kepribadian islam
Halaman 1 dari 1 • Share
kepribadian islam
Siapa saja yang mengamati kaum muslimin dewasa ini, tidak mungkin akan menjumpai Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun yang akan ia jumpai adalah pemikiran-pemikiran dan kebudayaan Barat, baik yang berupa paham-paham, seperti Kapitalisme, Sekularisme, Nasionalisme, Sosialisme, Komunisme dan Atheisme. Secara umum, kepribadian mereka saling bertentangan satu sama lain, bukan satu kepribadian atau syakhshiyyah yang sama.
Dalam diri kaum muslimin telah banyak ide-ide atau pandangan hidup kafir, yang menganggap bahwa hidup ini adalah materi, dan manusia mempunyai kebebasan mutlak dalam hidupnya, tanpa terikat oleh suatu peraturanpun. Mereka hanya berpegang kepada ajaran Islam dari sisi ritualnya belaka, yang bisa dilihat di saat-saat mereka melakukan sholat Jum’at, sholat jamaah di bulan Ramadhan, Ibadah haji di Baitullah, sholat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan pada acara-acara peringatan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Tahun Baru Hijriyah, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan lain-lain. Dan pada saat yang sama, mereka berlomba-lomba memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, serta menumpuk-numpuk harta kekayaan tanpa menghiraukan batas-batas halal dan haram.
Tujuan mereka sama, yakni bagaimana mengumpulkan harta benda dan memuaskaan hawa nafsu, dengan jalan apapun. Tidak jarang mereka yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang haram itu adalah orang-orang yang senantiasa melaksanankan sholat lima waktu, Puasa Senin-Kamis sepanjang tahun, ibadah haji dan umroh setiap tahun, atau orang-orang yang gemar berbuat baik, suka menolong fakir miskin, dan membantu orang lain.
Apakah dapat dibenarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki syakhsyiah Islamiyyah? Sementara itu, tampak pada diri mereka adat dan tradisi warisan yang tak henti-hentinya mencengkeram pemikiran serta menyelimuti perasaan mereka, yang mereka pertahankan kuat-kuat. Sehingga tampak bekasnya dalam segala bentuk dan cara hidup mereka. Misalnya pada acara-acara resepsi pengantin, prosesi kematian, pemberian sesajen di kuburan-kuburan, hari-hari raya, dan lain-lain. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan bertolak belakang dengan aqidah Islam, serta merendahkan martabat mereka sebagai manusia. Mereka telah kehilangan syakhshiyyah Islamiyyah-nya, suatu kepribadian yang mampu menjadikan kehidupannya berdasarkan Islam.
Oleh karena itu, setiap muslim wajib untuk senantiasa berusaha membentuk syakhsyiah Islamiyyah dalam dirinya. Hal ini adalah langkah untuk memulai kehidupan Islam, membangkitkan umat untuk mengembalikan Islam dalam percaturan kehidupan, baik di negeri-negeri Islam maupun diantara bangsa-bangsa lain di dunia.
Selanjutnya, apakah syakhshiyyah itu? Bagaimana cara membentuk, menambah dan memperkuatnya? Apa ciri khas syakhshiyah Islamiyyah? Apa yang akan dapat melemahkannya? Berikut ini akan dipaparkan penjelasannya.
Ta’rif (definisi) Syakhshiyyah
Ada yang mendefinisikan syakhshiyyah sebagai suatu sifat yang dapat membedakan seseorang dari orang lain. Maka jika dikatakan bahwa si Fulan mempunyai syakhshiyyah yang kuat, maka yang dimaksud ialah bahwa ia mempunyai sifat-sifat, kemauan atau kehendak yang mandiri.
Ada pula yang mendefinisikan syakhshiyyah sebagai beberapa sifat yang menjadikan seseorang dikenal akan dirinya, karakteristiknya. Maka perkataan yang menyatakan bahwa seseorang mempunyai sifat bahwa dia adalah pengacau, artinya dia tidak dapat keluar dari kebiasaan-kebiasaannya yang suka membikin onar.
Kedua definisi tersebut sebenarnya tidak tepat, sebab sifat-sifat yang ada pada manusia tidak lain adalah efek dari aqliyyah (pemikiran) dan nafsiyyah (kejiwaan) yang akan membentuk syakhshiyyah tertentu. Sifat-sifat tersebut bukan merupakan suatu asas, tetapi ia adalah hasil dari suatu asas. Maka bentuk tubuh, penampilan, dan kecantikan semuanya itu tidak ada hubungannya dengan pembentukan syakhshiyyah. Dangkal sekali, jika ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah pembentuk atau yang berpengaruh terhadap syakhshiyyah.
Sesungguhnya seorang manusia berbeda dengan manusia lain, adalah karrena akal dan tingkah lakunya yang akan menunjukkan tinggi atau rendahnya seseorang. Dan setiap perbuatan seseorang dalam hidup ini sangat tergantung dari mafahim (pemahaman)-nya. Dengan kata lain, tingkah lakunya terkait erat dengan pemahamannya, tak mungkin keduanya terpisahkan.
Yang dimaksud dengan suluk (tingkah laku) adalah semua perbuatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik dan gharizah-nya. Ia akan berjalan menurut muyul (kecenderungan) yang ada dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Oleh karena itu, mafahim dan muyul adalah pembentuk syakhshiyyah seseorang. Pemahaman terhadap kehidupan ini dan terhadap semua yang ada, akan mewujudkan suatu pemikiran tertentu yang dapat menemukan segala sesuatu, dan memberikan pemikiran terhadap semua amal perbuatan manusia, serta mengamati paham-paham yang berbeda-beda di tengah manusia. Sebab, misalnya, pemikiran komunis berbeda dengan pemikiran kapitalis, dan pemikiran Islam berbeda dengan pemikiran kapitalis dan atau komunis.
Hasil dari mafahim seseorang adalah, bahwa ia akan menentukan tingkah lakunya sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Dia akan menentukan suatu kecenderungan terhadap kenyataan tersebut, apakah ia akan menerima dan menyesuaikan diri dengan kenyataan tersebut atau menolaknya. Jika kecenderungan manusia terpadu dengan pemahamannya terntang khidupan, maka ia akan membentuk satu nafsiyyah tertentu dalam dirinya. Dari aqliyyah dan nafsiyyah inilah akan terbentuk syakhshiyyah tertentu dalam diri manusia. Ia akan mempunyai kaidah berpikir atau suatu standar pemikiran yang di atasnya tegak pemikiran yang lain, dan sekaligus tegak nafsiyyahnya.
Jalan pembentukan Syakhshiyyah Islamiyyah
Syakhshiyyah Islamiyyah adalah kepribadian yang terbentuk dari aqliyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah berasaskan aqidah Islamiyyah. Dengan aqidah ini dibentuklah aqliyyah dan nafsiyyah seorang muslim. Maka, disaat membentuk syakhshiyyah seorang muslim, Islam telah memberikan pemecahan yang sempurna terhadap segala problema manusia dengan pemikiran-pemikiran Islam yang berdasarkan Aqidah Islamiyyah. Sehingga, akan tampak jelas perbedaan antara yang benar dan yang bathil, yang keduanya dapat dipisahkan dengan menggunakan standar aqidah Islamiyyah. Dengan demikian terbentuklah pemikiran seorang muslim berdasar aqidah ini, dan ia mempunyai pemikiran-pemikiran yang berlandaskan pada kaidah berpikir ini. Pada dirinya akan ditemukan adanya standar yang benar atas segala pemikiran, sehingga ia akan selamat dari tergelincirnya pemikiran atau menjauhkan diri dari pikiran-pikiran yang rusak. Pada saat itulah ia akan mampu memberikan pemecahan atas segala amal perbuatan manusia yang terlahir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik dan gharizah-nya. Pemecahan tersebut dilakukan dengan menggunakan hukum syari’at yang terpancar dari aqidah ini, dengan suatu pemecahan yang benar, yang mengatur tapi tidak menindas gharizah, serta berbuat untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan dengan pemuasan yang mendatangkan ketenangan.
Dengan demikian, Islam telah membentuk dalam diri manusia suatu kaidah berpikir yang pasti, sebagai asas dan ukuran (standar) bagi pemahaman dan kecenderungannya. Jadi Islam telah membentuk suatu pola syakhshiyyah tertentu yang berbeda dengan syakhshiyyah-syakhshiyyah lain.
Sekali lagi, syakhshiyyah Islamiyyah terbentuk dari aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah. Aqliyyah Islamiyyah adalah pemikiran-pemikiran yang berasaskan Islam, artinya menjadikan Islam sebagai satu-satunya ukuran terhadap semua pemikiran tentang kehidupan, yang tidak sekedar pemikiran untuk pengetahuan belaka, tetapi juga harus menjadikan Islam sebagai tolok ukur untuk segala pemikiran yang bersifat amaliy (praktis) dan ada dalam kenyataan hidup sehari-hari. Misalnya, seorang muslim yang mengetahui bahwa paham qaumiyah (kebangsaan) bukan berasal dari Islam, dan Islam datang untuk menghancurkan pertentangan qabiliyah(kesukuan) atau ashabiyah (fanatisme) diantara manusia, kemudian dia menolak paham tersebut. Ini berarti bahwa dia telah mempunyai aqliyyah Islamiyyah, sebab dia telah menjadikan Islam sebagai tolok ukur terhadap fikroh qaumiyah. Atau jika seorang muslim tahu bahwa paham kapitalisme (Ra’sumaliyah) bukan berasal dari Islam, yang bertentangan dengan Islam, baik secara mendasar atau dalam bentuk penjabarannya, dan dia juga menolaknya. Dengan demikian berarti ai telah memiliki aqliyyah Islamiyyah, sebab ia telah menjadikan Islam sebagai standar terhadap pemikiran, yakni dengan menolak pemikiran tersebut. Demikianlah, seorang muslim memang harus menjadikan Islam sebagai suatu standar terhadap segala bentuk pemikiran, untuk menentukan apakah pemikiran itu diterima atau ditolak, sehingga dalam dirinya terbentuk aqliyyah Islamiyyah sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Adapun adanya Nafsiyyah Islamiyyah, didapatkan jika seseorang menjadikan semua kecenderungannya berdasarkan Islam. Artinya, ia menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum terhadap segala bentuk pemenuhan kebutuhan. Dan ini bukan berarti bahwa ia harus hidup seperti seorang rahib atau terlalu memberatkan diri, tetapi semata-mata menjadikan Islam sebagai standar terhadap segala usaha untuk memenuhi kebutuhan; maka ia telah menetapkan adanya nafsiyyah Islamiyyah dalam dirinya. Misalnya, seorang muslim mengetahui bahwa hidup mewah, berlebihan dan serba boleh, adalah tidak sesuai dengan aqidah Islam, dan Islam juga datang untuk mengubah kehidupan orang-orang yang berlebihan dan berbuat kerusakan. Setelah itu, si muslim tersebut tidak condong dan tidak menuntut gaya hidup semacam itu. Dengan demikian, dalam dirinya telah ada nafsiyyah Islamiyyah, sebab ia telah menjadikan Islam sebagai standar dengan membuat batasan terhadpa kecenderungannya dan menjauhi hal-hal yang telah dilarang oleh Islam. Atau misal rizki, makanan, minuman, tempat tinggal, dan kehidupan yang haram adalah bertentangan dengan aqidah Islamiyyah dan keberadaannya sebagai soraang muslim, karena Islam menuntut seorang muslim untuk mencari perkara yang halal dalam segala urusannya; maka ia tidak condong dan tidak mencari hal yang diharamkan tersebut meskipun melezatkan. Ini berarti dalam dirinya telah terbentuk nafsiyyah Islamiyyah, sebab ia telah menjadikan Islam sebagai tolok ukur atas segala bentuk pemenuhan kebutuhannya.
Demikianlah, dalam semua bentuk kecenderungannya, wajib bagi seorang muslim untuk menjadikan Islam sebagai tolok ukur atas segala bentuk pemenuhan kebutuhannya, apakah ia akan menerima atau menolak. Hingga dalam diri seorang muslim terbentuk nafsiyyah Islamiyyah, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Jadi seorang muslim dikatakan mempunyai syakhshiyyah Islamiyyah, jika ada padanya aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah, tanpa memandang apakah ia seorang alim atau bodoh, atau apakah ia selalu melaksanakan amal fardlu dan sunnah dan meninggalkan yang haram dan makruh, atau yang lebih dari itu yaitu selalu melakukan ketaatan atau menjauhi hal-hal yang syubhat. Yang jelas ia telah memiliki syakhshiyyah Islamiyyah, sebab setiap orang yang berpikir atas asas Islam dan menjadikan hawa nafsunya patuh terhadap Islam, maka dalam dirinya telah ada syakhshiyyah Islamiyyah.
Metode Memperkuat Syakhshiyyah Islamiyyah
Kuat lemahnya syakhshiyyah Islamiyyah seseorang ditentukan oleh tahapan-tahapan yang telah dicapai oleh seseorang dalam penguasaan tsaqofaah Islamiyyah (khazanah ilmu-ilmu Islam)-nya, dan dalam melakukan ketaatan serta perbuatan-perbuatan sunnah yang disukai oleh Allah SWT. Oleh karena itu Islam memberikan dorongan yang kuat kepada setiap orang untuk memperkuat syakhshiyyah Islamiyyah-nya kapan dan dimanapun, agar pemikiran dan tingkah lakunya menjadi sempurna, sehingga ia dapat menyaring segala bentuk pemikiran yang ditemuinya.
Allah SWT berfirman :
“Katakanlah, Ya Rabbi tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS Thaaha : 114)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada setiap muslim, untuk menambah ilmu setiap saat. Di samping itu Allah juga memerintahkan untuk melaksanakan amalan-amalan fardlu, dan menghindari sebanyak mungkin perbuatan haram, serta menganjurkan perbuatan sunnah, perbuatan yang disukai Allah, melakukan sebanyak mungkin perbuatan baik dan menjauhi hal-hal yang syubhat, atau meninggalkan hal-hal yang makruh. Semua itu untuk memperkuat nafsiyyah-nya, dan menjadikannya mampu untuk menolak setiap kecenderungan yang bertentangan dengan Islam. Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi :
“… dan tidaklah bertaqarub (beramal) seorang hambaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai seperti bila ia melakukan fardlu yang kuperintahkan atasnya (amalan fardlu); dan senantiasa hambaku bertaqarub (beramal untuk mendekatkan dirinya) kepada-Ku dengan (amalan-amalan) sunnah sehingga Aku mencintainya… (HR Bukhary dari Abu Hurairah).
Dan firman Allah :
“Dan berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (QS Al Baqaroh : 148)
Dari Abu Musa dikabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“ Setiap muslim wajib untuk shadaqah. Abu Musa berkata, ‘Bagaimana jika ia tidak mendapati sesuatu untuk shadaqah’ Rasul menjawab, ‘Ia harus berbuat dengan kedua tangannya yang dapat mendatangkan manfaat untuk dirinya kemudian ia bersadaqah. ‘Bagaimana jika ia tidak bisa berbuat seperti itu?, tanya Abi Musa. Rasul menjawab : ‘Ia harus menolong orang yang sangat membutuhkan. ‘Bagaimana jika ia tidak mampu. Jawab Rasul : Ia harus beramar ma’ruf dan mengajak pada kebaikan. Bagaimana jika ia tidak dapat berbuat ? Rasul menjawab : Menahan diri dari keburukan adalah sadaqah”. (HR. Bukhory dan Muslim)
Semua itu adalah hal-hal yang berfungsi meninggikan syakhshiyyah Islamiyyah dan menjadikan seseorang berjalan di atas keluhuran. Dan hal-hal tersebut dapat menunjukkan ketinggian dan kerendahan syakhshiyyah, tapi tidak menunjukkan pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah atau syakhshiyyah yang lain. Adapun orang-orang yang hanya menyederhanakan perjalanan hidupnya hanya dengan amalan fardlu dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, ia tetap mempunyaisyakhshiyyah Islamiyyah, walaupun tidak kokoh dan kuat.
Hal yang penting untuk menentukan apakah seseorang memiliki syakhshiyyah Islamiyyah adalah apakah ia menjadikan Islam sebagai tolok ukur setiap pemikiran dan kecenderungannya atau tidak. Dari sini muncul perbedaan tingkat syakhshiyyah Islamiyyah, atau aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah. Oleh karena itu, banyak terjadi kekeliruan pada orang-orang yang menggambarkan bahwa orang yang ber-syakhshiyyah Islamiyyah itu seperti “malaikat”. Anggapan ini sangat berbahaya di tengah masyarakat, sebab mereka kemudian akan mencari “malaikat” diantara manusia, sehingga ia pasti tidak akan menemukannya, termasuk dalam dirinya sendiri. Mereka akhirnya putus asa dan menjauhkan diri dari kaum muslimin. Mereka itu adalah para pengkhayal yang menduga bahwa Islam adalah sesuatu yang mustahil diterapkan. Islam adalah sesuatu sifat yang tinggi dan indah yang tak mungkin manusia dapat melaksanakannya. Manusia tidak akan tahan untuk melaksanakan Islam. Mereka kemudian mencegah manusia dari Islam dan mematikan semangat beramal.
Tidak! Yang sebenarnya, Islam datang untuk diterapkan secara “amaliy” di dalam kehidupan. Artinya, Islam mampu memecahkan problema kehidupan ini tanpa adanya kesulitan untuk menerakannya. Setiap manusia akan mampu menerapkan Islam dalam dirinya dengan praktis dan mudah, meskipun intelegensinya rendah, jika ia sudah menemukan aqidahnya dan mempunyai syakhshiyyah Islamiyyah. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah sebagai tolok ukur semua pemahaman dan kecenderungannya, dan ia berjalan di atas batas-batas tolok ukur tersebut, maka ia telah menemukan adanya syakhshiyyah di dalam dirinya, yakni syakhshiyyah Islamiyyah. Kemudian ia tinggal memperkuatnya dengan memperdalam tsaqofah Islamiyyah-nya untuk memperkaya aqliyyah-nya, dan dengan melakukan ketaatan-ketaatan untuk memperkuat nagsiyahnya. Sehingga ia termasuk orang-orang bersih, dan melangkah dari satu derajat ketinggian ke derajat yang lebih tinggi.
Maka, seorang muslim yang memeluk Islam dengan akal dan bukti yang nyata, akan menerapkan Islam secara sempurna dalam dirinya dan memahami hukum-hukum Allah dengan benar. Oleh karena itu, dalam dirinya telah ada syakhshiyyah Islamiyyah, yang berbeda dengan syakhshiyyah yang lain. Ia memiliki aqliyyah Islamiyyah, karena menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai dasar bagi seua pemikirannya, dan juga memiliki nafsiyyah Islamiyyah karena ia menjadikan aqidah sebagai dasar bagi semua kecenderungannya.
Oleh karena itu, untuk membentuk syakhshiyyah Islamiyyah, seseorang harus membangun aqliyyah dan nafsiyyah secara terpadu atas dasar aqidah Isalamiyah. Tetapi pembentukan ini bukan merupakan sesuatu yang abadi, karena hal itu hanya untuk pembentukan syakhshiyyah-nya saja. Adapun kelanggengannya merupakan hal yang tidak bisa dijamin. Sebab, terkadang dalam diri manusia terjadi penyimpangan aqidah, dan atau kecenderungannya, yang menyebabkan kesesatan atau kefasikan.
Allah SWT. berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shood : 26)
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk memelihara pemikiran dan kecenderungannya atas dasar aqidah Islamiyyah-nya pada tiap kerdipan matanya, supaya syakhshiyyah Islamiyyah-nya senantiasa terpelihara. Sehingga, setelah seseorang terbentuk syakhshiyyah Islamiyyahn-ya, maka ia harus memeliharnya dengan memperkaya dan memperkuatnya dengan amalan-amalan yang akan mengembangkan aqliyyah dan nafsiyyahnya. Hal-hal yang dapat memperkuat nafsiyyah, misalnya ibadah kepada Al Kholiq, senantiasa ber-taqorrub kepada-Nya, serta taat dan melaksanakan amalan-amalan sunnah lainnya. Juga meninggalkan hal-hal yang haram , makruh, dan syubhat. Sedangkan untuk memperkuat aqliyyah-nya, dapat dicapai dengan memahami rincian pemikiran-pemikiran yang dibangun di atas aqidah Islamiyyah dan mengokohkannya dengan tsaqofah Islamiyyah.
Kekhususan Syakhshiyyah Islamiyyah dan Sifat-sifatnya
Syakhshiyyah Islamiyyah memiliki kehususan-kekhususan dan sifat-sifat tertentu yang hanya ada ada seorang muslim sehingga ia dapat dibedakan dengan manusia lain, seperti sebuah tahi lalat yang melekat di wajah seseorang. Kekhususan dan sifat tersebut tidak ada kaitannya dengan bentuk tubuh maupun penampilan meskipun seorang muslim tetap dituntut untuk memperindah dandanan, rambut, pakaian, serta menggunakan wewangian bila keluar.
Rasulullah bersabda:
“Jika kamu mendatangi saudara-saudara kamu, maka perbaikilah kendaraanmu dan baguskanlah pakaianmu, sehingga kamu seolah-olah seperti tahi lalat (keindahan) di tengah manusia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal-hal yang buruk.” (HR. Abu Dawud)
Dan sabdanya pula:
“Hendaknya kamu memakai itsmat (salah satu jenis celak) sebab ia menjernihkan mata dan menumbuhkan rambut “ (HR. Turmidzi)
“Dan pada suatu hari Rasulullah melihat seseorang laki-laki yang rambutnya acak-acakan, maka Rasulullah bersabda:”Apakah ia tidak menemukan sesuatu untuk merapihkan rambutnya?”.(HR. Imam Malik, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Hal-hal tersebut memang tidak ada kaitannya dengan pembentukan syakhshiyyah, dan bukan termasuk pula perkara yang memperkuat syakhshiyyah, tetapi merupakan paras muka dari syakhshiyyah Islamiyyah yang memerlukan perawatan dalam bentuk lahiriyah dan penampilan.
Allah SWT. telah menunjukkan sifat-sifat tersebut dalam Al-Qur’an diberbagai ayat, ketika Allah menggambarkan sifat para sahabat, sifat mukminin, sifat ibadurrahman, juga sifat mujahidin.
Allah SWT. berfirman :
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia, adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya. Tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dari bekas sujudnya…” (QS. Al-Fath:29)
Dalam ayat tersebut, kita lihat dua hal yang berlawanan dari sifat-sifat kaum muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir dan saudaranya sesama muslim. Nampak menonjol dari sifat-sifat mereka (sahabat), yaitu keistiqomahan mereka dalam melaksanakan sholat dan memanjangkan sujudnya, sehingganampak pada wajah mereka suatu keistimewaan yang membedakannya dari muslim yang lain.
Allah SWT. berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan merekapun ridlo kepada Allah …”(QS. At Taubah: 100)
Di sini /allah memberikan sifat-sifat yang baik kepada sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sifat-sifat tertentu, yaitu kerelaan untuk hijrah (bagi Muhajirin) dan memberi pertolongan (bagi Anshor), dan bagusnya orang-orang yang mengikuti sahabat-sahabat yang mulia (orang-orang yang datang setelah sahabat dari orang-orang mukmin hingga datang hari kiamat).
Unsur-unsur Pelemah Suluukul Mslim
Saat ini banyak kaum muslimin yang melakukan amal perbuatan yang bertolak belakang dengan aqidahnya, atau tingkah lakunya bertentangan dengan syakhshiyyah Islamiyyah-nya. Sebagian orang menyangka bahwa amal perbuatannya yang bertentangan dengan aqidah Islam tersebut, berarti telah mengeluarkannya dari Islam. Dan perbuatan-perbuatan nyata yang berlawanan dengan sifat-sifat seorang muslim dianggap telah menghilangkan syakhshiyyah Islamiyyah dari dirinya.
Pada hakekatnya wujud tingkah laku orang tersebut tidak menghilangkan syakhshiyyah Islamiyyah yang ada pada dirinya. Akan tetapi yang benar adalah bahwa perbuatan-perbuatan seperti itu akan melemahkan syakhshiyyah-nya berangsur-angsur, sebab setiap muslim terkadang terdorong untuk melakukan perbuatan haram. Atau ia terjatuh ke dalam perbuatan maksiyat, atau ia malas melakukan hal-hal yang fardlu. Hingga kadang-kadang ia lupa terhadap ikatan antara pemikiran dan kecenderungannya. Atau, ia mungkin tidak tahu bahwa hal-hal tersebut bertentangan dengan aqidah Islamiyyah dan sifat-sifat khusus syakhshiyyah Islamiyyah, atau barangkali syaithon sedang bersemayam dalam hatinya, sehingga aqidahnya jauh dari amal perbuatannya. Secara demikian, ia melakukan amal perbuatan yang bertentangan dengan aqidahnya, berlawanan dengan sifat seorang muslim atau berlawanan dengan perintah dan larangan Allah. Ia melakukan semua atau sebagian dari amal perbuatannya itu, pada saat ia tetap memeluk aqidah Islamiyyah dan mengambilnya sebagai asas pemikiran serta kecenderungannya. Oleh karena itu, tidaklah benar jika pada kondisi demikian ia dikatakan telah keluar dari Islam atau dalam dirinya terbentuk syakhshiyyah yang tidak Islami. Dengan demikian, selagi aqidah Islamiyyah masih ditetapkan sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya, maka syakhshiyyah Islamiyyahnya masih ada, walaupun ia melakukan kefasikan. Sebab yang disebut ber-syakhshiyyah Islamiyyah adalah terikatnya seseorang dengan aqidah Islamiyyah, dan mengambilnya sebagai dasar bagi pemikiran dan kecenderungannya, kalaupun ditemukan penyelewengan dalam amal dan tingkah lakunya.
Seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyah Islamiyyahnya kecuali ia keluar dari Islam, dan seseorang tidak keluar dari Islam kecuali ia melepas aqidah Islamiyyah-nya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Ia tidak keluar dari syakhshiyyah Islamiyyahnya, kecuali jika ia menjauhkan aqidah Islamiyyah dari pemikiran dan kecenderungannya. Artinya, ia tak lagi menggunakan aqidah Islamiyyah sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya dan menggunakan aqidah atau ideologi yang lain. Jika demikian, berarti ia telah melepas aqidah Islamiyyah dan mengeluarkan dirinya dari Islam (murtad).
Oleh karena itu, adalah hal yang mungkin bila seseorang tetap sebagai muslim karena ia tidak menentang aqidah Islamiyyah. Tetapi belum tentu seseorang memiliki syakhshiyyah Islamiyyah, jika ia tidak menggunakan aqidah Islamiyyah sebagai tolok ukur bagi semua pemikiran dan kecenderungannya. Walhasil, pemgakuan aqidah Islamiyyah saja belum cukup untuk memiliki syakhshiyyah Islamiyyah. Hal ini disebabkan karena ikatan antara aqliyyah dan nafsiyyah bukanlah suatu ikatan kaku yang bergerak bersama-sama, tetapi ia adalah ikatan lentur, yang antara keduanya mempunyai kecenderungan untuk memisah atau menyatu kembali. Maka dari itu, bukanlah suatu hal yang aneh jika seorang muslim melakukan maksiyat kepada Allah, disengaja maupun tidak.
Oleh karena itu penyelewengan seseorang dari perintah dan larangan Allah (penyelewengan syar’iy) bukan berarti telah menghilangkan aqidahnya, tetapi ia merusak ikatan amal perbuatannya dari aqidah Islamiyyah, sehingga orang tersebut tidak disebut murtad, tetapi disebut fasik dan ia akan disiksa karena perbuatannya itu. Jadi ia tetap seb agai seorang muslim karena masih menganut aqidah Islam. Dan ia tidak kehilangan syakhshiyyah-nya, hanya ada cacat dan cela pada sifat dan tingkah lakunya,
Akan tetapi, adanya pernyataan tersebut tidaklah berari ada kebebasan untuk menentang perintah dan larangan Allah, sebab larangan untuk menentang Allah adalah sesuatu yang qoth’iy.
Allah SWT. berfirman :
“Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim” (QS Al Baqoroh: 229)
Begitu pula tidak berarti bahwa seorang muslim harus mempunyai sifat-sifat yang berlebihan untuk mendapatkan syakhshiyyah Islamiyyah. Karena sesungguhnya kaum muslimin adalah manusia juga, dan syakhshiyyah Islamiyyah itu ada pada manusia, bukan pada malaikat. Maka jika ia tergelincir dalam dosa, tidak dikatakan bahwa ia telah menggantikan syakhshiyyah-nya dengan syakhshiyyah lain. Lain halnya kalau ia melepaskan aqidah Islamiyyah-nya, maka ia akan dikatakan murtad walaupun amal perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum syar’iy. Sebab di saat itu, amal perbuatannya tidak dilakukan atas dasar ’’tiqod tetapi atas dasar yang lain, misalnya adat, asas manfaat, atau yang lain.
Sebenarnya yang paling mendasar dalam hal ini adalah selamatnya aqidah Islamiyyah dalam diri seseorang, dan tegaknya pemikiran dan kecenderuntannya atas dasar aqidah tersebut, sehingga terwujud syakhshiyah Islamiyyah. Maka, selama aqidah Islamiyyah masih ada dan menjadi dasar berfikir dan berkecenderungan, seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyyah-nya walaupun ada kekurangan dalam sifat-sifat tertentu.
Oleh karena itu, wajib memberi peringatan terhadap segenap kaum muslimin yang masih berkeinginan untuk mewujudkan Islam, tetapi ia membangun pikiran (aqliyyah)-nya di atas landasan akal, kepentingan pribadi dan atau hawa nafsunya, bukan atas dasar aqidah Islam. Mereka harus diberi peringatan agar dasar berpijaknya muncul dari aqidah Islamiyyah.
Dan perlu diperhatikan, bahwa yang dimaksud menganut aqidah Islamiyyah adalah iman terhadap semua yang dibawa Rasulullah, baik garis besar ajarannya maupun apa-apa yang ditetapkannya dalam dalil-dalil yang terperinci secara qoth’iy dengan pasrah dan rela. Wajib pula diketahui, bahwa semata mengetahui saja tidaklah cukup, dan ingkar (seingkar-ingkarnya) terhadap sesuatu yang dilarang (sekecil apapun) yang telah pasti dan diyakini bahwa itu dari Islam adalah kafir. Wajib juga diketahui bahwa Islam tidak menerima bentuk penyerahan parsial (sebagian) saja. Dengan demikian, jika ia menerima Islam, maka harus menerimanya secara keseluruhan, sebab menerima sebagian adalah kufur.
Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan bermaksud memisahkan Allah dengan rasul-Nya dengan mengatakan Kami beriman sebagian dan kufur terhadap sebagian (yang lain), serta bermaksud dengan perkataan itu mengambil jalan diantaraa yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya…” (QS. An Nusaa’:150-151)
Dan rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang ingkar terjadap satu ayat dari Al Qur’an berarti ia telah kafir.”(HR.Thabrani)
Dari sini jelas bahwa iman terhadap sekulerisme yaitu paham pemisahan agama dari kehidupan negara maupun politik adalah kufur. Dan bertahkim dengan hukum selain Islam serta mengambil pemikiraan kemerdekaan (hurriyat) yang memberi kebebasan (liberalisme) kepada manusia untuk tidak terikat dalam aturan apapun adalah kufur dan mengeluarkan seseorang daari Islam dan menjadikan syakhshiyyah-nya sebagai syakhshiyyah kafir. Dalam keadaan ini tidak mungkin mengatakan bahwa ia seorang muslim, walau ia sholat, zakat, puasa, haji sepanjang tahun dan menjauhkan diri dari dosa-dosa besar. Hal ini disebabkan karena aqidahnya tidak selamat. Ia bukan seorang muslim dan jelas tidak mungkin memiliki syakhshiyah Islamiyyah.
Ya Allah! Lindungi dan tolonglah kami dalam mengarungi hidup yang penuh gejolak dan tantangan ini.
Dalam diri kaum muslimin telah banyak ide-ide atau pandangan hidup kafir, yang menganggap bahwa hidup ini adalah materi, dan manusia mempunyai kebebasan mutlak dalam hidupnya, tanpa terikat oleh suatu peraturanpun. Mereka hanya berpegang kepada ajaran Islam dari sisi ritualnya belaka, yang bisa dilihat di saat-saat mereka melakukan sholat Jum’at, sholat jamaah di bulan Ramadhan, Ibadah haji di Baitullah, sholat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan pada acara-acara peringatan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Tahun Baru Hijriyah, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan lain-lain. Dan pada saat yang sama, mereka berlomba-lomba memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, serta menumpuk-numpuk harta kekayaan tanpa menghiraukan batas-batas halal dan haram.
Tujuan mereka sama, yakni bagaimana mengumpulkan harta benda dan memuaskaan hawa nafsu, dengan jalan apapun. Tidak jarang mereka yang terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang haram itu adalah orang-orang yang senantiasa melaksanankan sholat lima waktu, Puasa Senin-Kamis sepanjang tahun, ibadah haji dan umroh setiap tahun, atau orang-orang yang gemar berbuat baik, suka menolong fakir miskin, dan membantu orang lain.
Apakah dapat dibenarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki syakhsyiah Islamiyyah? Sementara itu, tampak pada diri mereka adat dan tradisi warisan yang tak henti-hentinya mencengkeram pemikiran serta menyelimuti perasaan mereka, yang mereka pertahankan kuat-kuat. Sehingga tampak bekasnya dalam segala bentuk dan cara hidup mereka. Misalnya pada acara-acara resepsi pengantin, prosesi kematian, pemberian sesajen di kuburan-kuburan, hari-hari raya, dan lain-lain. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan bertolak belakang dengan aqidah Islam, serta merendahkan martabat mereka sebagai manusia. Mereka telah kehilangan syakhshiyyah Islamiyyah-nya, suatu kepribadian yang mampu menjadikan kehidupannya berdasarkan Islam.
Oleh karena itu, setiap muslim wajib untuk senantiasa berusaha membentuk syakhsyiah Islamiyyah dalam dirinya. Hal ini adalah langkah untuk memulai kehidupan Islam, membangkitkan umat untuk mengembalikan Islam dalam percaturan kehidupan, baik di negeri-negeri Islam maupun diantara bangsa-bangsa lain di dunia.
Selanjutnya, apakah syakhshiyyah itu? Bagaimana cara membentuk, menambah dan memperkuatnya? Apa ciri khas syakhshiyah Islamiyyah? Apa yang akan dapat melemahkannya? Berikut ini akan dipaparkan penjelasannya.
Ta’rif (definisi) Syakhshiyyah
Ada yang mendefinisikan syakhshiyyah sebagai suatu sifat yang dapat membedakan seseorang dari orang lain. Maka jika dikatakan bahwa si Fulan mempunyai syakhshiyyah yang kuat, maka yang dimaksud ialah bahwa ia mempunyai sifat-sifat, kemauan atau kehendak yang mandiri.
Ada pula yang mendefinisikan syakhshiyyah sebagai beberapa sifat yang menjadikan seseorang dikenal akan dirinya, karakteristiknya. Maka perkataan yang menyatakan bahwa seseorang mempunyai sifat bahwa dia adalah pengacau, artinya dia tidak dapat keluar dari kebiasaan-kebiasaannya yang suka membikin onar.
Kedua definisi tersebut sebenarnya tidak tepat, sebab sifat-sifat yang ada pada manusia tidak lain adalah efek dari aqliyyah (pemikiran) dan nafsiyyah (kejiwaan) yang akan membentuk syakhshiyyah tertentu. Sifat-sifat tersebut bukan merupakan suatu asas, tetapi ia adalah hasil dari suatu asas. Maka bentuk tubuh, penampilan, dan kecantikan semuanya itu tidak ada hubungannya dengan pembentukan syakhshiyyah. Dangkal sekali, jika ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah pembentuk atau yang berpengaruh terhadap syakhshiyyah.
Sesungguhnya seorang manusia berbeda dengan manusia lain, adalah karrena akal dan tingkah lakunya yang akan menunjukkan tinggi atau rendahnya seseorang. Dan setiap perbuatan seseorang dalam hidup ini sangat tergantung dari mafahim (pemahaman)-nya. Dengan kata lain, tingkah lakunya terkait erat dengan pemahamannya, tak mungkin keduanya terpisahkan.
Yang dimaksud dengan suluk (tingkah laku) adalah semua perbuatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik dan gharizah-nya. Ia akan berjalan menurut muyul (kecenderungan) yang ada dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Oleh karena itu, mafahim dan muyul adalah pembentuk syakhshiyyah seseorang. Pemahaman terhadap kehidupan ini dan terhadap semua yang ada, akan mewujudkan suatu pemikiran tertentu yang dapat menemukan segala sesuatu, dan memberikan pemikiran terhadap semua amal perbuatan manusia, serta mengamati paham-paham yang berbeda-beda di tengah manusia. Sebab, misalnya, pemikiran komunis berbeda dengan pemikiran kapitalis, dan pemikiran Islam berbeda dengan pemikiran kapitalis dan atau komunis.
Hasil dari mafahim seseorang adalah, bahwa ia akan menentukan tingkah lakunya sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Dia akan menentukan suatu kecenderungan terhadap kenyataan tersebut, apakah ia akan menerima dan menyesuaikan diri dengan kenyataan tersebut atau menolaknya. Jika kecenderungan manusia terpadu dengan pemahamannya terntang khidupan, maka ia akan membentuk satu nafsiyyah tertentu dalam dirinya. Dari aqliyyah dan nafsiyyah inilah akan terbentuk syakhshiyyah tertentu dalam diri manusia. Ia akan mempunyai kaidah berpikir atau suatu standar pemikiran yang di atasnya tegak pemikiran yang lain, dan sekaligus tegak nafsiyyahnya.
Jalan pembentukan Syakhshiyyah Islamiyyah
Syakhshiyyah Islamiyyah adalah kepribadian yang terbentuk dari aqliyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah berasaskan aqidah Islamiyyah. Dengan aqidah ini dibentuklah aqliyyah dan nafsiyyah seorang muslim. Maka, disaat membentuk syakhshiyyah seorang muslim, Islam telah memberikan pemecahan yang sempurna terhadap segala problema manusia dengan pemikiran-pemikiran Islam yang berdasarkan Aqidah Islamiyyah. Sehingga, akan tampak jelas perbedaan antara yang benar dan yang bathil, yang keduanya dapat dipisahkan dengan menggunakan standar aqidah Islamiyyah. Dengan demikian terbentuklah pemikiran seorang muslim berdasar aqidah ini, dan ia mempunyai pemikiran-pemikiran yang berlandaskan pada kaidah berpikir ini. Pada dirinya akan ditemukan adanya standar yang benar atas segala pemikiran, sehingga ia akan selamat dari tergelincirnya pemikiran atau menjauhkan diri dari pikiran-pikiran yang rusak. Pada saat itulah ia akan mampu memberikan pemecahan atas segala amal perbuatan manusia yang terlahir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik dan gharizah-nya. Pemecahan tersebut dilakukan dengan menggunakan hukum syari’at yang terpancar dari aqidah ini, dengan suatu pemecahan yang benar, yang mengatur tapi tidak menindas gharizah, serta berbuat untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan dengan pemuasan yang mendatangkan ketenangan.
Dengan demikian, Islam telah membentuk dalam diri manusia suatu kaidah berpikir yang pasti, sebagai asas dan ukuran (standar) bagi pemahaman dan kecenderungannya. Jadi Islam telah membentuk suatu pola syakhshiyyah tertentu yang berbeda dengan syakhshiyyah-syakhshiyyah lain.
Sekali lagi, syakhshiyyah Islamiyyah terbentuk dari aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah. Aqliyyah Islamiyyah adalah pemikiran-pemikiran yang berasaskan Islam, artinya menjadikan Islam sebagai satu-satunya ukuran terhadap semua pemikiran tentang kehidupan, yang tidak sekedar pemikiran untuk pengetahuan belaka, tetapi juga harus menjadikan Islam sebagai tolok ukur untuk segala pemikiran yang bersifat amaliy (praktis) dan ada dalam kenyataan hidup sehari-hari. Misalnya, seorang muslim yang mengetahui bahwa paham qaumiyah (kebangsaan) bukan berasal dari Islam, dan Islam datang untuk menghancurkan pertentangan qabiliyah(kesukuan) atau ashabiyah (fanatisme) diantara manusia, kemudian dia menolak paham tersebut. Ini berarti bahwa dia telah mempunyai aqliyyah Islamiyyah, sebab dia telah menjadikan Islam sebagai tolok ukur terhadap fikroh qaumiyah. Atau jika seorang muslim tahu bahwa paham kapitalisme (Ra’sumaliyah) bukan berasal dari Islam, yang bertentangan dengan Islam, baik secara mendasar atau dalam bentuk penjabarannya, dan dia juga menolaknya. Dengan demikian berarti ai telah memiliki aqliyyah Islamiyyah, sebab ia telah menjadikan Islam sebagai standar terhadap pemikiran, yakni dengan menolak pemikiran tersebut. Demikianlah, seorang muslim memang harus menjadikan Islam sebagai suatu standar terhadap segala bentuk pemikiran, untuk menentukan apakah pemikiran itu diterima atau ditolak, sehingga dalam dirinya terbentuk aqliyyah Islamiyyah sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Adapun adanya Nafsiyyah Islamiyyah, didapatkan jika seseorang menjadikan semua kecenderungannya berdasarkan Islam. Artinya, ia menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum terhadap segala bentuk pemenuhan kebutuhan. Dan ini bukan berarti bahwa ia harus hidup seperti seorang rahib atau terlalu memberatkan diri, tetapi semata-mata menjadikan Islam sebagai standar terhadap segala usaha untuk memenuhi kebutuhan; maka ia telah menetapkan adanya nafsiyyah Islamiyyah dalam dirinya. Misalnya, seorang muslim mengetahui bahwa hidup mewah, berlebihan dan serba boleh, adalah tidak sesuai dengan aqidah Islam, dan Islam juga datang untuk mengubah kehidupan orang-orang yang berlebihan dan berbuat kerusakan. Setelah itu, si muslim tersebut tidak condong dan tidak menuntut gaya hidup semacam itu. Dengan demikian, dalam dirinya telah ada nafsiyyah Islamiyyah, sebab ia telah menjadikan Islam sebagai standar dengan membuat batasan terhadpa kecenderungannya dan menjauhi hal-hal yang telah dilarang oleh Islam. Atau misal rizki, makanan, minuman, tempat tinggal, dan kehidupan yang haram adalah bertentangan dengan aqidah Islamiyyah dan keberadaannya sebagai soraang muslim, karena Islam menuntut seorang muslim untuk mencari perkara yang halal dalam segala urusannya; maka ia tidak condong dan tidak mencari hal yang diharamkan tersebut meskipun melezatkan. Ini berarti dalam dirinya telah terbentuk nafsiyyah Islamiyyah, sebab ia telah menjadikan Islam sebagai tolok ukur atas segala bentuk pemenuhan kebutuhannya.
Demikianlah, dalam semua bentuk kecenderungannya, wajib bagi seorang muslim untuk menjadikan Islam sebagai tolok ukur atas segala bentuk pemenuhan kebutuhannya, apakah ia akan menerima atau menolak. Hingga dalam diri seorang muslim terbentuk nafsiyyah Islamiyyah, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Jadi seorang muslim dikatakan mempunyai syakhshiyyah Islamiyyah, jika ada padanya aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah, tanpa memandang apakah ia seorang alim atau bodoh, atau apakah ia selalu melaksanakan amal fardlu dan sunnah dan meninggalkan yang haram dan makruh, atau yang lebih dari itu yaitu selalu melakukan ketaatan atau menjauhi hal-hal yang syubhat. Yang jelas ia telah memiliki syakhshiyyah Islamiyyah, sebab setiap orang yang berpikir atas asas Islam dan menjadikan hawa nafsunya patuh terhadap Islam, maka dalam dirinya telah ada syakhshiyyah Islamiyyah.
Metode Memperkuat Syakhshiyyah Islamiyyah
Kuat lemahnya syakhshiyyah Islamiyyah seseorang ditentukan oleh tahapan-tahapan yang telah dicapai oleh seseorang dalam penguasaan tsaqofaah Islamiyyah (khazanah ilmu-ilmu Islam)-nya, dan dalam melakukan ketaatan serta perbuatan-perbuatan sunnah yang disukai oleh Allah SWT. Oleh karena itu Islam memberikan dorongan yang kuat kepada setiap orang untuk memperkuat syakhshiyyah Islamiyyah-nya kapan dan dimanapun, agar pemikiran dan tingkah lakunya menjadi sempurna, sehingga ia dapat menyaring segala bentuk pemikiran yang ditemuinya.
Allah SWT berfirman :
“Katakanlah, Ya Rabbi tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS Thaaha : 114)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada setiap muslim, untuk menambah ilmu setiap saat. Di samping itu Allah juga memerintahkan untuk melaksanakan amalan-amalan fardlu, dan menghindari sebanyak mungkin perbuatan haram, serta menganjurkan perbuatan sunnah, perbuatan yang disukai Allah, melakukan sebanyak mungkin perbuatan baik dan menjauhi hal-hal yang syubhat, atau meninggalkan hal-hal yang makruh. Semua itu untuk memperkuat nafsiyyah-nya, dan menjadikannya mampu untuk menolak setiap kecenderungan yang bertentangan dengan Islam. Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi :
“… dan tidaklah bertaqarub (beramal) seorang hambaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai seperti bila ia melakukan fardlu yang kuperintahkan atasnya (amalan fardlu); dan senantiasa hambaku bertaqarub (beramal untuk mendekatkan dirinya) kepada-Ku dengan (amalan-amalan) sunnah sehingga Aku mencintainya… (HR Bukhary dari Abu Hurairah).
Dan firman Allah :
“Dan berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (QS Al Baqaroh : 148)
Dari Abu Musa dikabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“ Setiap muslim wajib untuk shadaqah. Abu Musa berkata, ‘Bagaimana jika ia tidak mendapati sesuatu untuk shadaqah’ Rasul menjawab, ‘Ia harus berbuat dengan kedua tangannya yang dapat mendatangkan manfaat untuk dirinya kemudian ia bersadaqah. ‘Bagaimana jika ia tidak bisa berbuat seperti itu?, tanya Abi Musa. Rasul menjawab : ‘Ia harus menolong orang yang sangat membutuhkan. ‘Bagaimana jika ia tidak mampu. Jawab Rasul : Ia harus beramar ma’ruf dan mengajak pada kebaikan. Bagaimana jika ia tidak dapat berbuat ? Rasul menjawab : Menahan diri dari keburukan adalah sadaqah”. (HR. Bukhory dan Muslim)
Semua itu adalah hal-hal yang berfungsi meninggikan syakhshiyyah Islamiyyah dan menjadikan seseorang berjalan di atas keluhuran. Dan hal-hal tersebut dapat menunjukkan ketinggian dan kerendahan syakhshiyyah, tapi tidak menunjukkan pembentukan syakhshiyyah Islamiyyah atau syakhshiyyah yang lain. Adapun orang-orang yang hanya menyederhanakan perjalanan hidupnya hanya dengan amalan fardlu dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, ia tetap mempunyaisyakhshiyyah Islamiyyah, walaupun tidak kokoh dan kuat.
Hal yang penting untuk menentukan apakah seseorang memiliki syakhshiyyah Islamiyyah adalah apakah ia menjadikan Islam sebagai tolok ukur setiap pemikiran dan kecenderungannya atau tidak. Dari sini muncul perbedaan tingkat syakhshiyyah Islamiyyah, atau aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah. Oleh karena itu, banyak terjadi kekeliruan pada orang-orang yang menggambarkan bahwa orang yang ber-syakhshiyyah Islamiyyah itu seperti “malaikat”. Anggapan ini sangat berbahaya di tengah masyarakat, sebab mereka kemudian akan mencari “malaikat” diantara manusia, sehingga ia pasti tidak akan menemukannya, termasuk dalam dirinya sendiri. Mereka akhirnya putus asa dan menjauhkan diri dari kaum muslimin. Mereka itu adalah para pengkhayal yang menduga bahwa Islam adalah sesuatu yang mustahil diterapkan. Islam adalah sesuatu sifat yang tinggi dan indah yang tak mungkin manusia dapat melaksanakannya. Manusia tidak akan tahan untuk melaksanakan Islam. Mereka kemudian mencegah manusia dari Islam dan mematikan semangat beramal.
Tidak! Yang sebenarnya, Islam datang untuk diterapkan secara “amaliy” di dalam kehidupan. Artinya, Islam mampu memecahkan problema kehidupan ini tanpa adanya kesulitan untuk menerakannya. Setiap manusia akan mampu menerapkan Islam dalam dirinya dengan praktis dan mudah, meskipun intelegensinya rendah, jika ia sudah menemukan aqidahnya dan mempunyai syakhshiyyah Islamiyyah. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah sebagai tolok ukur semua pemahaman dan kecenderungannya, dan ia berjalan di atas batas-batas tolok ukur tersebut, maka ia telah menemukan adanya syakhshiyyah di dalam dirinya, yakni syakhshiyyah Islamiyyah. Kemudian ia tinggal memperkuatnya dengan memperdalam tsaqofah Islamiyyah-nya untuk memperkaya aqliyyah-nya, dan dengan melakukan ketaatan-ketaatan untuk memperkuat nagsiyahnya. Sehingga ia termasuk orang-orang bersih, dan melangkah dari satu derajat ketinggian ke derajat yang lebih tinggi.
Maka, seorang muslim yang memeluk Islam dengan akal dan bukti yang nyata, akan menerapkan Islam secara sempurna dalam dirinya dan memahami hukum-hukum Allah dengan benar. Oleh karena itu, dalam dirinya telah ada syakhshiyyah Islamiyyah, yang berbeda dengan syakhshiyyah yang lain. Ia memiliki aqliyyah Islamiyyah, karena menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai dasar bagi seua pemikirannya, dan juga memiliki nafsiyyah Islamiyyah karena ia menjadikan aqidah sebagai dasar bagi semua kecenderungannya.
Oleh karena itu, untuk membentuk syakhshiyyah Islamiyyah, seseorang harus membangun aqliyyah dan nafsiyyah secara terpadu atas dasar aqidah Isalamiyah. Tetapi pembentukan ini bukan merupakan sesuatu yang abadi, karena hal itu hanya untuk pembentukan syakhshiyyah-nya saja. Adapun kelanggengannya merupakan hal yang tidak bisa dijamin. Sebab, terkadang dalam diri manusia terjadi penyimpangan aqidah, dan atau kecenderungannya, yang menyebabkan kesesatan atau kefasikan.
Allah SWT. berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shood : 26)
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah : 47)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk memelihara pemikiran dan kecenderungannya atas dasar aqidah Islamiyyah-nya pada tiap kerdipan matanya, supaya syakhshiyyah Islamiyyah-nya senantiasa terpelihara. Sehingga, setelah seseorang terbentuk syakhshiyyah Islamiyyahn-ya, maka ia harus memeliharnya dengan memperkaya dan memperkuatnya dengan amalan-amalan yang akan mengembangkan aqliyyah dan nafsiyyahnya. Hal-hal yang dapat memperkuat nafsiyyah, misalnya ibadah kepada Al Kholiq, senantiasa ber-taqorrub kepada-Nya, serta taat dan melaksanakan amalan-amalan sunnah lainnya. Juga meninggalkan hal-hal yang haram , makruh, dan syubhat. Sedangkan untuk memperkuat aqliyyah-nya, dapat dicapai dengan memahami rincian pemikiran-pemikiran yang dibangun di atas aqidah Islamiyyah dan mengokohkannya dengan tsaqofah Islamiyyah.
Kekhususan Syakhshiyyah Islamiyyah dan Sifat-sifatnya
Syakhshiyyah Islamiyyah memiliki kehususan-kekhususan dan sifat-sifat tertentu yang hanya ada ada seorang muslim sehingga ia dapat dibedakan dengan manusia lain, seperti sebuah tahi lalat yang melekat di wajah seseorang. Kekhususan dan sifat tersebut tidak ada kaitannya dengan bentuk tubuh maupun penampilan meskipun seorang muslim tetap dituntut untuk memperindah dandanan, rambut, pakaian, serta menggunakan wewangian bila keluar.
Rasulullah bersabda:
“Jika kamu mendatangi saudara-saudara kamu, maka perbaikilah kendaraanmu dan baguskanlah pakaianmu, sehingga kamu seolah-olah seperti tahi lalat (keindahan) di tengah manusia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal-hal yang buruk.” (HR. Abu Dawud)
Dan sabdanya pula:
“Hendaknya kamu memakai itsmat (salah satu jenis celak) sebab ia menjernihkan mata dan menumbuhkan rambut “ (HR. Turmidzi)
“Dan pada suatu hari Rasulullah melihat seseorang laki-laki yang rambutnya acak-acakan, maka Rasulullah bersabda:”Apakah ia tidak menemukan sesuatu untuk merapihkan rambutnya?”.(HR. Imam Malik, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Hal-hal tersebut memang tidak ada kaitannya dengan pembentukan syakhshiyyah, dan bukan termasuk pula perkara yang memperkuat syakhshiyyah, tetapi merupakan paras muka dari syakhshiyyah Islamiyyah yang memerlukan perawatan dalam bentuk lahiriyah dan penampilan.
Allah SWT. telah menunjukkan sifat-sifat tersebut dalam Al-Qur’an diberbagai ayat, ketika Allah menggambarkan sifat para sahabat, sifat mukminin, sifat ibadurrahman, juga sifat mujahidin.
Allah SWT. berfirman :
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia, adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridloan-Nya. Tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dari bekas sujudnya…” (QS. Al-Fath:29)
Dalam ayat tersebut, kita lihat dua hal yang berlawanan dari sifat-sifat kaum muslimin dalam menghadapi orang-orang kafir dan saudaranya sesama muslim. Nampak menonjol dari sifat-sifat mereka (sahabat), yaitu keistiqomahan mereka dalam melaksanakan sholat dan memanjangkan sujudnya, sehingganampak pada wajah mereka suatu keistimewaan yang membedakannya dari muslim yang lain.
Allah SWT. berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan merekapun ridlo kepada Allah …”(QS. At Taubah: 100)
Di sini /allah memberikan sifat-sifat yang baik kepada sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sifat-sifat tertentu, yaitu kerelaan untuk hijrah (bagi Muhajirin) dan memberi pertolongan (bagi Anshor), dan bagusnya orang-orang yang mengikuti sahabat-sahabat yang mulia (orang-orang yang datang setelah sahabat dari orang-orang mukmin hingga datang hari kiamat).
Unsur-unsur Pelemah Suluukul Mslim
Saat ini banyak kaum muslimin yang melakukan amal perbuatan yang bertolak belakang dengan aqidahnya, atau tingkah lakunya bertentangan dengan syakhshiyyah Islamiyyah-nya. Sebagian orang menyangka bahwa amal perbuatannya yang bertentangan dengan aqidah Islam tersebut, berarti telah mengeluarkannya dari Islam. Dan perbuatan-perbuatan nyata yang berlawanan dengan sifat-sifat seorang muslim dianggap telah menghilangkan syakhshiyyah Islamiyyah dari dirinya.
Pada hakekatnya wujud tingkah laku orang tersebut tidak menghilangkan syakhshiyyah Islamiyyah yang ada pada dirinya. Akan tetapi yang benar adalah bahwa perbuatan-perbuatan seperti itu akan melemahkan syakhshiyyah-nya berangsur-angsur, sebab setiap muslim terkadang terdorong untuk melakukan perbuatan haram. Atau ia terjatuh ke dalam perbuatan maksiyat, atau ia malas melakukan hal-hal yang fardlu. Hingga kadang-kadang ia lupa terhadap ikatan antara pemikiran dan kecenderungannya. Atau, ia mungkin tidak tahu bahwa hal-hal tersebut bertentangan dengan aqidah Islamiyyah dan sifat-sifat khusus syakhshiyyah Islamiyyah, atau barangkali syaithon sedang bersemayam dalam hatinya, sehingga aqidahnya jauh dari amal perbuatannya. Secara demikian, ia melakukan amal perbuatan yang bertentangan dengan aqidahnya, berlawanan dengan sifat seorang muslim atau berlawanan dengan perintah dan larangan Allah. Ia melakukan semua atau sebagian dari amal perbuatannya itu, pada saat ia tetap memeluk aqidah Islamiyyah dan mengambilnya sebagai asas pemikiran serta kecenderungannya. Oleh karena itu, tidaklah benar jika pada kondisi demikian ia dikatakan telah keluar dari Islam atau dalam dirinya terbentuk syakhshiyyah yang tidak Islami. Dengan demikian, selagi aqidah Islamiyyah masih ditetapkan sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya, maka syakhshiyyah Islamiyyahnya masih ada, walaupun ia melakukan kefasikan. Sebab yang disebut ber-syakhshiyyah Islamiyyah adalah terikatnya seseorang dengan aqidah Islamiyyah, dan mengambilnya sebagai dasar bagi pemikiran dan kecenderungannya, kalaupun ditemukan penyelewengan dalam amal dan tingkah lakunya.
Seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyah Islamiyyahnya kecuali ia keluar dari Islam, dan seseorang tidak keluar dari Islam kecuali ia melepas aqidah Islamiyyah-nya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Ia tidak keluar dari syakhshiyyah Islamiyyahnya, kecuali jika ia menjauhkan aqidah Islamiyyah dari pemikiran dan kecenderungannya. Artinya, ia tak lagi menggunakan aqidah Islamiyyah sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya dan menggunakan aqidah atau ideologi yang lain. Jika demikian, berarti ia telah melepas aqidah Islamiyyah dan mengeluarkan dirinya dari Islam (murtad).
Oleh karena itu, adalah hal yang mungkin bila seseorang tetap sebagai muslim karena ia tidak menentang aqidah Islamiyyah. Tetapi belum tentu seseorang memiliki syakhshiyyah Islamiyyah, jika ia tidak menggunakan aqidah Islamiyyah sebagai tolok ukur bagi semua pemikiran dan kecenderungannya. Walhasil, pemgakuan aqidah Islamiyyah saja belum cukup untuk memiliki syakhshiyyah Islamiyyah. Hal ini disebabkan karena ikatan antara aqliyyah dan nafsiyyah bukanlah suatu ikatan kaku yang bergerak bersama-sama, tetapi ia adalah ikatan lentur, yang antara keduanya mempunyai kecenderungan untuk memisah atau menyatu kembali. Maka dari itu, bukanlah suatu hal yang aneh jika seorang muslim melakukan maksiyat kepada Allah, disengaja maupun tidak.
Oleh karena itu penyelewengan seseorang dari perintah dan larangan Allah (penyelewengan syar’iy) bukan berarti telah menghilangkan aqidahnya, tetapi ia merusak ikatan amal perbuatannya dari aqidah Islamiyyah, sehingga orang tersebut tidak disebut murtad, tetapi disebut fasik dan ia akan disiksa karena perbuatannya itu. Jadi ia tetap seb agai seorang muslim karena masih menganut aqidah Islam. Dan ia tidak kehilangan syakhshiyyah-nya, hanya ada cacat dan cela pada sifat dan tingkah lakunya,
Akan tetapi, adanya pernyataan tersebut tidaklah berari ada kebebasan untuk menentang perintah dan larangan Allah, sebab larangan untuk menentang Allah adalah sesuatu yang qoth’iy.
Allah SWT. berfirman :
“Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim” (QS Al Baqoroh: 229)
Begitu pula tidak berarti bahwa seorang muslim harus mempunyai sifat-sifat yang berlebihan untuk mendapatkan syakhshiyyah Islamiyyah. Karena sesungguhnya kaum muslimin adalah manusia juga, dan syakhshiyyah Islamiyyah itu ada pada manusia, bukan pada malaikat. Maka jika ia tergelincir dalam dosa, tidak dikatakan bahwa ia telah menggantikan syakhshiyyah-nya dengan syakhshiyyah lain. Lain halnya kalau ia melepaskan aqidah Islamiyyah-nya, maka ia akan dikatakan murtad walaupun amal perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum syar’iy. Sebab di saat itu, amal perbuatannya tidak dilakukan atas dasar ’’tiqod tetapi atas dasar yang lain, misalnya adat, asas manfaat, atau yang lain.
Sebenarnya yang paling mendasar dalam hal ini adalah selamatnya aqidah Islamiyyah dalam diri seseorang, dan tegaknya pemikiran dan kecenderuntannya atas dasar aqidah tersebut, sehingga terwujud syakhshiyah Islamiyyah. Maka, selama aqidah Islamiyyah masih ada dan menjadi dasar berfikir dan berkecenderungan, seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyyah-nya walaupun ada kekurangan dalam sifat-sifat tertentu.
Oleh karena itu, wajib memberi peringatan terhadap segenap kaum muslimin yang masih berkeinginan untuk mewujudkan Islam, tetapi ia membangun pikiran (aqliyyah)-nya di atas landasan akal, kepentingan pribadi dan atau hawa nafsunya, bukan atas dasar aqidah Islam. Mereka harus diberi peringatan agar dasar berpijaknya muncul dari aqidah Islamiyyah.
Dan perlu diperhatikan, bahwa yang dimaksud menganut aqidah Islamiyyah adalah iman terhadap semua yang dibawa Rasulullah, baik garis besar ajarannya maupun apa-apa yang ditetapkannya dalam dalil-dalil yang terperinci secara qoth’iy dengan pasrah dan rela. Wajib pula diketahui, bahwa semata mengetahui saja tidaklah cukup, dan ingkar (seingkar-ingkarnya) terhadap sesuatu yang dilarang (sekecil apapun) yang telah pasti dan diyakini bahwa itu dari Islam adalah kafir. Wajib juga diketahui bahwa Islam tidak menerima bentuk penyerahan parsial (sebagian) saja. Dengan demikian, jika ia menerima Islam, maka harus menerimanya secara keseluruhan, sebab menerima sebagian adalah kufur.
Allah SWT. berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan bermaksud memisahkan Allah dengan rasul-Nya dengan mengatakan Kami beriman sebagian dan kufur terhadap sebagian (yang lain), serta bermaksud dengan perkataan itu mengambil jalan diantaraa yang demikian (iman dan kafir) merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya…” (QS. An Nusaa’:150-151)
Dan rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang ingkar terjadap satu ayat dari Al Qur’an berarti ia telah kafir.”(HR.Thabrani)
Dari sini jelas bahwa iman terhadap sekulerisme yaitu paham pemisahan agama dari kehidupan negara maupun politik adalah kufur. Dan bertahkim dengan hukum selain Islam serta mengambil pemikiraan kemerdekaan (hurriyat) yang memberi kebebasan (liberalisme) kepada manusia untuk tidak terikat dalam aturan apapun adalah kufur dan mengeluarkan seseorang daari Islam dan menjadikan syakhshiyyah-nya sebagai syakhshiyyah kafir. Dalam keadaan ini tidak mungkin mengatakan bahwa ia seorang muslim, walau ia sholat, zakat, puasa, haji sepanjang tahun dan menjauhkan diri dari dosa-dosa besar. Hal ini disebabkan karena aqidahnya tidak selamat. Ia bukan seorang muslim dan jelas tidak mungkin memiliki syakhshiyah Islamiyyah.
Ya Allah! Lindungi dan tolonglah kami dalam mengarungi hidup yang penuh gejolak dan tantangan ini.
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Similar topics
» kepribadian fatimah az zahra
» Islam Conquer European Footbal - Islam Telah Menguasai Sepakbola Eropa
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
» mengemis bukanlah tradisi islam, tetapi kebanyakan pengemis beragama islam
» Islam Conquer European Footbal - Islam Telah Menguasai Sepakbola Eropa
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
» mengemis bukanlah tradisi islam, tetapi kebanyakan pengemis beragama islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik