teologi inklusif sesat
Halaman 1 dari 1 • Share
teologi inklusif sesat
Nurkholish Madjid boleh berbangga. Seorang kadernya, Sukidi, berkenan menjadi pelanjut perjuangannya untuk meneruskan penyebaran "teolgi inklusif." Sebuah buku "wah" karya Sukidi berjudul Teologi Inklusif Cak Nur yang diterbitkan Kompas, diluncurkan di Jakarta, Senin 9 April 2001. Buku ini mendapat perhatian besar dari koran Kompas. Beberapa kali, buku ini diiklankan besar-besaran dalam ukuran yang sangat mencolok.
Nurcholish Madjid, dalam acara peluncuran buku Sukidi tersebut, membuat pernyataan yaug sangat diragukan kebenarannya. Saat itu, Nurcholish menyatakan, "Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar isi kitab-kitab suci lama itu masih benar. Yang disebut adanya pengubahan itu dalam hal-hal yang berafat berita. Tenitama berita tentang kedatangan Nabi Muhammad saw.." (Kompas. 9 April 2001)
Ucapan Cak Nur itu sangat diragukan kebenarannya, sebab dalam kitabnya, Al-Jawaabus Shahih li man Baddala Diinal Masiih, Ibnu Taimiyah dengan panjang lebar menguraikan kekeliruan dan kesesatan teologi Kisten. Di kitab ini pula, justru dinyatakan oleh lbnu Taimiyah bahwa sebagian besar isi kitab suci lama itu telah diubah. Mungkin ada lbnu Tainuyah atau kitab lain yang dirujuk Cak Nur?
Sebenarnya, tidak ada gagasan baru soal teologi inklusif dalam buku yang merupakan kumpulan artikel di berbagai media massa ini. Di sana sini terjadi pengulangan argumentasi dan fakta yang sudah lama dilontarkan oleh Cak Nur, Budhy Munawar Rahman, dan lain-lain. Teologi inklusif yang dipromosikan melalui buku itu dikatakan sebagai alternatif dan "teologi eksklusif yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif "teologi inklusif," klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan, adalah teologi yang salah. (Hlm. xii)
Hampir semua agama formal (organized religion), kata Sukidi, memiliki klaim keselamatan, "Hanya agama sayalah yang memberikan keselamatan, sedangkan agama Anda tidak dan bahkan menyesatkan." (Hlm. xiii)
"Klaim-klaim keselamatan seperti itu bersifat latent dan terkadang juga menifes, terekspresikan keluar, ke berbagai tradisi agama-agama, sehingga mengakibatkan perang (keselamatan) antar agama. Padahal, bukankah klaim keselamatan itu tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan?" (Hlm. xiii)
Entah dari mana Sukidi membuat kesimpulan bahwa ada korelasi antara konflik agama dan teologi eksklusif, padahal berbagai konflik agama seperti di Maluku, terjadi bukan karena soal teologi eksklusif atau inklusif.
Intisari Semua Agama Sama, Ditolak oleh Allah Melalui Al-Qur'an
Ketika menerima delegasi Kristen Najran, Nabi Muhammad SAW melakukan debat tentang persoalan-persoalan teologis dengan mereka. Ketika tidak terjadi titik temu, Nabi SAW menantang mereka untuk bermubahalah berdo'a bersama, siapa yang berdusta akan dijatuhi laknat oleh Allah.
Eksklusivitas teologi Islam terdapat dalam berbagai ayat dan hadits Nabi SAW. (Misal: Ali lmran: 19, 85, Al-Maa'idah: 72-75). Muhammad SAW tidak pernah mereduksi Islam menjadi sekadar "sikap pasrah" atau "ikatan" seperti diartikan oleh Cak Nur, yang menerjemahkan surah Ali lmran: 19 dengan "Sesungguhnya, ikatan (ad-din) di sisi Allah adalah sikap pasrah (Al-lslam)."
Dari Kota Madinah, Nabi SAW mengirimnkan surat kepada Heraklius, Muqauiqis, dan raja-raja lainnnya. Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. "Aslim taslam" masuk Islamlah kalian maka kalian akan selamat, begitu ajakan Nabi SAW. Beliau tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam, tetapi menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, mengajak penduduk bumi untuk menjadi muslima secara formal dan informal sekaligus. Banyak orang yang masuk Islam mendatangi Nabi Muhammad SAW dan membaca syahadat di depan beliau. Ketika itu, Nabi SAW tidak menyatakan kepada mereka, "Cukuplah kalian pasrah kepada Tuhan kalian sebab intisari semua agama (the heart of religions) adalah sama."
Teologi inkhisif versi Cak Nur-yang dielaborasi oleh Sukidi dalam buku ini, sulit ditemukan pijakannya dalam AI-Qur'an dan Sunnah Rasul, ijma' para sahabat, atau pendapat para ulama terdahulu. Sukidi merujuk pada Konsili Vatikan II tahun 1963-1965 yang merevisi prinsip extra ecclesium mulla salus ke arah teologi inklusif, di mana keselamatan tidak lagi menjadi monopoli umat Kristiani dengan keharusan mengeksplisitikan iman kepadaYesus Kristus. Dengan konsili itu, Gereja Kristen mengakui adanya keselamatan di luar Kristen, yang menurut teolog Katolik yang berhaluan inklusif, seperti Karl Rahner,disebutnya sebagai Anonymous Christian. (Hlm. 17)
Tegasnya, melalui teologi inklusif, Sukidi mengajak umat Islam untuk meyakini bahwa "tidak hanya agama Islam" yang menjadi jalan keselamatan. Artinya, untuk selamat (di dunia dan akhirat), bisa saja orang nengambil jalan selain Islam sebab semua agama memiliki substansi yang sama, dengan mengambil perumpaaan substansi air, cahaya, dan roda sepeda. (Hlm. xviii-xix). Tidak dijelaskan agama apa saja yang substansmya sama. Apakah agama Darmogandul, Gatholoco, Hindhu, Budha, Baha'i, dan ratusan agama lainnya juga memiliki substansi yang sama? Buku ini sama sekali tidak memberikan batasan/definisi yang jelas, apa yang layak dikategorikan sebagai satu "agama" sebelum membuat kesimpulan bahwa "Intisari semua agama adalah sama."
Konsepsi teologi inklusif itu juga sangat aneh. Perbedaan teologi lslam dan Kristen, misalnya, justru terletak pada hal yang substansial, dalam konsep tauhid. Teologi Kristen yang berpangkal pada
"penyaliban dan kebangkitan Yesus" justru secara diametral ditolak oleh konsep teologi Islam yang secara tegas menolak kisah tentang penyaliban Yesus tersebut (An-Nisaa': 157). Lebih dari itu, orang
yang meyakini Isa a.s. sebagai tuhan atau "salah satu dan yang tiga" dicap oleh A-Qur'an sebagai kaum kafir (Al-Maa'idah: 72-75).
Al-Qur'an tidak berbasa-basi dalam soal ini. Ironisnya, Cak Nur atau Sukidi bersikap seperti "burung onta" dalam melihat perbedaan-perbedaan substanaal di antara agama-agama yang ada. Selanjutaya, dengan gampangnya menyatakan bahwa inti dari agama-agama adalah sama, semata-mata hanya mendasarkan pendapat satu atau dua ilmuwan tertentu.
Jika direnungkan lebih mendalam, teologi inklusif Cak Nur memang amburadul, absurd, dan menghancurkan fondasi keimanan Islam. Teologi jenis ini juga terkesan "genit" atau "teologi
iseng" karena dalam tataran praksis, penyebar teologi ini juga tidak berani bersikap jujur dengan dirinya sendiri. Mereka juga tetap memeluk organized religion dan tidak secara fair melepaskan klaim-klaim keagamaan formal. Misalnya, mereka berani berpesan: jika mereka mati kelak, tidak usahlah dikubur secara islami, tetapi cukup, misalnya, mayat mereka dibakar atau dibuang ke laut Toh,
intinyakan sama: kembali kepada Tuhan juga!
Kritik terhadap Buku Teologi Inklusif
"Bahwa teologi kita selama ini seperti sudah di-set up dalam kerangka teologi eksklusif, yang menganggap bahwasanya kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama terteutu." (Hlm. xi)
Kritik:
Seorang yang memeluk agama tertentu seharusnya meyakini bahwa teologi agamanya adalah benar dan yang bertentangan dengan konsepsi teologi agama yang dipeluknya tentulah merupakan teologi yang salah. Jika ia meyakim kebenaran teologi Islam dan pada saat yang sama juga mengakui kebenaran teologi agama lain yang bertentangan dengan Islam, sama saja ia tidak meyakini kebenaran mutlak teologi agamanya sendiri.
Iman Islam mensyaratkan "keyakinan yang pasti" (yaqin), tanpa keraguan sedikit pun, dan pengingkaran terhadap thaghut (Al-Baqarah: 256). Muslim yang beriman kepada Allah dengan segala sifat-Nya, tentu akan mengingkari konsepsi Trinitas agama Kristen, konsepsi Trimurti agama Hindu, dan sebagainya. Karena itulah, Islam menegaskan bahwa hanya konsepsi teologi Islam yang benar.
Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi terakhir untuk meluruskan akidah umat manusia. Karena
itu, hanya iman Islam yang diterima oleh Allah: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."(Ali lmran: 19, 85).
Karena itu, bagi seorang muslim, konsepsi teologi yang dipeluk dan diyakininya pasti bersifat eksklusif, pasti berbeda dengan konsepsi teologi agama lain. Seorang muslim pasti meyakini bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) hanyalah ada pada agamanya sendiri. Kalau ada jalan kebenaran dan
keselamatan lain-selain lslan mengapa Nurcholish Madjid dan Sukidi masih mengaku beragama Islam? Mengapa tidak secara jujur dan berani melepaskan klaim formalitas keislamannya?
"Seperti sudah taken for granted, kita sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang lain dengan memakai standar teologi agama kita sendiri." (Hlm. xii)
Kritik:
Ini logika Sukidi yang keblinger dan terbolak-balik. Jika kita meyakini konsepsi teologi Islam adalah suatu kebenaran, asumsikanlah saya meyakim bahwa "tiada tuhan selain Allah" dan saya meyakini bahwa "Muhammad adalah utusan Allah." Saya juga meyakini bahwa Isa a.s. adalah seorang nabi, bukan tuhan atau anak Tuhan. Saya juga yakin, berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an, bahwa Isa a.s. tidak wafat di kayu salib seperti dikiaim oleh kaum Nasrani. Tentu, kaum Nasrani menolak keyakinan saya. Juga, pasti saya akan menilai agama lain dengan menggunakan acuan teologi yang saya yakini tersebut. Jika
saya menilai agama Yahudi dengan parameter agama Baha'i, lalu buat apa saya meyakini kebenaran teologi Islam? Kalau tidak yakin dengan kebenaran teologi Islam, buat apa mengaku sebagai orang Islam? Bukankah itu suatu sikap munafik?
"Gereja Katolik misalnya, sejak Konsili Vatikan II tahun 1963-1965 sudah merevisi prinap extra ecclesium mulla salus-nya ke arah teologi inklusif; di mana keselamatan tidak lagi menjadi
otoritas mutlak Gereja, di mana keselamatan tidak lagi menjadi monopoli umat Kristiani dengan keharusan mengeksplisitkan iman kepada Yesus Kristus.... Sejak dideldarasikan teologi inklusif ini, Gereja Kristen mengakui adanya keselamatan di luar Kristen, yang menurut teolog Katolik yang berhaluan inklusif seperti Karl Rahner disebutnya sebagai anonymous Christian. Kristen anonim ini, yakni orang-orang non-Kristiani, juga akan selamat sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Ketulusan hati dalam istilah Rahner, kurang lebih sama dengan sikap pasrah, yakni Al-Islam dalam bangunan pemikiran teologi inklusif-lslam model Cak Nur." (Hlm. iv)
Kritik:
Bacalah berulang-ulang ungkapan Sukidi itu! Secara implisit, Sukidi mengimbau agar kaum muslim juga meyakini bahwa di luar lslam juga ada kebenaran dan jalan keselamatan. Sukidi seperti ingin menunjukkan bahwa betapa sudah majunya sikap Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II tersebut karena mengakui adanya kebenaran dan jalan keselamatan di luar gereja Katolik. Jika Katolik sudah menyatakan seperti itu, apakah kaum muslim juga disuruh menyatakan hal yang sama?
Lagi pula, praktiknya, pengakuan Gereja Katolik itu tidak terjadi di lapangan, sebab Paus sendiri terus mendukung gerakan Kristenisasi di dunia Islam. Kalau mengakui ada kebenaran pada agama lain, untuk apa misionaris Kristen terus menprovoksi kaum muslim agar berpindah agama?
Dalam sebuah imbauan bertajuk "Pope Calls on Catholics to Spread Christianity," Paus John Paul II mengeluarkan fatwa gerejani agar kaum Katolik mengambil tindakan untuk menyebarkan ajaran Katolik. Ia menegaskan pentingnya melakukan kristenisasi terhadap semua bagian dunia (to evangelise in all parts of the world), termasuk negeri-negeri di mana hukun Islam melarang peipindahan agama.
Sri Paus menekankan agar negeri-negeri Islam, demikian juga negara-nagara lainnya, segera mencabut peraturan-peraturan yang melarang orang-orang Islam memeluk agama lain. Tanpa menyebut nama negara secara langsung, Sri Paus menyinggung negara-negara di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dimana para missionaris ditolak kehadirannya. Kepada mereka, Paus menyerukan, "Bukakanlah pintu untuk Kristus (Open the doors to Christ)!"
Di Indonesia, baik Kristen maupun Katolik, juga tetap menyebarkan Teologi Eksklusif. Di dalam buku Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekatuan Gereja-Gereja di Indonesia (LDKG-PGI) yang
memuat keputusan Sidang Raya XII PGI di Jayapura (1994) disebutkan ikrar kaum Kristen, yang menyatakan bahwa Allah telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, dan di dalam Dia, Allah menyediakan keselamatan bagi orang-orang yang percaya (Yoh., 3:16; Kis., 16:31). Di dalam Kristus, Allah mulai mewujudkan rencana penyelamatan-Nya (Ef., 1:9-10). Penyataan Kerajaan Allah secara penuh baru akan terjadi ketika "dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada dilangit dan yang ada di bumi, dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa" (Flp., 2:10-11).
Pada bagian Symbolum Athanasianum dalam buku itu, juga disebutkan: (1) bila seseorang ingin diselamatkan, pertama-tama haruslah ia memegang erat kepercayaan Gereja Katolik (Catholic
Church); (2) bila ia tidak dengan seluruhnya dan sebenar-benarnya memegang kepercayaan ini, pasti ia akan binasa; (3) kepercayaan Gereja Katolik ialah: bahwa kita beribadah kepada Allah yang bertubuh satu tetapi beroknum tiga dan beroknum tiga tetapi bertubuh satu; (4) oknum-Nya tidak bercampur baur dan tubuh-Nya tidak bercerai-berai.
Jadi, di mana letak "inklusivitas" Kristen yang dikampanyekan oleh Sukidi ini?
Simaklah ungkapan Sukidi, "Kristen anonim ini, yakni orang-orang non-Kristiani, juga akan selamat sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Ketulusan hati dalam istilah Rahner, kurang lebih sama dengan sikap pasrah, yakni Al-Islam dalam bangunan pemikiran teologi inklusif-Islam model Cak Nur."
Ungkapan itu dapat dipahami bahwa dalam konsepsi teologi inklusif versi Cak Nur, orang Kristen anonim yang bersikap pasrah juga akan selamat (di akhirat) sebagaimana orang muslim yang
bersikap pasrah. Bukankah ini konsep teologi keblinger yang mengacak-acak akidah Islam?
Seorang yang mengaku beragama Hindu pemah mengirim surat kepada saya. Ia bertanya, "Apakah saya juga termasuk kafir." Saya katakan, "Ya. Jika Anda mau tidak disebut kafir, ya masuk Islam." la kemudian membalas jawaban saya, "Kalau menurut konsep Nurcholish Madjid, saya sudah muslim."
Itulah salah satu dampak dari "Teologi Inklusif bahwa orang tidak perlu memeluk "Islam formal" untuk menjadi "muslim sejati." Yang penting ia "tunduk" dan "pasrah."
Nurcholish Madjid, dalam acara peluncuran buku Sukidi tersebut, membuat pernyataan yaug sangat diragukan kebenarannya. Saat itu, Nurcholish menyatakan, "Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar isi kitab-kitab suci lama itu masih benar. Yang disebut adanya pengubahan itu dalam hal-hal yang berafat berita. Tenitama berita tentang kedatangan Nabi Muhammad saw.." (Kompas. 9 April 2001)
Ucapan Cak Nur itu sangat diragukan kebenarannya, sebab dalam kitabnya, Al-Jawaabus Shahih li man Baddala Diinal Masiih, Ibnu Taimiyah dengan panjang lebar menguraikan kekeliruan dan kesesatan teologi Kisten. Di kitab ini pula, justru dinyatakan oleh lbnu Taimiyah bahwa sebagian besar isi kitab suci lama itu telah diubah. Mungkin ada lbnu Tainuyah atau kitab lain yang dirujuk Cak Nur?
Sebenarnya, tidak ada gagasan baru soal teologi inklusif dalam buku yang merupakan kumpulan artikel di berbagai media massa ini. Di sana sini terjadi pengulangan argumentasi dan fakta yang sudah lama dilontarkan oleh Cak Nur, Budhy Munawar Rahman, dan lain-lain. Teologi inklusif yang dipromosikan melalui buku itu dikatakan sebagai alternatif dan "teologi eksklusif yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif "teologi inklusif," klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan, adalah teologi yang salah. (Hlm. xii)
Hampir semua agama formal (organized religion), kata Sukidi, memiliki klaim keselamatan, "Hanya agama sayalah yang memberikan keselamatan, sedangkan agama Anda tidak dan bahkan menyesatkan." (Hlm. xiii)
"Klaim-klaim keselamatan seperti itu bersifat latent dan terkadang juga menifes, terekspresikan keluar, ke berbagai tradisi agama-agama, sehingga mengakibatkan perang (keselamatan) antar agama. Padahal, bukankah klaim keselamatan itu tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama dan Tuhan?" (Hlm. xiii)
Entah dari mana Sukidi membuat kesimpulan bahwa ada korelasi antara konflik agama dan teologi eksklusif, padahal berbagai konflik agama seperti di Maluku, terjadi bukan karena soal teologi eksklusif atau inklusif.
Intisari Semua Agama Sama, Ditolak oleh Allah Melalui Al-Qur'an
Ketika menerima delegasi Kristen Najran, Nabi Muhammad SAW melakukan debat tentang persoalan-persoalan teologis dengan mereka. Ketika tidak terjadi titik temu, Nabi SAW menantang mereka untuk bermubahalah berdo'a bersama, siapa yang berdusta akan dijatuhi laknat oleh Allah.
Eksklusivitas teologi Islam terdapat dalam berbagai ayat dan hadits Nabi SAW. (Misal: Ali lmran: 19, 85, Al-Maa'idah: 72-75). Muhammad SAW tidak pernah mereduksi Islam menjadi sekadar "sikap pasrah" atau "ikatan" seperti diartikan oleh Cak Nur, yang menerjemahkan surah Ali lmran: 19 dengan "Sesungguhnya, ikatan (ad-din) di sisi Allah adalah sikap pasrah (Al-lslam)."
Dari Kota Madinah, Nabi SAW mengirimnkan surat kepada Heraklius, Muqauiqis, dan raja-raja lainnnya. Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. "Aslim taslam" masuk Islamlah kalian maka kalian akan selamat, begitu ajakan Nabi SAW. Beliau tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam, tetapi menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia, mengajak penduduk bumi untuk menjadi muslima secara formal dan informal sekaligus. Banyak orang yang masuk Islam mendatangi Nabi Muhammad SAW dan membaca syahadat di depan beliau. Ketika itu, Nabi SAW tidak menyatakan kepada mereka, "Cukuplah kalian pasrah kepada Tuhan kalian sebab intisari semua agama (the heart of religions) adalah sama."
Teologi inkhisif versi Cak Nur-yang dielaborasi oleh Sukidi dalam buku ini, sulit ditemukan pijakannya dalam AI-Qur'an dan Sunnah Rasul, ijma' para sahabat, atau pendapat para ulama terdahulu. Sukidi merujuk pada Konsili Vatikan II tahun 1963-1965 yang merevisi prinsip extra ecclesium mulla salus ke arah teologi inklusif, di mana keselamatan tidak lagi menjadi monopoli umat Kristiani dengan keharusan mengeksplisitikan iman kepadaYesus Kristus. Dengan konsili itu, Gereja Kristen mengakui adanya keselamatan di luar Kristen, yang menurut teolog Katolik yang berhaluan inklusif, seperti Karl Rahner,disebutnya sebagai Anonymous Christian. (Hlm. 17)
Tegasnya, melalui teologi inklusif, Sukidi mengajak umat Islam untuk meyakini bahwa "tidak hanya agama Islam" yang menjadi jalan keselamatan. Artinya, untuk selamat (di dunia dan akhirat), bisa saja orang nengambil jalan selain Islam sebab semua agama memiliki substansi yang sama, dengan mengambil perumpaaan substansi air, cahaya, dan roda sepeda. (Hlm. xviii-xix). Tidak dijelaskan agama apa saja yang substansmya sama. Apakah agama Darmogandul, Gatholoco, Hindhu, Budha, Baha'i, dan ratusan agama lainnya juga memiliki substansi yang sama? Buku ini sama sekali tidak memberikan batasan/definisi yang jelas, apa yang layak dikategorikan sebagai satu "agama" sebelum membuat kesimpulan bahwa "Intisari semua agama adalah sama."
Konsepsi teologi inklusif itu juga sangat aneh. Perbedaan teologi lslam dan Kristen, misalnya, justru terletak pada hal yang substansial, dalam konsep tauhid. Teologi Kristen yang berpangkal pada
"penyaliban dan kebangkitan Yesus" justru secara diametral ditolak oleh konsep teologi Islam yang secara tegas menolak kisah tentang penyaliban Yesus tersebut (An-Nisaa': 157). Lebih dari itu, orang
yang meyakini Isa a.s. sebagai tuhan atau "salah satu dan yang tiga" dicap oleh A-Qur'an sebagai kaum kafir (Al-Maa'idah: 72-75).
Al-Qur'an tidak berbasa-basi dalam soal ini. Ironisnya, Cak Nur atau Sukidi bersikap seperti "burung onta" dalam melihat perbedaan-perbedaan substanaal di antara agama-agama yang ada. Selanjutaya, dengan gampangnya menyatakan bahwa inti dari agama-agama adalah sama, semata-mata hanya mendasarkan pendapat satu atau dua ilmuwan tertentu.
Jika direnungkan lebih mendalam, teologi inklusif Cak Nur memang amburadul, absurd, dan menghancurkan fondasi keimanan Islam. Teologi jenis ini juga terkesan "genit" atau "teologi
iseng" karena dalam tataran praksis, penyebar teologi ini juga tidak berani bersikap jujur dengan dirinya sendiri. Mereka juga tetap memeluk organized religion dan tidak secara fair melepaskan klaim-klaim keagamaan formal. Misalnya, mereka berani berpesan: jika mereka mati kelak, tidak usahlah dikubur secara islami, tetapi cukup, misalnya, mayat mereka dibakar atau dibuang ke laut Toh,
intinyakan sama: kembali kepada Tuhan juga!
Kritik terhadap Buku Teologi Inklusif
"Bahwa teologi kita selama ini seperti sudah di-set up dalam kerangka teologi eksklusif, yang menganggap bahwasanya kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama terteutu." (Hlm. xi)
Kritik:
Seorang yang memeluk agama tertentu seharusnya meyakini bahwa teologi agamanya adalah benar dan yang bertentangan dengan konsepsi teologi agama yang dipeluknya tentulah merupakan teologi yang salah. Jika ia meyakim kebenaran teologi Islam dan pada saat yang sama juga mengakui kebenaran teologi agama lain yang bertentangan dengan Islam, sama saja ia tidak meyakini kebenaran mutlak teologi agamanya sendiri.
Iman Islam mensyaratkan "keyakinan yang pasti" (yaqin), tanpa keraguan sedikit pun, dan pengingkaran terhadap thaghut (Al-Baqarah: 256). Muslim yang beriman kepada Allah dengan segala sifat-Nya, tentu akan mengingkari konsepsi Trinitas agama Kristen, konsepsi Trimurti agama Hindu, dan sebagainya. Karena itulah, Islam menegaskan bahwa hanya konsepsi teologi Islam yang benar.
Nabi Muhammad SAW diutus sebagai nabi terakhir untuk meluruskan akidah umat manusia. Karena
itu, hanya iman Islam yang diterima oleh Allah: "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi."(Ali lmran: 19, 85).
Karena itu, bagi seorang muslim, konsepsi teologi yang dipeluk dan diyakininya pasti bersifat eksklusif, pasti berbeda dengan konsepsi teologi agama lain. Seorang muslim pasti meyakini bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) hanyalah ada pada agamanya sendiri. Kalau ada jalan kebenaran dan
keselamatan lain-selain lslan mengapa Nurcholish Madjid dan Sukidi masih mengaku beragama Islam? Mengapa tidak secara jujur dan berani melepaskan klaim formalitas keislamannya?
"Seperti sudah taken for granted, kita sering kali menilai dan bahkan menghakimi agama orang lain dengan memakai standar teologi agama kita sendiri." (Hlm. xii)
Kritik:
Ini logika Sukidi yang keblinger dan terbolak-balik. Jika kita meyakini konsepsi teologi Islam adalah suatu kebenaran, asumsikanlah saya meyakim bahwa "tiada tuhan selain Allah" dan saya meyakini bahwa "Muhammad adalah utusan Allah." Saya juga meyakini bahwa Isa a.s. adalah seorang nabi, bukan tuhan atau anak Tuhan. Saya juga yakin, berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an, bahwa Isa a.s. tidak wafat di kayu salib seperti dikiaim oleh kaum Nasrani. Tentu, kaum Nasrani menolak keyakinan saya. Juga, pasti saya akan menilai agama lain dengan menggunakan acuan teologi yang saya yakini tersebut. Jika
saya menilai agama Yahudi dengan parameter agama Baha'i, lalu buat apa saya meyakini kebenaran teologi Islam? Kalau tidak yakin dengan kebenaran teologi Islam, buat apa mengaku sebagai orang Islam? Bukankah itu suatu sikap munafik?
"Gereja Katolik misalnya, sejak Konsili Vatikan II tahun 1963-1965 sudah merevisi prinap extra ecclesium mulla salus-nya ke arah teologi inklusif; di mana keselamatan tidak lagi menjadi
otoritas mutlak Gereja, di mana keselamatan tidak lagi menjadi monopoli umat Kristiani dengan keharusan mengeksplisitkan iman kepada Yesus Kristus.... Sejak dideldarasikan teologi inklusif ini, Gereja Kristen mengakui adanya keselamatan di luar Kristen, yang menurut teolog Katolik yang berhaluan inklusif seperti Karl Rahner disebutnya sebagai anonymous Christian. Kristen anonim ini, yakni orang-orang non-Kristiani, juga akan selamat sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Ketulusan hati dalam istilah Rahner, kurang lebih sama dengan sikap pasrah, yakni Al-Islam dalam bangunan pemikiran teologi inklusif-lslam model Cak Nur." (Hlm. iv)
Kritik:
Bacalah berulang-ulang ungkapan Sukidi itu! Secara implisit, Sukidi mengimbau agar kaum muslim juga meyakini bahwa di luar lslam juga ada kebenaran dan jalan keselamatan. Sukidi seperti ingin menunjukkan bahwa betapa sudah majunya sikap Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II tersebut karena mengakui adanya kebenaran dan jalan keselamatan di luar gereja Katolik. Jika Katolik sudah menyatakan seperti itu, apakah kaum muslim juga disuruh menyatakan hal yang sama?
Lagi pula, praktiknya, pengakuan Gereja Katolik itu tidak terjadi di lapangan, sebab Paus sendiri terus mendukung gerakan Kristenisasi di dunia Islam. Kalau mengakui ada kebenaran pada agama lain, untuk apa misionaris Kristen terus menprovoksi kaum muslim agar berpindah agama?
Dalam sebuah imbauan bertajuk "Pope Calls on Catholics to Spread Christianity," Paus John Paul II mengeluarkan fatwa gerejani agar kaum Katolik mengambil tindakan untuk menyebarkan ajaran Katolik. Ia menegaskan pentingnya melakukan kristenisasi terhadap semua bagian dunia (to evangelise in all parts of the world), termasuk negeri-negeri di mana hukun Islam melarang peipindahan agama.
Sri Paus menekankan agar negeri-negeri Islam, demikian juga negara-nagara lainnya, segera mencabut peraturan-peraturan yang melarang orang-orang Islam memeluk agama lain. Tanpa menyebut nama negara secara langsung, Sri Paus menyinggung negara-negara di kawasan Timur Tengah, Afrika, dan Asia, dimana para missionaris ditolak kehadirannya. Kepada mereka, Paus menyerukan, "Bukakanlah pintu untuk Kristus (Open the doors to Christ)!"
Di Indonesia, baik Kristen maupun Katolik, juga tetap menyebarkan Teologi Eksklusif. Di dalam buku Lima Dokumen Keesaan Gereja Persekatuan Gereja-Gereja di Indonesia (LDKG-PGI) yang
memuat keputusan Sidang Raya XII PGI di Jayapura (1994) disebutkan ikrar kaum Kristen, yang menyatakan bahwa Allah telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, dan di dalam Dia, Allah menyediakan keselamatan bagi orang-orang yang percaya (Yoh., 3:16; Kis., 16:31). Di dalam Kristus, Allah mulai mewujudkan rencana penyelamatan-Nya (Ef., 1:9-10). Penyataan Kerajaan Allah secara penuh baru akan terjadi ketika "dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada dilangit dan yang ada di bumi, dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah, Bapa" (Flp., 2:10-11).
Pada bagian Symbolum Athanasianum dalam buku itu, juga disebutkan: (1) bila seseorang ingin diselamatkan, pertama-tama haruslah ia memegang erat kepercayaan Gereja Katolik (Catholic
Church); (2) bila ia tidak dengan seluruhnya dan sebenar-benarnya memegang kepercayaan ini, pasti ia akan binasa; (3) kepercayaan Gereja Katolik ialah: bahwa kita beribadah kepada Allah yang bertubuh satu tetapi beroknum tiga dan beroknum tiga tetapi bertubuh satu; (4) oknum-Nya tidak bercampur baur dan tubuh-Nya tidak bercerai-berai.
Jadi, di mana letak "inklusivitas" Kristen yang dikampanyekan oleh Sukidi ini?
Simaklah ungkapan Sukidi, "Kristen anonim ini, yakni orang-orang non-Kristiani, juga akan selamat sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Ketulusan hati dalam istilah Rahner, kurang lebih sama dengan sikap pasrah, yakni Al-Islam dalam bangunan pemikiran teologi inklusif-Islam model Cak Nur."
Ungkapan itu dapat dipahami bahwa dalam konsepsi teologi inklusif versi Cak Nur, orang Kristen anonim yang bersikap pasrah juga akan selamat (di akhirat) sebagaimana orang muslim yang
bersikap pasrah. Bukankah ini konsep teologi keblinger yang mengacak-acak akidah Islam?
Seorang yang mengaku beragama Hindu pemah mengirim surat kepada saya. Ia bertanya, "Apakah saya juga termasuk kafir." Saya katakan, "Ya. Jika Anda mau tidak disebut kafir, ya masuk Islam." la kemudian membalas jawaban saya, "Kalau menurut konsep Nurcholish Madjid, saya sudah muslim."
Itulah salah satu dampak dari "Teologi Inklusif bahwa orang tidak perlu memeluk "Islam formal" untuk menjadi "muslim sejati." Yang penting ia "tunduk" dan "pasrah."
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» teologi pembebasan
» teologi pembebasan perempuan
» teologi pembebasan dalam ajaran katolik
» teologi inklusivisme adalah tradisi kristen
» menjawab pemahaman teologi pluralis mengenai kristen dan islam
» teologi pembebasan perempuan
» teologi pembebasan dalam ajaran katolik
» teologi inklusivisme adalah tradisi kristen
» menjawab pemahaman teologi pluralis mengenai kristen dan islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik