dari piagam jakarta hingga peradilan agama
Halaman 1 dari 1 • Share
dari piagam jakarta hingga peradilan agama
Kaum Salibis Menjegal Islam Sejarah Indonesia mencatat, kelompok Kristen dan Katolik begitu tegar jika berhadapan dengan umat Islam.
Kemayoritasan umat Islam tidak membuat mereka gentar. Sebaliknya, sikap mereka semakin ‘kencang’ jika ada konflik dengan umat Islam. Meski ada perbedaan antara paham Kristen dan Katolik, tapi mereka bersatu jika berhadapan dengan Islam.
Kaum Salibis begitu kokoh dan konsisten dalam memperjuangkan cita-cita mereka. Bahkan, mereka memakai cara-cara anarki dan tanpa toleran untuk tujuan tersebut. Catatan di bawah ini mencoba menggambarkan bagaimana ‘gigih’nya perjuangan kaum Salibis dalam mencapai tujuannya itu.
‘Pembangkangan’ kaum Kristen di masa kemerdekaan pertama kali terjadi saat penyusunan UUD 1945. Tujuh kata -yang berbunyi….” dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya” —yang telah diterima bulat pada tanggal 11 dan 16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usah Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), ditolak mereka. Dengan satu ultimatum, Indonesia Timur akan melepaskan diri jika tujuh kata tersebut masih tetap dicantumkan pada preambul UUD 1945. Setelah melobi Hatta, keesokan harinya 18 Agustus 1945, preambul UUD 1945 telah berubah. Tujuh kata tersebut tidak lagi tercantum di dalamnya.
Dalam Sidang Konstituante (1957-1959), baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam perdebatan tentang Dasar Negara, kelompok Salibis secara gigih menolak apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara.
Dalam Sidang IV MPRS 1966, kelompok Kristen dengan tegas menolak penafsiran TAP No XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan Pembukaan, sehingga merupakan bagian dari UUD dan kekuatan hukum. Menurut mereka, Piagam Jakarta hanya ditempatkan konsiderans Dekrit 5 Juli 1959 dan bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi, menurut mereka, Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.
Kelompok Kristen kembali menolak RUU Perkawinan 1976. Puncaknya, terjadi ketika sejumlah wakil-wakil Katolik yang dipelopori Da Costa dan Hary Tjan Silalahi melakukan ‘walk out’ di DPR. Di samping itu, mereka menyebarkan memorandum tanggal 1 Februari 1969 dengan judul UU Perkawinan Harus Tidak Bermotif Alasan-alasan Agama. Kemudian, Fraksi Partai Katolik dan Kristen menuduh umat Islam memilih ingin merubuhkan Republik Proklamasi 1945. Suatu tuduhan yang amat berani.
RUU Perkawinan 1973. RUU ini dinilai kalangan Islam sebagai salah satu RUU yang tidak dipersiapkan secara cermat. Karena sangat banyak pasal-pasalnya yang bertentangan dengan syariat Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk. Sikap kaum Kristen sebaliknya. Mereka justru gigih membela dan dalam tahap-tahap pembahasan di DPR, sikap mereka justru mempersulit perubahan RUU ini sehingga mengundang campur tangan Pangkobkamtib saat itu Jenderal Soemitro. Akhirnya, melalui pembahasan yang alot dan tekanan dari generasi muda Islam, RUU ini disahkan menjadi UU setelah melalui perubahan yang sangat signifikan (UU No 1 Tahun 1974). Meskipun, dalam pandangan para ahli hukum Islam UU Perkawinan ini masih memiliki kelemahan-kelemahan.
Di dalam SK Menteri Agama tanggal 1 Agustus 1978 tentang Penyiaran Agama antara lain dicantumkan: pertama, ditujukan terhadap orang dan orang-orang yang telah memeluk suatu agama lain. Kedua, dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar orang tertarik memeluk suatu agama. Ketiga, dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah atau rumah kediaman umat yang beragama lain. Keempat, dilakukan dengan cara-cara masuk ke luar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun. Surat Keputusan ini ditolak secara tegas, baik oleh pihak Katolik maupun Kristen. Kaum Salibis menilai SK ini bertentangan dengan UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
Kelompok Kristen dan Katolik pun menolak Penjelasan UU Sistem Pendidikan Nasional (UU No 2 Tahun 1989). Mereka berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat tertentu sehingga terjadi berbagai penyimpangan penafsiran terhadap UU ini. Bulan Oktober 1990, saat DPR mengadakan rapat dengan Mendikbud Fuad Hasan. Fuad menjelaskan sekolah yang berciri khas keagamaan tidak berkewajiban menyelenggarakan pendidikan agama lain, di luar ciri khas keagamaan yang dianutnya. Artinya, sekolah yang sejak semula menyatakan berciri khas agama hanya berkewajiban menyediakan pendidikan agama yang sesuai dengan ciri khas sekolah tersebut. Ini berarti ada penafsiran yang keliru dan bertentangan dengan UU Pendidikan, khususnya pasal 28 ayat 2. Sikap ini didukung kaum Salibis.
Reaksi keras kelompok Kristen juga ditunjukkan terhadap RUU Peradilan Agama. Bahkan, mereka menyatakan RUU Peradilan Agama bertentangan dengan GBHN, TAP MPR dan Pancasila. Mereka menuding RUU Peradilan Agama adalah tahap menuju negara Islam dan menghubung-hubungkannya dengan DI-TII.
Di era Reformasi, persoalan serupa kembali terjadi. Saat FPP dan FPBB akan memasukkan Piagam Jakarta dalam Preambul UUD 1945 dan amandemen pasal 29 UUD 1945, kelompok Kristen menolaknya. Orang-orang Kristen di PDIP cenderung tetap mempertahankan Pembukaan UUD dan pasal 29 seperti semula.
Kemayoritasan umat Islam tidak membuat mereka gentar. Sebaliknya, sikap mereka semakin ‘kencang’ jika ada konflik dengan umat Islam. Meski ada perbedaan antara paham Kristen dan Katolik, tapi mereka bersatu jika berhadapan dengan Islam.
Kaum Salibis begitu kokoh dan konsisten dalam memperjuangkan cita-cita mereka. Bahkan, mereka memakai cara-cara anarki dan tanpa toleran untuk tujuan tersebut. Catatan di bawah ini mencoba menggambarkan bagaimana ‘gigih’nya perjuangan kaum Salibis dalam mencapai tujuannya itu.
‘Pembangkangan’ kaum Kristen di masa kemerdekaan pertama kali terjadi saat penyusunan UUD 1945. Tujuh kata -yang berbunyi….” dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya” —yang telah diterima bulat pada tanggal 11 dan 16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usah Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), ditolak mereka. Dengan satu ultimatum, Indonesia Timur akan melepaskan diri jika tujuh kata tersebut masih tetap dicantumkan pada preambul UUD 1945. Setelah melobi Hatta, keesokan harinya 18 Agustus 1945, preambul UUD 1945 telah berubah. Tujuh kata tersebut tidak lagi tercantum di dalamnya.
Dalam Sidang Konstituante (1957-1959), baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam perdebatan tentang Dasar Negara, kelompok Salibis secara gigih menolak apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara.
Dalam Sidang IV MPRS 1966, kelompok Kristen dengan tegas menolak penafsiran TAP No XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan Pembukaan, sehingga merupakan bagian dari UUD dan kekuatan hukum. Menurut mereka, Piagam Jakarta hanya ditempatkan konsiderans Dekrit 5 Juli 1959 dan bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi, menurut mereka, Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.
Kelompok Kristen kembali menolak RUU Perkawinan 1976. Puncaknya, terjadi ketika sejumlah wakil-wakil Katolik yang dipelopori Da Costa dan Hary Tjan Silalahi melakukan ‘walk out’ di DPR. Di samping itu, mereka menyebarkan memorandum tanggal 1 Februari 1969 dengan judul UU Perkawinan Harus Tidak Bermotif Alasan-alasan Agama. Kemudian, Fraksi Partai Katolik dan Kristen menuduh umat Islam memilih ingin merubuhkan Republik Proklamasi 1945. Suatu tuduhan yang amat berani.
RUU Perkawinan 1973. RUU ini dinilai kalangan Islam sebagai salah satu RUU yang tidak dipersiapkan secara cermat. Karena sangat banyak pasal-pasalnya yang bertentangan dengan syariat Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk. Sikap kaum Kristen sebaliknya. Mereka justru gigih membela dan dalam tahap-tahap pembahasan di DPR, sikap mereka justru mempersulit perubahan RUU ini sehingga mengundang campur tangan Pangkobkamtib saat itu Jenderal Soemitro. Akhirnya, melalui pembahasan yang alot dan tekanan dari generasi muda Islam, RUU ini disahkan menjadi UU setelah melalui perubahan yang sangat signifikan (UU No 1 Tahun 1974). Meskipun, dalam pandangan para ahli hukum Islam UU Perkawinan ini masih memiliki kelemahan-kelemahan.
Di dalam SK Menteri Agama tanggal 1 Agustus 1978 tentang Penyiaran Agama antara lain dicantumkan: pertama, ditujukan terhadap orang dan orang-orang yang telah memeluk suatu agama lain. Kedua, dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar orang tertarik memeluk suatu agama. Ketiga, dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya di daerah-daerah atau rumah kediaman umat yang beragama lain. Keempat, dilakukan dengan cara-cara masuk ke luar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun. Surat Keputusan ini ditolak secara tegas, baik oleh pihak Katolik maupun Kristen. Kaum Salibis menilai SK ini bertentangan dengan UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
Kelompok Kristen dan Katolik pun menolak Penjelasan UU Sistem Pendidikan Nasional (UU No 2 Tahun 1989). Mereka berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat tertentu sehingga terjadi berbagai penyimpangan penafsiran terhadap UU ini. Bulan Oktober 1990, saat DPR mengadakan rapat dengan Mendikbud Fuad Hasan. Fuad menjelaskan sekolah yang berciri khas keagamaan tidak berkewajiban menyelenggarakan pendidikan agama lain, di luar ciri khas keagamaan yang dianutnya. Artinya, sekolah yang sejak semula menyatakan berciri khas agama hanya berkewajiban menyediakan pendidikan agama yang sesuai dengan ciri khas sekolah tersebut. Ini berarti ada penafsiran yang keliru dan bertentangan dengan UU Pendidikan, khususnya pasal 28 ayat 2. Sikap ini didukung kaum Salibis.
Reaksi keras kelompok Kristen juga ditunjukkan terhadap RUU Peradilan Agama. Bahkan, mereka menyatakan RUU Peradilan Agama bertentangan dengan GBHN, TAP MPR dan Pancasila. Mereka menuding RUU Peradilan Agama adalah tahap menuju negara Islam dan menghubung-hubungkannya dengan DI-TII.
Di era Reformasi, persoalan serupa kembali terjadi. Saat FPP dan FPBB akan memasukkan Piagam Jakarta dalam Preambul UUD 1945 dan amandemen pasal 29 UUD 1945, kelompok Kristen menolaknya. Orang-orang Kristen di PDIP cenderung tetap mempertahankan Pembukaan UUD dan pasal 29 seperti semula.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» kasus penolakan piagam jakarta
» pihak kristen menolak piagam jakarta?
» benarkah kristen adalah agama filsafat dan bukan agama yang diwahyukan langsung dari Tuhan?
» Dari GNPF MUI hingga Syiria
» Pemulung untuk biaya sekolah dari SD hingga menjelang Wisuda
» pihak kristen menolak piagam jakarta?
» benarkah kristen adalah agama filsafat dan bukan agama yang diwahyukan langsung dari Tuhan?
» Dari GNPF MUI hingga Syiria
» Pemulung untuk biaya sekolah dari SD hingga menjelang Wisuda
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik