Standar Ganda dalam Lingkungan Buddha
Halaman 1 dari 1 • Share
Standar Ganda dalam Lingkungan Buddha
Dalam hal Nibbana. Tanya, apakah diantara umat Buddhis ada yang sudah melihat Nibbana. kebanyakan mereka akan menjawab "Belum". tapi seluruh perbuatan dalam hidup, mereka tujukan untuk merealisasikan hal yang belum pernah mereka lihat itu. Tapi mereka percaya bahwa Nibbana itu ada. sedangkan mereka menyangkal keberadaan Tuhan dengan alasan Tuhan tidak bisa dilihat.
Selain itu dalam Ashin Janakabhivamsa, Abiddhama sehari-hari, Hal. 109-110:
Ketika Anda memancarkan metta secara langsung kepada seseorang, sementara Anda memusatkan pikiran kepada orang tersebut dan berharap, “Semoga dia berbahagia, “ metta Anda akan terhubung dengan orang yang menerima metta. …
Untuk menguncarkan metta, uncarkan kalimat pali berikut :
Sabbhe saat Avera hontu, abhyapajja hontu, angha hontu, sukhi attanam pariharantu.
Artinya :
Semoga semua makhluk bebas dari marabahaya
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan batin
Semoga makhluk bebas dari penderitaan jasmani
Semoga semua makhluk menjaga diri dengan bahagia
Komentar :
Apa bedanya penguncaran harapan metta dengan doa?
Apakah penguncaran harapan metta tersebut bermanfaat bagi makhluk lain atau tidak?
Tentunya mereka berpikir bahwa penguncaran metta itu berguna bagi orang lain. Jika tidak? Untuk apa mereka mengharapkan orang lain berbahagia, kalau tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang lain. Lalu, mengapa orang seorang istri yang menguncarkan harapan yang sama dianggap tidak logis? “Semoga suamiku sehat kembali!”
Umat Buddhis akan menyangkal, bahwa mereka hanya menguncarkan harapan, tanpa meminta kepada pihak manapun, atau kepada sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan. Terpenuhinya harapan itu bergantung kepada kamma orang yang menerima metta. Jika orang yang menerima metta itu memiliki cukup kamma baik, maka harapan si penguncar dapat terpenuhi. Jika tidak, maka penguncaran itu akan sia-sia. Demikian kira-kira mereka akan berargumentasi. Itu argumentasi yang keliru. Jika memang hanya ditentukan oleh kamma si penerima metta, maka untuk apa si pengirim metta bersusah payah mengirimkan metta? Apakah sang Buddha mengajarkan umatnya untuk melakukan hal yang sia-sia? Jika kebahagiaan orang lain tidak akan bertambah karena harapan Anda, untuk apa Anda mengatakn pada orang lain, “Semoga Anda bahagia?”.
Harapan itu sendiri berarti kehendak untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Ini adalah doa. Dalam tradisi umat Buddhis sendiri, saling menguncarkan harapan itu sudah terbiasa, seperti “semoga Anda lekas sembuh!” diucapkan kepada yang sakit. Atau “Semoga Anda tercerahkan!”. Dan yang paling terkenal adalah ucapan metta “Semoga Anda bahagia!”. Mereka tidak tahu, itu sama artinya dengan ucapan doa “Assalamualaikum!” yang artinya “semoga keselamatan atas kalian!”. Ketika mereka menyangkal bahwa “kami hanya berharap, tapi tidak meminta kepada apapun atau siapapun”, sungguh mereka tidak mengerti bahwa Tuhan itu bukan apapun dan bukan siapapun sebagaimana yang mereka perkirakan. Jadi, ketika umat beragama berdoa kepada Tuhan, itu berarti dia tidak meminta kepada apapun dan siapapun, kecuali segenap faktor yang dapat mendukung kepada terjadinya harapan.
Ketika mereka berkata,”kamma lah yang menentukan terpenuhinya sebuah harapan”. Maka kita katakan, “Pahal dari Tuhanlah yang menentukan terpenuhinya sebuah harapan”. Sebenarnya itu sama saja.
Ketika mereka berkata, “Jika tuhan bisa menyembuhkan, mengapa ia tidak menyembuhkan sebelum orang itu mendaptkan operasi? Apakah Tuhan tidak menyembuhkan sebelum itu?”
Kita dapat bertanya dengan cara yang sama, “Jika penguncaran harapan dapat memberi kebahagiaan pada orang lain, mengapa banyak diantara mereka yang hidup menderita.”
Di sisi lain, para bikkhu seringkali menggunakan mantra-mantra tertentu untuk membantu umatnya dalam berbagai problem. Lebih jauh, hal ini dapat kita pelajari dalam BAB : MANTRA BUDDHIS. Dalam bab ini, kita akan melihat bahwa betapa dalam ajaran Buddhis, mantra itu dipercaya sebagai sesuatu kekuatan mistik yang mampu menciptakan hal-hal luar biasa. Kontradiksi dengan penyangkalan mereka terhadap doa.
http://medialogika.org/kupas-logika/testimoni-buddha-logika-kesembuhan-karena-doa/
Selain itu dalam Ashin Janakabhivamsa, Abiddhama sehari-hari, Hal. 109-110:
Ketika Anda memancarkan metta secara langsung kepada seseorang, sementara Anda memusatkan pikiran kepada orang tersebut dan berharap, “Semoga dia berbahagia, “ metta Anda akan terhubung dengan orang yang menerima metta. …
Untuk menguncarkan metta, uncarkan kalimat pali berikut :
Sabbhe saat Avera hontu, abhyapajja hontu, angha hontu, sukhi attanam pariharantu.
Artinya :
Semoga semua makhluk bebas dari marabahaya
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan batin
Semoga makhluk bebas dari penderitaan jasmani
Semoga semua makhluk menjaga diri dengan bahagia
Komentar :
Apa bedanya penguncaran harapan metta dengan doa?
Apakah penguncaran harapan metta tersebut bermanfaat bagi makhluk lain atau tidak?
Tentunya mereka berpikir bahwa penguncaran metta itu berguna bagi orang lain. Jika tidak? Untuk apa mereka mengharapkan orang lain berbahagia, kalau tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang lain. Lalu, mengapa orang seorang istri yang menguncarkan harapan yang sama dianggap tidak logis? “Semoga suamiku sehat kembali!”
Umat Buddhis akan menyangkal, bahwa mereka hanya menguncarkan harapan, tanpa meminta kepada pihak manapun, atau kepada sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan. Terpenuhinya harapan itu bergantung kepada kamma orang yang menerima metta. Jika orang yang menerima metta itu memiliki cukup kamma baik, maka harapan si penguncar dapat terpenuhi. Jika tidak, maka penguncaran itu akan sia-sia. Demikian kira-kira mereka akan berargumentasi. Itu argumentasi yang keliru. Jika memang hanya ditentukan oleh kamma si penerima metta, maka untuk apa si pengirim metta bersusah payah mengirimkan metta? Apakah sang Buddha mengajarkan umatnya untuk melakukan hal yang sia-sia? Jika kebahagiaan orang lain tidak akan bertambah karena harapan Anda, untuk apa Anda mengatakn pada orang lain, “Semoga Anda bahagia?”.
Harapan itu sendiri berarti kehendak untuk mewujudkan apa yang diinginkan. Ini adalah doa. Dalam tradisi umat Buddhis sendiri, saling menguncarkan harapan itu sudah terbiasa, seperti “semoga Anda lekas sembuh!” diucapkan kepada yang sakit. Atau “Semoga Anda tercerahkan!”. Dan yang paling terkenal adalah ucapan metta “Semoga Anda bahagia!”. Mereka tidak tahu, itu sama artinya dengan ucapan doa “Assalamualaikum!” yang artinya “semoga keselamatan atas kalian!”. Ketika mereka menyangkal bahwa “kami hanya berharap, tapi tidak meminta kepada apapun atau siapapun”, sungguh mereka tidak mengerti bahwa Tuhan itu bukan apapun dan bukan siapapun sebagaimana yang mereka perkirakan. Jadi, ketika umat beragama berdoa kepada Tuhan, itu berarti dia tidak meminta kepada apapun dan siapapun, kecuali segenap faktor yang dapat mendukung kepada terjadinya harapan.
Ketika mereka berkata,”kamma lah yang menentukan terpenuhinya sebuah harapan”. Maka kita katakan, “Pahal dari Tuhanlah yang menentukan terpenuhinya sebuah harapan”. Sebenarnya itu sama saja.
Ketika mereka berkata, “Jika tuhan bisa menyembuhkan, mengapa ia tidak menyembuhkan sebelum orang itu mendaptkan operasi? Apakah Tuhan tidak menyembuhkan sebelum itu?”
Kita dapat bertanya dengan cara yang sama, “Jika penguncaran harapan dapat memberi kebahagiaan pada orang lain, mengapa banyak diantara mereka yang hidup menderita.”
Di sisi lain, para bikkhu seringkali menggunakan mantra-mantra tertentu untuk membantu umatnya dalam berbagai problem. Lebih jauh, hal ini dapat kita pelajari dalam BAB : MANTRA BUDDHIS. Dalam bab ini, kita akan melihat bahwa betapa dalam ajaran Buddhis, mantra itu dipercaya sebagai sesuatu kekuatan mistik yang mampu menciptakan hal-hal luar biasa. Kontradiksi dengan penyangkalan mereka terhadap doa.
http://medialogika.org/kupas-logika/testimoni-buddha-logika-kesembuhan-karena-doa/
Penyaran- LETNAN SATU
-
Posts : 2559
Join date : 03.01.12
Reputation : 115
Re: Standar Ganda dalam Lingkungan Buddha
Agama Buddha yang dianut oleh kaum buddhis Indonesia pada umumnya tidaklah mengenal adanya Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang berpribadi, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Tuhan Maha Kuasa. Tapi karena lembaga-lembaga Buddhis harus berlandaskan hukum kepda Pancasila dan UUD 45 di mana sila yang pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa, maka kemudian umat yang sejatinya tidak percaya adanya tuhan ini merumuskan konsep ketuhan dalam agama Buddha. Terpaksa umat Buddhis harus menunjuk sesuatu sebagai Tuhan, jika tidak tentu menjadi tidak selaras dengan landasan hukum negara, yaitu Pancasila.
salah satu hal yang dituduh sebagai tuhan adalah "nibbana" (Nirwana). Berdasarkan kutipsan sutta di bawah ini :
dalam Sutta Pitaka, Udana VIII :
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.?
Yang Tidak Dilahirkan
(ini sifat yang identik dengan sifat allah yang disebut dalam surah al-ikhalas)
Yang Tidak Menjelma
(Ini identik dengan sifat dzat laisa kamitslihi)
Yang Tidak Tercipta
(Identik dengan sifat Qiyamu Binafsih)
Yang Mutlak
(Tidak bergantung, tempat bergantung, as-shomad)
dalam keyakinan umat Buddha, yang dimaksud semua itu adalah Nibbana. dan Nibbana itu bukanlah tuhan. ada yang meyakininya adlaah "kondisi batin tertinggi" dan ada yang menyebutnya "realitas tertinggi". dan nibbana tidaklah berfirman, serta tidak memberi wahyu kepada seorang nabi atau rasul. maka nibbana ini, kendatipun memiliki beberapa sifat yang identik dengn tuhan, tapi menurut kaum buddhis, sifat nibbana jauh berbeda dengan tuhan. tak satupun yang menyukai kalau nibbana diidentikan dengn tuhan. tetapi di sisi lain, konsep nibbana ini malah menjadi "rumusan tuhan" untuk memenuhi syarat sahnya lembaga buddhisme yang harus berlandaskan kepada ketuhanan yang maha esa.
Apabila umat Islam mencurhakan seluruh hidup untuk mencapai keridhaan allah, sebagaimana yang difahami dari ayat "wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya buduun". maka umat budhis mengarahkan seluruh kehidupan mereka kepada nibbana. segenap ritual meditasi, serta 8 jalan mulia yang mereka tempuh adalah demi tercapainya nibbana tersebut, kendatipun tak seorangpun diantara mereka yang pernah melihat apa yang disebut dengan nibbana itu. tapi mereka percaya, bahwa hidup yang benar adalah untuk meraih nibbana itu.
anehnya, di sisi lain, umat yang berpegang kepada prinsip ehipasiko ini menyangkal keberadaan tuhan, yang juga tidak bisa dilihat sebagaimana halnya nibbana. merka berkata, "jikalau tuhan itu ada, di manakah dia berada. jikalau kami bisa melihatnya, maka kami barulah percaya. " seolah-olah tuhan adalah sesuatu yang bisa dimasukan ke dalam sangkar burung lalu di bawa ke hadapan mereka. padahal mereka sendiri tidak akan dapat memperlihatkan nibbana di hadapan umat lain.
dalam sutta dikishakan seorang raja yang ingin melihat Nibbana.
Raja : apakah nibbana bisa dilihat
Biksu : bisa yang mulia
Raja : Dapatkah engkau membawanya ke hadapanku?
Biksu : Tidak bisa yang mulia
Raja : Kalau begitu, bagiamana aku bisa melihatnya?
Biksu : yang mulia. apakah gunung himalaya itu ada?
Raja : Ada, biksu!
Biksu : Apakah yang mulia bisa membawanya ke mari?
Raja : Tidak bisa, biksu!
Biksu : Kalau begitu, bagaimana saya dapat melihatnya?
Raja : Engkau sendiri yang harus pergi ke sana untuk melihatnya
Biksu : Demikian pula dengan Nibbana, yang Mulia, andalah yang harus pergi ke sana untuk melihatnya sendiri.
Begitu percayanya umat buddhis dengan logika biksu tersebut. tampaknya kisah itu sangat logis bagi umat buddhis, dan percaya 100 %.
tapi ketika diberitahukan bahwa seperti itu pulalah caranya "melihat tuhan", mereka tidak percaya 100 %, dan tidak melihat hal logis sekalipun di dalamnya dan tetap berkeyakinan bahwa "Tuhan hanyalah khalayan orang-orang bodoh".
http://myquran.org/forum/index.php?topic=76626.0
salah satu hal yang dituduh sebagai tuhan adalah "nibbana" (Nirwana). Berdasarkan kutipsan sutta di bawah ini :
dalam Sutta Pitaka, Udana VIII :
Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan,pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.?
Yang Tidak Dilahirkan
(ini sifat yang identik dengan sifat allah yang disebut dalam surah al-ikhalas)
Yang Tidak Menjelma
(Ini identik dengan sifat dzat laisa kamitslihi)
Yang Tidak Tercipta
(Identik dengan sifat Qiyamu Binafsih)
Yang Mutlak
(Tidak bergantung, tempat bergantung, as-shomad)
dalam keyakinan umat Buddha, yang dimaksud semua itu adalah Nibbana. dan Nibbana itu bukanlah tuhan. ada yang meyakininya adlaah "kondisi batin tertinggi" dan ada yang menyebutnya "realitas tertinggi". dan nibbana tidaklah berfirman, serta tidak memberi wahyu kepada seorang nabi atau rasul. maka nibbana ini, kendatipun memiliki beberapa sifat yang identik dengn tuhan, tapi menurut kaum buddhis, sifat nibbana jauh berbeda dengan tuhan. tak satupun yang menyukai kalau nibbana diidentikan dengn tuhan. tetapi di sisi lain, konsep nibbana ini malah menjadi "rumusan tuhan" untuk memenuhi syarat sahnya lembaga buddhisme yang harus berlandaskan kepada ketuhanan yang maha esa.
Apabila umat Islam mencurhakan seluruh hidup untuk mencapai keridhaan allah, sebagaimana yang difahami dari ayat "wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya buduun". maka umat budhis mengarahkan seluruh kehidupan mereka kepada nibbana. segenap ritual meditasi, serta 8 jalan mulia yang mereka tempuh adalah demi tercapainya nibbana tersebut, kendatipun tak seorangpun diantara mereka yang pernah melihat apa yang disebut dengan nibbana itu. tapi mereka percaya, bahwa hidup yang benar adalah untuk meraih nibbana itu.
anehnya, di sisi lain, umat yang berpegang kepada prinsip ehipasiko ini menyangkal keberadaan tuhan, yang juga tidak bisa dilihat sebagaimana halnya nibbana. merka berkata, "jikalau tuhan itu ada, di manakah dia berada. jikalau kami bisa melihatnya, maka kami barulah percaya. " seolah-olah tuhan adalah sesuatu yang bisa dimasukan ke dalam sangkar burung lalu di bawa ke hadapan mereka. padahal mereka sendiri tidak akan dapat memperlihatkan nibbana di hadapan umat lain.
dalam sutta dikishakan seorang raja yang ingin melihat Nibbana.
Raja : apakah nibbana bisa dilihat
Biksu : bisa yang mulia
Raja : Dapatkah engkau membawanya ke hadapanku?
Biksu : Tidak bisa yang mulia
Raja : Kalau begitu, bagiamana aku bisa melihatnya?
Biksu : yang mulia. apakah gunung himalaya itu ada?
Raja : Ada, biksu!
Biksu : Apakah yang mulia bisa membawanya ke mari?
Raja : Tidak bisa, biksu!
Biksu : Kalau begitu, bagaimana saya dapat melihatnya?
Raja : Engkau sendiri yang harus pergi ke sana untuk melihatnya
Biksu : Demikian pula dengan Nibbana, yang Mulia, andalah yang harus pergi ke sana untuk melihatnya sendiri.
Begitu percayanya umat buddhis dengan logika biksu tersebut. tampaknya kisah itu sangat logis bagi umat buddhis, dan percaya 100 %.
tapi ketika diberitahukan bahwa seperti itu pulalah caranya "melihat tuhan", mereka tidak percaya 100 %, dan tidak melihat hal logis sekalipun di dalamnya dan tetap berkeyakinan bahwa "Tuhan hanyalah khalayan orang-orang bodoh".
http://myquran.org/forum/index.php?topic=76626.0
Penyaran- LETNAN SATU
-
Posts : 2559
Join date : 03.01.12
Reputation : 115
Re: Standar Ganda dalam Lingkungan Buddha
Tuhan tidak bisa dilihat, tapi Nibbhana dpt dirasakan...
Kalau Nibbhana diibaratkan gunung Himalaya, maka itu berarti gunung itu ada dan siap dijangkau ketika kt siap...sedangkan Tuhan mungkin tdk dpt disamakan dgn gunung, benar demikian?
Org yg barang sedetik merasa damai, tiada keinginan, tiada hasrat, tiada "aku" utk sementara wkt, dikatakan telah mencicip Nibbhana. Oleh sebab itu, Nibbhana dpt dijangkau.
Alasan mengapa Buddhis meyakini Nibbhana, karena Guru Mulia mereka, telah menunjukkan derita dan penyebab derita (2 Unsur pertama dari 4 Kesunyataan Mulia). Dan sampai tahap ini seseorg dpt menyelami kenyataan ini, sdh sgt luar biasa! Mengapa hrs meragukan org yg sudah membuka 2 titik terang ini? Pd titik terang ke-3, yaitu Berakhirnya Dukkha, dijelaskan dengan hubungannya dgn poin ke-2, yaitu sumber penyelesaian masalah ada di masalah itu sendiri, yaitu dengan mencabut akarnya. Apa lg yg patut diragukan dr org yg sudah memberi 3 Kesunyataan tsb? Bila Ia memberikan Jalan, maka aku akan mengikutiNya...Dan tiada kerugian yg ditimbulkan dari menjalankan Jalan Mulia Berunsur Delapan, yg ada justru jalan menuju "si Himalaya" yg menunggu utk dijangkau
Kalau Nibbhana diibaratkan gunung Himalaya, maka itu berarti gunung itu ada dan siap dijangkau ketika kt siap...sedangkan Tuhan mungkin tdk dpt disamakan dgn gunung, benar demikian?
Org yg barang sedetik merasa damai, tiada keinginan, tiada hasrat, tiada "aku" utk sementara wkt, dikatakan telah mencicip Nibbhana. Oleh sebab itu, Nibbhana dpt dijangkau.
Alasan mengapa Buddhis meyakini Nibbhana, karena Guru Mulia mereka, telah menunjukkan derita dan penyebab derita (2 Unsur pertama dari 4 Kesunyataan Mulia). Dan sampai tahap ini seseorg dpt menyelami kenyataan ini, sdh sgt luar biasa! Mengapa hrs meragukan org yg sudah membuka 2 titik terang ini? Pd titik terang ke-3, yaitu Berakhirnya Dukkha, dijelaskan dengan hubungannya dgn poin ke-2, yaitu sumber penyelesaian masalah ada di masalah itu sendiri, yaitu dengan mencabut akarnya. Apa lg yg patut diragukan dr org yg sudah memberi 3 Kesunyataan tsb? Bila Ia memberikan Jalan, maka aku akan mengikutiNya...Dan tiada kerugian yg ditimbulkan dari menjalankan Jalan Mulia Berunsur Delapan, yg ada justru jalan menuju "si Himalaya" yg menunggu utk dijangkau
Emiliana- SERSAN MAYOR
-
Posts : 258
Kepercayaan : Budha
Location : apa penting
Join date : 04.05.13
Reputation : 5
Similar topics
» Standar Ganda Emiliana & Seluruh Netter Non-Muslim Dimari
» Standar Ganda Terkait Shalat Menghadap Ka'bah dan Mencium Hajar Aswad
» Uni Eropa Diam Soal Mesir, Perdana Menteri Turki Mengutuk--terbukti pagan dan barat menerapkan standar ganda
» 31 alam kehidupan dalam agama buddha
» Polemik mengenai pandangan merokok dalam Buddha
» Standar Ganda Terkait Shalat Menghadap Ka'bah dan Mencium Hajar Aswad
» Uni Eropa Diam Soal Mesir, Perdana Menteri Turki Mengutuk--terbukti pagan dan barat menerapkan standar ganda
» 31 alam kehidupan dalam agama buddha
» Polemik mengenai pandangan merokok dalam Buddha
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik