strategi politik islam indonesia
Halaman 1 dari 1 • Share
strategi politik islam indonesia
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu agar menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Sesunguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat". (QS. al-Nisa/4: 58).
A. PENDAHULUAN
Serangan 11 September 2001 yang menghancurkan WTC, baik langsung maupun tidak langsung, telah mewarnai percaturan politlk Internasional. Hal ini dipicu oleh kebijakan Amerika Serikat yang secara gegabah menerapkan doktrin pre-emptive strike, suatu daktrin yang membenarkan Amerika Serikat untuk menghancurkan pihak mana pun yang potensial menjadi ancaman bagi keamanan nasionalnya. Dengan kata lain, siapa pun atau negara mana pun yang dianggap mengancam stabilitas nasional Amerika Serikat harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum ancaman itu menjadi kenyataan.
Doktrin inilah kemudian yang dijadikan George W. Bush sebagai alat legitimasi untuk mendeklarasikan perang melawan terorisme. Dalam rangka merealisasikan deklarasi tersebut, Amerika Serikat kemudian menghancurkan Afghanistan yang dituduh sebagai tempat persembunyian dan pusat operasi jaringan Al-Qaeda. Setelah berhasil meluluhlantakkan Afghanistan, Amerika Serikat kemudian mengarahkan kekuatan militemya ke Irak. Dengan dukungan sejumlah negara sekutunya, Irak pun akhirnya berhasil ditaklukkan tanpa perlawanan yang berarti.
Serangan Amerika Serikat terhadap dua negara muslim itu memunculkan dua fenomena yang mempengaruhi konstelasi politik pada tingkat global. Pertama, meningkatnya ketegangan hubungan antara dunia Islam dengan dunia Barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat. Ketegangan ini disulut oleh realitas bahwa kampanye perang melawan terorisme telah melebar menjadi perang melawan kaum Muslim yang dianggap menjadi penghalang atau melawan Amerika serikat (AS). Dengan segala kekuatannya, Amerika Serikat tidak segan-segan mengintervensi negara-negara Islam untuk menangkap, mengadili, dan menghukum aktivis-aktivis muslim yang diduga terkait dengan jaringan terorisme internasional.
Kedua, pudarnya kekuatan PBB sebagai poros utama dalam menciptakan dan menjaga perdamaian dunia. Integritas lembaga ini merosot secara drastis akibat hegemoni Amerika Serikat yang semakin berlebihan. Kini, Amerika Serikat telah resmi menjadi polisi dunia yang seakan-akan berhak menghukum negara-negara lemah dengan sejuta dalih yang sengaja dibuat untuk menghalalkan segala tindakannya. Bercermin pada geliat politik di Timur Tengah, sasaran lain yang sedang diincar saat ini adalah Iran, Suriah, dan Sudan. Bila neggra-negara itu tidak bersikap kooperatif terhadap sejumlah kebijakan Amerika Serikat, tidak tertutup kemungkinan agresi militer akan diarahkan kesana.
Potret buram politik umat Islam di pentas internasional sebagaimana digambarkan di atas, ternyata sangat mempengaruhi peta politik umat Islam pada tingkat regional. Di kawasan Asia Tenggara, umat Islam semakin terjepit di tengah kepentingan global negara-negara kapitalis imperialis. Atas nama perang melawan terorisme, Amerika Serikat mendikte negara-negara ASEAN untuk bersama-sama membasmi kelompok-kelompok Islam yang dikategorikan sebagai teroris. Meskipun batasan penggunaan kata teroris ini tidak jelas, namun negara-negara ASEAN tidak kuasa untuk menolak seruan Amerika tersebut.
Lemahnya posisi umat Islam di tengah percaturan politik internasional dan regional mengingatkan kita pada sebuah hadis Rasul yang berbunyi: “Nanti akan tiba satu masa dimana bangsa-bangsa dan seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang mengerumuni hidangan.“ Lalu sahabat bertanya, “Apakah ketika itu jumlah kami kecil, ya Rasulullah?“ Jawab Rasulullah SAW, “Tidak. Bahkan ketika itu bilangan kamu sangat banyak namun hanya bagaikan buih di tengah lautan“ (HR. Abu Dawud).
B. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH
Perumpamaan yang disebutkan Rasulullah SAW pada hadits di atas juga mendapatkan tempat yang layak di tengah-tengah umat Islam Indonesia. Meskipun genderang pertarungan politik global telah ditabuh, umat Islam Indonesia belum memperlihatkan reaksinya secara nyata. Alih-alih ikut berpartisipasi dalam mengantisipasi dan mendeteksi ancaman global itu, mereka justru terperangkap dalam wacana pemetaan relasi agama dan negara yang semestinya tidak dipermasalahkan lagi. Sebab, sudah jelas bahwa Allah memerintahkan adanya ulil amri yang beriman (lihat An-Nisa[4]:59) serta perintah menerapkan hukum-Nya (Al-Maidah[5]:48-49). Bahkan ada pula orang Islam yang justru meragu-ragukan umat akan Islam.
Umat Islam adalah kumpulan manusia yang disatukan oleh akidah Islam yang memancarkan sistem (aturan) dan mempunya negara. Realitas umat di Indonesia ada yang aktif di parlemen baik dalam partai Islam maupun dalam partai selainnya. Ada juga umat Islam yang berada di luar parlemen baik berupa ormas maupun grass root. Dalam memperjuangkan pembentukan negara Islam Indonesia, para aktivis politik Muslim Indonesia terbagi kedalam dua mainstream (arus utama), yaitu arus formalistik dan arus substantivistik. Ada pula orang Islam yang menentang Islam.
Arus formalistik merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam, serta berorientasi agar individu, masyarakat, dan negara menerapkan aturan Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan syariat Islam secara langsung sebagai konstitusi negara. Disamping itu, mereka juga menggunakan atribut, ungkapan, simbol, dan idiom-idiom politik Islam. Sedangkan arus substantivistik memiliki orientasi untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik tanpa dilegalisasi secara formal. Bagi mereka, formalisasi pembentukan negara Islam tidaklah begitu penting selama negara memberikan jaminan bagi terwujudnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, tidak dapat dipungkiri ada pula sebagian kaum Muslim yang melakukan aktivitas sweeping di tempat maksiat.
Selain itu, umat Islam Indonesia disibukkan pula dengan upaya penyelamatan bangsa dan negara yang hampir kandas akibat penyalahgunaan kekuasaan politik di masa lalu. Dalam catatan sejarah, umat Islam Indonesia sudah berungkali mendapat kesempatan untuk bangkit menuiu kesejahteraan. Proklamasi1945 yang melepaskan umat Islam dari derita dan nestapa akibat kolonialisme dan imperialisme bangsa penjajah merupakan kesempatan pertama yang pernah diraih. Sayangnya, kesempatan itu tidak dapat dipergunakan dengan baik karena munculnya sikap otoriter para penguasa Orde Lama. Peralihan kekuasaan dari Orde lama ke Orde Baru ternyata juga tidak membawa angin perubahan. Malah sebaliknya, atas nama kekuasaan berkembang subur praktek kolusi, korupsi dan nepotisme yang hanya mendatangkan kesejahteraan bagi segelintir orang saja. Kejatuhan Orde Baru dan berkibarnya bendera reformasi juga belum mampu mengubah nasib umat Islam.
Reformasi yang semula diharapkan dapat membawa angin segar perubahan telah berubah orientasi menjadi ajang perebutan kekuasaan baik pada tingkat nasional maupun lokal. Bahkan lebih dari itu, para oportunis politik dinilai semakin memarginalkan posisi umat di tengah ketidakberdayaan mereka. Konflik politik yang tak pernah reda sesungguhnya merupakan indikator penting dalam mengukur keterpurukan posisi umat Islam di pentas politik nasional.
Di tengah ketidakpastian orientasi politik itu, umat Islam Indonesia dikejutkan pula oleh musibah dan benana yang datang secara bertubi-tubi. Kecelakaan transportasi, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir, longsor, dan wabah penyakit, terjadi dimana-mana. Bahkan badai tsunami dan gempa bumi yang menelan korban ratusan ribu anak manusia di Aceh dan Sumatera Utara merupakan penderitaan yang tidak habis-habisnya kita tangisi.
Bita ditilik lebih dalam, akar dari segala krisis dan bencana itu adalah tidak diterapkannya aturan Islam dalam sistem kehidupan dan manusianya mengalami krisis akhlak dan moral baik di kalangan pejabat maupun rakyat secara menyeluruh. Sudah menjadi kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia sudah tidak lagi takut berbuat kejahatan. Realitas ini otomatis menunjukkan bahwa moralitas sudah tidak lagi menjadi orientasi kehidupan di masyarakat. Otonomi suara hati sudah tidak lagi mengisi ruang publik di mana di dalamnya orang tidak lagi menyadari nilai-nilai moral dari kewajiban yang diembannya. Kesetiaan kepada suara hati bahwa korupsi, kolusi, dan manipulasi adalah sesuatu yang berlawanan dengan moralitas sudah hampir musnah ditelan nafsu keserakahan.
Hukum ditegakkan atas dasar siapa yang memegang kekuasaan dan kekayaan. Hukum bisa diperjualbelikan. Lebih jauh dari itu, hukum bisa direkayasa oleh kelompok penguasa dan pengusaha. Inkonsistensi dalam menjalankan hukum menandakan adanya hukum yang dapat ditarik ulur dan moralitas yang absurd (kosong). Padahal, hukum dan moralitas merupakan kerangka acuan penting dalam membangun realitss Indonesia baru. Bila moralitas sudah tidak dianggap penting; kepatuhan bersama terhadap hukum sudah Ienyap; sanksi-sanksi sosial dan hukum yang mesti diberikan kepada pelaku tidak berlaku; maka bangsa Indonesia nyaris sempurna menyandang gelar bangsa tidak beradab.
Kenyataan ini membuat sejumlah persoalan sosial kemasyarakatan menjadi terkendala karena didorong oleh munculnya krisis nilai dan persepsi. Nilai kejujuran sirna seiring dengan rnerebaknya kemunafikan di tengah-tengah masayarakat. Bahkan lebih ironis lagi, kejujuran dipersepsi sebagai suatu tindak kebodohan. Krisis moral yang ditunggangi oleh krisis nilai dan persepsi dipadu dengan hukum yang tidak menjerakan inilah kemudian menyebabkan runtuhnya sifat-sifat amanah dalam diri sebagian besar penyelenggara pemerintahan dan pengambil kebijakan. Dan pada gilirannya, keadilan sosial hanya menjadi impian dan tumpuan harapan semata.
C. LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS
Untuk menyahuti seruan al-Quran itu, maka umat Islam Indonesia perlu menyusun sejumlah agenda strategis berikut langkah-langkah sistematis agar terdapat kesesuaian antara doktrin dan aksi politik. Pengembangan kekuatan polilik Islam ke depan menghendaki adanya reorientasi fundamental. Dalam melakukan reorieritasi tersebut ada beberapa langkah yang perlu perhatikan:
1. Kekuatan politik Islam diarahkan pada upaya penerapan syariat Islam serta berpihak pada kepentingan umat, bukan kepentingan pihak kafir imperialis.
2. Meningkatkan kesadaran umat Islam bahwa (a) politik merupakan upaya mengurusi masyarakat, bukan untuk kepentingan individual, dan (b) politik kaum Muslim di Indonesia tidak dapat terlepas dari sikap politik negara-negara besar
3. Menyatukan politik formalisasi dengan politik substansi dan dilakukan secara damai/tanpa kekerasan. Sejarah telah membuktikan bahwa para aktivis politik rnuslim yang memperjuangkan Islam dan seluruh perangkatnya selalu saja dimarginalkan. Kekalahan partai-partai politik berlogo Islam pada masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Kekalahan ini menunjukkan bahwa konsep penerapan Islam kaffah belum diminati secara penuh oleh rakyat Indonesia. Karenanya perlu menyatukan politik formalisasi dengan politik substansi. Untuk itu perlu dilakukan pendidikan politik Islam yang dilakukan oleh semua komponen umat.
Kegigihan dan keinginan masyarakat Muslim untuk mendirikan negara Islam bila diiringi dengan tindakan anarkis dan cenderung represif dapat menimbulkan citra buruk bagi umat Islam. Kondisi ini dapat menimbulkan kecurigaan, kalau bukan kebencian, di kalangan kelompok-kelornpok lainnya. Bahkan yang lebih buruk lagi, tudingan Barat terhadap Islam sebagai sumber teroris dunia seakan-akan mendekati kebenaran. Apalagi ketika umat Islam menerima begitu saja tudingan dari pihak asing tersebut. Bila hal ini terjadi, Islam yang selama ini dikenal sebagai agama pembawa rahmat akan menjadi cacat. Untuk itu perjuangan syariat Islam harus dilakukan dengan menyiapkan konsep pemikiran Islam tentang sosial, politik, ekonomi, dan perkara lain secara komprehensif serta diperjuangkan dengan langkah-langkah politik cantik dan menjauhi cara-cara kekerasan.
Sudah saatnya umat Islam Indonesia memiliki kesadaran bahwa berjuang untuk Islam sejatinya dilakukan dengan cara menerapkan syariat Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Sektor pendidikan, ekonomi, dan stabilitas nasional merupakan beberapa bidang yang cukup mendesak untuk ditangani. Keterpurukan perekonomian Indonesia saat ini lebih disebabkan lemahnya ketiga sektor di atas. Untuk meningkatkan kembali citra Indonesia di mata dunia internasional, hendaklah ketiga sektor itu ditangani secara serius dan profesional.
4. Meredefinisikan cita-cita sosial-politik umat Islam. Secara normatif, cita-cita sosial politik Islam adalah menjadi umat terbaik (surat Ali Imran [3]:110) yang menerapkan syariat Islam secara kafah demi mewujudkan keadilan dalam seluruh dimensi kehidupan. Manifestasi keadilan antara lain tercermin pada pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik, penghargaan terhadap nilai-nilai egalitarianisme (al-tasamuh) secara tepat, perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman, dan penghormatan terhadap konstitusi. Apabila masyarakat benar-benar berpegang teguh pada norma keadilan, maka sudah barang tentu mereka terlibat secara aktif dalam partisipasi politik.
Dalam mencapal cita-cita ideal tersebut, umat Islam dapat menempuh dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (morai force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara.
Perlu diperhatikan bahwa pencapaian tujuan melalui pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada perjuangan politik kekuasaan. Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana melakukan pemberdayaan masyarakat baik selama di Makkah maupun di Madinah hingga berhasil membentuk masyarakat Islam.
5. Memperteguh etika dan kesantunan politik. Arena politik merupakan arena panas karena selalu diwarnai o!eh wacana perebutan kekuasaan dan kompetisi memperjuangkan kepentingan pragmatis para aktornya. Oleh karena itu, pengembangan nilai-nilai Islam dalam dunia politik terasa aktual dan relevan dengan realitas umat Islam Indonesia. Masa depan umat Islam di negeri ini sangat tergantung pada kemampuan dan kesigapan kita untuk menawarkan nilai-nilai Islam sebagai solusi alternatif bagi aneka kemelut yang menyentuh seiuruh urat nadi kehidupan Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun etika dan kesantunan politik adalah dengan cara meningkatkan kesalehan pribadi sekaligus kesalehansosial. Dengan bermodalkan kesalehan pribadi dan sosial itu para politisi dan pemerintah akan digiring secara bersama-sama untuk menggunakan mata batin yang dibimbing oleh Al-Quran dan As-Sunnah dalam membedakan antara yang hak dengan batil, antara yang halal dengan yang haram, dan antara politik bermoral dan politik kotor.
6. Mewujudkan kekuatan politik umat Islam. Kekuatan politik umat adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam, yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariat Islam. Selain itu, hegemoni kekuatan politik negara imperialis hanya dapat ditandingi bila umat Islam berbagai negeri-negeri Muslim bersatu dalam kekhilafahan Islam.
7. Mensinergikan seluruh potensi dan kekuatan politik umat Islam. Fenomena kelahiran partai-partai Islam di pentas politik nasional cukup membanggakan sekaligus mengkhawatirkan. Membanggakan karena fenomena itu juga berarti meningkatnya kesadaran politik di tengah-tengah umat Islam. Namun demikian, kondisi itu dapat menimbulkan kekhawatiran muncylnya fragmentasi potensi dan kekuatan politik umat Islam.
C. REKOMENDASI DAN AGENDA
Fragmentasi potensi dan kekuatan politik itu harus dikelola secara benar agar seluruh kepentingan umat Islam dapat terakomodasi secara maksimal. Bila usaha untuk mempersatukan partai-partai politik Islam di bawah satu bendera sulit dilakukan, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah mempersatukan politisi Islam di lembaga-lembaga legislatif dan lembaga lainnya mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Meskipun kendaraan politik berbeda, namun tujuan dan orientasinya haruslah tetap sama, yaitu menegakkan syariat Islam sebagai solusi problematika masyarakat.
Agar ketujuh langkah sebagaimana diuraikan dalam langkah-langkah di atas dapat berfungsi secara efektif, maka revitalisasi paradigma politik Islam yang memadukan formalitas dengan substansi, tekstual dengan kontekstual, wawasan lokal dengan global, dan bersifat transformatif merupakan suatu keharusan yang tak terelakkan. Di samping itu, interpretasi terhadap relasi agama dan negara harus tetap cair dan berkembang sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian dengan tetap berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah. Hanya dengan cara inilah, Islam politik mampu bersaing dengan entitas-entitas politik yang lain di kancah pertarungan politik nasional, global, bahkan internasional.[]
A. PENDAHULUAN
Serangan 11 September 2001 yang menghancurkan WTC, baik langsung maupun tidak langsung, telah mewarnai percaturan politlk Internasional. Hal ini dipicu oleh kebijakan Amerika Serikat yang secara gegabah menerapkan doktrin pre-emptive strike, suatu daktrin yang membenarkan Amerika Serikat untuk menghancurkan pihak mana pun yang potensial menjadi ancaman bagi keamanan nasionalnya. Dengan kata lain, siapa pun atau negara mana pun yang dianggap mengancam stabilitas nasional Amerika Serikat harus dihancurkan terlebih dahulu sebelum ancaman itu menjadi kenyataan.
Doktrin inilah kemudian yang dijadikan George W. Bush sebagai alat legitimasi untuk mendeklarasikan perang melawan terorisme. Dalam rangka merealisasikan deklarasi tersebut, Amerika Serikat kemudian menghancurkan Afghanistan yang dituduh sebagai tempat persembunyian dan pusat operasi jaringan Al-Qaeda. Setelah berhasil meluluhlantakkan Afghanistan, Amerika Serikat kemudian mengarahkan kekuatan militemya ke Irak. Dengan dukungan sejumlah negara sekutunya, Irak pun akhirnya berhasil ditaklukkan tanpa perlawanan yang berarti.
Serangan Amerika Serikat terhadap dua negara muslim itu memunculkan dua fenomena yang mempengaruhi konstelasi politik pada tingkat global. Pertama, meningkatnya ketegangan hubungan antara dunia Islam dengan dunia Barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat. Ketegangan ini disulut oleh realitas bahwa kampanye perang melawan terorisme telah melebar menjadi perang melawan kaum Muslim yang dianggap menjadi penghalang atau melawan Amerika serikat (AS). Dengan segala kekuatannya, Amerika Serikat tidak segan-segan mengintervensi negara-negara Islam untuk menangkap, mengadili, dan menghukum aktivis-aktivis muslim yang diduga terkait dengan jaringan terorisme internasional.
Kedua, pudarnya kekuatan PBB sebagai poros utama dalam menciptakan dan menjaga perdamaian dunia. Integritas lembaga ini merosot secara drastis akibat hegemoni Amerika Serikat yang semakin berlebihan. Kini, Amerika Serikat telah resmi menjadi polisi dunia yang seakan-akan berhak menghukum negara-negara lemah dengan sejuta dalih yang sengaja dibuat untuk menghalalkan segala tindakannya. Bercermin pada geliat politik di Timur Tengah, sasaran lain yang sedang diincar saat ini adalah Iran, Suriah, dan Sudan. Bila neggra-negara itu tidak bersikap kooperatif terhadap sejumlah kebijakan Amerika Serikat, tidak tertutup kemungkinan agresi militer akan diarahkan kesana.
Potret buram politik umat Islam di pentas internasional sebagaimana digambarkan di atas, ternyata sangat mempengaruhi peta politik umat Islam pada tingkat regional. Di kawasan Asia Tenggara, umat Islam semakin terjepit di tengah kepentingan global negara-negara kapitalis imperialis. Atas nama perang melawan terorisme, Amerika Serikat mendikte negara-negara ASEAN untuk bersama-sama membasmi kelompok-kelompok Islam yang dikategorikan sebagai teroris. Meskipun batasan penggunaan kata teroris ini tidak jelas, namun negara-negara ASEAN tidak kuasa untuk menolak seruan Amerika tersebut.
Lemahnya posisi umat Islam di tengah percaturan politik internasional dan regional mengingatkan kita pada sebuah hadis Rasul yang berbunyi: “Nanti akan tiba satu masa dimana bangsa-bangsa dan seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang mengerumuni hidangan.“ Lalu sahabat bertanya, “Apakah ketika itu jumlah kami kecil, ya Rasulullah?“ Jawab Rasulullah SAW, “Tidak. Bahkan ketika itu bilangan kamu sangat banyak namun hanya bagaikan buih di tengah lautan“ (HR. Abu Dawud).
B. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS MASALAH
Perumpamaan yang disebutkan Rasulullah SAW pada hadits di atas juga mendapatkan tempat yang layak di tengah-tengah umat Islam Indonesia. Meskipun genderang pertarungan politik global telah ditabuh, umat Islam Indonesia belum memperlihatkan reaksinya secara nyata. Alih-alih ikut berpartisipasi dalam mengantisipasi dan mendeteksi ancaman global itu, mereka justru terperangkap dalam wacana pemetaan relasi agama dan negara yang semestinya tidak dipermasalahkan lagi. Sebab, sudah jelas bahwa Allah memerintahkan adanya ulil amri yang beriman (lihat An-Nisa[4]:59) serta perintah menerapkan hukum-Nya (Al-Maidah[5]:48-49). Bahkan ada pula orang Islam yang justru meragu-ragukan umat akan Islam.
Umat Islam adalah kumpulan manusia yang disatukan oleh akidah Islam yang memancarkan sistem (aturan) dan mempunya negara. Realitas umat di Indonesia ada yang aktif di parlemen baik dalam partai Islam maupun dalam partai selainnya. Ada juga umat Islam yang berada di luar parlemen baik berupa ormas maupun grass root. Dalam memperjuangkan pembentukan negara Islam Indonesia, para aktivis politik Muslim Indonesia terbagi kedalam dua mainstream (arus utama), yaitu arus formalistik dan arus substantivistik. Ada pula orang Islam yang menentang Islam.
Arus formalistik merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam, serta berorientasi agar individu, masyarakat, dan negara menerapkan aturan Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan syariat Islam secara langsung sebagai konstitusi negara. Disamping itu, mereka juga menggunakan atribut, ungkapan, simbol, dan idiom-idiom politik Islam. Sedangkan arus substantivistik memiliki orientasi untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik tanpa dilegalisasi secara formal. Bagi mereka, formalisasi pembentukan negara Islam tidaklah begitu penting selama negara memberikan jaminan bagi terwujudnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, tidak dapat dipungkiri ada pula sebagian kaum Muslim yang melakukan aktivitas sweeping di tempat maksiat.
Selain itu, umat Islam Indonesia disibukkan pula dengan upaya penyelamatan bangsa dan negara yang hampir kandas akibat penyalahgunaan kekuasaan politik di masa lalu. Dalam catatan sejarah, umat Islam Indonesia sudah berungkali mendapat kesempatan untuk bangkit menuiu kesejahteraan. Proklamasi1945 yang melepaskan umat Islam dari derita dan nestapa akibat kolonialisme dan imperialisme bangsa penjajah merupakan kesempatan pertama yang pernah diraih. Sayangnya, kesempatan itu tidak dapat dipergunakan dengan baik karena munculnya sikap otoriter para penguasa Orde Lama. Peralihan kekuasaan dari Orde lama ke Orde Baru ternyata juga tidak membawa angin perubahan. Malah sebaliknya, atas nama kekuasaan berkembang subur praktek kolusi, korupsi dan nepotisme yang hanya mendatangkan kesejahteraan bagi segelintir orang saja. Kejatuhan Orde Baru dan berkibarnya bendera reformasi juga belum mampu mengubah nasib umat Islam.
Reformasi yang semula diharapkan dapat membawa angin segar perubahan telah berubah orientasi menjadi ajang perebutan kekuasaan baik pada tingkat nasional maupun lokal. Bahkan lebih dari itu, para oportunis politik dinilai semakin memarginalkan posisi umat di tengah ketidakberdayaan mereka. Konflik politik yang tak pernah reda sesungguhnya merupakan indikator penting dalam mengukur keterpurukan posisi umat Islam di pentas politik nasional.
Di tengah ketidakpastian orientasi politik itu, umat Islam Indonesia dikejutkan pula oleh musibah dan benana yang datang secara bertubi-tubi. Kecelakaan transportasi, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir, longsor, dan wabah penyakit, terjadi dimana-mana. Bahkan badai tsunami dan gempa bumi yang menelan korban ratusan ribu anak manusia di Aceh dan Sumatera Utara merupakan penderitaan yang tidak habis-habisnya kita tangisi.
Bita ditilik lebih dalam, akar dari segala krisis dan bencana itu adalah tidak diterapkannya aturan Islam dalam sistem kehidupan dan manusianya mengalami krisis akhlak dan moral baik di kalangan pejabat maupun rakyat secara menyeluruh. Sudah menjadi kenyataan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia sudah tidak lagi takut berbuat kejahatan. Realitas ini otomatis menunjukkan bahwa moralitas sudah tidak lagi menjadi orientasi kehidupan di masyarakat. Otonomi suara hati sudah tidak lagi mengisi ruang publik di mana di dalamnya orang tidak lagi menyadari nilai-nilai moral dari kewajiban yang diembannya. Kesetiaan kepada suara hati bahwa korupsi, kolusi, dan manipulasi adalah sesuatu yang berlawanan dengan moralitas sudah hampir musnah ditelan nafsu keserakahan.
Hukum ditegakkan atas dasar siapa yang memegang kekuasaan dan kekayaan. Hukum bisa diperjualbelikan. Lebih jauh dari itu, hukum bisa direkayasa oleh kelompok penguasa dan pengusaha. Inkonsistensi dalam menjalankan hukum menandakan adanya hukum yang dapat ditarik ulur dan moralitas yang absurd (kosong). Padahal, hukum dan moralitas merupakan kerangka acuan penting dalam membangun realitss Indonesia baru. Bila moralitas sudah tidak dianggap penting; kepatuhan bersama terhadap hukum sudah Ienyap; sanksi-sanksi sosial dan hukum yang mesti diberikan kepada pelaku tidak berlaku; maka bangsa Indonesia nyaris sempurna menyandang gelar bangsa tidak beradab.
Kenyataan ini membuat sejumlah persoalan sosial kemasyarakatan menjadi terkendala karena didorong oleh munculnya krisis nilai dan persepsi. Nilai kejujuran sirna seiring dengan rnerebaknya kemunafikan di tengah-tengah masayarakat. Bahkan lebih ironis lagi, kejujuran dipersepsi sebagai suatu tindak kebodohan. Krisis moral yang ditunggangi oleh krisis nilai dan persepsi dipadu dengan hukum yang tidak menjerakan inilah kemudian menyebabkan runtuhnya sifat-sifat amanah dalam diri sebagian besar penyelenggara pemerintahan dan pengambil kebijakan. Dan pada gilirannya, keadilan sosial hanya menjadi impian dan tumpuan harapan semata.
C. LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS
Untuk menyahuti seruan al-Quran itu, maka umat Islam Indonesia perlu menyusun sejumlah agenda strategis berikut langkah-langkah sistematis agar terdapat kesesuaian antara doktrin dan aksi politik. Pengembangan kekuatan polilik Islam ke depan menghendaki adanya reorientasi fundamental. Dalam melakukan reorieritasi tersebut ada beberapa langkah yang perlu perhatikan:
1. Kekuatan politik Islam diarahkan pada upaya penerapan syariat Islam serta berpihak pada kepentingan umat, bukan kepentingan pihak kafir imperialis.
2. Meningkatkan kesadaran umat Islam bahwa (a) politik merupakan upaya mengurusi masyarakat, bukan untuk kepentingan individual, dan (b) politik kaum Muslim di Indonesia tidak dapat terlepas dari sikap politik negara-negara besar
3. Menyatukan politik formalisasi dengan politik substansi dan dilakukan secara damai/tanpa kekerasan. Sejarah telah membuktikan bahwa para aktivis politik rnuslim yang memperjuangkan Islam dan seluruh perangkatnya selalu saja dimarginalkan. Kekalahan partai-partai politik berlogo Islam pada masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Kekalahan ini menunjukkan bahwa konsep penerapan Islam kaffah belum diminati secara penuh oleh rakyat Indonesia. Karenanya perlu menyatukan politik formalisasi dengan politik substansi. Untuk itu perlu dilakukan pendidikan politik Islam yang dilakukan oleh semua komponen umat.
Kegigihan dan keinginan masyarakat Muslim untuk mendirikan negara Islam bila diiringi dengan tindakan anarkis dan cenderung represif dapat menimbulkan citra buruk bagi umat Islam. Kondisi ini dapat menimbulkan kecurigaan, kalau bukan kebencian, di kalangan kelompok-kelornpok lainnya. Bahkan yang lebih buruk lagi, tudingan Barat terhadap Islam sebagai sumber teroris dunia seakan-akan mendekati kebenaran. Apalagi ketika umat Islam menerima begitu saja tudingan dari pihak asing tersebut. Bila hal ini terjadi, Islam yang selama ini dikenal sebagai agama pembawa rahmat akan menjadi cacat. Untuk itu perjuangan syariat Islam harus dilakukan dengan menyiapkan konsep pemikiran Islam tentang sosial, politik, ekonomi, dan perkara lain secara komprehensif serta diperjuangkan dengan langkah-langkah politik cantik dan menjauhi cara-cara kekerasan.
Sudah saatnya umat Islam Indonesia memiliki kesadaran bahwa berjuang untuk Islam sejatinya dilakukan dengan cara menerapkan syariat Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Sektor pendidikan, ekonomi, dan stabilitas nasional merupakan beberapa bidang yang cukup mendesak untuk ditangani. Keterpurukan perekonomian Indonesia saat ini lebih disebabkan lemahnya ketiga sektor di atas. Untuk meningkatkan kembali citra Indonesia di mata dunia internasional, hendaklah ketiga sektor itu ditangani secara serius dan profesional.
4. Meredefinisikan cita-cita sosial-politik umat Islam. Secara normatif, cita-cita sosial politik Islam adalah menjadi umat terbaik (surat Ali Imran [3]:110) yang menerapkan syariat Islam secara kafah demi mewujudkan keadilan dalam seluruh dimensi kehidupan. Manifestasi keadilan antara lain tercermin pada pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik, penghargaan terhadap nilai-nilai egalitarianisme (al-tasamuh) secara tepat, perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman, dan penghormatan terhadap konstitusi. Apabila masyarakat benar-benar berpegang teguh pada norma keadilan, maka sudah barang tentu mereka terlibat secara aktif dalam partisipasi politik.
Dalam mencapal cita-cita ideal tersebut, umat Islam dapat menempuh dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (morai force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara.
Perlu diperhatikan bahwa pencapaian tujuan melalui pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada perjuangan politik kekuasaan. Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana melakukan pemberdayaan masyarakat baik selama di Makkah maupun di Madinah hingga berhasil membentuk masyarakat Islam.
5. Memperteguh etika dan kesantunan politik. Arena politik merupakan arena panas karena selalu diwarnai o!eh wacana perebutan kekuasaan dan kompetisi memperjuangkan kepentingan pragmatis para aktornya. Oleh karena itu, pengembangan nilai-nilai Islam dalam dunia politik terasa aktual dan relevan dengan realitas umat Islam Indonesia. Masa depan umat Islam di negeri ini sangat tergantung pada kemampuan dan kesigapan kita untuk menawarkan nilai-nilai Islam sebagai solusi alternatif bagi aneka kemelut yang menyentuh seiuruh urat nadi kehidupan Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun etika dan kesantunan politik adalah dengan cara meningkatkan kesalehan pribadi sekaligus kesalehansosial. Dengan bermodalkan kesalehan pribadi dan sosial itu para politisi dan pemerintah akan digiring secara bersama-sama untuk menggunakan mata batin yang dibimbing oleh Al-Quran dan As-Sunnah dalam membedakan antara yang hak dengan batil, antara yang halal dengan yang haram, dan antara politik bermoral dan politik kotor.
6. Mewujudkan kekuatan politik umat Islam. Kekuatan politik umat adalah kekuatan umat yang memilliki kesadaran politik Islam, yakni kesadaran bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariat Islam. Selain itu, hegemoni kekuatan politik negara imperialis hanya dapat ditandingi bila umat Islam berbagai negeri-negeri Muslim bersatu dalam kekhilafahan Islam.
7. Mensinergikan seluruh potensi dan kekuatan politik umat Islam. Fenomena kelahiran partai-partai Islam di pentas politik nasional cukup membanggakan sekaligus mengkhawatirkan. Membanggakan karena fenomena itu juga berarti meningkatnya kesadaran politik di tengah-tengah umat Islam. Namun demikian, kondisi itu dapat menimbulkan kekhawatiran muncylnya fragmentasi potensi dan kekuatan politik umat Islam.
C. REKOMENDASI DAN AGENDA
Fragmentasi potensi dan kekuatan politik itu harus dikelola secara benar agar seluruh kepentingan umat Islam dapat terakomodasi secara maksimal. Bila usaha untuk mempersatukan partai-partai politik Islam di bawah satu bendera sulit dilakukan, maka hal yang paling mungkin dilakukan adalah mempersatukan politisi Islam di lembaga-lembaga legislatif dan lembaga lainnya mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Meskipun kendaraan politik berbeda, namun tujuan dan orientasinya haruslah tetap sama, yaitu menegakkan syariat Islam sebagai solusi problematika masyarakat.
Agar ketujuh langkah sebagaimana diuraikan dalam langkah-langkah di atas dapat berfungsi secara efektif, maka revitalisasi paradigma politik Islam yang memadukan formalitas dengan substansi, tekstual dengan kontekstual, wawasan lokal dengan global, dan bersifat transformatif merupakan suatu keharusan yang tak terelakkan. Di samping itu, interpretasi terhadap relasi agama dan negara harus tetap cair dan berkembang sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian dengan tetap berpegang kepada al-Quran dan as-Sunnah. Hanya dengan cara inilah, Islam politik mampu bersaing dengan entitas-entitas politik yang lain di kancah pertarungan politik nasional, global, bahkan internasional.[]
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» implementasi syariat islam dalam perspektif hukum dan politik indonesia
» islam dan politik
» strategi partai islam dalam menjaring suara
» strategi snouck hurgronje "menderadikalisasi" umat islam era penjajahan
» imam khomeni:politik tuhan vs politik setan
» islam dan politik
» strategi partai islam dalam menjaring suara
» strategi snouck hurgronje "menderadikalisasi" umat islam era penjajahan
» imam khomeni:politik tuhan vs politik setan
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik