lembaga peradilan islam
Halaman 1 dari 1 • Share
lembaga peradilan islam
Qadla' (lembaga peradilan) adalah lembaga yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara sesama anggota masyarakat atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama'ah atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan aparat pemerintahan, baik khalifah, pejabat atau pegawai negeri yang lain.
Dalil asal hukum disyari'atkannya lembaga peradilan itu adalah Al Kitab dan As Sunnah. Tentang dalil Al Kitab adalah firman Allah SWT.:
"Dan hendaknya engkau hukumi (perkara yang terjadi) di antara mereka dengan dasar apa yang telah diturunkan oleh Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
"Dan apabila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka..." (Q.S. An Nur: 48)
Sedangkan dalil As Sunnah adalah, bahwa Rasulullah saw. sendiri pernah memimpin lembaga peradilan (qadla') dan memutuskan masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari A'isyah istri Nabi saw. yang mengatakan, bahwa Utbah Bin Abi Waqqas telah menitipkan bayi laki-laki Zam'ah kepada saudara laki-lakinya, yaitu Sa'ad Bin Abi Waqqas (dengan pesan): "Ini anakku, maka terima dan peliharalah menjadi anakmu." Pada saat penaklukan kota Makkah, anak itu diminta oleh Sa'ad, sambil berkata: "Ini anak saudaraku, yang dulu telah dititipkan kepadaku." Lalu Abdu Bin Zam'ah berdiri menghampirinya dengan berkata: "Ini saudaraku dan anak laki-laki bapakku, yang telah dilahirkan 'melalui tempat tidurnya' (keturunannya)." Kemudian mereka berdua sama-sama mengadu kepada Rasulullah saw.. Dimana Sa'ad berkata: "Ya Rasulullah, ini adalah anak saudaraku yang telah dititipkan kepadaku." Sementara Abdu Bin Zam'ah berkata: "Dia sudaraku, dan anak laki-laki bapakku yang dilahirkan 'melalui tempat tidurnya' (keturunannya)." Rasulullah saw. kemudian bersabda: "Dia saudaramu, ya Abdu Bin Zam'ah." Kemudian beliau bersabda: "Anak itu adalah milik keturunananya (lil firasy), sedangkan "lil 'ahir" (orang yang tidak memiliki garis keturunan dengannya) haram memilikinya."
Beliau juga pernah mengangkat para qadli. Beliau pernah mengangkat 'Ali Bin Abi Thalib untuk menjadi qadli di Yaman, dimana beliau pernah menasihatinya, berupa penjelasan terhadap cara memutuskan suatu perkara dengan bersabda:
"Apabila dua orang yang berselisih datang menghadap kepadamu, jangan segera kau putusi salah satu di antara mereka sebelum engkau mendengarkan pengakuan dari pihak yang lain."
Beliau juga pernah mengangkat Abdullah Bin Nufail sebagai qadli di Madinah.
Semuanya ini adalah dalil disyari'atkannya adanya lembaga peradilan (qadla'). Dari hadits A'isyah di atas, nampak jelas bagaimana tata cara yang telah ditempuh Rasulullah saw. dalam memutuskan perkara sengketa antara Sa'ad dengan Abda Bin Zam'ah terhadap status anak laki-laki Zam'ah itu. Dimana masing-masing mengklaim anak tersebut adalah menjadi haknya. Rasulullah saw. kemudian memberitahukan kepada mereka berdua tentang status hukum syara' yang berkaitan dengan anak laki-laki Zam'ah itu, sebagai hak Abda Bin Zam'ah, dimana anak adalah hak yang memiliki garis keturunan (lil firasy). Keputusan beliau itu merupakan pemberitahuan terhadap hukum syara', dimana beliau mengikat mereka berdua untuk menerima keputusan hukum tersebut. Dan Abdu Bin Zam'ahlah yang akhirnya bisa mengambil anak tersebut.
Ini adalah dalil tentang definisi lembaga peradilan. Dimana definisi itu merupakan sifat suatu fakta (realitas). Hanya saja karena fakta (realitas) tersebut merupakan fakta (realitas) syara', dimana definisi syar'i adalah hukum syara', maka definisi tersebut tentu membutuhkan dalil yang bisa digali untuk melahirkan definisi tersebut. Dan hadits-hadits di atas merupakan dalil bagi lahirnya definisi lembaga peradilan tersebut.
Sebagian orang ada yang mendefinisikan peradilan (qadla') sebagai lembaga yang menyelesaikan perkara-perkara sengketa di antara sesama manusia. Definisi ini kurang dari satu sisi, dimana definisi ini tidak menjelaskan realitas peradilan itu sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan apa yang disabdakan oleh beliau di sisi lain. Definisi ini hanya menjelaskan hal-hal yang bisa dihasilkan oleh lembaga peradilan (yaang berupa keputusan), padahal keputusan itu kadang-kadang tidak dihasilkan dari lembaga peradilan tersebut. Dimana seorang qadli, kadang-kadang memutuskan suatu perkara dan kadang tidak memutuskan sengketa antara dua orang yang berperkara. Karena itu, definisi yang menyeluruh (al jaami') dan bisa mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan di luar masalah yang didefinisikan (al mani') itu adalah definisi yang dikemukakan di awal pembahasan lembaga peradilan ini. Dimana definisi inilah yang digali dari banyak hadits.
Bahwa definisi tersebut juga mencakup vonis terhadap perkara di tengah-tengah masyarakat itu esensinya seperti realitas yang ada di dalam hadits A'isyah di atas. Disamping meliputi masalah hisbah (pemutusan perkara-perkara penyelewengan yang bisa merugikan hak jama'ah) yaitu pernyataan yang mengatakan: "Menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat dalam masalah yang merugikan hak jama'ah." Dimana realitas inilah yang ditunjukkan oleh hadits "Seonggok makanan" (shubratut tha'am). Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah yang mengatakan, bahwa Nabi saw. berjalan (melihat-lihat) seonggok makanan, lalu beliau memasukkan tangan beliau ke dalam makanan tersebut. Dimana jari beliau menemukan, bahwa bagian bawah onggokan makanan itu basah (dicampuri air). Lalu beliau bertanya:
"Ini apa, wahai pemilik makanan?" Dia menjawab: "Terkena hujan, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Tidakkah seharusnya yang terkena hujan diletakkan di bagian atasnya makanan ini, sehingga orang-orang bisa mengetahuinya. (Ingatlah), siapa saja yang menipu, bukan termasuk umatku."
Definisi tersebut juga mencakup masalah memberi pertimbagan dalam perkara-perkara madlalim (kedzaliman pejabat dan penguasa), sebab perkara-perkara tersebut merupakan perkara peradilan, bukan perkara hukum. Karena perkara itu berupa pengaduan terhadap tindakan penguasa dan pejabat, yaitu perkara tindak kedzaliman, sebagaiamana yang dinyatakan di dalam definisi tersebut: "Menyampaikan hukum dengan cara mengikat untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan aparat pemerintahan, baik khalifah, pejabat atau pegawai lainnya. Termasuk masalah yang terjadi di kalangan kaum muslimin, karena perbedaan dalam memahami makna salah satu nas syara' yang ingin diputuskan serta hukum yang ingin ditetapkan." Masalah tindak kedzaliman itu dinyatakan dalam hadits Rasulullah saw. ketika beliau bersabda:
"Aku sungguh tidak berharap bertemu (menghadap kepada) Allah Azza Wa Jalla, dimana ada orang yang menuntutku karena kedzaliman yang telah aku lakukan kepadanya, baik berkaitan dengan masalah darah meupun harta."
Juga nampak di dalam sabda Rasulullah saw.:
"Siapa saja yang pernah hartanya aku ambil, maka inilah harta milikku silahkan ambil (hak yang pernah aku ambil) darinya. Siapa saja yang pernah aku cambuk tubuhnya, maka inilah tubuhku, maka balaslah (mana saja yang disuka) darinya."
Kenyataan ini membuktikan, bahwa perkara yang dilakukan penguasa, wali atau pegawai negeri akan diangkat ke mahkamah madlalim (di-PTUN-kan) sesuai dengan apa yang diadukan oleh orang yang didzalimi. Dimana qadli madlalim-lah yang bertugas menyampaikan hukum itu dengan cara mengikat.
Oleh karena itu, definisi di ataslah yang menyeluruh dan mencakup tiga bentuk pengadilan yang dinyatakan di dalam hadits-hadits Rasulullah saw. serta af'al beliau di atas. Yaitu, penyelesaikan perkara sengketa yang terjadi di antara manusia, dan mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan hak jama'ah, serta menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan penguasa atau antara rakyat dengan pegawai negeri dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.
A. Bentuk-bentuk Pengadilan
Qadli bisa dibagi menjadi tiga, pertama adalah qadli biasa, yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal mu'amalah (transaksi yang dilakukan antara satu orang dengan orang yang lainnya) dan uqubat (sangsi hukum). Kedua, qadli muhtasib yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara penyimpangan yang bisa membahayakan hak jama'ah. Ketiga, qadli madlalim yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara.
Inilah penjelasan tentang bentuk-bentuk pengadilan. Sedangkan dalil bahwa pengadilan biasa adalah lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia adalah af'al Rasulullah, termasuk pengangkatan beliau terhadap Mu'ad Bin Jabal di Yaman. Adapun dalil bahwa pengadilan itu adalah lembaga yang menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang bisa membahayakan hak jama'ah, yang sering disebut muhtasib adalah perbuatan dan sabda Rasulullah saw. Di antaranya Rasulullah saw. pernah bersabda:
"Siapa saja yang menipu, bukan termasuk umatku."
Rasulullah juga pernah menemukan penipu, kemudian beliau mencegahnya. Qais Bin Abi Ghurrah Al Kinani berkata, bahwa kami pernah membeli beberapa wasq (1 wasq = 130,560 kg gandum) di Madinah. Kami merupakan samasirah (agen penjual), maka keluarkan Rasulullah saw. mendatangi kami lalu menyebut kami dengan panggilan yang lebih bagus dari pada sebutan kami sebelumnya. Beliau bersabda:
"Wahai para saudagar, bahwa (dalam) jual beli ini sebenarnya bisa menyebabkan permainan dan sumpah (palsu), maka kalian harus melandasi jual beli tersebut dengan kejujuran."
Al Barra' Bin Azib dan Zaid Bin Arqam pernah melakukan kerjasama, lalu keduanya membeli perak dengan cara tunai dan kredit. Hal itu kemudian didengar oleh Rasulullah saw. lalu beliau memerintahkan keduanya:
"Yang dibeli dengan cara kontan, boleh. Sedangkan yang dibeli dengan cara kredit, harus ditolak."
Semuanya itu merupakan pengadilan hisbah. Sebutan pengadilan yang menyelesaikan perkara sengketa dan bisa membahayakan hak jama'ah itu dengan menggunakan sebutan hisbah adalah karena ia merupakan suatu istilah aktifitas tertentu dalam negara Islam. Yaitu mengawasi para pelaku bisnis, tukang dan pekerja, untuk mencegah mereka dari tindak penipuan dalam perdagangan mereka, pekerjaan dan hasil-hasil karya mereka. Dimana dia yang bertugas menyiduk mereka karena mempergunakan takaran dan timbangan atau yang lainnya, yang bisa membahayakan kepentingan kelompok masyarakat. Kegiatan itulah yang telah dijelaskan oleh Nabi saw. dimana beliau memerintahkannya serta menyelesaikan sengketa yang terjadi, sebagaimana yang nampak di dalam hadits Al Barra' Bin Azib, ketika beliau melarang dua pihak yang bekerjasama dengan cara yang satu kredit sedangkan yang lain dengan tunai. Karena itu, dalil tentang hisbah tersebut adalah dalil As Sunnah.
Hanya saja, Rasulullah saw. belum pernah mengangkat qadli tertentu dalam masalah hisbah tersebut. Begitu pula, para khulafaur rasyidin belum pernah ada yang mengangkat qadli tertentu dalam masalah hisbah, kecuali Umar Bin Khattab. Dimana beliau mengangkat As Syifa' seorang wanita dari kaumnya untuk menjadi qadli di pasar, yaitu qadli hisbah. Dan kadang beliau sendirilah yang melakukan tugas sebagai qadli hisbah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.. Hanya bedannya, Umar selalu keliling di pasar.
Jadi, khalifah senantiasa melakukan hisbah sendiri hingga berakhir pada masa khalifah Harun Ar Rasyid. Sebab, beliaulah yang mula-mula mengangkat muhtasib (qadli yang bertugas melakukan hisbah) yang berkeliling di pasar, dan bertugas memeriksa penipuan timbangan dan takaran serta mengawasi transaksi-transaksi yang dilakukan para pelaku bisnis. Setelah masa Al Mahdi, beliau membuat struktur khusus untuk menyelesaikan masalah hisbah itu, sehingga terbentuklah struktur lembaga peradilan.Adapun dalil tentang pengadilan yang kemudian disebut qadli madlalim adalah firman Allah SWT.:
"Apabila kalian berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah masalah tersebut kepada Allah dan Rasulullah." (Q.S. An Nisa': 59)
Ayat di atas, dinyatakan setelah firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian." (Q.S. An Nisa': 59)
Karena perselisihan antara rakyat dengan ulil amri (penguasa) itu harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu hukum Allah. Sedangkan untuk mengembalikan kepada hukum Allah itu mengharuskan adanya qadli yang memutuskan perkara persengketaan, maka dialah qadli madlalim. Dalil yang lain adalah perbuatan Rasulullah saw. ketika beliau mengangkat Rasyid Bin Abdillah sebagai qadli madlalim. Disamping itu, adalah sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:
"Siapa saja yang pernah hartanya aku ambil, maka inilah harta milikku silahkan ambil (hak yang pernah aku ambil) darinya. Siapa saja yang pernah aku cambuk tubuhnya, maka inilah tubuhku, maka balaslah (mana saja yang disuka) darinya."
Bukankah ini merupakan qadla' (pengadilan) madlalim. Karena hal-hal yang termasuk dalam definisi pengadilan madlalim adalah memberikan vonis terhadap perkara sengketa yang terjadi antara rakyat dengan khalifah.
Dalil tentang peradilan madlalim itu adalah perbuatan dan perkataan Rasulullah. Hanya saja, Rasulullah tidak mengangkat qadli secara khusus untuk mengurusi perkara madlalim tersebut di seluruh negeri. Begitu pula para khalifah setelah beliau. Mereka biasanya menyelesaikan sendiri perkara madlalim itu, seperti yang biasa dilakukan pada masa Ali Bin Abi Thalib ra. Hanya saja, beliau tidak menyediakan waktu-waktu khusus serta cara-cara tertentu. Tetapi, ketika terjadi kedzaliman maka fungsinya sebagai qadli madlalim tersebut nampak. Sehingga dalam prakteknya terjadi secara menyeluruh dalam tindakan-tindakan beliau --yang tidak dapat dipisahkan secara mandiri.
Keadaan seperti itu terus berlanjut hingga masa kekhalifahan khalifah Malik Bin Marwan. Sebab, dialah khalifah yang pertama kali menyediakan waktu khusus serta cara-cara tertentu untuk menyelesaiakan perkara madlalim tersebut. Dia biasanya menyediakan hari-hari tertentu untuk menyelesaikan perkara tersebut, dimana beliau selalu mengontrol terjadinya perkara madlalim. Apabila memang telah terjadi, maka dia segera melaporkannya kepada qadli untuk diadili. Khalifah Malik kemudian menyusun wakil-wakil yang bertugas mengawasi perkara madlalim di tengah masyarakat. Lalu disusunlah struktur pengadilan madlalim itu, dengan struktur tertentu, yang disebut dengan Darul Adli.
Praktek seperti ini diperbolehkan, dilihat dari segi pengangkatan qadli itu bertugas untuk menyelesaikan perkara madlalim. Sebab, dalam melaksanakan seluruh wewenang yang dimiliki khalifah dia boleh mengangkat orang tertentu untuk menggantikannya serta dari segi penyediaan waktu dan cara-cara khusus itu merupakan sesuatu yang diperbolehkan, karena semuanya itu merupakan kemubahan.
B. Syarat-syarat Qadli
Orang yang menjadi qadli disyaratkan harus 1) muslim, 2) merdeka, 3) baligh, 4) berakal, 5) adil, 6) ahli fikih, yang bisa mengetahui hukum beserta aplikasinya terhadap fakta hukum tersebut. Khusus, bagi qadli madlalim ada syarat tambahan, disamping syarat tersebut yaitu harus 7) laki-laki dan 8) mujtahid, sebagaimana kepala qadli. Karena tugasnya adalah memutuskan dan menghukumi. Dimana dia bertugas menghukumi penguasa serta memberlakukan hukum syara' kepada mereka. Karena itu, disyaratkan mereka harus laki-laki, disamping syarat-syarat qadli yang lain. Dimana antara lain harus ahli fikih. Hanya bedanya, syarat bagi qadli madlalim melebihi semuanya, yaitu harus mujtahid. Karena di antara perkara madlalim yang harus diputuskan adalah penguasa yang menerapkan hukum selain yang diturunkan oleh Allah SWT, misalnya dia menerapkan suatu hukum yang tidak ada dalil syara'nya atau menggunakan dalil yang tidak cocok untuk menjadi dalil bagi kejadian atau realiats tertentu. Dan perkara kedzaliman semacam itu tidak bisa diselesaikan kecuali oleh mujtahid. Kalau bukan mujtahid, tentu dia akan memvonis bukan berdasarkan ilmu dan tentu hal itu haram dan tidak diperbolehkan. Oleh kerena itu, harus ditambahkan syarat bagi hakim dan qadli tersebut, harus seorang mujtahid.
C. Pengangkatan Qadli
Qadli biasa dan muhtasib itu boleh diangkat dengan wewenang secara mutlak untuk memutuskan semua perkara di seluruh negeri. Namun, boleh juga diangkat dengan wewenang secara khusus, di tempat serta lembaga peradilan tertentu. Sedangkan qadli madlalim tidak boleh diangkat selain dengan wewenang secara mutlak, dari aspek peradilannya. Sedangkan dari aspek tempat dia boleh diangkat untuk seluruh negeri, namun juga boleh diangkat hanya untuk salah satu bagian dari negeri tersebut.
Ini diambil dari perbuatan Rasulullah saw. ketika beliau mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai qadli di Yaman serta mengangkat Mu'adz Bin Jabal di salah satu bagian negeri Yaman dan pengangkatan Amru Bin Ash untuk memutuskan satu perkara tertentu. Ini berhubungan dengan qadli muhtasib serta qadli khushumat (yang memutuskan perkara sengketa). Sedangkan tentang qadli madlalim itu boleh diangkat di tempat tertentu, karena Rasulullah saw. telah mengangkat Rasyid Bin Abdullah sebagai kepala pengadilan sekaligus qadli madlalim dalam urusan yang telah beliau tentukan. Sedangkan mengkhususkan qadli madlalim untuk memutuskan perkara-perkara tertentu itu tidak diperbolehkan. Karena tidak pernah ada pengkhususan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam perkara-perkara tersebut, sebab tugasnya adalah memberikan keputusan terhadap kedzaliman yang terjadi di tengah masyarakat, serta mengkikis sebab-sebab kedzaliman tersebut. Karena itu, tidak mungkin ruang kerjanya dikhususkan. Karena perkaranya memang tidak mungkin dipilah-pilah antara satu dengan yang lain. Karena sekalipun dia statusnya adalah qadli yang bertugas memberikan keputusan dalam perkara-perkara madlalim, namun sebenarnya dia juga seorang hakim (penguasa) yang bertugas mengikis sebab-sebab terjadinya perkara madlalim tersebut. Padahal otoritas pemerintahan tidak bisa dibagi, melainkan sebagai satu kesatuan yang integral yang tidak mungkin dipisahkan. Karena itu, seorang penguasa tidak boleh dikhususkan untuk menangani pemerintahan dalam bidang tertentu, dimana yang lain tidak boleh ditanganinya, kecuali hanya khusus untuk bidang tertentu saja.
Dilihat dari segi perkara-perkara yang ditanganinya, dengan melihat pengangkatannya sebagai seorang penguasa maka dia mempunyai otoritas dan wewenang dalam seluruh masalah. Jadi, tidak boleh mengkhususkannya dalam masalah pemerintahan tertentu. Begitu pula qadli madlalim, dia harus diangkat dengan wewenang secara mutlak, dari aspek tugas pengadilannya, namun dia boleh dikhususkan dari aspek tempat di mana dia ditugaskan. Sedangkan pengkhususan wali untuk menangani daerah tertentu, bukan berarti membagi-bagi kekuasaannya melainkan hanya mengkhususkan daerahnya saja. Sementara dengan adanya pengkhususan daerah itu tetap tidak membolehkan pembagian pemerintahan atau otoritasnya. Dan qadli madlalim itu adalah qadli yang diangkat dengan wewenang untuk menyelesaikan perkara madlalim, dimana wewenangnya mutlak mencakup seluruh perkara madlalim, sehingga tidak boleh otoritasnya dibagi-bagi. Dari sinilah, maka qadli madlalim itu hanya diangkat dengan wewenang (otoritas) secara mutlak, dilihat dari aspek penyelesaian perkara-perkara madlalim tersebut.
D. Bentuk Mahkamah
Mahkamah pengadilan hanya boleh terbentuk atas seorang qadli, yang memiliki wewenang memutuskan perkara peradilan. Hanya saja, diperbolehkan adanya satu atau lebih qadli yang lain, namun tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan vonis, selain wewenang memberikan masukan-masukan dan pandangan. Dimana pandangan maupun masukan-masukan mereka itu tidak bersifat mengikat.
Karena Rasulullah saw. tidak pernah mengangkat dua qadli untuk menyelesaikan satu perkara, melainkan beliau mengangkat satu qadli untuk satu perkara. Semuanya itu menunjukkan ketidakbolehan banyaknya qadli dalam satu perkara. Disamping itu, lembaga peradilan itu adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum dengan cara mengikat, sementara hukum syara' bagi seorang muslim --yang akan melaksanakannya-- hanya boleh satu, karena hukum itu merupakan hukum baginya, dimana hukum Allah itu hanya satu.
Memang benar, bahwa suatu pemahaman itu bisa beragam namun bagi seorang muslim di lihat dari aspek melaksanakannya hanya boleh ada satu hukum dan tidak boleh lebih dari satu. Maka, hukum yang menjadi pemahamannya itulah hukum Allah baginya, sementara pemahaman yang lain itu jelas bukan merupakan hukum Allah bagi dirinya. Sekalipun hukum itu tetap dianggap hukum syara'. Sedangkan apa yang telah diputuskan dan dilaksanakan sesuai dengan keputusan itu adalah hukum Allah bagi seorang muslim, sementara yang lain tidak.
Seorang qadli, ketika menyampaikan hukum Allah dalam satu perkara dengan cara mengikat itu wajib hanya ada satu hukum, karena dia menyampaikan hukum Allah dengan cara yang mengikat. Sebab, hakikatnya dia melaksanakan hukum Allah, sedangkan hukum Allah dalam aspek pelaksanaannya tidak boleh lebih dari satu, meskipun pemahamannya bisa beragam. Oleh karena itu, qadli hanya boleh ada satu, karena mustahil hukum Allah lebih dari satu dan saling kontradiktif. Hal ini berhubungan dengan satu perkara, yaitu dalam sebuah mahkamah. Sedangkan yang menyangkut masalah keberadaan mahkamah yang memutuskan seluruh perkara dalam satu negeri, maka adanya dua mahkamah secara terpisah di satu tempat itu hukumnya boleh. Sebab, lembaga peradilan itu merupakan wakil khalifah. Karena statusnya seperti akad wakalah (perwakilan) yang lainnya. Dan karena akad itu boleh diberikan kepada banyak orang atau banyak lembaga, maka diperbolehkan juga banyaknya lembaga peradilan dalam satu tempat. Apabila terjadi tarik-menarik dalam perkara sengketa di antara dua qadli di satu tempat, maka yang dimenangkan adalah pihak penuntut, sehingga keputusan tersebut diberikan untuk qadli yang menjadi penuntut. Karena dialah yang meminta hak dan tentunya dia lebih kuat dari pada yang diminta haknya (pihak terdakwah).Sedangkan seorang qadli itu tidak bisa memutuskan suatu perkara selain di dalam ruang sidang pengadilan. Begitu pula pembuktian dan kesaksian itu hanya bisa diterima, bila diberikan di dalam ruang sidang pengadilan.
Semuanya itu berdasarkan hadits riwayat Abdullah Bin Zubeir yang mengatakan:
"Rasulullah saw. telah memutuskan (perkara) dua orang yang bersengketa, dimana keduanya didudukkan di hadapan hakim."
Hadits ini menjelaskan bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh lembaga peradilan. Dimana tindakan itu merupakan tindakan yang diperintahkan karena esensi tindakan itu sendiri. Maksudnya adalah harus ada tindakan tertentu yang dilakukan oleh lembaga peradilan yaitu harus dihadapkannya dua orang yang bersengketa di hadapan hakim. Dan itu adalah ruang sidang (majelis) pengadilan. Dimana adanya majelis itu merupakan syarat sah atau tidaknya keputusan pengadilan tadi. Maksudnya, adanya majelis tertentu yang menghasilkan keputusan sehingga bisa disebut sebagai lembaga peradilan itu adalah suatu keharusan. Maka itu berarti, dua orang yang sedang bersengketa harus dihadapkan di hadapan hakim.
Masakah tersebut diperkuat oleh hadits Ali Bin Abi Thalib, ketika beliau diberitahu oleh Rasulullah saw.:
"Wahai Ali, apabila di hadapanmu ada dua orang yang bersengketa, maka jangan segera kau putuskan (perkara) di antara mereka, kecuali setelah kau mendengarkan pengakuan yang lain, sebagaimana kau mendengar pengakuan dari orang pertama."
Semuanya itu menjelaskan tindakan tertentu, yang ditunjukkan oleh sabda beliau: "Apabila di hadapanmu ada dua orang yang bersengketa.." Karena itu, adanya majelis pengadilan itu merupakan syarat sah atau tidaknya keputusan pengadilan tersebut. Begitu pula, adanya mejelis itu telah menjadi syarat diterima atau tidaknya suatu kesaksian. Berdasarkan sabda beliau:
"Tetapi kesaksian itu dari terdakwa."Gambaran tentang kesaksian bagi terdakwa tersebut tidak akan ada selain dalam majelis (ruang sidang) pengadilan. Demikian halnya, pembuktian hanya bisa diterima kalau diberikan dalam majelis (ruang sidang) pengadilan. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Pembuktian itu dari penuntut."
Dimana gambaran tersebut juga tidak akan ada, selain dalam majelis (ruang sidang) pengadilan.
Sedangkan bentuk mahkamah boleh berbeda-beda, berkaitan dengan jenis perkaranya. Dan boleh juga mengkhususkan beberapa mahkamah untuk menangani perkara-perkara tertentu, sedangkan perkara yang lain boleh diserahkan kepada mahkamah yang lain.
Alasanya, karena lembaga peradilan itu merupakan lembaga yang mewakili khalifah. Dimana, statusnya sama persis dengan akad wakalah yang lain, dan tidak ada perbedaan sedikit pun. Karena masalah itu merupakan masalah wakalah. Maka, diperbolehkan melakukan akad wakalah secara umum, maupun khusus. Oleh karena itu, seorang qadli boleh diangkat untuk menjadi qadli dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan yang lain tidak boleh diurusi. Diperbolehkan juga qadli yang lain diangkat untuk perkara-perkara yang lain termasuk menyelesaikan perkara dimana dia diangkat sekalipun hanya untuk satu tempat. Atau untuk menyelesaikan perkara di tempat lain. Oleh karena itu, diperbolehkan adanya tingkatan-tingkatan mahkamah. Dimana hal-hal seperti ini sudah pernah dilakukan oleh kaum muslimin pada masa-masa (pemerintahan Islam) yang pertama. Imam Al Mawardi dalam bukunya Al Ahkam As Sulthaniyah mengatakan: "Abu Abdillah Az Zubeiri berkata, bahwa tidak pernah ada satu masa pun, kecuali para penguasa di Basrah semasa hidup kami senantiasa mengangkat qadli untuk menjadi qadli di masjid raya, yang mereka sebut dengan nama qadli masjid. Dia bertugas menetapkan 200 Dirham dan 20 Dinar atau lebih bagi para pelanggar. Disamping memutuskan pengeluaran-pengeluaran. Dimana dia tidak akan menyimpang dari kedudukannya, serta dari hal-hal yang telah ditetapkan baginya."
Rasulullah saw. pernah menunjuk wakil beliau dalam memutuskan satu perkara, sebagaimana ketika beliau mengangkat Amru Bin Ash untuk mewakili beliau. Beliau juga pernah menunjuk wakil untuk memutuskan semua perkara dalam satu daerah, sebagaimana ketika beliau mengangkat Ali Bin Abi Thalib untuk mewakilinya menjadi qadli di Yaman. Semuanya itu menunjukkan bahwa mengkhususkan wewenang lembaga peradilan dan memberikan wewenangnya secara umum itu merupakan sesuatu yang diperbolehkan.
Sedangkan tentang mahkamah banding tingkat pertama maupun mahkamah banding tingkat kedua itu tidak boleh ada, karena seluruh bentuk pengadilan --dalam memutuskan satu perselisihan-- kedudukannya sama. Apabila seorang qadli memutuskan perkara, maka keputusannya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan oleh qadli yang lain.
Keputusan qadli tidak bisa dicabut, baik oleh qadli itu sendiri maupun oleh qadli yang lain. Dalil tentang ketidakbolehan qadli mencabut putusannya adalah ijma' yang telah disepakati oleh para sabahat. Bahwa Abu Bakar pernah memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya, lalu Umar berpendirian lain. Namun, hukum --yang telah diputuskan Abu Bakar-- tersebut tetap tidak bisa dibatalkan. Begitu pula Ali pernah berbeda dengan Umar dalam ijtihadnya, namun hukum-hukum --yang diputuskan Umar-- tidak bisa dibatalkan. Demikian pula, Ali pernah berbeda dengan Abu Bakar dan Umar dalam ijtihanya, namun hukum-hukum --yang mereka putuskan-- tidak bisa dibatalkan.
Penduduk Najran datang menghadap kepada Imam Ali lalu berkata: "Wahai Amirul mu'minin, keputusanmu di tanganmu, dan syafa'atmu di lisanmu." Beliau lalu berkata: "Ah kalian, Umar itu orang yang paling bijaksana dalam perkara ini. Dan aku tidak pernah menolak keputusan yang telah diputuskan oleh Umar."
Telah diriwayatkan, bahwa Umar pernah memutuskan hukum musyarrakah karena tidak adanya saudara sepupu, kemudian menetapkan bagian di antara saudara tersebut dengan musyarrakah. Dia lalu berkata: "Yang itu juga sesuai dengan keputusanku, sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku." Dan dia terus menerapkan dua hukum tersebut, sekalipun keduanya jelas bertentangan. Dia juga memutuskan bagian jad (kakek) dengan ketentuan yang berbeda-beda, namun dia tidak mencabut keputusan yang pertama. Sedangkan ada riwayat lain, bahwa Syuraikh telah memutuskan bagian dua saudara sepupu dari paman ('amm), salah satunya dengan bagian saudara laki-laki seibu yaitu hartanya diberikan kepada saudara laki-laki tersebut. Masalah itu kemudian dia sampaikan kepada Ali ra. lalu Ali berkata: "Aku hanya memiliki hak sebagai rakyat, maka bawalah masalah itu kepadanya." Lalu beliau bertanya: "Di bagian Al Qur'an yang mana engkau menemukan masalah tersebut?" Maka, Syuraikh menjawab: "Allah berfirman: "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah." (Q.S. Al Anfal: 75). Lalu Ali berkata kepadanya: "Allah SWT. telah berfirman: 'Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari jenis saudara itu seperenam harta." (Q.S. An Nisa': 12)." Lalu Syuraikh mencabut keputusannya. Kenyataan ini tidak berarti bahwa Ali ra. telah membatalkan keputusan Syureikh. Akan tetapi, para sahabat telah memutuskan berbagai masalah dengan ijtihad mereka. Dalam hal ini, kadang-kadang mereka berbeda dengan khalifah. Seperti pada masa Abu Bakar, Umar maupun pada masa Ali. Namun, tidak seorang pun di antara mereka ada yang membatalkan keputusan (hukum) yang lain.
Yang jelas, Umar sendiri telah memutuskan satu masalah dengan keputusan yang saling bertentangan dan berbeda, namun keputusan itu tetap saja dia jalankan. Bahkan keputusannya yang pertama, tidak pernah dia cabut dengan keputusan (hukum) yang kedua padahal di antara keduanya jelas bertentangan. Malah, jelas-jelas dia mengatakan: "Yang itu juga sesuai dengan keputusanku, sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku." Ini bisa menjadi dalil, bahwa keputusan-keputusan pengadilan tidak bisa dibatalkan. Ibnu Qudamah di dalam bukunya Al Mughni mengatakan: "Apabila ijtihadnya berubah, dan tidak bertentangan dengan satu nas pun, termasuk dengan ijma', atau ijtihadnya bertentangan dengan ijtihad orang sebelumnya, maka dia tidak boleh mencabutnya karena berbeda. Sebab, para sahabat telah sepakat terhadap hal tersebut."Disamping itu, dalil ketidakbolehan banyaknya qadli juga merupakan dalil ketidakbolehan untuk mencabut keputusan (hukum) qadli. Karena, hukum Allah itu esensinya hanya satu, dan tidak lebih dari satu. Apabila hukum Allah dalam satu masalah itu telah diberlakukan, maka harus dilaksanakan sehingga tidak boleh dicabut kembali. Apabila seorang qadli telah memutuskan perkara tertentu, maka dia esensinya telah menempatkan hukum Allah itu untuk dilaksanakan, sehingga hukum itu harus diterapkan dan menerapkannya hukumnya fardlu. Oleh karena itu, secara mutlak hukum tersbeut tidak boleh dibatalkan (dicabut). Karena mencabutnya, berarti mencabut hukum Allah dan itu jelas tidak dibolehkan. Sehingga bagi qadli yang memvonis itu sendiri tidak diperbolehkan untuk mencabut dan membatalkan hukum (keputusan) itu. Begitu pula tidak diperbolehkan bagi qadli yang lain, untuk mencabut (membatalkan) keputusannya. Sebab, hukum Allah hanya satu, maka mencabutnya --disamping telah mencabut hukum Allah-- berarti juga telah menganggap hukum Allah itu banyak. Dan ini jelas tidak diperbolehkan.
Adapun apa yang diriwayatkan dalam surat Umar Bin Khattab ra. kepada Abu Musa Al Asy'ari yang mengatakan: "Dan janganlah suatu keputusan menghalang-halangi kamu (untuk mengambil) keputusan yang telah kau putuskan sebelumnya. Lalu setelah kau teliti keputusan itu sendiri, kau mendapat petunjuk karena kebijaksanaanmu dalam hal itu sehingga kau ingin kembali kepada yang haq, maka yang haq itulah yang harus diutamakan, sebab kembali kepada yang haq itu lebih baik daripada tetap berada dalam kebatilan." Surat ini yang jelas adalah pernyataan Umar, dimana pernyataan Umar itu bukan merupakan dalil syara'. Tidak bisa diklaim karena sahabat pada saat itu diam, maka itu telah menjadi ijma'. Karena, diam yang bisa dianggap sebagai ijma' adalah hanya diam terhadap peristiwa yang masyhur. Dimana telah menjadi hukum yang dilakukan semua orang, kemudian diketahui oleh para sahabat, dan secara syar'i semestinya harus diingkari, sehingga mereka bisa dinilai tidak mendiamkan kemungkaran. Sedangkan surat ini adalah surat yang ditujukan kepada qadli tertentu, bukan semua qadli. Sekalipun kemudian setelah itu, isi surat ini menjadi sedemikian populer. Namun, ini bukan merupakan peristiwa umum yang masyhur dikalangan sahabat. Disamping itu, masalahnya (yang disampaikannya) juga bukan merupakan masalah yang biasanya harus diingkari. Karena apa yang ada di dalamnya bukan merupakan masalah yang ditolak oleh syara'. Lebih-lebih maksud dari isi surat tersebut adalah, bahwa hukum yang kau putuskan sebelumnya, kemudian nampak kesalahannya, maka kau harus meneliti kembali persoalan lain lalu kau putuskan keputusan yang berbeda. Yang tidak berarti harus mencabut apa yang kau putuskan sebelumnya. Karena itu, Umar berkata: "Kau harus kembali kepada yang haq." Dan beliau tidak mengatakan: "Kau harus mencabut keputusanmu." Makna kembali kepada yang haq adalah meninggalkan pendapat yang salah serta kembali kepada pendapat yang benar. Hal ini bukan merupakan dalil, adanya kebolehan mencabut keputusan (hukum). Oleh karena itu, di dalam Islam tidak mengenal istilah Sawabiq Qadla'iyah, yaitu ada suatu perkara yang pernah diputuskan dengan keputusan begini, namun apabila satu perkara yang pernah diputuskan dengan keputusan tertentu itu telah lewat, maka keputusan itu tidak bisa lagi mengikat seseorang agar dilaksanakannya, sehingga dia boleh diputuskan dengan keputusan yang lain oleh qadli yang sama maupun oleh qadli yang lain, padahal jelas perkaranya sama.
Sedangkan menerapkan atas perkara itu sendiri esensinya adalah menerapkan hukum Allah, sehingga seorang qadli tidak diperbolehkan untuk menarik dan merubah hukum (keputusan). Dari sinilah, maka jelas di dalam Islam tidak ada mahkamah banding tingkat satu maupun tingkat dua. Tetapi lembaga peradilan dalam memutuskan perkara sengketa itu, kedudukannya adalah sama. Bahkan kaidah syara' menyatakan:
"Ijtihad tidak bisa dicabut dengan ijtihad yang serupa."
Dalil asal hukum disyari'atkannya lembaga peradilan itu adalah Al Kitab dan As Sunnah. Tentang dalil Al Kitab adalah firman Allah SWT.:
"Dan hendaknya engkau hukumi (perkara yang terjadi) di antara mereka dengan dasar apa yang telah diturunkan oleh Allah." (Q.S. Al Maidah: 49)
"Dan apabila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka..." (Q.S. An Nur: 48)
Sedangkan dalil As Sunnah adalah, bahwa Rasulullah saw. sendiri pernah memimpin lembaga peradilan (qadla') dan memutuskan masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari A'isyah istri Nabi saw. yang mengatakan, bahwa Utbah Bin Abi Waqqas telah menitipkan bayi laki-laki Zam'ah kepada saudara laki-lakinya, yaitu Sa'ad Bin Abi Waqqas (dengan pesan): "Ini anakku, maka terima dan peliharalah menjadi anakmu." Pada saat penaklukan kota Makkah, anak itu diminta oleh Sa'ad, sambil berkata: "Ini anak saudaraku, yang dulu telah dititipkan kepadaku." Lalu Abdu Bin Zam'ah berdiri menghampirinya dengan berkata: "Ini saudaraku dan anak laki-laki bapakku, yang telah dilahirkan 'melalui tempat tidurnya' (keturunannya)." Kemudian mereka berdua sama-sama mengadu kepada Rasulullah saw.. Dimana Sa'ad berkata: "Ya Rasulullah, ini adalah anak saudaraku yang telah dititipkan kepadaku." Sementara Abdu Bin Zam'ah berkata: "Dia sudaraku, dan anak laki-laki bapakku yang dilahirkan 'melalui tempat tidurnya' (keturunannya)." Rasulullah saw. kemudian bersabda: "Dia saudaramu, ya Abdu Bin Zam'ah." Kemudian beliau bersabda: "Anak itu adalah milik keturunananya (lil firasy), sedangkan "lil 'ahir" (orang yang tidak memiliki garis keturunan dengannya) haram memilikinya."
Beliau juga pernah mengangkat para qadli. Beliau pernah mengangkat 'Ali Bin Abi Thalib untuk menjadi qadli di Yaman, dimana beliau pernah menasihatinya, berupa penjelasan terhadap cara memutuskan suatu perkara dengan bersabda:
"Apabila dua orang yang berselisih datang menghadap kepadamu, jangan segera kau putusi salah satu di antara mereka sebelum engkau mendengarkan pengakuan dari pihak yang lain."
Beliau juga pernah mengangkat Abdullah Bin Nufail sebagai qadli di Madinah.
Semuanya ini adalah dalil disyari'atkannya adanya lembaga peradilan (qadla'). Dari hadits A'isyah di atas, nampak jelas bagaimana tata cara yang telah ditempuh Rasulullah saw. dalam memutuskan perkara sengketa antara Sa'ad dengan Abda Bin Zam'ah terhadap status anak laki-laki Zam'ah itu. Dimana masing-masing mengklaim anak tersebut adalah menjadi haknya. Rasulullah saw. kemudian memberitahukan kepada mereka berdua tentang status hukum syara' yang berkaitan dengan anak laki-laki Zam'ah itu, sebagai hak Abda Bin Zam'ah, dimana anak adalah hak yang memiliki garis keturunan (lil firasy). Keputusan beliau itu merupakan pemberitahuan terhadap hukum syara', dimana beliau mengikat mereka berdua untuk menerima keputusan hukum tersebut. Dan Abdu Bin Zam'ahlah yang akhirnya bisa mengambil anak tersebut.
Ini adalah dalil tentang definisi lembaga peradilan. Dimana definisi itu merupakan sifat suatu fakta (realitas). Hanya saja karena fakta (realitas) tersebut merupakan fakta (realitas) syara', dimana definisi syar'i adalah hukum syara', maka definisi tersebut tentu membutuhkan dalil yang bisa digali untuk melahirkan definisi tersebut. Dan hadits-hadits di atas merupakan dalil bagi lahirnya definisi lembaga peradilan tersebut.
Sebagian orang ada yang mendefinisikan peradilan (qadla') sebagai lembaga yang menyelesaikan perkara-perkara sengketa di antara sesama manusia. Definisi ini kurang dari satu sisi, dimana definisi ini tidak menjelaskan realitas peradilan itu sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan apa yang disabdakan oleh beliau di sisi lain. Definisi ini hanya menjelaskan hal-hal yang bisa dihasilkan oleh lembaga peradilan (yaang berupa keputusan), padahal keputusan itu kadang-kadang tidak dihasilkan dari lembaga peradilan tersebut. Dimana seorang qadli, kadang-kadang memutuskan suatu perkara dan kadang tidak memutuskan sengketa antara dua orang yang berperkara. Karena itu, definisi yang menyeluruh (al jaami') dan bisa mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan di luar masalah yang didefinisikan (al mani') itu adalah definisi yang dikemukakan di awal pembahasan lembaga peradilan ini. Dimana definisi inilah yang digali dari banyak hadits.
Bahwa definisi tersebut juga mencakup vonis terhadap perkara di tengah-tengah masyarakat itu esensinya seperti realitas yang ada di dalam hadits A'isyah di atas. Disamping meliputi masalah hisbah (pemutusan perkara-perkara penyelewengan yang bisa merugikan hak jama'ah) yaitu pernyataan yang mengatakan: "Menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat dalam masalah yang merugikan hak jama'ah." Dimana realitas inilah yang ditunjukkan oleh hadits "Seonggok makanan" (shubratut tha'am). Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah yang mengatakan, bahwa Nabi saw. berjalan (melihat-lihat) seonggok makanan, lalu beliau memasukkan tangan beliau ke dalam makanan tersebut. Dimana jari beliau menemukan, bahwa bagian bawah onggokan makanan itu basah (dicampuri air). Lalu beliau bertanya:
"Ini apa, wahai pemilik makanan?" Dia menjawab: "Terkena hujan, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Tidakkah seharusnya yang terkena hujan diletakkan di bagian atasnya makanan ini, sehingga orang-orang bisa mengetahuinya. (Ingatlah), siapa saja yang menipu, bukan termasuk umatku."
Definisi tersebut juga mencakup masalah memberi pertimbagan dalam perkara-perkara madlalim (kedzaliman pejabat dan penguasa), sebab perkara-perkara tersebut merupakan perkara peradilan, bukan perkara hukum. Karena perkara itu berupa pengaduan terhadap tindakan penguasa dan pejabat, yaitu perkara tindak kedzaliman, sebagaiamana yang dinyatakan di dalam definisi tersebut: "Menyampaikan hukum dengan cara mengikat untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan aparat pemerintahan, baik khalifah, pejabat atau pegawai lainnya. Termasuk masalah yang terjadi di kalangan kaum muslimin, karena perbedaan dalam memahami makna salah satu nas syara' yang ingin diputuskan serta hukum yang ingin ditetapkan." Masalah tindak kedzaliman itu dinyatakan dalam hadits Rasulullah saw. ketika beliau bersabda:
"Aku sungguh tidak berharap bertemu (menghadap kepada) Allah Azza Wa Jalla, dimana ada orang yang menuntutku karena kedzaliman yang telah aku lakukan kepadanya, baik berkaitan dengan masalah darah meupun harta."
Juga nampak di dalam sabda Rasulullah saw.:
"Siapa saja yang pernah hartanya aku ambil, maka inilah harta milikku silahkan ambil (hak yang pernah aku ambil) darinya. Siapa saja yang pernah aku cambuk tubuhnya, maka inilah tubuhku, maka balaslah (mana saja yang disuka) darinya."
Kenyataan ini membuktikan, bahwa perkara yang dilakukan penguasa, wali atau pegawai negeri akan diangkat ke mahkamah madlalim (di-PTUN-kan) sesuai dengan apa yang diadukan oleh orang yang didzalimi. Dimana qadli madlalim-lah yang bertugas menyampaikan hukum itu dengan cara mengikat.
Oleh karena itu, definisi di ataslah yang menyeluruh dan mencakup tiga bentuk pengadilan yang dinyatakan di dalam hadits-hadits Rasulullah saw. serta af'al beliau di atas. Yaitu, penyelesaikan perkara sengketa yang terjadi di antara manusia, dan mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan hak jama'ah, serta menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan penguasa atau antara rakyat dengan pegawai negeri dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.
A. Bentuk-bentuk Pengadilan
Qadli bisa dibagi menjadi tiga, pertama adalah qadli biasa, yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal mu'amalah (transaksi yang dilakukan antara satu orang dengan orang yang lainnya) dan uqubat (sangsi hukum). Kedua, qadli muhtasib yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara penyimpangan yang bisa membahayakan hak jama'ah. Ketiga, qadli madlalim yaitu qadli yang mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara.
Inilah penjelasan tentang bentuk-bentuk pengadilan. Sedangkan dalil bahwa pengadilan biasa adalah lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia adalah af'al Rasulullah, termasuk pengangkatan beliau terhadap Mu'ad Bin Jabal di Yaman. Adapun dalil bahwa pengadilan itu adalah lembaga yang menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang bisa membahayakan hak jama'ah, yang sering disebut muhtasib adalah perbuatan dan sabda Rasulullah saw. Di antaranya Rasulullah saw. pernah bersabda:
"Siapa saja yang menipu, bukan termasuk umatku."
Rasulullah juga pernah menemukan penipu, kemudian beliau mencegahnya. Qais Bin Abi Ghurrah Al Kinani berkata, bahwa kami pernah membeli beberapa wasq (1 wasq = 130,560 kg gandum) di Madinah. Kami merupakan samasirah (agen penjual), maka keluarkan Rasulullah saw. mendatangi kami lalu menyebut kami dengan panggilan yang lebih bagus dari pada sebutan kami sebelumnya. Beliau bersabda:
"Wahai para saudagar, bahwa (dalam) jual beli ini sebenarnya bisa menyebabkan permainan dan sumpah (palsu), maka kalian harus melandasi jual beli tersebut dengan kejujuran."
Al Barra' Bin Azib dan Zaid Bin Arqam pernah melakukan kerjasama, lalu keduanya membeli perak dengan cara tunai dan kredit. Hal itu kemudian didengar oleh Rasulullah saw. lalu beliau memerintahkan keduanya:
"Yang dibeli dengan cara kontan, boleh. Sedangkan yang dibeli dengan cara kredit, harus ditolak."
Semuanya itu merupakan pengadilan hisbah. Sebutan pengadilan yang menyelesaikan perkara sengketa dan bisa membahayakan hak jama'ah itu dengan menggunakan sebutan hisbah adalah karena ia merupakan suatu istilah aktifitas tertentu dalam negara Islam. Yaitu mengawasi para pelaku bisnis, tukang dan pekerja, untuk mencegah mereka dari tindak penipuan dalam perdagangan mereka, pekerjaan dan hasil-hasil karya mereka. Dimana dia yang bertugas menyiduk mereka karena mempergunakan takaran dan timbangan atau yang lainnya, yang bisa membahayakan kepentingan kelompok masyarakat. Kegiatan itulah yang telah dijelaskan oleh Nabi saw. dimana beliau memerintahkannya serta menyelesaikan sengketa yang terjadi, sebagaimana yang nampak di dalam hadits Al Barra' Bin Azib, ketika beliau melarang dua pihak yang bekerjasama dengan cara yang satu kredit sedangkan yang lain dengan tunai. Karena itu, dalil tentang hisbah tersebut adalah dalil As Sunnah.
Hanya saja, Rasulullah saw. belum pernah mengangkat qadli tertentu dalam masalah hisbah tersebut. Begitu pula, para khulafaur rasyidin belum pernah ada yang mengangkat qadli tertentu dalam masalah hisbah, kecuali Umar Bin Khattab. Dimana beliau mengangkat As Syifa' seorang wanita dari kaumnya untuk menjadi qadli di pasar, yaitu qadli hisbah. Dan kadang beliau sendirilah yang melakukan tugas sebagai qadli hisbah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.. Hanya bedannya, Umar selalu keliling di pasar.
Jadi, khalifah senantiasa melakukan hisbah sendiri hingga berakhir pada masa khalifah Harun Ar Rasyid. Sebab, beliaulah yang mula-mula mengangkat muhtasib (qadli yang bertugas melakukan hisbah) yang berkeliling di pasar, dan bertugas memeriksa penipuan timbangan dan takaran serta mengawasi transaksi-transaksi yang dilakukan para pelaku bisnis. Setelah masa Al Mahdi, beliau membuat struktur khusus untuk menyelesaikan masalah hisbah itu, sehingga terbentuklah struktur lembaga peradilan.Adapun dalil tentang pengadilan yang kemudian disebut qadli madlalim adalah firman Allah SWT.:
"Apabila kalian berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah masalah tersebut kepada Allah dan Rasulullah." (Q.S. An Nisa': 59)
Ayat di atas, dinyatakan setelah firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian." (Q.S. An Nisa': 59)
Karena perselisihan antara rakyat dengan ulil amri (penguasa) itu harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu hukum Allah. Sedangkan untuk mengembalikan kepada hukum Allah itu mengharuskan adanya qadli yang memutuskan perkara persengketaan, maka dialah qadli madlalim. Dalil yang lain adalah perbuatan Rasulullah saw. ketika beliau mengangkat Rasyid Bin Abdillah sebagai qadli madlalim. Disamping itu, adalah sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:
"Siapa saja yang pernah hartanya aku ambil, maka inilah harta milikku silahkan ambil (hak yang pernah aku ambil) darinya. Siapa saja yang pernah aku cambuk tubuhnya, maka inilah tubuhku, maka balaslah (mana saja yang disuka) darinya."
Bukankah ini merupakan qadla' (pengadilan) madlalim. Karena hal-hal yang termasuk dalam definisi pengadilan madlalim adalah memberikan vonis terhadap perkara sengketa yang terjadi antara rakyat dengan khalifah.
Dalil tentang peradilan madlalim itu adalah perbuatan dan perkataan Rasulullah. Hanya saja, Rasulullah tidak mengangkat qadli secara khusus untuk mengurusi perkara madlalim tersebut di seluruh negeri. Begitu pula para khalifah setelah beliau. Mereka biasanya menyelesaikan sendiri perkara madlalim itu, seperti yang biasa dilakukan pada masa Ali Bin Abi Thalib ra. Hanya saja, beliau tidak menyediakan waktu-waktu khusus serta cara-cara tertentu. Tetapi, ketika terjadi kedzaliman maka fungsinya sebagai qadli madlalim tersebut nampak. Sehingga dalam prakteknya terjadi secara menyeluruh dalam tindakan-tindakan beliau --yang tidak dapat dipisahkan secara mandiri.
Keadaan seperti itu terus berlanjut hingga masa kekhalifahan khalifah Malik Bin Marwan. Sebab, dialah khalifah yang pertama kali menyediakan waktu khusus serta cara-cara tertentu untuk menyelesaiakan perkara madlalim tersebut. Dia biasanya menyediakan hari-hari tertentu untuk menyelesaikan perkara tersebut, dimana beliau selalu mengontrol terjadinya perkara madlalim. Apabila memang telah terjadi, maka dia segera melaporkannya kepada qadli untuk diadili. Khalifah Malik kemudian menyusun wakil-wakil yang bertugas mengawasi perkara madlalim di tengah masyarakat. Lalu disusunlah struktur pengadilan madlalim itu, dengan struktur tertentu, yang disebut dengan Darul Adli.
Praktek seperti ini diperbolehkan, dilihat dari segi pengangkatan qadli itu bertugas untuk menyelesaikan perkara madlalim. Sebab, dalam melaksanakan seluruh wewenang yang dimiliki khalifah dia boleh mengangkat orang tertentu untuk menggantikannya serta dari segi penyediaan waktu dan cara-cara khusus itu merupakan sesuatu yang diperbolehkan, karena semuanya itu merupakan kemubahan.
B. Syarat-syarat Qadli
Orang yang menjadi qadli disyaratkan harus 1) muslim, 2) merdeka, 3) baligh, 4) berakal, 5) adil, 6) ahli fikih, yang bisa mengetahui hukum beserta aplikasinya terhadap fakta hukum tersebut. Khusus, bagi qadli madlalim ada syarat tambahan, disamping syarat tersebut yaitu harus 7) laki-laki dan 8) mujtahid, sebagaimana kepala qadli. Karena tugasnya adalah memutuskan dan menghukumi. Dimana dia bertugas menghukumi penguasa serta memberlakukan hukum syara' kepada mereka. Karena itu, disyaratkan mereka harus laki-laki, disamping syarat-syarat qadli yang lain. Dimana antara lain harus ahli fikih. Hanya bedanya, syarat bagi qadli madlalim melebihi semuanya, yaitu harus mujtahid. Karena di antara perkara madlalim yang harus diputuskan adalah penguasa yang menerapkan hukum selain yang diturunkan oleh Allah SWT, misalnya dia menerapkan suatu hukum yang tidak ada dalil syara'nya atau menggunakan dalil yang tidak cocok untuk menjadi dalil bagi kejadian atau realiats tertentu. Dan perkara kedzaliman semacam itu tidak bisa diselesaikan kecuali oleh mujtahid. Kalau bukan mujtahid, tentu dia akan memvonis bukan berdasarkan ilmu dan tentu hal itu haram dan tidak diperbolehkan. Oleh kerena itu, harus ditambahkan syarat bagi hakim dan qadli tersebut, harus seorang mujtahid.
C. Pengangkatan Qadli
Qadli biasa dan muhtasib itu boleh diangkat dengan wewenang secara mutlak untuk memutuskan semua perkara di seluruh negeri. Namun, boleh juga diangkat dengan wewenang secara khusus, di tempat serta lembaga peradilan tertentu. Sedangkan qadli madlalim tidak boleh diangkat selain dengan wewenang secara mutlak, dari aspek peradilannya. Sedangkan dari aspek tempat dia boleh diangkat untuk seluruh negeri, namun juga boleh diangkat hanya untuk salah satu bagian dari negeri tersebut.
Ini diambil dari perbuatan Rasulullah saw. ketika beliau mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai qadli di Yaman serta mengangkat Mu'adz Bin Jabal di salah satu bagian negeri Yaman dan pengangkatan Amru Bin Ash untuk memutuskan satu perkara tertentu. Ini berhubungan dengan qadli muhtasib serta qadli khushumat (yang memutuskan perkara sengketa). Sedangkan tentang qadli madlalim itu boleh diangkat di tempat tertentu, karena Rasulullah saw. telah mengangkat Rasyid Bin Abdullah sebagai kepala pengadilan sekaligus qadli madlalim dalam urusan yang telah beliau tentukan. Sedangkan mengkhususkan qadli madlalim untuk memutuskan perkara-perkara tertentu itu tidak diperbolehkan. Karena tidak pernah ada pengkhususan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam perkara-perkara tersebut, sebab tugasnya adalah memberikan keputusan terhadap kedzaliman yang terjadi di tengah masyarakat, serta mengkikis sebab-sebab kedzaliman tersebut. Karena itu, tidak mungkin ruang kerjanya dikhususkan. Karena perkaranya memang tidak mungkin dipilah-pilah antara satu dengan yang lain. Karena sekalipun dia statusnya adalah qadli yang bertugas memberikan keputusan dalam perkara-perkara madlalim, namun sebenarnya dia juga seorang hakim (penguasa) yang bertugas mengikis sebab-sebab terjadinya perkara madlalim tersebut. Padahal otoritas pemerintahan tidak bisa dibagi, melainkan sebagai satu kesatuan yang integral yang tidak mungkin dipisahkan. Karena itu, seorang penguasa tidak boleh dikhususkan untuk menangani pemerintahan dalam bidang tertentu, dimana yang lain tidak boleh ditanganinya, kecuali hanya khusus untuk bidang tertentu saja.
Dilihat dari segi perkara-perkara yang ditanganinya, dengan melihat pengangkatannya sebagai seorang penguasa maka dia mempunyai otoritas dan wewenang dalam seluruh masalah. Jadi, tidak boleh mengkhususkannya dalam masalah pemerintahan tertentu. Begitu pula qadli madlalim, dia harus diangkat dengan wewenang secara mutlak, dari aspek tugas pengadilannya, namun dia boleh dikhususkan dari aspek tempat di mana dia ditugaskan. Sedangkan pengkhususan wali untuk menangani daerah tertentu, bukan berarti membagi-bagi kekuasaannya melainkan hanya mengkhususkan daerahnya saja. Sementara dengan adanya pengkhususan daerah itu tetap tidak membolehkan pembagian pemerintahan atau otoritasnya. Dan qadli madlalim itu adalah qadli yang diangkat dengan wewenang untuk menyelesaikan perkara madlalim, dimana wewenangnya mutlak mencakup seluruh perkara madlalim, sehingga tidak boleh otoritasnya dibagi-bagi. Dari sinilah, maka qadli madlalim itu hanya diangkat dengan wewenang (otoritas) secara mutlak, dilihat dari aspek penyelesaian perkara-perkara madlalim tersebut.
D. Bentuk Mahkamah
Mahkamah pengadilan hanya boleh terbentuk atas seorang qadli, yang memiliki wewenang memutuskan perkara peradilan. Hanya saja, diperbolehkan adanya satu atau lebih qadli yang lain, namun tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan vonis, selain wewenang memberikan masukan-masukan dan pandangan. Dimana pandangan maupun masukan-masukan mereka itu tidak bersifat mengikat.
Karena Rasulullah saw. tidak pernah mengangkat dua qadli untuk menyelesaikan satu perkara, melainkan beliau mengangkat satu qadli untuk satu perkara. Semuanya itu menunjukkan ketidakbolehan banyaknya qadli dalam satu perkara. Disamping itu, lembaga peradilan itu adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum dengan cara mengikat, sementara hukum syara' bagi seorang muslim --yang akan melaksanakannya-- hanya boleh satu, karena hukum itu merupakan hukum baginya, dimana hukum Allah itu hanya satu.
Memang benar, bahwa suatu pemahaman itu bisa beragam namun bagi seorang muslim di lihat dari aspek melaksanakannya hanya boleh ada satu hukum dan tidak boleh lebih dari satu. Maka, hukum yang menjadi pemahamannya itulah hukum Allah baginya, sementara pemahaman yang lain itu jelas bukan merupakan hukum Allah bagi dirinya. Sekalipun hukum itu tetap dianggap hukum syara'. Sedangkan apa yang telah diputuskan dan dilaksanakan sesuai dengan keputusan itu adalah hukum Allah bagi seorang muslim, sementara yang lain tidak.
Seorang qadli, ketika menyampaikan hukum Allah dalam satu perkara dengan cara mengikat itu wajib hanya ada satu hukum, karena dia menyampaikan hukum Allah dengan cara yang mengikat. Sebab, hakikatnya dia melaksanakan hukum Allah, sedangkan hukum Allah dalam aspek pelaksanaannya tidak boleh lebih dari satu, meskipun pemahamannya bisa beragam. Oleh karena itu, qadli hanya boleh ada satu, karena mustahil hukum Allah lebih dari satu dan saling kontradiktif. Hal ini berhubungan dengan satu perkara, yaitu dalam sebuah mahkamah. Sedangkan yang menyangkut masalah keberadaan mahkamah yang memutuskan seluruh perkara dalam satu negeri, maka adanya dua mahkamah secara terpisah di satu tempat itu hukumnya boleh. Sebab, lembaga peradilan itu merupakan wakil khalifah. Karena statusnya seperti akad wakalah (perwakilan) yang lainnya. Dan karena akad itu boleh diberikan kepada banyak orang atau banyak lembaga, maka diperbolehkan juga banyaknya lembaga peradilan dalam satu tempat. Apabila terjadi tarik-menarik dalam perkara sengketa di antara dua qadli di satu tempat, maka yang dimenangkan adalah pihak penuntut, sehingga keputusan tersebut diberikan untuk qadli yang menjadi penuntut. Karena dialah yang meminta hak dan tentunya dia lebih kuat dari pada yang diminta haknya (pihak terdakwah).Sedangkan seorang qadli itu tidak bisa memutuskan suatu perkara selain di dalam ruang sidang pengadilan. Begitu pula pembuktian dan kesaksian itu hanya bisa diterima, bila diberikan di dalam ruang sidang pengadilan.
Semuanya itu berdasarkan hadits riwayat Abdullah Bin Zubeir yang mengatakan:
"Rasulullah saw. telah memutuskan (perkara) dua orang yang bersengketa, dimana keduanya didudukkan di hadapan hakim."
Hadits ini menjelaskan bagaimana tindakan yang harus dilakukan oleh lembaga peradilan. Dimana tindakan itu merupakan tindakan yang diperintahkan karena esensi tindakan itu sendiri. Maksudnya adalah harus ada tindakan tertentu yang dilakukan oleh lembaga peradilan yaitu harus dihadapkannya dua orang yang bersengketa di hadapan hakim. Dan itu adalah ruang sidang (majelis) pengadilan. Dimana adanya majelis itu merupakan syarat sah atau tidaknya keputusan pengadilan tadi. Maksudnya, adanya majelis tertentu yang menghasilkan keputusan sehingga bisa disebut sebagai lembaga peradilan itu adalah suatu keharusan. Maka itu berarti, dua orang yang sedang bersengketa harus dihadapkan di hadapan hakim.
Masakah tersebut diperkuat oleh hadits Ali Bin Abi Thalib, ketika beliau diberitahu oleh Rasulullah saw.:
"Wahai Ali, apabila di hadapanmu ada dua orang yang bersengketa, maka jangan segera kau putuskan (perkara) di antara mereka, kecuali setelah kau mendengarkan pengakuan yang lain, sebagaimana kau mendengar pengakuan dari orang pertama."
Semuanya itu menjelaskan tindakan tertentu, yang ditunjukkan oleh sabda beliau: "Apabila di hadapanmu ada dua orang yang bersengketa.." Karena itu, adanya majelis pengadilan itu merupakan syarat sah atau tidaknya keputusan pengadilan tersebut. Begitu pula, adanya mejelis itu telah menjadi syarat diterima atau tidaknya suatu kesaksian. Berdasarkan sabda beliau:
"Tetapi kesaksian itu dari terdakwa."Gambaran tentang kesaksian bagi terdakwa tersebut tidak akan ada selain dalam majelis (ruang sidang) pengadilan. Demikian halnya, pembuktian hanya bisa diterima kalau diberikan dalam majelis (ruang sidang) pengadilan. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Pembuktian itu dari penuntut."
Dimana gambaran tersebut juga tidak akan ada, selain dalam majelis (ruang sidang) pengadilan.
Sedangkan bentuk mahkamah boleh berbeda-beda, berkaitan dengan jenis perkaranya. Dan boleh juga mengkhususkan beberapa mahkamah untuk menangani perkara-perkara tertentu, sedangkan perkara yang lain boleh diserahkan kepada mahkamah yang lain.
Alasanya, karena lembaga peradilan itu merupakan lembaga yang mewakili khalifah. Dimana, statusnya sama persis dengan akad wakalah yang lain, dan tidak ada perbedaan sedikit pun. Karena masalah itu merupakan masalah wakalah. Maka, diperbolehkan melakukan akad wakalah secara umum, maupun khusus. Oleh karena itu, seorang qadli boleh diangkat untuk menjadi qadli dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan yang lain tidak boleh diurusi. Diperbolehkan juga qadli yang lain diangkat untuk perkara-perkara yang lain termasuk menyelesaikan perkara dimana dia diangkat sekalipun hanya untuk satu tempat. Atau untuk menyelesaikan perkara di tempat lain. Oleh karena itu, diperbolehkan adanya tingkatan-tingkatan mahkamah. Dimana hal-hal seperti ini sudah pernah dilakukan oleh kaum muslimin pada masa-masa (pemerintahan Islam) yang pertama. Imam Al Mawardi dalam bukunya Al Ahkam As Sulthaniyah mengatakan: "Abu Abdillah Az Zubeiri berkata, bahwa tidak pernah ada satu masa pun, kecuali para penguasa di Basrah semasa hidup kami senantiasa mengangkat qadli untuk menjadi qadli di masjid raya, yang mereka sebut dengan nama qadli masjid. Dia bertugas menetapkan 200 Dirham dan 20 Dinar atau lebih bagi para pelanggar. Disamping memutuskan pengeluaran-pengeluaran. Dimana dia tidak akan menyimpang dari kedudukannya, serta dari hal-hal yang telah ditetapkan baginya."
Rasulullah saw. pernah menunjuk wakil beliau dalam memutuskan satu perkara, sebagaimana ketika beliau mengangkat Amru Bin Ash untuk mewakili beliau. Beliau juga pernah menunjuk wakil untuk memutuskan semua perkara dalam satu daerah, sebagaimana ketika beliau mengangkat Ali Bin Abi Thalib untuk mewakilinya menjadi qadli di Yaman. Semuanya itu menunjukkan bahwa mengkhususkan wewenang lembaga peradilan dan memberikan wewenangnya secara umum itu merupakan sesuatu yang diperbolehkan.
Sedangkan tentang mahkamah banding tingkat pertama maupun mahkamah banding tingkat kedua itu tidak boleh ada, karena seluruh bentuk pengadilan --dalam memutuskan satu perselisihan-- kedudukannya sama. Apabila seorang qadli memutuskan perkara, maka keputusannya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan oleh qadli yang lain.
Keputusan qadli tidak bisa dicabut, baik oleh qadli itu sendiri maupun oleh qadli yang lain. Dalil tentang ketidakbolehan qadli mencabut putusannya adalah ijma' yang telah disepakati oleh para sabahat. Bahwa Abu Bakar pernah memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya, lalu Umar berpendirian lain. Namun, hukum --yang telah diputuskan Abu Bakar-- tersebut tetap tidak bisa dibatalkan. Begitu pula Ali pernah berbeda dengan Umar dalam ijtihadnya, namun hukum-hukum --yang diputuskan Umar-- tidak bisa dibatalkan. Demikian pula, Ali pernah berbeda dengan Abu Bakar dan Umar dalam ijtihanya, namun hukum-hukum --yang mereka putuskan-- tidak bisa dibatalkan.
Penduduk Najran datang menghadap kepada Imam Ali lalu berkata: "Wahai Amirul mu'minin, keputusanmu di tanganmu, dan syafa'atmu di lisanmu." Beliau lalu berkata: "Ah kalian, Umar itu orang yang paling bijaksana dalam perkara ini. Dan aku tidak pernah menolak keputusan yang telah diputuskan oleh Umar."
Telah diriwayatkan, bahwa Umar pernah memutuskan hukum musyarrakah karena tidak adanya saudara sepupu, kemudian menetapkan bagian di antara saudara tersebut dengan musyarrakah. Dia lalu berkata: "Yang itu juga sesuai dengan keputusanku, sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku." Dan dia terus menerapkan dua hukum tersebut, sekalipun keduanya jelas bertentangan. Dia juga memutuskan bagian jad (kakek) dengan ketentuan yang berbeda-beda, namun dia tidak mencabut keputusan yang pertama. Sedangkan ada riwayat lain, bahwa Syuraikh telah memutuskan bagian dua saudara sepupu dari paman ('amm), salah satunya dengan bagian saudara laki-laki seibu yaitu hartanya diberikan kepada saudara laki-laki tersebut. Masalah itu kemudian dia sampaikan kepada Ali ra. lalu Ali berkata: "Aku hanya memiliki hak sebagai rakyat, maka bawalah masalah itu kepadanya." Lalu beliau bertanya: "Di bagian Al Qur'an yang mana engkau menemukan masalah tersebut?" Maka, Syuraikh menjawab: "Allah berfirman: "Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah." (Q.S. Al Anfal: 75). Lalu Ali berkata kepadanya: "Allah SWT. telah berfirman: 'Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari jenis saudara itu seperenam harta." (Q.S. An Nisa': 12)." Lalu Syuraikh mencabut keputusannya. Kenyataan ini tidak berarti bahwa Ali ra. telah membatalkan keputusan Syureikh. Akan tetapi, para sahabat telah memutuskan berbagai masalah dengan ijtihad mereka. Dalam hal ini, kadang-kadang mereka berbeda dengan khalifah. Seperti pada masa Abu Bakar, Umar maupun pada masa Ali. Namun, tidak seorang pun di antara mereka ada yang membatalkan keputusan (hukum) yang lain.
Yang jelas, Umar sendiri telah memutuskan satu masalah dengan keputusan yang saling bertentangan dan berbeda, namun keputusan itu tetap saja dia jalankan. Bahkan keputusannya yang pertama, tidak pernah dia cabut dengan keputusan (hukum) yang kedua padahal di antara keduanya jelas bertentangan. Malah, jelas-jelas dia mengatakan: "Yang itu juga sesuai dengan keputusanku, sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku." Ini bisa menjadi dalil, bahwa keputusan-keputusan pengadilan tidak bisa dibatalkan. Ibnu Qudamah di dalam bukunya Al Mughni mengatakan: "Apabila ijtihadnya berubah, dan tidak bertentangan dengan satu nas pun, termasuk dengan ijma', atau ijtihadnya bertentangan dengan ijtihad orang sebelumnya, maka dia tidak boleh mencabutnya karena berbeda. Sebab, para sahabat telah sepakat terhadap hal tersebut."Disamping itu, dalil ketidakbolehan banyaknya qadli juga merupakan dalil ketidakbolehan untuk mencabut keputusan (hukum) qadli. Karena, hukum Allah itu esensinya hanya satu, dan tidak lebih dari satu. Apabila hukum Allah dalam satu masalah itu telah diberlakukan, maka harus dilaksanakan sehingga tidak boleh dicabut kembali. Apabila seorang qadli telah memutuskan perkara tertentu, maka dia esensinya telah menempatkan hukum Allah itu untuk dilaksanakan, sehingga hukum itu harus diterapkan dan menerapkannya hukumnya fardlu. Oleh karena itu, secara mutlak hukum tersbeut tidak boleh dibatalkan (dicabut). Karena mencabutnya, berarti mencabut hukum Allah dan itu jelas tidak dibolehkan. Sehingga bagi qadli yang memvonis itu sendiri tidak diperbolehkan untuk mencabut dan membatalkan hukum (keputusan) itu. Begitu pula tidak diperbolehkan bagi qadli yang lain, untuk mencabut (membatalkan) keputusannya. Sebab, hukum Allah hanya satu, maka mencabutnya --disamping telah mencabut hukum Allah-- berarti juga telah menganggap hukum Allah itu banyak. Dan ini jelas tidak diperbolehkan.
Adapun apa yang diriwayatkan dalam surat Umar Bin Khattab ra. kepada Abu Musa Al Asy'ari yang mengatakan: "Dan janganlah suatu keputusan menghalang-halangi kamu (untuk mengambil) keputusan yang telah kau putuskan sebelumnya. Lalu setelah kau teliti keputusan itu sendiri, kau mendapat petunjuk karena kebijaksanaanmu dalam hal itu sehingga kau ingin kembali kepada yang haq, maka yang haq itulah yang harus diutamakan, sebab kembali kepada yang haq itu lebih baik daripada tetap berada dalam kebatilan." Surat ini yang jelas adalah pernyataan Umar, dimana pernyataan Umar itu bukan merupakan dalil syara'. Tidak bisa diklaim karena sahabat pada saat itu diam, maka itu telah menjadi ijma'. Karena, diam yang bisa dianggap sebagai ijma' adalah hanya diam terhadap peristiwa yang masyhur. Dimana telah menjadi hukum yang dilakukan semua orang, kemudian diketahui oleh para sahabat, dan secara syar'i semestinya harus diingkari, sehingga mereka bisa dinilai tidak mendiamkan kemungkaran. Sedangkan surat ini adalah surat yang ditujukan kepada qadli tertentu, bukan semua qadli. Sekalipun kemudian setelah itu, isi surat ini menjadi sedemikian populer. Namun, ini bukan merupakan peristiwa umum yang masyhur dikalangan sahabat. Disamping itu, masalahnya (yang disampaikannya) juga bukan merupakan masalah yang biasanya harus diingkari. Karena apa yang ada di dalamnya bukan merupakan masalah yang ditolak oleh syara'. Lebih-lebih maksud dari isi surat tersebut adalah, bahwa hukum yang kau putuskan sebelumnya, kemudian nampak kesalahannya, maka kau harus meneliti kembali persoalan lain lalu kau putuskan keputusan yang berbeda. Yang tidak berarti harus mencabut apa yang kau putuskan sebelumnya. Karena itu, Umar berkata: "Kau harus kembali kepada yang haq." Dan beliau tidak mengatakan: "Kau harus mencabut keputusanmu." Makna kembali kepada yang haq adalah meninggalkan pendapat yang salah serta kembali kepada pendapat yang benar. Hal ini bukan merupakan dalil, adanya kebolehan mencabut keputusan (hukum). Oleh karena itu, di dalam Islam tidak mengenal istilah Sawabiq Qadla'iyah, yaitu ada suatu perkara yang pernah diputuskan dengan keputusan begini, namun apabila satu perkara yang pernah diputuskan dengan keputusan tertentu itu telah lewat, maka keputusan itu tidak bisa lagi mengikat seseorang agar dilaksanakannya, sehingga dia boleh diputuskan dengan keputusan yang lain oleh qadli yang sama maupun oleh qadli yang lain, padahal jelas perkaranya sama.
Sedangkan menerapkan atas perkara itu sendiri esensinya adalah menerapkan hukum Allah, sehingga seorang qadli tidak diperbolehkan untuk menarik dan merubah hukum (keputusan). Dari sinilah, maka jelas di dalam Islam tidak ada mahkamah banding tingkat satu maupun tingkat dua. Tetapi lembaga peradilan dalam memutuskan perkara sengketa itu, kedudukannya adalah sama. Bahkan kaidah syara' menyatakan:
"Ijtihad tidak bisa dicabut dengan ijtihad yang serupa."
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» dakwaan dalam peradilan islam
» idealnya lembaga zakat
» dari piagam jakarta hingga peradilan agama
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
» idealnya lembaga zakat
» dari piagam jakarta hingga peradilan agama
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik