shahih al mustadrak dan shahih ibnu hiban
Halaman 1 dari 1 • Share
shahih al mustadrak dan shahih ibnu hiban
1. al-Mustadrak karya al-Hâkim
Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut.
Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (Yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits.
Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh. (Salah seorang yang juga mengadakan pemantauan dan studi terhadap hadits-hadits yang belum diberikan penilaian apapun oleh Imam adz-Dzhabi dan memberikan penilaian yang sesuai dengan kondisinya adalah Syaikh. Dr. Mahmud Mirah -barangkali sekarang ini sudah rampung-)
2. Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan "at-Taqâsîm Wa al-Anwâ' " (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir 'Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan 'Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab.
Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109)
3. Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.
Apa Saja Hadits Yang Sudah Dipastikan Shahîh Dari Hadits-Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Imam al-Bukhari Dan Muslim?
Sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya, bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim tidak memuat pada kedua kitab Shahih mereka selain hadits-hadits yang shahih dan umat Islam telah menerima kedua kitab tersebut secara penuh.
Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan yang diterima oleh umat Islam itu?
Jawabnya: Bahwa hadits yang diriwayatkan keduanya dengan sanad yang bersambung, maka ialah yang dipastikan shahih.
Sedangkan hadits yang dibuang pada permulaan sanad (jalur trasmisi hadits)nya satu orang periwayat atau lebih -yang dinamai dengan hadits al-Mu'allaq- dimana jenis ini di dalam shahih al-Bukhari agak banyak namun hanya terdapat pada bagian tarjamah bab (penamaan babnya) dan muqaddimahnya saja sedangkan di bagian inti bab tidak ada sama sekali. Sementara yang di dalam shahih Muslim, tidak ada satupun yang jenis itu kecuali satu hadits saja di dalam bab tentang Tayammum yang belum sempat beliau sambung sanadnya di tempat yang lain dari kitabnya itu; terhadap hadits-hadits yang kriterianya seperti hal tersebut, maka penilaian terhadapnya dan menyikapinya adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan dengan shîghah al-Jazm (bentuk ucapan pasti), seperti dengan ungkapan قال (Qâla/berkata); أمر (Amara/memerintahkan) dan ذكر (Dzakara/menyebutkan); maka penilaian terhadap keshahihannya didasarkan pada sumbernya (orang yang dinisbatkan kepadanya). [Artinya, bila di dalam riwayat itu dinyatakan, misalnya قال فلان (si fulan berkata), maka berarti perkataan itu adalah shahih bersumber dari si fulan yang mengatakannya itu -red.,]
2. Hadits yang diriwayatkan tidak dengan shîghah al-Jazm seperti dengan ungkapan يروى (yurwa/diriwayatkan [masa sekarang]); يذكر (yudzkar/disebutkan [masa sekarang]); يحكى (yuhka/dihikayatkan [masa sekarang]); روي (ruwiya/diriwayatkan [masa lampau]) dan ذكر (dzukira/disebutkan [masa lampau]), maka berarti hadits itu tidak dapat dinisbatkan keshahihannya dari sumbernya itu (orang yang dinisbatkan kepadanya), namun sekalipun demikian, tidak ada satupun di dalamnya hadits yang lemah karena ia sudah dimuat di dalam kitab yang bernama ash-Shahîh.
Tingkatan Keshahihan
Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:
A. Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar.
B. Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.
C. Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan:
1. Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)
2. Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
3. Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
4. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
5. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
6. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
7. Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
Pengertian Persyaratan asy-Syaikhân
Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya.
Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan persyaratan asy-Syaikhân atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijâl (para periwayat) dari kedua kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka.
Makna Kata "Muttafaqun 'Alaih"
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. ('Ulûm al-Hadîts:24)
Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits Tersebut Harus Merupakan Hadits 'Azîz ?
Hadits 'Aziz adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua periwayat pada setiap level periwayatannya?.
Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih (ash-Shahîhain) dan selain keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits 'AzIz itu, tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat saja).
Ada sementara kalangan ulama seperti 'Ali al-Jubaiy, tokoh mu'tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut.
Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (Yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits.
Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh. (Salah seorang yang juga mengadakan pemantauan dan studi terhadap hadits-hadits yang belum diberikan penilaian apapun oleh Imam adz-Dzhabi dan memberikan penilaian yang sesuai dengan kondisinya adalah Syaikh. Dr. Mahmud Mirah -barangkali sekarang ini sudah rampung-)
2. Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan "at-Taqâsîm Wa al-Anwâ' " (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir 'Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan 'Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab.
Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109)
3. Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya.
Apa Saja Hadits Yang Sudah Dipastikan Shahîh Dari Hadits-Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Imam al-Bukhari Dan Muslim?
Sebagaimana yang telah kita singgung sebelumnya, bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim tidak memuat pada kedua kitab Shahih mereka selain hadits-hadits yang shahih dan umat Islam telah menerima kedua kitab tersebut secara penuh.
Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan yang diterima oleh umat Islam itu?
Jawabnya: Bahwa hadits yang diriwayatkan keduanya dengan sanad yang bersambung, maka ialah yang dipastikan shahih.
Sedangkan hadits yang dibuang pada permulaan sanad (jalur trasmisi hadits)nya satu orang periwayat atau lebih -yang dinamai dengan hadits al-Mu'allaq- dimana jenis ini di dalam shahih al-Bukhari agak banyak namun hanya terdapat pada bagian tarjamah bab (penamaan babnya) dan muqaddimahnya saja sedangkan di bagian inti bab tidak ada sama sekali. Sementara yang di dalam shahih Muslim, tidak ada satupun yang jenis itu kecuali satu hadits saja di dalam bab tentang Tayammum yang belum sempat beliau sambung sanadnya di tempat yang lain dari kitabnya itu; terhadap hadits-hadits yang kriterianya seperti hal tersebut, maka penilaian terhadapnya dan menyikapinya adalah sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan dengan shîghah al-Jazm (bentuk ucapan pasti), seperti dengan ungkapan قال (Qâla/berkata); أمر (Amara/memerintahkan) dan ذكر (Dzakara/menyebutkan); maka penilaian terhadap keshahihannya didasarkan pada sumbernya (orang yang dinisbatkan kepadanya). [Artinya, bila di dalam riwayat itu dinyatakan, misalnya قال فلان (si fulan berkata), maka berarti perkataan itu adalah shahih bersumber dari si fulan yang mengatakannya itu -red.,]
2. Hadits yang diriwayatkan tidak dengan shîghah al-Jazm seperti dengan ungkapan يروى (yurwa/diriwayatkan [masa sekarang]); يذكر (yudzkar/disebutkan [masa sekarang]); يحكى (yuhka/dihikayatkan [masa sekarang]); روي (ruwiya/diriwayatkan [masa lampau]) dan ذكر (dzukira/disebutkan [masa lampau]), maka berarti hadits itu tidak dapat dinisbatkan keshahihannya dari sumbernya itu (orang yang dinisbatkan kepadanya), namun sekalipun demikian, tidak ada satupun di dalamnya hadits yang lemah karena ia sudah dimuat di dalam kitab yang bernama ash-Shahîh.
Tingkatan Keshahihan
Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:
A. Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar.
B. Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.
C. Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan:
1. Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)
2. Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
3. Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
4. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
5. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
6. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
7. Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
Pengertian Persyaratan asy-Syaikhân
Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya.
Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan persyaratan asy-Syaikhân atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijâl (para periwayat) dari kedua kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka.
Makna Kata "Muttafaqun 'Alaih"
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. ('Ulûm al-Hadîts:24)
Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits Tersebut Harus Merupakan Hadits 'Azîz ?
Hadits 'Aziz adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua periwayat pada setiap level periwayatannya?.
Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih (ash-Shahîhain) dan selain keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits 'AzIz itu, tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat saja).
Ada sementara kalangan ulama seperti 'Ali al-Jubaiy, tokoh mu'tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Shahih Bukhari dan Muslim Dhaif?
» Penjelasan Shahih Bukhori
» masalah hadits shahih
» definisi akidah
» dilarang mempertanyakan hadits shahih
» Penjelasan Shahih Bukhori
» masalah hadits shahih
» definisi akidah
» dilarang mempertanyakan hadits shahih
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik