FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Halaman 1 dari 12 1, 2, 3 ... 10, 11, 12  Next

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by keroncong Tue Jan 31, 2012 9:26 pm

" Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi."

Bila kita membaca sejarah Islam, setidaknya ada tiga peristiwa penting yang melatarbelakangi peristiwa Isra dan Mi'raj Nabi Saw..

Pertama, peristiwa boikot yang dilakukan orang kaum Quraisy kepada seluruh keluarga Bani Hasyim. Kaum Quraisy tahu bahwa sumber kekuatan Nabi Saw adalah keluarganya. Oleh karena itu untuk menghentikan dakwah Nabi Saw. sekaligus menyakitinya, mereka sepakat untuk tidak mengadakan perkawinan, transaksi jual beli dan berbicara dengan keluarga bani Hasyim. Mereka juga bersepakat untuk tidak menjenguk yang sakit dan mengantar yang meninggal dunia dari keluarga Bani Hasyim. Boikot ini berlangsung kurang lebih selama tiga tahun. Tentunya boikot selama itu telah mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan khususnya kepada Nabi Saw. dan umumnya kepada keluarga Bani Hasyim.

Kedua, peristiwa wafatnya paman beliau, Abu Thalib. Peristiwa ini menjadi sangat penting dalam perjalanan dakwah Nabi Saw. sebab Abu Thalib adalah salah satu paman beliau yang senantiasa mendukung dakwahnya dan melindungi dirinya dari kejahilan kaum Quraisy. Dukungan dan perlindungan Abu Thalib itu tergambar dari janjinya," Demi Allah mereka tidak akan bisa mengusikmu, kecuali kalau aku telah dikuburkan ke dalam tanah." Janji Abu Thalib ini benar. Ketika ia masih hidup tidak banyak orang yang berani mengusik Nabi Muhammad Saw, namun setelah ia wafat kaum Quraisy menjadi leluasa untuk menyakitinya sebagaimana digambarkan dalam awal tulisan ini.

Ketiga, peristiwa wafatnya istri beliau, Siti Khadijah r.a. Peristiwa ini terjadi tiga hari setelah pamannya wafat. Siti Khadijah bagi Nabi Saw. bukan hanya seorang istri yang paling dicintai dan mencintai, tapi juga sebagai sahabat yang senantiasa mendukung perjuangannya baik material maupun spiritual, yang senantiasa bersama baik dalam keadaan suka maupun duka. Oleh karena itu, wafatnya Siti Khadijah menjadi pukulan besar bagi perjuangan Nabi Saw..

Tiga peristiwa yang terjadi secara berurutan itu sangat berpengaruh pada perasaan Rasulullah Saw. ia sedikit sedih dan gundah gulana. Ia merasakan beban dakwah yang ditanggungnya semakin berat. Oleh karena itu para sejarawan menamai tahun ini dengan ámul hujn (tahun kesedihan).
Dalam kondisi seperti itulah kemudian Allah Swt. mengundang Nabi Saw. melalui peristiwa isra dan mi'raj. Isra' adalah peristiwa diperjalankannya Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa sedangkan mi'raj merupakan peristiwa dinaikannya Nabi Saw. dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Peristiwa Isra Miraj ini mengajarkan banyak hal kepada Nabi Saw. Dalam perjalanan isra' ia melihat negeri yang diberkahi Allah Swt. dikarenakan di dalamnya pernah diutus para Rasul. Sedangkan dalam perjalanan mi'raj ia melihat tanda-tanda kebesaran Allah Swt. "Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari, dari Masjidil haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkati sekelilingnya, supaya kami perlihatkan ayat-ayat Kami kepadanya. Sesungguhnya Ia Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S Al Isra :1). "Sesungguhnya ia (Muhammad) melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) di waktu yang lain. Yaitu di Sidratul Muntaha. Didekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha itu diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya ia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (Q.S An-Najm : 13-18).

Isra' dan mi'raj merupakan pengalaman keagamaan yang paling istimewa bagi Nabi Muhammad Saw.. Puncaknya terjadi di Sidratul Muntaha. Muhammad Asad menafsirkan Sidratul Muntaha dengan lote-tree farthest limit (pohon lotus yang batasnya paling jauh). Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol kebijaksanaan (wisdom) dan kebahagiaan. Dengan demikian secara simbolik Sidratul Muntaha dapat diartikan sebagai puncak kebahagiaan dan kebijaksanaan.
Kebahagiaan yang dibarengi dengan kebijaksanaan inilah yang kemudian membedakan pengalaman keagamaan Muhammad Saw. sebagai nabi dan rasul dengan kaum sufi sebagai manusia biasa. Dengan bahasa yang sederhana tetapi penuh makna Abdul Quddus, seorang sufi Islam besar dari Ganggah, menyatakan,"Muhammad telah naik ke langit yang tinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi."

Ketika Nabi Saw. sampai di Sidratul Muntaha, Allah Swt memperlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya berupa bukti-bukti wujud, keesaan, dan kekuasaan-Nya. Disamping itu diperlihatkan juga surga, neraka, perihal langit, kursi dan 'arasy. Setelah melihat semua itu keyakinan Nabi Saw. terhadap keagungan Allah Swt dan kelemahan alam dihadapan keagungan-Nya semakin kuat. Pada gilirannya keyakinan seperti ini telah melahirkan kesadaran ruhani baru pada dirinya berupa kebijaksanaan (wisdom), ketentraman dan kebahagiaan.

Pada saat itu Nabi Saw. sudah mampu membedakan posisi Tuhan dan alam (manusia). Tuhan adalah sumber kebahagiaan, sementara alam sumber kesusahan dan kesengsaraan. Oleh karena itu menggantungkan semua harapan dan keinginan kepada-Nya akan mendatangkan kebahagiaan yang hakiki. Sebaliknya menggangtungkan semua harapan dan keinginan kepada alam akan mendatangkan kesengsaraan.

Kebahagian bertemu dan berdialog dengan Dzat yang dicintai dan mencintainya di Sidratul Muntaha tidak menyebabkan Nabi Saw. lupa akan tugas pokonya menebarkan rahmat Allah Swt. melalui dakwahnya. Hal tersebut dikarenakan, kebahagiaannya tersebut telah dibarengi dengan kebijaksanaan sehingga ia mampu membedakan persoalan pokok dengan cabang, prinsip dengan taktik, esensi dengan aksidensi serta alat dengan tujuan. Nabi Saw. sangat sadar bahwa kebahagian yang diperolehnya dalam Isra' dan Mi'raj bukan esensi dan tujuan utama Allah Swt. tetapi itu semua hanya alat untuk mempersiapkan kondisi jiwanya supaya bisa melaksanakan tugas yang lebih berat dari sebelum-sebelumnya. Oleh karena itu, ia meninggalkan kebahagiaan langit yang sedang dinikmatinya itu, kemudian turun ke bumi untuk berjibaku dengan realitas sosial yang penuh dengan tantangan dan penderitaan. Dengan demikian peristiwa isra' mi'raj Nabi Saw. tidak hanya memiliki makna individual tetapi juga memiliki makna sosial.

Disinilah letak perbedaan pengalaman keagamaan rasul dengan seorang sufi, terutama sufi falsafi. Pengalaman keagamaan rasul berdimensi individual dan sosial sedangkan pengalaman keagamaan sufi (mistik) lebih banyak berdimensi individual. Ketika seorang sufi mengalami fana, kondisi kejiwaannya hampir sama dengan kondisi kejiwaan Nabi Saw. ketika diisra' dan dimi'rajkan. Ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dirinya merasa menyatu dengan Allah Swt.. Ia hanyut dan mabuk dalam pelukan keindahan-Nya.

Pengalaman keagamaan seperti itu telah menyebabkan seorang sufi lupa akan diri dan lingkungannya. Kesadarannya bahwa ia bagian dari alam menjadi hilang. Ia menjadi tidak peduli lagi terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Ia hanya asyik ma'syuk dengan perasaannya sendiri dan terus menyendiri dengan dzikir-dzikirnya. Akibatnya, walaupun ia berdzikir ribuan kali dan mendatangkan ketenangan jiwa, namun semua itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Semakin lama ia berdzikir semakin dalam masuk pada kesadaran dunia mistik. Semakin masuk ke dalam kesadaran dunia mistik, semakin jauh dari realitas kehidupan. Penomena seperti ini dapat menjelaskan perilaku sebagian sufi yang senang mengasingkan diri dari dunia nyata.

Bagaimana dengan Kita ?
Ketika Muhammad Saw. mendapat tantangan berat dalam dakwahnya, ia diundang Allah Swt. melalui peristiwa Isra' dan Mi'raj. Melalui peristiwa ini Allah Swt. mengobati luka hatinya, menghilangkan kesedihannya dan menghibur duka laranya. Akibatnya jiwanya menjadi fresh (segar) dan bahagia kembali. Dalam kondisi jiwa seperti ini kemudian ia kembali ke bumi malanjutkan tugas dakwahnya yaitu menebarkan rahmat Allah Swt. di muka bumi ini. Disinilah, seperti disebutkan di atas, Isra' Mi'raj tidak hanya memiliki makna individual tetapi juga memiliki makna sosial.

Ada pertanyaan, bagaimana bila yang mendapatkan hambatan dakwah itu kita? Bagaimana bila yang mendapat kesusahan dan penderitaan itu kita? Apakah bagi kita masih ada peluang diisra'kan dan dimi'rajkan seperti nabi Muhammad Saw? Jawabannya, tentu tidak mungkin. Lantas apa yang mesti dilakukan bila semua itu terjadi pada kita?
Shalat! Inilah jawaban yang diberikan oleh Nabi Saw.

Isra dan mi'raj adalah salah satu mu'jizat Nabi Muhammad Saw.. Artinya itu hanya diberikan kepadanya tidak mungkin diberikan kepada manusia biasa. Namun demikian, berdasarkan petunjuknya ada amalan bagi orang-orang yang beriman yang memiliki fungsi sama dengan Mi'raj yaitu ibadah shalat. "Shalat itu mi'rajnya orang yang beriman (ash-shalatu mi'rajul mu'minín)" sabdanya.

Shalat secara bahasa berarti do'a. Doa pada hakikatnya merupakan bentuk dialog antara manusia dengan Allah Swt.. Ketika seseorang shalat, hakekatnya ia sedang bertemu dan berdialog dengan Allah Swt.. Oleh karena itu secara hakiki fungsi shalat dan mi'raj sama yaitu bertemu dan berdialog dengan Allah Swt..

Shalat yang benar mesti menghasilkan buah yang sama dengan buah Isra' mi'raj yaitu kesadaran individual dan sosial.

Tujuan utama shalat menurut Al Quran adalah untuk berdzikir (mengingat) kepada Allah Swt (Q.S Thaha : 14). Dzikir atau shalat. bila dilakukan dengan khusyu' akan mendatangkan ketentraman jiwa dan kebahagiaan hidup (Q.S Ar-Ra'du :28; Al Mu'minun : 1-2). Namun demikian, keberhasilan shalat seseorang tidak hanya diukur dari ketenangan dan ketentraman jiwa saja, tetapi mesti dilihat pula pada atsar (bekas) perilaku sosialnya. Menurut Al Quran, shalat yang benar mesti dapat menumbuhkan berbagai macam kebajikan seperti tumbuhnya kesadaran berinfak dan berzakat, kemampuan menghidarkan diri dari perilaku yang sia-sia, kemampuan memelihara diri dari perbuatan zina dan kemampuan memelihara amanat baik dari Allah Swt. ataupun sesama manusia ( Al Mu'minun : 3-8).

Disamping itu, shalat yang benar mesti dapat mengobati sifat kikir dan keluh kesah serta mencegah perbuatan keji dan munkar (Q.S Al Ma'arij : 19-25 ; Al Ankabut: 45). Rasulallah Saw. menyatakan bahwa shalat yang tidak dapat mencegah perbuatan keji dan munkar tidak akan menambah apa-apa bagi mushalli (orang yang shalat) kecuali hanya semakin menjauhkan dirinya dari Allah Swt (H.R.Ahmad).

Shalat yang memiliki dimensi individual dan sosial adalah shalat yang dilakukan dengan khusyu' dan dáim (kontinu). Menurut Imam Al Ghazali, shalat khusyu' adalah shalat yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Yaitu memahami apa yang diucapkan dalam shalat sehingga melahirkan perasaan ta'zhim (hormat), khauf (takut), harap (raja) dan haya (malu) terhadap Allah Swt.. Kesadaran ini disamping akan mendatangkan kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman jiwa, juga akan mampu memotivasi mushalli untuk merealisasikan seluruh janji yang diucapkannya di dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari. Wallah a'lam bi ash-shawwab.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Sat Feb 04, 2012 2:04 pm

bukti apa yang bisa dijadikan dasar percaya bahwa ia benar-benar terbang ke langit 7?
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty isra' mi'raj

Post by keroncong Mon Feb 27, 2012 7:13 am

Tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan masalah isra' mi'raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur'an dan hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra' mi'raj dengan kajian astronomi. Makna penting isra' mi'raj yang mestinya kita tekankan.
Kisah dalam Al-Qur'an dan Hadits
Di dalam QS. Al-Isra':1 Allah menjelaskan tentang isra':
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Dan tentang mi'raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:
"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."
Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Kejadian-kejadian sekitar isra' dan mi'raj dijelaskan di dalam hadits- hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, 'binatang' berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra' dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.
Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, "Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau."
Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, "Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau." Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.
Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh- sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku."
Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma'mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian- kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan badan fisik hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan ruh para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu'min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.
"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia...." (QS. 17:60).
"Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya...." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).


Hakikat Tujuh Langit
Peristiwa isra' mi'raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur'an.
Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa' atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.
Bilangan 'tujuh' sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:
"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya...."
Juga di dalam Q.S. Luqman:27:
"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...."
Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, ... sampai langit ke tujuh dalam kisah isra' mi'raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya --termasuk bumi-- mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1, ada di planet Pluto.
Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, isra' mi'raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam satu malam. Na'udzu billah mindzalik.
Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra' mi'raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra' mi'raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra' mi'raj adalah mu'jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makna pentingnya
Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra' mi'raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra' mi'raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.
Makna penting isra' mi'raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.
Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)

keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Sun Mar 04, 2012 10:57 am

semua hanya pengakuan seorang muhammad
dasar bagi kita untuk mempercayainya apa?

ke langit 7 naik binatang terbang, dongeng sebelom bobok apalagi ini?
perintah solat 50 kali sehari, berarti setiap menit solat, kekonyolan apalagi ini?
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by Jagona Sun Mar 04, 2012 4:06 pm

Aku berharap anda meneliti kembali Qs. 17/1 dengan baik dan teliti agar peristiwa Mi'raj nabi Muhammad ini benar-benar dapat dipahami manusia pada umumnya.
Perlu pula anda ingat bahwa ALLAH mengatakan "wa man asdaqu minallahi haditsa" yang diartikan dengan " Siapa yang lebih benar dari pada ALLAH tentang hadits". Jadi janganlah Alquran diserikatkan dengan hadits, apalagi hadits israiliyat
avatar
Jagona
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 78
Posts : 4039
Kepercayaan : Islam
Location : Banten
Join date : 08.01.12
Reputation : 18

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Sun Mar 04, 2012 4:09 pm

aneh..
allah bicara soal hadis

aneh..
israel bikin hadis
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by Jagona Sun Mar 04, 2012 4:34 pm

SEGOROWEDI wrote:aneh..
allah bicara soal hadis

aneh..
israel bikin hadis

kan kelihatan ..... lobetnya
avatar
Jagona
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 78
Posts : 4039
Kepercayaan : Islam
Location : Banten
Join date : 08.01.12
Reputation : 18

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Sun Mar 04, 2012 4:46 pm

ketika jibril ndikte quran
hadis belum ada

ketika hadis ditulis
israel gak pernah ada urusan dengan muhammad
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by Jagona Sun Mar 04, 2012 4:57 pm

SEGOROWEDI wrote:ketika jibril ndikte quran
hadis belum ada

ketika hadis ditulis
israel gak pernah ada urusan dengan muhammad

hadits israiliyat buatan Bani Israil baru muncul +/- 200 tahun setelah Muhammad wafat, mereka bikin hadits buat ngancurken Islam dari dalam
avatar
Jagona
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 78
Posts : 4039
Kepercayaan : Islam
Location : Banten
Join date : 08.01.12
Reputation : 18

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Sun Mar 04, 2012 5:02 pm

Jagona wrote:
hadits israiliyat buatan Bani Israil baru muncul +/- 200 tahun setelah Muhammad wafat, mereka bikin hadits buat ngancurken Islam dari dalam

israel tidak pernah ada urusan dengan islam
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by keroncong Wed Mar 07, 2012 6:53 pm

Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup (siirah) Rasulullah SAW adalah peristiwa diperjalankannya beliau (isra) dari Masjid al Haram di Makkah menuju Masjid al Aqsa di Jerusalem, lalu dilanjutkan dengan perjalanan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjid al Aqsa) menuju ke Sidrat al Muntaha (akhir penggapaian). Peristiwa ini terjadi antara 16-12 bulan sebelum Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan hijrah ke Yatsrib (Madinah).

Allah SWT mengisahkan peristiwa agung ini di S. Al Isra (dikenal juga dengan S. Bani Israil) ayat pertama:

"Maha Suci Allah Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu (potongan) malam dari masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".

Memang "Subhanallah", sebuah ungkapan indah yang terucapkan baik dalam kerangka kesadaran maupun diluar kesadaran seorang Mu'min di saat menyaksikan, merasakan atau mengalami sebuah kejadian yang "luar biasa" (kharij 'anil 'aadah). Ungkapan ini tidak pernah dan tak mungkin tertujukan kepada sang makhluk, termasuk Rasulullah SAW. Sebab sesuatu yang sifatnya "khalqi" atau makhluqi, tidak mungkin dikategorikan sebagai "kharij 'anil 'aadah" (luar biasa). Semua kejadian yang terjadi karena makhluk adalah biasa, dan tidak mungkin dianggap luar biasa.

Itulah sebabnya "tasbihh" pada kata "Subhanallah" senantiasa bergandengan dengan Allah SWT. Bukankah memang kreasi-kreasi Ilahi dalam persepsi manusia semuanya adalah "di luar kemampuan kendali manusiawi"? Sehingga wajar, peristiwa Isra' wal Mi'raj, di mana Allah dengan sangat enteng memperjalankan hambaNya ('abdihi), Muhammad SAW, dengan jarak yang sangat-sangat jauh bahkan tak terbayangkan seorang manusia dapat terjadi, apalagi pada zaman kegelepan/kebodohan seperti itu. Tapi dengan akal yang sama, adakah yang tidak bisa terjadi dengan Pencipta semua yang manusia anggap biasa maupun luar biasa? Kalau sekiranya teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah sekitar 3% saja, sedangkan 97% berada di luar kemampuannya", maka apakah secara akal pula, akal yang begitu naïf itu mampu mempertanyakan "ke Maha luar biasa-an" Allah SWT?

Saya justeru khawatir, jikalau banyak umat Islam yang terikut oleh kaum empiris dan rasionalis yang rela menghinakan "nurani" dan "qalbu"nya dalam memahami wahyu Ilahi secara proporsional, menjadi "murtad" tanpa sadar jika mengingkari berbagai kejadian "luar biasa" yang terjadi karena Allah seperti informasi Al Qur'an, termasuk Isra' wal Mi'raj. Dan oleh karenanya, saya hanya mengingatkan dua "sikap" manusia terhadap pertistiwa agung itu. Sikap "imani" yang ditempuh oleh para sahabat agung seperti Abu Bakar, dan sikap "kufri" yang ditempuh oleh kafir Qurays dengan standar akal pemikiran yang sempit. Umat Islam, dalam hal ini, kiranya tahu diri dan pintar-pintar bersikap sehingga tidak jatuh ke dalam perangkap "keraguan" yang ditembakkan oleh penjahat-penjahat iman. Pendekatan yang terbaik adalah pendekatan "imaniy", seperti yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Siddiq, seperti yang tercakup dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang mengatakannnya, pastilah benar adanya. Sungguh saya telah mempercayainya lebih dari itu".

Untuk itu, ketimbang terkooptasi oleh perbincangan yang berbahaya, atau minimal membawa kepada kesia-siaan, tidakkah akan lebih baik jika memontem ini dipergunakan untuk mentadabburi "hikam" atau "'ibar" (hikmah dan pelajaran) yang terkandung di dalamnya. Sebab memang, salah satu kelemahan umat Islam di hadapan untaian sejarah perjalanan Islam dan segala yang terkait dengannya, termasuk berbagai sejarah yang diungkapkan oleh Al Qur'an adalah bahwa umat Islam hanya mampu menyelami pesisir sejarah yang sesungguhnya "dalam" tersebut. Kisah Fir'aun, Qarun, Haman, Tsamud, Abu Lahab, dan berbagai kisah masa lalu perjalanan kehidupan, tak jarang dihafal namun tidak ditangkap secara jernih dan teliti makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Lalu apa pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan Isra wal Mi'raj ini? Barangkali catatan ringan berikut dapat memotivasi kita untul lebih jauh dan sungguh-sungguh menangkap pelajaran yang seharusnya kita tangkap dari perjalanan agung tersebut:
Pertama: Konteks situasi terjadinya

Kita kenal, Isra' wal Mi'raj terjadi sekitar setahun sebelum Hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah (Yatsrib ketika itu). Ketika itu, Rasulullah SAW dalam situasi yang sangat "sumpek", seolah tiada celah harapan masa depan bagi agama ini. Selang beberapa masa sebelumnya, isteri tercinta Khadijah r.a. dan paman yang menjadi dinding kasat dari penjuangan meninggal dunia. Sementara tekanan fisik maunpun psikologis kafir Qurays terhadap perjuangan semakin berat. Rasulullah seolah kehilangan pegangan, kehilangan arah, dan kini pandangan itu berkunang-kunang tiada jelas.

Dalam sitausi seperti inilah, rupanya "rahmah" Allah meliputi segalanya, mengalahkan dan menundukkan segala sesuatunya. "warahamatii wasi'at kulla syaein", demikian Allah deklarasikan dalam KitabNya. Beliau di suatu malam yang merintih kepedihan, mengenang kegetiran dan kepahitan langkah perjuangan, tiba-tiba diajak oleh Pemilik kesenangan dan kegetiran untuk "berjalan-jalan" (saraa) menelusuri napak tilas "perjuangan" para pejuang sebelumnya (para nabi). Bahkan dibawah serta melihat langsung kebesaran singgasana Ilahiyah di "Sidartul Muntaha". Sungguh sebuah "penyejuk" yang menyiram keganasan kobaran api permusuhan kaum kafir. Dan kinilah masanya bagi Rasulullah SAW untuk kembali "menenangkan" jiwa, mempermantap tekad menyingsingkan lengan baju untuk melangkah menuju ke depan.

Artinya, bahwa kita, saya dan anda semua, adalah "rasul-rasul" Rasulullah SAW dalam melanjutkan perjuangan ini. Betapa terkadang, di tengah perjalanan kita temukan tantangan dan penentangan yang menyesakkan dada, bahkan mengaburkan pandangan objektif dalam melangkahkan kaki ke arah tujuan. Jikalau hal ini terjadi, maka tetaplah yakin, Allah akan meraih tangan kita, mengajak kita kepada sebuah "perjalanan" yang menyejukkan. "Allahu Waliyyulladziina aamanu" (Sungguh Allah itu adalah Wali-nya mereka yang betul-betul beriman". Wali yang bertanggung jawab memenuhi segala keperluan dan kebutuhan. Kesumpekan dan kesempitan sebagai akibat dari penentangan dan rintangan mereka yang tidak senang dengan kebenaran, akan diselesaikan dengan cara da metode yang Hanya Allah yang tahu. Yang terpenting bagi seorang pejuang adalah, maju tak gentar, sekali mendayung pantang mundur, konsistensi memang harus menjadi karakter dasar badi seorang pejuang di jalanNya. "Wa laa taeasuu min rahmatillah" (jangan sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah).
Kedua: Purifikasi/Pensucian Hati

Disebutkan bahwa sebelum di bawah oleh Jibril, beliau dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apakah hati Rasulullah kotor? Pernahkan Rasulullah SAW berbuat dosa? Apakah Rasulullah punya penyakit "dendam", dengki, iri hati, atau berbagai penyakit hati lainnya? Tidak…sungguh mati…tidak. Beliau hamba yang "ma'shuum" (terjaga dari berbuat dosa). Lalu apa signifikasi dari pensucian hatinya?

Rasulullah adalah sosok "uswah", pribadi yang hadir di tengah-tengah umat sebagai, tidak saja "muballigh" (penyampai), melainkan sosok pribadi unggulan yang harus menjadi "percontohan" bagi semua yang mengaku pengikutnya. "Laqad kaana lakum fi Rasulillahi uswah hasanah".

Memang betul, sebelum melakukan perjalanannya, haruslah dibersihkan hatinya. Sungguh, kita semua sedang dalam perjalanan. Perjalanan "suci" yang seharusnya dibangun dalam suasa "kefitrahan". Berjalan dariNya dan juga menuju kepadaNya. Dalam perjalanan ini, diperlukan lentera, cahaya, atau petunjuk agar selamat menempuhnya. Dan hati yang intinya "nurani" (cahaya yang menerangiku), itulah lentera perjalanan hidup.

Cahaya ini berpusat pada hati seseorang yang ternyata juga dilengkapi oleh gesekan-gesekan "karat" kehidupan (fa alhamaha fujuuraha). Semakin kuat gesekan karat, semakin jauh pula dari warna yang sesungguhnya (taqawaaha). Dan oleh karenanya, di setiap saat dan kesempatan, diperlukan pembersihan, diperlukan air zamzam untuk membasuh kotoran-kotoran hati yang melengket. Hanya dengan itu, hati akan bersinar tajam menerangi kegelapan hidup. Dan sungguh hati inilah yang kemudian "penentu" baik atau tidaknya seseorang pemilik hati. "Alaa inna fil jasadi mudhghah. Idzaa soluhat, soluhat sairu 'amalihi. Wa idza fasadat, fasada saairu 'amalihi".

Disebutkan bahwa hati manusia awalnya putih bersih. Ia ibarat kertas putih dengan tiada noda sedikitpun. Namun karena manusia, setiap kali melakukan dosa-dosa setiap kali pula terjatuh noda hitam pada hati, yang pada akhirnya menjadikannya hitam pekat. Kalaulah saja, manusia yang hatinya hitam pekat tersebut tidak sadar dan bahkan menambah dosa dan noda, maka akhirnya Allah akan akan membalik hati tersebut. Hati yang terbalik inilah yang kemudian hanya bisa disadarkan oleh api neraka. "Khatamallahu 'alaa quluubihim".

Di Al Qur'an sendiri, dalam rangka menjaga sinar "nurani" ini (kalbu), disebutkan dalam berbagai bentuk urgensi membersihkan dan menjaga kebersihan hari. "Sungguh beruntung siapa yang mensucikannya, dan sungguh buntunglah siapa yang mengotorinya". Maka sungguh perjalanan ini hanya akan bisa menuju "ilahi" dengan senantiasa membersihkan jiwa dan hati kita, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah sebelum perjalanan sucinya tersebut.
Ketiga: Memilih Susu - Menolak Khamar

Ketika ditawari dua pilihan minuman, dengan sigap Rasulullah mengambil gelas yang berisikan susu. Minuman halal dan penuh menfaat bagi kesehatan. Minuman yang berkalsium tinggi, menguatkan tulang belulang. Rasulullah menolak khamar, minuman yang menginjak-nginjak akal, menurunkan tingkat inteletualitas ke dasar yang paling rendah. Sungguh memang pilihan yang tepat, karena pilihan ini adalah pilihan fitri "suci".

Dengan bekal jiwa yang telah dibersihkan tadi, Rasulullah memang melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, hanya memang ada dua alternatif di hadapan kita. Kebaikan dan keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan akan selalu identik dengan kerugian. Seseorang yang hatinya suci, bersih dari kuman dosa dan noda kezaliman, akan sensitif untuk menerima selalu menerima yang benar dan menolak yang salah. Bahkan hati yang bersih tadi akan merasakan "ketidak senangan" terhadap setiap kemungkaran. Lebih jauh lagi, pemiliknya akan memerangi setiap kemungkaran dengan segala daya yang dimilikinya.

Dalam hidup ini seringkali kita diperhadapkan kepada pilihan-pilihan yang samar. Namun sensitivitas jiwa yang bersih akan dengan mudah mengidentifikasi mana yang terbaik untuk diambil dan ditolak. Kejelian dalam memilih yang terbaik bagi keselamatan kita di dunia dan akhirat, akan ditentukan oleh ketajaman kalbu dan nurani itu sendiri. Inilah inti dari fitrah insani. Fitra menjadi acuan, lentera, pedoman dalam mengayuh bahtera kehidupan menuju tujuan akhir kita (akhirat). Dan oleh karenanya, jika ternyata kita dalam melakukan pilihan-pilihan dalam hidup ini, ternyata kita seringkali terperangkap kepada pilihan-pilihan yang salah, buruk lagi merugikan, maka yakinlah itu disebabkan oleh tumpulnya firtah insaniyah kita. Agaknya dalam situasi seperti ini, diperlukan asahan untuk mempertajam kembali fitrah Ilahiyah yang bersemayam dalam diri setiap insan.
Keempat: Arah Perjalanan; Vertikal - Horizontal

Perjalanan dua arah, satau menuju Jerusalem dan satu lagi menuju ke atas di Sidratul Muntaha. Perjalanan horizontal yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan vertikal. Dalam perjalanan horizontal ini beliau digambarkan bertolak dari masjid ke sebuah masjid, dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Artinya, bahwa dalam kita melangkahkan kaki di tengah perjalanan kita menuju tujuan akhir, alangkah pentingnya diperhatikan awal langkah. Motivasi dasar atau niat kita dalam melakukan sesuatu harus karena "masjid" (sujud) atau dalam kerangka ketaatan kepada Sang Khaliq. Lalu tujuan dari dilakukannya sesuatu itu pula tidak lain sekedar untuk menuju kepada masjid (sujud) atau ketaatan pula. Pertautan niat dan tujuan (karena ketaatan), menjadikan setiap langkah yang kita lakukan akan selalu harmonis dengan keduanya. Bagaimana mungkin seseorang melakukan karena dan untuk Allah, namun melakukannya dengan cara yang tidak diridhai olehNya? "Qul Inna shalaati wa nusuki wamahyaaya wamamaati lillaahi Rabbil'aalimiin".

Perjalanan horizontal di atas mutlak bersambungan dengan perjalanan vertikal menuju kehariabaanNya. Dalam agama Islam, setiap amalan "ta'abbud umuumi" (mu'amalaat) selalu bersambungan dengan "ta'abbud khushushi" (ibadah khassah). jika kamu telah menunaikan shalat, maka bertebaranglah di atas bumi dan carilah rezki Allah. Dan ingatlah kepada Allah yang banyak", demikian perintah Allah SWT.

Perjalanan horizontal yang dilakukan adalah proses menuju arah vertikal. "Addunya mazra'atul aakhirah" (dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat) jelas Rasulullah SAW. Maka kemanapun langkah kaki, dalam dunia horizontalnya, akhirnya jua akan menuju ke atas. "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" (semua jiwa akan merasakan kematian), firman Allah. Maka lakukanlah langkah-langkah horizontal kita secara baik, karena itu akan menentukan proses langkah selanjutnya menuju atas. Kedua arah perjalanan kaki dalam kehidupan ini kemudian menjadi penentu ketentraman, kebahagiaan, keharmonisan dan kesuksesan hidup insani. Allah menggariskan: "Kenistaan dan kemiskinan akan menimpa mereka di mana saja mereka berada, kecuali menjalin hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia". Hubungan vertikal yang solid dan juga hubungan horizontal yang mantap.
Kelima: Imam Shalat Berjama'ah

Shalat adalah bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim, sekaligus merupakan simpol ketaatan totalitas kepadaYang Maha Pencipta. Pada shalatlah terkumpul berbagai hikmah dan makna, bekal dalam melanjutkan sisa-sisa langkah kehidupan seorang insan. Shalat menjadi simbol ketaatan total dan kebaikan universal yang seorang Muslim senantiasa menjadi tujuan hidupnya.

Maka ketika Rasulullah memimpin shalat berjama'ah, dan tidak tanggung-tanggung ma'mumnya adalah para anbiyaa (nabi-nabi), maka sungguh itu adalah suatu pengakuan kepemimpinan dari seluruh kaum yang ada. Memang jauh sebelumnya, Musa yang menjadi pemimpin sebuah umat besar pada masanya, bahkan diakui telah diberikan keutamaan di atas seluruh umat manusia (wa annii faddhaltukum 'alalaamiin), juga mengakui kepemimpinan Rasulullah SAW. Bahkan Ibrahim, Eyangnya banyak nabi dan Rasul, menerima menjadi Ma'mum Rasulullah SAW. Beliau menerima dengan rela hati, karena sadar bahwa Rasulullah memang memiliki kelebihan-kelebihan "leadership", walau secara senioritas beliaulah seharusnya menjadi Imam.

Kempimpinan dalam shalat berjama'ah sesungguhnya juga simbol kepemimpinan dalam segala skala kehidupan manusia. Allah menggambarkan sekaligus mengaitkan antara kepemimpinan shalat dan kebajikan secara menyeluruh: "Wahai orang-orang yang beriman, ruku'lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu serta berbuat baiklah secara bersama-sama. Nisacaya dengan itu, kamu akan meraih keberuntungan" Sungguh, ruku dan sujud secara bersama-sama menjadi bagian integral dari penyembahan Allah bersama serta menjadi landasan dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam situasi seperti inilah, seorang Muhammad telah membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin bagi seluruh pemimpin umat lainnya. Sehingga adalah menjadi "logic" jika umat Muhammad SAW juga seharusnya menjadi "pemimpin" bagi seluruh umat manusia. "Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, agar kamu menjadi penyaksi-penyaksi atas manusia yang lain, sebagaimana Rasul Allah telah menjadi penyaksi atas kamu".

Masalahnya, umat Islam saat ini tidak memiliki kriteria tersebut. Kriteria "imaamah" atau kepemimpinan yang disebutkan dalam Al Qur'an masih menjadi "tanda tanya" besar pada kalangan umat ini. "Dan demikian kami jadikan di antara mereka pemimpin yang mengetahui urusan Kami, memiliki kesabaran dan ketangguhan jiwa, dan adalah mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami". Mengetahui urursan Kami. Itu adalah kriteria awal. Pengetahuan atau "keilmuan" menandakan bahwa seorang pemimpin itu mutlak memiliki "leadership skill" yang tinggi. Sehingga wajar saja kalau Rasulullah juga mensyaratkan kepemimpinan shalat misalnya dengan dua hal; "aqraukum" (terbaik bacaannya) dan "a'lamukum bilhadits" (yang paling berilmu dalam hadits). Ilmu hadits di sini tentunya adalah mengetahui secara baik tatatanan kehidupan Rasulullah sebagai pemimpin secara baik.

Dilemma umat terbesar adalah bahwa belum ada bukti kongkrit kepemimpinan yang dapat menjadi "bargaining". Sehingga ketika menklaim kepemimpinan, orang boleh saja bertanya: "Dalam hal apakah anda akan memimpin kami"? Politik, ekonomi, sosial budaya, atau bahkan moralitas? Saya heran termangu-mangu, ketika menyaksikan di dunia Islam orang berebutan naik bus umum. Orang tua, kaum wanita, orang lemah tak ada yang menolong apalgi memberikan "prioritas", sementara di dunia Barat, Amerika misalnya, mereka merupakan elemen masyarakat uyang mendapat perhatian khusus. Lalu apakah yang akan ditawarkan? Akankah kita tawarkan teori muluk yang ternyata belum mampu menyentuk kehidupan riil kita sendiri?

Kita umat Islam, yang seharusnya menjadi pemimpin umat lainnya, ternyata memang menjadi salah satu pemimpin. Sayang kepemimpinan dunia Islam saat ini terbalik, bukan dalam shalat berjama'ah, bukan dalam kebaikan dan kemajuan dalam kehidupan manusia. Tapi menurut laporan sebuah majalah baru-baru ini, menjadi salah satu negara terburuk (terkorup) dan termiskin di dunia. Inilah kepemimpinan sebagian dunia Islam masa kini. Murid saya di Labor Union (Retiree program) mengatakan: "I love your country, but not much your people". Saya bertanya: "Why?" Murid saya yang berumur 76 tahun ini menjawab: "They stole my wallat. In the immigration, they force me to pay them for nothing". Menyakitkan, tapi itulah realita.
Keenam: Kembali ke Bumi dengan Shalat

Setiap kali kita membicarakan Isra' wal Mi'raj, yang tergambar jelas dalam persepsi kita adalah perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa, dilanjutkan ke Sidratula Muntaha di al Baitul Ma'muur. Sangat sedikit yang menyadari, bahwa segera setelah selesai perjalanan suci itu, Rasulullah kembali ke bumi dengan satu bekal kehidupan yang paling penting, yaitu shalat.

Ada dua sisi pada poin ini. Pertama adalah kembalinya ke bumi. Kedua adalah dibekalkannya beliau dengan shalat.

Perjalanan singkat yang penuh hikmah tersebut segera berakhir, dan dengan segera pula beliau kembali menuju alam kekiniannya. Rasulullah sungguh sadar bahwa betapapun ni'matnya berhadapan langsung dengan Yang Maha Kuasa di suatu tempat yang agung nan suci, betapa ni'mat menyaksikan dan mengelilingi syurga, tapi kenyataannya beliau memiliki tanggung jawab duniawi. Untuk itu, semua kesenangan dan keni'matan yang dirasakan malam itu, harus ditinggalkan untuk kembali ke dunia beliau melanjutkan amanah perjuangan yang masih harus diembannya.

Demikianlah seharusnya semangat spiritualitas seorang Muslim, yang senantiasa terkait dengan dunia "atas", namun kenyataannya dunia "bawah" juga merupakan kenyataan yang harus dilalui. Menelusuri alam materi duniawi adalah keniscayaan. Mencari dunia adalah, tidak saja tuntutan hajat manusiawi, tapi menjadi kewajiban agama sekaligus. "Dan bekerja keraslah untuk akhiratmu, namun jangan lupa nasibmu di dunia ini", pesan Allah. Bahkan Al Qur'an, sebagaimana diperintahkan untuk sungguh-sungguh pergi mengingat Allah (fas'au ilaa dzikrillah), dan bahkan diperintahkan mengabaikan "kesibukan jual beli" (wadzarul bae'), juga segera setelah itu disusuli dengan perintah berlawanan: "faidzaa qudhiyatis Shalaah fantasyirru fil ardh wabtaghuu min fadhlillah". Kedua perintah tersebut adalah datang dari Tuhan yang sama. Dan oleh karenanya, harus disikapi secara sama pula. Artinya, kewajiban memenuhi ajakan untuk shaklat Jum'at adalah 100%, memenuhi aturan-aturanNya juga 100%. Namun pada saat yang sama, memenuhi ajakan kedua tadi, bertebaran mencari rezki Allah adalah juga perintah 100% dan juga harus memenuhi aturanNya 100%.

Inilah sikap seorang Muslim. Kita dituntut untuk turun ke bumi ini dengan membawa bekal shalat yang kokoh. Shalat berintikan "dzikir", dan karenanya dengan bekal dzikir inilah kita melanjutkan ayunan langkah kaki menelusuri lorong-lorong kehidupan menuju kepada ridhaNya. "Wadzkurullaha katsiira" (dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak), pesan Allah kepada kita di saat kita bertebaran mencari "fadhalNya" dipermukaan bumi ini. Persis seperti Rasulullah SAW membawa bekal shalat 5 waktu berjalan kembali menuju bumi setelah melakukan serangkaian perjalanan suci ke atas (Mi'raj).

Demikia sekilas makna Isra wal Mi'raj, mohon maaf atas keterbatasan saya, semoga kalau ada manfaatnya diterima oleh Allah SWT. Dan kalau seandainya banyak kesalahan, dan saya yakin itu karena itulah hakikat saya, semoga Allah Yang Rahman dan rahim berkenan mengampuni saya.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by keroncong Thu Mar 08, 2012 6:24 pm

SEGOROWEDI wrote:bukti apa yang bisa dijadikan dasar percaya bahwa ia benar-benar terbang ke langit 7?

simak dulu

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.

Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.

Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.

Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.

Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.

Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.

Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.

Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.

Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."

Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.

Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).

Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.

Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.

Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.

Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).

Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.

Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).

Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."

Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.

Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.

Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.

Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.

Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.

Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.

Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.

Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.

Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.

Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).

Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).

Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).

Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).

Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).

Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:

Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).

Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).

Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Thu Mar 08, 2012 11:10 pm

ichreza wrote:
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy.

nah loh...
padahal semua lagi-lagi hanya pengakuan muhammad sendiri
naik hewan terbang ke langit 7, di langit ketemu nabi-nabi, diperintah solat 50 kali sehari,
musa ingin jadi umat muhammad, dan lain-lain (maaf) keko nyOlan
kenapa bisa pada percaya?
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by dangdutman Sun Mar 18, 2012 12:19 am

SEGOROWEDI wrote:
ichreza wrote:
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy.

nah loh...
padahal semua lagi-lagi hanya pengakuan muhammad sendiri
naik hewan terbang ke langit 7, di langit ketemu nabi-nabi, diperintah solat 50 kali sehari,
musa ingin jadi umat muhammad, dan lain-lain (maaf) keko nyOlan
kenapa bisa pada percaya?

klo ga percaya ya udah.....siap-siap aja masuk neraka
avatar
dangdutman
KOPRAL
KOPRAL

Male
Posts : 25
Join date : 17.03.12
Reputation : 2

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Fri Apr 20, 2012 8:51 am

bayangin tidak kalau kamu harus solat 50 kali sehari?
musa ingin jadi umat muhammad, bayangin tidak hyper narsisnya?
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by keroncong Mon May 07, 2012 7:27 pm

  Diterjemahkan dari AlQur'an surah An Najm ayat 1 s.d 18
    1. Demi bintang ketika terbenam,
    2. Kawanmu, (Muhammad), tidak sesat dan tidak keliru,
    3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
    4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
       (kepadanya),
    5. yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat (yaitu Jibril),
    6. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan dia menampakkan diri dengan
       rupa yang asli.
       7. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi.
       8. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi,
       9. Maka jadilah dia dekat laksana dua busur panah atau lebih
       dekat.
       10. Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah
       diwahyukan.
       11. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
       12. Maka apakah kamu hendak membantah tentang apa yang telah
       dilihatnya ?
       13. Dan sesungguhnya ia telah melihatnya itu pada waktu yang lain,
       14. Di Sidratil Muntaha.
       15. Di dekatnya ada Jannah tempat tinggal,
       16. ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
       17. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan
       tidak melampauinya.
       18. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya
       yang paling hebat.

   Nabi Allah yang terakhir, yaitu Rasul Allah
   Muhammad Saw telah mengadakan perjalanan malam dari masjidil Haraam
   kemasjidil Aqsha dan telah menyaksikan sebagian tanda-tanda kebesaran
   Tuhan yang hebat dan dahsyat dengan ditemani oleh Malaikat Jibril yang
   akan dilihatnya dalam wujud aslinya pada saat di Muntaha sebagaimana
   yang pernah dijumpai Rasulullah pertama kalinya digua Hira ketika
   mendapatkan wahyu yang pertama.

       Peristiwa itu, bagi Nabi sendiri merupakan pengalaman yang paling
       tinggi dan sempurna dalam kehidupan kerohaniannya. Kepergiannya
       keatas orbit bumi sampai terus menjulang tinggi melangkahi berjuta
       bahkan bermilyar bintang dan benda-benda angkasa lainnya untuk
       pada akhirnya sampai dihadapan 'Arsy Ilahi menyaksikan kebesaran
       Allah baik dengan mata kepala, mata batin atau mata hatinya
       sehingga sangat sulit dilukiskan.
       Kaum alim ulama banyak berbeda pendapat mengenai masalah kejadian
       yang dialami oleh Nabi yang agung ini, bahwa apakah peristiwa itu
       terjadi secara rohani ataukah secara jasmani alias dengan badan
       kasar ?
       Sejak jaman permulaan, masalah ini senantiasa menjadi masalah
       ikhtilafiah, masalah yang membangkitkan beda pendapat antara alim
       ulama dan mufassirin. Dan ini adalah hal yang sangat wajar sekali,
       bukankah tingkat pemahaman setiap orang dapat berbeda-beda sesuai
       dengan cara berpikir dan pengetahuan masing-masing serta
       perkembangan peradaban tekhnologi pada masanya ?
       Ada sementara orang yang menganggap bahwa peristiwa perjalanan
       Nabi ini terjadi dalam mimpi, padahal mimpi itu tidak perlu
       dibantah. Toh itu cuma mimpi. Misalnya seperti saya yang berada di
       Palembang, lalu saya mengatakan bahwa tadi malam saya bermimpi
       pergi ke London, maka tidak akan ada seorangpun yang bisa
       membantah saya, karena hal itu hanyalah mimpi.
       Orang yang berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi dalam mimpi
       mencoba mengemukakan dalil AlQur'an : [star5.gif]
       "Dan tidak Kami jadikan penglihatan (Ar ru'yaa) yang Kami
       perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia."
       (QS. 17:60)
       Menurut mereka, lafal Ru'ya (dalam bahasa Arabnya memakai huruf
       "ya" saja) adalah berarti penglihatan dalam mimpi, bukan
       penglihatan dalam sadar. Sebab penglihatan dalam keadaan sadar
       mempergunakan bentuk masdar Ru'ya(h) (dalam bahasa Arabnya memakai
       huruf "ta" setelah huruf "ya")
       Terhadap alasan ini, kita kemukakan jawaban bahwa apabila
       Penglihatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah Mimpi, maka
       bagaimanakah hal ini bisa menjadi Ujian bagi manusia sebagaimana
       yang firman Allah yang ada pada lanjutan ayat 17:60 diatas ?
       Sedangkan makna Ujian bagi manusia ini ialah adanya sebagian
       mereka yang membenarkan dan adapula yang mendustakan. Kalau toh
       hal itu berupa penglihatan dalam mimpi, maka orang tidak perlu
       lagi memperbincangkan untuk membenarkan atau mendustakannya.
       Adakah anda pernah menjumpai orang yang membantah terhadap mimpi
       seseorang karena didalam mimpinya itu ia melihat atau melakukan
       perbuatan begini dan begitu ? Tidak, tidak mungkin ada orang yang
       akan membantah mimpi itu (yang nota bene orang-orang kafir pada
       saat Rasul menceritakan peristiwa itu tidak akan membantahnya -
       seandainya peristiwa itu terjadi dalam mimpi).
       Sekarang mari kita bicarakan arti kata "Ru'yaa dari segi bahasa
       menurut undang-undang kebahasaan Arab yang berlaku.
       Coba lihat kembali ucapan-ucapan jahiliah sebelum diturunkannya Al
       Qur-an, juga pada saat Nabi Ibrahim memandang takjub atas
       bintang-bintang, bulan, matahari dilangit ketika dalam pencarian
       jati diri Tuhannya, maka akan kita dapati bahwa kata-kata "Ru'yaa"
       juga dipergunakan dalam arti "melihat dalam keadaan sadar"
       (melihat dengan mata kepala).
       Jadi perkataan "Ru'yaa" dengan arti "melihat dalam keadaan sadar"
       dipakai untuk perkara-perkara yang aneh-aneh dan menakjubkan yang
       biasanya terjadi dalam mimpi.
       Apabila kita hendak menyatakan bahwa kita melihat sesuatu yang
       biasa maka kita katakan :
       Ro aitu Ru'yah tetapi jika kita mengatakan sesuatu hal yang dapat
       dilihat dengan mata kepala (Dalam keadaan sadar) dan kita
       mempergunakan kata-kata "ra-aa" dengan bentuk masdar "rukyaa",
       maka berarti apa yang kita katakan itu adalah hal yang luar biasa
       yang umumnya hanya terjadi dalam mimpi, namun itu tidak berarti
       kita sedang dalam mimpi.
       Sekarang kita lanjutkan dengan membicarakan kata-kata "Ja'ala",
       bagaimanakah penggunaannya menurut tata bahasa ?
       Saya berpendapat bahwa kata-kata "Ja'ala" ini apabila digunakan
       untuk sesuatu yang belum ada kemudian menjadi ada, maka kata-kata
       "Ja'ala" tersebut sama artinya dengan "Khalaqa".
       Perhatikan Firman Allah :
       "Waja'ala minha zau jaha"
       Artinya :"Dan Kami jadikan daripadanya pasangannya." [star5.gif]
       Maksudnya adalah : Kami ciptakan istri Adam itu dari padanya yang
       mana pada waktu itu si Istri tersebut belum ada lantas kemudian
       menjadi ada. Tetapi apabila kata-kata "Ja'ala" ini digunakan untuk
       sesuatu yang sudah ada, maka artinya ialah "Merubah". Dari
       kata-kata "Ja'ala" dengan arti yang kedua ini maka akan timbul dua
       hal, yaitu adanya "Maj'ul" (sesuatu yang dijadikan/yang dibuat)
       dan "Maj'ul minhu" (sesuatu yang dijadikan daripadanya akan
       sesuatu yang lain).
       Misalnya kita katakan : Ja'altussinaibrita Artinya :Saya membuat
       tanah liat menjadi kendi.
       Maka tanah liat ini sebagai bahan (Maj'ul minhu) dan kendinya
       sebagai Maj'ul.
       Begitu juga dengan firman Allah terhadap Nabi Ibrahim :Inni
       Ja'iluka linnasi imama, Artinya: "Aku akan menjadikan engkau
       sebagai imam bagi manusia." (QS. 2:124), maka hal itu berarti
       bahwa Nabi Ibrahim sudah ada, sedangkan "Keimaman" adalah perkara
       yang lain lagi.
       Lalu kembali lagi pada arti ayat 17:60 :"Dan tidak Kami jadikan
       penglihatan yang Kami perlihatkan kepadamu itu melainkan..."
       Dijadikan apakah penglihatan yang diperlihatkan kepada Nabi
       Muhammad Saw itu ?
       Jawabnya : Dijadikan ujian bagi manusia dimana timbul
       reaksi-reaksi dari mereka, yaitu ada yang membenarkan dan ada yang
       mendustakan. Atau, kalau kata-kata "Ru'yaa" disini diartikan
       dengan mimpi, maka mimpi ini dapat dijadikan Ujian bagi orang lain
       ? Karena mimpi tersebut kemudian menjadi kenyataan, dan dari
       kenyataan (peristiwa nyata) inilah lantas timbul Ujian.
       Sehingga dengan demikian maka dapat diambil pengertian bahwa
       peristiwa Mi'raj itu mula-mula dialami Rasulullah Saw dalam mimpi,
       kemudian dalam alam kenyataan sebagaimana hal ini dialami
       Rasulullah Saw pada peristiwa yang lain seperti yang difirmankan
       oleh Allah :
       "Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang
       kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesunguhnya
       kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram.."
       (QS. 48:27)
       Dimana peristiwa memasuki Masjidil Haram ini mula-mula berupa
       impian, kemudian menjadi kenyataan. Dan tidak ada yang menghalangi
       Allah untuk memperlihatkan kepada ruh Muhammad Saw mengenai
       peristiwa Mi'raj ini dalam mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan.
       Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah mengalami
       Mi'raj dalam mimpi dan oleh ruhnya, lalu dialaminya dalam alam
       kenyataan.
       A'isyah r.a. pernah mengatakan :
       "Sesungguhnya Rasulullah Saw tidak bermimpi sesuatupun melainkan
       mimpinya itu akan menjadi kenyataan seperti terbitnya fajar."
       Sekarang, mari kita tinjau kembali secara teliti, Surah 53 yang
       dimulai dari ayat 1 s.d ke-18 yang telah saya cantumkan pada
       bagian permulaan dari artikel ini, dan perhatikan ayat-ayat yang
       telah saya tebalkan dan miringkan hurufnya dan akan saya kutip
       kembali beberapa ayat yang berhubungan erat dengan pembahasan
       utama kita :
       11. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
       12. Maka apakah kamu hendak membantah tentang apa yang telah
       dilihatnya ?
       Ayat 1 s.d 12 itu menceritakan saat pertama kali
       pertemuan Nabi Muhammad Saw dengan malaikat Jibril, dimana
       Muhammad waktu itu sedang melakukan pengasingan diri lengkap
       dengan jasad fisiknya (lahir-batin) didalam gua Hira pada saat
       menerima wahyu pertama.
       Dan penglihatan terhadap Jibril ini dilakukan dengan mata kepala
       Rasulullah sendiri, lahir batinnya beliau melihat, serta "hati
       Rasul tidak pula mendustakan penglihatan matanya"
       Lalu pada ayat berikutnya (12), kita semua ditanya oleh Allah Maka
       apakah kamu hendak membantah tentang apa yang telah dilihatnya ?
       Jauh-jauh hari ternyata Allah sudah mempertanyakan keraguan yang
       ada didalam diri kita atas apa yang telah pernah dilihat oleh
       Rasulullah Muhammad Saw, sehingga semakin menjelaskan bahwa
       kejadian di Gua Hira itu adalah nyata dan kongkrit dan tidak bisa
       terbantahkan.
       Nah, selanjutnya kejadian digua Hira ini berulang kembali pada
       saat di Sidratul Muntaha yang termaktub pada Surah yang sama pada
       ayat selanjutnya, 13-18
       13. Dan sesungguhnya ia telah melihatnya itu pada waktu yang lain,
       14. Di Sidratil Muntaha.
       17. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan
       tidak melampauinya.
       18. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda Tuhannya
       yang paling hebat.
       Rasanya sudah transparan sekali Allah menjelaskan
       ayat-ayat tersebut kepada kita untuk dapat dimengerti serta
       dipahami bahwa semuanya berlangsung dengan logis dan real.
       Tetapi memang, sebagaimana yang saya katakan sebelumnya,
       masing-masing orang dapat berbeda didalam menafsirkan setiap ayat
       didalam AlQur'an, mengingat memang kandungan yang ada pada
       AlQur'an begitu luas, indah dan mempesona selain juga begitu
       ilmiah.
       Keilmiahan inilah yang rupa-rupanya masih agak sulit ditangkap
       oleh para alim ulama dahulu kala, karena memang perkembangan
       peradaban tekhnologi pada masa itu belumlah lagi secanggih
       sekarang ini, sehingga pernyataan manusia bisa terbang kebulan
       saja masih banyak yang takjub dan terheran-heran serta tidak
       percaya.
       Memang bisa dimaklumi, penerbangan keangkasa luar dengan
       menggunakan pesawat terbang sendiri sebagai pelajaran struktur
       jagad raya baru dicapai sekitar abad 18 Masehi. Sebelum itu cerita
       manusia terbang tanpa pesawat hanya dijumpai dalam cerita wayang
       atau cerita mengenai Nabi Sulaiman dengan karpet terbangnya atau
       juga mengenai cerita di Romawi dengan kuda sembraninya.
       Hal ini juga kiranya yang menyebabkan orang dahulu cenderung
       mencocokkan beberapa arti ayat AlQur-an sedemikian rupa, sehingga
       bagi mereka yang selalu berkutat dengan bidang ilmiah yang
       membacanya menjadi berkesan rancu, lucu dan irrasional. Padahal
       kita semua tahu dan sadar, AlQur-an sangat jauh dari sifat-sifat
       tersebut.
       Ayat-ayat semacam inilah yang dimaksudkan oleh Allah dengan
       ayat-ayat yang Mutasyabihat seperti yang saya singgung dalam
       Kata Pengantar Studi Kritis dalam Memahami AlQur-an
       Kita akan melanjutkan pembahasan mengenai Mi'raj Rasul Allah
       Muhammad Saw ini dengan beberapa tinjauan-tinjauan ilmiah, pada
       bagian kedua.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by keroncong Mon May 07, 2012 7:29 pm

  Subhanallazi Asro bi'abdihi laylam minal masjidil harom mi ilal
   masjidil aqshollazi barokna haw lahu linuriyahu min ayatina innahu
   huwassami'ul basyir

   "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
   dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
   sekelilingnya untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda
   kebesaran Kami.
   Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
   (QS. 17:1)
   Pada ayat suci ini terdapat beberapa istilah yang harus dipahami
   dengan sesungguhnya, tidak mungkin diartikan sambil lalu saja.
   Istilah-istilah itu ialah :

   Maha Suci Allah :
   Dalam menyampaikan berita terjadinya peristiwa Mi'raj ini, Allah
   memulainya dengan kata-kata "Subhana" (Maha suci) ... kata-kata
   "Subhana" ini akan memberikan pengertian dalam hati seseorang bahwa
   disana ada kekuatan yang jauh dari segala macam perbandingan, kekuatan
   yang jauh melampaui segala kekuatan manusia dimuka bumi.

   Maka makna kata "Subhanallah" ialah bahwa Allah itu Maha Suci DzatNya,
   SifatNya dan PerbuatanNya dari segala kesamaan. Kalu ada suatu macam
   perbuatan atau peristiwa yang disitu Allah mengatakan bahwa "Peristiwa
   itu Dia melakukan" maka kita harus mensucikan Dia dari segala
   undang-undang dan ketentuan yang berlaku untuk manusia, dan kita tidak
   boleh mengukur perbuatan Allah itu dengan perbuatan kita. Oleh karena
   itulah maka surat ini dimulaiNya dengan kata-kata "Subhana" (Maha
   Suci) sehingga akan timbul kesan didalam hati manusia bahwa peristiwa
   itu benar-benar peristiwa ajaib dan diluar jangkauan akal dan
   kemampuan manusia.

   "Subhana" berarti juga "tanzih" (mensucikan).
   Apabila Allah mengatakan "Subhana" berarti mensucikan perbuatan-Ku
   dari perbuatan-mu wahai makhluk.
   Maknanya bahwa undang-undang atau ketentuan yang berlaku bagi
   "Perbuatan" Allah tidak sama dengan ketentuan yang berlaku bagi
   "Perbuatan" makhluk-makhlukNya.

   Yang memperjalankan :
   Subjek dari "Yang memperjalankan" dalam hal ini adalah Allah, dengan
   kalimat : "Al-Ladzii asraabi.."
   Dalam ayat 8/70 dan 8/67 terdapat pula istilah "Asraa" yang artinya
   "tawanan", berupa kata benda, noun atau isim. Dalam konteks ayat 17/1
   ini, kita mengartikan "Asraabi" dengan "Memperjalankan dalam
   penjagaan" sebagai kata kerja, verb atau fi'il. Hal ini dapat
   dibandingkan pada maksud ayat 26/52 dimana terdapat istilah yang sama
   tetapi fi'il amar untuk memperjalankan Bani Israil dengan penjagaan
   untuk menyeberangi laut merah.

   Kalimat ini memberi pengertian bahwa Nabi Muhammad Saw itu di Asraa
   kan dalam pengertian di mi'rajkan oleh Allah, bukan Asraa dengan
   sendirinya alias kehendak Muhammad sendiri dan juga bukan atas
   kepintaran yang ada pada diri Nabi Muhammad, tetapi dengan keilmuan
   dan kekuasaan Allah yang memperjalankannya.

   Hamba-Nya :
   Dalam ayat ini Allah tidak menyebut lafal "RasulNya" atau lafal
   "Muhammad", tetapi disebutNya dengan lafal Bi'abdihi, yaitu dengan
   sifat "Ubudiyah" atau Penghambaan kepada Allah yang mana hal ini
   merupakan pintu datangnya karunia Allah, sebab semua Nabi dan Rasul
   yang nota bene merupakan panutan umat, diutus untuk membenarkan atau
   meluruskan cara penghambaan kita kepada Allah.

   Kata sifat "Ubudiyah" atau penghambaan ini adalah kata-kata yang
   pahit, kata-kata yang sulit dan kata-kata yang dibenci oleh manusia,
   apabila terjadi antara sesama makhluk, antara yang satu terhadap yang
   lain, karena dengan demikian maka makhluk yang satu akan menjadi hamba
   bagi makhluk yang lain. Dan ini mengharuskan sihamba mencurahkan
   segala baktinya, semua tenaga dan kemampuannya kepada tuannya.

   Tetapi penghambaan dari makhluk terhadap Al-Khaliq justru sebaliknya,
   yaitu Al-Khaliq yang dipertuan itulah yang akan memberi karunia kepada
   orang yang menghambakan diri kepadaNya.
   Karena itu maka ubudiyah disini adalah suatu kemuliaan, manakala
   pengabdian itu meningkat maka pemberian karunia dari Allah Yang Maha
   Suci itu ditingkatkan pula.

   Ini juga yang terjadi pada diri Nabi Isa as. putra Maryam yang
   disebutkan oleh Allah dalam surah 4:172 :

   Layyastanifa almasihu ayyakuna 'abda lillahi walal mala'ikatul
   mukarrobun
   "AlMasih tiada enggan menjadi hamba bagi Allah, demikian pula para
   malaikat yang dekat."
   (QS.4:172)

   Disamping itu, kata-kata "Bi'abdihi" ini dapat dipakai untuk
   memberikan jawaban penolakan atas orang yang berpendapat bahwa
   perjalanan malam Nabi Muhammad Saw ini hanya terjadi dengan ruhnya
   saja tanpa dengan jasadnya, sebab kata-kata "abd" (hamba) itu dipakai
   untuk ruh beserta jasadnya sekaligus, bukan untuk ruh saja atau jasad
   saja, sehingga tidak ada orang yang mengatakan ruh itu sebagai "abd"
   atau jasad yang tidak ber-ruh sebagai 'abd.

   Pada suatu malam :
   Jelas sudah, bahwa Nabi Muhammad Saw telah diperjalankan oleh Allah
   pada waktu malam hari.
   Lalu kenapa mesti malam hari Rasul diberangkatkan ? Dapatkah kita
   jelaskan secara ilmiah, logis dan kejiwaan ?
   Disini kita sudah sepakat bahwa Rasulullah diperjalankan secara logis,
   secara nyata dan real, maka sekarang kita akan berangkat pada
   keterangan yang juga logis dan ilmiah serta mengena kepada ilmu
   kejiwaan.
   Masih ingat [1]kisah Adam yang dulunya bertempat tinggal didalam
   Jannah yang kita artikan sebagai kebun yang subur yang berada diluar
   planet bumi pada bahagian pertama artikel saya ini ?
   Sekarang coba anda perhatikan kembali ayat ke-14 dan ke-15 dari surah
   An Najm (53) yang telah saya cantumkan pada bagian awal :

   14. Di Sidratil Muntaha.
   15. Di dekatnya ada Jannah tempat tinggal,

   Dan kemudian silahkan juga memperhatikan ayat-ayat berikut yang sudah
   pernah kita kemukakan pada pembahasan masalah Adam yang lalu :

   "Maka Kami berkata:"Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh
   bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia
   mengeluarkan kamu berdua dari Jannah
   , yang menyebabkan kamu menjadi aniaya. Sesungguhnya kamu tidak akan
   kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan kamu tidak akan
   merasa dahaga dan tidak akan kepanasan".
   (QS. 20:117-119)

   Rasanya cocok sekali jika kita menghubungkan antara Jannah yang
   termaktub dalam ayat ke-15 surah 53 itu dengan Jannah dimana dulunya
   Adam dan istri pernah tinggal sebelum "diterbangkan" keplanet bumi.
   Coba perhatikan dengan baik, Jannah tempat dimana Adam berada itu
   dikatakan tidak akan merasa kepanasan, dan saya mengasumsikan bahwa
   Jannah itu letaknya ada di Muntaha dimana Rasulullah Muhammad Saw
   melakukan perjalanannya pada peristiwa Mi'raj.

   Jadi, Muntaha itu adalah nama sebuah tempat yang bisa juga sebuah
   planet yang berada diluar angkasa dan untuk sementara bisa kita
   katakan kedudukannya berada diatas orbit bumi, seperti halnya dengan
   kedudukan planet Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus dan Pluto.

   Untuk jelasnya mungkin anda bisa melihat didalam "Peta Ruang Angkasa"
   yang menggambarkan posisi kedudukan planet-planet dalam tata surya
   yang mengelilingi matahari dalam gugusan Bimasakti. Dimana ada dua
   planet yang berkedudukan dibawah orbit bumi dan dekat dengan matahari,
   yaitu Merkuri dan Venus.

   Planet bumi kita ini jaraknya dengan matahari adalah 150 Juta Km
   dengan lamanya waktu mengelilingi matahari dalam 365,25 hari.

   Bandingkan dengan planet Pluto sebagai planet terjauh yang berhasil
   diketahui oleh para ahli tahun 1930 sampai hari ini (1998) yang
   memiliki jarak 5.900 Juta Km dari matahari, bergaris tengah hanya
   6.400 Km.
   Jarak rata-rata Pluto dari matahari paling besar dibandingkan dengan
   jarak antara matahari dengan planet lainnya. Tetapi lintasan edar
   Pluto agak "unik" dan menyilang lintasan planet Neptunus. Akibatnya,
   Pluto kadangkala beredar/mengembara disebelah dalam lintasan orbit
   Neptunus.

   Pluto akan mencapai titik terdekat dengan kita ditahun 1989 yang lalu,
   kemudian menjauh dan titik terjauh akan dicapainya pada tahun 2113
   yang akan datang.

   Sangat sedikit memang yang kita ketahui mengenai Pluto, namun ada
   dugaan bahwa planet itu terdiri dari material yang sangat padat.

   Dan para ahli ditahun 1972 memperkirakan bahwa adanya planet diluar
   lintasan Pluto, pada jarak kurang lebih 9.660 juta-juta kilometer.
   Gaya tarik gravitasi planet tersebutlah yang menyebabkan perubahan
   kecil pada lintasan beberapa komet. Dengan cara yang sama pula
   kehadiran Pluto telah diduga 15 tahun sebelum penemuannya, yaitu
   setelah penelaahan atas perubahan pada lintasan orbit Neptunus

   Nazwar syamsu, seorang penulis buku-buku seri
   Tauhid dan logika (Sekarang dilarang beredar) yang juga menjadi salah
   satu buku acuan saya didalam mengemukakan pendapat, pernah
   menyimpulan, bahwa planet tersebut adalah Muntaha yang dimaksudkan
   oleh Qur'an sebagai tempat Mi'rajnya Nabi Muhammad Saw.

   Landasan Nazwar Syamsu berpendapat begitu karena menurutnya, planet
   ke-10 tersebut letak orbitnya yang berada diatas orbit planet bumi
   kemudian juga jaraknya yang jauh dari matahari kita yang dicocokkannya
   dengan bunyi ayat ke-119 dari surah An Najm yang menyatakan bahwa Adam
   tidak akan kepanasan disana (yang diasumsikan sebagai panasnya sinar
   matahari), serta pasnya penomoran Qur'an dengan 7 lapis langit yang
   ada diatas kita (yang diterjemahkannya dengan 7 buah planet yang
   mengorbit diatas bumi).

   Masing-masing planet yang ada diatas orbit bumi itu ialah :
   [orbit.gif]

    1. Mars
    2. Jupiter
    3. Saturnus
    4. Uranus
    5. Neptunus
    6. Pluto
    7. Muntaha

   Dan dasar dari pemahaman beliau adalah dari ayat Qur'an yang memang
   banyak sekali mengungkapkan tentang adanya 7 langit atau terkadang
   disebut dengan tujuh jalan yang diciptakan oleh Allah Swt.

   Satu diantaranya adalah sbb :

   "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis dan kamu
   sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah
   sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
   lihat sesuatu yang tidak seimbang?"
   (QS. 67:3)

   Dan yang menjadi alasan kenapa perjalanan yang dilakukan oleh Nabi
   Muhammad Saw pada malam hari adalah jika orang berangkat meninggalkan
   bumi pada siang hari, maka dia akan mengarah kepada matahari yang
   menjadi pusat orbit planet-planet. Dan hal itu bukan berarti "Naik"
   tetapi "Turun", karena semakin dekat kepada pusat orbit atau kepusat
   rotasi, maka itu berarti turun, sedangkan Muhammad menyatakan beliau
   telah naik waktu mengalami Asraa (perjalanan) itu.

   Ayat 17/11 yang sedang kita analisis ini menyatakan bahwa Muhammad
   dari Masjidil Haraam dibumi naik ke Muntaha, yang mana untuk sementara
   ini kita simpulkan dulu bahwa kedudukan Muntaha itu mengorbit diatas
   bumi dan bukan dibawah bumi. Kalau orang naik dari bumi menuju Muntaha
   hendaklah dia berangkat waktu malam yaitu bergerak dengan menjauhi
   matahari selaku titik yang paling bawah dalam tata surya kita.

   Orang mengetahui bahwa semesta, galaksi, tata surya dan planet,
   masing-masingnya mengalami perputaran.
   Setiap putaran tentunya memiliki pusat putaran yang langsung menjadi
   pusat benda angkasa itu. Semuanya bagaikan bola atau roda yang
   senantiasa berputar. Maka sesuatu yang menjadi pusat putaran dikatakan
   paling bawah dan yang semakin jauh dari pusat putaran dinamakan
   semakin atas.

   Dalam hal ini keadaan dibumi dapat dijadikan contoh.
   Pusat putaran bumi dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari
   pusat itu dikatakan semakin atas.
   Akibatnya, orang yang berdiri di Equador Amerika dan orang yang
   berdiri dipulau Sumatera, pada waktu yang sama, akan menyatakan
   kakinya kebawah dan kepalanya keatas, padahal kedua orang tersebut
   sedang mengadu telapak kaki dari balik belahan bumi, tetapi
   masing-masingnya ternyata benar untuk status bawah dan atas yang
   dipakai dipermukaan bumi ini.

   Demikian juga jika contoh itu dipakai untuk status tata surya dimana
   matahari sebagai bola api langsung bertindak jadi pusat kitaran
   ataupun peredaran.

   Karenanya matahari dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari
   matahari dinamakan semakin atas.
   Venus dan Mercury berada dibawah orbit bumi karena keduanya mengorbit
   dalam daerah yang lebih dekat dengan matahari, jadi jika ada penduduk
   bumi yang pergi ke Venus, Mercury atau Matahari, maka orang tersebut
   turun bukan naik, karenanya[2] Venus dan Mercury tidak mungkin disebut
   sebagai langit bagi planet bumi kita, sebab yang dikatakan langit
   adalah sesuatu yang berada dibahagian atas, tetapi benar kedua planet
   itu menjadi langit bagi matahari sendiri.

   Dr. Maurice Bucaille, salah seorang pakar Islam yang terkenal dengan
   bukunya Bibel, Qur-an dan Sains Modern, mengemukakan bahwa AlQur'an
   menamakan planet dengan kata "KAUKAB", dimana kata jamaknya adalah
   "KAWAKIB."

   Begitupula dengan arti yang diberikan oleh Kamus Al-Munawwir
   Arab-Indonesia Terlengkap, karangan Achmad Warson Munawwir terbitan
   Pustaka progressif, menyatakan Kaukab (single) dan Kawakib (plural)
   itu dengan dua arti, yaitu bisa berarti planet dan bisa juga berarti
   bintang.

   Dr. Maurice Bucaille menambahkan, bahwa bumi adalah salah satu dari
   planet-planet tersebut dan jika ada orang menduga akan adanya planet
   lain diluar orbit pluto (Dalam hal ini untuk gugusan Bimasakti), maka
   planet itu harus ada dalam sistem matahari juga.

   Saya pribadi cenderung menyetujui pendapat dari Dr. Muhammad
   Jamaluddin El-Fandy, seorang sarjana Islam kenamaan yang menuliskan
   buku Al-Qur'an tentang alam semesta (judul aslinya : On cosmic verses
   in the Quran) bahwa yang disebut dengan langit atau dalam bahasa
   Qur'an adalah Sama', ialah :

   Setiap sesuatu yang kita lihat tentang benda-benda yang berada
   diangkasa, seperti matahari, bintang dan planet sampai jauh kedalam
   ruang alam semesta raya, yang bersama-sama dengan bumi membentuk satu
   kesatuan yang kokoh dan merupakan keseluruhan alam wujud, itulah
   langit.

   Adapun angka 7 yang dipakai didalam AlQur'an sebanyak 24 kali adalah
   untuk maksud yang bermacam-macam. Seringkali angka 7 ini berartikan
   "Banyak" tetapi kita umat Islam tidak tahu dengan pasti, apa maksud
   dengan dipakainya angka tersebut oleh Allah.
 
   Sementara itu, bagi orang-orang Yunani dan orang-orang Romawi, angka 7
   ternyata juga mempunyai arti "Banyak" dalam makna jumlah yang tidak
   ditentukan.
   Dalam Qur'an angka 7 dipakai 7 kali untuk memberikan bilangan kepada
   langit (Sama'), angka 7 dipakai satu kali untuk menunjukkan adanya 7
   jalan diatas manusia.

   Rasanya terlalu kaku untuk mengatakan bahwa Muntaha itu letaknya
   berada diluar orbit Pluto dan merupakan planet yang ke-10 dalam
   lingkungan tata surya kita atau merupakan planet ke-7 yang berada
   diatas orbit bumi.
   Hal ini akan saya uraikan lagi pada penjelasan mengenai arti "Masjidil
   Haraam dan Masjidil Aqsha".

   Saya lebih cenderung mengartikannya sebagai sebuah planet yang
   keadaannya tidak berbeda jauh dengan bumi tempat kita tinggal saat
   ini, dimana disana juga ada peredaran benda-benda langit yang
   mengelilingi sebuah matahari. Dan yang jelas, planet "bumi" Muntaha
   ini letaknya diluar galaksi Bimasakti kita.

   Dia bisa terletak digugusan bintang mana saja didaerah alam semesta
   yang sangat luas.
   Dan pernyataan bahwa Muntaha dan Jannah yang berkedudukan diatas bumi,
   itu memang benar, memang mereka berkedudukan diluar bumi.

   Juga pernyataan Allah pada ayat 2:36 mengenai kata "Ihbithu" seperti
   yang pernah kita bahas pada waktu pengupasan masalah Adam pada artikel
   sebelumnya dan akan kita ulangi sedikit disini adalah benar.

   "Pergilah !" itu adalah kalimah perintah, dan dalam bahasa Qur'annya
   adalah "ih bithu"
   , dan arti sebenarnya adalah : "Turun dari tempat yang tinggi.",
   seperti dari gunung, dan juga dipakai dengan arti "Pindah dari satu
   tempat kesatu tempat lain." Dan karenanya ada juga penafsir yang
   memakai kata "Turunlah" saja.

   Allah menyuruh Adam dan istri untuk turun dari tempat yang tinggi,
   yaitu Muntaha (dimana nantinya juga Muhammad akan kembali kesana dan
   berada pada ufuk yang tinggi tersebut), ini bisa kita tafsirkan bahwa
   saking tingginya, atau saking jauhnya letak Muntaha yang ada Jannah
   tersebut, maka Allah menggunakan kata "Ih bithu" atau Turunlah ! Atau
   berpindahlah dari sini kesana.

   Kembali pada permasalahan kita semula, yaitu kenapa perjalanan Nabi
   Muhammad Saw itu dilakukan pada waktu malam hari dan tidak pada waktu
   lainnya (pagi, siang, sore).
   Saya berpendapat, bahwa salah satu alasan logis lain yang bersifat
   kejiwaan disamping alasan yang dikemukakan oleh Nazwar Syamsu adalah
   pada malam hari, keadaan diliputi oleh ketenangan, apalagi jika kita
   mengilas balik seperti apa kira-kira keadaan Arabia pada masa itu jika
   malam menjelang.

   Selain itu, suasana malam adalah suasana yang khyusuk didalam
   beribadah, suasana dimana manusia menghentikan kegiatan mereka untuk
   sementara waktu dan mengistirahatkan pikiran dan jiwa mereka dari
   kesibukan sehari-hari, dan merupakan suasana yang sangat hening yang
   membantu menciptakan kondisi yang cocok bagi upaya mendekatkan diri
   kepada Allah.

   AlQur'an memberikan petunjuk yang jelas bahwa saat terbaik upaya
   ibadah yang berkualitas ialah pada waktu malam hari. AlQur'an mencatat
   suasa malam itu untuk menjalin hubungan yang terbaik dengan Allah :

   "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (AlQur-an) pada malam
   kemuliaan."
   (QS. 97:1)

   Untuk ibadah, shalat tahajud, saat-saat terbaik merasakan kelezatan
   malam sekitar bagian ketiga menjelang fajar. Jauh dari rasa riya' dan
   ujub serta takabur karena tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

   "Berdirilah melakukan shalat malam hari, walau jangan hendaknya
   seluruh malam itu, separuhnya saja atau kurang dari itu."
   (QS. 73:2,3)

   "Sesungguhnya bangun waktu malam itu adalah paling baik dan cocok
   untuk shalat dan paling baik untuk memuji Allah."
   (QS. 73:6)

   "Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang
   diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat
   tanda-tanda bagi orang-orang yang bertaqwa."
   (QS. 10:6)

   Dari Masjidil haraam ke Masjidil Aqsha :
   Dimulainya perjalanan Nabi Muhammad Saw adalah dari Masjidil Haraam,
   yaitu kota Mekkah Almukarromah menuju ke Masjid Al-Aqsha.

   Seperti yang diketahui bersama, Masjidil Haraam adalah rumah
   peribadatan yang pertama kali dibangun untuk manusia oleh Allah Swt
   yang akhirnya dasar-dasarnya ditinggikan oleh Nabi Ibrahim bersama
   puteranya, Nabi Ismail as., Tempat tersebut juga merupakan awal
   bertolaknya dakwah serta tempat berdomisilinya Rasulullah Saw.

   Tetapi benarkah pendapat umum yang menyatakan bahwa dari Masjidil
   Haraam, Mekkah AlMukarromah, Nabi Muhammad Saw pernah melakukan
   kunjungan ke Masjidil Aqsha yang terletak di Palestina ?

   Setelah sekian lama saya mencoba menyelidiki, mendalami, dan
   menganalisa serta mempertimbangkan dari beberapa sudut keilmuan modern
   dan pendapat para alim ulama, akhirnya saya berkesimpulan bahwa
   Masjidil Aqsha tempat Nabi Muhammad Saw melakukan "kunjungan" itu
   TIDAK TERLETAK DIBUMI.

   Masjid Al-Aqsha sendiri waktu itu belumlah ada, yang ada di Bait
   Al-Maqdis di Palestina adalah Haikal Sulaiman.
   Ada sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang menyatakan
   bahwa ketika kaum Quraisy bertanya kepada Nabi Saw perihal keadaan
   Bait Al-Maqdis, Beliau sempat terdiam dan bahkan bimbang, hal ini
   membuktikan bahwa memang Rasul tidak pernah pergi kesana malam itu,
   melainkan pergi ke "Masjid Al-Aqsha" diMuntaha.

   Kaum Quraisy menanyakan kepadaku tentang perjalanan Israa', aku
   ditanya tentang hal-hal di Bait Al-Maqdis, tidak dapat aku
   menerangkannya sampai-sampai aku bimbang. Tatkala kaum Quraisy
   mendustakanku, aku berdiri di Hijr lalu Allah Swt menggambarkan
   dimukaku keadaan di Bait Al-Maqdis dan tanda-tandanya hingga mampu aku
   menerangkannya kepada mereka seluruh keadaan.
   (Imam Bukhari)

   Mari sekarang sama-sama kita tinjau dulu dari segi bahasa,
   Arti dari "Masjid" itu sendiri adalah tempat bersujud, dan sujud ini
   adalah merupakan risalah setiap Nabi dan Rasul Allah sebelum periode
   Muhammad Saw.

   Dari AlQuran beberapa diantaranya adalah ketika Allah memberikan
   firmanNya kepada Ibrahim sewaktu meninggikan Ka'bah bersama puteranya,
   Ismail (2:125), Siti Maryam (3:43), Firman Allah kepada Bani Israel
   (2:58), adanya beberapa golongan Ahli kitab yang mengEsakan Allah
   (3:113), Nabi Musa dan umatnya (4:154), Nabi Daud (38:24) dan lain
   sebagainya.

   Dari Bible :
   Mazmur 96:6
   "Marilah kita menyembah dan bersujud; marilah kita berlutut kepada
   Tuhan yang menciptakan kita."

   Yoshua/Yusak 5:14
   "... maka Yusak pun tersungkur dengan mukanya ketanah sambil menyembah
   sujud..."

   Raja-raja I:18:42
   "...tetapi Elia naik keatas kepuncak Karmel, lalu tunduk sampai
   ketanah dengan mukanya ditengah-tengah lututnya."

   Bilangan 20:6
   "Maka pergilah Musa dan Harun dari hadapan orang banyak itu kepintu
   kemah perhimpunan, lalu keduanya menyembah sujud. Maka kemuliaan Tuhan
   kepada mereka itu."

   Kejadian 17:3
   "Lalu sujudlah Abraham dengan mukanya sampai kebumi..."

   Nah, dari itu semua jelas bahwa para nabi dan umat sebelum Muhammad
   Saw sudah melakukan penyembahan kepada Allah dengan cara rukuk dan
   sujud. Lalu tata cara penyembahan ini disempurnakan lagi oleh Allah
   kepada Muhammad Saw serta umatnya dengan cara ibadah Sholat
   sebagaimana yang kita lihat sekarang.

   Jadi, kata "Masjid" sebenarnya adalah tempat yang digunakan sebagai
   tempat bersujud.
   Mari kita lihat juga pada kisah Ash-habul Kahfi :

   La nat takhiizanna 'alaihim masjida
   "Sesungguhnya kami akan mendirikan masjid ditempat mereka itu".
   (QS. 18:21)

   Padahal kita semua tahu bahwa masjid dalam pengertian nama bagi suatu
   bangunan ibadah hanya terdapat pada periode Nabi Muhammad Saw,
   sementara itu kisah Ash-habul Kahfi telah terjadi ratusan tahun
   sebelumnya.

   Aqsha bukanlah nama, arti Masjidil Aqsha adalah Masjid
   yang jauh atau Tempat sujud yang terjauh.
   Dan masih ingatkah anda tentang Jannah dimana disana Adam dihormati
   oleh semua Malaikat dan Jin dengan cara bersujud ?

   Yap, memang itulah tempat yang saya maksudkan.
   Masjidil Aqsha yang menjadi tempat tujuan Rasulullah Muhammad Saw
   adalah Tempat bersujudnya para Malaikat terhadap Adam sekaligus
   menjadi tempat bersujudnya Nabi Muhammad Saw kepada Allah pada saat
   beliau menerima perintah shalat yang letaknya sangat jauh dari bumi
   dan terdapat di Muntaha.

   Adam as., adalah khalifah manusia yang dipilih oleh Allah untuk planet
   bumi, sekaligus menjadi nenek moyang manusia semuanya, dan Muhammad
   Saw adalah Nabi Allah yang terakhir untuk manusia yang membawa rahmat
   bagi seluruh alam semesta.

   Allah telah mengawali penciptaan Adam selaku khalifah pertama manusia
   bumi kita ini sekaligus Nabi pertama dengan meletakkannya di dalam
   Jannah yang ada di Muntaha, dan menutupnya dengan pengiriman Muhammad
   selaku Nabi terakhir untuk kembali melihat Kampung Halaman kita di
   Muntaha yang Jannah ada didekatnya.

   Cukup logis saya rasa penjelasan saya ini, dan jauh dari sifat yang
   mengada-ada serta tidak jelas.

   Perjalanan Nabi dalam Mi'raj itu selaku ujian atas kecerdasan manusia
   dibidang keilmuan dan kehidupan, ayat 17/1, 53/1 s.d 18 serta ayat
   17/60, dan semua itu terbatas hingga Muntaha dengan pengertian bahwa
   peradaban manusia ini umumnya sampai nanti tidak akan menyimpang dan
   tidak melampaui dari apa yang sudah dicapai oleh Muhammad Saw dalam
   Mi'rajnya.

   Dan karenanya saya sangat tidak sependapat dengan Nazwar Syamsu yang
   mengatakan bahwa Muntaha adalah planet ke-7 diatas orbit bumi dan
   hanya sampai disitulah tempat manusia bisa menjelajahi angkasa raya.

   Padahal Allah justru menganjurkan kepada manusia untuk dapat
   menjelajahi kebagian mana saja dari langit dan bumi ini, asalkan
   mereka memiliki sulthaan yang artinya kekuatan atau kesanggupan atau
   juga bisa diartikan tekhnologi.

   Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit
   dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan
   kekuatan".
   (QS. 55:33)

   Dalam ayat tersebut Allah menyuruh tidak hanya kepada umat manusia
   saja, namun juga melingkupi umat Jin.
   Dan Allah tidak berkesan membuat pembatasan-pembatasan terhadap
   "langit-langit tertentu" yang dapat ditembusi oleh manusia dan Jin.

   Makanya saya lebih cenderung berpendapat bahwa Muntaha itu letaknya
   diluar galaksi kita sekarang ini, yang jaraknya jutaan tahun cahaya.
   Sesungguhnya angkasa raya itu sangatlah luas dan terdiri dari ribuan
   juta galaksi.

   Matahari kita adalah satu diantara 100.000 juta bintang yang berada
   didalam suatu putaran spiral maha besar yang kita sebut dengan Galaksi
   kita.
   Beberapa ribu buah bintang diantaranya dapat kita saksikan pada malam
   yang cerah.
   Pada bagian langit atau angkasa tertentu, tampak sedemikian banyak
   bintang, hingga menyerupai sejalur pita putih yang kita sebut dengan
   Bimasakti.

   Galaksi kita bergaris tengah satu juta juta Kilometer. Para astronom
   lebih senang menyatakan jarak sebesar itu dalam satuan tahun cahaya,
   yaitu jarak yang ditempuh oleh berkas cahaya dalam ruang selama
   setahun.
   Dengan laju 300.000 kilometer tiap detik, berkas cahaya memerlukan
   waktu 100.000 tahun untuk melintasi Galaksi kita. Oleh sebab itu garis
   tengah Galaksi juga dikatakan sebesar 100.000 tahun cahaya.

   "Allah menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
   Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Maha
   Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya
   benar-benar meliputi segala sesuatu."
   (QS. 65:12)

   Disini saya cenderung mengambil makna angka 7 dalam ayat Qur'an
   yang menunjukkan atas langit dan bumi sebagai pengertian "Banyak"
   [4](ini sudah pernah kita bicarakan pada bahagian atas). Dan memang
   benar begitulah kenyataannya

   Galaksi terdekat dengan kita adalah berjarak 170.000 tahun cahaya.
   Dan diperkirakan bahwa pada setiap galaksi akan terdapat sistem
   matahari sebagaimana yang ada pada galaksi bima sakti kita ini.

   Dan jika setiap galaksi memiliki sistem matahari tersebut, maka
   tentunya keadaan dari planet-planet yang mengitari galaksi tersebut
   juga tidak akab berbeda jauh dengan keadaan planet-planet yang ada
   dalam wilayah galaksi Bima sakti.

   Maka untuk kesekian kalinya, benarlah firman Allah diatas, bahwa Allah
   telah menjadikan banyak sekali (diwakili oleh angka 7) bumi-bumi
   didalam lingkungan galaksi-galaksi (7 langit) yang berada diruang
   angkasa.

   Dan dibumi-bumi tersebut juga ada kehidupan layaknya kehidupan yang
   kita jumpai diplanet bumi kita ini.
   Dan dibumi yang paling ujung atau bumi yang terjauh itulah ada Jannah
   dimana Nabi Adam dulunya tinggal dan kembali dikunjungi oleh Nabi
   Muhammad Saw pada saat Mi'rajnya ke Muntaha.

   Setiap bumi pasti memiliki matahari, dan bumi itu sendiri akan
   bergerak mengelilingi matahari tersebut.
   Dan Jannah, yang terdapat diMuntaha, memiliki tumbuh-tumbuhan atau
   pepohonan yang sangat rimbun sekali dan subur, dipenuhi oleh
   buah-buahan segar, sehingga jika kita berada didalamnya maka kita
   tidak akan kepanasan serta kehausan sebagaimana firman Allah kepada
   Adam as.

   "Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak akan
   kepanasan di dalamnya".
   (QS. 20:119)

   Pada abad ke-18, William Herschel menyatakan bahwa sebagian dari apa
   yang disebut nebula pada kenyataannya adalah pulau alam semesta.
   Pulau-pulau tersebut sebenarnya merupakan tatanan bintang paripurna
   yang berada jauh dari galaksi kita. Makin banyak pembuktian yang
   dikumpulkan oleh Astronom pada abad ke-19 mendukung teori tersebut.
   Pada tahun 1917, teleskop raksasa baru di Mount Wilson, California,
   memperlihatkan bahwa "nebula" Andromeda terdiri atas kumpulan bintang.

   Teori Herschel itu akhirnya dikukuhkan pada tahun 1923.
   Kemudian Edwin Hubble menunjukkan bahwa gugusan bintang-bintang itu
   terpisah ratusan ribu tahun cahaya dari bumi. Dengan ini terbukti pula
   bahwa nebula Andromeda itu sebenarnya merupakan galaksi, yang sama
   sekali terpisah dari tatanan bintang kita.

   Sekarang manusia telah mengetahui akan adanya ribuan juta galaksi.
   Beberapa dari padanya tidak mempunyai bentuk tertentu; yang lain
   berbentuk spiral atau elips.
   Galaksi kita, bersama 16 buah galaksi lainnya yang terangkum dalam
   jarak 3 juta tahun cahaya, disebut kelompok lokal.

   Disini saya berkeinginan untuk sedikit mengajak anda membaca sebuah
   penuturan dari salah satu url atau site mengenai angkasa luar akan
   adanya sebuah kehidupan disalah satu galaksi, dimana digalaksi
   tersebut ada juga bumi yang mengitari matahari.

   Saya sadar bahwa tulisan dari site tersebut masih perlu untuk
   diragukan kebenarannya, namun dalam hal ini, terlepas dari benar
   tidaknya apa yang dituliskan disana, setidaknya kita bisa sedikit
   menjadikannya sebuah lintas bacaan semata-mata. Dan tidak ada salahnya
   kita menghubungkannya dengan Surah 65:12 yang baru saja kita bahas.

   Jika saja yang menulisnya seorang Muslim, tentu saja saya akan
   berpikir dua tiga kali untuk menyadurnya, sebab bisa saja itu adalah
   pendapatnya yang ditujukan untuk memperkuat dalil-dalil AlQur'an.

   Namun tidak, site ini ditulis oleh seorang yang tidak menganut Islam,
   malah jangan-jangan orang tersebut juga meragukan kepercayaan yang
   diyakininya.
   Jadi tertutup kemungkinan bahwa ada unsur-unsur tertentu yang
   berhubungan dengan Islam dan upaya penegakan Islam dari penulisan
   tersebut.

   Silahkan link ke artikel Pleiadian yang sudah saya terjemahkan
   beberapa diantaranya.

   Yang telah Kami berkahi sekelilingnya :
   Dalam lafal Qur'annya adalah barokna haw lahu.
   Disini juga orang sering mengartikan bahwa kata haw lahu atau Kami
   berkahi sekelilingnya adalah diperuntukkan untuk tempat disekitar
   perjalanan Rasulullah tersebut.
   Namun saya mengartikannya tidak demikian.

   Kata "NYA" atau lafal "HAWLAHU" pada kata "Kami berkahi sekeliling"
   atau "Barokna hawlahu", sebenarnya adalah ditujukan kepada diri
   Muhammad Saw sendiri.

   Dalam bahasa Arab, kata "Haw laha" itu ditujukan untuk yang bergender
   perempuan.
   Kata "Haw lahuma" itu ditujukan untuk menerangkan arti "mereka", yang
   maknanya lebih dari satu.
   Sementara kata "Haw lahu" adalah ditujukan kepada yang bergender
   jantan, dan dalam hal ini adalah diri Muhammad Saw, yang memang
   sebagai seorang laki-laki.

   Jadi, Istilah "disekelilingnya" dalam ayat 17/1 ini adalah
   disekeliling Muhammad. Hal ini juga dibuktikan oleh istilah lain
   berikutnya "Untuk diperlihatkan kepadanya."

   Jadi Barkah telah diadakan disekeliling Muhammad dalam peristiwa Asraa
   kemasjidil Aqsha di Muntaha.
   Apakah Barkah atau Barokna itu ?

   Barkah adalah penjagaan, yaitu penjagaan yang melingkupi
   keluarga Ibrahim pada ayat 11/73, atau yang menjaga Nabi Nuh dan
   beberapa umatnya didalam perahu hingga topan besar tidak membahayakan
   mereka sedikitpun pada ayat 11/48, ataupun penjagaan atas kota Mekkah
   seperti yang dimaksud ayat 21/71 dan 21/81.
   Malah penjagaan atau Barkah yang melingkupi diri Muhammad Saw dalam
   Asraa itu, ditinjau dari segi bahasa, maka bisa kita samakan
   keadaannya dengan Barkah yang melingkupi bumi ini seperti tercantum
   pada surah 7/96.
   (Lebih jelas, lihat dalam konteks ayat-ayat aslinya)

   Kita ketahui bersama, disekeliling bumi
   terdapat pembungkus gas yang tipis dan bening yang kita sebut dengan
   nama Atmosfir, yang merupakan pelindung guna melindungi kehidupan
   terhadap kehampaan angkasa.
   Tanpa atmosfir, sinar matahari yang menghanguskan akan membakar semua
   kehidupan pada siang hari, dan pada malam hari suhu dapat turun jauh
   dibawah titik beku.

   Untuk mengetahui beberapa penjelasan masalah Atmosfir ini, silahkan
   juga anda mengunjungi Artikel Atmosfir

   Jadi, Barkah ini berupakan sesuatu yang melindungi diri Nabi Muhammad
   Saw hingga beliau tidak terbentur pada meteorities yang berlayangan
   diangkasa bebas serta memiliki udara cukup untuk pernafasan selama
   berada diruang angkasa bebas. Dan dapat dimungkinkan perlindungan ini
   berupa lapisan-lapisan Atmosfir seperti yang melingkupi bumi atau juga
   semacam sebuah pesawat ruang angkasa.

   Jadi bukanlah Barkah itu ditentukan untuk Palestina sebagaimana
   pendapat umum selama ini, apalagi jika dinisbatkan ke Bait Al-Maqdis
   atau Masjid Al-Aqsha yang ada di Palestina sekarang.
   Dan bukanlah juga Barkah itu sebagai hewan bersayap yang dikendarai
   Nabi dalam Asraa itu.
   Masalah kendaraan yang bernama Boraq ini akan kita uraikan tersendiri
   secara terperinci pada pembahasan mengenai [8]Buraq.

   Sekarang, mari terus kita lanjutkan pembahasan ayat 17/1 yang telah
   banyak kita potong dengan tambahan keterangan-keterangan yang
   berhubungan dengannya :

   [button.gif] Kami perlihatkan pertanda-pertanda Kami :
   Kami perlihatkan disini dapat kita synonimkan dengan "Diperlihatkan".
   Yaitu, diperlihatkan kepada Muhammad yang mengandung pengertian
   melihat dengan mata sendiri yaitu mata konkrit bukan dalam mimpi atau
   ruhnya saja.

   Dan karena Muhammad mi'raj dengan tubuh kasarnya, untuk itu diperlukan
   adanya Barkah, maka Barkah ini juga membuktikan bahwa Rasulullah itu
   telah berangkat dari bumi dengan jasmani dan rohaninya, sebab itu
   pantaslah dia dapat melakukan penglihatan dengan kedua matanya yang
   konkrit.

   Dalam membicarakan masalah Mi'raj pada surah 17 ayat 1 ini, AlQur'an
   menggunakan perkataan :
   "Linuriyahu min aayatina" yang artinya: "untuk Kami perlihatkan
   kepadanya tanda-tanda Kami" yaitu tanda-tanda kebesaran Allah (istilah
   Aayat adalah jamak dari Aayah).

   Sementara didalam surah 52 (An Najm) ayat 18 seperti yang kita
   singgung pada awal pembahasan, AlQur'an menggunakan perkataan : "Laqod
   ro-aa min aayati Robbihi alkubroo." yang artinya: "Sesungguhnya ia
   telah melihat sebagian tanda-tanda Tuhannya yang besar-besar/hebat."

   Dalam 17/1 disebutkan "Iraa-ah minallah" (Diperlihatkan oleh Allah),
   sedangkan didalam 53/18 dikatakan "ra-aa bi nafsihi" (melihat dengan
   sendirinya).

   Mari kita uraikan :

   Aktifitas yang ada didalam 17/1 adalah "iraa-ah".
   Apakah artinya ?
   Iraa-ah adalah menjadikan orang yang tidak tahu menjadi tahu, baik
   dengan merubah sesuatu yang diperlihatkan itu dengan disesuaikannya
   dengan qanun (ketentuan yang berlaku) bagi orang yang melihatnya atau
   juga dengan mentransfer atau mengalihkan orang yang melihatnya itu
   agar ia bisa menembus qanun yang berlaku bagi sesuatu yang hendak
   dilihatnya itu.

   Kita ambil contoh tentang mikroskop.
   Mikroskop tersebut dipakai untuk melihat sesuatu (benda) yang sangat
   kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa. Karena kecilnya maka
   seseorang tidak dapat melihat benda tersebut, tetapi setelah
   mempergunakan mikroskop lalu ia dapat melihat benda kecil tersebut.

   Ini berarti menjadikan orang yang tadinya tidak tahu, menjadi tahu
   karena adanya lensa yang menampakkan benda-benda yang kecil menjadi
   besar.

   Disini benda kecil itu disesuaikan dengan qanun mata biasa, dimana
   menurut qanun (ketentuan yang berlaku) mata biasa manusia hanya dapat
   melihat benda-benda yang tampak (besar) saja.

   Dengan demikian maka "iraa-ah" (memperlihatkan/menampakkan) itu dapat
   dengan mengadakan perubahan terhadap benda/sesuatu yang dilihatnya itu
   sesuai dengan qanun orang yang melihatnya sehingga ia dapat
   mengetahuinya, atau dengan memberikan sesuatu alat pada benda yang
   dilihatnya itu sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya.

   Dalam 17/1 AlQur'an mempergunakan kata-kata "Linuriyahu" (untuk kami
   perlihatkan), yaitu dijadikan oleh Allah bahwa Muhammad dapat melihat
   sesuatu yang pada asalnya ia tidak dapat melihatnya dengan sendirinya.
   Karena Nabi Muhammad Saw sebelumnya berada dimuka bumi dengan qanun
   basyariah (manusiawinya) sebagai seorang manusia yang normal, secara
   otomatis Nabi Muhammad Saw tidak dapat melihat bagaimana keadaan
   diluar angkasa sana yang juga merupakan salah satu kebesaran Allah.

   Maka kepada Nabi Muhammad Saw diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda
   kebesaran Allah yang ada diluar planet bumi ini dengan memperjalankan
   beliau dengan penjagaan penuh (yang disebut dengan Barkah atau lafal
   Qur'annya "Baroqna") ke Muntaha yang terletak disalah satu galaksi
   terjauh dari galaksi bima sakti, tempat dimana dulunya Adam dan
   istrinya pernah tinggal dan menetap.

   Diperlihatkan kepada Nabi betapa planet bumi yang kita tempati ini
   terdapat didalam sebuah tata surya yang bagaikan suatu noktah kecil
   diantara jutaan milyar tata surya lainnya yang juga disebut oleh para
   ahli dengan nama solar system.

   Begitulah perikeadaan Rasulullah Saw dalam peristiwa ardliyah, yaitu
   peristiwa Isra' Mi'raj ini.
   Tetapi ketika Nabi Saw naik kepada ufuk (tempat) yang lebih tinggi,
   tepatnya ketika beliau sudah berada di Muntaha, maka terjadilah
   perubahan pada dzatiyah beliau., seolah-olah beliau telah meninggalkan
   basyariahnya bertukar dengan dzatiyah malaikat yang bisa melihat
   segala sesuatu disana dengan sendirinya.

   Keadaan semacam itu juga dulunya yang pernah ada pada diri Adam dan
   istrinya ketika masih berada di Muntaha sebagaimana yang kita uraikan
   pada artikel tersebut. Suatu keadaan dimana Adam dapat melihat para
   malaikat, para Jin dan termasuk Iblis.

   Makanya untuk kasus Nabi Muhammad Saw, oleh Qur'an dikatakan : "Laqad
   ra-aa... (Sungguh ia telah melihat..).", dan tidak dikatakannya
   sebagai : "Ara'ainaahu ...(Kami perlihatkan kepadanya)"

   Jadi, pada masa perjalanan Rasul dari bumi menuju ke Muntaha, ia
   diperlihatkan oleh Allah akan sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah
   yang lainnya didalam lingkungan semesta, dan begitu ia hampur
   mendekati tujuan, yaitu Sidratil Muntaha, Allah berfirman bahwa
   Muhammad "ra-aa" (melihat dengan sendirinya) .. seakan-akan Rasulullah
   Saw dengan qanun basyariah sebelumnya (dari bumi hingga menjelang
   tiba) telah mengalami perubahan dimensi, yaitu suatu penyesuaian
   terhadap lingkungan barunya sehingga ia bisa menyaksikan
   peristiwa-peristiwa yang ada disana (Muntaha) secara langsung.

   Kita semua tahu, bahwa Rasulullah Muhammad Saw adalah juga manusia
   biasa yang memiliki keterbatasan didalam segala hal, karena yang tidak
   terbatas itu hanyalah Allah Swt semata.

   Sebagai seorang manusia biasa, sebagai keturunan Adam as, keadaan
   beliau sama seperti kita.
   Untuk itu, Allah telah mengadakan penyesuaian atau membuka Ijab
   terhadapnya agar dapat memasuki Muntaha yang suci sekaligus
   menjadikannya kasyaf, melihat tembus segala sesuatunya, termasuk
   melihat wujud malaikat Jibril dalam rupa aslinya sebagaimana yang
   dikatakan pada ayat 53:13-14.

   Dengan kata lain, Nabi Muhammad dikembalikan kepada fitrah manusia
   semula, yaitu fitrah awal yang diberikan kepada Nabi Adam as waktu
   itu. Keadaan dimana Nabi Muhammad dapat melihat semua
   malaikat-malaikat Allah serta dapat bercakap-cakap dengan mereka.

   Bahkan, dalam beberapa hadist yang sampai saat ini masih bisa
   dikatakan shahih dan diyakini oleh sebagian besar para ulama
   menyatakan bahwa Nabi Saw juga telah bertemu dengan ruh para Nabi
   terdahulu, seperti Adam, Musa, Ibrahim dan beberapa ruh Nabi-nabi dan
   Rasul lainnya, dimana beliau melakukan Shalat sebanyak 2 raka'at,
   menurut ketentuan shalat para Nabi itu dulunya, yaitu ruku' dan sujud.

   Memang tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, termasuk masalah
   pengimaman yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ini terhadap para ruh,
   sementara beliau sendiri berada dalam keadaan hidup, jasmani dan
   ruhaninya, hal ini mengingat bahwa kedudukan Nabi Muhammad Saw yang
   mulia disisi Allah sekaligus sebagai penutup dari para Nabi dan sesuai
   pula dengan ayat yang menyatakan bahwa orang yang sudah mati itu
   tidaklah mati habis begitu saja, namun mereka tetap hidup (dialam
   penantian).

   Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
   Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak
   menyadarinya."
   (QS. 2:154)

   "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
   itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
   rizki."
   (QS. 3:169)

   "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati
   dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya; Dan seperti
   itulah kamu akan dikeluarkan."
   (QS. 30:19)

   "Menciptakan dan membangkitkan kamu tidak lain hanyalah seperti
   (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah
   Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
   (QS. 31:28)

   Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika
   orang-orang musyrik yang tewas dalam peperangan Badar dikuburkan dalam
   satu perigi oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya, beliau "bertanya" kepada
   mereka yang telah tewas itu :

   "Wahai penghuni perigi, wahai Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah,
   Ummayah bin Khalaf; Wahai Abu Jahl bin Hisyam, (seterusnya beliau
   menyebutkan nama orang-orang yang di dalam perigi itu satu per satu).
   Wahai penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang
   dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? (Sesungguhnya) Aku telah
   mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku."

   "Rasul. Mengapa Anda berbicara dengan orang yang sudah tewas?" Tanya
   para sahabat.
   Rasul menjawab: "Ma antum hi asma' mimma aqul minhum, walakinnahum la
   yastathi'una an yujibuni (Kamu sekalian tidak lebih mendengar dari
   mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."
   (Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad: 259)

   Kemudian, seperti yang juga banyak kita dapatkan didalam periwayatan
   hadist, bahwa Nabi Muhammad selanjutnya di Sidratil Muntaha, menuju
   suatu tempat agung yang Jibril sendiri, selama ini sebagai "Tangan
   Kanan Allah" tidak mampu menembusnya, (didalam salah satu riwayat
   dikatakan sebagai tempat lautan cahaya sekaligus merupakan batas
   terakhir bagi Jibril menghantarkan Muhammad) dilukiskan dengan gaya
   bahasa yang indah oleh Qur'an, seperti yang dikatakan pada ayat ke-16
   hingga ayat ke-18 surah 53 :

   Ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
   Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
   melampauinya.
   Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda terbesar dari
   Tuhannya.
   (QS. 53:16-18)
   Sungguh, suatu ungkapan teramat sangat yang dicoba dilukiskan dengan
   kata-kata mengenai keindahan yang begitu menawan atas apa yang sudah
   dilihat oleh Nabi Muhammad Saw pada waktu itu.

   Makanya tidak heran jika akhirnya ulama kembali terpecah dua didalam
   memahami ayat ini, ada sebagian mereka mengatakan bahwa Nabi Saw
   benar-benar telah melihat Tuhan pada saat itu, namun sebagian lagi
   menyatakan sebaliknya.

   Namun saya sendiri berpendapat bahwa apa yang telah dilihat oleh Nabi
   besar Muhammad Saw ketika itu tidak lain hanyalah tabir atau yang
   disebut didalam bahasa Qur'annya dengan hijab sebagaimana keterangan
   dari Qur'an sendiri :

   "Dan tidak bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata kepadanya
   kecuali dengan ilham atau di belakang tabir (hijab) atau Dia mengirim
   utusan (malaikat) lalu dia mewahyukan dengan seizin-Nya apa-apa yang
   Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
   (QS. 42:51)

   Adapun keindahan dari Hijab atau tabir inilah yang membuat Nabi
   Muhammad Saw terpesona, kagum dan beribu perasaan lainnya yang
   menyelimuti perasaan hatinya, sehingga pemandangan Rasul yang agung
   ini tidak berpaling dari apa yang dilihatnya namun juga Beliau tidak
   dapat melihat lebih jauh lagi atau melampaui tabir tersebut, sebab
   memang hanya sampai disanalah kemampuan mata beliau yang di izinkan
   Allah untuk dapat melihat.

   Benarlah kiranya pada ayat yang ke-18, AlQur'an menyebutkan bahwa Nabi
   Muhammad Saw telah melihat sebagian tanda-tanda yang terbesar dari
   Tuhannya.
   Apa yang sudah dilihat oleh Rasul Saw, adalah suatu karunia yang tidak
   terhinggakan, melebihi segala-galanya, suatu rahmat dan nikmat yang
   amat sangat diinginkan oleh Nabi Musa as namun tidak kuasa ia dapati
   sebagaimana yang disebutkan dalam surah 7 ayat 143.

   Namun karena yang dilihat oleh Nabi Muhammad Saw waktu itu adalah
   Hijab yang menutupi Allah, makanya disebutkan pada ayat 17 dan 18,
   bahwa ia telah melihat "Sebagian" dari kekuasaan Tuhan, bukan
   "Semuanya".

   Dalam salah satu Hadist shahih riwayat Masruq yang dirawikan oleh
   Bukhari, Muslim dan Tirmidzi disebutkan :

   "Saya pernah bertanya kepada 'Aisyah r.a. demikian: 'Wahai Ummul
   Mukminin, benarkah Nabiyullah Muhammad Saw pernah melihat Tuhannya ?'
   Beliau menjawab, 'Benar-benar telah berdiri bulu romaku karena
   mendengar apa yang engkau katakan itu. Hati-hatilah engkau dari tiga
   hal ini; barangsiapa yang memberitahu kepadamu tentang tiga hal ini,
   pastlah dia berdusta.

    1. 'Barangsiapa yang memberitahukan kepadamu bahwa Nabi Muhammad Saw
       pernah melihat Tuhannya, maka ia pasti berdusta.' Lalu 'Aisyah
       membaca ayat yang artinya :
       Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
       melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi
       Maha Mengetahui. (QS. 6:103)
    2. 'Barangsiapa yang memberitahukan kepadamu bahwa ia dapat
       mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, pastilah ia berdusta,'
       Lalu 'Aisyah membacakan ayat yang artinya :
       Tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakan
       besok hari. (QS. 31:34)
    3. 'Barangsiapa yang mengatakan padamu bahwa ia (Rasulullah)
       menyembunyikan sesuatu dari wahyu, maka pastilah ia berdusta.'
       Lalu 'Aisyah membacakan ayat yang artinya :
       Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
       (QS. 5:67)

   Tetapi, katanya meneruskan, ia pernah melihat Jibril dalam bentuk
   aslinya sebanyak dua kali."
   (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

   Sekarang, kita akan melanjutkan pembahasan dari bagian terakhir ayat
   17/1 :

   [button.gif] Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha melihat :
   Innahuu Huassami'ul Basyiir, Bahwa Allah, Tuhan yang Maha Esa,
   senantiasa melihat, mendengar, memperhatikan dan menentukan setiap
   gerak tindak zahir bathin dari seluruh wujud disemesta raya. Semua itu
   senantiasa berjalan dengan cara yang wajar melalui garis kausalita.

   Tidak satupun yang terlepas dari ketentuan Allah walaupun gerak hati
   dalam dada setiap diri.
   Ayat ini berhubungan erat pula dengan 3 ayat terakhir dari surah ke-2,
   yaitu ayat 284 hingga 286 yang menurut beberapa hadist diberikan
   kepada Nabi Saw pada saat beliau menerima perintah shalat langsung
   dari Allah Swt.

   (284) Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi.
   Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
   menyembunyikannya, Allah akan memeriksa kamu tentang perbuatanmu itu.
   Dia akan mengampuni siapa yang Ia kehendaki dan menyiksa siapa yang Ia
   kehendaki; Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

   (285) Rasul itu percaya kepada apa yang diturunkan kepadanya dari
   Tuhannya, dan orang-orang yang beriman; tiap-tiap seorang daripada
   mereka percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan
   rasul-rasul-Nya. "Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun dari
   rasul-rasulNya", dan mereka berkata:"Kami dengar dan kami ta'at,
   Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".

   (286) Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
   kesanggupannya. Ia akan mendapat apa yang diusahakannya serta mendapat
   apa yang dikerjakannya. "Hai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami
   jika kami lupa atau kami keliru. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
   bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
   kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
   pikulkan kepada kami yang tak sanggup kami mengerjakannya. Ampunilah
   kami, lindungilah kami dan kasihanilah kami. Engkaulah Penolong kami,
   maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".
   (QS. 2:284-286)
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Tue May 08, 2012 10:22 am

kenapa/atas dasar apa kita harus mengimani bahwa cerita muhammad tersebut benar?
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by Orang_Pinggiran Fri May 11, 2012 4:07 pm

SEGOROWEDI wrote:kenapa/atas dasar apa kita harus mengimani bahwa cerita muhammad tersebut benar?

Pasti tulisan ichreza ga dibaca semua
Orang_Pinggiran
Orang_Pinggiran
LETNAN SATU
LETNAN SATU

Male
Posts : 1862
Kepercayaan : Islam
Location : Jawa Tengah
Join date : 12.03.12
Reputation : 18

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Tue May 15, 2012 9:39 am

semua keluarnya dari mulut muhammad, termasuk ayat-ayat
ichreza bilang dasarnya IMAN

maka saya tanya:
kenapa/atas dasar apa kita harus mengimani bahwa cerita muhammad tersebut benar?
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by Orang_Pinggiran Tue May 15, 2012 12:25 pm

SEGOROWEDI wrote:semua keluarnya dari mulut muhammad, termasuk ayat-ayat
ichreza bilang dasarnya IMAN

maka saya tanya:
kenapa/atas dasar apa kita harus mengimani bahwa cerita muhammad tersebut benar?

Orang yang belajar dan berpikir akan tau..

sudahkah kamu melakukannya???
ketawa guling
Orang_Pinggiran
Orang_Pinggiran
LETNAN SATU
LETNAN SATU

Male
Posts : 1862
Kepercayaan : Islam
Location : Jawa Tengah
Join date : 12.03.12
Reputation : 18

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Sat May 19, 2012 1:52 pm

kamu gak tau..
berarti kamu orang yang gak berpikir
buktinya pertanyaan saya tidak dijawab
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by Orang_Pinggiran Mon May 21, 2012 10:40 am

SEGOROWEDI wrote:kamu gak tau..
berarti kamu orang yang gak berpikir
buktinya pertanyaan saya tidak dijawab


Kalo mengamati tulisan TS juga udah terjawab, bukan modal sms basi basi basi
Orang_Pinggiran
Orang_Pinggiran
LETNAN SATU
LETNAN SATU

Male
Posts : 1862
Kepercayaan : Islam
Location : Jawa Tengah
Join date : 12.03.12
Reputation : 18

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by SEGOROWEDI Tue May 22, 2012 2:03 pm

ini jawaban TS:
ichreza wrote:Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy.
artinya: pokoknya telen
avatar
SEGOROWEDI
BRIGADIR JENDERAL
BRIGADIR JENDERAL

Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by putramentari Wed May 23, 2012 9:38 pm

SEGOROWEDI wrote:ini jawaban TS:
ichreza wrote:Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy.
artinya: pokoknya telen

Kalau itu mah ente, DOGMA ketawa guling ketawa guling ketawa guling
putramentari
putramentari
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 43
Posts : 4870
Kepercayaan : Islam
Location : Pekanbaru
Join date : 04.03.12
Reputation : 116

Kembali Ke Atas Go down

hikmah di balik kisah isra' mi'raj Empty Re: hikmah di balik kisah isra' mi'raj

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Halaman 1 dari 12 1, 2, 3 ... 10, 11, 12  Next

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik