menikahi wanita ahlikitab
Halaman 1 dari 1 • Share
menikahi wanita ahlikitab
Alhamdulillah, yang menjadi landasan dalam masalah ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 5: “Pada hari ini dihalalkan bagi kalian perkara-perkara yang baik dan sembelihan Ahlul Kitab halal bagi kalian dan sembelihan kalian halal bagi mereka begitu pula Al-Muhshanat (wanita merdeka yang menjaga kehormatan) dari kaum mukminat dan Al-Muhshanat dari Ahlul Kitab sebelum kalian (halal bagi kalian) jika kalian memberikan maharnya (dengan pernikahan).”
Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Baihaqi rahimahullah dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309) berkata: “Siapapun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapapun yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan Ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125).
2. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nashrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, di mana dia mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik. Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyyah (beragama Nashrani).
Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat Al-Baqarah:
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia haram untuk dinikahi meskipun dia Yahudiyyah atau Nasraniyyah. Adapun bila dia mentauhidkan Allah meskipun dia tidak beriman kepada Al Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia halal untuk dinikahi. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar).
3. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nashrani, baik dari kalangan Bani Israil ataupun yang lainnya, apakah dia mengikuti agama Yahudi atau Nashrani yang murni dan mentauhidkan Allah ataukah mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah, maka semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/15), Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Taisirul Karimir Rahman (hal. 221-222) Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/218), dan pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a. Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani.
b. Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat Al-Baqarah:
karena Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah juga menerangkan tentang kesyirikan dan kekufuran mereka sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 72-73, dan surat At-Taubah ayat 30 ketika Nashara mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’)
c. Dalam hadits Abu Sufyan yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nashrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38-39)
Kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan Al Muhshanat dalam ayat di atas:
1. Yang dimaksud adalah afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina) maka tidak boleh menikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Jadi masuk di dalamnya seluruh Ahlul Kitab baik merdeka atau budak asalkan dia afifah. Ibnu Jarir menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama Salaf (lihat Fathul Qadir).
2. Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak). Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Mereka berdalilkan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 25:
“Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Sisi pendalilannya adalah ketika Allah mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka Allah membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman. Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah:
“Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 3).
Pendapat ini dirajihkan oleh As-Sa’di dan Al-Utsaimin dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ijabatus Sail hal. 614-615 menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam karena dia masih kafir.
Akan tetapi yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki iffah. Dinasehatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri terlanjur mencintai suaminya maka biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.
Begitu pula, Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasehatkan dalam Ijabatus Sail hal. 531, bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyyah atau Nashraniyyah. Apabila di negeri itu Yahudi atau Nashara lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan mempengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nashara.
Dan saya (penulis) tambahkan: Atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.
Catatan: Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.
Para ulama berselisih pendapat tentang penafsiran Ahlul Kitab dalam ayat ini:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ahlul Kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah khusus Bani Israil. Di antara yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Baihaqi rahimahullah dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (5/309) berkata: “Siapapun yang berasal dari Bani Israil yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani maka wanitanya boleh dinikahi dan sembelihannya boleh dimakan. Sedangkan siapapun yang memeluk agama Yahudi dan Nashrani dari kalangan Bangsa Arab atau selainnya (dari kalangan Ajam) maka wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak halal untuk dimakan.” (lihat Jami’ Ahkamin Nisa, 3/125).
2. Sebagian ulama yang lain mensyaratkan bahwa Kitabiyyah (wanita yang beragama Yahudi atau Nashrani) yang halal untuk dinikahi adalah Kitabiyyah yang berpegang teguh dengan agamanya yang murni sebelum mengalami perubahan, di mana dia mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik. Dia hanya mengikuti ajaran Nabi Musa bila dia Yahudiyyah (beragama Yahudi) atau ajaran Nabi ‘Isa bila dia Nashraniyyah (beragama Nashrani).
Para ulama yang berpendapat seperti ini, ingin menggabungkan ayat ini dengan ayat ke-221 dari Surat Al-Baqarah:
“Dan janganlah menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Mereka mengatakan bahwa jika seorang wanita mempersekutukan Allah subhanahu wa ta’ala maka dia haram untuk dinikahi meskipun dia Yahudiyyah atau Nasraniyyah. Adapun bila dia mentauhidkan Allah meskipun dia tidak beriman kepada Al Qur’an dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia halal untuk dinikahi. (Asy-Syarhul Mumti’, 5/218, terbitan Darul Atsar).
3. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini umum mencakup siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nashrani, baik dari kalangan Bani Israil ataupun yang lainnya, apakah dia mengikuti agama Yahudi atau Nashrani yang murni dan mentauhidkan Allah ataukah mengikuti yang sudah mengalami perubahan dan mempersekutukan Allah, maka semuanya termasuk dalam kategori Ahlul Kitab tanpa pengecualian.
Pendapat ini dirajihkan (dikuatkan) oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam Fathul Qadir (2/15), Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Taisirul Karimir Rahman (hal. 221-222) Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/218), dan pendapat ini yang rajih (kuat) insya Allah dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a. Ayat ini bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Bani Israil, sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani.
b. Ayat ini merupakan takhshish (pengkhususan) dari ayat Al-Baqarah:
karena Allah subhanahu wa ta’ala menghalalkan wanita Ahlul Kitab dalam ayat ini dan di sisi lain Allah juga menerangkan tentang kesyirikan dan kekufuran mereka sebagaimana dalam surat Al-Maidah ayat 72-73, dan surat At-Taubah ayat 30 ketika Nashara mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Allah dan tuhan mereka, sedangkan Yahudi mengatakan bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’)
c. Dalam hadits Abu Sufyan yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim surat kepada Hiraql (Heraklius), pembesar Rum (Romawi), untuk mengajak dia dan kaumnya agar memeluk Islam dengan ayat ke-64 dari surat Ali ‘Imran. Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggolongkan Hiraql dan kaumnya sebagai Ahlul Kitab, padahal dia dan kaumnya bukanlah dari Bani Israil dan mereka memeluk agama Nashrani setelah mengalami perubahan. (Fathul Bari, 1/38-39)
Kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan Al Muhshanat dalam ayat di atas:
1. Yang dimaksud adalah afifah (yang menjaga diri dari perbuatan zina) maka tidak boleh menikahi wanita-wanita fajir yang tidak menjaga diri dari perzinaan. Jadi masuk di dalamnya seluruh Ahlul Kitab baik merdeka atau budak asalkan dia afifah. Ibnu Jarir menukilkan pendapat ini dari beberapa ulama Salaf (lihat Fathul Qadir).
2. Yang dimaksud adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak). Ini adalah pendapat jumhur, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir dan dirajihkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Mereka berdalilkan dengan firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 25:
“Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka yang beriman maka boleh bagi kalian untuk menikahi budak-budak wanita yang beriman di antara kalian.”
Sisi pendalilannya adalah ketika Allah mengizinkan seorang lelaki merdeka untuk menikahi budak wanita dengan dua syarat, yaitu dia tidak memiliki kesanggupan harta untuk menikahi wanita merdeka sementara dia takut terjatuh dalam perzinaan dan ia merasa berat untuk bersabar atas jima’ (hubungan suami istri) sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat. Maka Allah membatasinya dengan budak wanita yang beriman. Ini berarti budak wanita dari kalangan Ahlul Kitab tidak boleh dinikahi karena mereka tidak beriman. Jumhur ulama juga mensyaratkan sifat iffah (menjaga kehormatan) berdasarkan firman Allah:
“Lelaki pezina tidak akan menikahi kecuali wanita pezina atau wanita musyrik dan wanita pezina tidak akan dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 3).
Pendapat ini dirajihkan oleh As-Sa’di dan Al-Utsaimin dan inilah yang rajih, wallahu a’lam.
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ijabatus Sail hal. 614-615 menegaskan bahwasanya wanita Ahlul Kitab yang dinikahi oleh seorang muslim tidak dituntut untuk mempelajari syariat Islam karena dia masih kafir.
Akan tetapi yang dituntut darinya adalah senantiasa memiliki iffah. Dinasehatkan bagi sang suami untuk mendakwahkan Islam kepada istrinya karena seorang suami memiliki pengaruh besar terhadap istri. Jika seorang istri terlanjur mencintai suaminya maka biasanya dia akan mengikuti kemauan suaminya.
Begitu pula, Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasehatkan dalam Ijabatus Sail hal. 531, bahwasanya seorang muslim harus berhati-hati jika hendak menikahi Yahudiyyah atau Nashraniyyah. Apabila di negeri itu Yahudi atau Nashara lebih berpengaruh, dikhawatirkan istrinya akan mempengaruhi anak-anaknya untuk memeluk agama Yahudi atau Nashara.
Dan saya (penulis) tambahkan: Atau bahkan dirinya yang dipengaruhi oleh istrinya karena lemahnya iman dan ilmu yang dimilikinya.
Catatan: Hukum ini tidak berlaku sebaliknya. Wanita muslimah yang menikah dengan pria kafir hukumnya telah jelas, yakni haram.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: menikahi wanita ahlikitab
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
Dari ayat tsb maka jelas
(I) halal hukumnya pria muslim mengawini wanita ahli kitab.
TETAPI bermasalah dan bertentangan dgn ayat2 berikut:
(1) Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
dan ahli kitab adalah termasuk org kafir :
(2)a) orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
b) Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]
(1) dan (2)a,b---> (II) haram mengawini ahli kitab.
(I) bertentangan dgn (II)---> KONTRADIKSI quran.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
Dari ayat tsb maka jelas
(I) halal hukumnya pria muslim mengawini wanita ahli kitab.
TETAPI bermasalah dan bertentangan dgn ayat2 berikut:
(1) Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
dan ahli kitab adalah termasuk org kafir :
(2)a) orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
b) Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]
(1) dan (2)a,b---> (II) haram mengawini ahli kitab.
(I) bertentangan dgn (II)---> KONTRADIKSI quran.
aliumar- LETNAN SATU
-
Posts : 2663
Kepercayaan : Katolik
Location : Padang
Join date : 20.06.12
Reputation : 29
Re: menikahi wanita ahlikitab
aliumar wrote:Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
Dari ayat tsb maka jelas
(I) halal hukumnya pria muslim mengawini wanita ahli kitab.
TETAPI bermasalah dan bertentangan dgn ayat2 berikut:
(1) Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
dan ahli kitab adalah termasuk org kafir :
(2)a) orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
b) Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]
(1) dan (2)a,b---> (II) haram mengawini ahli kitab.
(I) bertentangan dgn (II)---> KONTRADIKSI quran.
diceritakan secara kronologis dong, jangan lupa pemahaman kalimatnya, jangan asal comot
Orang_Pinggiran- LETNAN SATU
-
Posts : 1862
Kepercayaan : Islam
Location : Jawa Tengah
Join date : 12.03.12
Reputation : 18
Re: menikahi wanita ahlikitab
sudah terang benderang dan sangat jelas koq, apanya yg mau dijelaskan lagi?
aliumar- LETNAN SATU
-
Posts : 2663
Kepercayaan : Katolik
Location : Padang
Join date : 20.06.12
Reputation : 29
Re: menikahi wanita ahlikitab
aliumar wrote:sudah terang benderang dan sangat jelas koq, apanya yg mau dijelaskan lagi?
owh berarti yang seperti itu dianggap terang benderang... semangat membara, tapi wawasan???
tape dech
Wanita Ahli kitab yang menjaga kehormatan belum didefinisikan
orang kafir juga belum didefinisikan..
kronologis turunnya Ayat juga belum dijelaskan??
kalau memang mau mengoreksi harus tau dulu dong semua itu, jadi ga keliatan pinternya..
pinter ngibul tapi
Orang_Pinggiran- LETNAN SATU
-
Posts : 1862
Kepercayaan : Islam
Location : Jawa Tengah
Join date : 12.03.12
Reputation : 18
Re: menikahi wanita ahlikitab
aliumar wrote:Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
Dari ayat tsb maka jelas
(I) halal hukumnya pria muslim mengawini wanita ahli kitab.
TETAPI bermasalah dan bertentangan dgn ayat2 berikut:
(1) Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
dan ahli kitab adalah termasuk org kafir :
(2)a) orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
b) Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]
(1) dan (2)a,b---> (II) haram mengawini ahli kitab.
(I) bertentangan dgn (II)---> KONTRADIKSI quran.
tu kontradiksi ayat, jadi ayat mana yang benar??
BiasaSaja- SERSAN MAYOR
-
Posts : 660
Kepercayaan : Protestan
Location : warnet langganan
Join date : 08.12.12
Reputation : 11
Re: menikahi wanita ahlikitab
Kehalalan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab itu bukan hal yang mengada-ada, melainkan kesimpulan hukum yang dikemukakan oleh para ulama besar. Bahkan para pendiri mazhab yang empat itu sepakat membenarkannya.
Salah besar bila dituduhkan bahwa kebolehan itu dikatakan sebagai pemikiran keliru atau mengada-ada, justru kitab-kitab fiqih yang muktamad dan menjadi rujukan para ulama memang menuliskannya dengan tegas tentang kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Mereka yang berpikiran seperti itu perlu lebih banyak lagi membaca dan mendalami ilmu syariah, agar tidak dengan mudah menuduh dan terlanjur mencaci maki siapapun, padahal dia sendiri tidak punya ilmunya.
Bahkan Al-Quran Al-Kariem pun secara tegas membolehkannya.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah: 5)
Lagi pula bila disebutkan hukumnya halal, tidak berarti kita harus melakukannya. Yang namanya halal itu hanya sekedar boleh dan bukan sebuah keharusan. Dan di balik kehalalan hukumnya, tetap saja ada pertimbangan-pertimbangan taktis dan strategis yang juga perlu diperhitungkan. Di situ para ulama dan pemimpin Islam punya hak untuk membuat kebijakan-kebijakan yang populis dan produktif.
Maka kita pun mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang cenderung melarangnya. Mengingat kondisi kita di Indonesia, pernikahan campur memang sudah sangat merugikan umat Islam. Sebab proses pemurtadan yang selama ini berlangsung memang di antaranya melalui nikah beda agama.
Sebuah fenomena yang berbebeda dengan keadaan umat Islam di Barat. Pernikahan campur di sana ternyata malah bernilai positif, karena dengan menikahnya laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, terjadilah proses Islamisasi yang dahsyat.
Yang kedua adalah berkaitan dengan pendidikan anak. Sebagaimana kita tahu orang yang paling berpengaruh dalam pendidikan anak adalah ibu, karena umumnya ibu lebih dekat dengan mereka. Kalau ibu mereka bukan muslimah, pendidikan Islam seperti apa yang akan mereka terima. Belum lagi kalau anak-anak itu belajar aqidah yang intinya akan menyimpulkan bahwa orang yang bukan muslim akan masuk neraka. Bagaimana perasaan mereka bila tahu bahwa ibu mereka pasti masuk neraka karena bukan muslimah? Apalagi ada resiko anak-anak akan diperkenalkan dengan budaya Nasrani, seperti ke gereja, natalan dan menyembah nabi Isa as. Maka akan semakin parah kondisi anak-anak anda nantinya.
Siapakah Ahli Kitab?
Masalahnya kini tinggal kita perlu menjawab pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan ahli kitab? Benarkah ahli kitab itu hanya terbatas pada mereka yang beriman kepada Taurat dan Injil yang asli saja?
Tentu saja para ulama berbeda pendapat dalam diskusi yang cukup panjang dan melelahkan. Bahkan sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud ahli kitab hanyalah mereka yang punya darah asli dari keturunan yahudi dan nasrani saja. Maksudnya dari keturunan Bani Israil saja. Sedangkan ras manusia di luar keturunan Bani Israil, tidak termasuk ahli kitab.
Tentu saja kita perlu menghargai berbagai pendapat dan hujjah yang dikemukakan banyak pihak. Meski pun perlu juga kita cermati dengan jujur bahwa masing-masing pendapat itu sulit untuk terlepas dari celah kelemahan.
Tidak Sucinya Kitab Mereka Sekarang Ini
Sebagian pendapat mengatakan bahwa ahli kitab di zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi, seiring dengan sudah tidak murninya kitab suci umat kristiani. Pendapat ini benar dan banyak juga yang mendukungnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa perbuatan memalsu isi kitab suci, memutar-balik ayat dan bahkan menyelewengkannya sudah terjadi sejak sebelum nabi Muhammad dilahirkan. Bahkan salah satu hikmah diutusnya Nabi Muhammad SAW justru karena sudah dipalsukannya kitab-kitab suci yang turun sebelumnya.
Ketika Al-Quran mengatakan bahwa yahudi dan nasrani sesat, memang karena di zaman itu sudah sesat sebelumnya. Al-Quran tidak berbicara tentang kesesatan mereka untuk masa sekarang ini saja. Ketika Al-Quran mengancam mereka karena merusak keaslian kitab suci, juga bukan yang terjadi di masa kita sekarang ini, melainkan karena hal itu sudah terjadidi masa nabi Muhammad SAW dan bahkan sebelum lahirnya beliau.
Artinya, tidak tepat kalau kita menyimpulkan bahwa Yahudi dan Nasrani di masa nabi tidak memalsukan kitab suci, sehingga wanita mereka halal dinikahi. Dan juga tidak tepat bila dikatakan bahwa wanita Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang ini haram dinikahi karena baru sekarang ini mereka memalsu kitab suci.
Yang benar adalah Yahudi dan Nasrani sudah memalsu kitab suci, merusak isinya, menodainya, bahkan menjualnya dengan harga yang sedikit sejak sebelum Al-Quran diturunkan, namun bersama dengan itu Al-Quran membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita mereka.
Adapun Paman Khadijah yang disebut-sebut masih menggunakan Injil yang asli, tentu tidak mencerminkan bahwa semua pemeluk Nasrani di masa itu masih memegang injil asli. Sebab di masa sekarang ini pun masih ada kelompok Nasrani tertentu yang disebut-sebut masih menggunakan injil yang 'asli'. Sebutlah misalnya Injil Barnabas sebagai contoh. Keberadaan pemeluk kristen di zaman sekarang yang berinjilbarnabas itu tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa sekarang ini semua orang Kristen masih menggunakan Injil asli.
Sementara Al-Quran dengan tegas mengkafirkan pemeluk agama Nasrani, lepas dari urusan keaslian Injil mereka, yaitu karena mereka telah menuhankan nabi Isa as atau telah mengatakan bahwa tuhan itu tiga.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam". (QS. Al-Maidah: 17)
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. (QS. Al-Maidah: 73)
Sejak masa Nabi SAW masih hidup, orang-orang kristen di masa itu sudah mengubah injil, menyembah nabi Isa dan menganut tirinitas. Dan bersama dengan itu, Al-Quran membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kristen. Jadi nyaris tidak ada bedanya antara kerusakan kristen di masa Nabi SAW dengan sekarang. Yang sekarang pun mengubah injil, menyembah nabi Isa dan menganut tirinitas. Lalu mengapa hukumnya harus dibedakan?
Yahudi dan Nasrani Musyrik?
Sebagian orang berpendapat bahwa laki-laki muslim diharamkan menikahi wanita yahudi dan nasrani, karena mereka justru melakukan kemusyrikan. Sedangkan Al-Quran mengharamkan laki-laki muslim menikahi wanita musyrik.
Pendapat ini juga benar dan banyak didukung oleh umat Islam. BahkanIbnu Umar mengatakan bahwa pemeluk agama ahli kitab itu pada dasarnya musyrik dan haram dinikahi. Sebab tidak ada kemusyrikan yang melebihi perbuatan seorang menyembah nabi Isa. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa.
Kita pun perlu menghargai pendapat ini dan memang dalam banyak hal, tetap ada nilai-nilai kebenarannya.
Namun perlu juga dicermati bahwa penggunaan istilah orang musyrik itu tidak selalu identik dengan orang yang melakukan praktek syirik. Kalau kita lihat pengistilahan Al-Quran, ternyata istilah orang musyrik itu memang dibedakan dengan ahli kitab. Meski dua-duanya sama-sama kafir dan pasti masuk neraka.
Tetapi orang yang mengerjakan perbuatan syirik tidak otomatis menjadi orang musyrik. Sebab ketika Al-Quran menyebut istilah 'orang musyrik', yang dimaksudadalah orang kafir, bukan sekedar orang yangmelakukan perbuatan syirik.Apakah kalau ada seorang muslim datang ke kuburan karena dia kurang ilmunya, lalu meminta kepada kuburan, lantas dia langsung jadi kafir? Apakah seorang yang percaya dengan ramalan bintang (zodiak) itu juga bukan muslim? Bukankah ketika seorang bersikap riya juga merupakan bagian dari syirik juga?
Tentu tidak, orang yang terlanjur berlaku riya tentu tidak bisa disamakan dengan orang musyrik penyembah berhala yang pasti masuk neraka.
Bukankah bila seorang datang kepada dukun, percaya pada ramalan bintang, percaya kepada burung yang terbang melintas, percaya bahwa ruh dalam kubur bisa mendatangkan bahaya dan sejenisnya juga merupakan perbuatan syirik? Dan berapa banyak umat Islam yang hingga hari ini masih saja berkutat dengan hal itu?
Tentu saja mereka tidak bisa dikatakan kafir, non muslim atau pun dikatergorikan sebagai pemeluk agama paganis dan penyembah berhala.
Sebab ayat yang mengharamkan muslim menikahi wanita musyrik itu maksudnya adalah wanita yang belum masuk Islam. Bukan orang yang pernah melakukan perbuatan yang termasuk kategori syirik. Dan perbuatan syirik yang mereka lakukan itu tidaklah membuat mereka keluar dari Islam.
Bukan Ahli Kitab: Yahudi atau Nasrani
Yang dimaksud dengan orang musyrik yang tidak boleh dinikahi juga bukan non muslim ahli kitab (nasrani atau yahudi). Tetapi yang dimaksud adalah mereka yang beragama majusi yang menyembah api, atau agama para penyembah berhala seperti kafir Quraisy di masa lalu. Dan bisa juga agama para penyembah matahari seperti agamanya orang jepang dan lainnya.
Musyrikin itu dalam hukum Islam dibedakan dengan ahli kitab, meski sama-sama kafirnya. Pemeluk agama ahli kitab itu secara hukum masih mendapatkan perlakuan yang khusus ketimbang pemeluk agama berhala lainnya. Misalnya tentang kebolehan bagi laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahli kitab. Juga tentang kebolehan umat Islam memakan daging sembelihan mereka. Sesuatu yang secara mutlak diharamkan bila terhadap kafir selain ahli kitab.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salah besar bila dituduhkan bahwa kebolehan itu dikatakan sebagai pemikiran keliru atau mengada-ada, justru kitab-kitab fiqih yang muktamad dan menjadi rujukan para ulama memang menuliskannya dengan tegas tentang kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Mereka yang berpikiran seperti itu perlu lebih banyak lagi membaca dan mendalami ilmu syariah, agar tidak dengan mudah menuduh dan terlanjur mencaci maki siapapun, padahal dia sendiri tidak punya ilmunya.
Bahkan Al-Quran Al-Kariem pun secara tegas membolehkannya.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka. wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah: 5)
Lagi pula bila disebutkan hukumnya halal, tidak berarti kita harus melakukannya. Yang namanya halal itu hanya sekedar boleh dan bukan sebuah keharusan. Dan di balik kehalalan hukumnya, tetap saja ada pertimbangan-pertimbangan taktis dan strategis yang juga perlu diperhitungkan. Di situ para ulama dan pemimpin Islam punya hak untuk membuat kebijakan-kebijakan yang populis dan produktif.
Maka kita pun mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang cenderung melarangnya. Mengingat kondisi kita di Indonesia, pernikahan campur memang sudah sangat merugikan umat Islam. Sebab proses pemurtadan yang selama ini berlangsung memang di antaranya melalui nikah beda agama.
Sebuah fenomena yang berbebeda dengan keadaan umat Islam di Barat. Pernikahan campur di sana ternyata malah bernilai positif, karena dengan menikahnya laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, terjadilah proses Islamisasi yang dahsyat.
Yang kedua adalah berkaitan dengan pendidikan anak. Sebagaimana kita tahu orang yang paling berpengaruh dalam pendidikan anak adalah ibu, karena umumnya ibu lebih dekat dengan mereka. Kalau ibu mereka bukan muslimah, pendidikan Islam seperti apa yang akan mereka terima. Belum lagi kalau anak-anak itu belajar aqidah yang intinya akan menyimpulkan bahwa orang yang bukan muslim akan masuk neraka. Bagaimana perasaan mereka bila tahu bahwa ibu mereka pasti masuk neraka karena bukan muslimah? Apalagi ada resiko anak-anak akan diperkenalkan dengan budaya Nasrani, seperti ke gereja, natalan dan menyembah nabi Isa as. Maka akan semakin parah kondisi anak-anak anda nantinya.
Siapakah Ahli Kitab?
Masalahnya kini tinggal kita perlu menjawab pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan ahli kitab? Benarkah ahli kitab itu hanya terbatas pada mereka yang beriman kepada Taurat dan Injil yang asli saja?
Tentu saja para ulama berbeda pendapat dalam diskusi yang cukup panjang dan melelahkan. Bahkan sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud ahli kitab hanyalah mereka yang punya darah asli dari keturunan yahudi dan nasrani saja. Maksudnya dari keturunan Bani Israil saja. Sedangkan ras manusia di luar keturunan Bani Israil, tidak termasuk ahli kitab.
Tentu saja kita perlu menghargai berbagai pendapat dan hujjah yang dikemukakan banyak pihak. Meski pun perlu juga kita cermati dengan jujur bahwa masing-masing pendapat itu sulit untuk terlepas dari celah kelemahan.
Tidak Sucinya Kitab Mereka Sekarang Ini
Sebagian pendapat mengatakan bahwa ahli kitab di zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi, seiring dengan sudah tidak murninya kitab suci umat kristiani. Pendapat ini benar dan banyak juga yang mendukungnya.
Namun perlu juga diketahui bahwa perbuatan memalsu isi kitab suci, memutar-balik ayat dan bahkan menyelewengkannya sudah terjadi sejak sebelum nabi Muhammad dilahirkan. Bahkan salah satu hikmah diutusnya Nabi Muhammad SAW justru karena sudah dipalsukannya kitab-kitab suci yang turun sebelumnya.
Ketika Al-Quran mengatakan bahwa yahudi dan nasrani sesat, memang karena di zaman itu sudah sesat sebelumnya. Al-Quran tidak berbicara tentang kesesatan mereka untuk masa sekarang ini saja. Ketika Al-Quran mengancam mereka karena merusak keaslian kitab suci, juga bukan yang terjadi di masa kita sekarang ini, melainkan karena hal itu sudah terjadidi masa nabi Muhammad SAW dan bahkan sebelum lahirnya beliau.
Artinya, tidak tepat kalau kita menyimpulkan bahwa Yahudi dan Nasrani di masa nabi tidak memalsukan kitab suci, sehingga wanita mereka halal dinikahi. Dan juga tidak tepat bila dikatakan bahwa wanita Yahudi dan Nasrani di zaman sekarang ini haram dinikahi karena baru sekarang ini mereka memalsu kitab suci.
Yang benar adalah Yahudi dan Nasrani sudah memalsu kitab suci, merusak isinya, menodainya, bahkan menjualnya dengan harga yang sedikit sejak sebelum Al-Quran diturunkan, namun bersama dengan itu Al-Quran membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita mereka.
Adapun Paman Khadijah yang disebut-sebut masih menggunakan Injil yang asli, tentu tidak mencerminkan bahwa semua pemeluk Nasrani di masa itu masih memegang injil asli. Sebab di masa sekarang ini pun masih ada kelompok Nasrani tertentu yang disebut-sebut masih menggunakan injil yang 'asli'. Sebutlah misalnya Injil Barnabas sebagai contoh. Keberadaan pemeluk kristen di zaman sekarang yang berinjilbarnabas itu tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa sekarang ini semua orang Kristen masih menggunakan Injil asli.
Sementara Al-Quran dengan tegas mengkafirkan pemeluk agama Nasrani, lepas dari urusan keaslian Injil mereka, yaitu karena mereka telah menuhankan nabi Isa as atau telah mengatakan bahwa tuhan itu tiga.
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam". (QS. Al-Maidah: 17)
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. (QS. Al-Maidah: 73)
Sejak masa Nabi SAW masih hidup, orang-orang kristen di masa itu sudah mengubah injil, menyembah nabi Isa dan menganut tirinitas. Dan bersama dengan itu, Al-Quran membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kristen. Jadi nyaris tidak ada bedanya antara kerusakan kristen di masa Nabi SAW dengan sekarang. Yang sekarang pun mengubah injil, menyembah nabi Isa dan menganut tirinitas. Lalu mengapa hukumnya harus dibedakan?
Yahudi dan Nasrani Musyrik?
Sebagian orang berpendapat bahwa laki-laki muslim diharamkan menikahi wanita yahudi dan nasrani, karena mereka justru melakukan kemusyrikan. Sedangkan Al-Quran mengharamkan laki-laki muslim menikahi wanita musyrik.
Pendapat ini juga benar dan banyak didukung oleh umat Islam. BahkanIbnu Umar mengatakan bahwa pemeluk agama ahli kitab itu pada dasarnya musyrik dan haram dinikahi. Sebab tidak ada kemusyrikan yang melebihi perbuatan seorang menyembah nabi Isa. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa.
Kita pun perlu menghargai pendapat ini dan memang dalam banyak hal, tetap ada nilai-nilai kebenarannya.
Namun perlu juga dicermati bahwa penggunaan istilah orang musyrik itu tidak selalu identik dengan orang yang melakukan praktek syirik. Kalau kita lihat pengistilahan Al-Quran, ternyata istilah orang musyrik itu memang dibedakan dengan ahli kitab. Meski dua-duanya sama-sama kafir dan pasti masuk neraka.
Tetapi orang yang mengerjakan perbuatan syirik tidak otomatis menjadi orang musyrik. Sebab ketika Al-Quran menyebut istilah 'orang musyrik', yang dimaksudadalah orang kafir, bukan sekedar orang yangmelakukan perbuatan syirik.Apakah kalau ada seorang muslim datang ke kuburan karena dia kurang ilmunya, lalu meminta kepada kuburan, lantas dia langsung jadi kafir? Apakah seorang yang percaya dengan ramalan bintang (zodiak) itu juga bukan muslim? Bukankah ketika seorang bersikap riya juga merupakan bagian dari syirik juga?
Tentu tidak, orang yang terlanjur berlaku riya tentu tidak bisa disamakan dengan orang musyrik penyembah berhala yang pasti masuk neraka.
Bukankah bila seorang datang kepada dukun, percaya pada ramalan bintang, percaya kepada burung yang terbang melintas, percaya bahwa ruh dalam kubur bisa mendatangkan bahaya dan sejenisnya juga merupakan perbuatan syirik? Dan berapa banyak umat Islam yang hingga hari ini masih saja berkutat dengan hal itu?
Tentu saja mereka tidak bisa dikatakan kafir, non muslim atau pun dikatergorikan sebagai pemeluk agama paganis dan penyembah berhala.
Sebab ayat yang mengharamkan muslim menikahi wanita musyrik itu maksudnya adalah wanita yang belum masuk Islam. Bukan orang yang pernah melakukan perbuatan yang termasuk kategori syirik. Dan perbuatan syirik yang mereka lakukan itu tidaklah membuat mereka keluar dari Islam.
Bukan Ahli Kitab: Yahudi atau Nasrani
Yang dimaksud dengan orang musyrik yang tidak boleh dinikahi juga bukan non muslim ahli kitab (nasrani atau yahudi). Tetapi yang dimaksud adalah mereka yang beragama majusi yang menyembah api, atau agama para penyembah berhala seperti kafir Quraisy di masa lalu. Dan bisa juga agama para penyembah matahari seperti agamanya orang jepang dan lainnya.
Musyrikin itu dalam hukum Islam dibedakan dengan ahli kitab, meski sama-sama kafirnya. Pemeluk agama ahli kitab itu secara hukum masih mendapatkan perlakuan yang khusus ketimbang pemeluk agama berhala lainnya. Misalnya tentang kebolehan bagi laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahli kitab. Juga tentang kebolehan umat Islam memakan daging sembelihan mereka. Sesuatu yang secara mutlak diharamkan bila terhadap kafir selain ahli kitab.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Dijuluki Wanita Terjelek Sedunia, Wanita Ini Malah Jadi Motivator Sukses
» siapa saja yang disebut ahlikitab?
» Bolehkah menikahi Gadis di bawah UMUR dalam Alquran?
» Hikmah diharamkannya menikahi saudara sepersusuan
» mengapa nabi menikahi bekas menantunya sendiri?
» siapa saja yang disebut ahlikitab?
» Bolehkah menikahi Gadis di bawah UMUR dalam Alquran?
» Hikmah diharamkannya menikahi saudara sepersusuan
» mengapa nabi menikahi bekas menantunya sendiri?
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik