kristus dalam tradisi yunani
Halaman 1 dari 1 • Share
kristus dalam tradisi yunani
Agak segera dan dengan cepat sekali iman kepercayaan Kristen yang berpangkal di Palestina dan alam pikiran Yahudi tersebar juga di dunia Yunani. Sudah dikatakan bahwa alam pikiran Yunani berbeda sedikit dengan alam pikiran Yahudi, meskipun alam pikiran Yahudi itu terpengaruh oleh kebudayaan Yunani. Dunia Yunani serta kenyataannya pada awal tarikh Masehi serba sinkretis. Dan dalam dunia Yunani itu tidak hanya kepercayaan Kristen yang disebarkan dan diwartakan. Kepercayaan Kristen mesti bersaingan dengan macam-macam agama dan aliran keagamaan dan filsafat yang mencari penganut dan pendukung.
Sekitar awal tarikh Masehi dunia Yunani-Romawi dilanda suatu gelombang semangat religius/keagamaan yang baru.
Disebarluaskan pelbagai "agama rahasia" yang membentuk macam-macam kelompok yang hanya dapat dimasuki melalui upacara-upacara khusus. Apa yang pada pokoknya ditawarkan oleh "agama-agama rahasia" itu ialah: semacam "keselamatan " dan "penebusan" dari suatu keadaan serba gelap dan tanpa banyak harapan. Melalui upacara-upacara pemasukan yang khas orang mendapat pengetahuan baru tentang yang Ilahi (dewa/dewi tertentu), menjalin hubungan mesra dan akrab dengan yang Ilahi, menjadi peserta dalam kebahagiaan, boleh jadi kebahagiaan kekal dan kebakaan.
Maka ketika kepercayaan Kristen masuk ke dalam dunia Yunani itu, tidak dapat tidak kepercayaan Kristen terpengaruh oleh alam pikiran itu dan mau tidak mau sedikit banyak menyesuaikan diri. Pemikiran jemaah keturunan Yahudi sekitar Yesus Kristus tentu saja dibawa serta dan diteruskan, tetapi juga ditinjau kembali dan berkembang, kini dalam alam pikiran Yunani itu.
Ada beberapa gagasan yang penting dalam alam pikiran Yahudi, tetapi kurang dapat dipahami oleh orang-orang Yunani yang tidak hidup dalam tradisi religius Yahudi itu. Karena itu, tidak mengherankan bahwa beberapa gagasan dari kristologi awal tidak lagi dipakai atau diperkembangkan.
Ternyata bahwa gagasan "Mesias" sebenarnya sedikit banyak hilang dari pemikiran umat Kristen. Gagasan itu memang kurang relevan bagi mereka yang tidak hidup dalam pengharapan Yahudi yang berpusatkan Raja Penyelamat, Mesias itu. Bagi orang Yunani tidak terlalu penting apakah Yesus Mesias atau tidak. Gelar Ibrani/Aram "Mesias" itu sudah diterjemahkan dengan kata Yunani "Khristos". Kata itu memang terus dipakai, tetapi bukan sebagai gelar kerajaan, jabatan, melainkan sebagai nama diri saja (Rm 5:6; 6:4; 8:9;lKor 1:12; Ef 2:12). Yesus mendapat nama majemuk ialah: Yesus Kristus atau pun Kristus Yesus. Tetapi kata "Kristus" sudah kehilangan bobotnya. Dalam tata bahasa Yunani itu sudah terasa. Sebab kata sandang di depan Kristus hilang. Mula-mula dikatakan: Yesus ialah Kristus (Kis 5:42; 18:5; lYoh 5:1), tetapi selanjutnya orang berkata: Yesus Kristus/Kristus Yesus. Nasib yang sama dialami gelar kristologi lain dan yang barangkali paling tua, yaitu Anak Manusia.
Ungkapan ini bagi orang Yunani memang tidak ada artinya. Bahkan bisa menyesatkan! Sebab ungkapan itu dapat dipahami seolah-olah sejalan dengan gelar: Anak Allah. Seperti Yesus adalah "Anak Allah", demikian pun Ia "anak manusia", serentak ilahi dan manusiawi. Tetapi itu bukan maksud dan arti ungkapan dan gelar: Anak Manusia, yang hanya berbobot dalam tradisi Yahudi tertentu, yakni apokaliptis. Maka umat Kristen yang berkebudayaan Yunani meninggalkan gelar itu, yang hanya sebagai bahan baku terus terpelihara dalam tradisi tanpa dipikirkan lebih lanjut, atau diartikan kembali seperti terjadi dalam Injil Yohanes.
Gagasan yang menjadi pokok inti pewartaan Yesus, yaitu Kerajaan Allah semakin kurang penting dalam pewartaan Kristen dan artinya berubah. Sudah dijelaskan bahwa Kerajaan Allah (atau pun: Kerajaan Surga, yang sama artinya: "Surga" merupakan Nama Allah saja dalam tradisi Yahudi) ialah: Kuasa Allah Penyelamat dan Hakim. Dalam pewartaan Yesus Kerajaan Allah itu sekaligus sudah dekat dan mulai terwujud justru dalam pewartaan dan perbuatan Yesus. Mula-mula pewartaan Yesus tentang Kerajaan. Allah diteruskan.
Hanya ada perbedaan ini: Yesus melalui kebangkitan dilantik menjadi Anak Manusia yang tidak lama lagi datang menyelesaikan Kerajaan Allah itu. Bahkan Kerajaan itu sudah sepenuh-penuhnya terwujud dalam Yesus yang dibangkitkan dan mempribadikan Kerajaan Allah itu. Hanya dalam alam pikiran Yunani istilah "Kerajaan Allah" tidak terlalu jelas artinya. Dan lama-kelamaan menjadi kentara bahwa Anak manusia tidak kunjung datang juga. Peranan dan kedudukan Yesus seka-rang ini semakin dipahami dan semakin ditonjolkan. Orang mulai berkata tentang "Kerajaan Kristus" (Mat 20:21; Luk 22:30; Ef 5:5; Kol 1:13; 2Tim 4:1), yang sudah real sekarang. Dan akhirnya "Kerajaan Allah" dipahami sebagai "Kerajaan surgawi" (Kis 14:22; 2Tim4:18). Kerajaan itu ditempatkan di tingkat alas, di surga, atau disamakan dengan "hidup kekal" (Yoh 3:5).
Dan itu memang sesuai dengan pikiran Yunani mengenai "Jagat Raya" dan susunannya dan manusia yang menjadi peserta dalam yang ilahi. Kendati demikian tradisi lama tetap ada, yaitu tradisi yang memikirkan Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang nanti baru akan sepenuh-penuhnya terwujud, di akhir zaman, meskipun kini sudah turut menentukan kehidupan orang percaya (Rm 14:17; IKor 6:9; Gal 5:21; 2Tes 1:5). Dan Kristus paling akhir akan mengembalikan "Kerajaan-Nya", ialah kuasa dan martabat kerajaan, kepada Allah (IKor 15:24-28).
Oleh karena orang di luar Palestina tidak pernah langsung mengalami Yesus selagi hidup di dunia dan para pewarta Injil pun sudah tidak mengenal Yesus sendiri, maka mula-mula orang tidak memberi banyak perhatian kepada kehidupan Yesus dahulu. Yang penting hanyalah akhir hidup-Nya dan kebangkitan-Nya (1Tes 1:9-10; 2:19; 4:14; 5:10). Sebab hanya dengan cara itulah Yesus sendiri menjadi penting bagi mereka, Yesus Kristus yang aktual dengan Roh Kudus-Nya berkarya menjadi Juru Selamat (IKor 1:4-9; 2:6-16; Tit 3:4-7; 2:11-14). Hanya ada satu unsur dari riwayat hidup Yesus yang memikat orang-orang Yunani. Yaitu mukjizat-mukjizat Yesus (Kis 10:38; 2:22). Tentu saja Yesus membuat mukjizat, tetapi selalu dalam rangka pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Mukjizat tidak dipakai sebagai "tanda bukti" bahwa Yesus seorang tokoh luar biasa. Tradisi Yahudi memang sudah tahu akan mukjizat-mukjizat. Tetapi mukjizat-mukjizat dikaitkan terutama pada "nabi-nabi". Mukjizat mesti membuktikan bahwa sang nabi bukan nabi gadungan. Yesus sendiri tidak pernah memakai mukjizat untuk dengan cara demikian "melegitimasikan did". Bahkan ia blak-blakan menolak "tanda bukti" semacam itu (Mat 12:38-39; 16:1,4). Tetapi orang Yunani di masa itu sangat gemar akan keajaiban dan mukjizat. Ada banyak ceritera tentang pembuat mukjizat dan keajaiban.
Dan keajaiban itu menyatakan bahwa tokoh itu mempunyai sakti luar biasa, berdekatan dengan yang ilahi (Kis 8:9-10). Pokoknya: pembuat mukjizat dan keajaiban ialah seorang tokoh ilahi. Adapun orang Yunani yang masuk Kristen senang kalau Yesus pun digambarkan sebagai "tokoh ilahi", pembuat mukjizat, lepas dari pewartaan-Nya (Mrk 6:32 dst. 45 dst.; 8:22 dst.; 5:3 dst.). Mukjizat-mukjizat itu membuktikan bahwa Yesus seorang tokoh sakti, tokoh ilahi (Luk 5:8; Mrk 6:49) dan bisa mengalahkan semua dukun dan pembuat mukjizat di kalangan Yunani. Maka orang Kristen Yunani itu senang berceritera tentang Yesus sebagai tokoh gaib, pembuat mukjizat.
Dan ada dua gelar Kristus yang sudah tradisional yang tanpa keberatan dapat dipakai orang Yunani, yaitu gelar Anak Allah dan Tuhan. Orang Yunani sudah lama biasa dengan istilah macam itu. Biasa saja bahwa dewa/ dewi punya anak. Tidak jarang juga raja dianggap dan disebut "anak Allah" (dewa tertentu), hasil campuran seorang dewa dengan permaisuri. Lain-lain tokoh pun boleh digelari sebagai ilahi atau Anak Allah, karena kesaktiannya terbukti. Gelar "Tuhan" juga sudah biasa dipakai, khususnya untuk menyapa dewa/dewi, raja-raja dan tokoh-tokoh gaib lainnya.
Jadi, orang Yunani bisa saja mengambil alih gelar tradisional itu, Anak Allah dan Tuhan. Tetapi jelas pulalah bahwa bagi mereka gelar-gelar itu tidak sama artinya dengan artinya bagi orang Yahudi. Serta merta mereka berpikir tentang Yesus sebagai seorang tokoh gaib yang berasal dari Allah. Tentu saja ada bahaya yang tidak kecil bahwa orang Yunani itu sedi-kit banyak melupakan bahwa Yesus seorang tokoh manusiawi, yang dahulu hidup dan mati, bahkan tersalib. Orang Yahudi secara spontan memikirkan hubungan Yesus dengan Allah secara dinamik. Tetapi orang Yunani mudah memikirkannya secara statis. Yesus tidak hanya mengerjakan pekerjaan Allah dan menyampaikan firman Allah, tetapi Yesus menjadi penampakan Allah di muka bumi itu (Tit 2:11; 3:4; 2Tim 1:10; ITim 3:16; IPtr 1:20; lYoh 1:2), mirip dengan penampakan dewa-dewi yang dikenal tradisi Yunani (Kis 14:11-12).
Kalau Yesus Kristus dipahami secara demikian, maka gelar "Tuhan" diberi isi yang sesuai. Dalam tradisi Yahudi gelar itu a.l. suatu gelar (dan nama) Allah. Yesus boleh disebut Tuhan juga, tidak seperti seorang raja, tetapi lebih dari itu. Sebab kuasa Allah, Tuhan, sudah menjadi nyata dan berwujud Yesus Kristus. Orang Yunani mudah saja meneruskan pikiran itu dan oleh karena Yesus dilihat sebagai penampakan Allah, maka gelar "Tuhan" mendapat ciri ilahi seperti dipikirkan orang Yunani. Dan sebagai tokoh ilahi Yesus melebihi kaisar dan lain-lain tokoh yang lazimnya disapa sebagai Tuhan, bahkan sebagai Tuhan Allah (IKor 8:4-6).
Umat Kristen Yunani melalui pewartaan dapat tahu bahwa Tuhan Yesus yang mereka puja bukan seorang dewa yang tinggal di dunia kedewataan. Ia pun bukan seorang pahlawan dari masa purba yang mempunyai ciri ilahi. Yesus dikenal sebagai seorang Yahudi yang belum lama berselang hidup di daerah Palestina dan mati tersalib. Masih ada orang yang langsung berkenalan dengan Dia dan dengan mata kepala sendiri mengamatinya (IKor 15:3-5; IPtr 2:22-25; 3:18-20). Jadi, Yesus ton seorang manusia, mes-kipun seorang manusia luar biasa, seperti digarisbawahi dalam ceritera-ceritera yang beredar tentang keajaiban-keajaiban yang dikerjakan-Nya.
Maka tidak dapat tidak umat Kristen Yunani mulai berpikir. Mana hubungan antara Yesus Kristus, yang mereka puja sebagai Tuhan dan Anak Allah dengan manusia Yesus, orang Nazaret dahulu? Tentu saja orangnya sama. Tetapi mana yang lebih dahulu. Anak Allah dan Tuhan atau Yesus orang Nazaret itu? Jemaah Kristen keturunan Yahudi sudah memahami bahwa dengan Yesus, orang Nazaret, Kerajaan Allah, Kuasa Allah Penyelamat dan Hakim menjadi nyata di bumi dan kini sepenuh-penuhnya terwujud dalam Yesus, Kristus dan Tuhan, yang dibangkitkan. Dan Yesus layak disebut Anak Allah oleh karena hubungan-Nya dengan Tuhan, Allahnya Israel, memang unik. Jemaah Yahudi juga sudah menghubungkan Yesus dengan hikmat kebijaksanaan ilahi, rencana penyelamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Dan tradisi Yahudi-Yunani dahulu sudah sampai memperorangkan hikmat kebijaksanaan ilahi yang berupa Hukum Taurat dan Bait Allah serta ibadat-Nya tampil di bumi (Sir 24:10-11, 23; Bar 3:38 — 4:1), Mereka yang masuk Kristen lalu menyamakan Yesus (yang dahulu hidup dan melalui kebangkitkan dibenarkan Allah) dengan hikmat kebijaksanaan ilahi yang diperorangkan itu (Kol 2:3; IKor 2:7-8; 1:30).
Umat Kristen Yunani meneruskan pemikiran itu. Sama seperti hikmat kebijaksanaan Allah (yang kadang kala disebut "putri Allah") Yesus Kristus, Anak Allah dan Tuhan, sudah ada sebelum tampil di muka bumi. Tentu saja bukan "manusia" (Yesus, orang Nazaret) itu yang lebih dahulu. Tetapi Anak Allah dan Tuhan yang berwujud manusia itu lebih dahulu dari penampilan-Nya di muka bumi ini. Dan itulah sebabnya mengapa orang Kristen yang berkebudayaan Yunani mulai berkata tentang Anak Manusia, Anak Allah yang turun dari atas, dari surga, datang dari Allah (Yoh 3:13; 6:38, 62); sejak awal mula Ia ada, sebelum Yohanes Pembaptis, sebelum Abraham, sebelum dunia dijadikan (Yoh 1:30; 8:58; 17:5). Yesus Kristus, Tuhan jemaah, sejak awal berupa Allah dan setara dengan-Nya, lalu menampakkan diri (Flp 2:6-7) dan berupa manusia merendahkan diri. Yesus Kristus yang sejak awal ada, lebih dahulu dan lebih utama dari segala sesuatu (Kol 1:17-18), "diutus ke bumi" (Gal 4:4; Rm 8:3; Yoh 7:29; 10:36; 17:18). Dan tentunya setelah tugasnya dibumi selesai Ia kembali ke tempat-Nya dahulu, naik ke atas melintasi petala langit, ditinggikan dan dimuliakan (Yoh 13:1; 14:12; 6:62; Ibr 1:3; 4:14; 7:26; Ef 4:10; 4:Cool.
Mudah saja pikiran dasar itu diteruskan dan diperkembangkan lebih lanjut, sebagaimana nyatanya terjadi. Kalau Yesus disamakan dengan hikmat kebijaksanaan Allah yang diperorangkan, kalau dikatakan bahwa sama seperti hikmat kebijaksanaan itu Ia ada sebelum sekalian zaman (Kol 1:15, 17), maka segala apa yang dahulu dikatakan tentang hikmat kebijaksanaan ilahi, khususnya oleh orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani, boleh dipindahkan kepada Yesus juga. Yesus adalah "Anak Allah", seperti hikmat kebijaksanaan ilahi adalah putri-Nya. Yesus boleh disebut "gambar Allah" (2Kor4:4; Kol 1:15; Ibr 1:3), apalagi oleh karena seorang anak memang "gambar ayahnya" (Kej 5:3) dan penerus pekerjaan ayah (Sir 30:6; Yoh 5:19). Yesus adalah pantulan kemuliaan (= daya kekuatan) Allah (Ibr 1:3). Yesus turut menciptakan semesta dunia (Yoh 1:3; Kol 1:16; Ibr 1:2), sehingga menjadi lebih utama dari segala sesuatu (Kol 1:18). Ia menjadi kepala jagat raya dan menaklukkan segala kuasa (Kol 1:16; 2:10; Ef 1:22). Dan Ia dahulu sudah berkarya, yaitu waktu umat Israel (oleh hikmat kebijaksanaan) diantar ke luar dari Mesir melalui padang gurun (Yud 5; IKor 10:4).
Salah satu peran hikmat kebijaksanaan ilahi ialah menyatakan Allah dan kehendak-Nya di bumi bagi umat. Dalam tradisi Yahudi kadang kala hikmat kebijaksanaan disamakan dengan firman Allah, yang menciptakan alam semesta tetapi juga menyatakan Allah dan kehendak-Nya kepada manusia. Dalam rangka pemikiran itu Yesus dapat disebut "firman Allah". Dan gagasan ini sangat menarik orang Yunani. Di dunia Yunani gagasan "logos" sudah terkenal. Logos itu menciptakan dunia, mengatur segala sesuatu dan menjadi "jiwa dunia semesta" dan tentu saja alat komunikasi, alat penyataan. Kalau Yesus dilihat demikian dan diberi gelar "Firman", maka jelaslah bahwa Yesus dilihat terutama sebagai penyataan Allah, sebagai pewahyu.
Tetapi bukan "pewahyu" dengan arti: pemberi tahu, melainkan dengan arti: penyataan (Yoh 1:18). Dalam Yesus, Firman Allah, Anak Tunggal Allah (Yoh 1:1, 14), Allah Bapa, Allah yang menghubungi manusia, menyatakan diri kepada manusia, dapat dikenal (Mat 11:27; Yoh 14:7; 17:3), diimani dan dihubungi (Yoh 14:6) oleh manusia. Dengan Yesus Kristus, firman Allah, yang menciptakan segala sesuatu (Yoh 1:3), secara nyata tampil di muka bumi secara kelihatan. Ia menjadi "daging" (Yoh 1:14), menempuh sejarah umat manusia, langsung melibatkan diri dalam hal ihwalnya dan dengan demikian menyatakan siapa sebenarnya Allah bagi manusia.
Akhirnya umat Kristus yang berkebudayaan Yunani sampai menyebut Tuhan Yesus sebagai "Allah". Dalam karangan-karangan Perjanjian Baru tidak sering sebutan itu tampil, Beberapa ayat (Rm 9:4-5; Tit 2:13; 2Ptr 1:1; 2Tes 1:12) tidak jelas. Tapi ada ayat yang jelas menyebut Yesus Kristus sebagai "Allah" (Yoh 1:1; lYoh 5:20; Yoh 20:28). Hanya baiklah diingat betapa kabur arti kata Yunani: "theos" (allah). Dengan kata itu disebut macam-macam tokoh, oleh karena dianggap amat dekat dengan "yang Ilahi". Namun, tokoh-tokoh itu tidak begitu saja disamakan dengan Allah yang satu (pada orang-orang Yunani memang sudah berkembang semacam monoteisme). Maka penggunaan kata "Allah"itu belum juga menyamakan Yesus Kristus begitu saja dengan Allah Mahaesa (Mat 23:9; Rm 3:30; IKor 8:4, 6; Gal 3:20; ITim 2:5; Yak 2:19). Yesus Kristus tentu saja dianggap "ilahi" tapi kata "Allah" tidak dengan tuntas dan jelas mengungkapkan bagaimana dan sejauh mana Yesus "ilahi". Bagi manusia Yunani (yang percaya) Yesus Kristus memang "Allahnya" (Yoh 20:28).
Tentu saja cara berpikir dan berbicara macam itu, yang dipinjam dari alam pikiran Yunani yang serba sinkretis (populer), berbau mitologi. Bahasa itu jelas bahasa mitologis. Hanya umat Kristen Yunani dengan bahasa mitologis itu selalu mau berbicara tentang tokoh tertentu dalam sejarah, yaitu Yesus Kristus, orang Nazaret, yang pernah hidup dan mati, tetapi menurut keyakinan mereka, kini hidup dan berkuasa (Rm 14:9). Dan tokoh itu bukan suatu idea abstrak atau buah khayal manusia, seperti "logos" filsafat Yunani, dewa-dewi dan pahlawan ilahi dalam mitologi Yunani suatu idea atau buah khayal manusia.
Dengan bahasa mitologis itu umat Kristen hanya mau menegaskan bahwa Tuhan yang mereka puja sekarang sebagai relevan, berarti dan bermakna bagi mereka. Dan yang sama dengan Yesus, orang Nazaret itu, sebenarnya sejak awal melampaui semua batas manusia, batas ruang dan waktu. Dengan tokoh historis dan konkret itu Allah sendiri mendekati manusia, merangkul manusia dengan kekuatan kasih-Nya (Yoh 3:16-17; lYoh 4:9; Rm 5:Cool dan serentak mendekatkan manusia kepada diri-Nya (Ef 2:17; IPtr 3:18). Dengan jalan itulah dijembatani jurang yang memisahkan Allah dengan dunia-Nya. Yesus Kristus, Tuhan jemaah dan Anak Allah, menjadi perwujudan hubungan unik Allah dengan manusia. Dan dengan demikian menjadi nyata Allah yang bagaimana diandalkan, dipuja dan disembah umat Kristen. Dan memang demikian Allah pada diri-Nya, sejak awal dan kekal, justru oleh karena Ia Allah yang setia kepada diri-Nya. Tidak disangkal bahwa bahasa mitologis itu dapat menyebabkan salah paham dan dapat menjadi bahaya bagi identitas iman kepercayaan Kristen. Tetapi cara berpikir dan berbahasa itu merupakan suatu usaha untuk lebih jauh menjelaskan teka-teki Yesus Kristus. Semuanya hanya merupakan lanjutan, dalam tata bahasa dan alam pikiran lain, dari apa yang sudah terasa sejak Yesus tampil. Melalui Yesus, pewartaan dan karya-Nya, kuasa Allah penyelamat dan hakim, sudah menjadi terwujud. Semuanya dibenarkan dan diperteguh serta diselesaikan melalui kebangkitan Yesus. Hanya itulah yang diteruskan oleh umat yang berkebudayaan Yunani, sehingga Yesus Kristus tetap dapat relevan bagi mereka juga, meskipun Ia memang tetap sama, kemarin dan hari ini untuk selama-lamanya.
Tetapi dalam pendekatan Yunani tersebut yang terlebih berpusatkan Yesus, Tuhan dan Anak Allah yang kini berkuasa, nasib malang Yesus mesti dipikirkan juga. Kematian Yesus bagi orang Yahudi menjadi batu sandungan tetapi bagi orang Yunani menjadi kebodohan belaka (IKor 1:23). Dan tambah lagi: Bila kebangkitan Yesus bagi jemaah Yahudi memberi kelegaan, oleh karena membenarkan Yesus serta pemberitaan-Nya dan menyatakan-Nya sebagai Mesias, maka bagi orang Yunani kebangkitan itu menjadi problem (Kis 17:32).
Mendengar tentang Yesus yang mengalami kematian di salib, orang Yunani tidak dapat tidak berkesan bahwa Yesus itu seorang pemberontak yang oleh pemerintah dieksekusi (Ibr 12:2; 13:13). Bagaimana orang macam itu dapat dipuja sebagai Tuhan dan Anak Allah? Dan setelah mereka sampai percaya soalnya belum juga hilang. Sebab kalau Yesus yang kini hidup dipuja sebagai Tuhan, Anak Allah yang mendekatkan Allah pada manusia dan manusia pada Allah, pernah turun dari Allah ke bumi, mengapa Ia mesti menempuh nasib yang begitu malang, memalukan dan terhina?
Untuk memahami penderitaan dan kematian Yesus ada dua jalan yang ditemukan, yang satu diketemukan oleh karangan-karangan Yohanes, yang kedua khususnya oleh S. Paulus. Penderitaan dan kematian Yesus dapat ditempatkan dalam rangka tugas-Nya sebagai penyataan Bapa. Yesus, Anak Tunggal Allah, turun ke bumi, ke luar dari Bapa (Yoh 8:42) untuk menyatakan Bapa (Yoh 7:16-18, 29). Setelah tugas selesai Yesus kembali kepada Bapa {Yoh 13:3; 16:28), tempat asal-Nya. Seluruh kehidupan Yesus di bumi menjadi penyataan Bapa, penyataan kasih Allah (Yoh 4:17; 17:26), penyataan kemuliaan Bapa — yang sekaligus kemuliaan Anak — , ialah daya penyelamatan dan penghakiman Bapa (Yoh 13:31-32; 17:5, 22, 24). Adapun kasih Bapa dan Anak, daya penyelamatan-Nya, kemuliaan-Nya menjadi paling nyata justru dalam kematian Yesus (Yoh 17: 1-5; 19:30). Betapa besar, radikal dan tanpa pamrih kasih Bapa terbukti waktu blak-blakan ditolak oleh "dunia" yang tidak mau dihakimi melainkan diselamatkan (Yoh 12:47). Kendati demikian kasih itu tidak ditarik kembali, asal saja orang kini mau menerimanya. Justru dari Yesus yang mati di salib berpancarlah "roh kehidupan ilahi" (Yoh 7:38-39; 19:34) yang menerangi kehidupan manusia yang dikasihi Allah dan Anak sampai akhir. Maka justru di salib "kebenaran Allah" (Yoh 18:37), siapa sebenarnya Allah bagi manusia, menjadi sepenuhnya tersingkap (lYoh 4:9-10). Dan dengan cara demikian kematian Yesus sungguh menguntungkan bagi manusia. Satu-satunya yang diminta dari "dunia" ialah: percaya kepada Anak Allah dan bahwa Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa (Yoh 14:11).
Cara yang kedua untuk mengartikan kematian Yesus di salib ialah memperdalam paham yang sudah tercapai: Yesus mati bagi manusia, bagi dosa-dosa manusia. Pemikiran dapat bertitik tolak keadaan malang manusia, semua manusia dengan tidak ada yang terkecuali (Gal 3:22; Rm 3:9; 11:32). Keadaan malang itu meliputi dan seolah-olah mengurung manusia dari semua seginya (Rm 7:24; 8:2, Cool. Keadaan malang menyeluruh itu berurat berakar dalam dosa (Rm 5:12, 16-19). Dosa itu pada dasarnya ialah: menolak Allah, secara praktis tidak mengakui-Nya sebagai instansi tertinggi yang menentukan kehidupan manusia (Rm 1:18, 28-32). Dosa itu bukanlah salah satu tindakan atau pelanggaran, melainkan suatu sifat dasar manusia yang sejak awal, sejak "Adam" menjerat manusia (Rm 5:19) demikian rupa sehingga manusia tidak dapat membebaskan dirinya sendiri. Meskipun bebas, namun manusia tidak dapat tidak menolak Allah, membenci-Nya (Km 5:10; 8:Cool. Dan tanda kemalangan umum itu ialah ke-matian yang tak terelakkan (Rm 6:23). Maka tidak hanya ada dosa, melainkan ada kedosaan, keadaan tetap di mana manusia terkurung, tidak dapat keluar. Manusia berada dalam perbudakan terhadap Dosa dan terhadap Maut (Rm6:20;5:14).
Yesus sendiri dahulu juga sudah menilai situasi umat Israel sebagai situasi malang, dengan tidak ada harapan lagi dari segi manusia dan tidak tersedia sarana mana pun yang dapat membebaskan umat, kecuali Allah. Dan kalau keadaan umat Allah sudah demikian, apalagi keadaan manusia lain, di luar lingkup umat Allah yang terpilih. Di sana juga kemalangan fisik, sosial, politik hanya tanda bukti keterasingan dasariah manusia dari sumber kehidupan sejati, sumber kehidupan selamat.
Visi yang begitu pesimistis terhadap manusia dan situasinya kurang sesuai dengan tradisi Yahudi, tetapi cocok dengan pandangan yang cukup tersebar di dunia Yunani pada awal tarikh Masehi. Di sana pesimisme cukup maharajalela. Manusia sebenarnya tidak berdaya terhadap dunia dan hal ihwalnya. Semua dikuasai oleh "Nasib" yang secara membabi buta menentukan segala sesuatu, termasuk para dewa/dewi. Manusia menjadi permainan nasib itu. Ia diombang-ambingkan tidak menentu dan seluruh usahanya tidak berguna sedikit pun (ITes 4:13; IKor 15:32). Ia menjadi korban dan mangsa segala macam kuasa buruk dan tidak berdaya terhadapnya (Gal 4:3, 9). Dunia sebenarnya suatu teka-teki besar yang tidak tertebak. Memang ada macam-macam aliran dan agama yang menawarkan keselamatan, tetapi kurang berhasil menjelaskan mengapa keadaan manusia tampaknya begitu malang. Dengan melanjutkan pikiran yang sudah tercantum sedikit dalam Perjanjian Lama pandangan Kristen tersebut dapat menjelaskan situasi manusia. Mengapa ia berada dalam kemalangan? "Nasib" yang mempermainkan manusia sebenarnya berasal dari manusia sendiri seperti juga kematian seperti nyata dialami. Semuanya berasal dari manusia yang berdosa, yang menoiak Allah dan sendiri rnenciptakan situasi tanpa harapan.
Tetapi gambaran yang amat hitam tersebut dipaparkan dengan maksud semakin memperlihatkan Allah yang bagaimana diandalkan orang Kristen dan mana peranan dan kedudukan Yesus Kristus. Allah yang dipercayai orang Kristen tetap mau dan nyata menyelamatkan manusia dari kemalangan melalui Yesus Kristus, Anak-Nya (Gal 1:4 Rm 5:18-19; 2Kor 5:19). Dan sarana penyelamatan yang utama ialah Yesus Kristus, yang mati tersalib tapi oleh Allah dibangkitkan. Dan gagasan dasar yang dipakai ialah: Yesus, Anak Allah, atas prakarsa Allah menjadi senasib dengan manusia yang malang, supaya manusia yang malang menjadi senasib dengan Yesus yang tersalib dan dibangkitkan dan hidup bagi Allah.
Karena itu gambaran hitam yang dipaparkan itu tidak memerikan keadaan nyata. Gambaran — yang sedikit banyak berdasarkan pengalaman — berupa suatu hipotesis, yaitu: seandainya Yesus Kristus tidak pernah ada dan Allah tidak seperti yang diandalkan umat Kristen, keadaan manusia memang seburuk itu.
Yesus Kristus, Anak Allah, sejak kekal berada dalam rupa Allah dan mempunyai suatu kesamaan dengan Allah (Flp 2:6). Tetapi pada saat tertentu Allah mengutus Anak-Nya (Gal 4:4). Dan Ia menghampakan diri menjadi serupa dengan manusia (Flp 2:7-Cool, bahkan serupa dengan manusia yang berdosa (Rm 8:3), yang secara dasariah malang (Ibr 2:14-15; 5:7; 2:9-10). Tentu saja Anak Allah, Yesus Kristus, tidak berdosa (2Kor 5:21), melainkan taat kepada Bapa sampai akhir (Flp 2:8; Rm 5:19), sampai mati di salib. Namun demikian Yesus, Anak Allah sungguh menjadi senasib dengan manusia yang malang, manusia berdosa yang karena itu mesti mengalami kematian orang berdosa. Meskipun sendiri tidak berdosa, Yesus Kristus terjerat dalam keadaan nyata manusia (2Kor 5:21; Gal 3:13). Dan tidak hanya atas kehendak-Nya sendiri (Gal 2:20; Ef 5:2), melainkan atas kehendak Bapa yang menyerahkan Yesus kepada kematian orang berdosa, meskipun Yesus Anak tunggal-Nya yang terkasih (Rm 8:32). Begitu dalam Anak-Nya sendiri Allah penyelamat mendekati manusia (2Kor 5:19). Tetapi tidak dapat tidak manusia yang seolah-olah secara kodrati tidak taat terhadap Allah (Ef 2:2-3; Tit 3:3), menolak tawaran Allah itu. Dan penolakan itulah yang menyalibkan Yesus.
Maka dosa manusia, kedosaannya menyebabkan kematian Yesus di salib. Nyatanya Yesus memang disalibkan di tempat tertentu dan oleh orang tertentu. Tapi itu sedikit "kebetulan" secara historis. Yesus sebagai tawaran Allah, tidak dapat tidak ditolak manusia, kapan saja dan di mana saja Ia tampil di antara manusia mana pun.
Apakah dengan demikian tawaran Allah batal? Tidak. Sebab nyatanya Allah yang menyerahkan Anak-Nya kepada kematian disalib, membangkitkan Yesus dari antara orang mati, dari keadaan paling parah yang dikarenakan dosa manusia. Dan adapun alasannya Allah membangkitkan Yesus ialah: ketaatan Yesus sampai mati disalib (Flp 2:Cool. Begitu ketidaktaatan manusia diimbangi, malah dilampaui oleh ketaatan Yesus Kristus demi untuk manusia (Rm 5:19, 16). Maka atas dasar itu Allah tidak lagi memper-hitungkan dosa manusia (Rm 4:Cool, dosa tidak menjadi rintangan mutlak bagi penyelamatan Allah, bagi kasih-Nya. Atas dasar ketaatan Yesus yang memuncak dalam kematian-Nya Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya, mau membenarkan dan menguduskannya (IKor 6:11) dan membebaskannya dari perbudakan dosa (Rm 6:18-20; 8:2). Dosa-dosa, meskipun tetap terjadi, tidak lagi mampu menawan manusia, tidak mampu menghalang Allah terus membenarkan dan menyelamatkan orang berdosa (Rm 4:5). Dosa tidak lagi secara definitif memutuskan persatuan manusia dengan Allah (Rm 8:38-39). Satu-satunya yang diminta dari manusia ialah: percaya kepada Allah yang membangkitkan Yesus Kristus dan yang membenarkan dan menguduskan orang berdosa (Rm 4:24; 10:9; IKor 1:30).
Kesetiakawanan timbal balik antara Yesus Kristus dan manusia, sudah terungkap dalam rumus tradisional yaitu: Yesus Kristus mati (dan bangkit) demi untuk kita, dosa-dosa kita (IKor 15:3-4; Rm 4:25; 8:32). Gagasan itu tradisional dalam tradisi Yahudi yang tercantum dalam Alkitab. Hanya gagasan itu diperdalam dan ditonjolkan dalam karangan-karangan Paulus. Ia suka menggunakan kata kerja, ciptaannya sendiri, untuk menekankan solidaritas timbal balik: Dikubur bersama Kristus (Rm 6:4), disalibkan bersama Kristus (Gal 2:19; Rm 6:6), dimuliakan bersama Kristus (Rm 8:17), hidup bersama Kristus (Rm 6:Cool, diubah rupa bersama Kristus (Flp 3:10; Rm 8:29; Flp 3:21), menjadi waris bersama Kristus (Rm 8:17), dibangkitkan bersama Kristus (Kol 2:12; 3:1; Ef 2:6), dihidupkan bersama Kristus (Kol 2:13; Ef 2:5), ditahtakan bersama Kristus (Ef 2,6), menderita bersama Kristus (2Kor 1:5; Flp 3:10-11; 2Kor 4:10; Rm 8:17). Dan persekutuan itu dipertegas lagi, bila dikatakan: Oleh karena satu manusia (Kristus) mati, maka semua mati (IKor 15:22; 2Kor 5:14), dan oleh karena satu orang bangkit/ dibangkitkan maka semua bangkit/dibangkitkan (IKor 15:21-22). Dan Yesus yang dibangkitkan menjadi yang pertama dari orang mati (Kol 1:18; IKor 15:20) dan yang sulung di antara semua saudara-Nya (Rm 8:29).
Maka manusia yang percaya menjadi senasib dengan Yesus Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan dan kini ada dalam keberadaan ilahi untuk tetap selama-lamanya. Yesus menjadi senasib dengan manusia yang malang, tetapi dengan demikian Anak Allah menjadi senasib dengan manusia berdosa. Dan akibatnya: ada kaitan yang tak terputus antara Yesus Kristus dan umat manusia seanteronya. Dan oleh karena itu, kini ada kaitan tak terputuskan antara umat manusia dan Yesus Kristus yang tersalib tapi dibangkitkan dan sudah masuk ke dalam keberadaan definitif yang teruntuk bagi semua, keadaan selamat dari segala kemalangan oleh karena selamat dari dosa dan kedosaan. Dan kalau orang sungguh beriman, maka ia secara pribadi dipersatukan dengan Yesus Kristus yang tersalib tapi dibangkitkan. Dan dengan demikian kini ia sudah mendapat jaminan untuk masa depan, bila semuanya menjadi terselesaikan, seperti sudah terselesaikan dalam Yesus Kristus (Flp 3:20-21).
Sekitar awal tarikh Masehi dunia Yunani-Romawi dilanda suatu gelombang semangat religius/keagamaan yang baru.
Disebarluaskan pelbagai "agama rahasia" yang membentuk macam-macam kelompok yang hanya dapat dimasuki melalui upacara-upacara khusus. Apa yang pada pokoknya ditawarkan oleh "agama-agama rahasia" itu ialah: semacam "keselamatan " dan "penebusan" dari suatu keadaan serba gelap dan tanpa banyak harapan. Melalui upacara-upacara pemasukan yang khas orang mendapat pengetahuan baru tentang yang Ilahi (dewa/dewi tertentu), menjalin hubungan mesra dan akrab dengan yang Ilahi, menjadi peserta dalam kebahagiaan, boleh jadi kebahagiaan kekal dan kebakaan.
Maka ketika kepercayaan Kristen masuk ke dalam dunia Yunani itu, tidak dapat tidak kepercayaan Kristen terpengaruh oleh alam pikiran itu dan mau tidak mau sedikit banyak menyesuaikan diri. Pemikiran jemaah keturunan Yahudi sekitar Yesus Kristus tentu saja dibawa serta dan diteruskan, tetapi juga ditinjau kembali dan berkembang, kini dalam alam pikiran Yunani itu.
Ada beberapa gagasan yang penting dalam alam pikiran Yahudi, tetapi kurang dapat dipahami oleh orang-orang Yunani yang tidak hidup dalam tradisi religius Yahudi itu. Karena itu, tidak mengherankan bahwa beberapa gagasan dari kristologi awal tidak lagi dipakai atau diperkembangkan.
Ternyata bahwa gagasan "Mesias" sebenarnya sedikit banyak hilang dari pemikiran umat Kristen. Gagasan itu memang kurang relevan bagi mereka yang tidak hidup dalam pengharapan Yahudi yang berpusatkan Raja Penyelamat, Mesias itu. Bagi orang Yunani tidak terlalu penting apakah Yesus Mesias atau tidak. Gelar Ibrani/Aram "Mesias" itu sudah diterjemahkan dengan kata Yunani "Khristos". Kata itu memang terus dipakai, tetapi bukan sebagai gelar kerajaan, jabatan, melainkan sebagai nama diri saja (Rm 5:6; 6:4; 8:9;lKor 1:12; Ef 2:12). Yesus mendapat nama majemuk ialah: Yesus Kristus atau pun Kristus Yesus. Tetapi kata "Kristus" sudah kehilangan bobotnya. Dalam tata bahasa Yunani itu sudah terasa. Sebab kata sandang di depan Kristus hilang. Mula-mula dikatakan: Yesus ialah Kristus (Kis 5:42; 18:5; lYoh 5:1), tetapi selanjutnya orang berkata: Yesus Kristus/Kristus Yesus. Nasib yang sama dialami gelar kristologi lain dan yang barangkali paling tua, yaitu Anak Manusia.
Ungkapan ini bagi orang Yunani memang tidak ada artinya. Bahkan bisa menyesatkan! Sebab ungkapan itu dapat dipahami seolah-olah sejalan dengan gelar: Anak Allah. Seperti Yesus adalah "Anak Allah", demikian pun Ia "anak manusia", serentak ilahi dan manusiawi. Tetapi itu bukan maksud dan arti ungkapan dan gelar: Anak Manusia, yang hanya berbobot dalam tradisi Yahudi tertentu, yakni apokaliptis. Maka umat Kristen yang berkebudayaan Yunani meninggalkan gelar itu, yang hanya sebagai bahan baku terus terpelihara dalam tradisi tanpa dipikirkan lebih lanjut, atau diartikan kembali seperti terjadi dalam Injil Yohanes.
Gagasan yang menjadi pokok inti pewartaan Yesus, yaitu Kerajaan Allah semakin kurang penting dalam pewartaan Kristen dan artinya berubah. Sudah dijelaskan bahwa Kerajaan Allah (atau pun: Kerajaan Surga, yang sama artinya: "Surga" merupakan Nama Allah saja dalam tradisi Yahudi) ialah: Kuasa Allah Penyelamat dan Hakim. Dalam pewartaan Yesus Kerajaan Allah itu sekaligus sudah dekat dan mulai terwujud justru dalam pewartaan dan perbuatan Yesus. Mula-mula pewartaan Yesus tentang Kerajaan. Allah diteruskan.
Hanya ada perbedaan ini: Yesus melalui kebangkitan dilantik menjadi Anak Manusia yang tidak lama lagi datang menyelesaikan Kerajaan Allah itu. Bahkan Kerajaan itu sudah sepenuh-penuhnya terwujud dalam Yesus yang dibangkitkan dan mempribadikan Kerajaan Allah itu. Hanya dalam alam pikiran Yunani istilah "Kerajaan Allah" tidak terlalu jelas artinya. Dan lama-kelamaan menjadi kentara bahwa Anak manusia tidak kunjung datang juga. Peranan dan kedudukan Yesus seka-rang ini semakin dipahami dan semakin ditonjolkan. Orang mulai berkata tentang "Kerajaan Kristus" (Mat 20:21; Luk 22:30; Ef 5:5; Kol 1:13; 2Tim 4:1), yang sudah real sekarang. Dan akhirnya "Kerajaan Allah" dipahami sebagai "Kerajaan surgawi" (Kis 14:22; 2Tim4:18). Kerajaan itu ditempatkan di tingkat alas, di surga, atau disamakan dengan "hidup kekal" (Yoh 3:5).
Dan itu memang sesuai dengan pikiran Yunani mengenai "Jagat Raya" dan susunannya dan manusia yang menjadi peserta dalam yang ilahi. Kendati demikian tradisi lama tetap ada, yaitu tradisi yang memikirkan Kerajaan Allah sebagai sesuatu yang nanti baru akan sepenuh-penuhnya terwujud, di akhir zaman, meskipun kini sudah turut menentukan kehidupan orang percaya (Rm 14:17; IKor 6:9; Gal 5:21; 2Tes 1:5). Dan Kristus paling akhir akan mengembalikan "Kerajaan-Nya", ialah kuasa dan martabat kerajaan, kepada Allah (IKor 15:24-28).
Oleh karena orang di luar Palestina tidak pernah langsung mengalami Yesus selagi hidup di dunia dan para pewarta Injil pun sudah tidak mengenal Yesus sendiri, maka mula-mula orang tidak memberi banyak perhatian kepada kehidupan Yesus dahulu. Yang penting hanyalah akhir hidup-Nya dan kebangkitan-Nya (1Tes 1:9-10; 2:19; 4:14; 5:10). Sebab hanya dengan cara itulah Yesus sendiri menjadi penting bagi mereka, Yesus Kristus yang aktual dengan Roh Kudus-Nya berkarya menjadi Juru Selamat (IKor 1:4-9; 2:6-16; Tit 3:4-7; 2:11-14). Hanya ada satu unsur dari riwayat hidup Yesus yang memikat orang-orang Yunani. Yaitu mukjizat-mukjizat Yesus (Kis 10:38; 2:22). Tentu saja Yesus membuat mukjizat, tetapi selalu dalam rangka pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Mukjizat tidak dipakai sebagai "tanda bukti" bahwa Yesus seorang tokoh luar biasa. Tradisi Yahudi memang sudah tahu akan mukjizat-mukjizat. Tetapi mukjizat-mukjizat dikaitkan terutama pada "nabi-nabi". Mukjizat mesti membuktikan bahwa sang nabi bukan nabi gadungan. Yesus sendiri tidak pernah memakai mukjizat untuk dengan cara demikian "melegitimasikan did". Bahkan ia blak-blakan menolak "tanda bukti" semacam itu (Mat 12:38-39; 16:1,4). Tetapi orang Yunani di masa itu sangat gemar akan keajaiban dan mukjizat. Ada banyak ceritera tentang pembuat mukjizat dan keajaiban.
Dan keajaiban itu menyatakan bahwa tokoh itu mempunyai sakti luar biasa, berdekatan dengan yang ilahi (Kis 8:9-10). Pokoknya: pembuat mukjizat dan keajaiban ialah seorang tokoh ilahi. Adapun orang Yunani yang masuk Kristen senang kalau Yesus pun digambarkan sebagai "tokoh ilahi", pembuat mukjizat, lepas dari pewartaan-Nya (Mrk 6:32 dst. 45 dst.; 8:22 dst.; 5:3 dst.). Mukjizat-mukjizat itu membuktikan bahwa Yesus seorang tokoh sakti, tokoh ilahi (Luk 5:8; Mrk 6:49) dan bisa mengalahkan semua dukun dan pembuat mukjizat di kalangan Yunani. Maka orang Kristen Yunani itu senang berceritera tentang Yesus sebagai tokoh gaib, pembuat mukjizat.
Dan ada dua gelar Kristus yang sudah tradisional yang tanpa keberatan dapat dipakai orang Yunani, yaitu gelar Anak Allah dan Tuhan. Orang Yunani sudah lama biasa dengan istilah macam itu. Biasa saja bahwa dewa/ dewi punya anak. Tidak jarang juga raja dianggap dan disebut "anak Allah" (dewa tertentu), hasil campuran seorang dewa dengan permaisuri. Lain-lain tokoh pun boleh digelari sebagai ilahi atau Anak Allah, karena kesaktiannya terbukti. Gelar "Tuhan" juga sudah biasa dipakai, khususnya untuk menyapa dewa/dewi, raja-raja dan tokoh-tokoh gaib lainnya.
Jadi, orang Yunani bisa saja mengambil alih gelar tradisional itu, Anak Allah dan Tuhan. Tetapi jelas pulalah bahwa bagi mereka gelar-gelar itu tidak sama artinya dengan artinya bagi orang Yahudi. Serta merta mereka berpikir tentang Yesus sebagai seorang tokoh gaib yang berasal dari Allah. Tentu saja ada bahaya yang tidak kecil bahwa orang Yunani itu sedi-kit banyak melupakan bahwa Yesus seorang tokoh manusiawi, yang dahulu hidup dan mati, bahkan tersalib. Orang Yahudi secara spontan memikirkan hubungan Yesus dengan Allah secara dinamik. Tetapi orang Yunani mudah memikirkannya secara statis. Yesus tidak hanya mengerjakan pekerjaan Allah dan menyampaikan firman Allah, tetapi Yesus menjadi penampakan Allah di muka bumi itu (Tit 2:11; 3:4; 2Tim 1:10; ITim 3:16; IPtr 1:20; lYoh 1:2), mirip dengan penampakan dewa-dewi yang dikenal tradisi Yunani (Kis 14:11-12).
Kalau Yesus Kristus dipahami secara demikian, maka gelar "Tuhan" diberi isi yang sesuai. Dalam tradisi Yahudi gelar itu a.l. suatu gelar (dan nama) Allah. Yesus boleh disebut Tuhan juga, tidak seperti seorang raja, tetapi lebih dari itu. Sebab kuasa Allah, Tuhan, sudah menjadi nyata dan berwujud Yesus Kristus. Orang Yunani mudah saja meneruskan pikiran itu dan oleh karena Yesus dilihat sebagai penampakan Allah, maka gelar "Tuhan" mendapat ciri ilahi seperti dipikirkan orang Yunani. Dan sebagai tokoh ilahi Yesus melebihi kaisar dan lain-lain tokoh yang lazimnya disapa sebagai Tuhan, bahkan sebagai Tuhan Allah (IKor 8:4-6).
Umat Kristen Yunani melalui pewartaan dapat tahu bahwa Tuhan Yesus yang mereka puja bukan seorang dewa yang tinggal di dunia kedewataan. Ia pun bukan seorang pahlawan dari masa purba yang mempunyai ciri ilahi. Yesus dikenal sebagai seorang Yahudi yang belum lama berselang hidup di daerah Palestina dan mati tersalib. Masih ada orang yang langsung berkenalan dengan Dia dan dengan mata kepala sendiri mengamatinya (IKor 15:3-5; IPtr 2:22-25; 3:18-20). Jadi, Yesus ton seorang manusia, mes-kipun seorang manusia luar biasa, seperti digarisbawahi dalam ceritera-ceritera yang beredar tentang keajaiban-keajaiban yang dikerjakan-Nya.
Maka tidak dapat tidak umat Kristen Yunani mulai berpikir. Mana hubungan antara Yesus Kristus, yang mereka puja sebagai Tuhan dan Anak Allah dengan manusia Yesus, orang Nazaret dahulu? Tentu saja orangnya sama. Tetapi mana yang lebih dahulu. Anak Allah dan Tuhan atau Yesus orang Nazaret itu? Jemaah Kristen keturunan Yahudi sudah memahami bahwa dengan Yesus, orang Nazaret, Kerajaan Allah, Kuasa Allah Penyelamat dan Hakim menjadi nyata di bumi dan kini sepenuh-penuhnya terwujud dalam Yesus, Kristus dan Tuhan, yang dibangkitkan. Dan Yesus layak disebut Anak Allah oleh karena hubungan-Nya dengan Tuhan, Allahnya Israel, memang unik. Jemaah Yahudi juga sudah menghubungkan Yesus dengan hikmat kebijaksanaan ilahi, rencana penyelamatan Allah yang terlaksana dalam Yesus Kristus. Dan tradisi Yahudi-Yunani dahulu sudah sampai memperorangkan hikmat kebijaksanaan ilahi yang berupa Hukum Taurat dan Bait Allah serta ibadat-Nya tampil di bumi (Sir 24:10-11, 23; Bar 3:38 — 4:1), Mereka yang masuk Kristen lalu menyamakan Yesus (yang dahulu hidup dan melalui kebangkitkan dibenarkan Allah) dengan hikmat kebijaksanaan ilahi yang diperorangkan itu (Kol 2:3; IKor 2:7-8; 1:30).
Umat Kristen Yunani meneruskan pemikiran itu. Sama seperti hikmat kebijaksanaan Allah (yang kadang kala disebut "putri Allah") Yesus Kristus, Anak Allah dan Tuhan, sudah ada sebelum tampil di muka bumi. Tentu saja bukan "manusia" (Yesus, orang Nazaret) itu yang lebih dahulu. Tetapi Anak Allah dan Tuhan yang berwujud manusia itu lebih dahulu dari penampilan-Nya di muka bumi ini. Dan itulah sebabnya mengapa orang Kristen yang berkebudayaan Yunani mulai berkata tentang Anak Manusia, Anak Allah yang turun dari atas, dari surga, datang dari Allah (Yoh 3:13; 6:38, 62); sejak awal mula Ia ada, sebelum Yohanes Pembaptis, sebelum Abraham, sebelum dunia dijadikan (Yoh 1:30; 8:58; 17:5). Yesus Kristus, Tuhan jemaah, sejak awal berupa Allah dan setara dengan-Nya, lalu menampakkan diri (Flp 2:6-7) dan berupa manusia merendahkan diri. Yesus Kristus yang sejak awal ada, lebih dahulu dan lebih utama dari segala sesuatu (Kol 1:17-18), "diutus ke bumi" (Gal 4:4; Rm 8:3; Yoh 7:29; 10:36; 17:18). Dan tentunya setelah tugasnya dibumi selesai Ia kembali ke tempat-Nya dahulu, naik ke atas melintasi petala langit, ditinggikan dan dimuliakan (Yoh 13:1; 14:12; 6:62; Ibr 1:3; 4:14; 7:26; Ef 4:10; 4:Cool.
Mudah saja pikiran dasar itu diteruskan dan diperkembangkan lebih lanjut, sebagaimana nyatanya terjadi. Kalau Yesus disamakan dengan hikmat kebijaksanaan Allah yang diperorangkan, kalau dikatakan bahwa sama seperti hikmat kebijaksanaan itu Ia ada sebelum sekalian zaman (Kol 1:15, 17), maka segala apa yang dahulu dikatakan tentang hikmat kebijaksanaan ilahi, khususnya oleh orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani, boleh dipindahkan kepada Yesus juga. Yesus adalah "Anak Allah", seperti hikmat kebijaksanaan ilahi adalah putri-Nya. Yesus boleh disebut "gambar Allah" (2Kor4:4; Kol 1:15; Ibr 1:3), apalagi oleh karena seorang anak memang "gambar ayahnya" (Kej 5:3) dan penerus pekerjaan ayah (Sir 30:6; Yoh 5:19). Yesus adalah pantulan kemuliaan (= daya kekuatan) Allah (Ibr 1:3). Yesus turut menciptakan semesta dunia (Yoh 1:3; Kol 1:16; Ibr 1:2), sehingga menjadi lebih utama dari segala sesuatu (Kol 1:18). Ia menjadi kepala jagat raya dan menaklukkan segala kuasa (Kol 1:16; 2:10; Ef 1:22). Dan Ia dahulu sudah berkarya, yaitu waktu umat Israel (oleh hikmat kebijaksanaan) diantar ke luar dari Mesir melalui padang gurun (Yud 5; IKor 10:4).
Salah satu peran hikmat kebijaksanaan ilahi ialah menyatakan Allah dan kehendak-Nya di bumi bagi umat. Dalam tradisi Yahudi kadang kala hikmat kebijaksanaan disamakan dengan firman Allah, yang menciptakan alam semesta tetapi juga menyatakan Allah dan kehendak-Nya kepada manusia. Dalam rangka pemikiran itu Yesus dapat disebut "firman Allah". Dan gagasan ini sangat menarik orang Yunani. Di dunia Yunani gagasan "logos" sudah terkenal. Logos itu menciptakan dunia, mengatur segala sesuatu dan menjadi "jiwa dunia semesta" dan tentu saja alat komunikasi, alat penyataan. Kalau Yesus dilihat demikian dan diberi gelar "Firman", maka jelaslah bahwa Yesus dilihat terutama sebagai penyataan Allah, sebagai pewahyu.
Tetapi bukan "pewahyu" dengan arti: pemberi tahu, melainkan dengan arti: penyataan (Yoh 1:18). Dalam Yesus, Firman Allah, Anak Tunggal Allah (Yoh 1:1, 14), Allah Bapa, Allah yang menghubungi manusia, menyatakan diri kepada manusia, dapat dikenal (Mat 11:27; Yoh 14:7; 17:3), diimani dan dihubungi (Yoh 14:6) oleh manusia. Dengan Yesus Kristus, firman Allah, yang menciptakan segala sesuatu (Yoh 1:3), secara nyata tampil di muka bumi secara kelihatan. Ia menjadi "daging" (Yoh 1:14), menempuh sejarah umat manusia, langsung melibatkan diri dalam hal ihwalnya dan dengan demikian menyatakan siapa sebenarnya Allah bagi manusia.
Akhirnya umat Kristus yang berkebudayaan Yunani sampai menyebut Tuhan Yesus sebagai "Allah". Dalam karangan-karangan Perjanjian Baru tidak sering sebutan itu tampil, Beberapa ayat (Rm 9:4-5; Tit 2:13; 2Ptr 1:1; 2Tes 1:12) tidak jelas. Tapi ada ayat yang jelas menyebut Yesus Kristus sebagai "Allah" (Yoh 1:1; lYoh 5:20; Yoh 20:28). Hanya baiklah diingat betapa kabur arti kata Yunani: "theos" (allah). Dengan kata itu disebut macam-macam tokoh, oleh karena dianggap amat dekat dengan "yang Ilahi". Namun, tokoh-tokoh itu tidak begitu saja disamakan dengan Allah yang satu (pada orang-orang Yunani memang sudah berkembang semacam monoteisme). Maka penggunaan kata "Allah"itu belum juga menyamakan Yesus Kristus begitu saja dengan Allah Mahaesa (Mat 23:9; Rm 3:30; IKor 8:4, 6; Gal 3:20; ITim 2:5; Yak 2:19). Yesus Kristus tentu saja dianggap "ilahi" tapi kata "Allah" tidak dengan tuntas dan jelas mengungkapkan bagaimana dan sejauh mana Yesus "ilahi". Bagi manusia Yunani (yang percaya) Yesus Kristus memang "Allahnya" (Yoh 20:28).
Tentu saja cara berpikir dan berbicara macam itu, yang dipinjam dari alam pikiran Yunani yang serba sinkretis (populer), berbau mitologi. Bahasa itu jelas bahasa mitologis. Hanya umat Kristen Yunani dengan bahasa mitologis itu selalu mau berbicara tentang tokoh tertentu dalam sejarah, yaitu Yesus Kristus, orang Nazaret, yang pernah hidup dan mati, tetapi menurut keyakinan mereka, kini hidup dan berkuasa (Rm 14:9). Dan tokoh itu bukan suatu idea abstrak atau buah khayal manusia, seperti "logos" filsafat Yunani, dewa-dewi dan pahlawan ilahi dalam mitologi Yunani suatu idea atau buah khayal manusia.
Dengan bahasa mitologis itu umat Kristen hanya mau menegaskan bahwa Tuhan yang mereka puja sekarang sebagai relevan, berarti dan bermakna bagi mereka. Dan yang sama dengan Yesus, orang Nazaret itu, sebenarnya sejak awal melampaui semua batas manusia, batas ruang dan waktu. Dengan tokoh historis dan konkret itu Allah sendiri mendekati manusia, merangkul manusia dengan kekuatan kasih-Nya (Yoh 3:16-17; lYoh 4:9; Rm 5:Cool dan serentak mendekatkan manusia kepada diri-Nya (Ef 2:17; IPtr 3:18). Dengan jalan itulah dijembatani jurang yang memisahkan Allah dengan dunia-Nya. Yesus Kristus, Tuhan jemaah dan Anak Allah, menjadi perwujudan hubungan unik Allah dengan manusia. Dan dengan demikian menjadi nyata Allah yang bagaimana diandalkan, dipuja dan disembah umat Kristen. Dan memang demikian Allah pada diri-Nya, sejak awal dan kekal, justru oleh karena Ia Allah yang setia kepada diri-Nya. Tidak disangkal bahwa bahasa mitologis itu dapat menyebabkan salah paham dan dapat menjadi bahaya bagi identitas iman kepercayaan Kristen. Tetapi cara berpikir dan berbahasa itu merupakan suatu usaha untuk lebih jauh menjelaskan teka-teki Yesus Kristus. Semuanya hanya merupakan lanjutan, dalam tata bahasa dan alam pikiran lain, dari apa yang sudah terasa sejak Yesus tampil. Melalui Yesus, pewartaan dan karya-Nya, kuasa Allah penyelamat dan hakim, sudah menjadi terwujud. Semuanya dibenarkan dan diperteguh serta diselesaikan melalui kebangkitan Yesus. Hanya itulah yang diteruskan oleh umat yang berkebudayaan Yunani, sehingga Yesus Kristus tetap dapat relevan bagi mereka juga, meskipun Ia memang tetap sama, kemarin dan hari ini untuk selama-lamanya.
Tetapi dalam pendekatan Yunani tersebut yang terlebih berpusatkan Yesus, Tuhan dan Anak Allah yang kini berkuasa, nasib malang Yesus mesti dipikirkan juga. Kematian Yesus bagi orang Yahudi menjadi batu sandungan tetapi bagi orang Yunani menjadi kebodohan belaka (IKor 1:23). Dan tambah lagi: Bila kebangkitan Yesus bagi jemaah Yahudi memberi kelegaan, oleh karena membenarkan Yesus serta pemberitaan-Nya dan menyatakan-Nya sebagai Mesias, maka bagi orang Yunani kebangkitan itu menjadi problem (Kis 17:32).
Mendengar tentang Yesus yang mengalami kematian di salib, orang Yunani tidak dapat tidak berkesan bahwa Yesus itu seorang pemberontak yang oleh pemerintah dieksekusi (Ibr 12:2; 13:13). Bagaimana orang macam itu dapat dipuja sebagai Tuhan dan Anak Allah? Dan setelah mereka sampai percaya soalnya belum juga hilang. Sebab kalau Yesus yang kini hidup dipuja sebagai Tuhan, Anak Allah yang mendekatkan Allah pada manusia dan manusia pada Allah, pernah turun dari Allah ke bumi, mengapa Ia mesti menempuh nasib yang begitu malang, memalukan dan terhina?
Untuk memahami penderitaan dan kematian Yesus ada dua jalan yang ditemukan, yang satu diketemukan oleh karangan-karangan Yohanes, yang kedua khususnya oleh S. Paulus. Penderitaan dan kematian Yesus dapat ditempatkan dalam rangka tugas-Nya sebagai penyataan Bapa. Yesus, Anak Tunggal Allah, turun ke bumi, ke luar dari Bapa (Yoh 8:42) untuk menyatakan Bapa (Yoh 7:16-18, 29). Setelah tugas selesai Yesus kembali kepada Bapa {Yoh 13:3; 16:28), tempat asal-Nya. Seluruh kehidupan Yesus di bumi menjadi penyataan Bapa, penyataan kasih Allah (Yoh 4:17; 17:26), penyataan kemuliaan Bapa — yang sekaligus kemuliaan Anak — , ialah daya penyelamatan dan penghakiman Bapa (Yoh 13:31-32; 17:5, 22, 24). Adapun kasih Bapa dan Anak, daya penyelamatan-Nya, kemuliaan-Nya menjadi paling nyata justru dalam kematian Yesus (Yoh 17: 1-5; 19:30). Betapa besar, radikal dan tanpa pamrih kasih Bapa terbukti waktu blak-blakan ditolak oleh "dunia" yang tidak mau dihakimi melainkan diselamatkan (Yoh 12:47). Kendati demikian kasih itu tidak ditarik kembali, asal saja orang kini mau menerimanya. Justru dari Yesus yang mati di salib berpancarlah "roh kehidupan ilahi" (Yoh 7:38-39; 19:34) yang menerangi kehidupan manusia yang dikasihi Allah dan Anak sampai akhir. Maka justru di salib "kebenaran Allah" (Yoh 18:37), siapa sebenarnya Allah bagi manusia, menjadi sepenuhnya tersingkap (lYoh 4:9-10). Dan dengan cara demikian kematian Yesus sungguh menguntungkan bagi manusia. Satu-satunya yang diminta dari "dunia" ialah: percaya kepada Anak Allah dan bahwa Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa (Yoh 14:11).
Cara yang kedua untuk mengartikan kematian Yesus di salib ialah memperdalam paham yang sudah tercapai: Yesus mati bagi manusia, bagi dosa-dosa manusia. Pemikiran dapat bertitik tolak keadaan malang manusia, semua manusia dengan tidak ada yang terkecuali (Gal 3:22; Rm 3:9; 11:32). Keadaan malang itu meliputi dan seolah-olah mengurung manusia dari semua seginya (Rm 7:24; 8:2, Cool. Keadaan malang menyeluruh itu berurat berakar dalam dosa (Rm 5:12, 16-19). Dosa itu pada dasarnya ialah: menolak Allah, secara praktis tidak mengakui-Nya sebagai instansi tertinggi yang menentukan kehidupan manusia (Rm 1:18, 28-32). Dosa itu bukanlah salah satu tindakan atau pelanggaran, melainkan suatu sifat dasar manusia yang sejak awal, sejak "Adam" menjerat manusia (Rm 5:19) demikian rupa sehingga manusia tidak dapat membebaskan dirinya sendiri. Meskipun bebas, namun manusia tidak dapat tidak menolak Allah, membenci-Nya (Km 5:10; 8:Cool. Dan tanda kemalangan umum itu ialah ke-matian yang tak terelakkan (Rm 6:23). Maka tidak hanya ada dosa, melainkan ada kedosaan, keadaan tetap di mana manusia terkurung, tidak dapat keluar. Manusia berada dalam perbudakan terhadap Dosa dan terhadap Maut (Rm6:20;5:14).
Yesus sendiri dahulu juga sudah menilai situasi umat Israel sebagai situasi malang, dengan tidak ada harapan lagi dari segi manusia dan tidak tersedia sarana mana pun yang dapat membebaskan umat, kecuali Allah. Dan kalau keadaan umat Allah sudah demikian, apalagi keadaan manusia lain, di luar lingkup umat Allah yang terpilih. Di sana juga kemalangan fisik, sosial, politik hanya tanda bukti keterasingan dasariah manusia dari sumber kehidupan sejati, sumber kehidupan selamat.
Visi yang begitu pesimistis terhadap manusia dan situasinya kurang sesuai dengan tradisi Yahudi, tetapi cocok dengan pandangan yang cukup tersebar di dunia Yunani pada awal tarikh Masehi. Di sana pesimisme cukup maharajalela. Manusia sebenarnya tidak berdaya terhadap dunia dan hal ihwalnya. Semua dikuasai oleh "Nasib" yang secara membabi buta menentukan segala sesuatu, termasuk para dewa/dewi. Manusia menjadi permainan nasib itu. Ia diombang-ambingkan tidak menentu dan seluruh usahanya tidak berguna sedikit pun (ITes 4:13; IKor 15:32). Ia menjadi korban dan mangsa segala macam kuasa buruk dan tidak berdaya terhadapnya (Gal 4:3, 9). Dunia sebenarnya suatu teka-teki besar yang tidak tertebak. Memang ada macam-macam aliran dan agama yang menawarkan keselamatan, tetapi kurang berhasil menjelaskan mengapa keadaan manusia tampaknya begitu malang. Dengan melanjutkan pikiran yang sudah tercantum sedikit dalam Perjanjian Lama pandangan Kristen tersebut dapat menjelaskan situasi manusia. Mengapa ia berada dalam kemalangan? "Nasib" yang mempermainkan manusia sebenarnya berasal dari manusia sendiri seperti juga kematian seperti nyata dialami. Semuanya berasal dari manusia yang berdosa, yang menoiak Allah dan sendiri rnenciptakan situasi tanpa harapan.
Tetapi gambaran yang amat hitam tersebut dipaparkan dengan maksud semakin memperlihatkan Allah yang bagaimana diandalkan orang Kristen dan mana peranan dan kedudukan Yesus Kristus. Allah yang dipercayai orang Kristen tetap mau dan nyata menyelamatkan manusia dari kemalangan melalui Yesus Kristus, Anak-Nya (Gal 1:4 Rm 5:18-19; 2Kor 5:19). Dan sarana penyelamatan yang utama ialah Yesus Kristus, yang mati tersalib tapi oleh Allah dibangkitkan. Dan gagasan dasar yang dipakai ialah: Yesus, Anak Allah, atas prakarsa Allah menjadi senasib dengan manusia yang malang, supaya manusia yang malang menjadi senasib dengan Yesus yang tersalib dan dibangkitkan dan hidup bagi Allah.
Karena itu gambaran hitam yang dipaparkan itu tidak memerikan keadaan nyata. Gambaran — yang sedikit banyak berdasarkan pengalaman — berupa suatu hipotesis, yaitu: seandainya Yesus Kristus tidak pernah ada dan Allah tidak seperti yang diandalkan umat Kristen, keadaan manusia memang seburuk itu.
Yesus Kristus, Anak Allah, sejak kekal berada dalam rupa Allah dan mempunyai suatu kesamaan dengan Allah (Flp 2:6). Tetapi pada saat tertentu Allah mengutus Anak-Nya (Gal 4:4). Dan Ia menghampakan diri menjadi serupa dengan manusia (Flp 2:7-Cool, bahkan serupa dengan manusia yang berdosa (Rm 8:3), yang secara dasariah malang (Ibr 2:14-15; 5:7; 2:9-10). Tentu saja Anak Allah, Yesus Kristus, tidak berdosa (2Kor 5:21), melainkan taat kepada Bapa sampai akhir (Flp 2:8; Rm 5:19), sampai mati di salib. Namun demikian Yesus, Anak Allah sungguh menjadi senasib dengan manusia yang malang, manusia berdosa yang karena itu mesti mengalami kematian orang berdosa. Meskipun sendiri tidak berdosa, Yesus Kristus terjerat dalam keadaan nyata manusia (2Kor 5:21; Gal 3:13). Dan tidak hanya atas kehendak-Nya sendiri (Gal 2:20; Ef 5:2), melainkan atas kehendak Bapa yang menyerahkan Yesus kepada kematian orang berdosa, meskipun Yesus Anak tunggal-Nya yang terkasih (Rm 8:32). Begitu dalam Anak-Nya sendiri Allah penyelamat mendekati manusia (2Kor 5:19). Tetapi tidak dapat tidak manusia yang seolah-olah secara kodrati tidak taat terhadap Allah (Ef 2:2-3; Tit 3:3), menolak tawaran Allah itu. Dan penolakan itulah yang menyalibkan Yesus.
Maka dosa manusia, kedosaannya menyebabkan kematian Yesus di salib. Nyatanya Yesus memang disalibkan di tempat tertentu dan oleh orang tertentu. Tapi itu sedikit "kebetulan" secara historis. Yesus sebagai tawaran Allah, tidak dapat tidak ditolak manusia, kapan saja dan di mana saja Ia tampil di antara manusia mana pun.
Apakah dengan demikian tawaran Allah batal? Tidak. Sebab nyatanya Allah yang menyerahkan Anak-Nya kepada kematian disalib, membangkitkan Yesus dari antara orang mati, dari keadaan paling parah yang dikarenakan dosa manusia. Dan adapun alasannya Allah membangkitkan Yesus ialah: ketaatan Yesus sampai mati disalib (Flp 2:Cool. Begitu ketidaktaatan manusia diimbangi, malah dilampaui oleh ketaatan Yesus Kristus demi untuk manusia (Rm 5:19, 16). Maka atas dasar itu Allah tidak lagi memper-hitungkan dosa manusia (Rm 4:Cool, dosa tidak menjadi rintangan mutlak bagi penyelamatan Allah, bagi kasih-Nya. Atas dasar ketaatan Yesus yang memuncak dalam kematian-Nya Allah mendamaikan manusia dengan diri-Nya, mau membenarkan dan menguduskannya (IKor 6:11) dan membebaskannya dari perbudakan dosa (Rm 6:18-20; 8:2). Dosa-dosa, meskipun tetap terjadi, tidak lagi mampu menawan manusia, tidak mampu menghalang Allah terus membenarkan dan menyelamatkan orang berdosa (Rm 4:5). Dosa tidak lagi secara definitif memutuskan persatuan manusia dengan Allah (Rm 8:38-39). Satu-satunya yang diminta dari manusia ialah: percaya kepada Allah yang membangkitkan Yesus Kristus dan yang membenarkan dan menguduskan orang berdosa (Rm 4:24; 10:9; IKor 1:30).
Kesetiakawanan timbal balik antara Yesus Kristus dan manusia, sudah terungkap dalam rumus tradisional yaitu: Yesus Kristus mati (dan bangkit) demi untuk kita, dosa-dosa kita (IKor 15:3-4; Rm 4:25; 8:32). Gagasan itu tradisional dalam tradisi Yahudi yang tercantum dalam Alkitab. Hanya gagasan itu diperdalam dan ditonjolkan dalam karangan-karangan Paulus. Ia suka menggunakan kata kerja, ciptaannya sendiri, untuk menekankan solidaritas timbal balik: Dikubur bersama Kristus (Rm 6:4), disalibkan bersama Kristus (Gal 2:19; Rm 6:6), dimuliakan bersama Kristus (Rm 8:17), hidup bersama Kristus (Rm 6:Cool, diubah rupa bersama Kristus (Flp 3:10; Rm 8:29; Flp 3:21), menjadi waris bersama Kristus (Rm 8:17), dibangkitkan bersama Kristus (Kol 2:12; 3:1; Ef 2:6), dihidupkan bersama Kristus (Kol 2:13; Ef 2:5), ditahtakan bersama Kristus (Ef 2,6), menderita bersama Kristus (2Kor 1:5; Flp 3:10-11; 2Kor 4:10; Rm 8:17). Dan persekutuan itu dipertegas lagi, bila dikatakan: Oleh karena satu manusia (Kristus) mati, maka semua mati (IKor 15:22; 2Kor 5:14), dan oleh karena satu orang bangkit/ dibangkitkan maka semua bangkit/dibangkitkan (IKor 15:21-22). Dan Yesus yang dibangkitkan menjadi yang pertama dari orang mati (Kol 1:18; IKor 15:20) dan yang sulung di antara semua saudara-Nya (Rm 8:29).
Maka manusia yang percaya menjadi senasib dengan Yesus Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan dan kini ada dalam keberadaan ilahi untuk tetap selama-lamanya. Yesus menjadi senasib dengan manusia yang malang, tetapi dengan demikian Anak Allah menjadi senasib dengan manusia berdosa. Dan akibatnya: ada kaitan yang tak terputus antara Yesus Kristus dan umat manusia seanteronya. Dan oleh karena itu, kini ada kaitan tak terputuskan antara umat manusia dan Yesus Kristus yang tersalib tapi dibangkitkan dan sudah masuk ke dalam keberadaan definitif yang teruntuk bagi semua, keadaan selamat dari segala kemalangan oleh karena selamat dari dosa dan kedosaan. Dan kalau orang sungguh beriman, maka ia secara pribadi dipersatukan dengan Yesus Kristus yang tersalib tapi dibangkitkan. Dan dengan demikian kini ia sudah mendapat jaminan untuk masa depan, bila semuanya menjadi terselesaikan, seperti sudah terselesaikan dalam Yesus Kristus (Flp 3:20-21).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» [ALKITAB AUDIO][-bahasa-] yunani/greek -- NT (dalam bahasa yunani westcott-hort)
» Embriologi di dalam Al Qur’an Menjiplak hasil penemuan ilmuwan Yunani kuno?
» wanita dalam tradisi jawa
» pentahiran (baptisan/mandi taubat) dalam tradisi yahudi
» Tanda Kedewasaan dalam Kristus - Kotbah Pdt Iin Cipto
» Embriologi di dalam Al Qur’an Menjiplak hasil penemuan ilmuwan Yunani kuno?
» wanita dalam tradisi jawa
» pentahiran (baptisan/mandi taubat) dalam tradisi yahudi
» Tanda Kedewasaan dalam Kristus - Kotbah Pdt Iin Cipto
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik