FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Bobroknya praktek korupsi di negara kita Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

Bobroknya praktek korupsi di negara kita Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Bobroknya praktek korupsi di negara kita

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

Bobroknya praktek korupsi di negara kita Empty Bobroknya praktek korupsi di negara kita

Post by keroncong Sun Dec 18, 2011 3:20 pm

KETIKA gerakan reformasi
yang dimotori mahasiswa bergulir menuntut perbaikan, satu di antara yang menjadi
sorotan adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ada juga yang menambah
dengan kroniisme. Penulis cenderung menempatkan kroniisme ke dalam nepotisme
karena nepotisme memiliki cakupan yang lebih luas. Nepotisme mungkin dapat
didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar rasa keterikatan tertentu yang
menjadi dasar utama pemberian dan penerimaan jabatan tertentu. Jenis keterikatan
tersebut beragam semisal karena satu daerah, satu suku, satu almamater dan satu
keluarga. Kroniisme adalah bentuk nepotisme berdasar rasa keterikatan sebagai
kawan.

Kolusi dapat didefinisikan dengan bentuk hubungan berdasar
persamaan kepentingan tertentu, antara fihak yang memiliki jabatan publik dengan
fihak anggota masyarakat tertentu, yang ingin mendapat keuntungan dengan imbalan
membagi hasil keuntungan tersebut kepada yang memiliki jabatan tersebut. Bentuk
hubungan ini dapat tercampur dengan motif nepotisme atau juga
tidak.

Korupsi dapat didefinisikan dengan bentuk perselingkuhan berdasar
pemanfaatan wewenang yang dipercayakan padanya untuk hal-hal yang tak sesuai
dengan tujuan pemberian wewenang tersebut.

Sejauh ini penulis belum
mengetahui kapan dan siapa-siapa yang pertama kali berbuat hal-hal tersebut di
atas. Untuk konteks Indonesia, setahu penulis adalah Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) yang mempraktekkan tersebut.

VOC dibentuk berdasarkan
pertimbangan untuk menghilangkan persaingan antara para pedagang Belanda sebagai
akibat diketahuinya jalur laut menuju Nusantara, yang merupakan sumber
rempah-rempah yang sangat dicari di Eropa. Jalur tersebut dirambah pertama kali
oleh Belanda berdasar data-data yang didapat dari kegiatan spionase terhadap
Spanyol-Portugis. Untuk waktu yang lama Belanda bermusuhan dengan kedua bangsa
tersebut.

Cornelis de Houtman –seorang taruna angkatan laut– mendapat
kehormatan memimpin suatu rombongan menempuh jalur yang terbilang sulit
tersebut. Dia tiba di pelabuhan Banten pada 1596, yang kelak merupakan peristiwa
besar bagi Belanda maupun Indonesia. Kehadiran dia merupakan awal hubungan
Belanda-Indonesia.

Ketika itu Banten termasuk kerajaan penting di
Nusantara, negara tersebut menguasai selat strategis, yaitu Selat Sunda,
terlebih lagi setelah para musafir dari berbagai bangsa menghindari Selat Malaka
karena penaklukan Kesultanan Malaka oleh Portugis. Banten juga menguasai
Lampung, wilayah penghasil rempah-rempah walaupun mungkin tidak semelimpah
sebagaimana di Maluku. Namun kelak Banten –sebagai akibat penjajahan asing yang
lama– dikenal sebagai daerah terbelakang: penuh kemiskinan dan kebodohan.
Padahal Banten termasuk memiliki jasa besar dalam membangun peradaban sekaligus
dalam berjuang melawan penjajahan, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Dengan
segala keterbatasan atau penderitaannya, Banten sanggup menampilkan tokoh-tokoh
terbaiknya, umumnya ulama sekaligus pahlawan.

Sejak perjalanan pertama
yang dinilai sukses itu, berlomba-lombalah warga Belanda menghimpun dana dan
mengirim ekspedisi ke Nusantara –dikenal dengan istilah wilde vaart– muncul
persaingan tak sehat karena nafsu besar meraih untung dengan cara
apapun.

Pemerintah Belanda –dikenal dengan Republik 7 Negeri Belanda
Bersatu– mencoba menghimpun mereka ke dalam satu wadah tunggal yaitu VOC dengan
hak monopoli, hak yang sesungguhnya hanya berlaku untuk 21 tahun tetapi kemudian
dengan licik menjadi berkepanjangan hingga perusahaan tersebut
bangkrut.

Hak lain yang luar biasa adalah VOC boleh membuat perjanjian,
membangun benteng, membentuk tentara dan menyatakan perang. Dengan demikian VOC
memiliki posisi bermuka dua, yaitu pedagang dan pemerintah –suatu hak yang
kemudian justru mempersulit VOC sendiri.

Dengan kehadiran VOC, maka
praktis tertutup peluang untuk membentuk perusahaan lain, karena VOC memegang
monopoli di Belanda maupun seberang lautan. Dengan mudah VOC hidup tanpa saingan
dengan sesama orang Belanda, suara-suara protes dengan relatif mudah dibungkam
mengingat orang-orang yang ada di perusahaan memiliki hubungan –semisal
keluarga– dengan orang-orang yang ada di pemerintahan. Ini memang kolusi dan
nepotisme asli!

Ada pepatah bijak power tends to corrupt (kekuasaan
cenderung korup) dan VOC mengamalkannya dengan murni dan konsekuen – meminjam
istilah rezim Soeharto. Wewenang luar biasa tersebut membuka lebar berbagai
bentuk perselingkuhan: berbohong ke atas berdusta ke bawah.

Ketika VOC
bangkrut, segala aset dan hutang piutang diambil alih oleh pemerintah. Untuk
memulihkan kebangkrutan tersebut dari mana lagi kalau bukan dari Moii Indie
–sebutan lain untuk surga tropis Nusantara. Maka dikenallah berbagai praktek
eksploitasi ekonomi yang lebih kejam, karena dilaksanakan oleh pemerintah
melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan bukan lagi oleh swasta yang nota
bene memang bertujuan cari untung, antara lain yang dikenal dengan istilah
cultuurstelsel yang pada prakteknya dikenal dengan istilah Indonesia tanam
paksa. Para petani dipaksa menanam beberapa jenis tumbuhan bernilai komoditi
yang ketika itu laku di Eropa.

Mudarat akibat praktek KKN telah disimak
dengan cermat oleh orang Belanda, mereka bertekad tidak mengulangi kesalahan
melalui VOC. Arus uang dan barang diperiksa seteliti mungkin, jika ada
penyimpangan sedikit saja maka si pelaku mendapat hukuman. Sepengetahuan penulis
tidak ada surat peringatan pertama, kedua hingga ketiga. Peringatan sudah
diberikan ketika mulai diterima masuk kerja.

Ketika bangsa Belanda say
goodbye kepada praktek KKN, bangsa Indonesia justru melaksanakannya setelah
menyadari bahwa perilaku tersebut dinilai menarik. Tertarik karena bangsa ini
memang memiliki “fitrah” selingkuh: mencuri atau berbohong. Agaknya bangsa ini
jika ingin sesuatu menempuh cara mencuri, sampai punya bahasapun agaknya dari
hasil curian bahasa asing. Betapa banyak istilah-istilah asing yang menghiasi
kosakata bahasa Indonesia! Suka tak suka agaknya kita dituntut mengakui hal ini
sebagai bagian dari kritik diri bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa asing yang
dicuri bangsa Indonesia.

Kembali ke soal KKN, seiring berjalan waktu,
praktek tersebut menjadi budaya, suatu tata nilai yang jauh lebih sulit diubah
dibanding dengan kebiasaan, karena telah menjadi aset kolektif, yaitu bangsa,
dan bukan oknum.

Bagaimana posisi kaum Muslim terkait dengan ini? Tak
pelak lagi bahwa umumnya para koruptor adalah kaum Muslim –sebagai konsekuensi
atau resiko kaum mayoritas di negeri ini. Dengan “sukses” kaum Muslim sebagai
mantan murid VOC mengamalkan KKN. Hampir dari level terbawah hingga teratas
adalah maling atau neo-kanibalis. Pesan-pesan dalam kitab dan sunnah yang
mengingatkan bahwa jabatan adalah amanat dengan pertanggung jawaban yang
mengerikan kelak di akhirat cenderung kurang disimak. Maka coba periksa apa yang
tidak dikorup, bahkan bantuan untuk korban bencana pun tidak dilewatkan untuk
dikorup. Tak heran begitu banyak yang tidak sampai kepada yang
berhak.

Jika kita ingat pencuri, kemungkinan besar yang teringat adalah
bahwa pelakunya adalah orang miskin. Karena tak punya pilihan lain untuk mengisi
perut, dia menempuh langkah itu. Tetapi Indonesia menyajikan suatu keanehan yang
parah, para koruptor hampir semua adalah bukan orang miskin: mereka punya
jabatan, dapat gaji layak dan disediakan fasilitas, tetapi justru mereka lebih
maling dari pada maling!

Seakan belum cukup keanehan itu, dengan uang
haram mereka menunaikan ibadah haji atau ‘umrah. Mungkin mereka sanggup
berulangkali bolak-balik ke tanah suci dengan uang tersebut. Atau jika mereka
tersangkut hukum karena itu, pergi haji atau ‘umrah menjadi dalil yang cukup
jitu menghindar dari jerat hukum.

Penulis mendapat info dari satu anggota
keluarga, yang karena satu dan lain hal harus berurusan dengan aparat. Sang
oknum terkesan berusaha mempersulit urusan tersebut yang ternyata –sudah menjadi
rahasia umum– dia berusaha mengamalkan “UUD secara murni dan konsekuen”, yang
agaknya sesuai dengan apa yang dia terima dalam penataran P4 ala rezim Soeharto.
Yaitu tentu saja yang dimaksud bukan Undang Undang Dasar tetapi “Ujung Ujungnya
Duit”. Mereka diperas dengan berbagai macam dalih. Salah satu dalihnya adalah
karena si oknum aparat tadi perlu uang untuk biaya ‘umrah. Coba renungkan,
beribadat dengan uang hasil perbuatan mungkar! Sesuatu hal yang mungkin tidak
masuk akal bagi bangsa lain, sekafir apapun ia, tetapi masuk akal bagi bangsa
Indonesia.

Runtuhnya rezim Soeharto akibat gerakan reformasi sempat
menumbuhkan harapan bagi pendamba keadilan di negeri ini, tetapi untuk kesekian
kali agaknya harapan harus pupus untuk beberapa lama karena penguasa berikutnya
–termasuk ketika dipimpin seorang kiyai– hanyut dengan gaya rezim sebelumnya.
Praktek KKN makin menjadi-jadi.

Ada lagi pemahaman keliru yang
menjangkiti umat, bulan Ramadhan mestinya untuk latihan kendali diri, untuk
diterapkan pada 11 bulan lainnya. Istilah muluknya “11 bulan dijadikan Ramadhan”
yaitu berarti perilaku shalih selama Ramadhan dipraktekkan pula pada bulan-bulan
yang lain. Namun yang difahami (dan dipraktekkan) adalah 11 bulan untuk
“suka-suka” –termasuk mencari rezeki haram– dan 1 bulan dalam Ramadhan untuk
“bersih-bersih”. Setelah itu selama 11 bulan ke depan kembali semau gue. Tak
heran jika bangsa ini sulit mendapat rahmat dan barokah.

Masih terkait
dengan harta, zakat yang mestinya diambil dari harta halal untuk “membersihkan”
harta dan pemiliknya –karena sekian persen dari harta tersebut merupakan hak
orang lain yang dititipkan Allah kepada insan yang mendapatnya– ternyata
dipahami secara keliru pula. Tahu bahwa dia meraih rezeki haram dengan cara
bathil, dia pakai untuk ibadat sosial semisal zakat, infaq dan shadaqah dengan
harapan dosa-dosa dari rezeki haram tersebut berkurang atau hapus sama sekali.
Mungkin terfikir, disamping dosa karena korupsi tentu ada pahala karena memberi.
Yah, sejelek-jeleknya dapat nilai 50-50. Jika harus masuk neraka, minimal dia
sempat menikmati dunia.

Untuk memberantas KKN memang tidak mudah karena
dari ‘kebiasaan’ menjadi budaya. Budaya adalah jenis perilaku yang lebih sulit
karena telah menyebar dalam level nasional. Tetapi perlu ada usaha
memberantasnya walaupun perlu perjuangan ekstra keras dalam jangka waktu amat
panjang. Misalnya, pertama, dapat dimulai dengan tidak menshalatkan mayat orang
yang terkait dengan kasus korupsi. Langsung saja mayatnya dimasukkan ke
kubur!

Kedua, berbagai organisasi sosial hendaknya memiliki nyali untuk
menolak sumbangan dari orang yang terkait dengan kasus KKN, hingga kasus
tersebut jelas dengan hasil dia dinyatakan tidak bersalah.

Ketiga,
mengumumkan nama-nama yang terkait kasus tersebut –semisal di tempat-tempat
umum– dapat dijadikan upaya lain memberantas kasus korupsi. Tanpa bermaksud
mengabaikan asas “praduga tak bersalah”, sosialisasikan nama-nama tersebut
dengan judul atau keterangan “para tersangka” atau “nama-nama bermasalah”.
Istilah tersangka atau bermasalah mengandung pengakuan bahwa nama-nama tersebut
belum tentu bersalah. Namanya juga tersangka, mungkin ya mungkin tidak bersalah.
Namun hal tersebut dapat menjadi peringatan awal bagi warga untuk memberi sanksi
sosial semisal menjaga jarak atau tidak memberi jabatan apapun hingga mereka
terbukti secara hukum tidak bersalah. Dengan demikian diharapkan para tersangka
tersebut tergerak untuk berusaha menjernihkan kasusnya karena merasa “gerah”
dengan sanksi sosial tersebut jika didiamkan saja. Para tersangka tersebut
hendaknya juga mencakup para hamba hukum, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa
antara hamba hukum dengan tersangka terjadi kolusi. Begitu muncul SP3 (Surat
Perintah Penghentian Penyelidikan), segera usut sebab-sebabnya.

Seseorang
yang sejak mencalonkan atau dicalonkan menempati jabatan tertentu perlu
diperiksa hartanya dan diumumkan. Begitu pula ketika dia selesai masa
jabatannya. Dari situ dapat diperbandingkan berapa hartanya ketika mulai
mencalonkan/dicalonkan dengan jumlah harta saat dia berhenti.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik