teologi pembebasan perempuan
Halaman 1 dari 1 • Share
teologi pembebasan perempuan
Islam sejak awal ditargetkan sebagai agama pembebasan--terutama pembebasan terhadap kaum perempuan. Bisa dibayangkan, bagaimana masyarakat Arab yang misoginis dan dikenal sering membunuh anak perempuan, tiba-tiba diperintah melakukan pesta syukuran ('aqiqah) atas kelahiran anak perempuan, meski baru sebatas seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor bagi anak laki-laki.
Bagaimana suatu masyarakat yang tidak mengenal konsep ahli waris dan saksi perempuan, tiba-tiba kepada perempuan diberi hak waris dan hak persaksian, meski baru dalam batas satu berbanding dua untuk anak laki-laki. Perempuan yang mati terbunuh, tiba-tiba harus juga mendapatkan bagian dari denda (diyat), meski masih sebatas seperdua dari yang diperoleh laki-laki.
Bagaimana perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai "pelengkap" keinginan laki-laki (Adam), tiba-tiba diakui setara di depan Allah dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni surga (QS al-Baqarah, 2:35). Bagaimana perempuan (Hawa) dicitrakan sebagai penggoda (temptator) laki-laki (Adam), tiba-tiba dibersihkan namanya dengan keterangan bahwa yang terlibat dalam dosa kosmis adalah kedua-duanya (QS al-A'raf, 7:20).
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (QS Ali 'Imran, 3:112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba ('abid) dan sebagai representasi Tuhan (khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kualitas kesalehan tidak hanya diperoleh melalui upaya pensucian diri (riyadlah nafsiyyah) melainkan juga kepedulian terhadap penderitaan orang lain (Q.S.al-Ma'un, 107:1-7). Islam sejak awal menegaskan bahwa diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus (QS al-Nisa', 4:75)
Islam memerintahkan menusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan; baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid yang sesungguhnya.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah (maqashid al-syari'ah), antara lain mewujudkan keadilan dan kebajikan (QS al-Nahl, 16:90), keamanan dan ketenteraman (QS al-Nisa', 4:58), dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (QS Ali 'Imran, 3:104). Ayat-ayat ini dijadikan kerangka dalam analisis relasi gender dalam Al-Quran.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat, tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya, Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Pada awal-awal sejarah Islam, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan dan suasana batin yang cerah. Rasa percaya diri mereka semakin kuat sehingga di antara mereka mencatat prestasi gemilang, bukan saja di dalam sektor domestik tapi juga di sektor publik. Sayangnya, kenyataan seperti ini tak berlangsung lama karena banyak faktor. Antara lain, semakin berkembangnya dunia Islam sampai kepada pusat-pusat kerajaan yang bercorak misoginis seperti Damaskus, Bagdad dan Persia. Di samping itu, unifikasi dan kodifikasi kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih--yang kuat dipengaruhi budaya lokal--langsung atau tidak langsung, mempunyai andil di dalam memberikan pembatasan hak dan gerak kaum perempuan.
Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik antropologi untuk melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan keberadaan pola relasi gender yang berakar dalam masyarakat. Karena hal tersebut berlangsung cukup lama, maka pola itu mengendap di alam bawah sadar masyarakat, seolah-olah pola relasi gender adalah kodrat (Arab: qudrah berarti ditentukan Tuhan). Bertambah kuat lagi setelah pola relasi kuasa (power relations) menjadi subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan masyarakat new patriarchy.
Kian kuat pola relasi kuasa, kian besar pula ketimpangan peran gender di dalam masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan nilai produktivitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas perempuan dianggap tidak semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi, yang lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki diklaim sebagai komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik. Akibatnya, terciptalah suatu masyarakat yang didominasi laki-laki (al-mujtama' al-abawiy).
Kalau dahulu agama (Islam) identik dengan isu dan wacana pembebasan perempuan, kini ada kecenderungan Islam yang identik dengan pembatasan terhadap perempuan. Di pengujung abad ini banyak negara Islam melakukan revolusi dan reformasi dengan mengambil tema keislaman. Namun demikian, sering kali yang terjadi di pascarevolusi dan reformasi adalah pengekangan terhadap perempuan.
Islamisasi suatu negara seolah-olah berarti "merumahkan" perempuan atau jilbabisasi perempuan. Iran, Pakistan, Aljazair, dan Afganistan dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut. Bagaimana Islam dijadikan dalil untuk mencopot pegawai negeri di sejumlah daerah di Afganistan dengan alasan perempuan tidak boleh bekerja di bidang publik.
Otonomisasi daerah di Indonesia dengan memberikan peran lebih besar kepada tokoh-tokoh adat dan agama setempat, tidak tertutup kemungkinan akan menjadikan perempuan sebagai sasaran dan obyek. Kita tentu sangat berharap agar Islam tak lagi dijadikan sebagai suatu kekuatan ideologis yang menekan suatu kelompok atau jenis kelamin tertentu dan sebaliknya memberikan keuntungan kepada kelompok atau jenis kelamin tertentu.
Bagaimana suatu masyarakat yang tidak mengenal konsep ahli waris dan saksi perempuan, tiba-tiba kepada perempuan diberi hak waris dan hak persaksian, meski baru dalam batas satu berbanding dua untuk anak laki-laki. Perempuan yang mati terbunuh, tiba-tiba harus juga mendapatkan bagian dari denda (diyat), meski masih sebatas seperdua dari yang diperoleh laki-laki.
Bagaimana perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai "pelengkap" keinginan laki-laki (Adam), tiba-tiba diakui setara di depan Allah dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni surga (QS al-Baqarah, 2:35). Bagaimana perempuan (Hawa) dicitrakan sebagai penggoda (temptator) laki-laki (Adam), tiba-tiba dibersihkan namanya dengan keterangan bahwa yang terlibat dalam dosa kosmis adalah kedua-duanya (QS al-A'raf, 7:20).
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (QS Ali 'Imran, 3:112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba ('abid) dan sebagai representasi Tuhan (khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kualitas kesalehan tidak hanya diperoleh melalui upaya pensucian diri (riyadlah nafsiyyah) melainkan juga kepedulian terhadap penderitaan orang lain (Q.S.al-Ma'un, 107:1-7). Islam sejak awal menegaskan bahwa diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus (QS al-Nisa', 4:75)
Islam memerintahkan menusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan; baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid yang sesungguhnya.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah (maqashid al-syari'ah), antara lain mewujudkan keadilan dan kebajikan (QS al-Nahl, 16:90), keamanan dan ketenteraman (QS al-Nisa', 4:58), dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (QS Ali 'Imran, 3:104). Ayat-ayat ini dijadikan kerangka dalam analisis relasi gender dalam Al-Quran.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat, tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya, Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Pada awal-awal sejarah Islam, kaum perempuan memperoleh kemerdekaan dan suasana batin yang cerah. Rasa percaya diri mereka semakin kuat sehingga di antara mereka mencatat prestasi gemilang, bukan saja di dalam sektor domestik tapi juga di sektor publik. Sayangnya, kenyataan seperti ini tak berlangsung lama karena banyak faktor. Antara lain, semakin berkembangnya dunia Islam sampai kepada pusat-pusat kerajaan yang bercorak misoginis seperti Damaskus, Bagdad dan Persia. Di samping itu, unifikasi dan kodifikasi kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih--yang kuat dipengaruhi budaya lokal--langsung atau tidak langsung, mempunyai andil di dalam memberikan pembatasan hak dan gerak kaum perempuan.
Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik antropologi untuk melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan keberadaan pola relasi gender yang berakar dalam masyarakat. Karena hal tersebut berlangsung cukup lama, maka pola itu mengendap di alam bawah sadar masyarakat, seolah-olah pola relasi gender adalah kodrat (Arab: qudrah berarti ditentukan Tuhan). Bertambah kuat lagi setelah pola relasi kuasa (power relations) menjadi subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan masyarakat new patriarchy.
Kian kuat pola relasi kuasa, kian besar pula ketimpangan peran gender di dalam masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan nilai produktivitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas perempuan dianggap tidak semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi, yang lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki diklaim sebagai komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik. Akibatnya, terciptalah suatu masyarakat yang didominasi laki-laki (al-mujtama' al-abawiy).
Kalau dahulu agama (Islam) identik dengan isu dan wacana pembebasan perempuan, kini ada kecenderungan Islam yang identik dengan pembatasan terhadap perempuan. Di pengujung abad ini banyak negara Islam melakukan revolusi dan reformasi dengan mengambil tema keislaman. Namun demikian, sering kali yang terjadi di pascarevolusi dan reformasi adalah pengekangan terhadap perempuan.
Islamisasi suatu negara seolah-olah berarti "merumahkan" perempuan atau jilbabisasi perempuan. Iran, Pakistan, Aljazair, dan Afganistan dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut. Bagaimana Islam dijadikan dalil untuk mencopot pegawai negeri di sejumlah daerah di Afganistan dengan alasan perempuan tidak boleh bekerja di bidang publik.
Otonomisasi daerah di Indonesia dengan memberikan peran lebih besar kepada tokoh-tokoh adat dan agama setempat, tidak tertutup kemungkinan akan menjadikan perempuan sebagai sasaran dan obyek. Kita tentu sangat berharap agar Islam tak lagi dijadikan sebagai suatu kekuatan ideologis yang menekan suatu kelompok atau jenis kelamin tertentu dan sebaliknya memberikan keuntungan kepada kelompok atau jenis kelamin tertentu.
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Similar topics
» teologi pembebasan
» teologi pembebasan dalam ajaran katolik
» kasihan juga perempuan ini [mendengar kisahnya nanti, ternyata perempuan ini tidak boleh bertemu anaknya]
» khitan anak perempuan
» islam memuliakan anak perempuan
» teologi pembebasan dalam ajaran katolik
» kasihan juga perempuan ini [mendengar kisahnya nanti, ternyata perempuan ini tidak boleh bertemu anaknya]
» khitan anak perempuan
» islam memuliakan anak perempuan
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik