benarkah bukhari muslim mengutip hadits dari perawi syiah?
FORUM LASKAR ISLAM :: PERBANDINGAN AGAMA :: FORUM LINTAS AGAMA :: Menjawab Fitnah, Tuduhan & Misunderstanding
Halaman 1 dari 1 • Share
benarkah bukhari muslim mengutip hadits dari perawi syiah?
Ulama hadits Bukhari dan Muslim telah membuat kriteria dan persyaratan penerimaan riwayat yang ketat. Persyaratan itu dikenal di kalangan ulama hadits, seperti tersebut dalam kitab-kitab musthalah al-hadits. Bahkan, kriteria buatan Bukhari dan Muslim diakui canggih oleh semua ulama. Itu sebabnya hadits riwayat kedua ulama tersebut dipandang sahih. Para ulama pun menyebut kitab karya Bukhari-Muslim dengan Shahihayn (Dua Kitab Hadits Sahih).
Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua metoda ilmiah dalam periwayatan hadits yang baku, merupakan jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang ilmu-ilmu agama. Metoda tersebut menerangkan keadaan perawi hadits, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if) periwayatannya. Dengan itu kita dapat mendeteksi para pendusta, yang membuat hadits palsu.
Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak.
Metoda tersebut tidak dimiliki oleh kaum Rafidhah. Bahkan mereka menolaknya, sebab metoda periwayatan Sunni itu menghukum mereka sebagai pendusta yang membuat hadits-hadits palsu, seperti diakui oleh ibn Abil Hadid. Karena itu, kaum Rafidhah menetapkan tiga kriteria penerimaan riwayat, seperti dijelaskan ibn Taymiyah berikut ini:
Perawi hadits Rafidhah harus ma'shum. Maksudnya, harus imam yang ma'shum.
Perawi hadits tidak perlu menyebutkan sanad atau silsilah periwayatan. Tetapi ia cukup berkata, "Rasulullah bersabda," tanpa menyebutkan sanad atau dari siapa dan dari siapa.
Kesepakatan turun-temurun dari para Imam yang Dua belas. Menurut kaum Rafidhah, apa saja yang diriwayatkan oleh salah seorang dari imam yang Dua belas, bukan keseluruhan mereka, itu sudah merupakan kesepakatan mereka semua. Alasannya, seorang imam adalah ma'shum, terbebas dari kesalahan.
Ketiga kriteria tersebut dipandang tidak sahih oleh ulama Sunni. Berikut ini ringkasan kriteria penerimaan riwayat hadits menurut ulama Sunni, dengan perbedaan yang jelas.
Perawi hadits Sunni harus bersifat adil, tsiqat, mempunyai daya-ingat yang kuat, dan tidak bersifat fasiq atau amoral. Perawi itu pun mesti mempunyai daya hafal yang cerdas, berjiwa sehat, tidak pelupa, serta bersifat , jujur, tidak mencampur hadits dengan yang bukan hadits.
Sanad atau silsilah perawi hadits harus bersambungan, tidak terputus-putus antara satu perawi dengan yang lain, di samping bahwa semuanya harus memenuhi kriteria tersebut di Butir 1.
Setiap hadits tidak boleh tercela (syadz dan 'illat). Penjelasan terinci tentang soal ini bisa dibaca dalam kitab-kitab mushthalah al-hadits.
Ketiga kriteria tersebut berbeda dari kriteria kaum Rafidhah. Kaum Rafidhah, bila diteliti, ternyata hanya menetapkan satu kriteria, yaitu 'Ishmah (bebas dari dosa), tanpa syarat lain. Dan itu berlaku bagi para imam. Adapun persyaratan ilmiah yang ditetapkan para ulama Sunni, mereka tetapkan pada perawi maupun objek periwayatan, sehingga riwayatnya benar-benar sahih dan dapat diterima.
Anehnya, ternyata pencipta kriteria Sunni tersebut, yaitu Bukhari dan Muslim, justru menerima pula riwayat dari sebagian orang Syi'ah. Kenapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memperhatikan keterangan berikut.
Bukhari dan Muslim tidak pernah meninggalkan kriteria tersebut dalam mempertimbangkan penerimaan setiap hadits yang mereka riwayatkan di dalam kitab sahih. Itu sebabnya mereka menerima hadits dari semua perawi yang adil dan kuat ingatannya. Betapa tidak, bukankah semua ulama telah bersepakat menyebut karya mereka dengan ash-Shahihayn?
Namun, perlu diketahui bahwa hadits-hadits sahih itu terbagi dua. Pertama, hadits yang dianggap sahih karena dirinya sendiri (yakni tanpa harus didukung oleh hadits lain). Kriteria ini berkaitan dengan latar belakang dan biografi perawi. Untuk yang ini, Imam Bukhari telah merumuskannya. Perawi-perawi pada hadits jenis pertama ini adalah orang-orang yang tidak diragukan keadilan dan kekuatan daya ingat mereka. Mereka tidak bercacat sedikit pun.
Kedua, hadits yang sahih karena didukung oleh hadits lain. Perawi hadits seperti ini tidak diragukan kejujurannya, walaupun tingkat kecerdasan dan daya hafalnya beragam. Sebagian dari mereka ada yang mengalami cela. Tetapi di antara mereka tidak terdapat seorang pun yang tukang bid'ah, yang menjadi kafir lantaran bid'ahnya, seperti orang Rafidhah, yang moderat atau yang ekstrim. Tentu saja, sebagian dari mereka ada yang diduga penganut Syi'ah. Diduga, karena ia tidak menonjolkan ajaran Syi'ahnya, dan tidak menghalalkan dusta untuk menguatkan pendapat dan madzhabnya. la justru bersifat takwa, jujur, dan memelihara diri dari dusta. Karena itu, riwayat perawi seperti ini tentu saja bisa diterima. Ini demi mendapatkan hadits, menyebarkan sunnah, dan memberantas bid'ah.
Ibn Hajar mengaku tidak menemukan perawi bid'ah yang kafir dalam kitab Shahih Bukhari,1 "Tak satu pun hadits dalam Shahih Bukhari yang berasal dari perawi bid'ah." Kemudian ibn Hajar menjelaskan2 tentang perawi bid'ah yang tidak dipandang kafir lantaran bid'ahnya, dengan mengutip pendapat Abul Fath al-Qusyayri, "Bila tidak ditemukan selain perawi bid'ah itu, dan hadits itu hanya diriwayatkan olehnya saja, sedangkan ia memiliki sifat jujur, tidak suka berdusta, dan taat beragama, maka itu bisa diterima. Namun satu hal, hadits yang ia riwayatkan itu tidak ada hubungan dengan ajaran bid'ahnya. Kemashlahatan pengambilan hadits dan penyebarannya harus didahulukan dari memberantas bid'ah perawi tersebut."
Dalam kitab al-Mizan, adz-Dzahabi menulis,3 "Ada orang bertanya mengapa ketsiqatan pembid'ah dapat diterima, bukankah yang disebut tsiqat itu sifat adil dan kokoh? Bagaimana pembid'ah bisa dipandang adil? Jawabannya, bahwa bid'ah itu terbagi dua. Pertama, bid'ah kecil, seperti Syi'ah ekstrim, atau tasyayyu' yang moderat dan tanpa tahrif (mengubah nash). Ini banyak terjadi di kalangan generasi tabi'in dan tabi'it-tabi'in. jika hadits mereka ditolak, maka sejumlah besar hadits akan hilang dari peredaran. Dan ini merupakan kerusakan yang nyata.
Jika cara penerimaan hadits tersebut dipahami jalan pemikirannya, itu menunjukkan kesadaran dan keteguhan ulama Sunni dalam berpegang pada dasar-dasar agama. Dan itu menunjukkan kemoderatan mereka dalam soal hukum, dan pemegangan yang kuat pada hukum syara' dalam soal bergaul dengan musuh atau dengan yang sepaham.
Tentu saja tidak sedikit hadits yang ditolak dan perawi Sunni yang dipandang dha'if atau lemah. Kriterianya tak beda dengan yang ditentukan: keadilan dan daya ingat yang kuat ('adalah, dhabt), dan sanad yang bersambung (ittishalus sanad). Dan para ulama mengambil hadits dari pembid'ah yang tidak dipandang kafir lantaran bid'ahnya, dengan catatan ia tidak mempromosikan bid'ahnya, taat beragama, jujur dan tidak berdusta.
Metoda penerimaan hadits Sunni tersebut berbeda sama sekali dari kaum Rafidhah. Mereka berpegang pada sikap fanatik, mengikuti hawa nafsu secara ekstrim, dengan kebencian yang mendalam kepada para pemuka ummat. Mereka sektarian, karena hanya menerima hadits dari perawi yang semadzhab.
Ibn Taymiyah menyatakan sikapnya:4 "Kami mengecam para perawi dari kalangan Sunni secara wajar. Kami memiliki tulisan yang tak terhitung jumlahnya, mengenai keadilan para perawi, kelemahan, kejujuran, kesalahan, kedustaan dan prasangka mereka. Dalam hal ini kami selalu bersikap obyektif. Kami akan menggugurkan salah seorang dari mereka bila diketahui banyak bersalah dan hafalannya lemah, sekalipun ia berpredikat wali Allah."
Tetapi kaum Rafidhah memandang tsiqat mutlak terdapat pada imam, tanpa peduli apakah sang imam berbuat salah, berdusta, atau bersifat jujur. Bagi kaum Rafidhah, syarat utama penerimaan hadits adalah kesesuaiannya dengan kemauan mereka, baik itu sahih atau dha'if.
"Adapun ulama Sunni," kata ibn Taymiyah lagi, "tidak pernah menerima hadits dusta, walaupun sesuai dengan keinginan mereka. Betapa banyak riwayat hadits yang menerangkan keutamaan Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, bahkan Mu'awiyah, tetapi itu datang melalui beberapa silsilah (sanad), misalnya an-Naffasy, al-Qathi'i, ats-Tsa'labi, al-Ahwazi, Abu Nu'aym, al-Khathib, Ibn 'Asakir, dan perawi lain yang lebih lemah lagi. Ulama hadits menolak hadits-hadits itu, bahkan menyatakannya palsu. jika di dalam silsilah ada perawi yang belum jelas identitasnya, maka hadits tersebut disimpan dulu."
Imam Bukhari dan Muslim tidak menerima perawi bid'ah yang dipandang kafir lantaran bid'ahnya. Mereka pun menolak perawi bid'ah yang mempromosikan bid'ahnya, atau memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapat dan madzhab mereka.
Menurut ibn Taymiyah,5 para ahli hadits menolak riwayat pembid'ah yang mempromosikan bid'ahnya, atau orang yang mengakui kebenaran bid'ah itu. Karena itu, di buku-buku induk hadits (kitab sahih, sunan, dan musnad), tidak terdapat riwayat dari perawi bid'ah yang mempromosikan bid'ahnya.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari sebagian perawi pembid'ah yang tidak kafir lantaran bid'ahnya, serta tidak mempromosikan bid'ahnya, melarang cara berdusta, baik di dalam maupun di luar lapangan hadits. Di samping itu, secara lahiriyah mereka baik dan bertakwa, dan hidup secara benar. Penerimaan ini penting dalam menyebarkan dan menghasilkan hadits; seperti diterangkan terdahulu. Di dalam bab lain kita akan melihat 100 perawi yang dikemukakan penulis buku Dialog Sunnah-Syi'ah (Muraja'at), yang dia kira dari kalangan Rafidhah yang riwayatnya diterima oleh ulama Sunni.
Ada dua macam bid'ah yang menyebabkan ahli hadits menolak riwayat yang dibawa oleh pelakunya, yaitu: 1. Bid'ah yang mengkafirkan, dan 2. Bid'ah yang dipromosikan, atau pembid'ahnya menghalalkan cara berdusta.
Kaum Rafidhah, pada umumnya tidak terbebas dari kedua bid'ah tersebut. Adapun keseratus perawi yang dikemukakan dalam buku Dialog Sunnah-Syi'ah, tak ada yang melakukan kedua macam bid'ah tersebut, atau salah satunya.
Ibn Taymiyah berkata,6 jika di buku-buku induk hadits ada riwayat dari pembid'ah, (misalnya Khawarij, Syi'ah, Murji'ah dan Qadariyah), itu karena riwayat mereka tidak mengajak kepada kefasikan. Namun pembid'ah yang mempromosikan bid'ahnya mesti ditolak. Ditolak, maksudnya, antara lain mencegahnya melahirkan bid'ah. Dan siapa yang mencegahnya, pasti tidak mengambil ilmu darinya atau mengakui kebenaran bid'ahnya.
Kini, tiba saatnya saya menjelaskan ke-100 perawi tersebut. Saya akan membuktikan kebenaran pendapat bahwa mereka bukan orang-orang Rafidhah sebagaimana dikatakan al Musawi, melainkan orang-orang Ahlus Sunnah yang sebagiannya berpaham tasyayyu' yang tidak sampai ke tingkat rafadh, tidak mempromosikan bid'ahnya dan tidak menghalalkan dusta. Tasyayyu' bukanlah rafadh.
Catatan kaki:
1 Hadi as-Sari, juz 2, hal. 144.
2 Idem, juz 2, hal. 145.
3 Mizan al-I'tidal, 1/5.
4 Minhaj al-I'tidal, hal 480.
5 Minhaj as-Sunnah, juz 1, hal. 14.
6 Minhaj as-Sunnah, juz 1, hal. 14.
Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua metoda ilmiah dalam periwayatan hadits yang baku, merupakan jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang ilmu-ilmu agama. Metoda tersebut menerangkan keadaan perawi hadits, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if) periwayatannya. Dengan itu kita dapat mendeteksi para pendusta, yang membuat hadits palsu.
Gerakan pemalsuan hadits yang dipelopori oleh kaum Rafidhah, sesuai perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, dapat diatasi dengan metoda tersebut. Menurut ibn Sirin, semula ulama hadits tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadits (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadits meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung haditsnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadits mereka ditolak.
Metoda tersebut tidak dimiliki oleh kaum Rafidhah. Bahkan mereka menolaknya, sebab metoda periwayatan Sunni itu menghukum mereka sebagai pendusta yang membuat hadits-hadits palsu, seperti diakui oleh ibn Abil Hadid. Karena itu, kaum Rafidhah menetapkan tiga kriteria penerimaan riwayat, seperti dijelaskan ibn Taymiyah berikut ini:
Perawi hadits Rafidhah harus ma'shum. Maksudnya, harus imam yang ma'shum.
Perawi hadits tidak perlu menyebutkan sanad atau silsilah periwayatan. Tetapi ia cukup berkata, "Rasulullah bersabda," tanpa menyebutkan sanad atau dari siapa dan dari siapa.
Kesepakatan turun-temurun dari para Imam yang Dua belas. Menurut kaum Rafidhah, apa saja yang diriwayatkan oleh salah seorang dari imam yang Dua belas, bukan keseluruhan mereka, itu sudah merupakan kesepakatan mereka semua. Alasannya, seorang imam adalah ma'shum, terbebas dari kesalahan.
Ketiga kriteria tersebut dipandang tidak sahih oleh ulama Sunni. Berikut ini ringkasan kriteria penerimaan riwayat hadits menurut ulama Sunni, dengan perbedaan yang jelas.
Perawi hadits Sunni harus bersifat adil, tsiqat, mempunyai daya-ingat yang kuat, dan tidak bersifat fasiq atau amoral. Perawi itu pun mesti mempunyai daya hafal yang cerdas, berjiwa sehat, tidak pelupa, serta bersifat , jujur, tidak mencampur hadits dengan yang bukan hadits.
Sanad atau silsilah perawi hadits harus bersambungan, tidak terputus-putus antara satu perawi dengan yang lain, di samping bahwa semuanya harus memenuhi kriteria tersebut di Butir 1.
Setiap hadits tidak boleh tercela (syadz dan 'illat). Penjelasan terinci tentang soal ini bisa dibaca dalam kitab-kitab mushthalah al-hadits.
Ketiga kriteria tersebut berbeda dari kriteria kaum Rafidhah. Kaum Rafidhah, bila diteliti, ternyata hanya menetapkan satu kriteria, yaitu 'Ishmah (bebas dari dosa), tanpa syarat lain. Dan itu berlaku bagi para imam. Adapun persyaratan ilmiah yang ditetapkan para ulama Sunni, mereka tetapkan pada perawi maupun objek periwayatan, sehingga riwayatnya benar-benar sahih dan dapat diterima.
Anehnya, ternyata pencipta kriteria Sunni tersebut, yaitu Bukhari dan Muslim, justru menerima pula riwayat dari sebagian orang Syi'ah. Kenapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memperhatikan keterangan berikut.
Bukhari dan Muslim tidak pernah meninggalkan kriteria tersebut dalam mempertimbangkan penerimaan setiap hadits yang mereka riwayatkan di dalam kitab sahih. Itu sebabnya mereka menerima hadits dari semua perawi yang adil dan kuat ingatannya. Betapa tidak, bukankah semua ulama telah bersepakat menyebut karya mereka dengan ash-Shahihayn?
Namun, perlu diketahui bahwa hadits-hadits sahih itu terbagi dua. Pertama, hadits yang dianggap sahih karena dirinya sendiri (yakni tanpa harus didukung oleh hadits lain). Kriteria ini berkaitan dengan latar belakang dan biografi perawi. Untuk yang ini, Imam Bukhari telah merumuskannya. Perawi-perawi pada hadits jenis pertama ini adalah orang-orang yang tidak diragukan keadilan dan kekuatan daya ingat mereka. Mereka tidak bercacat sedikit pun.
Kedua, hadits yang sahih karena didukung oleh hadits lain. Perawi hadits seperti ini tidak diragukan kejujurannya, walaupun tingkat kecerdasan dan daya hafalnya beragam. Sebagian dari mereka ada yang mengalami cela. Tetapi di antara mereka tidak terdapat seorang pun yang tukang bid'ah, yang menjadi kafir lantaran bid'ahnya, seperti orang Rafidhah, yang moderat atau yang ekstrim. Tentu saja, sebagian dari mereka ada yang diduga penganut Syi'ah. Diduga, karena ia tidak menonjolkan ajaran Syi'ahnya, dan tidak menghalalkan dusta untuk menguatkan pendapat dan madzhabnya. la justru bersifat takwa, jujur, dan memelihara diri dari dusta. Karena itu, riwayat perawi seperti ini tentu saja bisa diterima. Ini demi mendapatkan hadits, menyebarkan sunnah, dan memberantas bid'ah.
Ibn Hajar mengaku tidak menemukan perawi bid'ah yang kafir dalam kitab Shahih Bukhari,1 "Tak satu pun hadits dalam Shahih Bukhari yang berasal dari perawi bid'ah." Kemudian ibn Hajar menjelaskan2 tentang perawi bid'ah yang tidak dipandang kafir lantaran bid'ahnya, dengan mengutip pendapat Abul Fath al-Qusyayri, "Bila tidak ditemukan selain perawi bid'ah itu, dan hadits itu hanya diriwayatkan olehnya saja, sedangkan ia memiliki sifat jujur, tidak suka berdusta, dan taat beragama, maka itu bisa diterima. Namun satu hal, hadits yang ia riwayatkan itu tidak ada hubungan dengan ajaran bid'ahnya. Kemashlahatan pengambilan hadits dan penyebarannya harus didahulukan dari memberantas bid'ah perawi tersebut."
Dalam kitab al-Mizan, adz-Dzahabi menulis,3 "Ada orang bertanya mengapa ketsiqatan pembid'ah dapat diterima, bukankah yang disebut tsiqat itu sifat adil dan kokoh? Bagaimana pembid'ah bisa dipandang adil? Jawabannya, bahwa bid'ah itu terbagi dua. Pertama, bid'ah kecil, seperti Syi'ah ekstrim, atau tasyayyu' yang moderat dan tanpa tahrif (mengubah nash). Ini banyak terjadi di kalangan generasi tabi'in dan tabi'it-tabi'in. jika hadits mereka ditolak, maka sejumlah besar hadits akan hilang dari peredaran. Dan ini merupakan kerusakan yang nyata.
Jika cara penerimaan hadits tersebut dipahami jalan pemikirannya, itu menunjukkan kesadaran dan keteguhan ulama Sunni dalam berpegang pada dasar-dasar agama. Dan itu menunjukkan kemoderatan mereka dalam soal hukum, dan pemegangan yang kuat pada hukum syara' dalam soal bergaul dengan musuh atau dengan yang sepaham.
Tentu saja tidak sedikit hadits yang ditolak dan perawi Sunni yang dipandang dha'if atau lemah. Kriterianya tak beda dengan yang ditentukan: keadilan dan daya ingat yang kuat ('adalah, dhabt), dan sanad yang bersambung (ittishalus sanad). Dan para ulama mengambil hadits dari pembid'ah yang tidak dipandang kafir lantaran bid'ahnya, dengan catatan ia tidak mempromosikan bid'ahnya, taat beragama, jujur dan tidak berdusta.
Metoda penerimaan hadits Sunni tersebut berbeda sama sekali dari kaum Rafidhah. Mereka berpegang pada sikap fanatik, mengikuti hawa nafsu secara ekstrim, dengan kebencian yang mendalam kepada para pemuka ummat. Mereka sektarian, karena hanya menerima hadits dari perawi yang semadzhab.
Ibn Taymiyah menyatakan sikapnya:4 "Kami mengecam para perawi dari kalangan Sunni secara wajar. Kami memiliki tulisan yang tak terhitung jumlahnya, mengenai keadilan para perawi, kelemahan, kejujuran, kesalahan, kedustaan dan prasangka mereka. Dalam hal ini kami selalu bersikap obyektif. Kami akan menggugurkan salah seorang dari mereka bila diketahui banyak bersalah dan hafalannya lemah, sekalipun ia berpredikat wali Allah."
Tetapi kaum Rafidhah memandang tsiqat mutlak terdapat pada imam, tanpa peduli apakah sang imam berbuat salah, berdusta, atau bersifat jujur. Bagi kaum Rafidhah, syarat utama penerimaan hadits adalah kesesuaiannya dengan kemauan mereka, baik itu sahih atau dha'if.
"Adapun ulama Sunni," kata ibn Taymiyah lagi, "tidak pernah menerima hadits dusta, walaupun sesuai dengan keinginan mereka. Betapa banyak riwayat hadits yang menerangkan keutamaan Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, bahkan Mu'awiyah, tetapi itu datang melalui beberapa silsilah (sanad), misalnya an-Naffasy, al-Qathi'i, ats-Tsa'labi, al-Ahwazi, Abu Nu'aym, al-Khathib, Ibn 'Asakir, dan perawi lain yang lebih lemah lagi. Ulama hadits menolak hadits-hadits itu, bahkan menyatakannya palsu. jika di dalam silsilah ada perawi yang belum jelas identitasnya, maka hadits tersebut disimpan dulu."
Imam Bukhari dan Muslim tidak menerima perawi bid'ah yang dipandang kafir lantaran bid'ahnya. Mereka pun menolak perawi bid'ah yang mempromosikan bid'ahnya, atau memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapat dan madzhab mereka.
Menurut ibn Taymiyah,5 para ahli hadits menolak riwayat pembid'ah yang mempromosikan bid'ahnya, atau orang yang mengakui kebenaran bid'ah itu. Karena itu, di buku-buku induk hadits (kitab sahih, sunan, dan musnad), tidak terdapat riwayat dari perawi bid'ah yang mempromosikan bid'ahnya.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari sebagian perawi pembid'ah yang tidak kafir lantaran bid'ahnya, serta tidak mempromosikan bid'ahnya, melarang cara berdusta, baik di dalam maupun di luar lapangan hadits. Di samping itu, secara lahiriyah mereka baik dan bertakwa, dan hidup secara benar. Penerimaan ini penting dalam menyebarkan dan menghasilkan hadits; seperti diterangkan terdahulu. Di dalam bab lain kita akan melihat 100 perawi yang dikemukakan penulis buku Dialog Sunnah-Syi'ah (Muraja'at), yang dia kira dari kalangan Rafidhah yang riwayatnya diterima oleh ulama Sunni.
Ada dua macam bid'ah yang menyebabkan ahli hadits menolak riwayat yang dibawa oleh pelakunya, yaitu: 1. Bid'ah yang mengkafirkan, dan 2. Bid'ah yang dipromosikan, atau pembid'ahnya menghalalkan cara berdusta.
Kaum Rafidhah, pada umumnya tidak terbebas dari kedua bid'ah tersebut. Adapun keseratus perawi yang dikemukakan dalam buku Dialog Sunnah-Syi'ah, tak ada yang melakukan kedua macam bid'ah tersebut, atau salah satunya.
Ibn Taymiyah berkata,6 jika di buku-buku induk hadits ada riwayat dari pembid'ah, (misalnya Khawarij, Syi'ah, Murji'ah dan Qadariyah), itu karena riwayat mereka tidak mengajak kepada kefasikan. Namun pembid'ah yang mempromosikan bid'ahnya mesti ditolak. Ditolak, maksudnya, antara lain mencegahnya melahirkan bid'ah. Dan siapa yang mencegahnya, pasti tidak mengambil ilmu darinya atau mengakui kebenaran bid'ahnya.
Kini, tiba saatnya saya menjelaskan ke-100 perawi tersebut. Saya akan membuktikan kebenaran pendapat bahwa mereka bukan orang-orang Rafidhah sebagaimana dikatakan al Musawi, melainkan orang-orang Ahlus Sunnah yang sebagiannya berpaham tasyayyu' yang tidak sampai ke tingkat rafadh, tidak mempromosikan bid'ahnya dan tidak menghalalkan dusta. Tasyayyu' bukanlah rafadh.
Catatan kaki:
1 Hadi as-Sari, juz 2, hal. 144.
2 Idem, juz 2, hal. 145.
3 Mizan al-I'tidal, 1/5.
4 Minhaj al-I'tidal, hal 480.
5 Minhaj as-Sunnah, juz 1, hal. 14.
6 Minhaj as-Sunnah, juz 1, hal. 14.
Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi oleh Mahmud az-Zaby
Diterjemahkan dari Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at
karangan Mahmud az-Za'bi, (t.p), (t.t). © Mahmud az-Za'bi.
Penerjemah: Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail
Penyunting: Ahsin Mohammad
Diterbitkan oleh Penerbit PUSTAKA
bee gees- SERSAN SATU
-
Posts : 152
Kepercayaan : Islam
Location : douglas
Join date : 27.06.13
Reputation : 0
Similar topics
» Benarkah Sodomi Diperbolehkan di Hadis Sahih Imam Bukhari ?
» Shahih Bukhari dan Muslim Dhaif?
» Benarkah Hadits Dhoif Harus Dibuang?
» Benarkah Yesus berasal dari Firman...atau hanya imajinasi dari Yohanes sang penulis injil??
» benarkah menurut Hadits bahwa Tsa'labah itu bakhil
» Shahih Bukhari dan Muslim Dhaif?
» Benarkah Hadits Dhoif Harus Dibuang?
» Benarkah Yesus berasal dari Firman...atau hanya imajinasi dari Yohanes sang penulis injil??
» benarkah menurut Hadits bahwa Tsa'labah itu bakhil
FORUM LASKAR ISLAM :: PERBANDINGAN AGAMA :: FORUM LINTAS AGAMA :: Menjawab Fitnah, Tuduhan & Misunderstanding
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik