musik terompet di tenda Moody Bible Institute, ia berlari untuk "meminjam" jasa anak-anak ini. Beberapa hari kemudian, stasiun tersebut mengundang Moody Bible Institute untuk mengadakan program satu jam setiap hari Minggu. Hal ini akhirnya membuat Moody memiliki stasiun sendiri, WMBI.
Pada tahun 1928, Donald Grey Barnhouse menjadi pengkhotbah pertama yang menyewa jaringan nasional dengan mengudara di CBS dari Philadelphia's Tenth Presbyterian Church (Gereja Presbiterian Philadelphia Kesepuluh). Pada tahun 1930, Clarence Jones dan Reuben Larson meluncurkan stasiun radio penginjilan pertama, HCJB, di Quito, Ekuador – stasiun radio pertama di negeri itu. Dalam masa demam radio pada pertengahan tahun 1920-an, banyak gereja dan lembaga-lembaga pelayanan mulai mengadakan siaran. Menjelang tahun 1928, terdapat enam puluh stasiun radio keagamaan. Kemudian Komisi Radio Federal. melembagakan peraturan-peraturan baru dengan menstandarkan gelombang dan menghilangkan kekacauan. Peraturan-peraturan ini mematikan stasiun-stasiun kecil, namun membantu yang telah kokoh. Menjelang tahun 1932, hanya tiga puluh stasiun keagamaan yang tinggal. Namun, pada setengah abad berikutnya, kekuatan media Kristen bertumbuh. Para pemimpin seperti Billy Graham, Rex Humbard, Oral Roberts dan Pat Robertson, dengan tidak melupakan Uskup Fulton Sheen, adalah orang-orang pertama yang melakukan siaran melalui televisi pada tahun 1950-an dan 1960-an. Radio dan TV memainkan peran penting dalam kebangkitan kembali fundamentalis pada tahun 1970-an.
Awal mula gerakan dalam radio Kristen, kembali pada tahun dua puluhan, menunjukkan sedikit skizofrenia kaum fundamentalisme Amerika. Istilah umum untuk hal itu adalah Pemisahan. Para pengkhotbah fundamentalis seperti Billy Sunday meminta para pendengar agar menjauhi "keduniawian" dalam segala bentuknya. Namun, para fundamentalis juga merupakan pengurus bagi Injil yang keluar. Agar setia padanya, mereka harus memberitakannya ke luar. Hal ini membutuhkan segala cara yang memungkinkan – termasuk gelombang radio – untuk mengajarkan tentang Yesus. Dengan demikian, bangkitnya radio Kristen merupakan pendahulu gerakan evangelikal pada tahun 1930-an dan 1940-an, di mana dorongan untuk penginjilan mulai melunakkan garis-garis keras kaum separatis.
Ketika siaran televisi Kristen lebih meluas dari radio Kristen, siaran keagamaan menjadi bisnis besar. Televisi telah menawan publik Amerika sebegitu rupa sehingga menjadi sumber utama bagi kegiatan waktu senggang, ataupun kala tidak beraktivitas. Orang-orang Kris-ten pun telah tertarik pada televisi. Para pengkhotbah yang berjiwa usaha membangun organisasi-organisasi dan institusi-institusi (tamantaman untuk bersantai, perguruan tinggi-perguruan tinggi, katedral-katedral kristal) atas dasar pelayanan televisi mereka. Mereka pun berupaya meniti karir dalam kancah politik pada tahun delapan puluhan, dan salah seorang dari mereka yang berupaya menjadi presiden mereka adalah Pat Robertson.
Pelayanan televisi keagamaan ini menjangkau hanya sebagian kecil publik Amerika Utara. Para analis rating audiens siaran duniawi mengetahui hal itu, dan tidak melihat bahwa program keagamaan sebagai ancaman besar untuk merebut para audiens. Tetapi orang-orang Kris-ten yang telah terpikat oleh siaran itu memikirkan bahwa sekurang-kurangnya mereka telah menghadirkan diri dalam dunia televisi yang kuat dan mensubsidikan uang sebesar dua miliar dolar Amerika per tahun untuk siaran keagamaan menjelang akhir tahun 1980-an.
Sedihnya, skandal moral yang melibatkan dua dari antara pelayan-pelayan besar mengumpulkan lebih banyak "angka rating rata-rata" pada perhitungan pendengar daripada program-program televisi keagamaan yang telah dicapai selama ini. Seperti televisi mengubah cara Amerika memilih para politisinya pada tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan, maka siaran keagamaan di televisi membawa dampak bagi persepsi umum tentang hakikat dan arti kekristenan. Terlampau dini untuk mengetahui bagaimana televisi keagamaan berdampak pada gereja masa kini, namun penting untuk menyelidikinya.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
93) Tahun 1934 Cameron Townsend Memulai Institut Linguistik Musim Panas
Cameron Townsend mendapatkan pelajaran awal dalam hubungan antara linguistik dan penginjilan. Sebagai seorang misionaris muda di Guatemala, ia bekerja keras mendekati orang-orang jalanan dan menanyakan hubungan mereka dengan Kristus. Ia menghafal kalimat perkenalannya dalam bahasa Spanyol: "Tahukah Anda tentang Tuhan Yesus itu?"
la tidak tahu bahwa Yesus itu adalah nama pertama yang umum di antara orang Spanyol, dan istilah "Tuhan" (Lord) – Senor – juga artinya "Tuan" (Mister). Ia mengharapkan tanggapan yang akan memberi dia kesempatan berbicara tentang hal-hal spiritual. Namun, yang ia dapat adalah suatu kenyataan, "Maaf, tidak kenal. Saya pun orang asing di sini."
Itu terjadi pada tahun 1917. Sebagian besar pemuda Amerika seusianya sedang berperang di Eropa. Mungkin, melihat tubuh Townsend yang lemah, pejabat yang merekrutnya menawarkan dia menjual Alkitab di Guatemala.
Pada awalnya, mungkin terlihat bahwa Townsend terlibat dalam pekerjaan berat. Namun akhirnya ia mempelajari bahasa Spanyol dan mulai bekerja di antara orang-orang Indian yang beriman. Terbeban bekerja untuk Indian Cakchiquel di dataran tinggi, Townsend mengetahui bahwa di antara mereka hampir tidak ada yang mengetahui bahasa Spanyol. Agar berdampak terhadap mereka, ia harus mempelajari bahasa mereka.
Hal ini tidaklah mudah. Istrinya, Elvira, dalam surat doanya menulis, "Berdoalah agar kami dengan cepat dapat mempelajari bahasa yang mengerikan ini. Tanpa tata bahasa atau buku-buku apa pun untuk dipelajari, keadaan sungguh menyulitkan. Kami memiliki sebuah buku kecil, di situlah kami mencatat istilahistilah dan kalimat-kalimat yang diucapkan orang-orang Indian bila kami mengunjungi mereka. Namun, beberapa istilah ini bunyinya begitu aneh sehingga sulit dicatat. Tetapi, tentunya bahasa Cakchiquel ini datangnya dari Tuhan, sama seperti bahasa Inggris, Spanyol atau Swedia, dan kami tahu bahwa Ia akan membuat kami mengerti bahasa Indian ini agar kami secepatnya dapat menjelaskan Injil kepada mereka dalam bahasa mereka sendiri."
Doa tersebut terkabul. Menjelang tahun 1931, pasangan Townsend telah menghasilkan Perjanjian Baru lengkap dalam bahasa Cakchiquel. Tidak lama kemudian, memburuknya kesehatan mereka memaksa mereka kembali ke Amerika Serikat. Cam berharap pindah ke sebuah pelayanan di Amerika Selatan setelah kesehatan mereka pulih. L. L. Legters, seorang rekan dan pendukung karya Townsend di Guatemala, meminta dia bekerja di Mexico, lebih dekat ke rumah. Townsend dan Legters bersama-sama mengembangkan suatu ide Baru.
"Saya menganjurkan supaya kita mendirikan institut musim panas tempat misionaris dapat dididik bagaimana mempelajari suatu bahasa untuk menulis dan menerjemahkan Injil," tulis Townsend di kemudian hari. Karena hanya dua universitas di Amerika Serikat yang memberi kursus dalam linguistic descriptive (bagaimana suatu bahasa inti lazimnya dipakai), dan program empat tahun ini memakan waktu terlampau lama bagi para misionaris, maka sesuatu yang khusus dibutuhkan. Legters dan Townsend meneruskan dengan dua jalur. Mereka memutuskan memulai sekolah bahasa bagi para misionaris di Amerika Serikat, dan mereka berencana meminta pemerintah Mexico mengizinkan mereka mengirim para penerjemah Alkitab untuk mempelajari bahasa-bahasa Indian yang belum ditulis.
Pada tahun 1934, Summer Institute of Linguistics (Institut Linguistik Musim Panas) dimulai di sebuah ladang di Sulphur Springs, Arkansas, dengan kurikulum yang mengesankan. Apabila para profesornya tidak dapat datang ke institut, maka siswa institut itulah yang mendatangi para profesor (hanya ada dua orang siswa pada tahun pertama dan beberapa lagi pada tahun kedua).
Pada awalnya, para penerjemah ini hampir tidak mendapat kerja sama dari pemerintah Mexico. Tetapi, Townsend memiliki beberapa orang terpelajar tingkat tinggi di pihaknya. llia adalah salah seorang pembuat eksperimen yang sangat terkemuka dalam ilmu bahasa yang sedang mencuat. Akhirnya, para pemimpin Mexico melihat pentingnya mempelajari bahasa-bahasa Indian tersebut dan memberi dukungan penuh bagi karya Townsend.
Townsend tidak pernah seorang diri dalam organisasi. Para misionarislah yang melakukan pekerjaan misi, bukan pejabat-pejabat di rumah (Amerika Serikat). Namun, menjelang awal 1940-an, pekerjaan penerjemahan ini menjadi beban berat untuk dikerjakan dalam basis free-lance. Institut Musim Panas pindah ke Universitas Oklahoma, dan di situ terdapat 130 mahasiswa. Ada empat puluh empat penerjemah yang sudah bekerja di Mexico, dan Townsend telah meminta lima puluh lagi. Untuk ini dibutuhkan semacam organisasi pendukung. Maka, pada tahun 1942, dengan resmi dibentuklah Wycliffe Bible Translators, dinamakan demikian untuk menghormati penerjemah Inggris yang agung pada Abad Pertengahan. Institut Linguistik Musim Panas melanjutkan hubungan dengan pemerintah-pemerintah mancanegara, tetapi Wycliffe Bible Translators mengorganisasikan dukungan dari Amerika Serikat.
Karya penerjemahan meluas dari sana: Guatemala, Peru, Columbia dan Ekuador. Sebuah korps penerbangan, Jungle Aviation and Radio Service (Pelayanan Radio dan Penerbangan Hutan), didirikan untuk membawa para penerjemah misionaris dengan selamat ke dan dari daerah-daerah jauh.
Sampai sekarang ketiga organisasi tersebut mempunyai lebih dari 6.000 pekerja di lebih dari lima puluh negara. Mereka menghasilkan bagian-bagian Alkitab dalam lebih dari 300 bahasa dan sedang bekerja untuk lebih dari 800 yang lain.
Karya Wycliffe Translators tersebut membuat ratusan kelompok manusia terjangkau Injil. Ini merupakan langkah besar ke depan dalam gerakan misi modern untuk menjangkau orangorang yang tidak terjangkau – mereka yang tidak punya akses terhadap kekristenan.
Namun organisasi Townsend juga menggambarkan pergeseran halus dalam Protestanisme Amerika. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, fundamentalisme muncul lagi dengan tiba-tiba. Separatisme yang ketat memberi jalan bagi penginjilan yang agresif. Sementara memelihara kesempurnaan doktrinnya, organisasi Wycliffe tersebut dengan tidak merasa malu bersekutu dengan universitas-universitas sekular, para ahli bahasa, pemerintah, ataupun dengan para antropolog dalam rangka menyelesaikan urusannya. Gerakan "evangelikal" tersebut melihat banyak misi dan organisasi pendidikan Kristen yang timbul, serta ingin mencoba metode-metode Baru membawa Injil ke seberang.
Cameron Townsend mendapatkan pelajaran awal dalam hubungan antara linguistik dan penginjilan. Sebagai seorang misionaris muda di Guatemala, ia bekerja keras mendekati orang-orang jalanan dan menanyakan hubungan mereka dengan Kristus. Ia menghafal kalimat perkenalannya dalam bahasa Spanyol: "Tahukah Anda tentang Tuhan Yesus itu?"
la tidak tahu bahwa Yesus itu adalah nama pertama yang umum di antara orang Spanyol, dan istilah "Tuhan" (Lord) – Senor – juga artinya "Tuan" (Mister). Ia mengharapkan tanggapan yang akan memberi dia kesempatan berbicara tentang hal-hal spiritual. Namun, yang ia dapat adalah suatu kenyataan, "Maaf, tidak kenal. Saya pun orang asing di sini."
Itu terjadi pada tahun 1917. Sebagian besar pemuda Amerika seusianya sedang berperang di Eropa. Mungkin, melihat tubuh Townsend yang lemah, pejabat yang merekrutnya menawarkan dia menjual Alkitab di Guatemala.
Pada awalnya, mungkin terlihat bahwa Townsend terlibat dalam pekerjaan berat. Namun akhirnya ia mempelajari bahasa Spanyol dan mulai bekerja di antara orang-orang Indian yang beriman. Terbeban bekerja untuk Indian Cakchiquel di dataran tinggi, Townsend mengetahui bahwa di antara mereka hampir tidak ada yang mengetahui bahasa Spanyol. Agar berdampak terhadap mereka, ia harus mempelajari bahasa mereka.
Hal ini tidaklah mudah. Istrinya, Elvira, dalam surat doanya menulis, "Berdoalah agar kami dengan cepat dapat mempelajari bahasa yang mengerikan ini. Tanpa tata bahasa atau buku-buku apa pun untuk dipelajari, keadaan sungguh menyulitkan. Kami memiliki sebuah buku kecil, di situlah kami mencatat istilahistilah dan kalimat-kalimat yang diucapkan orang-orang Indian bila kami mengunjungi mereka. Namun, beberapa istilah ini bunyinya begitu aneh sehingga sulit dicatat. Tetapi, tentunya bahasa Cakchiquel ini datangnya dari Tuhan, sama seperti bahasa Inggris, Spanyol atau Swedia, dan kami tahu bahwa Ia akan membuat kami mengerti bahasa Indian ini agar kami secepatnya dapat menjelaskan Injil kepada mereka dalam bahasa mereka sendiri."
Doa tersebut terkabul. Menjelang tahun 1931, pasangan Townsend telah menghasilkan Perjanjian Baru lengkap dalam bahasa Cakchiquel. Tidak lama kemudian, memburuknya kesehatan mereka memaksa mereka kembali ke Amerika Serikat. Cam berharap pindah ke sebuah pelayanan di Amerika Selatan setelah kesehatan mereka pulih. L. L. Legters, seorang rekan dan pendukung karya Townsend di Guatemala, meminta dia bekerja di Mexico, lebih dekat ke rumah. Townsend dan Legters bersama-sama mengembangkan suatu ide Baru.
"Saya menganjurkan supaya kita mendirikan institut musim panas tempat misionaris dapat dididik bagaimana mempelajari suatu bahasa untuk menulis dan menerjemahkan Injil," tulis Townsend di kemudian hari. Karena hanya dua universitas di Amerika Serikat yang memberi kursus dalam linguistic descriptive (bagaimana suatu bahasa inti lazimnya dipakai), dan program empat tahun ini memakan waktu terlampau lama bagi para misionaris, maka sesuatu yang khusus dibutuhkan. Legters dan Townsend meneruskan dengan dua jalur. Mereka memutuskan memulai sekolah bahasa bagi para misionaris di Amerika Serikat, dan mereka berencana meminta pemerintah Mexico mengizinkan mereka mengirim para penerjemah Alkitab untuk mempelajari bahasa-bahasa Indian yang belum ditulis.
Pada tahun 1934, Summer Institute of Linguistics (Institut Linguistik Musim Panas) dimulai di sebuah ladang di Sulphur Springs, Arkansas, dengan kurikulum yang mengesankan. Apabila para profesornya tidak dapat datang ke institut, maka siswa institut itulah yang mendatangi para profesor (hanya ada dua orang siswa pada tahun pertama dan beberapa lagi pada tahun kedua).
Pada awalnya, para penerjemah ini hampir tidak mendapat kerja sama dari pemerintah Mexico. Tetapi, Townsend memiliki beberapa orang terpelajar tingkat tinggi di pihaknya. llia adalah salah seorang pembuat eksperimen yang sangat terkemuka dalam ilmu bahasa yang sedang mencuat. Akhirnya, para pemimpin Mexico melihat pentingnya mempelajari bahasa-bahasa Indian tersebut dan memberi dukungan penuh bagi karya Townsend.
Townsend tidak pernah seorang diri dalam organisasi. Para misionarislah yang melakukan pekerjaan misi, bukan pejabat-pejabat di rumah (Amerika Serikat). Namun, menjelang awal 1940-an, pekerjaan penerjemahan ini menjadi beban berat untuk dikerjakan dalam basis free-lance. Institut Musim Panas pindah ke Universitas Oklahoma, dan di situ terdapat 130 mahasiswa. Ada empat puluh empat penerjemah yang sudah bekerja di Mexico, dan Townsend telah meminta lima puluh lagi. Untuk ini dibutuhkan semacam organisasi pendukung. Maka, pada tahun 1942, dengan resmi dibentuklah Wycliffe Bible Translators, dinamakan demikian untuk menghormati penerjemah Inggris yang agung pada Abad Pertengahan. Institut Linguistik Musim Panas melanjutkan hubungan dengan pemerintah-pemerintah mancanegara, tetapi Wycliffe Bible Translators mengorganisasikan dukungan dari Amerika Serikat.
Karya penerjemahan meluas dari sana: Guatemala, Peru, Columbia dan Ekuador. Sebuah korps penerbangan, Jungle Aviation and Radio Service (Pelayanan Radio dan Penerbangan Hutan), didirikan untuk membawa para penerjemah misionaris dengan selamat ke dan dari daerah-daerah jauh.
Sampai sekarang ketiga organisasi tersebut mempunyai lebih dari 6.000 pekerja di lebih dari lima puluh negara. Mereka menghasilkan bagian-bagian Alkitab dalam lebih dari 300 bahasa dan sedang bekerja untuk lebih dari 800 yang lain.
Karya Wycliffe Translators tersebut membuat ratusan kelompok manusia terjangkau Injil. Ini merupakan langkah besar ke depan dalam gerakan misi modern untuk menjangkau orangorang yang tidak terjangkau – mereka yang tidak punya akses terhadap kekristenan.
Namun organisasi Townsend juga menggambarkan pergeseran halus dalam Protestanisme Amerika. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, fundamentalisme muncul lagi dengan tiba-tiba. Separatisme yang ketat memberi jalan bagi penginjilan yang agresif. Sementara memelihara kesempurnaan doktrinnya, organisasi Wycliffe tersebut dengan tidak merasa malu bersekutu dengan universitas-universitas sekular, para ahli bahasa, pemerintah, ataupun dengan para antropolog dalam rangka menyelesaikan urusannya. Gerakan "evangelikal" tersebut melihat banyak misi dan organisasi pendidikan Kristen yang timbul, serta ingin mencoba metode-metode Baru membawa Injil ke seberang.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
94) Tahun 1945 Dietrich Bonhoeffer Dieksekusi Nazi
Dietrich Bonhoeffer (1906-1945). di halaman penjara Tegel di Berlin (summer 1944). Source: Christian Kaiser Verlag
Orang-orang Kristen boleh tidak setuju dengan teologinya, tetapi hampir tidak ada yang tidak mengagumi keteguhan sikap Dietrich Bonhoeffer menentang Third Reich (Jerman di bawah kekuasaan Hitler) – meskipun ia harus mengorbankan nyawanya.
Bonhoeffer, seorang mahasiswa Karl Barth, menerima gelar doktoral di bidang teologi dari
Universitas Berlin ketika ia berumur dua puluh satu tahun. Ia adalah seorang pendeta utusan gereja Lutheran dan dosen ketika Hitler berkuasa pada tahun 1933.
Sadar akan pengaruhnya terhadap orang banyak, Hitler membujuk dan menipu Gereja dengan mendapatkan dukungan besar dari kaum rohaniwan Lutheran dan Katolik. Ide Gereja Jerman sendiri telah menyentuh "orang-orang Kristen Jerman". Ide-ide Nazi sudah mulai menyusup ke dalam gereja.
Namun, yang lain takut serta mencurigai Hitler dan idenya tentang keunggulan ras Aria. Kira-kira sepertiga kelompok rohaniwan Protestan, yang memimpin apa yang dinamakan Confessing Church (Gereja yang Mengaku), menentang pemimpin Jerman ini. Mereka menganggap ide-ide tersebut berasal dari Barmen Declaration (Deklarasi Barmen), yang sebagian besar ditulis Karl Barth, yang menunjukkan kesalahan doktrin orang-orang Kristen Jerman.
Pada tahun 1935, Bonhoeffer menjadi Ketua Confessing Church Seminary. Tetapi, seminari itu ditutup pada tahun 1937, dan Bonhoeffer dilarang menerbitkan ataupun berbicara di muka umum. Dua tahun kemudian, ketika ditawarkan kemungkinan untuk pindah mengajar di Amerika, Bonhoeffer menolaknya dengan alasan ingin melayani orang-orang bangsanya, yakni bangsa Jerman.
Iparnya menarik dia dalam gerakan perlawanan, dan Bonhoeffer pun telah menjadi bagian dari rencana pembunuhan Hitler. la dan yang lain merasa bahwa Hitlerlah anti-Kristus itu. Jadi rohaniwan tersebut menjadi agen ganda di kantor intel tentara Jerman. Dia gagal berupaya mendapatkan dukungan dari Inggris bagi rencana itu. Rencana tersebut akhirnya gagal.
Ketika Bonhoeffer ditangkap pada tahun 1943, hal itu bukan karena dia bekerja sebagai agen ganda, melainkan karena ia membantu menyelundupkan empat belas orang Yahudi ke Swiss. Di dalam penjara dia menulis, yang kemudian diterbitkan setelah kematiannya, dengan judul Letters and Papers From Prison (Surat-surat dan Tulisan-tulisan dari Penjara).
Hanya saja jika Bonhoeffer hidup lebih lama lagi mungkin dia dapat menjelaskan lebih jauh beberapa ide yang menantang tetapi membingungkan itu, yang dikemukakannya selama di dalam penjara. Para teolog mengadakan argumentasi tentang ungkapan "religionless Christianity" (kekristenan tanpa agama); "death of God" (kematian Allah) yang dipahami secara berbeda oleh para teolog dan para penginjil. Ketika dia berkata "the world has come of age" (dunia sudah dewasa), apa yang dimaksudkan Bonhoeffer? Apa dia ingin mensekulerkan Injil atau dia pun melihat – seperti juga orang lain pada masa kini – bahwa orang-orang tidak lagi mengerti konsep tradisional Kristen?
"Bagaimana kita dapat berbicara secara 'sekular' tentang Allah?" tanya Bonhoeffer. Kita tahu bahwa dia tidak sepaham dengan para teolog lainnya seperti Rudolf Bultmann dan Paul Tillich, yang ingin "mendemitologisasikan" Injil, tetapi dia tidak pernah memulai suatu program seorang diri.
Meskipun banyak pertanyaan tentang dia yang belum terjawab, satu-satunya elemen utama kepercayaan Bonhoeffer tidak dapat diragukan: Iman itu mahal. Bukunya, The Cost of Discipleship (Harga Mengikut Yesus), mengajak orang-orang Kristen agar beriman kuat dan menyangkal diri. Banyak orang yang telah menerima "anugerah murah" Kristen, yang mendorong mereka beriman lemah, kata Bonhoeffer. Daripada memperlakukan bagian-bagian etika Perjanjian Baru sebagai gagasan yang tak mungkin, orang-orang Kristen harus mengusahakan hal itu. Agama yang sejati lebih daripada hanya memiliki ide-ide yang benar tentang Allah; itu berarti mengikuti Dia – sampai mati, jika perlu.
Bonhoeffer mematuhi fatwanya sendiri. Ketika berada dalam penjara, dia berupaya melayani orang lain. Pada tanggal 9 April 1945, ketika tentara sekutu mengadakan serangan terakhir atas Jerman, dia dihukum gantung dengan tuduhan mengkhianati negara. Meskipun orang-orang Kristen sering kali mengalami problem etis dengan terlibatnya Bonhoeffer dalam rencana membunuh Hitler, pendiriannya melawan berbagai upaya Hitler menjadikan Gereja bagian dari rezim Nazi dan kesediaannya mati bagi Kristus, juga memberi setiap generasi tantangan akan iman yang siap berkorban.
Dietrich Bonhoeffer (1906-1945). di halaman penjara Tegel di Berlin (summer 1944). Source: Christian Kaiser Verlag
Orang-orang Kristen boleh tidak setuju dengan teologinya, tetapi hampir tidak ada yang tidak mengagumi keteguhan sikap Dietrich Bonhoeffer menentang Third Reich (Jerman di bawah kekuasaan Hitler) – meskipun ia harus mengorbankan nyawanya.
Bonhoeffer, seorang mahasiswa Karl Barth, menerima gelar doktoral di bidang teologi dari
Universitas Berlin ketika ia berumur dua puluh satu tahun. Ia adalah seorang pendeta utusan gereja Lutheran dan dosen ketika Hitler berkuasa pada tahun 1933.
Sadar akan pengaruhnya terhadap orang banyak, Hitler membujuk dan menipu Gereja dengan mendapatkan dukungan besar dari kaum rohaniwan Lutheran dan Katolik. Ide Gereja Jerman sendiri telah menyentuh "orang-orang Kristen Jerman". Ide-ide Nazi sudah mulai menyusup ke dalam gereja.
Namun, yang lain takut serta mencurigai Hitler dan idenya tentang keunggulan ras Aria. Kira-kira sepertiga kelompok rohaniwan Protestan, yang memimpin apa yang dinamakan Confessing Church (Gereja yang Mengaku), menentang pemimpin Jerman ini. Mereka menganggap ide-ide tersebut berasal dari Barmen Declaration (Deklarasi Barmen), yang sebagian besar ditulis Karl Barth, yang menunjukkan kesalahan doktrin orang-orang Kristen Jerman.
Pada tahun 1935, Bonhoeffer menjadi Ketua Confessing Church Seminary. Tetapi, seminari itu ditutup pada tahun 1937, dan Bonhoeffer dilarang menerbitkan ataupun berbicara di muka umum. Dua tahun kemudian, ketika ditawarkan kemungkinan untuk pindah mengajar di Amerika, Bonhoeffer menolaknya dengan alasan ingin melayani orang-orang bangsanya, yakni bangsa Jerman.
Iparnya menarik dia dalam gerakan perlawanan, dan Bonhoeffer pun telah menjadi bagian dari rencana pembunuhan Hitler. la dan yang lain merasa bahwa Hitlerlah anti-Kristus itu. Jadi rohaniwan tersebut menjadi agen ganda di kantor intel tentara Jerman. Dia gagal berupaya mendapatkan dukungan dari Inggris bagi rencana itu. Rencana tersebut akhirnya gagal.
Ketika Bonhoeffer ditangkap pada tahun 1943, hal itu bukan karena dia bekerja sebagai agen ganda, melainkan karena ia membantu menyelundupkan empat belas orang Yahudi ke Swiss. Di dalam penjara dia menulis, yang kemudian diterbitkan setelah kematiannya, dengan judul Letters and Papers From Prison (Surat-surat dan Tulisan-tulisan dari Penjara).
Hanya saja jika Bonhoeffer hidup lebih lama lagi mungkin dia dapat menjelaskan lebih jauh beberapa ide yang menantang tetapi membingungkan itu, yang dikemukakannya selama di dalam penjara. Para teolog mengadakan argumentasi tentang ungkapan "religionless Christianity" (kekristenan tanpa agama); "death of God" (kematian Allah) yang dipahami secara berbeda oleh para teolog dan para penginjil. Ketika dia berkata "the world has come of age" (dunia sudah dewasa), apa yang dimaksudkan Bonhoeffer? Apa dia ingin mensekulerkan Injil atau dia pun melihat – seperti juga orang lain pada masa kini – bahwa orang-orang tidak lagi mengerti konsep tradisional Kristen?
"Bagaimana kita dapat berbicara secara 'sekular' tentang Allah?" tanya Bonhoeffer. Kita tahu bahwa dia tidak sepaham dengan para teolog lainnya seperti Rudolf Bultmann dan Paul Tillich, yang ingin "mendemitologisasikan" Injil, tetapi dia tidak pernah memulai suatu program seorang diri.
Meskipun banyak pertanyaan tentang dia yang belum terjawab, satu-satunya elemen utama kepercayaan Bonhoeffer tidak dapat diragukan: Iman itu mahal. Bukunya, The Cost of Discipleship (Harga Mengikut Yesus), mengajak orang-orang Kristen agar beriman kuat dan menyangkal diri. Banyak orang yang telah menerima "anugerah murah" Kristen, yang mendorong mereka beriman lemah, kata Bonhoeffer. Daripada memperlakukan bagian-bagian etika Perjanjian Baru sebagai gagasan yang tak mungkin, orang-orang Kristen harus mengusahakan hal itu. Agama yang sejati lebih daripada hanya memiliki ide-ide yang benar tentang Allah; itu berarti mengikuti Dia – sampai mati, jika perlu.
Bonhoeffer mematuhi fatwanya sendiri. Ketika berada dalam penjara, dia berupaya melayani orang lain. Pada tanggal 9 April 1945, ketika tentara sekutu mengadakan serangan terakhir atas Jerman, dia dihukum gantung dengan tuduhan mengkhianati negara. Meskipun orang-orang Kristen sering kali mengalami problem etis dengan terlibatnya Bonhoeffer dalam rencana membunuh Hitler, pendiriannya melawan berbagai upaya Hitler menjadikan Gereja bagian dari rezim Nazi dan kesediaannya mati bagi Kristus, juga memberi setiap generasi tantangan akan iman yang siap berkorban.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
95) Tahun 1948 Dewan Gereja-gereja se-Dunia Terbentuk
Apabila orang-orang terdorong memikirkan dirinya sendiri, di situ ada pemisahan gereja. Di mana dua atau tiga orang berkumpul bersama, kemungkinan akan timbul empat atau lima pendapat.
Alkitab berbicara tentang kesatuan orang-orang percaya, namun berbicara juga tentang keharusan berpegang pada kebenaran. Banyak reformis, seperti yang telah kita lihat, berpegang pada kebenaran – dan akibatnya, melepaskan diri dari gereja yang dianggap salah. Yang lain seperti Alexander Campbell dan John Nelson Darby, menentang perpecahan Gereja atas nama kesatuan gereja. Tetapi malangnya, ide mereka tentang kebenaran ditentang juga, dan kesatuan yang mereka upayakan tidak pernah terwujud. "Berbicara tentang kebenaran dalam kasih" tidak pernah mudah dilakukan.
Namun, John R. Mott dan rekan-rekannya sadar bahwa karya misi yang efektif membutuhkan kerja sama dan kesatuan gereja – dan mungkin kesatuan gereja membutuhkan pekerjaan misi. Sekelompok angsa akan berkumpul bersama selama semuanya bergerak menuju arah yang sama. Jika orang-orang Kristen hanya duduk dan berpikir saja, mereka tidak akan sepaham dengan nilai-nilai teologi yang indah. Tetapi, bila mereka dikaryakan dengan menyebarkan Injil Kristus, mungkin ketika itulah kita akan merupakan suatu badan yang menyatu seperti yang diinginkan Kristus.
Gerakan Relawan Mahasiswa yang dipimpin Mott menghasilkan aktivitas misi seperti pusaran angin. Misi tersebut beroperasi melintasi garis-garis denominasi. Organisasi-organisasi lain menyebarkan aktivitasnya di luar perguruan tinggi pada kaum awam yang lebih tua. Pada tahun 1910, International Missionary Conference (Konferensi Pekabaran Injil lnternasional), bertemu di Edinburgh untuk merencanakan strategi-strategi bagi penginjilan dunia. Hal ini umumnya dianggap sebagai awal gerakan oikumene. Dengan John R. Mott sebagai penggerak utama, keseribu delegasi tersebut menggerakkan dua organisasi – Faith and Order Movement (Gerakan Iman dan Tata Ibadah) [untuk isu-isu doktrinal] dan Life and Work Movement (Gerakan Kehidupan dan Karya) [bagi misi dan pelayanan].
Kemajuan umumnya bergerak lamban – dan telah terhambat perang dunia. Setiap sepuluh
tahun, "gerakan-gerakan" ini bertemu untuk membicarakan kebutuhan-kebutuhan dunia dan status gereja-gereja. Life and Work Movement bertemu di Stockholm pada tahun 1925 untuk mendiskusikan hubungan kekristenan dengan masyarakat, politik dan ekonomi. Dua tahun kemudian Faith and Order Movement bertemu di Lausanne, mengupayakan tugas sulit dalam merencanakan kesatuan ajaran.
Pada tahun 1937, dengan pertemuan secara terpisah di Oxford dan Edinburgh, kedua organisasi ini memilih untuk bergabung. Para pemimpin gereja bertemu di Utrecht, pada tahun 1938, untuk menyusun sebuah konstitusi. Namun, Perang Dunia II mencegah langkah maju gereja-gereja dengan rencananya tersebut.
Setelah perang usai, bagaimanapun juga ada rasa kesatuan yang lebih besar ketika gereja-gereja di seluruh dunia berupaya memulihkan keadaan. Pertemuan di Amsterdam pada tahun 1948 akhirnya menyatukan kedua badan terdahulu itu menjadi World Council of Churches (WCC) [Dewan Gereja-gereja se-Dunia]. Terdapat 135 badan-badan gereja yang terwakili dari empat puluh negara. Setelah seumur hidup mengupayakan oikumene, Mott, dalam usianya yang delapan puluhan, terpilih sebagai ketua kehormatan.
Menggambarkan dirinya sebagai "persekutuan gereja-gereja yang menerima Yesus Kristus Tuhan kita sebagai Allah dan Juruselamat", WCC mengajak gereja-gereja bekerja sama, belajar bersama, bersekutu bersama, berbakti bersama dan bertemu bersama dalam konferensi khusus dari waktu ke waktu. WCC menolak rencana apa pun untuk membentuk "gereja dunia" baru. WCC tidak akan memiliki kekuasaan yang terpusat. WCC hanya bertujuan memberi gereja-gereja di seluruh dunia kesempatan dan sumber untuk bekerja sama satu dengan yang lain.
Dari awal, beberapa kelompok Protestan Amerika Serikat utama menolak bergabung – yang paling menonjol adalah Southern Baptist dan Missouri Synod Lutherans. Gereja Katolik Roma memandang dirinya sebagai suatu kesatuan sehingga tidak akan bergabung, meskipun Vatikan II telah membuka pintu diskusi. Namun, WCC tetap merupakan organisasi dunia yang aktif dan berpengaruh. Kenneth Scott Latourette menyebutnya "badan paling inklusif yang pernah dimiliki agama Kristen".
Banyak orang Kristen konservatif menyerang sikap "revolusioner" WCC. Baru sekarang terlihat bahwa persatuan organisasi gereja secara organisasional tak dapat dicapai pada milenium ini — dan mungkin tidak akan pernah. Cara-cara baru untuk bekerja sama dan bersatu sebagai orang-orang Kristen sedang ditemukan dan diimplementasikan. Namun, doa Yesus "agar mereka menjadi satu" (Yoh. 17:21) masih harus dijawab sepenuhnya.
Apabila orang-orang terdorong memikirkan dirinya sendiri, di situ ada pemisahan gereja. Di mana dua atau tiga orang berkumpul bersama, kemungkinan akan timbul empat atau lima pendapat.
Alkitab berbicara tentang kesatuan orang-orang percaya, namun berbicara juga tentang keharusan berpegang pada kebenaran. Banyak reformis, seperti yang telah kita lihat, berpegang pada kebenaran – dan akibatnya, melepaskan diri dari gereja yang dianggap salah. Yang lain seperti Alexander Campbell dan John Nelson Darby, menentang perpecahan Gereja atas nama kesatuan gereja. Tetapi malangnya, ide mereka tentang kebenaran ditentang juga, dan kesatuan yang mereka upayakan tidak pernah terwujud. "Berbicara tentang kebenaran dalam kasih" tidak pernah mudah dilakukan.
Namun, John R. Mott dan rekan-rekannya sadar bahwa karya misi yang efektif membutuhkan kerja sama dan kesatuan gereja – dan mungkin kesatuan gereja membutuhkan pekerjaan misi. Sekelompok angsa akan berkumpul bersama selama semuanya bergerak menuju arah yang sama. Jika orang-orang Kristen hanya duduk dan berpikir saja, mereka tidak akan sepaham dengan nilai-nilai teologi yang indah. Tetapi, bila mereka dikaryakan dengan menyebarkan Injil Kristus, mungkin ketika itulah kita akan merupakan suatu badan yang menyatu seperti yang diinginkan Kristus.
Gerakan Relawan Mahasiswa yang dipimpin Mott menghasilkan aktivitas misi seperti pusaran angin. Misi tersebut beroperasi melintasi garis-garis denominasi. Organisasi-organisasi lain menyebarkan aktivitasnya di luar perguruan tinggi pada kaum awam yang lebih tua. Pada tahun 1910, International Missionary Conference (Konferensi Pekabaran Injil lnternasional), bertemu di Edinburgh untuk merencanakan strategi-strategi bagi penginjilan dunia. Hal ini umumnya dianggap sebagai awal gerakan oikumene. Dengan John R. Mott sebagai penggerak utama, keseribu delegasi tersebut menggerakkan dua organisasi – Faith and Order Movement (Gerakan Iman dan Tata Ibadah) [untuk isu-isu doktrinal] dan Life and Work Movement (Gerakan Kehidupan dan Karya) [bagi misi dan pelayanan].
Kemajuan umumnya bergerak lamban – dan telah terhambat perang dunia. Setiap sepuluh
tahun, "gerakan-gerakan" ini bertemu untuk membicarakan kebutuhan-kebutuhan dunia dan status gereja-gereja. Life and Work Movement bertemu di Stockholm pada tahun 1925 untuk mendiskusikan hubungan kekristenan dengan masyarakat, politik dan ekonomi. Dua tahun kemudian Faith and Order Movement bertemu di Lausanne, mengupayakan tugas sulit dalam merencanakan kesatuan ajaran.
Pada tahun 1937, dengan pertemuan secara terpisah di Oxford dan Edinburgh, kedua organisasi ini memilih untuk bergabung. Para pemimpin gereja bertemu di Utrecht, pada tahun 1938, untuk menyusun sebuah konstitusi. Namun, Perang Dunia II mencegah langkah maju gereja-gereja dengan rencananya tersebut.
Setelah perang usai, bagaimanapun juga ada rasa kesatuan yang lebih besar ketika gereja-gereja di seluruh dunia berupaya memulihkan keadaan. Pertemuan di Amsterdam pada tahun 1948 akhirnya menyatukan kedua badan terdahulu itu menjadi World Council of Churches (WCC) [Dewan Gereja-gereja se-Dunia]. Terdapat 135 badan-badan gereja yang terwakili dari empat puluh negara. Setelah seumur hidup mengupayakan oikumene, Mott, dalam usianya yang delapan puluhan, terpilih sebagai ketua kehormatan.
Menggambarkan dirinya sebagai "persekutuan gereja-gereja yang menerima Yesus Kristus Tuhan kita sebagai Allah dan Juruselamat", WCC mengajak gereja-gereja bekerja sama, belajar bersama, bersekutu bersama, berbakti bersama dan bertemu bersama dalam konferensi khusus dari waktu ke waktu. WCC menolak rencana apa pun untuk membentuk "gereja dunia" baru. WCC tidak akan memiliki kekuasaan yang terpusat. WCC hanya bertujuan memberi gereja-gereja di seluruh dunia kesempatan dan sumber untuk bekerja sama satu dengan yang lain.
Dari awal, beberapa kelompok Protestan Amerika Serikat utama menolak bergabung – yang paling menonjol adalah Southern Baptist dan Missouri Synod Lutherans. Gereja Katolik Roma memandang dirinya sebagai suatu kesatuan sehingga tidak akan bergabung, meskipun Vatikan II telah membuka pintu diskusi. Namun, WCC tetap merupakan organisasi dunia yang aktif dan berpengaruh. Kenneth Scott Latourette menyebutnya "badan paling inklusif yang pernah dimiliki agama Kristen".
Banyak orang Kristen konservatif menyerang sikap "revolusioner" WCC. Baru sekarang terlihat bahwa persatuan organisasi gereja secara organisasional tak dapat dicapai pada milenium ini — dan mungkin tidak akan pernah. Cara-cara baru untuk bekerja sama dan bersatu sebagai orang-orang Kristen sedang ditemukan dan diimplementasikan. Namun, doa Yesus "agar mereka menjadi satu" (Yoh. 17:21) masih harus dijawab sepenuhnya.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
96) Tahun 1949 Kampanye Los Angeles Billy Graham
Billy Graham (1918 - )
Tenda di Los Angeles, tempat kampanye Billy Graham diselenggarakan, 1949
"Anda mungkin terharu bila melihat tenda besar itu kemarin siang penuh sesak dengan 6.100 orang dan beberapa ratus lagi yang tidak dapat masuk, serta melihat puluhan manusia berjalan-jalan di celah-celah barisan bangku dari segala penjuru dan menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi ketika diundang."
Seorang pengkhotbah berumur tiga puluh tahun menulis dari Los Angeles kepada para staf perguruan Alkitab di Minneapolis, tempat ia memangku jabatan presiden. Ia menyebutnya "kampanye penginjilan terbesar dari seluruh pelayanan saya". Namun hal itu hanya suatu awal bagi Billy Graham.
Orang banyak datang berduyun-duyun ke tenda hesar yang didirikan di Washington Boulevard dan Hill Street — "Katedral yang terbuat dari Terpal". Kampanye yang direncanakan selama tiga minggu berlanjut sampai delapan minggu karena orang-orang berdatangan terus. Para selebriti bertobat di muka umum, ketika Graham menyampaikan Injil yang sederhana. Dikatakan bahwa seorang wartawan William Randolph Hearst memutuskan "mereklamekan" Graham — dengan publisitas luar biasa. Apa pun yang terjadi, pertemuan-pertemuan Los Angeles menjadi buah bibir bangsa, yang memasyhurkan Graham.
Mungkin itu kejutan bagi bocah berambut pirang dari Carolina Utara ini. Graham, anak sulung seorang Kristen peternak hewan, bertobat pada suatu pertemuan yang dipimpin oleh revivalis Selatan, Mordecai Ham. Seleranya berubah dari baseball ke penyelatnatan jiwajiwa. Menginjak usia kedua puluh dua, dia ditahbiskan sebagai seorang pendeta Southern Baptist.
Pada tahun 1943, ia lulus dari Wheaton College dan menikahi Ruth Bell, putri seorang misionaris medis terkenal yang bertugas ke China. Ia mendirikan sebuah pastorat di daerah Chicago, tetapi tidak lama kemudian terlibat dengan Torrey Johnson, pertama dengan berbicara pada acara Johnson "Songs in the Night" pada siaran radio dan kemudian melayani sebagai penginjil penuh waktu pada pelayanan baru Johnson, Youth for Christ. Dalam kapasitasnya ini ia mengadakan beberapa kampanye di seputar kota menjelang akhir tahun 1940-an, termasuk tur ke Britania Raya pada tahun 1946-1947.
Dari semula ia telah punya gaya penginjilan yang kooperatif. Kampanyenya tidak terbatas pada gereja tertentu. Semua pemimpin Kristen dalam masyarakat akan diundang untuk merencanakan kampanye. Keputusan ini mengundang kritik banyak orang konservatif, namun juga banyak menyumbang bagi jamahan Graham secara luas.
Pada awal tahun 1950-an, ia melanjutkan kesuksesan kampanye Los Angeles dengan kampanye-kampanye yang patut dicatat di Boston dan di tempat lain. Pada tahun 1954, perjalanan khotbah ke London membuat dia menjadi seorang selebriti internasional. Ia berteman dengan Presiden Eisenhower dan figur-figur kaliber dunia lainnya.
Dengan cepat Graham menguasai media massa. la menulis Peace With God (Damai Bersama Allah) yang laris terjual pada tahun 1950-an dan beberapa yang lain sejak itu. Siaran radionya "Hour of Decision" berlanjut puluhan tahun lamanya. Bersama-sama dengan mertuanya ia mengawali majalah Christianity Today untuk membantu para pemimpin Kristen agar selalu bersiaga secara teologis. Di kemudian hari, organisasinya meluncurkan majalah Decision untuk masyarakat umum. Kampanye-kampanye Graham dengan teratur disiarkan di televisi secara nasional, dan World Wide Pictures, suatu badan yang tumbuh dari Billy Graham Evangelistic Association, telah menghasilkan lusinan film-film istimewa.
Sebagai pemain utama dalam misi-misi dunia, Graham mensponsori Kongres Lausanne pada tahun 1974 yang merevolusi kebijakan misi-misi evangelikal dengan lebih melibatkan penduduk setempat. Pada tahun 1983 dan 1986, organisasinya membawa para penginjil berkeliling dari seluruh dunia ke Amsterdam untuk pertemuan besar bagi pendidikan dan penguatan. Billy Graham Center di Wheaton College memberi latihan komunikasi dan pelayanan, serta arsip dan Museum Penginjilan abad kedua puluh.
Akhir-akhir ini, Billy Graham dapat juga menjangkau negara-negara komunis meskipun kebijakan resmi mereka atheis. Beberapa orang mengkritik mengapa ia tidak menggunakan kepopulerannya untuk memprotes penganiayaan orang-orang percaya di negeri itu, namun fokus Graham selalu pada penginjilan, bukan pada komentar sosial.
Pemain baseball yang tinggi dan tampan dari Carolina Utara ini telah menjadi figur religius besar dari paroan terakhir abad kedua puluh yang silam. Stafnya memperkirakan bahwa dua juta orang telah "maju ke depan" dalam pertemuan-pertemuannya untuk menyatakan pertobatan mereka. Lebih dari 100 juta orang hadir untuk mendengarkannya, dengan jutaan yang tak terhitung tersentuh pelayanan medianya. Ia telah melakukan semuanya ini dengan tetap berpegang pada yang terbaik yang dilakukannya – mengkhotbahkan Injil yang sederhana.
Billy Graham (1918 - )
Tenda di Los Angeles, tempat kampanye Billy Graham diselenggarakan, 1949
"Anda mungkin terharu bila melihat tenda besar itu kemarin siang penuh sesak dengan 6.100 orang dan beberapa ratus lagi yang tidak dapat masuk, serta melihat puluhan manusia berjalan-jalan di celah-celah barisan bangku dari segala penjuru dan menerima Kristus sebagai Juruselamat pribadi ketika diundang."
Seorang pengkhotbah berumur tiga puluh tahun menulis dari Los Angeles kepada para staf perguruan Alkitab di Minneapolis, tempat ia memangku jabatan presiden. Ia menyebutnya "kampanye penginjilan terbesar dari seluruh pelayanan saya". Namun hal itu hanya suatu awal bagi Billy Graham.
Orang banyak datang berduyun-duyun ke tenda hesar yang didirikan di Washington Boulevard dan Hill Street — "Katedral yang terbuat dari Terpal". Kampanye yang direncanakan selama tiga minggu berlanjut sampai delapan minggu karena orang-orang berdatangan terus. Para selebriti bertobat di muka umum, ketika Graham menyampaikan Injil yang sederhana. Dikatakan bahwa seorang wartawan William Randolph Hearst memutuskan "mereklamekan" Graham — dengan publisitas luar biasa. Apa pun yang terjadi, pertemuan-pertemuan Los Angeles menjadi buah bibir bangsa, yang memasyhurkan Graham.
Mungkin itu kejutan bagi bocah berambut pirang dari Carolina Utara ini. Graham, anak sulung seorang Kristen peternak hewan, bertobat pada suatu pertemuan yang dipimpin oleh revivalis Selatan, Mordecai Ham. Seleranya berubah dari baseball ke penyelatnatan jiwajiwa. Menginjak usia kedua puluh dua, dia ditahbiskan sebagai seorang pendeta Southern Baptist.
Pada tahun 1943, ia lulus dari Wheaton College dan menikahi Ruth Bell, putri seorang misionaris medis terkenal yang bertugas ke China. Ia mendirikan sebuah pastorat di daerah Chicago, tetapi tidak lama kemudian terlibat dengan Torrey Johnson, pertama dengan berbicara pada acara Johnson "Songs in the Night" pada siaran radio dan kemudian melayani sebagai penginjil penuh waktu pada pelayanan baru Johnson, Youth for Christ. Dalam kapasitasnya ini ia mengadakan beberapa kampanye di seputar kota menjelang akhir tahun 1940-an, termasuk tur ke Britania Raya pada tahun 1946-1947.
Dari semula ia telah punya gaya penginjilan yang kooperatif. Kampanyenya tidak terbatas pada gereja tertentu. Semua pemimpin Kristen dalam masyarakat akan diundang untuk merencanakan kampanye. Keputusan ini mengundang kritik banyak orang konservatif, namun juga banyak menyumbang bagi jamahan Graham secara luas.
Pada awal tahun 1950-an, ia melanjutkan kesuksesan kampanye Los Angeles dengan kampanye-kampanye yang patut dicatat di Boston dan di tempat lain. Pada tahun 1954, perjalanan khotbah ke London membuat dia menjadi seorang selebriti internasional. Ia berteman dengan Presiden Eisenhower dan figur-figur kaliber dunia lainnya.
Dengan cepat Graham menguasai media massa. la menulis Peace With God (Damai Bersama Allah) yang laris terjual pada tahun 1950-an dan beberapa yang lain sejak itu. Siaran radionya "Hour of Decision" berlanjut puluhan tahun lamanya. Bersama-sama dengan mertuanya ia mengawali majalah Christianity Today untuk membantu para pemimpin Kristen agar selalu bersiaga secara teologis. Di kemudian hari, organisasinya meluncurkan majalah Decision untuk masyarakat umum. Kampanye-kampanye Graham dengan teratur disiarkan di televisi secara nasional, dan World Wide Pictures, suatu badan yang tumbuh dari Billy Graham Evangelistic Association, telah menghasilkan lusinan film-film istimewa.
Sebagai pemain utama dalam misi-misi dunia, Graham mensponsori Kongres Lausanne pada tahun 1974 yang merevolusi kebijakan misi-misi evangelikal dengan lebih melibatkan penduduk setempat. Pada tahun 1983 dan 1986, organisasinya membawa para penginjil berkeliling dari seluruh dunia ke Amsterdam untuk pertemuan besar bagi pendidikan dan penguatan. Billy Graham Center di Wheaton College memberi latihan komunikasi dan pelayanan, serta arsip dan Museum Penginjilan abad kedua puluh.
Akhir-akhir ini, Billy Graham dapat juga menjangkau negara-negara komunis meskipun kebijakan resmi mereka atheis. Beberapa orang mengkritik mengapa ia tidak menggunakan kepopulerannya untuk memprotes penganiayaan orang-orang percaya di negeri itu, namun fokus Graham selalu pada penginjilan, bukan pada komentar sosial.
Pemain baseball yang tinggi dan tampan dari Carolina Utara ini telah menjadi figur religius besar dari paroan terakhir abad kedua puluh yang silam. Stafnya memperkirakan bahwa dua juta orang telah "maju ke depan" dalam pertemuan-pertemuannya untuk menyatakan pertobatan mereka. Lebih dari 100 juta orang hadir untuk mendengarkannya, dengan jutaan yang tak terhitung tersentuh pelayanan medianya. Ia telah melakukan semuanya ini dengan tetap berpegang pada yang terbaik yang dilakukannya – mengkhotbahkan Injil yang sederhana.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
97) Tahun 1960 Berawalnya Pembaruan Karismatik Modern
Pendeta sebuah gereja yang berdekatan meminta Dennis Bennett, pendeta jemaat Gereja Episkopal St. Mark di Van Nuys, California, untuk membantunya. Pendeta tersebut mempunyai beberapa orang teman yang telah "menerima baptisan Roh Kudus" dan menggunakan bahasa lidah.
Meskipun Bennett tidak tahu banyak tentang hal itu, ia setuju menemui pasangan itu. Kemudian ia pun mengalami baptisan serupa.
Baptisan tersebut tersebar di lingkungan itu, dan gereja pasangan tersebut memulai kelompok doa. Pertemuan mereka sangat antusias tetapi tertib dan sering berlangsung sampai pukul 1:30 pagi. Menjelang tanggal 3 April 1960, kira-kira tujuh puluh anggota gereja Bennett "dibaptis dengan Roh".
Meskipun kegiatan karismatik tidak diizinkan dalam kebaktian-kebaktian formal Bennett, berita tentang hal itu telah tersebar, dan banyak orang bertanya-tanya. Akhirnya terjadilah perpecahan. Bennett mengundurkan diri dari gereja tersebut, dan sukar ditebak berapa banyak orang yang akan bertahan di gereja itu.
Tidak seperti orang lain yang pecah dari gereja karena tidak sepaham, Bennett memutuskan tetap berada dalam imamat Episkopal. Ia berpindah ke Seattle, dan gereja yang sedang berjuang yang ia layani di sana mempunyai kehidupan baru. Gerakan karismatik tersebar, dan Bennett pun menjadi figur nasional.
Pusat gerakan tersebut tetap berada di Van Nuys. Jean Stone, seorang anggota St. Mark, mendirikan Blessed Trinity Society pada tahun 1961 untuk memberi persekutuan dan informasi bagi gerakan karismatik yang sedang bertumbuh itu. Pada tahun 1962 perkumpulan tersebut meluncurkan seminar-seminar "Christian Advance". Semuanya ini dirancang untuk denominasi-denominasi tradisional, untuk memperkenalkan kepada mereka pelayanannya serta anugerah Roh Kudus. Meskipun para karismatik ini kadang-kadang dicaci-maki atau disalahpahami, mereka selalu mendapat tempat sebagai kelompok minoritas di gereja-gereja non-karismatik, tempat mereka kadang-kadang tumbuh menjadi berstatus mayoritas.
Dengan pesat gerakan tersebut menyebar ke seluruh daerah Los Angeles, dan ketika pars nasional memberitakannya, gerakan tersebut menyebar ke seantero negeri. Akhir tahun 1966, sekelompok sarjana Katolik di Universitas Duquesne, Pittsburgh, mulai memperhatikan pengalaman karismatik. Awal tahun berikutnya, beberapa dari antara mereka mengalaminya sendiri. Setelah retret akhir pekan, tiga puluh orang lagi menjadi pengikutnya, baik para mahasiswa maupun para profesor, dan lahirlah komunitas karismatik.
Sebagian besar gerakan karismatik ini bermula di kalangan atas dan menengah. Hal itu bermula di gereja-gereja California yang mewah dan mempengaruhi denominasi-denominasi tradisional Presbiterian dan Episkopal kelas atas. Di Gereja Katolik, gerakan ini bermula tidak dari tingkat paroki, tetapi di universitas-universitas. Berawal dari sini kemudian meluas ke semua tingkat masyarakat.
Sungguh janggal, gerakan karismatik hampir tidak ada hubungan dengan Gereja-gereja Pentakosta. Berdirinya gerakan mereka tidak sebagai perpanjangan tangan dari Gereja Pentakosta dan terselenggara di dalam aliran-aliran tradisional non-Pentakosta. Namun, pernah ada hubungan. Pasangan yang telah berkonsultasi dengan Bennett menerima baptisan karena pengaruh teman-temannya dari Pentakosta. Pola tersebut dilanjutkan di mana-mana.
Mengapa gerakan karismatik meraih popularitas pesat seperti itu? Orang-orang terpelajar mengemukakan beberapa alasan.
Pada kebangkitan kampanye Oral Roberts, tahun 1951, peternak hewan Demos Shakarian mendirikan Full Gospel Business Men's Fellow-ship International yang menarik orang-orang awam Pentakosta ke dalam persekutuan terse-but. Organisasi ini segera membuka peluang agar dunia non-Pentakosta dapat menghargai aliran Pentakosta.
Menurunnya "gerakan penyembuhan" pada akhir tahun 1950-an membuat para penganut Pentakosta kembali berfokus pada penginjilan, dan pada tahun 1968 pengkhotbah Pentakosta populer, Oral Roberts, menjadi seorang Methodis. Namun, pemimpin Pentakosta yang lama berkecimpung, David du Plessis, mungkin mempengaruhi pengenalan karismatik ke dalam gereja-gereja utama lebih daripada semuanya ini. Bertahun-tahun lamanya ia bekerja sebagai duta tidak resmi bagi gerakan Pentakosta, dengan berbicara kepada orang-orang terpelajar dan para pemimpin non-Pentakosta – termasuk beberapa yang ada di Dewan Gereja-gereja se-Dunia – tentang keyakinannya. Sifat ramah dan martabat pribadi Du Plessis membuat banyak orang mendengarkannya.
Jalan bagi gerakan karismatik telah dipersiapkan, dan ketika ketakutan orang-orang pada aliran-aliran utama telah hilang, dengan cepat mereka menerima ajaran-ajaran di dalam gerakan karismatik.
Karismatik telah menjadi salah satu ekspresi Kristen paling dinamis pada abad kedua puluh, yang efektif menjangkau mereka yang tidak tersentuh gereja-gereja lebih tradisional. Mereka memiliki ekspresi-ekspresi ibadah yang lebih bersemangat, terbaur dengan optimisme bahwa mereka ada di mana Rob Allah telah menempatkan mereka. Keterbukaan pada metode-metode penginjilan baru, ditambah dengan aset-aset lain, membuat mereka menjadi fenomena di seluruh dunia, serta merupakan salah satu gerakan yang meraih sukses luar biasa di negara-negara dunia ketiga.
Pendeta sebuah gereja yang berdekatan meminta Dennis Bennett, pendeta jemaat Gereja Episkopal St. Mark di Van Nuys, California, untuk membantunya. Pendeta tersebut mempunyai beberapa orang teman yang telah "menerima baptisan Roh Kudus" dan menggunakan bahasa lidah.
Meskipun Bennett tidak tahu banyak tentang hal itu, ia setuju menemui pasangan itu. Kemudian ia pun mengalami baptisan serupa.
Baptisan tersebut tersebar di lingkungan itu, dan gereja pasangan tersebut memulai kelompok doa. Pertemuan mereka sangat antusias tetapi tertib dan sering berlangsung sampai pukul 1:30 pagi. Menjelang tanggal 3 April 1960, kira-kira tujuh puluh anggota gereja Bennett "dibaptis dengan Roh".
Meskipun kegiatan karismatik tidak diizinkan dalam kebaktian-kebaktian formal Bennett, berita tentang hal itu telah tersebar, dan banyak orang bertanya-tanya. Akhirnya terjadilah perpecahan. Bennett mengundurkan diri dari gereja tersebut, dan sukar ditebak berapa banyak orang yang akan bertahan di gereja itu.
Tidak seperti orang lain yang pecah dari gereja karena tidak sepaham, Bennett memutuskan tetap berada dalam imamat Episkopal. Ia berpindah ke Seattle, dan gereja yang sedang berjuang yang ia layani di sana mempunyai kehidupan baru. Gerakan karismatik tersebar, dan Bennett pun menjadi figur nasional.
Pusat gerakan tersebut tetap berada di Van Nuys. Jean Stone, seorang anggota St. Mark, mendirikan Blessed Trinity Society pada tahun 1961 untuk memberi persekutuan dan informasi bagi gerakan karismatik yang sedang bertumbuh itu. Pada tahun 1962 perkumpulan tersebut meluncurkan seminar-seminar "Christian Advance". Semuanya ini dirancang untuk denominasi-denominasi tradisional, untuk memperkenalkan kepada mereka pelayanannya serta anugerah Roh Kudus. Meskipun para karismatik ini kadang-kadang dicaci-maki atau disalahpahami, mereka selalu mendapat tempat sebagai kelompok minoritas di gereja-gereja non-karismatik, tempat mereka kadang-kadang tumbuh menjadi berstatus mayoritas.
Dengan pesat gerakan tersebut menyebar ke seluruh daerah Los Angeles, dan ketika pars nasional memberitakannya, gerakan tersebut menyebar ke seantero negeri. Akhir tahun 1966, sekelompok sarjana Katolik di Universitas Duquesne, Pittsburgh, mulai memperhatikan pengalaman karismatik. Awal tahun berikutnya, beberapa dari antara mereka mengalaminya sendiri. Setelah retret akhir pekan, tiga puluh orang lagi menjadi pengikutnya, baik para mahasiswa maupun para profesor, dan lahirlah komunitas karismatik.
Sebagian besar gerakan karismatik ini bermula di kalangan atas dan menengah. Hal itu bermula di gereja-gereja California yang mewah dan mempengaruhi denominasi-denominasi tradisional Presbiterian dan Episkopal kelas atas. Di Gereja Katolik, gerakan ini bermula tidak dari tingkat paroki, tetapi di universitas-universitas. Berawal dari sini kemudian meluas ke semua tingkat masyarakat.
Sungguh janggal, gerakan karismatik hampir tidak ada hubungan dengan Gereja-gereja Pentakosta. Berdirinya gerakan mereka tidak sebagai perpanjangan tangan dari Gereja Pentakosta dan terselenggara di dalam aliran-aliran tradisional non-Pentakosta. Namun, pernah ada hubungan. Pasangan yang telah berkonsultasi dengan Bennett menerima baptisan karena pengaruh teman-temannya dari Pentakosta. Pola tersebut dilanjutkan di mana-mana.
Mengapa gerakan karismatik meraih popularitas pesat seperti itu? Orang-orang terpelajar mengemukakan beberapa alasan.
Pada kebangkitan kampanye Oral Roberts, tahun 1951, peternak hewan Demos Shakarian mendirikan Full Gospel Business Men's Fellow-ship International yang menarik orang-orang awam Pentakosta ke dalam persekutuan terse-but. Organisasi ini segera membuka peluang agar dunia non-Pentakosta dapat menghargai aliran Pentakosta.
Menurunnya "gerakan penyembuhan" pada akhir tahun 1950-an membuat para penganut Pentakosta kembali berfokus pada penginjilan, dan pada tahun 1968 pengkhotbah Pentakosta populer, Oral Roberts, menjadi seorang Methodis. Namun, pemimpin Pentakosta yang lama berkecimpung, David du Plessis, mungkin mempengaruhi pengenalan karismatik ke dalam gereja-gereja utama lebih daripada semuanya ini. Bertahun-tahun lamanya ia bekerja sebagai duta tidak resmi bagi gerakan Pentakosta, dengan berbicara kepada orang-orang terpelajar dan para pemimpin non-Pentakosta – termasuk beberapa yang ada di Dewan Gereja-gereja se-Dunia – tentang keyakinannya. Sifat ramah dan martabat pribadi Du Plessis membuat banyak orang mendengarkannya.
Jalan bagi gerakan karismatik telah dipersiapkan, dan ketika ketakutan orang-orang pada aliran-aliran utama telah hilang, dengan cepat mereka menerima ajaran-ajaran di dalam gerakan karismatik.
Karismatik telah menjadi salah satu ekspresi Kristen paling dinamis pada abad kedua puluh, yang efektif menjangkau mereka yang tidak tersentuh gereja-gereja lebih tradisional. Mereka memiliki ekspresi-ekspresi ibadah yang lebih bersemangat, terbaur dengan optimisme bahwa mereka ada di mana Rob Allah telah menempatkan mereka. Keterbukaan pada metode-metode penginjilan baru, ditambah dengan aset-aset lain, membuat mereka menjadi fenomena di seluruh dunia, serta merupakan salah satu gerakan yang meraih sukses luar biasa di negara-negara dunia ketiga.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
98) Tahun 1962 Konsili Vatikan II Dimulai
Dalam upaya membendung pemikiran liberal yang telah menggoyahkan banyak orang yang ada dalam persekutuaneya, Gereja Katolik menolak bertoleransi dengan ide-ide seperti itu pada Konsili Vatikan I. Namun, pada pertengahan abad kedua puluh, ada isu-isu penting yang tabirnya belum dibuka. Meskipun gereja berpegang teguh akan tradisi, apakah belum waktunya mengadakan sedikit perubahan?
Uskup Agung Venesia, Angelo Roncalli, telah dipilih menjadi Paus pada tahun 1958 dan menyandang nama Yohanes XXIII. Dalam waktu tiga bulan setelah pemilihan ia mengadakan Konsili Oikumenis Katolik. Paus yang baru ini dapat melihat bahwa dunia telah berubah, dan tanggapan Katolik dibutuhkan untuk menyapa perubahan-perubahan tersebut. Tujuan persidangan itu ialah aggiornamento, "membawa gereja sesuai dengan zaman".
Tekanan baru yang ingin diwujudkan Paus ialah pelayanan pastoral. Yohanes XXIII ingin agar para pastor lebih peduli pada kawanan dombanya (jemaat) daripada politik.
Pada bulan Oktober 1962, lebih dari 2.000 kardinal, uskup dan kepala biara tiba di Roma – menjadikan konsili itu konsili gereja terbesar. Mereka terdiri dari 230 orang Amerika, lebih dari 200 orang Afrika dan lebih dari 300 orang Asia.
Paus menyampaikan pidatonya pada para rohaniwan di Basilica Santo Petrus. Ia menunjukkan pertumbuhan materialisme dan ateisme serta menegaskan bahwa dalam dunia yang sedang mengalami krisis spiritual, Gereja tidak boleh menyikapinya dengan menarik diri atau mengutuk orang lain. Gereja harus "memerintah dengan obat pengampunan ketimbang kekerasan".
Tidak seperti para paus terdahulu, Paus Yohanes XXIII tidak berupaya mendikte Konsili Vatikan II ini. Banyak perombakan luas telah terjadi dalam peranan pastoral gereja.
Selama berabad-abad, semua orang Katolik beribadah dalam bahasa Latin, namun hanya sedikit yang mengerti bahasa itu. Meskipun keagungan dan misterinya mungkin telah menyentuh beberapa orang, tetapi banyak yang tidak dapat memahaminya. Konsili Vatikan II membuat bahasa-bahasa daerah setempat untuk bahasa misa.
Meskipun hierarki tidak diubah, beberapa sikap terhadapnya berubah dalam Konsili Vatikan II. Bail{ kaum rohaniwan maupun kaum awam diterima sebagai umat Allah, dan semua dapat mengambil bagian dalam fungsi pelayanan. Semua orang Kristen – bukan saja imam, biarawan dan biarawati – mempunyai panggilan Kristen, seru konsili dan orang awam memenuhi panggilan itu di tengah-tengah pekerjaan seharihari mereka.
Meskipun Konsili Vatikan I melihat paus sebagai suksesi para rasul, Konsili Vatikan II memperluas hal itu kepada seluruh para uskup. Bersama-sama dengan paus mereka berbagi otoritas rasuli.
Dokumen konsili "On Divine Revelation" (Tentang Wahyu Ilahi) menekankan bahwa Kitab Suci – bukan tradisi – adalah basis utama kebenaran ilahi. Meskipun konsili tidak mengabaikan tradisi yang telah dipegang lama, konsili menganggap Alkitab lebih penting dan mendorong semua orang Katolik – orang awam dan yang terpelajar – mempelajari Alkitab.
Dalam dekrit "Tentang Oikumene", terjadi perubahan dramatis yang yang berkenaan dengan sikap terhadap non-Katolik. Mereka yang menganut denominasi lain dinyatakan sebagai orang Kristen, "separated brethren" (saudara-saudara yang terpisah), menyimpulkan ide bahwa Kristen sama dengan Katolik. Orang-orang percaya lainnya tidak harus "kembali" ke Roma.
Pada sesi terakhir, tahun 1965, Konsili Vatikan II bergumul dengan berbagai pertanyaan tentang politik. Meskipun gereja mempunyai tradisi panjang dalam bidang itu, kuasa atas politik sekarang telah ditanggalkan.
Tanggapan terhadap Konsili Vatikan II beragam. Beberapa aliran yang ada dalam hierarki menolak berbagai perubahan itu dan berdebat dengan sengit. Beberapa orang Katolik konservatif menolak haluan baru gereja, tetapi banyak pula orang Katolik – dan non-Katolik – melihat adanya harapan besar bagi gereja. Vatikan II membuka pintu bagi denominasi lain dan mendorong pemahaman Alkitab yang serius, tanpa terikat pada kebiasaan terdahulu.
Sistem hierarkis Katolik tidak berubah, jalan tidak terbuka bagi individualisme yang berlebihan dalam Gereja Katolik, namun Konsili Vatikan II ini telah menciptakan peningkatan keterbukaan dan pertimbangan bagi orang awam yang telah mempengaruhi badan gereja terbesar sedunia ini.
Dalam upaya membendung pemikiran liberal yang telah menggoyahkan banyak orang yang ada dalam persekutuaneya, Gereja Katolik menolak bertoleransi dengan ide-ide seperti itu pada Konsili Vatikan I. Namun, pada pertengahan abad kedua puluh, ada isu-isu penting yang tabirnya belum dibuka. Meskipun gereja berpegang teguh akan tradisi, apakah belum waktunya mengadakan sedikit perubahan?
Uskup Agung Venesia, Angelo Roncalli, telah dipilih menjadi Paus pada tahun 1958 dan menyandang nama Yohanes XXIII. Dalam waktu tiga bulan setelah pemilihan ia mengadakan Konsili Oikumenis Katolik. Paus yang baru ini dapat melihat bahwa dunia telah berubah, dan tanggapan Katolik dibutuhkan untuk menyapa perubahan-perubahan tersebut. Tujuan persidangan itu ialah aggiornamento, "membawa gereja sesuai dengan zaman".
Tekanan baru yang ingin diwujudkan Paus ialah pelayanan pastoral. Yohanes XXIII ingin agar para pastor lebih peduli pada kawanan dombanya (jemaat) daripada politik.
Pada bulan Oktober 1962, lebih dari 2.000 kardinal, uskup dan kepala biara tiba di Roma – menjadikan konsili itu konsili gereja terbesar. Mereka terdiri dari 230 orang Amerika, lebih dari 200 orang Afrika dan lebih dari 300 orang Asia.
Paus menyampaikan pidatonya pada para rohaniwan di Basilica Santo Petrus. Ia menunjukkan pertumbuhan materialisme dan ateisme serta menegaskan bahwa dalam dunia yang sedang mengalami krisis spiritual, Gereja tidak boleh menyikapinya dengan menarik diri atau mengutuk orang lain. Gereja harus "memerintah dengan obat pengampunan ketimbang kekerasan".
Tidak seperti para paus terdahulu, Paus Yohanes XXIII tidak berupaya mendikte Konsili Vatikan II ini. Banyak perombakan luas telah terjadi dalam peranan pastoral gereja.
Selama berabad-abad, semua orang Katolik beribadah dalam bahasa Latin, namun hanya sedikit yang mengerti bahasa itu. Meskipun keagungan dan misterinya mungkin telah menyentuh beberapa orang, tetapi banyak yang tidak dapat memahaminya. Konsili Vatikan II membuat bahasa-bahasa daerah setempat untuk bahasa misa.
Meskipun hierarki tidak diubah, beberapa sikap terhadapnya berubah dalam Konsili Vatikan II. Bail{ kaum rohaniwan maupun kaum awam diterima sebagai umat Allah, dan semua dapat mengambil bagian dalam fungsi pelayanan. Semua orang Kristen – bukan saja imam, biarawan dan biarawati – mempunyai panggilan Kristen, seru konsili dan orang awam memenuhi panggilan itu di tengah-tengah pekerjaan seharihari mereka.
Meskipun Konsili Vatikan I melihat paus sebagai suksesi para rasul, Konsili Vatikan II memperluas hal itu kepada seluruh para uskup. Bersama-sama dengan paus mereka berbagi otoritas rasuli.
Dokumen konsili "On Divine Revelation" (Tentang Wahyu Ilahi) menekankan bahwa Kitab Suci – bukan tradisi – adalah basis utama kebenaran ilahi. Meskipun konsili tidak mengabaikan tradisi yang telah dipegang lama, konsili menganggap Alkitab lebih penting dan mendorong semua orang Katolik – orang awam dan yang terpelajar – mempelajari Alkitab.
Dalam dekrit "Tentang Oikumene", terjadi perubahan dramatis yang yang berkenaan dengan sikap terhadap non-Katolik. Mereka yang menganut denominasi lain dinyatakan sebagai orang Kristen, "separated brethren" (saudara-saudara yang terpisah), menyimpulkan ide bahwa Kristen sama dengan Katolik. Orang-orang percaya lainnya tidak harus "kembali" ke Roma.
Pada sesi terakhir, tahun 1965, Konsili Vatikan II bergumul dengan berbagai pertanyaan tentang politik. Meskipun gereja mempunyai tradisi panjang dalam bidang itu, kuasa atas politik sekarang telah ditanggalkan.
Tanggapan terhadap Konsili Vatikan II beragam. Beberapa aliran yang ada dalam hierarki menolak berbagai perubahan itu dan berdebat dengan sengit. Beberapa orang Katolik konservatif menolak haluan baru gereja, tetapi banyak pula orang Katolik – dan non-Katolik – melihat adanya harapan besar bagi gereja. Vatikan II membuka pintu bagi denominasi lain dan mendorong pemahaman Alkitab yang serius, tanpa terikat pada kebiasaan terdahulu.
Sistem hierarkis Katolik tidak berubah, jalan tidak terbuka bagi individualisme yang berlebihan dalam Gereja Katolik, namun Konsili Vatikan II ini telah menciptakan peningkatan keterbukaan dan pertimbangan bagi orang awam yang telah mempengaruhi badan gereja terbesar sedunia ini.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Re: 100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
99) Tahun 1963 Martin Luther King, Jr., Memimpin Pawai ke Washington
"Saya mempunyai impian ..."
Orang yang memiliki impian itu akan menghabiskan seluruh hidupnya mengejar impiannya dan menyerahkan nyawanya bagi impian tersebut.
Namanya ialah Martin Luther King, Jr., dan impiannya adalah bahwa "keempat anak saya yang masih kecil pada satu hari akan hidup di dalam suatu bangsa, di mana mereka tidak akan dinilai dari warna kulit mereka tetapi dari kandungan karakternya ... " Kata-kata tersebut mengguncang Amerika.
Pendeta muda ini dilahirkan dalam keluarga pendeta Baptis dan dididik di Morehouse College dan Crozer Theological Seminary. Dia meraih gelar Ph.D dari Boston University. Pada tahun 1954 ia menjadi pendeta Gereja Baptis Dexter Avenue di Montgomery, Alabama.
Satu tahun kemudian, seorang wanita berkulit hitam, Ny. Rosa Parks, mengambil sebuah langkah yang mengubah hidup King. Meskipun orang-orang kulit hitam diharuskan menumpang hanya di bagian belakang bus umum, ia duduk di depan – semua tempat duduk di belakang telah terisi, dan ia mengambil tempat duduk pertama di bagian depan. Ia ditangkap karena melanggar undang-undang pemisahan (segregation law).
Martin Luther King, Jr. mendukungnya dengan memimpin boikot pada sistem bus Montgomery. Sebenarnya orang-orang hitamlah penumpang terbanyak sistem bus tersebut, dan mereka diperlakukan dengan tidak adil. Maka orang-orang kulit hitam pun menolak naik bus selama diskriminasi masih berlanjut. Mereka merasa "lebih terhormat berjalan kaki daripada menumpang bus dengan kehinaan".
Boikot mereka berlangsung sampai satu tahun lamanya, namun akhirnya orang kulit hitam menang, dan dengan kemenangan itu Martin Luther King, Jr. terdorong untuk terlibat dalam perjuangan hak-hak sipil bagi orang-orang Amerika.
Terpengaruh dengan cara-cara tanpa kekerasannya Gandhi, King dan yang lain memprotes. "Kami akan mengimbangi kapasitas Anda yang menyebabkan kesengsaraan ... Perbuatlah kepada kami apa yang Anda inginkan dan kami akan terus-menerus mengasihi Anda," kata King merespons penyerang-penyerangnya. Mengikuti jejak Yesus, ia menyerukan, "Yesus menegaskan dari kayu salib sebuah hukum yang lebih tinggi. Ia tahu bahwa filsafat kuno – mata ganti mata – akan membuat semua orang buta. Ia tidak berupaya mengatasi kejahatan dengan kejahatan. Ia mengatasi kejahatan dengan kebaikan. Meskipun disalibkan karena kebencian, Ia menanggapinya dengan kasih yang agresif."
Dengan diorganisasikannya Southern Christian Leadership Conference (Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan) yang diketuainya, King berkampanye di kota-kota bagian selatan: Jackson, Selma, Meridian dan Birmingham. Namun, pengaruhnya meluas lebih jauh ketika ia memimpin serangan-serangan terhadap ketidakadilan sosial di kota-kota bagian utara.
Sekelompok pendeta Protestan kulit hitam terdekat, termasuk Jesse Jackson, mendukung King, dan orang-orang kulit putih, Katolik serta Yahudi tidak lama kemudian bergabung dalam barisannya. Metode-metode tanpa kekerasan menghadapi serangan selang, pentungan, anjing dan pemukulan. Meskipun banyak orang Kristen mendukungnya, beberapa lawan King yang paling vokal pun menyebut nama Kristus. Pada musim semi 1963, King ditangkap karena memimpin gerakan protes di Birmingham, Alabama. Para rohaniwan di Atlanta mengkritiknya karena meninggalkan gerejanya di Montgomery. "Apa haknya terlibat di tempat lain, di mana dia bukan warganya?" tanya mereka.
Dalam "Surat dari Penjara Birmingham", King memberikan tanggapan bahwa "ketidakadilan di mana pun mengancam keadilan". Bagi mereka yang ada di luar "panah pemisah yang menyengat" dan yang menasihati dia untuk menunggu, ia menjawab: "... Bila Anda disiksa pada siang hari dan dihantui pada malam hari karena Anda seorang Negro, senantiasa hidup dalam kecemasan, tanpa sepenuhnya mengetahui apa yang harus diharapkan berikutnya, dan jika digerogoti ketakutan di dalam hati dan amarah di luar; jika Anda senantiasa bergumul dengan perasaan yang terus memburuk bahwa Anda "bukan apa-apa" – barulah Anda akan mengerti mengapa kami tidak sabar menunggu."
Gerakan protes atas Washington pada tahun 1963 merupakan salah satu peristiwa pa-ling penting dalam sejarah perjuangan hak sipil karena pengaruhnya telah berjasa bagi lahirnya Undang-undang Hak Sipil pada tahun 1964 dan Undang-undang Hak Pilih pada tahun 1965. Pada gerakan protes tersebut, Martin Luther King Jr. menampilkan impiannya:
"Saya mempunyai impian bahwa keempat anak saya yang masih kecil pada satu hari akan hidup di dalam suatu bangsa, di mana mereka tidak akan dinilai dari warna kulit mereka tetapi dari kandungan karakternya ... Dengan iman ini kami dapat menetak sebuah batu harapan dari gunung keputusasaan. Dengan iman ini kami dapat mengubah suara-suara tidak barmonis di negeri kita menjadi simponi persaudaraan yang indah. Dengan keyakinan ini kita dapat bekerja sama, berdoa bersama dengan kesadaran bahwa kita akan bebas pada suatu hari kelak."
Pada tahun 1964, King menerima hadiah Nobel Perdamaian, suatu penghargaan yang mewujudkan sebagian impian itu.
King pergi ke Memphis, Tennessee, untuk mendukung pemogokan para pekerja pengangkut sampah pada tahun 1968. Pada tanggal 4 April, ketika ia sedang berdiri di lorong lantai dua di motelnya di Mulberry Street, bercakap-cakap dengan rekan-rekannya, ia ditembak seorang pembunuh. Peluru itu merenggut nyawanya, tetapi tidak mengakhiri impian yang sedang berlanjut.
Sebagai tanggapan atas keberanian dan kesaksian yang merupakan tekad rohaniwan ini, hari Senin ketiga bulan Januari ditetapkan sebagai Hari Martin Luther King. Dialah satu-satunya rohaniwan Amerika yang namanya dicantumkan pada kalender sebagai penghormatan.
"Saya mempunyai impian ..."
Orang yang memiliki impian itu akan menghabiskan seluruh hidupnya mengejar impiannya dan menyerahkan nyawanya bagi impian tersebut.
Namanya ialah Martin Luther King, Jr., dan impiannya adalah bahwa "keempat anak saya yang masih kecil pada satu hari akan hidup di dalam suatu bangsa, di mana mereka tidak akan dinilai dari warna kulit mereka tetapi dari kandungan karakternya ... " Kata-kata tersebut mengguncang Amerika.
Pendeta muda ini dilahirkan dalam keluarga pendeta Baptis dan dididik di Morehouse College dan Crozer Theological Seminary. Dia meraih gelar Ph.D dari Boston University. Pada tahun 1954 ia menjadi pendeta Gereja Baptis Dexter Avenue di Montgomery, Alabama.
Satu tahun kemudian, seorang wanita berkulit hitam, Ny. Rosa Parks, mengambil sebuah langkah yang mengubah hidup King. Meskipun orang-orang kulit hitam diharuskan menumpang hanya di bagian belakang bus umum, ia duduk di depan – semua tempat duduk di belakang telah terisi, dan ia mengambil tempat duduk pertama di bagian depan. Ia ditangkap karena melanggar undang-undang pemisahan (segregation law).
Martin Luther King, Jr. mendukungnya dengan memimpin boikot pada sistem bus Montgomery. Sebenarnya orang-orang hitamlah penumpang terbanyak sistem bus tersebut, dan mereka diperlakukan dengan tidak adil. Maka orang-orang kulit hitam pun menolak naik bus selama diskriminasi masih berlanjut. Mereka merasa "lebih terhormat berjalan kaki daripada menumpang bus dengan kehinaan".
Boikot mereka berlangsung sampai satu tahun lamanya, namun akhirnya orang kulit hitam menang, dan dengan kemenangan itu Martin Luther King, Jr. terdorong untuk terlibat dalam perjuangan hak-hak sipil bagi orang-orang Amerika.
Terpengaruh dengan cara-cara tanpa kekerasannya Gandhi, King dan yang lain memprotes. "Kami akan mengimbangi kapasitas Anda yang menyebabkan kesengsaraan ... Perbuatlah kepada kami apa yang Anda inginkan dan kami akan terus-menerus mengasihi Anda," kata King merespons penyerang-penyerangnya. Mengikuti jejak Yesus, ia menyerukan, "Yesus menegaskan dari kayu salib sebuah hukum yang lebih tinggi. Ia tahu bahwa filsafat kuno – mata ganti mata – akan membuat semua orang buta. Ia tidak berupaya mengatasi kejahatan dengan kejahatan. Ia mengatasi kejahatan dengan kebaikan. Meskipun disalibkan karena kebencian, Ia menanggapinya dengan kasih yang agresif."
Dengan diorganisasikannya Southern Christian Leadership Conference (Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan) yang diketuainya, King berkampanye di kota-kota bagian selatan: Jackson, Selma, Meridian dan Birmingham. Namun, pengaruhnya meluas lebih jauh ketika ia memimpin serangan-serangan terhadap ketidakadilan sosial di kota-kota bagian utara.
Sekelompok pendeta Protestan kulit hitam terdekat, termasuk Jesse Jackson, mendukung King, dan orang-orang kulit putih, Katolik serta Yahudi tidak lama kemudian bergabung dalam barisannya. Metode-metode tanpa kekerasan menghadapi serangan selang, pentungan, anjing dan pemukulan. Meskipun banyak orang Kristen mendukungnya, beberapa lawan King yang paling vokal pun menyebut nama Kristus. Pada musim semi 1963, King ditangkap karena memimpin gerakan protes di Birmingham, Alabama. Para rohaniwan di Atlanta mengkritiknya karena meninggalkan gerejanya di Montgomery. "Apa haknya terlibat di tempat lain, di mana dia bukan warganya?" tanya mereka.
Dalam "Surat dari Penjara Birmingham", King memberikan tanggapan bahwa "ketidakadilan di mana pun mengancam keadilan". Bagi mereka yang ada di luar "panah pemisah yang menyengat" dan yang menasihati dia untuk menunggu, ia menjawab: "... Bila Anda disiksa pada siang hari dan dihantui pada malam hari karena Anda seorang Negro, senantiasa hidup dalam kecemasan, tanpa sepenuhnya mengetahui apa yang harus diharapkan berikutnya, dan jika digerogoti ketakutan di dalam hati dan amarah di luar; jika Anda senantiasa bergumul dengan perasaan yang terus memburuk bahwa Anda "bukan apa-apa" – barulah Anda akan mengerti mengapa kami tidak sabar menunggu."
Gerakan protes atas Washington pada tahun 1963 merupakan salah satu peristiwa pa-ling penting dalam sejarah perjuangan hak sipil karena pengaruhnya telah berjasa bagi lahirnya Undang-undang Hak Sipil pada tahun 1964 dan Undang-undang Hak Pilih pada tahun 1965. Pada gerakan protes tersebut, Martin Luther King Jr. menampilkan impiannya:
"Saya mempunyai impian bahwa keempat anak saya yang masih kecil pada satu hari akan hidup di dalam suatu bangsa, di mana mereka tidak akan dinilai dari warna kulit mereka tetapi dari kandungan karakternya ... Dengan iman ini kami dapat menetak sebuah batu harapan dari gunung keputusasaan. Dengan iman ini kami dapat mengubah suara-suara tidak barmonis di negeri kita menjadi simponi persaudaraan yang indah. Dengan keyakinan ini kita dapat bekerja sama, berdoa bersama dengan kesadaran bahwa kita akan bebas pada suatu hari kelak."
Pada tahun 1964, King menerima hadiah Nobel Perdamaian, suatu penghargaan yang mewujudkan sebagian impian itu.
King pergi ke Memphis, Tennessee, untuk mendukung pemogokan para pekerja pengangkut sampah pada tahun 1968. Pada tanggal 4 April, ketika ia sedang berdiri di lorong lantai dua di motelnya di Mulberry Street, bercakap-cakap dengan rekan-rekannya, ia ditembak seorang pembunuh. Peluru itu merenggut nyawanya, tetapi tidak mengakhiri impian yang sedang berlanjut.
Sebagai tanggapan atas keberanian dan kesaksian yang merupakan tekad rohaniwan ini, hari Senin ketiga bulan Januari ditetapkan sebagai Hari Martin Luther King. Dialah satu-satunya rohaniwan Amerika yang namanya dicantumkan pada kalender sebagai penghormatan.
Rindu- SERSAN MAYOR
-
Posts : 333
Kepercayaan : Lain-lain
Location : bumi
Join date : 09.05.14
Reputation : 7
Halaman 4 dari 5 • 1, 2, 3, 4, 5
Similar topics
» Misi Kristen Dalam Buku Sejarah SMP
» Kristen & Katolik dalam Sejarah Nasional & Internasional
» Kerusuhan Mei 1998
» Rahasia dalam Peristiwa Ular Tembaga
» kritik buku "sejarah perjumpaan kristen dan islam di indonesia" karya Pdt. Jan Aritonang
» Kristen & Katolik dalam Sejarah Nasional & Internasional
» Kerusuhan Mei 1998
» Rahasia dalam Peristiwa Ular Tembaga
» kritik buku "sejarah perjumpaan kristen dan islam di indonesia" karya Pdt. Jan Aritonang
Halaman 4 dari 5
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik