FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

talibanese from america Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

talibanese from america Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

talibanese from america

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

talibanese from america Empty talibanese from america

Post by asmara pancaroba Sat Jan 26, 2013 9:17 pm

Desember 2002, tepat setahun Sulaiman tertangkap di Afghanistan, lalu dijatuhi hukuman penjara 20 tahun oleh pengadilan AS. Bagaimana mulanya Sulaiman masuk Islam? Bagaimana pula kisah perjalanan jihadnya ke Afghanistan? Silakan ikuti kisahnya berikut ini:

Usianya masih sangat belia, baru 21 tahun. Teman-teman seangkatannya saat ini kebanyakan masih sibuk dengan urusan perkuliahan, pacaran, alkohol, narkotika dan hura-hura. Tapi pemuda bule asli Amerika ini sudah berurusan dengan perang dan pengembaraan di sejumlah negeri.

Sulaiman Al-Faris, nama pemuda itu, tahun lalu terlibat dalam perang di Afghanistan. Namun bukan sebagai tentara Amerika, melainkan justru sebagai tentara Taliban. Tentu saja ini bukan hal yang lazim. Dan tentunya ada cerita yang menarik di balik itu; sebuah sejarah panjang tentang lika-liku kehidupan seorang remaja yang mencari kebenaran, yang akhirnya mengantarkan dirinya berlabuh di Afghanistan dan berperang bersama Taliban.

Klik Gambar untuk melihat foto lainnya



Sulaiman terlahir dengan nama John Philip Walker Lindh, pada sore hari 9 Februari 1981 di Maryland, Washington DC, Amerika Serikat, sebagai anak kedua dari pasangan Frank Lindh dan Marilyn Walker. Mereka adalah keluarga keturunan Irlandia yang beragama Katolik.

Frank sangat bersuka cita atas kelahiran putra keduanya itu. Frank mengenang, malam itu ia pulang dari rumah sakit pada pukul satu dini hari, menyetir mobil sendirian sambil mendengarkan radio yang sedang memperdengarkan lagu “When Johnny Comes Marching Home” (Ketika Johnny Bergegas Pulang).

Sesampai di rumah, sebelum lelap, Frank mencatat momen itu di buku hariannya: "Sore tadi," tulisnya, "kami mendapat seorang anak lelaki, bertubuh tegap dan berpipi merah yang akan kami beri nama John, seperti halnya John Lennon (si pemusik) dan John Marshall (hakim)." Proses persalinan sangat berat, tetapi Marilyn benar-benar hebat, ia menjalani semua itu tanpa sedikit pun obat penahan sakit. Karenanya, aku bersulang untuk anakku yang baru lahir, John, semoga panjang umur dan bermanfaat..."

Saat bangun keesokan paginya Frank masih diliputi kegembiraan karena kelahiran John. “Aneh rasanya, mula-mula, kita memanggil mahluk-mahluk kecil itu dengan nama yang kita berikan kepada mereka, tapi lambat laun mereka memang akan tumbuh seperti nama yang kita berikan itu," kata Frank dalam hati.

Dan ternyata, 21 tahun kemudian, ketika John bergegas pulang ke rumah, dia telah tumbuh menjadi orang dengan berbagai nama. Dia pernah menyebut dirinya doodoo dan John Doe dalam surat-surat email-nya. Ketika itu ia berpura-pura menjadi seorang penyanyi rap kulit hitam dan mencela anak-anak kulit putih yang berkelakuan seperti orang kulit hitam.

Ia juga pernah menjadi Dr J, Hine E Craque dan Brother Mujahid--nama-nama yang dipakainya ketika mengirim berbagai komentar di ruang bincang internet. Dengan nama-nama itu ia kerap mengecam Zionisme dan para homoseks.

Anak muda itu kemudian memilih nama Sulaiman Al-Faris untuk dirinya setelah ia memeluk agama Islam di usianya yang baru 16 tahun. Belakangan, ketika ia berperang di Afghanistan, para ikhwan Talibannya lebih mengenal dia sebagai Abdul Hamid.

Keluarga Lindh

Mungkin masih ada nama-nama lain yang pernah disandangnya. Tapi siapapun namanya, bagi masyarakat Amerika umumnya, Sulaiman Al-Faris adalah orang Amerika yang menjadi tentara Taliban, yang ikut dalam perang melawan tentara negeri asalnya. Sulaiman juga sempat menjabat tangan Usama bin Ladin, musuh Amerika nomor satu saat ini. Singkat kata, siapa pun nama pemuda itu, bagi orang kebanyakan masyarakat Amerika, dia adalah Si Pengkhianat.

Namun bagi sahabat-sahabat, keluarganya dan orang-orang yang membelanya, Sulaiman adalah seorang anak cerdas dari keluarga baik-baik yang tengah mencari kemurnian jiwa dan kedamaian dan malahan menemukan fanatisme dan perang. Oleh orang dekatnya, Sulaiman disebut sebagai Si Malang yang Tersesat.

Banyak masyarakat Amerika yang menyalahkan keluarga Lindh. Mereka menganggap keluarga Lindh adalah kaum hippies liberal dari Marin County yang begitu toleran terhadap pencarian diri Sulaiman sehingga membiarkan pemuda itu pergi berperang ke Afghanistan.

Seorang yang tidak dikenal pernah melontarkan makian kepada Marilyn, ibunda Sulaiman, lewat telepon, "Begini rupanya hasil didikanmu! Harusnya kamu ditembak dengan pistol yang sama untuk menembak putramu."

Namun orang-orang yang mengenal keluarga itu dan tumbuh bersama mereka, di Maryland dan di Kalifornia, tidak sependapat dengan pandangan masyarakat umum. "Saya tidak sudi melihat sedikit pun penderitaan ditimpakan kepada keluarga atau pemuda ini," kata Bill Gilcher, seorang tetangga lama di Maryland. "Menurut saya, terburu-buru sekali kalau kita gambarkan dia sebagai orang kelas menengah Amerika yang liberal dan tak memiliki nilai-nilai."

Mula-mula keluarga Lindh tinggal di sebuah rumah kontrakan di Buffalo Avenue di Takoma Park, di pinggiran Washington. Bangunannya sangat kecil dibandingkan gedung-gedung bergaya Victorian di sekitarnya. Bahkan, menurut seorang tetangga, Jim Colwell, rumah keluarga Lindh nampak suram dan redup, "Piring-piring kotor bertumpuk di bak cuciannya. Ini yang membuat kami segan duduk-duduk bersama mereka" jelas Jim.

Tetapi mantan istri Jim, Judy, bisa menjelaskan sebabnya. “Marilyn adalah jenis ibu yang tidak segan-segan mengotori bajunya untuk bermain bersama anak-anaknya, dan ia akan lakukan itu meskipun rumahnya jadi berantakan."

Masih menurut Judy, Marilyn adalah ibu yang telaten. “Agar anak-anaknya makan sayur, kadang-kadang Marilyn diam-diam memasukkan terong ke dalam bumbu Spagheti,” tambah mantan tetangganya itu.

Keluarga Lindh sangat hemat dan gemar menabung, terutama ketika Frank sedang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Georgetown. Mereka tak punya mobil. Mobil yang biasa mereka pakai adalah pemberian orang tua Marilyn.

Akhirnya tabungan keluarga Lindh cukup juga untuk membeli sebuah rumah bata putih di Walden Road, Silver Spring, Maryland. Tempat itu adalah lingkungan orang-orang kelas atas, yakni para profesional, pengacara, pelobi dan profesor. Frank senang memberi mereka kejutan, mengunjungi mereka sambil membawa sepiring kue brownies buatan sendiri.

Ke San Fransisco

Setelah lulus fakultas hukum, Frank mulai bekerja berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, dan sebagai pengacara litigasi pada Komisi Federal Urusan Energi dari 1987 hingga 1989. Pada tahun itu, ketika Sulaiman berusia 8 tahun, Frank bergabung dengan kantor pengacara Le Boeuf, Lamb, Leiby
Mac Rae cabang Washington dan kemudian diminta pindah ke kantor cabang San Fransisco. Itu artinya, mereka sekeluarga harus pindah ke San Fransisco, yang berada di negara bagian Kalifornia.

Ini permulaan sebuah babak baru bagi keluarga Lindh. "Kami tak pernah lagi berhubungan sesudah mereka pindah," ujar Gilcher, tetangga mereka di Maryland. "Tetapi sulit rasanya bagi saya membayangkan mereka mengikuti gaya hidup khas Kalifornia. Berbagai laporan yang biasa saya baca, menggambarkan mereka sebagai sebuah keluarga hippies dari Takoma pindah ke daerah mewah di San Fransisco dan bergaya hidup mewah sesudahnya. Saya tidak percaya bahwa keadaannya seperti itu."

Teman-teman Sulaiman juga tidak saling berhubungan lagi satu dengan lainnya. Hanya beberapa hari sebelum kepindahan mereka, beberapa temannya menginap terakhir kalinya di rumah Sulaiman. Ibunya memberi mereka masing-masing setumpuk amplop berperangko dan beralamat rumah baru mereka, agar mereka dapat tetap menjaga hubungan setelah pindah. "Tapi saya tidak perah mengirimkan surat sekali pun," kata Madison. Baru setelah Sulaiman mengontaknya sekitar satu tahun sesudahnya, Madison merasa bersalah. "Kedengarannya dia kesepian," kata Madison.

Bagi Sulaiman, yang saat itu berusia 10 tahun, masa transisi di Kalifornia berlangsung tidak mulus. Keluarganya tinggal di perbukitan San Anselmo, sebuah kota kecil yang indah--seindah pemandangan dalam lukisan--di daerah Marin County yang mewah, sekitar 20 mil sebelah utara San Fransisco. Tetapi Sulaiman tidak pernah benar-benar bisa menyesuaikan diri di lingkungan barunya. Dia berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya; dia melewati kelas lima di sebuah sekolah dan memulai kelas enam di sekolah lainnya.

Sulaiman dulu kurus dan ‘sakit-sakitan’, kenang seorang ibu teman sekelasnya, dan dia seringkali tidak masuk sekolah. Rupanya Sulaiman menderita gangguan usus, yang jadi memalukan untuk seorang pra-remaja, karena itu artinya dia harus sering bolak-balik ke kamar mandi. Akhirnya, pada tahun 1993 keluarga itu mengeluarkan Sulaiman dari sekolah dan memilih untuk mengajarnya di rumah saja.

Selama dua tahun Sulaiman terkurung di rumah. Dia belajar dengan seorang tutor dan jarang sekali keluar rumah untuk bermain. Tahun 1995 kesehatan Sulaiman mulai membaik, dan boleh muncul kembali' ke dunia luar. Dia kemudian masuk SMU Redwood. Sempat berjalan hingga lima bulan. Kemudian sempat pindah ke SMU belajar mandiri , Tamiscal. Setelah dua tahun, pada usia 16 tahun, Sulaiman mendapatkan ijazah persamaan SMU dan mulai bersiap masuk akademi.

Jadi Muslim

Sulaiman muda sangat menyukai musik, terutama yang berirama hip-pop. Karenanya ia kerap melayari dunia internet untuk mencari situs-situs yang berkaitan dengan kesukaannya itu. Di samping itu juga rajin mendatangi situs-situs Islam. Sebab sejak usia 12 tahun, setelah Sulaiman menonton film "Malcolm X", ia sudah tertarik dengan Islam.

Dalam sebuah newsgroup di internet Sulaiman pernah mengajukan pertanyaan "Apakah Quran melarang orang bermain musik?" atau pertanyaan "Bagaimana menjadi seorang Muslim, apakah boleh menonton film kartun dan TV?" Bila mengirim e-mail tentang musik dia menggunakan nama Hine E Craque, tapi saat mengirim e-mail tentang Islam, ia menggunakan nama Brother Mujahid.

Sejak itu Sulaiman jadi keranjingan mencari tahu tentang Islam. Dan ia mulai senang mengenakan jubah Islami. Ia mulai senang mengunjungi Masjid Redwood di San Fransisco. Tapi karena dirasa kurang memadai, Sulaiman pindah ke masjid Islamic Center of Mill Valley, sebuah masjid kecil di San Fransisco yang sering diurus oleh para imigran dari Asia Selatan. Di masjid itulah kemudian Sulaiman pada tahun 1997 memantapkan diri berpindah ke agama Islam dengan mengucapkan kalimat syahadat. Sejak itu pula ia menanggalkan nama John Philip Walker Lindh, menggantinya dengan nama baru: Sulaiman Al-Lindh atau Sulaiman Al-Faris.

Sulaiman sering menghabiskan akhir pekannya di Islamic Center, bersama dengan para da'i, terutama Jamaah Tabligh yang datang dari berbagai negara. Di sana ia shalat, makan serta merancang program da'wah ke masjid lain di sekitarnya. "Sulaiman berusaha keras mendekatkan diri dengan Allah," kata seorang temannya yang bernama Muhammad. Ia ingin menyambut seruan Allah, "Jika kalian mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatangimu dengan berlari."

Kemungkinan setelah itu Sulaiman banyak berkenalan dengan aktivis gerakan Salafi asal Yaman di masjid-masjid sekitar Kalifornia, sehingga Sulaiman ingin sekali mendalami ilmu agama ke Yaman. Bagi Sulaiman, Yaman adalah sebuah Shangri-La Islami, sebuah negeri Islam yang letaknya tidak jauh dari kota suci Makkah dan Madinah, sebuah daerah yang terdapat sisa-sisa telaga-telaga tertua kebudayaan Arab.

Pada tahun 1997 Sulaiman mengutarakan niatnya pergi ke Yaman, untuk menjadi seorang ulama. Sebagai orangtua, Marilyn dan Frank sebenarnya keberatan anaknya pergi jauh. Namun mereka juga tidak bisa menolak. "Sebagai orangtua, kita harus mengikuti keinginan hatinya," kata Marilyn. "Ketika anak kita sudah cukup umur, kita harus bisa membebaskan dia pergi. Kita harus mambantu dan mendukung mereka, dan tidak boleh berhenti mencintai mereka, tetapi harus bisa mengizinkan mereka pergi menjelajahi dunia dan menemukan diri mereka sendiri," tambah Frank. Melalui internet ibunya mendaftarkan Sulaiman ke lembaga Pusat Bahasa Yaman (Yemen Language Center, YLC).

Di Yaman

Singkat kata, akhirnya Sulaiman berhasil tiba di Yaman. "Saya masih ingat saat pertama kali dia tiba," kata Rizwan Marwan, seorang kenalannya di Yaman yang kini tinggal dan belajar di London. Kata Rizwan, Sulaiman waktu itu memakai pakaian yang biasa dipakai Musim saleh dari Pakistan dan India.

Tapi setelah tiba di San’a, ibukota Yaman, Sulaiman terkaget-kaget. Di luar dugaannya, San'a merupakan sebuah kota yang murah, sehingga pelajar-pelajar asing cenderung hidup bersenang-senang di sana, makan enak di restoran-restoran sederhana, duduk berlama-lama di kafe-kafe kecil seraya menyeruput teh, berbelanja dari gerai cenderamata yang berlimpah ruah di berbagai tempat dan mengunyah khat, sejenis daun yang menyebabkan banyak orang Yaman kecanduan.

Ketika belajar di sekolah YLC, ia mendapati siswa lelaki dan perempuan bercampur dalam satu kelas, sehingga mendorongnya untuk mengajukan protes kepada pimpinan sekolah. "Dia benar-benar anak yang menjengkelkan," kata Direktur YLC, Sabri Salim.

Teman-teman sekolah Sulaiman menjulukinya Yusuf Islam, nama baru penyanyi Cat Stevens sesudah memeluk Islam. Sulaiman sendiri menjauhkan diri dari teman-teman sesama perantau. Karena tak betah, setelah lima pekan di sekolah itu akhirnya Sulaiman memutuskan keluar dari sekolah sekuler itu. Padahal orangtuanya sudah membayar setengah dari biaya pendidikan sebesar 6.000 dolar per tahun.

Di Yaman, Sulaiman sering berkunjung dari satu masjid ke masjid lainnya. Seorang guru di Yaman berkata, "Dia selalu keluyuran di sekitar masjid di daerah Sana'a lama, dari Masjid Agung ke Masjid Thalhah ke Masjid Mutawakkil dan Masjid Ali Ibn Abi Thalib." Meski demikian, Sulaiman tidak kunjung merasa sreg. Sebab selama ini Sulaiman telah diajari menjadi seorang Muslim Sunni dari sekte Salafi, tetapi sebagian besar masjid di area itu adalah masjid Syi'ah dari sekte Zaidiyah.

Setelah lama mencari, akhirnya Sulaiman menemukan sendiri daerah-daerah pinggiran Shamayla yang sesak dan menemukan di sana sebuah masjid Salafi bernama Ahlul-Khair.

Inilah Islam yang dicari oleh Sulaiman. Pandangannya ini diperkuat dengan apa yang kemudian dipelajarinya di Universitas Al-Iman, sesudah meninggalkan YLC. Di sanalah dia akan mendengarkan ajaran-ajaran pendiri al-Iman, Syaikh Al-Zindan, seorang pemimpin politik yang pandangan-pandangannya sejalan dengan Usamah bin Ladin. Dengan kata lain, dari situlah Sulaiman mulai memiliki pandangan radikal.

Meski begitu, orang-orang Yaman beranggapan bahwa radikalisme Sulaiman ditemukannya di tempat lain, bukan di Yaman. Seorang guru bahasanya mengatakan bahwa ketika tiba Yaman, Sulaiman sudah membawa kebencian terhadap Amerika Serikat. Surat-menyuratnya dari Yaman menunjukkan kegamangan sikapnya mengenai Amerika. Dalam suratnya kepada ibunya pada tanggal 23 September 1998, ia membicarakan pengeboman beberapa kedutaan Amerika di Afrika yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Menurutnya, serangan-serangan itu lebih mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah Amerika dan bukan oleh Muslim manapun.

Pada bulan Oktober dia menulis surat ke rumah, dan mengatakan, "Meskipun saya tidak terlalu ingin kembali ke Amerika, namun dalam waktu enam bulan mendatang ini saya akan dapat liburan selama empat bulan. Itu artinya, kalian semua mungkin akan melihatku kembali lebih cepat."

Tapi ternyata tidak mudah bagi Sulaiman meninggalkan Yaman pada Februari 1999. Menurut Direktur YLC, Salim, Sulaiman ditahan sewaktu hendak meninggalkan negeri itu tanpa ijin dan dibawa ke sekolah lamanya untuk menjelaskan segala sesuatunya. "Wajahnya kelihatan memelas sekali," kata Salim. "Saya pikir dia mungkin sudah bosan dengan Yaman, lelah dengan segala sesuatunya, dan ingin pulang."

Berlibur

Sulaiman akhirnya mendapat ijin untuk kembali ke Amerika. Namun tak lama sesudah kembali ke rumah, dia menyadari bahwa suasana di rumahnya sudah jauh berbeda. Di penghujung 1998, Frank menyatakan bahwa ia seorang homoseks dan keluar dari rumah. Pada 30 Juni 1999, tak lama sesudah Sulaiman kembali, Frank mengajukan gugatan cerai pada istrinya. Tiga hari kemudian, keluarga Lindh menjual rumah mereka di San Anselmo dengan keuntungan sekitar 270 ribu dolar.

Bila tengah berkumpul dengan teman-teman Muslim mudanya, Sulaiman suka mendiskusikan banyak hal, termasuk keinginannya terus mempelajari Islam dan kembali ke Yaman. Tetapi ia tidak pernah membicarakan keluarganya--kecuali Naomi, adik perempuannya. Menurut teman Abdulllah di Masjid Mill Valley, Abdullah Nana, Sulaiman pernah membicarakan adiknya. “Dia mencemaskan keadaan adiknya,” kata Abdullah.

Sekian waktu kemudian, Sulaiman mulai memakai pakaian Arab. Dia juga mulai mengurangi kunjungannya di Masjid Mill Valley dan mulai mengunjungi masjid-masjid di San Fransisco tempat orang-orang Salafi dari Yaman beribadah. Bila hendak shalat Jumat di masjid-masjid di Sutter Street and Jones Street, dia naik bus menuju pusat kota, meninggalkan perbukitan yang bermandikan matahari di Marin County menuju jalan-jalan San Fransisco. Sementara menanti kembalinya ke Yaman itulah jalannya menuju Pakistan, lalu Afghanistan, terbuka.

Pada musim gugur 1999 Masjid Mill Valley menjadi tuan rumah untuk enam orang da'i anggota Jamaah Tabligh. Mereka telah melakukan perjalanan dari San Diego yang mereka sebut aik saal—perjalanan dakwah selama setahun dari masjid ke masjid. Salah seorang anggota kelompk itu adalah Khizar Hayat, seorang pengusaha dari kota Bannu di Pakistan.

Rupanya Hayat meninggalkan kesan yang demikian mendalam bagi Sulaiman sehingga ia lalu meminta alamat dan nomor telepon Hayat di Pakistan. Menurut Hayat ia hampir tak ingat lagi pada pertemuan itu. Tetapi seorang mufti yang kelak menjadi penasihat spiritual Sulaiman di Pakistan, Mufti Muhammad Iltimas Khan, pemuda Amerika itu sangat terkenang pada pertemuan itu.

Segera setelah itu, Sulaiman mendapatkan visa ke Yaman. Ibunya cemas sekali tetapi berusaha tak menunjukkan. "Saya berjanji pada diri saya sendiri Bahwa saya tidak akan terpukul seperti ketika kepergiannya sebelumnya," katanya. Tetapi adik perempuannya, Naomi, sangat terpukul. Sebagaimana dicatat Frank pada buku hariannya pada 1 Februari 2000, "Kasihan Naomi, dia menangis Tak henti-henti" saat seluruh keluarga mengantarkan Sulaiman. "Semoga Tuhan memberkati John (Sulaiman, red) sayangku, yang jangkung, yang manis, yang ganteng, saat dia memulai sebuah perjalanan yang menyenangkan ke kota kuno San'a!"

Sulaiman lalu tinggal selama sembilan bulan di Yaman. Sikapnya sama seperti dalam kunjungan pertamanya. Orang hanya bisa membedakannya dari orang Yaman karena tinggi badannya. Dia bersikeras untuk selalu berusaha Arab, meskipun penguasaannya masih lemah. Ia mengambil pelajaran bahasa di sekolah lain tapi meneruskan pelajaran agamanya di Universitas Al-Iman. Universitas ini meski didirikan dan dibiayai oleh negara-negara teluk serta Saudi Arabia yang kaya, namun secara fisik cuma sekedar sebuah gedung sederhana di atas sebuah bukit dan dikelilingi jalan-jalan tanah.

Beberapa minggu sejak dia tinggal kedua kalinya di Yaman, Sulaiman menulis surat pada Hayat, si pengusaha sekaligus da'i di Bannu dan menanyakan tentang pelajaran di madrasah Pakistan. Pada bulan Oktober Hayat menyatakan dia menerima telepon dari Sulaiman yang mengatakan dia akan segera tiba di Islamabad, ibukota Pakistan, dalam waktu seminggu itu. "Apakah Hayat berkeberatan menyetir selama lima jam untuk menjemputnya?," tanyanya.

Di Pakistan

Hayat menjumpai Sulaiman dan mengajaknya mengunjungi beberapa madrasah, mencari mana yang paling sempurna dari Karachi di utara hingga Peshawar di barat daya Pakistan. Si anak muda Amerika itu menolak semua tawaran itu dan lebih memilih berada di sisi Hayat. Dia membantu Hayat di tokonya yang berjualan susu bubuk.

"Dia telah siap untuk tinggal bersama saya," kata Hayat, " tetapi saya dorong dia belajar ke madrasah." Guru Sulaiman, Mufti Iltimas Khan, nampak senang membicarakan anak muda itu. "Setiap orang ingin berbicara dengannya, melihatnya, melihat wajahnya. John Walker (Sulaiman, red) memang memiliki wajah yang sangat menyenangkan."

Sulaiman memilih untuk belajar pada Madrasah Arab Iltimas di kampung Hasanni Kalan Surani, di luar Bannu. Dia lalu tinggal di situ dari Desember hingga Mei 2000. Mufti itu menekankah bahwa pelajaran-pelajaran di sekolahnya tidak berkaitan dengan jihad, hanya Quran and hafalan. Sulaiman berhasil menghafal hampir sepertiga isi al-Quran sebelum berangkat ke Afghanistan.

Lalu bagaimana caranya Sulaiman yang dikenal sebagai pemikir itu berubah menjadi seorang mujahid? Apakah Hayat yang menyebabkan? Iltimas hanya tersenyum dan berkata, "Mungkin Pak Hayat sebenarnya justru sedang mencoba mengubah seorang mujahid menjadi seorang intelektual."

Iltimas masih mengingat berbaring di tempat tidur mereka masing-masing dan membicarakan kemungkinan membuka madrasah di Amerika Serikat. Dia merasa iman dan daya tarik alamiah Sulaiman akan menjadikannya seorang imam Amerika yang berpengaruh.

Meski begitu, catatan Sulaiman mengenai periode berisi latihan-latihan serta kutipan-kutipan ayat al-Quran mengenai peperangan dengan Yahudi. Salah satu catatannya berisi kalimat seperti ini, "Kita akan berjihad sepanjang hidup kita."

Di Pakistan jugalah untuk pertama kalinya Sulaiman menggunakan senapan Kalashnikov. Setiap kampung dekat Bannu memiliki satu senapan mesin rancangan Rusia itu untuk melindungi diri dari pencuri dan menangkis serangan klan lawan

Ketika tinggal bersama Iltimas, Sulaiman mengirim e-mail ke ibunya setiap Kamis malam dari kafe internet. Mengirim sebuah e-mail kadang menghabiskan sampai beberapa jam, tetapi Sulaiman segera menjadi seorang jagoan komputer di tempat itu. Pada akhir pemilihan presiden AS di tahun 2000, dia mengirim e-mail kepada ibunya, menyebut George W Bush sebagai "Presiden baru Anda" dan menambahkan, "Saya senang dia bukan bagian dari saya."

Berjihad ke Afghan

Menurut Hayat dan Iltimas, Sulaiman selalu meminta izin orangtuanya sebelum melakukan perjalanan jauh. Akan tetapi, dia tidak memberikan banyak penjelasan ketika hendak meninggalkan Bannu. Menurut Frank Lindh, dia pasti akan menolak memberi izin kalau saja dia tahu bahwa tujuan akhir perjalanan itu adalah Afghanistan. Tetapi pada bulan Mei, Sulaiman hanya mengatakan bahwa cuaca di pegunungan lebih sejuk sementara Bannu sangat panas. "Bolehkah aku pergi ke pegunungan?" tanyanya. Dan Frank pun mengizinkan, sebab ia tak mengira bahwa pegunungan yang Sulaiman maksud adalah pegunungan di Afghanistan.

Iltimas mempersiapkan kopor Sulaiman tetapi anak muda itu berkata, "Saya ingin meninggalkan barang-barang saya di sini saja." Dia hanya mengambil ransel dan mengenakan kacamata hitam serta sehelai shalwar kameez (jubah panjang longgar) berwarna putih pada saat menanti Hayat datang dengan sepeda motor Honda 150 cc keluaran tahun 2001 yang akan membawanya pergi.

"Kapan Anda akan kembali?" tanya Iltimas pada muridnya. Sulaiman, katanya, hanya diam.

Pada waktu berikutnya dia mendengar kabar Sulaiman dari Hayat. Anak muda Amerika itu, kata pengusaha susu bubuk itu, ada di Batracy, sebuah kampung kecil di pegunungan Mansehra yang tanahnya bergelombang, di sebelah utara Islamabad—sebuah pintu gerbang menuju kamp latihan militer yang melancarkan penyerangan di Kashmir. Dari sana dia pergi ke Afghanistan.

Menurut laporan FBI, di Afghan Sulaiman mengikuti latihan militer di sebuah kamp selama tujuh bulan. Dalam kesempatan itu ia pernah bertemu dengan Usamah bin Ladin, selama sekitar lima menit, saat Usamah berkunjung ke kamp latihan. Saat itu Usamah berterimakasih kepadanya atas keberpihakannya kepada Taliban.

Setelah mengikuti latihan militer kelompok Harakatul-Mujahidin, Sulaiman harus memutuskan apakah ikut dalam pertempuran di Kashmir atau bersama Taliban di Afghanistan. Kepada para perekrutnya Sulaiman mengatakan bahwa sebagai seorang Muslim dia ingin berada di garis depan pertempuran di Afghanistan, bukan di Kashmir.

Tertangkap

Sejak Sulaiman berangkat ke Afghan, tidak ada lagi kiriman e-mail dari pemuda itu kepada orangtuanya. Ibundanya, Marilyn telah menghabiskan waktu berbulan-bulan menulis surat ke Pakistan, melalui Iltimas, termasuk salah satunya dalam bahasa Urdu, mencoba untuk memastikan apakah Sulaiman masih hidup.

Tapi tunggu punya tunggu tak ada kabar, sampai akhirnya pada 1 Desember 2001, ketika Marilyn menyalakan komputernya dan mencari berita dari internet, dia menemukan situs buletin yang menggembar-gemborkan ditangkapnya seorang Taliban Amerika oleh tentara Amerika di Afghanistan. Dan ternyata sang Taliban Amerika itu tak lain adalah putranya. Marilyn merasa ngeri melihatnya, tetapi pada saat yang sama juga merasa lega, putranya masih hidup.

Masalahnya, kini Sulaiman sudah bukan sekedar putranya. Si anak muda yang selama ini dianggapnya lembut dan peka telah berubah, di mata dunia, menjadi seorang Taliban Amerika, seorang pengkhianat negaranya.

Sulaiman ditangkap pada Desember 2001 oleh pasukan Jenderal Abdul Rasyid Dustum, bekas pejabat militer di masa rezim komunis, di Afghanistan bagian utara saat tentara Aliansi Utara memasuki kota-kota Afghanistan yang ditinggalkan Taliban. Sulaiman sempat dimasukkan ke penjara di dekat Mazar-e Sharif. Sulaiman sempat tertembak kakinya pada peristiwa pemberontakan tentara Taliban di penjara ini.

Dari penjara dekat Mazar-e Sharif, Sulaiman dipindahkan ke kapal induk USS Bataan di Laut Arab. Setelah itu dibawa ke Kandahar di Afghanistan bagian selatan untuk kemudian diterbangkan ke Amerika, lalu ditahan di penjara Alexandria, Virginia.

Sentuhan Sayang

Setelah Sulaiman dibawa ke Amerika, dan ditempatkan di penjara Alexandria, Marilyn dan Frank diizinkan untuk mengunjungi anak mereka dua kali sepekan, kira-kira sejam setiap kali datang. Selalu ada agen FBI bersama mereka. Frank berkata, agen-agen itu berlaku baik, tetapi setiap kata selama kunjungan mereka semuanya direkam. Meski begitu, Marilyn mencoba untuk terbang melintasi benua ke Washington setiap dua pekan untuk melihat anaknya. Mereka berbicara melalui sekat plexiglas. Kedua orangtua itu belum pernah bisa memeluknya.

Kedekatan fisik mereka satu-satunya adalah saat mereka melihatnya melalui tabir kasa sesudah Sulaiman dibawa kembali ke Amerika Serikat, 55 hari sesudah seluruh dunia melihatnya untuk pertama kalinya di televisi. Sulaiman melekatkan kedua telapak tangannya ke tabir, dan ayah ibunya bergantian melekatkan tangan mereka kepadanya, ibu dan anak, ayah dan anak.

Frank menyatakan dia masih bisa merasakan "kehangatan" tangan Sulaiman dari balik tabir itu. Itulah sentuhan terakhir yang dirasakan ibu dan ayahnya dari Sulaiman.

Pengadilan

Pada tanggal 24 Januari 2001 Sulaiman mulai disidang di pengadilan Federal di Virginia. Pria asal California itu dituduh telah melakukan konspirasi untuk membunuh warga Amerika. Sulaiman yang di pengadilan sudah berpenampilan klimis setelah mencukur rambut dan jenggotnya itu menghadapi empat tuntutan karena telah membantu Taliban dan Usamah bin Ladin.

Selama persidangan, Marilyn tampak beberapa kali menutup matanya. Wanita yang tampak kurus dengan rambut hitam keabu-abuan itu menyatakan di luar gedung pengadilan di Alexandria, Virginia, "Sudah dua tahun sejak terakhir saya bertemu putra saya. Saya sangat bahagia bertemu dengannya pagi ini. Cinta saya kepadanya tidak akan luntur karena peristiwa ini."

Frank masih tetap mempercayai idealisme putranya, dan mengatakan bahwa kamp Al-Faruq yang kabarnya menjadi tempat Sulaiman berlatih bersama al-Qaidah adalah untuk "Anak belasan tahun Saudi yang akan turun pada saat musim panas, melakukan pengabdian militer jihadnya. Banyak di antara mereka yang tidak benar-benar berniat pergi ke garis depan."

Kata Frank, "John (Sulaiman, red) pergi ke Afghanistan untuk membantu mujahidin, sebagaimana yang dia ketahui tentang orang-orang yang oleh Ronald Reagan disebut sebagai 'pejuang kebebasan'." Tetapi di mata Amerika, pejuang kebebasan itu menjadi teroris.

20 Tahun Penjara

Hakim Pengadilan Federal Alexandria akhirnya menjatuhi hukuman 20 tahun penjara kepada Sulaiman atas kesalahannya menjadi pejuang milisi Muslim di Afghanistan. Berarti ia baru bebas kembali di saat usianya telah menginjak 41 tahun.

Meski telah kehilangan kebebasan, Sulaiman tidak kehilangan keimanannya. Sebagai Muslim ia tetap tekun menegakkan shalat lima kali sehari, menjadikan sehelai handuk penjara sebagai sajadahnya. Di penjara Sulaiman boleh membaca . Ia kerap mengeluhkan betapa media massa menggambarkan Islam sebagai penjahat.

Apakah dia khawatir tentang masa penahanan yang panjang yang harus ia hadapi? Kata Abdul-Wahab Hasan, pemimpin spiritual para narapidana Muslim di Rumah Tahanan Alexandria, "Dia berfikir bahwa hidup senantiasa bernilai di mana saja berada. Di dalam sel dia dapat menikmati shalat dan membaca Quran."

Kini, di penjara, Sulaiman memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan dua pertiga isi Al-Quran yang belum sempat dihafalnya ketika berangkat menuju pegunungan Afghanistan. (Saiful Hamiwanto. Bahan: majalah TIME dan beberapa sumber lainnya.)

Beberapa Keunikan Sulaiman Kecil

Menurut Frank, ayah Sulaiman, di waktu kecil ia punya kebiasaan unik: meninabobokan diri sendiri di buaiannya selama sekitar seperempat jam setiap malam. Saat menjenguk Sulaiman di penjara Frank mengenang kembali masa-masa indah itu. "Ayah tahu nggak," demikian kata Sulaiman kepada ayahnya, "itu kenangan pertama saya, meninabobokkan diriku sendiri." Konser sunyi itu berlangsung sampai Sulaiman berusia sekitar 4 tahun dan harus berbagi kamar dengan abangnya.

"Connel, abangnya yang tiga tahun lebih tua, menyuruh Sulaiman tutup mulut. Dia tidak senang ada suara orang menyanyi di malam hari," kenang Frank. "Karena itu berakhirlah masa-masa si John (Sulaiman, red) yang malang menjadi penyanyi."

Kenangan lain diungkap oleh Marilyn, ibu Sulaiman. Sejak Connel lahir, Marilun terpaksa berhenti kuliah untuk merawat si sulung. Dan berlanjut terus hingga Sulaiman dan si kecil Naomi lahir. Dia menyusui kedua anaknya yang terkecil sampai sekitar 4 tahun. Yang menarik, dalam kasus Sulaiman, si kecil itu sendiri yang memutuskan berhenti menyusu tepat pada hari ulangtahunnya yang keempat.

Sejumlah orang yang mengenal Sulaiman di waktu kecil menilai ia sebagai seorang anak yang berbakat menjadi pemikir. Sesudah naik kelas tiga, Sulaiman dan beberapa sahabatnya yang paling cerdas keluar dari SD Takoma dan naik bus selama 45 menit untuk bisa mengikuti sebuah program untuk anak-anak berbakat, yang dilaksanakan di ruang kelas yang berpindah-pindah di SD Kensington Parkwood.

"Kami termasuk anak-anak yang dianggap tidak populer," kenang teman sekelas Sulaiman, Adam Parr. Bila anak-anak yang paling populer main sepak bola, Sulaiman dan teman-temannya menciptakan sendiri permainan-permainan fantasi yang dibintangi para ksatria, raksasa atau tokoh-tokoh dalam film.

"Kami semua kutu buku," kata teman sekelas Sulaiman, Bennet Madison. "Karenanya tidak ada yang lalu dikucilkan hanya karena lebih senang belajar." Tapi menurut Madison, Sulaiman lebih dari sekedar seorang kutu buku. Menurutnya, Sulaiman adalah seorang yang sangat analitis dan sangat pemikir, sesuatu yang tidak biasa pada anak-anak kelas empat SD. “Dan hal itu menjadikannya seorang anak yang agak aneh," katanya.

Madison mengisahkan, pada suatu saat, anak-anak SD itu duduk di bagian belakang bus, bertukar-tukaran kartu komik Marvel serta membuat ulah lainnya. Namun Sulaiman tidak ikut terlibat. Ia hanya diam mengawasi seperti tengah berada di sebuah laboratorium.

Salah satu ulah nakal yang dianggap paling berani adalah mengacungkan jari tengah---sebuah isyarat memaki yang sangat kasar dalam budaya Amerika--lewat jendela di pintu darurat bus. Mereka membayang-bayangkan suatu saat akan ada polisi yang menghentikan bus dan menyuruh mereka turun. "John (nama kecil Sulaiman, red) bersikap seolah-olah sedang mencatat semua kelakuan semua teman. Dia memandang kami seakan-akan ini sebuah percobaan laboratorium,” tambah Madison.
avatar
asmara pancaroba
KOPRAL
KOPRAL

Male
Posts : 36
Kepercayaan : Islam
Location : kota I
Join date : 16.01.13
Reputation : 13

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik