FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

kasus penolakan piagam jakarta Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

kasus penolakan piagam jakarta Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

kasus penolakan piagam jakarta

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

kasus penolakan piagam jakarta Empty kasus penolakan piagam jakarta

Post by keroncong Fri Dec 23, 2011 2:42 pm

elaksanaan
syari’at dalam kaitannya
dengan pemerintahan memiliki
tiga bentuk spesifikasi yang
mesti diterapkan secara
proporsional, tidak boleh sasar-susur atau tumpang tindih.


1. Syari’at
dilaksanakan oleh individu-individu. Contohnya
shalat, haji dsb. Masing-masing individu boleh shalat di
mana saja yang
ia ingini, memakai sarana apa yang ia maui, dan
mau bareng sama siapa untuk
sampai ke tempat tujuan Terserah. Sedang
pemerintah tugasnya hanyalah
memeberi jaminan keamanan
dan kelancaran terselenggaranya.
Maka pengharusan pemerintah
terhadap ummat Islam untuk memberlakukan
aturan yang disepakati oleh DPR bahwa berhaji itu hanya lewat jalur
yang diselenggarakan pemerintah (dengan
paspor cokelat, tidak boleh
pakai paspor hijau
dan harus mendaftar kepada
pemerintah0, itu satu bentuk yang
dipaksakan. Sebagaimana orang mau
ke masjid diharuskan
mendaftar ke pemerintah dan harus naik kendaraan yang disediakan oleh biro perjalanan
pemerintah, atau kalau mau naik
kendaraan biro perjalanan lain pun harus mendaftar dulu ke pemerintah, itu
pemaksaan.


2..
Diselenggarakan oleh
pemerintah dan masyaraka.
Contohnya pendidikan agama.
Nabi Muhammad SAW
mengutus guru-guru ke berbagai
daerah, baik atas inisiatif Nabi SAW
selaku kepala pemerintahan
maupun atas permintaan
penduduk. Pemerintah
Indonesia telah menyelenggarakan
pendidikan agama itu, demikian pula masyarakat. Hanya saja di samping sangat
minim, masih pula diadakan pemberedelan-pemberedelan. Di
antaranya pemerintah telah menghapus
PGA (Pendidikan Guru Agama),
padahaì guru agama itu
mutlak diperlukan. Dan pemerintah
tidak memberi ganti terhadap
guru-guru agama di
madrasah-madrasah swasta yang telah
pensiun, padahal masyarakat sangat memerlukannya. Penghapusan
PGA dan peniadaan guru agama (untuk menggantikan yang telah
penisun) di madrasah,
bahkan tidak memberikan subsidi guru
kepadá madrasah swasta
itu satu bentuk kebijakan pemerintah
yang mengabaikan kewajiban secara
nyata.


Jadi,
kebijakan pemeritahah Indonesia
yang diamini oleh lemabaga
wakil rakyat ini telah melaksanakan
kedhaliman yang nyata
yaitu yang seharusnya
tidak diurus secara
spesifik (seperti
penyelenggaraan haji—poin[H1] 1--
justru pemerintah memaksakan diri
mengurusnya secara spesifik.
Sedang yang seharusnya diurusi
secara spesifik, seperti pendidikan agama, poin
2, justru diabaikan, bahkan
diadakan pemberedelan. Ini
satu bentuk kedhaliman yang sangat nyata, diamini oleh
DPR wakiì rakyat. Yang ada duitnya, walaupun seharusnya
tidak diurusi secara spesifik justru
sangat diurusi, sedang yang
tidak mendatangkan duit, walaupun itu kewajiban dan tanggung
jawabnya, maka dibuang. Ini pemerintahan
dan persetujuan wakiì
rakyat yang sangat
memalukan dan tak bertanggung jawab, ibarat tak punya muka.


3.‚ Penyelenggaraan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah saja,
dan tidak boleh dilaksanakan oleh
masyarakat, apalagi individu- individu. Contohnya,
pengadilan agama/ syari’ah. Ini
menjadi kewajiban dan tanggung
jawab pemerintah. Maka masyarakat, apalagi individu-individu tidak boleh
menghakimi sendiri-sendiri mengenai
kasus-kasus “keluarga, perdata, dan
apalagi pidana. Karena, kalau dilaksanakan oleh masyarakat
sendiri atau apalagi individu- individu
maká tentu saja kacau balau, dan itu
tidak dibolehkan menurut syari’at. Maká mau atau tidak mau,
semestinya pemerintah menyelenggarakan peradilan syari’ah/ agamá
untuk menangani kasus- kasus “keluarga,
perdata (qodho’i), dan pidana (jina’i);
sesuai dengan hukum syari’at.


Selama
ini pemerintah telah
menyelenggarakan peradilan syari’ah/ agama, dan sejak menjelang 1990-an
sudah disahkan oleh DPR.
Hanya saja, pemerintah
dan DPR itu
hanyalah mengakui sebagian (yakni
hukum keluarga: nikah¬ talak¬
rujuk¬ hibah¬ sedekah¬
waris¬ dan wakaf)¬ dan mengingkari sebagian yang besar
yakni hukum pidana dan perdata syari’ah.


Ini satu bentuk ketidak bertanggung jawaban yang
sangat nyata oleh
pemerintah yang disetujui pula oleh wakil
rakyat¬ dalam mengebiri hak ummat Islam.


Ketigá-tigá
bentuk penyelenggaraan (poinî
1,2¬ dan
3) itu telah sedemikian
rupa diputar balikkannya oleh
pemerintah dan disetujui
lembaga wakil rakyat¬ sehinggá tampak
nyata sekali pengebiriannya terhadap
hak ummat Islam. Yang seharusnya
tak diurusi, justru
diurusi karena ada duitnya¬ dan
yanç seharusnyá diurusi
malah dibredel¬ lantas
yanç seharusnyá dilaksanakan secará keseluruhan
justru hanyá diambil sebagian
kecil¬ dan dibuanç sebagian yanç
besar.


Sekarang¬ di masá reformasi yanç merupakan masá
menuju ke arah supermasi hukum¬ maká wajib bagi wakiì rakyat (DPR dan
MPR) mengoreksi
kesalahan-kesalahannyá bersamá pemerintah yanç telah memutar
balikkan hukum itu¬ menuju kepadá pemberian hak
secará proporsional. Oleh
karená itu¬ dalam
rangká menuju kepadá pemulihan hak-hak ummat Islam
ini perlu sekali dimasukkan Piagam Jakartá yanç berisi 7 katá (Ketuhanan) dengan menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya
ke dalam UUD 1945 (pasaì 29)¬ agar
adá jaminan kongkret dari konstitusi terhadap hak-hak ummat Islam yanç selamá
ini telah disiá-siakan.


Secará
hukum¬ siapapun dan
berjumlah seberapapun banyaknyá
tidak berhak menolak oranç yanç
menuntut haknya. Apalagi dalam hal
ini adalah hak ummat Islam yakni mayoritas
dari seluruh penduduk Indonesia. Sedanç hak seseoranç pun
tidak bisá ditolak begitu sajá oleh pemerintah
dan wakil rakyat¬ apalagi
ini menyangkut hak
mayoritas penduduk.


Jadi¬ tuntutan dimasukkannyá Piagam Jakartá ke dalam
UUD 1945
adalah tuntutan pengembalian hak Ummat Islam untuk
dilindungi secará kongkret haknya yang paling asasi¬ setelah selamá ini
terbukti disiá-siakan hak itu lantaran
tidak adanyá jaminan kongkret dalam
konstitusi. Oleh karená
itu¬ tuntutan ini tidak
adá yanç berhak
untuk menolaknya¬ kecuali kalau memanç pemerintahan dan
lembagá wakil rakyat itu adalah merupakan kumpulan
pemerkosá hak ummat Islam. Dan itu berarti adalah pemerintahan dan lembagá
wakiì rakyat yanç memfungsikan diri
sebagai perampok hak
ummat Islam dan memusuhinya. Ini
sangat bertentangan dengan apá yanç didengungkan dengan ucapan “menjunjunç
supermasi hukum” di erá reformasi ini.


Tokoh yang sering membingungkan




Kenapa di negeri mayoritas Islam kok
sulit sekali mempertahankan hak ummat Islam, dan sulit pula memasukkan aspirasi
Islam? Pertanyaan itu akan banyak jawabannya, namun di antaranya adalah karena
ada tokoh-tokoh yang mengaku dirinya Muslim namun belum tentu membela Islam.
Bahkan ucapan-ucapan mereka sering membingungkan ummat. Di antara gejalanya
sebagai berikut.


1. Abdurrahman
Wahid, Presiden Indonesia: Menyuruh Ummat Islam untuk merayakan Natal Kristen. Ayat
Lakum Diinukum Waliyadien
ditafsirkan sebagai suruhan Tuhan untuk beragam
agama, padahal sebenarnya ayat itu justru menegaskan agar ummat Islam berlepas
diri dan membenci penyembahan kepada selain Allah SWT . Gus Dur juga menganggap
bahaya apabila syari’at Islam diformalkan, padahal Konghuchu yang tadinya tidak
diakui sebagai agama saja Gus Dur sangat prihatin, dan kemudian setelah dia
jadi presiden buru-buru memformalkannya sebagai agama secara resmi.


2. Masdar F
Mas’udi, Generasi NU (Nahdlatul Ulama), ia berpendapat, hendaknya pelaksanaan
ibadah haji tidak hanya pada
tanggal-tanggal yang sudah ditentukan seperti selama ini. Alasannya,
agar tidak terjadi desak-desakan antar
jama’ah.. Masdar menganggap zakat sama dengan pajak. Ia juga menganggap bahaya
apabila syari’at Islam diformalkan, dengan melontarkan tuduhan, kalau Islam
dilegalkan maka akan mengakibatkan
hipokrit/ munafiq. Ini sama dengan menuduh Nabi Muhammad SAW telah salah
memimpin ummat dengan hukum syari’ah Islam, karena dianggap sebagai menimbulkan
kemunafikan. Na’udzubillah.


3. Hasyim
Muzadi ketua umum PBNU. Ia pemrakarsa do’a bersama antar agama yakni Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran kepercayaan, di Senayan Jakarta, Agustus
2000M. Acara itu dinamai “Indonesia Berdo’a”. Padahal, dalam Islam, berdo’a
bersama antar Islam dan non Islam itu hanya diperkenankan apabila mubahalah, yaitu do’a saling melaknat,
supaya siapa yang berdusta dilaknat oleh Allah SWT. Tantangan mubahalah itu
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada pihak Nasrani Najran, namun mereka
tidak berani. Itulah do’a (saling
melaknat) bersama antara agama, yang dibolehkan dalam Islam. Bukan do’a
bersama-sama antara berbagai agama seperti yang diprakarsai oleh Hasyim Muzadi
itu. Dan tidak ada pula dalam Islam, do’a ramai-ramai ke lapangan seperti yang
mereka sebut Istighotsah.


Hasyim Muzadi juga menolak dimasukkannya tujuh kata
dalam Piagam Jakarta ke pasal 29 UUD 45.


“Saya tidak setuju dengan usulan (pencantuman
Piagam. Jakarta dalam UUD1945) itu.Kita tidak memerlukan formalisasi agama.
Campur tangan negara dalam pelaksanaan syari’at agama tertentu justru akan
menimbulkan bahaya terhadap otonomi tersebut,”
ujar Hasyim Muzadi dalam menolak usulan FPPP (Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan) dan FPBB (Fraksi Partai Bulan Bintang) yang menginginkan 7 kata
dalam Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam
UUD 1945. (lihat Harian Republika, Jum’at 11 Agustus 2000M, halaman 2).


4. Syafi’i
Ma’arif ketua Muhammadiyah, menolak dimasukkannya Piagam Jakarta ke UUD 1945.
Bahkan dalam wawancara dengan RCTI, Senin 7 Agustus 2000M, Syafi’i mengatakan
suatu perkataan yang tidak mengenakkan
mengenai syari’at Islam. Syafi’i Ma’arif juga termasuk sejumlah orang yang ingin agar Muhammadiyah
tidak berasaskan Islam, dengan keinginan tanpa mencantumkan asas. Dia juga yang
pernah mempopulerkan (namun kemudian tidak populer) apa yang ia sebut Islam
Qur’an.


5. Nurcholish
Madjid, murid Fazlurrahman guru besar di Chicago Amerika yang konon diusir oleh
para ulama Pakistan karena pendapat-pendapatnya yang aneh, kemudian justru jadi
guru besar di Amerika. Nurcholish Madjid begitu pulang dari Chicago dengan
gelar doktor 1984/1985, dia menulis makalah, di antara isinya berupa terjemahan Laailaaha illallah menjadi
“tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Terjemahan yang mengaburkan
makna ini menjadikan geger di masyarakat.Dia dikenal sebagai pencetus
sekulerisasi di Indonesia sejak 1970-an, dengan apa yang ia istilahkan
desakralisasi. Makanya ketika penolakan dimasukkannya Piagam Jakarta ke UUD
1945, Nurcholish termasuk salah satu tokoh dari 3 tokoh ( Hasyim Muzadi dan
Syafi’i Ma’arif) yang menyetujui isi penolakan. Dia walaupun tidak sempat
hadir, namun sebelumnya sudah menyetujui siaran pers yang berisi penolakan
dimasukkannya Piagam Jakarta ke UUD 1945. Siaran pers itu dibaca dalam
konferensi pers di hotel mewah, Hotel Indonesia di Jakarta, Kamis 10/8 2000M,
yang acaranya dihantarkan oleh Ulil Abshar Abdalla orang NU, dengan diawaki
oleh Masdar F Mas’udi dan Hasyim Muzadi dari NU pula.


Inti
penolakan mereka sebagai berikut:
“Usulan
sebagian fraksi dalam MPR untuk mencantumkan kembali tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta
mengandung potensi bahaya campur tangan
negara dalam wilayah kehidupan agama. Campurtangan semacam ini akan menimbulkan
sejumlah distorsi atas pelaksanaan agama itu sendiri, dan politisasi agama
untuk tujuan-tujuan sesaat partai yang sedang (atau ingin) berkuasa ,” demikian
pernyataan yang dibacakan Masdar F Mas’udi.


Menurut mereka, pencantuman piagam ini akan membuka
kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan
kemudharatan baik bagi agama itu sendiri maupun pada negara sebagai wilayah
publik.


“Pelaksanaan syari’at yang
diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi, karena ketaatan pada
syari’at yang disebabkan oleh paksaan negara hanyalah merupakan ketaatan yang
semu belaka. Agama pada intinya harus menjadi wilayah yang otonom dari negara,”
kata Masdar. (Lihat Republika, 11/ 8
2000).


Menyebar fitnah dan tuduhan
terhadap Islam



Ungkapan para tokoh tersebut sama dengan
menyebarkan tuduhan dan fitnah terhadap Islam, terhadap pemerintahan Nabi
Muhammad SAW, para khalifah, serta pemerintahan masa kini dan yang akan datang
yang melaksanakan syari’at. Demikian siaran pers LPPI (Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam) yang ditanda tangani ketuanya, HM Amien Djamaluddin. Oleh
karena itu para tokoh tersebut diperingatkan untuk bertaubat dan mencabut
pernyataannya yang menyebarkan fitnah dan tuduhan terhadap Islam itu.


Lontaran yang menurut LPPI
menyebarkan fitnah dan tuduhan terhadap Islam ini mengandung arti bahwa Masdar
dan konco-konconya itu lebih rela kalau masyarakat itu melacur, bermaksiat,
menentang aturan Allah bahkan ingin sekali menghapus aturan Allah lewat
kekuasaan dan sebagainya seperti yang selama ini dilakukan, sambil menekan
bahkan membantai aktivis Islam, ketimbang kalau ada upaya penguasa untuk menata
masyarakat sesuai dengan aturan Allah SWT. Dengan kata lain, pemikiran Masdar
cs itu lebih membela orang-orang hipokrit munafik agar berkeliaran dan
bertindak seluas-luasnya tanpa ketahuan ummat dan penguasa, dan kalau perlu
justru jadi penguasa untuk mengatakan bahwa syari’at Islam itu berbahaya kalau
diformalkan. Karena memang syari’at itu membahayakan posisi para munafiqun,
hingga mereka khawatir tak dibolehkan memegang kekuasaan, karena yang berkuasa
itu harus bertaqwa, bukan munafiq. Otomatis kalau syari’at Islam ditegakkan, maka kaum munafiqun terutama
tokoh-tokohnya akan blingsatan, dan harus bekerja keras untuk menutupi
kemunafikannya, tidak sebebas kalau tidak diterapkan syari’at, bisa ngomong apa
saja, sampai membunuhi aktivis Islam pun justru mungkin malah jadi pahlawan.
Itulah tujuan sebenarnya. Dan kalau syari’at Islam ditegakkan, tentu saja akan
membatasi gerak-gerak agen-agen musuh syari’at yang selama ini bisa mendapatkan
modal atau setidak-tidaknya sangu dari boss mereka dalam mengacak-acak syari’at
maupun ummat.


Pemikiran yang menolak
diterapkannya syari’at—padahal hanya untuk dijalankan oleh ummat Islam sendiri— itu sebenarnya justru yang amat
sangat berbahaya. Karena, pada hakekatnya ujung-ujungnya adalah menolak kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa
syari’at. Karena, datangnya Nabi Muhammad SAW itu berarti mereka anggap akan
menimbulkan kemunafikan. Nah, dengan dalih akan timbulnya kemunafikan, padahal
agama itu sendiri menghendaki tidak adanya kemunafikan, maka berarti mereka menolak
diutusnya Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa syari’at. Itulah sebenar-benarnya
pemikiran mereka yang menolak syari’at Islam diterapkan di masyarakat.


Dengan bahasa yang
dicanggih-canggihkan, mereka berdalih, kalau agama diformalkan, maka jadinya
negara atau pemerintah ikut campur dalam urusan agama, lantas akan terjadi
politisasi agama, dan itu berbahaya bagi agama. Kelihatannya mereka canggih
sekali dalam memutar-mutar lidah. Namun, intinya sama juga dengan kaum kafir
kuno yang menolak kehadiran Nabi Muhammad SAW selaku pembawa syari’at Islam.
Hanya saja, kalau dulu, syari’at Islam itu dianggap mengancam syari’at berhala
jahiliyah, sedang sekarang dianggap mengancam aneka kepentingan, entah itu
kepentingan bebasnya bermunafik ria, bebasnya berkafir ria, maupun bebasnya
mengabdi kepada thaghut-thaghut bikinan mereka dan nenek moyang mereka yang
anti Islam. Sehingga, kepentingan mereka dalam membantai ummat Islam, menipu
ummat Islam, mencari sponsor kepada musuh-musuh Islam, dan kepentingan
menegakkan thaghut-thaghut akan terganjal oleh tujuh kata yang menegaskan
pentingnya syari’at Islam dijalankan oleh pemeluk-pemeluk Islam.


Mereka menganggap polisi
syari’at itu sesuatu yang tabu. Padahal, mereka justru siap sampai titik darah
yang penghabisan dalam membela sosok nyleneh penentang utama diterapkannya
syari’at Islam. Jadi, bagi mereka, membela sampai titik darah penghabisan
(bukan sekadar jadi polisi) terhadap penentang utama syari’at itu dianggap
sebagai perjuangan. Namun , akan adanya polisi syari’at itu dianggap sesuatu
yang tabu. Padahal, amar ma’ruf nahi munkar masih kadang keluar dari mulut
mereka, lafal itu. Tetapi, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, yang di
antaranya perlu polisi syari’at, agar lebih efektif, dan diberlakukannya
pengadilan secara syar’i agar sesuai dengan hukum Allah, mereka anggap
berbahaya.


Sebenarnya, kembali lagi,
yang berbahaya itu adalah pikiran mereka. Pikiran yang sangat anti syari’at.
Padahal, mereka kalau mau menengok sebentar ke kehidupan nyata, yang namanya
WC-WC umum saja ada penjaganya. Agar mereka tidak sembarangan dalam menggunakan
itu WC. Kalau yang namanya WC umum saja
ada penjaganya, ada pengaturnya, kenapa syari’at Islam yang merupakan hukum murni dari Sang Maha Pencipta tidak
boleh dilaksanakan secara teratur, dimenej secara kepemimpinan yang
profesional?


Yang namanya memungut dan
membagikan zakat serta menunggui harta zakat, jelas-jelas Nabi Muhammad SAW
menugaskan petugas khusus. Untuk memimpin barisan perang pun Nabi SAW
mengangkat panglima. Untuk mengawasi pasar agar tidak ada kecurangan dan
tingkah yang melanggar syari’at, maka Umar bin Al-Khatthab menugaskan petugas
khusus. Untuk menghakimi secara hukum Syari’at Islam, Nabi Muhammad SAW pun
bertindak sebagai hakim, sedang Umar bin Al-Khatthab pun mengangkat hakim,
serta memisahkan kehakiman dari lembaga eksekutif. Lembaga eksekutif maupun
Yudikatif, dan legislatif (ahlul halli wal ‘aqdi) semuanya dilaksanakan dengan
syari’at Islam, dan sama sekali tidak berbahaya di zaman Nabi Muhammad SAW
maupun para khalifah, dan sampai sekarang maupun nanti.


Formalisasi Thaghut yang berbahaya


Belum pernah terdengar ungkapan bahwa pemerintahan
Nabi Muhammad SAW dan penggantinya, para khalifah, yang menerapkan syari’at
Islam, baik untuk Muslimin maupun untuk non Muslim (kafir dzimmi) itu
berbahaya. Jangan dianggap Islam memaksa non Muslim untuk memeluk Islam. Dalam
Islam, orang non Muslim ada hak-hak dan kewajiban yang berkaitan antara jaminan
pemerintahan yang menerapkan syari’at Islam dengan diri para warga non Muslim,
tanpa didhalimi sama sekali. Maka diterapkannya syari’at Islam oleh negara sama
sekali sangat bermanfaat dan bermaslahat bagi orang yang akalnya bisa memikir
secara obyektif, bukan berbahaya seperti ungkapan orang-orang yang asal omong
tanpa bukti. Justru yang berbahaya itu adalah pemerintahan yang tidak
menerapkan syari’ah Islam, baik itu bahaya terhadap ummat Islam maupun terhadap
lainnya. Misalnya, bisa kita ajukan pertanyaan kepada bangsa kita sendiri: Atas
nama aturan thaghut, sudah berapa ribu manusia Indonesia yang dibantai. Atas
nama aturan thaghut pula sudah berapa ribu manusia muslim maupun non muslim
yang dipenjarakan. Atas nama aturan thaghut, sudah berapa ribu manusia muslim
yang berubah aqidahnya menjadi sekuler, bahkan anti Islam, memusuhi Islam,
sengit dan benci terhadap Islam, muak terhadap Islam, omong seenaknya mengenai
Islam, dan meminggirkan ummat Islam berpuluh-puluh tahun. Atas nama aturan
thaghut, berapa ribu manusia muslim yang murtad, dan berapa puluh juta manusia
yang tidak tahu tentang agamanya, Islam, bahkan tidak tahu bahwa Allah SWT itu
tempatnya di atas langit, bersemayam di atas ‘Arsy, lalu diajarkan bahwa Allah
itu ada di mana-mana. Atas nama aturan thaghut berapa ribu atau bahkan berapa
juta manusia yang lebih mementingkan aturan thaghut daripada Allah SWT, apalagi
hanya terhadap agama Islam. Atas nama aturan thaghut, berapa juta manusia
yang lebih mementingkan aturan thaghut
daripada syahadatain, hamdalah, shalawat atas Nabi Muhammad SAW. Terbukti,
dalam pidato-pidato bahkan kadang khutbah Jum’at, mereka fasih sekali
mengucapkan aturan thaghut, namun belum tentu memuji Allah dengan hamdalah,
bershalawat Nabi, ataupun mengucapkan syahadatain. Atas nama aturan thaghut,
berapa juta manusia yang menjadi keblangsak, miskin dan melarat. Dan atas nama
itu pula, berapa juta manusia yang menjadi sangat rakus melebihi binatang buas,
dan bahkan kebejatan moral yang luar biasa, serta kekerasan dan kesadisan yang
tidak takut api neraka. Itu semua bisa ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan
lain yang lebih banyak lagi.


Coba mari kita belajar jujur kepada keadaan.
Itukah yang tidak berbahaya, sedang
syari’at Islam yang dianggap bahaya? Alhamdulillah, aturan thaghut yang
diagung-agungkan, bahkan waktu lalu ketika negeri-negeri lain mengalami
konflik, lalu orang tak segan-segan mengatakan, ingin mengekspor aturan thaghut
kepada negeri yang konflik itu, lantas alhamdulillah ditunjukkan oleh Allah SWT
berkat aturan thaghut maka negeri ini penuh dengan konflik, krisis dan
kemerosotan moral yang luar biasa. Silakan aturan thaghut --yang ditatarkan
secara merata kepada guru besar, mahasiswa, pelajar, sampai rakyat biasa-- itu
sekarang diekspor, agar utang pemerintah yang sudah sangat menjerat leher
rakyat ini bisa terbayar sedikit-sedikt dengan hasil ekspor aturan
thaghutnya. Silakan. Terus terang saya rela mati untuk membela
syari’at Islam, apalagi mereka anggap syari’at Islam itu berbahaya kalau
diformalkan. Saya anggap yang berbahaya itu justru sebaliknya, yaitu yang menolak syari’at
Islam, dengan aneka bukti ini tadi. Dan syari’at Islam belum terbukti bahayanya, baik dalam sejarah
maupun dalam kenyataan. Silakan para pejuang penentang syari’at, kalau mati
nanti berbekal perjuangannya itu, menghadapi siksa Allah yang amat pedih. Dan
silahkan pula yang memperjuangkan syari’at Islam, ketika mati nanti akan
mendapatkan pahalanya dari Allah SWT, insya Allah. Biarlah pencetus dan
penggali api penentang syari’at Islam menyediakan neraka bagi pembela-pembela
api itu. Sedang Allah SWT tetap akan menyediakan surga bagi pengamal dan
pembela Syari’atNya. Silakan para pembenci syari’at Islam mengatakan bahwa
syari’at Islam itu berbahaya, memecah belah keutuhan bangsa, silakan. Itu
berarti menuduh pembuat syari’at, yaitu Allah SWT sebagai Dzat yang berbahaya,
dan memecah belah bangsa. Betapa beraninya mulut-mulut mereka itu, padahal
mereka mengaku sebagai hamba Allah,
namun sebenarnya adalah penentang Allah yang sangat dahsyat lagi
terang-terangan. Anehnya, mereka berani mengaku sebagai Muslim, bahkan ada yang
memimpin organisasi Islam.


Takut kalau bangsa ini pecah?


Mereka takut kalau bangsa ini pecah, itu hanyalah
alasan yang mereka bikin-bikin dalam rangka menentang syari’at Islam.
Sebenarnya, mereka hanya takut kalau Islam itu tegak, maju, berkuasa, adil,
menegakkan hukum dengan baik. Karena mereka yang tadinya korupsi maka akan
kehilangan lahan, yang biasanya berzina akan terkontrol hukum, yang biasanya
bebas bermunafik ria akan terkena intaian kewaspadaan dari masyarakat, yang
tadinya sesukanya mengacak-acak syari’at
sambil minta sponsoran dari musuh syari’at akan kehilangan lahan, dan
mereka yang membodohi ummat dengan hal-hal yang bertentangan dengan syari’at
seperti bid’ah, khurofat, kemusyrikan, sekulerisme, komunisme, nasionalisme
anti Islam dsb akan tak punya kesempatan lagi.


Mereka sangat rela apabila muslimin ini dijejali
ajaran thaghut hingga keislamannya tidak jelas, dan akhlaqnya rusak. Mereka
rela sekali. Tetapi kalau akhlaq masyarakat itu terjamin secara Islami,
kemaksiatan diberantas, itu mereka tidak rela. Ibarat siluman, pohon tempat
mereka berlindung tahu-tahu ditebang,
maka mereka tak rela. Pohon pelindung itu adalah penghalang syari’at, kalau
syari’atnya ditegakkan, otomatis pohon itu jatuh. Itulah yang mereka tidak
rela.


Mereka mengingkari kenyataan sejarah, direkatnya
bangsa Indonesia ini bukannya oleh api penentangan syari’at, tetapi oleh Islam.
Bangsa Indonesia ini sejak dulu menyebut penjajah Belanda itu adalah Belanda
kafir. Bukan Belanda anti pancasila. Sedang perjuangan melawan penjajah Belanda
itu sama sekali bukan perjuangan untuk menegakkan aturan thaghut, tetapi adalah
untuk mengusir penjajah kafir, dengan kalimah takbir, Allahu Akbar, memerangi
penjajah Belanda yang kafir. Belanda kafir itu telah banyak memberikan subsidi
terhadap pribumi yang sesama kafir pula, yaitu Protestan dan Katolik. Sebagai
contoh, tahun 1927 alokasi bantuan dalam rangka pengembangan agama, sebagai
berikut:


Protestan
memperoleh f 31.000.000


Katolik
memperoleh f 10.080.000


Islam
memperoleh f 80.000



(H Hartono Ahmad Jaiz, Ambon Bersimbah Darah,
Ekspresi Ketakutan Ekstrimis Nasrani, Dea Press Jakarta, halaman 10). Sekarang pun, banyak orang Non Muslim yang justru pro Belanda. Maka bisa
dipertanyakan, siapakah sebenarnya yang benar-benar berjuang melawan Belanda
kafir itu. Lantas, kenapa para pejuang Muslim yang melawan Belanda kafir itu
setelah terwujud kemerdekaan justru dikebiri hak-haknya, dan harus membuang
haknya demi pihak-pihak yang bisa dimungkinkan justru pro penjajah
Belanda?


Jadi, sama sekali tidak benar, kalau syari’at Islam
itu pemecah belah bangsa Indonesia. Yang jelas , Iislam adalah perekat dan
pembangkit semangat dalam melawan dan mengusir penjajah kafir Belanda. Maka
perlu dipertanyakan, siapa yang berani menjamin bahwa aturan thaghut itu
pemersatu bangsa Indonesia, dan menjamin tidak adanya konflik. Justru pengikat
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang melawan penjajah kafir adalah Islam.
Meskipun demikian, Islam tidak memaksa semua bangsa Indonesia harus masuk
Islam. Hanya saja anehnya, sikap ummat
Islam yang begitu tawadhu’ namun tegar menghadapi penjajah kafir itu, sejak
kemerdekaan 1945 dikebiri oleh orang-orang yang menolak Islam, walau mereka
mengaku dirinya sebagai orang Islam. Lebih-lebih lagi setelah pengebirian itu
meningkat menjadi penipuan dan penindasan terhadap ummat Islam, bahkan
pembantaian terhadap Muslimin yang berlangsung lebih dari setengah abad,
maka kondisinya makin terpuruk lah
bangsa ini, di samping itu, makin banyak lagi orang-orang yang justru
ikut-ikutan sebagai penentang Islam, padahal mereka masih mengaku Muslim.


Yang jadi persoalan, kenapa yang sikapnya seperti
itu justru orang-orang yang mengaku Islam dan bahkan duduk di barisan depan.
Ini persoalan besar, yang harus dipecahkan dengan cara-cara yang Islami. Arti Islami bukan mesti lunak dan
lemah lembut, namun sesuai dengan proporsinya. Apa yang harus dibunuh, misalnya
ular, tikus, gagak, kalajengking, dan anjing gila itu harus dibunuh, walaupun
di tanah Haram Makkah, dan kita dalam keadaan ihram sekalipun. Membunuh yang seharusnya dibunuh
itulah Islami. Sedang membiarkan hidup yang seharusnya dibunuh itu tidak
Islami.


Saran
Rasulullah SAW



Ada hadits yang
perlu kita cermati sebagai peringatakan bagi kita. Nabi Muhammad SAW
bersabda:


سيخرج
في آخر الزمان قوم أحداث الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية، يقرءون
القرآن لا يجاوز حناجرهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية ، فإذا
لقيتموهم فاقتلوهم، فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم عند الله يوم القيامة.



“Sayakhruju fii aakhiriz zamaani
qoumun ahdaatsul asnaani sufahaaul ahlaami yaquuluuna min khoiri qoulil
bariyyati, yaqro’uunal qur’aana laa yujaawizu hanaajirohum yamruquuna minad
diini kamaa yamruqus sahmu minar romiyyati, faidzaa laqoitumuuhum faqtuluuhum, fainna
fii qotlihim ajron liman qotalahum ‘indallaahi yaumal qiyaamati.” (Muttafaq ‘alaih).



“Akan keluar pada akhir zaman suatu kaum yang muda-muda umurnya,
buruk-buruk akalnya, mereka mengatakan dari Al-Qur’an (mengambil kalimat dari
Al-Qur’an dan membawanya ke tempat yang bukan tempatnya), mereka membaca
Al-Quran tidak melewati kerongkongan-kerongkongan mereka (tidak mengamalkan
Al-Qur’an dan tak mendapatkan pahala dari bacaannya), mereka melesat dari agama
(Islam/ ketaatan) sebagaimana melesatnya anak panah dari buruan (sasaran)nya.,
jika kamu sekalian menjumpai mereka maka bunuhlah, karena sesungguhnya dalam
membunuh mereka itu ada pahala bagi pembunuhnya di sisi Allah pada hari
qiyamat.

(Muutafaq ‘alaih, dari Ali).


Demikianlah, Nabi Muhammad
SAW telah memperingatkan akan adanya orang-orang yang bicaranya mengutip-ngutip
Al-Qur’an namun tidak sesuai dengan maksud Al-Qur’an yang sebenarnya, mereka
membaca Al-Qur’an namun tidak mengamalkannya, mereka melesat dari agama/
ketaatan semudah melesatnya anak panah dari sasarannya, walaupun tembus namun
langsung bablas keluar atau mental tak tertancap. Maka apabila
menjumpai mereka, bunuhlah mereka, karena membunuhnya itu akan ada pahala di sisi Allah pada hari qiyamat
kelak.


Orang-orang seperti itu tingkatan bahayanya melebihi
bahaya ular, tikus, bahkan anjing gila. Karena, binatang-binatang yang mesti dibunuh itu hanya membahayakan fisik.
Sedang manusia-manusia yang menyesatkan
aqidah itu justru merupakan bahaya yang sebenar-benarnya. Maka benarlah sabda Nabi
Muhammad SAW yang berwanti-wanti, orang model itu agar dibunuh, karena membunuhnya itu ada pahala di
sisi Allah pada hari qiyamat.


Dari
sini perlu kita sadari, betapa kelirunya kalau kita ternyata justru mengikuti
apalagi mendukung orang-orang model itu.










[H1]
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik