Shahih Bukhari dan Muslim Dhaif?
Halaman 1 dari 1 • Share
Shahih Bukhari dan Muslim Dhaif?
Saling kritik dan koreksi pendapat orang lain merupakan dua hal yang wajar dalam dunia keilmuan. Kita sebagai muslim pun diperintahkan untuk senantiasa kritis dalam menyikapi sesuatu, tidak langsung menelan mentah-mentah berita yang sampai kepada kita, melainkan mengecek terlebih dahulu kebenaran berita itu. Hal itu bermula ketika Al Quran memerintahkan kita untuk mengklarifikasi (tabayyun) setiap berita yang disampaikan oleh seorang fasik (QS. 49: 6). Dari situlah akhirnya muncul ilmu jarh wa ta’dil yang merupakan pondasi utama syariat Islam sekaligus benteng penjaga orisinilitas ajaran ini dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Tak ada satu teks pun kecuali telah diperiksa dan dibuktikan keotentikannya serta dipilah mana yang asli dan mana yang palsu, baik itu hadis maupun Al Quran.
Namun sayangnya, akhir-akhir ini budaya saling mengkritik itu kerap kelewatan dan melampaui batas. Sesuatu yang telah dibuktikan dan diakui otentisitasnya oleh ribuan manusia terpercaya masih saja diragukan dan digugat. Bukan semata-mata gugatannya yang kita permasalahkan, melainkan konsep dan metode dalam menggugat itu yang seringkali sangat dangkal dan tidak objektif sehingga alih-alih memberikan hasil positif yang menggembirakan, justru melahirkan keganjilan-keganjilan yang belum pernah ditemui dalam sejarah, terutama dalam masalah hadis. Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat pentingnya posisi hadis di dalam struktur akidah, syariah dan etika seorang muslim.
Di antara fenomena menyedihkan itu adalah banyaknya peneliti hadis kontemporer yang hanya mengandalkan buku-buku Mustholah Hadis yang baru muncul di zaman belakangan dalam menilai hadis-hadis Nabi SAW tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang jauh lebih penting, yaitu meneliti kembali konsep dan metode yang digunakan oleh para ahli hadis mutaqaddimin yang kadangkala atau bahkan sering tidak sejalan dengan konsep mutaakhirin. Fenomena ini telah mendorong beberapa peneliti hadis lain untuk mengusulkan perumusan ulang metode ulama ahli hadis klasik dalam kritik hadis yang saat ini mulai terdistorsi akibat dominasi buku-buku Musthalah Hadis yang merujuk kepada ulama-ulama mutaakhirin dan kontemporer.
Salah satu buku yang mengupas masalah ini adalah buku karangan Dr. Hamzah Al Malyabari berjudul “Nazhorotun Jadidatun fi Ulumil Hadits” (Perspektif Baru Tentang Ilmu Hadis), “Al Muwazanah Bainal Mutaqaddimin wal Mutaakhirin fi Tashihil Ahadits wa Ta’liliha” (Membandingkan Metode Mutaqaddimin dan Mutaakhirin Dalam Pengesahan dan Pelemahan Hadis), “Al Hadits Al Ma’lul Qawa’id wa Dhawabithuha” (Hadis Cacat: Konsep dan Pengertiannya), dan lain-lain.
Konsep dan metode mutaqaddimin itu perlu digali kembali agar kita tidak terjebak dalam lubang yang secara sadar ataupun tidak telah kita gali sendiri akibat kurang teliti dalam memahaminya. Dalam salah satu tulisannya, Dr. Hamzah berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa ilmu hadis akan menjadi bertambah rumit ketika istilah-istilah dan definisi-definisi di dalamnya dijadikan fokus pembahasan dan perhatian dalam pemaparan dan analisa oleh kebanyakan penulis, tanpa menyentuh persoalan-persoalan substansial di dalamnya serta makna-maknanya yang saling berhubungan dan terkait satu sama lain sehingga membuat sesuatu yang bersatu menjadi terpisah, yang terpisah menjadi bersatu, yang mutlak dibatasi dan yang terbatas dimutlakkan." (Al Hadits Al Ma’lul hal. 2)
Membahas masalah ini tak lepas dari beberapa kesimpulan yang didapat dari hasil kajian para peneliti hadis kontemporer tentang kitab-kitab hadis klasik seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yang bertolak belakang dengan apa yang telah disepakati oleh para ahli hadis di masa lalu.
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
Setiap muslim yang masih peduli terhadap agamanya tentu mengenal dua kitab ini. Sejak munculnya dua kitab itu hingga kini seluruh ummat bersepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran. Hal itu disebabkan kedua penulis kitab itu hanya memasukkan di dalamnya hadis-hadis shahih saja, setidaknya menurut penilaian mereka berdua. Di samping itu, mereka berdualah orang pertama yang berhasil melakukan tugas mulia itu sehingga keutamaan itu patut mereka peroleh. Imam Bukhari berkata, “Aku tidak memasukkan dalam kitabku Ash Shahih ini kecuali yang shahih dan aku meninggalkan hadis-hadis shahih lainnya karena khawatir kepanjangan.” Imam Muslim juga mengatakan, “Tidak semua hadis yang shahih –menurutku- aku masukkan di sini (yaitu kitabnya Ash Shahih). Aku hanya memasukkan di sini hadis-hadis yang disepakati keshahihannya saja.”
Namun pengakuan kedua maestro di bidang hadis itu tidak lantas membuat para ahli hadis, baik yang sezaman maupun setelahnya, berhenti memeriksa keshahihan setiap hadis yang ada di dalamnya. Hal itu terbukti dengan munculnya beberapa kritikan tajam yang dilontarkan oleh beberapa pakar hadis yang juga tidak diragukan keilmuannya, seperti Imam Ad Daraquthni dalam kitabnya Al Ilzamat wat Tatabbu’ dan lain-lain. Hal itu berlanjut dengan munculnya kitab-kitab lain yang berisi jawaban terhadap kritikan-kritikan itu. Begitulah seterusnya, budaya mengkritik dan dikritik menjadi ciri khas dunia keilmuan.
Namun yang patut menjadi catatan adalah metode yang digunakan dalam mengkritik. Siapapun diperbolehkan mengkritisi teks-teks apapun dengan syarat mengikuti aturan main yang telah baku dalam setiap bidang keilmuan tertentu, bukan dengan cara membuat aturan main baru yang belum pernah dikenal sebelumnya kemudian mengharuskan semua orang mengikuti aturan itu. Akhirnya yang terjadi adalah “mengukur penggaris”, bukan menjadikan penggaris itu sebagai acuan, tapi justru mengukur penggaris dengan objek yang ada. Sayangnya, fakta keterbalikan inilah yang kerap terjadi di kalangan peneliti kontemporer.
Terkait masalah hadis, para ulama yang seharusnya menjadi panutan utama dalam masalah ini disidang dan dihakimi dengan aturan baru yang dibuat oleh orang-orang setelahnya yang sayangnya bukan pakar di bidangnya. Akhirnya yang terjadi adalah musibah di atas musibah. Semakin melemahnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam ditambah dengan kelancangan orang-orang yang tidak kompeten dalam mengemban amanah ilmiah akhirnya menjadikan agama ini seperti bulan-bulanan yang penuh kontradiksi.
Di antara bentuk kekeliruan itu adalah melemahkan suatu hadis hanya karena melihat adanya cacat pada sanadnya, ditambah lagi kurangnya penelitian yang menyeluruh terhadap kitab-kitab hadis yang ada, sehingga yang lahir kemudian adalah kesimpulan tergesa-gesa dan prematur. Misalnya, hadis yang berbunyi, “Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di masjid pada hari Jumat, maka hendaklah ia berpindah ke tempat lain.” Hadis itu diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis diantaranya Abu Daud (1119), Tirmidzi (2/404), Ibnu Khuzaimah (1819), Ibnu Hibban (571), Hakim (1/291), Baihaqi (3/237), Ahmad (2/22, 23), Ibnu Abi Syaibah (2/120), Abu Nu'aim dalam Akhbar Asbahan (2/186) dari berbagai jalur dari Muhammad bin Ishaq dari Nafi' dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda: (hadis itu).
Para ulama mutaqaddimin telah menshahihkan hadis itu. Imam Tirmidzi berkata: "Hadis hasan shahih." Hakim berkata: "Shahih sesuai standar Imam Muslim." Disepakati oleh Dzahabi. Namun sebagian peneliti hadis kontemporer yang kurang cermat dalam penelitian justru melemahkannya. Ia mengatakan, “Ibnu Ishaq adalah seorang mudallis dan telah meriwayatkan dengan lafal 'an (dari) di semua jalur darinya.”
Secara sepintas memang tampak ada cacat dalam sanad hadis itu, yaitu an-anah Ibnu Ishaq. Dalam ilmu Mustholah Hadis, jika seorang mudallis meriwayatkan dengan lafal ‘an (dari) maka ketersambungan sanadnya diragukan. Menurut sang peneliti tersebut, hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, seorang mudallis, dengan lafal ‘an di semua jalurnya sehingga diduga ada kemungkinan terputus (inqitha’) sebagaimana telah maklum dalam ilmu Mustholah Hadits. Padahal, jika ia mau meneliti lebih jauh lagi, ia akan menemukan pernyataan Ibnu Ishaq tentang “tahdits” itu secara terus terang di Musnad Imam Ahmad no. 6187. Inilah yang mendorong para imam besar itu untuk menshahihkan hadis ini, dan ini pulalah salah satu contoh kecerobohan peneliti kontemporer dalam menilai hadis. Bayangkan jika hal semacam ini terjadi secara berulang-ulang. Anda dapat membayangkan dampaknya terhadap syariat Islam.
Ada lagi hadis lain yang dikritik karena perawinya lemah, yaitu hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya termasuk di antara manusia paling buruk derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat yaitu seseorang yang mendatangi istrinya dan istrinya mendatanginya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim)
Kendati hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim, tapi peneliti kontemporer berani menyalahkannya hanya karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah Al Umari yang dinilai lemah oleh para ulama jarh wa ta’dil. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah benarkah jika perawi dinilai lemah lantas menjadikan hadis yang dibawanya dilemahkan semuanya tanpa diteliti terlebih dahulu mana yang terbukti benar dan mana yang terbukti salah? Seolah-olah kita dipahamkan bahwa perawi lemah selalu salah dan tidak pernah benar sama sekali. Itu jika kita berasumsi bahwa perawi tersebut benar-benar dhaif. Padahal, dalam kenyataannya tidak semua ulama pakar jarh wa ta’dil menganggapnya dhaif. Ibnu Hibban misalnya, memasukkan Umar bin Hamzah ke dalam jajaran perawi terpercaya (tsiqot) dalam kitabnya Ats Tsiqot. Al Hakim juga meriwayatkan hadis-hadis dari Umar bin Hamzah dalam Mustadraknya lalu berkata, “Hadis-hadisnya lurus.” Ibnu ‘Adi berkata, “Dia (Umar bin Hamzah) termasuk orang yang hadisnya layak ditulis.” Imam Bukhari menjadikan Umar bin Hamzah sebagai rijalnya dalam Mu’allaqat Shahihnya. Imam Muslim bahkan menjadikannya sebagai rijal hadis utama (sebagaimana hadis yang sedang kita bahas).
Jika para ulama mutaqaddimin yang menjadi panutan ummat telah mengambil sikap seperti itu, maka apa alasan orang-orang di zaman ini yang tidak mengerti ilmu hadis ikut-ikutan mendhaifkan hadis Umar bin Hamzah hanya karena ia didhaifkan oleh sebagian ulama? Padahal dalam kajian Mustholah Hadis sendiri disebutkan bahwa jika berkumpul antara jarh dan ta’dil pada diri seorang perawi maka ta’dil lebih didahulukan kecuali jika jarh itu terperinci (disebutkan sebab-sebabnya) maka ia lebih didahulukan, bukan jarh global tanpa sebab. Karena pada asalnya seorang muslim itu ‘adil (jujur), tidak boleh menuduhnya dengan selain itu kecuali disertai bukti-bukti. Adakalanya seseorang menganggap perawi lemah karena penyebab yang sebenarnya tidak menjadikanya lemah. Misalnya, Syu’bah (ulama yang terkenal keras dalam men-jarh) meninggalkan hadis Minhal bin Amr hanya karena mendengar suara alat musik keluar dari dalam rumahnya. Padahal, belum tentu Minhal mengetahuinya, dan Syu’bah pun belum bertanya terlebih dahulu dari mana asal suara itu. Hakam bin Utbah juga pernah ditanya mengapa ia tidak meriwayatkan dari Zadzan, beliau menjawab, “Karena dia banyak bicara.” Muslim bin Ibrahim meninggalkan hadis Shalih Al Murri hanya karena Hammad bin Salamah pernah meludah ketika disebutkan nama Shalih. Muslim berkata, “Apa yang hendak kalian perbuat dari Shalih? Orang-orang pernah menyebut namanya di depan Hammad bin Salamah lalu beliau meludah.” Nah, dari beberapa contoh tadi terdapat kesan bahwa tidak semua jarh diterima begitu saja melainkan jika diterangkan penyebabnya. Adakalanya jarh itu tidak bertumpu pada sesuatu yang bersifat objektif. Memang kehatian-hatian sangat diperlukan, namun sikap berlebihan dan over-protektif juga tidak dibenarkan. Yang benar adalah sikap tengah-tengah. Oleh karena itu, Imam Nasai meriwayatkan hadis-hadis dari perawi yang tidak disepakati kelemahannya. Artinya, jika ada perawi yang masih dipersilihkan antara diterima atau ditolak, maka Imam Nasai tetap meriwayatkannya. Jika disepakati kelemahannya oleh seluruh ulama, maka beliau meniggalkannya.
Dalam hal ini, metode mutaqaddimin lebih teliti dan objektif serta tidak hanya bertumpu pada penilaian terhadap personal secara global semata. Tidak semua perawi lemah lantas hadisnya ditolak. Hal itu disebabkan kelemahan yang terdapat pada perawi bermacam-macam, diantaranya disebabkan oleh kelemahan hafalan atau kurangnya akurasi dalam dokumentasi tanpa menyangkut masalah kejujuran dan kesalehannya, ini adalah kebanyakan yang terjadi pada perawi lemah. Namun ada pula yang disebabkan oleh faktor-faktor agamis, misalnya karena perawi diduga seorang pembohong karena adanya indikasi-indikasi yang menunjukkan arah sana, inilah perawi yang hadisnya harus ditinggalkan. Tentu saja kedua kriteria tersebut tidak dapat disamakan begitu saja.
Imam Bukhari misalnya, sengaja meriwayatkan dari beberapa gurunya yang dinilai lemah oleh ulama lain. Namun hal itu tidak lantas mencederai hadis-hadis yang diriwayatkannya. Beliau telah menyeleksi riwayat-riwayat yang terbukti shahih di antara riwayat-riwayat yang ternyata diduga keliru. Di samping itu, murid adalah orang yang paling tahu tentang gurunya. Kritikan ulama lain terhadap personal perawi tertentu tidak lantas menjadikan apa yang diriwayatkannya ditolak. Semuanya harus ditimbang dengan kacamata yang jernih dan jeli.
Begitu juga Imam Muslim, meskipun standar beliau lebih rendah dibandingkan standar Imam Bukhari dalam menilai hadis, namun beliau termasuk salah seorang pakar hadis yang paling ketat dalam menyeleksi hadis. Namun demikian kita tetap menjumpai beberapa perawi lemah yang masih disebutkan dalam kitabnya. Yang pasti, tidak dibenarkan jika kita beranggapan bahwa Imam Muslim teledor dalam meriwayatkan hadis itu. Ketelitian dan kekuatan hafalan beliau telah diakui dan dibuktikan oleh para pakar hadis baik yang seszaman maupun setelahnya. Memang manusia tidak ada yang ma’shum kecuali para nabi, namun sifat tidak ma’shum tidak bertentangan dengan sifat ketelitian yang dimiliki oleh para ahli hadis terdahulu dan jarang dimiliki oleh orang di zaman sekarang. Jika tidak, tentu setiap orang akan mengatakan bahwa Al Quran juga tidak ma’shum karena ditulis dan dibukukan oleh manusia yang tidak ma’shum. Pendapat ini jelas batil karena mengakibatkan relativisme mutlak yang menafikan adanya kebenaran mutlak di dunia ini.
Demikianlah, dalam setiap perbedaan dalam penilaian hadis kita selalu mendapati pihak mutaqaddimin selalu unggul dalam masalah ketelitian, sebagaimana ditulis oleh Ustadz Umar M Noor dalam bab penutup, “Ilmu mushthalah hadits idealnya adalah sebuah ilmu yang menjelaskan metode ahli hadits sebagaimana yang ditampilkan oleh ulama mutaqaddimin dalam praktek ilmiah mereka mengkaji dan menilai riwayat. Oleh karena itu, sikap yang harus ditampilkan oleh generasi pasca riwayah adalah belajar dari ahli hadits masa riwayah dengan memahami dengan benar dan mendalam setiap perkataan dan metode mereka, bukan menghakimi dan menentang, apalagi menyalahkan. Anehnya, sebagian besar tokoh-tokoh kontemporer yang sering kita jumpai menentang ulama-ulama hadits mutaqaddimin itu adalah para aktivis yang sangat giat mengajak kembali ke mazhab salaf. Siapakah salaf yang dimaksud jika bukan ulama-ulama mutaqaddimin itu? Sebesar apapun upaya yang dikerahkan ulama mutaakhirin, apalagi kontemporer, untuk menilai sebuah riwayat tidak akan menyamai ketelitian metode yang diterapkan oleh ahli hadits mutaqaddimin.”
Namun sayangnya, akhir-akhir ini budaya saling mengkritik itu kerap kelewatan dan melampaui batas. Sesuatu yang telah dibuktikan dan diakui otentisitasnya oleh ribuan manusia terpercaya masih saja diragukan dan digugat. Bukan semata-mata gugatannya yang kita permasalahkan, melainkan konsep dan metode dalam menggugat itu yang seringkali sangat dangkal dan tidak objektif sehingga alih-alih memberikan hasil positif yang menggembirakan, justru melahirkan keganjilan-keganjilan yang belum pernah ditemui dalam sejarah, terutama dalam masalah hadis. Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat pentingnya posisi hadis di dalam struktur akidah, syariah dan etika seorang muslim.
Di antara fenomena menyedihkan itu adalah banyaknya peneliti hadis kontemporer yang hanya mengandalkan buku-buku Mustholah Hadis yang baru muncul di zaman belakangan dalam menilai hadis-hadis Nabi SAW tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang jauh lebih penting, yaitu meneliti kembali konsep dan metode yang digunakan oleh para ahli hadis mutaqaddimin yang kadangkala atau bahkan sering tidak sejalan dengan konsep mutaakhirin. Fenomena ini telah mendorong beberapa peneliti hadis lain untuk mengusulkan perumusan ulang metode ulama ahli hadis klasik dalam kritik hadis yang saat ini mulai terdistorsi akibat dominasi buku-buku Musthalah Hadis yang merujuk kepada ulama-ulama mutaakhirin dan kontemporer.
Salah satu buku yang mengupas masalah ini adalah buku karangan Dr. Hamzah Al Malyabari berjudul “Nazhorotun Jadidatun fi Ulumil Hadits” (Perspektif Baru Tentang Ilmu Hadis), “Al Muwazanah Bainal Mutaqaddimin wal Mutaakhirin fi Tashihil Ahadits wa Ta’liliha” (Membandingkan Metode Mutaqaddimin dan Mutaakhirin Dalam Pengesahan dan Pelemahan Hadis), “Al Hadits Al Ma’lul Qawa’id wa Dhawabithuha” (Hadis Cacat: Konsep dan Pengertiannya), dan lain-lain.
Konsep dan metode mutaqaddimin itu perlu digali kembali agar kita tidak terjebak dalam lubang yang secara sadar ataupun tidak telah kita gali sendiri akibat kurang teliti dalam memahaminya. Dalam salah satu tulisannya, Dr. Hamzah berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa ilmu hadis akan menjadi bertambah rumit ketika istilah-istilah dan definisi-definisi di dalamnya dijadikan fokus pembahasan dan perhatian dalam pemaparan dan analisa oleh kebanyakan penulis, tanpa menyentuh persoalan-persoalan substansial di dalamnya serta makna-maknanya yang saling berhubungan dan terkait satu sama lain sehingga membuat sesuatu yang bersatu menjadi terpisah, yang terpisah menjadi bersatu, yang mutlak dibatasi dan yang terbatas dimutlakkan." (Al Hadits Al Ma’lul hal. 2)
Membahas masalah ini tak lepas dari beberapa kesimpulan yang didapat dari hasil kajian para peneliti hadis kontemporer tentang kitab-kitab hadis klasik seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, yang bertolak belakang dengan apa yang telah disepakati oleh para ahli hadis di masa lalu.
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
Setiap muslim yang masih peduli terhadap agamanya tentu mengenal dua kitab ini. Sejak munculnya dua kitab itu hingga kini seluruh ummat bersepakat bahwa keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran. Hal itu disebabkan kedua penulis kitab itu hanya memasukkan di dalamnya hadis-hadis shahih saja, setidaknya menurut penilaian mereka berdua. Di samping itu, mereka berdualah orang pertama yang berhasil melakukan tugas mulia itu sehingga keutamaan itu patut mereka peroleh. Imam Bukhari berkata, “Aku tidak memasukkan dalam kitabku Ash Shahih ini kecuali yang shahih dan aku meninggalkan hadis-hadis shahih lainnya karena khawatir kepanjangan.” Imam Muslim juga mengatakan, “Tidak semua hadis yang shahih –menurutku- aku masukkan di sini (yaitu kitabnya Ash Shahih). Aku hanya memasukkan di sini hadis-hadis yang disepakati keshahihannya saja.”
Namun pengakuan kedua maestro di bidang hadis itu tidak lantas membuat para ahli hadis, baik yang sezaman maupun setelahnya, berhenti memeriksa keshahihan setiap hadis yang ada di dalamnya. Hal itu terbukti dengan munculnya beberapa kritikan tajam yang dilontarkan oleh beberapa pakar hadis yang juga tidak diragukan keilmuannya, seperti Imam Ad Daraquthni dalam kitabnya Al Ilzamat wat Tatabbu’ dan lain-lain. Hal itu berlanjut dengan munculnya kitab-kitab lain yang berisi jawaban terhadap kritikan-kritikan itu. Begitulah seterusnya, budaya mengkritik dan dikritik menjadi ciri khas dunia keilmuan.
Namun yang patut menjadi catatan adalah metode yang digunakan dalam mengkritik. Siapapun diperbolehkan mengkritisi teks-teks apapun dengan syarat mengikuti aturan main yang telah baku dalam setiap bidang keilmuan tertentu, bukan dengan cara membuat aturan main baru yang belum pernah dikenal sebelumnya kemudian mengharuskan semua orang mengikuti aturan itu. Akhirnya yang terjadi adalah “mengukur penggaris”, bukan menjadikan penggaris itu sebagai acuan, tapi justru mengukur penggaris dengan objek yang ada. Sayangnya, fakta keterbalikan inilah yang kerap terjadi di kalangan peneliti kontemporer.
Terkait masalah hadis, para ulama yang seharusnya menjadi panutan utama dalam masalah ini disidang dan dihakimi dengan aturan baru yang dibuat oleh orang-orang setelahnya yang sayangnya bukan pakar di bidangnya. Akhirnya yang terjadi adalah musibah di atas musibah. Semakin melemahnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam ditambah dengan kelancangan orang-orang yang tidak kompeten dalam mengemban amanah ilmiah akhirnya menjadikan agama ini seperti bulan-bulanan yang penuh kontradiksi.
Di antara bentuk kekeliruan itu adalah melemahkan suatu hadis hanya karena melihat adanya cacat pada sanadnya, ditambah lagi kurangnya penelitian yang menyeluruh terhadap kitab-kitab hadis yang ada, sehingga yang lahir kemudian adalah kesimpulan tergesa-gesa dan prematur. Misalnya, hadis yang berbunyi, “Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di masjid pada hari Jumat, maka hendaklah ia berpindah ke tempat lain.” Hadis itu diriwayatkan oleh beberapa ahli hadis diantaranya Abu Daud (1119), Tirmidzi (2/404), Ibnu Khuzaimah (1819), Ibnu Hibban (571), Hakim (1/291), Baihaqi (3/237), Ahmad (2/22, 23), Ibnu Abi Syaibah (2/120), Abu Nu'aim dalam Akhbar Asbahan (2/186) dari berbagai jalur dari Muhammad bin Ishaq dari Nafi' dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda: (hadis itu).
Para ulama mutaqaddimin telah menshahihkan hadis itu. Imam Tirmidzi berkata: "Hadis hasan shahih." Hakim berkata: "Shahih sesuai standar Imam Muslim." Disepakati oleh Dzahabi. Namun sebagian peneliti hadis kontemporer yang kurang cermat dalam penelitian justru melemahkannya. Ia mengatakan, “Ibnu Ishaq adalah seorang mudallis dan telah meriwayatkan dengan lafal 'an (dari) di semua jalur darinya.”
Secara sepintas memang tampak ada cacat dalam sanad hadis itu, yaitu an-anah Ibnu Ishaq. Dalam ilmu Mustholah Hadis, jika seorang mudallis meriwayatkan dengan lafal ‘an (dari) maka ketersambungan sanadnya diragukan. Menurut sang peneliti tersebut, hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, seorang mudallis, dengan lafal ‘an di semua jalurnya sehingga diduga ada kemungkinan terputus (inqitha’) sebagaimana telah maklum dalam ilmu Mustholah Hadits. Padahal, jika ia mau meneliti lebih jauh lagi, ia akan menemukan pernyataan Ibnu Ishaq tentang “tahdits” itu secara terus terang di Musnad Imam Ahmad no. 6187. Inilah yang mendorong para imam besar itu untuk menshahihkan hadis ini, dan ini pulalah salah satu contoh kecerobohan peneliti kontemporer dalam menilai hadis. Bayangkan jika hal semacam ini terjadi secara berulang-ulang. Anda dapat membayangkan dampaknya terhadap syariat Islam.
Ada lagi hadis lain yang dikritik karena perawinya lemah, yaitu hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya termasuk di antara manusia paling buruk derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat yaitu seseorang yang mendatangi istrinya dan istrinya mendatanginya, kemudian ia menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim)
Kendati hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim, tapi peneliti kontemporer berani menyalahkannya hanya karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Umar bin Hamzah Al Umari yang dinilai lemah oleh para ulama jarh wa ta’dil. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah benarkah jika perawi dinilai lemah lantas menjadikan hadis yang dibawanya dilemahkan semuanya tanpa diteliti terlebih dahulu mana yang terbukti benar dan mana yang terbukti salah? Seolah-olah kita dipahamkan bahwa perawi lemah selalu salah dan tidak pernah benar sama sekali. Itu jika kita berasumsi bahwa perawi tersebut benar-benar dhaif. Padahal, dalam kenyataannya tidak semua ulama pakar jarh wa ta’dil menganggapnya dhaif. Ibnu Hibban misalnya, memasukkan Umar bin Hamzah ke dalam jajaran perawi terpercaya (tsiqot) dalam kitabnya Ats Tsiqot. Al Hakim juga meriwayatkan hadis-hadis dari Umar bin Hamzah dalam Mustadraknya lalu berkata, “Hadis-hadisnya lurus.” Ibnu ‘Adi berkata, “Dia (Umar bin Hamzah) termasuk orang yang hadisnya layak ditulis.” Imam Bukhari menjadikan Umar bin Hamzah sebagai rijalnya dalam Mu’allaqat Shahihnya. Imam Muslim bahkan menjadikannya sebagai rijal hadis utama (sebagaimana hadis yang sedang kita bahas).
Jika para ulama mutaqaddimin yang menjadi panutan ummat telah mengambil sikap seperti itu, maka apa alasan orang-orang di zaman ini yang tidak mengerti ilmu hadis ikut-ikutan mendhaifkan hadis Umar bin Hamzah hanya karena ia didhaifkan oleh sebagian ulama? Padahal dalam kajian Mustholah Hadis sendiri disebutkan bahwa jika berkumpul antara jarh dan ta’dil pada diri seorang perawi maka ta’dil lebih didahulukan kecuali jika jarh itu terperinci (disebutkan sebab-sebabnya) maka ia lebih didahulukan, bukan jarh global tanpa sebab. Karena pada asalnya seorang muslim itu ‘adil (jujur), tidak boleh menuduhnya dengan selain itu kecuali disertai bukti-bukti. Adakalanya seseorang menganggap perawi lemah karena penyebab yang sebenarnya tidak menjadikanya lemah. Misalnya, Syu’bah (ulama yang terkenal keras dalam men-jarh) meninggalkan hadis Minhal bin Amr hanya karena mendengar suara alat musik keluar dari dalam rumahnya. Padahal, belum tentu Minhal mengetahuinya, dan Syu’bah pun belum bertanya terlebih dahulu dari mana asal suara itu. Hakam bin Utbah juga pernah ditanya mengapa ia tidak meriwayatkan dari Zadzan, beliau menjawab, “Karena dia banyak bicara.” Muslim bin Ibrahim meninggalkan hadis Shalih Al Murri hanya karena Hammad bin Salamah pernah meludah ketika disebutkan nama Shalih. Muslim berkata, “Apa yang hendak kalian perbuat dari Shalih? Orang-orang pernah menyebut namanya di depan Hammad bin Salamah lalu beliau meludah.” Nah, dari beberapa contoh tadi terdapat kesan bahwa tidak semua jarh diterima begitu saja melainkan jika diterangkan penyebabnya. Adakalanya jarh itu tidak bertumpu pada sesuatu yang bersifat objektif. Memang kehatian-hatian sangat diperlukan, namun sikap berlebihan dan over-protektif juga tidak dibenarkan. Yang benar adalah sikap tengah-tengah. Oleh karena itu, Imam Nasai meriwayatkan hadis-hadis dari perawi yang tidak disepakati kelemahannya. Artinya, jika ada perawi yang masih dipersilihkan antara diterima atau ditolak, maka Imam Nasai tetap meriwayatkannya. Jika disepakati kelemahannya oleh seluruh ulama, maka beliau meniggalkannya.
Dalam hal ini, metode mutaqaddimin lebih teliti dan objektif serta tidak hanya bertumpu pada penilaian terhadap personal secara global semata. Tidak semua perawi lemah lantas hadisnya ditolak. Hal itu disebabkan kelemahan yang terdapat pada perawi bermacam-macam, diantaranya disebabkan oleh kelemahan hafalan atau kurangnya akurasi dalam dokumentasi tanpa menyangkut masalah kejujuran dan kesalehannya, ini adalah kebanyakan yang terjadi pada perawi lemah. Namun ada pula yang disebabkan oleh faktor-faktor agamis, misalnya karena perawi diduga seorang pembohong karena adanya indikasi-indikasi yang menunjukkan arah sana, inilah perawi yang hadisnya harus ditinggalkan. Tentu saja kedua kriteria tersebut tidak dapat disamakan begitu saja.
Imam Bukhari misalnya, sengaja meriwayatkan dari beberapa gurunya yang dinilai lemah oleh ulama lain. Namun hal itu tidak lantas mencederai hadis-hadis yang diriwayatkannya. Beliau telah menyeleksi riwayat-riwayat yang terbukti shahih di antara riwayat-riwayat yang ternyata diduga keliru. Di samping itu, murid adalah orang yang paling tahu tentang gurunya. Kritikan ulama lain terhadap personal perawi tertentu tidak lantas menjadikan apa yang diriwayatkannya ditolak. Semuanya harus ditimbang dengan kacamata yang jernih dan jeli.
Begitu juga Imam Muslim, meskipun standar beliau lebih rendah dibandingkan standar Imam Bukhari dalam menilai hadis, namun beliau termasuk salah seorang pakar hadis yang paling ketat dalam menyeleksi hadis. Namun demikian kita tetap menjumpai beberapa perawi lemah yang masih disebutkan dalam kitabnya. Yang pasti, tidak dibenarkan jika kita beranggapan bahwa Imam Muslim teledor dalam meriwayatkan hadis itu. Ketelitian dan kekuatan hafalan beliau telah diakui dan dibuktikan oleh para pakar hadis baik yang seszaman maupun setelahnya. Memang manusia tidak ada yang ma’shum kecuali para nabi, namun sifat tidak ma’shum tidak bertentangan dengan sifat ketelitian yang dimiliki oleh para ahli hadis terdahulu dan jarang dimiliki oleh orang di zaman sekarang. Jika tidak, tentu setiap orang akan mengatakan bahwa Al Quran juga tidak ma’shum karena ditulis dan dibukukan oleh manusia yang tidak ma’shum. Pendapat ini jelas batil karena mengakibatkan relativisme mutlak yang menafikan adanya kebenaran mutlak di dunia ini.
Demikianlah, dalam setiap perbedaan dalam penilaian hadis kita selalu mendapati pihak mutaqaddimin selalu unggul dalam masalah ketelitian, sebagaimana ditulis oleh Ustadz Umar M Noor dalam bab penutup, “Ilmu mushthalah hadits idealnya adalah sebuah ilmu yang menjelaskan metode ahli hadits sebagaimana yang ditampilkan oleh ulama mutaqaddimin dalam praktek ilmiah mereka mengkaji dan menilai riwayat. Oleh karena itu, sikap yang harus ditampilkan oleh generasi pasca riwayah adalah belajar dari ahli hadits masa riwayah dengan memahami dengan benar dan mendalam setiap perkataan dan metode mereka, bukan menghakimi dan menentang, apalagi menyalahkan. Anehnya, sebagian besar tokoh-tokoh kontemporer yang sering kita jumpai menentang ulama-ulama hadits mutaqaddimin itu adalah para aktivis yang sangat giat mengajak kembali ke mazhab salaf. Siapakah salaf yang dimaksud jika bukan ulama-ulama mutaqaddimin itu? Sebesar apapun upaya yang dikerahkan ulama mutaakhirin, apalagi kontemporer, untuk menilai sebuah riwayat tidak akan menyamai ketelitian metode yang diterapkan oleh ahli hadits mutaqaddimin.”
hamba tuhan- LETNAN SATU
-
Posts : 1666
Kepercayaan : Islam
Location : Aceh - Pekanbaru
Join date : 07.10.11
Reputation : 19
Similar topics
» silsilah hadits dhaif
» Kumpulan Hadits Dhaif dan Palsu
» EDITIKASI MEMALUKAN TERHADAP HADIS SHAHIH BUKHARI YANG DILAKUKAN KEDUNGHALANG SANG PENGANUT AHMADIYAH
» benarkah bukhari muslim mengutip hadits dari perawi syiah?
» shahih al mustadrak dan shahih ibnu hiban
» Kumpulan Hadits Dhaif dan Palsu
» EDITIKASI MEMALUKAN TERHADAP HADIS SHAHIH BUKHARI YANG DILAKUKAN KEDUNGHALANG SANG PENGANUT AHMADIYAH
» benarkah bukhari muslim mengutip hadits dari perawi syiah?
» shahih al mustadrak dan shahih ibnu hiban
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik