Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Halaman 3 dari 3 • Share
Halaman 3 dari 3 • 1, 2, 3
keistimewaan tauhid dan dosa-dosa yang diampuni
First topic message reminder :
Firman Allah Ta'ala:
"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kedhaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat ketenteraman dan mereka itu adalah orang-orang yang menepati jalan hidayah." (Al-An'am: 82)
Iman yaitu ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat Lillah dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syirik disebut kedhaliman, karena syirik adalah perbuatan menempatkan sesuatu ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
'Ubadah ibn Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah Hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa 'Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersyahadat pula bahwa) surga adalah benar adanya dan neraka-pun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga betapapun amal yang diperbuatnya." (HR Bukhari Muslim)
Syahadat ialah persaksian dengan hati dan lisan, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa yang menjadi tuntutannya, baik lahir maupun batin.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari 'Itban: "Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada neraka orang yang berkata: Laa ilaha illa Allah (Tiada sesembahan yang hak selain Allah), dengan ikhlas dari hatinya dan mengharapkan (pahala melihat) Wajah Allah."
Diriwayatkan dari Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Musa berkata: Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir dan berdo'a kepada-Mu. Allah berfirman: Katakanlah hai Musa: "Laa ilaha illa Allah". Musa berkata lagi: Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini. Allah pun berfirman: Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada salah satu daun timbangan, sedang Laa ilaha illa Allah diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka Laa ilaha illa Allah niscaya lebih berat timbangannya." (Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan menyatakan bahwa hadits ini Shahih)
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits, yang dinyatakan hasan, dari Anas: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula."
Kandungan dalam tulisan ini:
1. Luasnya karunia Allah Ta'ala.
2. Banyaknya pahala tauhid disisi Allah Ta'ala.
3. Selain itu, tauhid menghapuskan dosa-dosa.
4. Tafsiran surah Al-An'am ayat 82, menunjukkan keistimewaan tauhid dan keuntungan yang diperoleh darinya dalam kehidupan dunia dan akhirat; dan menunjukkan pula bahwa syirik adalah perbuatan zhalim yang dapat membatalkan iman jika syirik itu akbar (besar) atau mengurangi iman jika syirik itu ashghar (kecil).
5. Perhatikan kelima masalah yang tersebut dalam hadits 'Ubadah.
6. Apabila anda mempertemukan hadits 'Ubadah, hadits 'Itban dan hadits sesudahnya, akan jelas bagi anda pengertian kalimat "Laa ilaha illa Allah" dan jelas pula kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya.
7. Perlu diingat persyaratan yang dinyatakan di dalam hadits 'Itban yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.
8. Para nabi perlu diingatkan pula akan keistimewaan "Laa ilaha illa Allah"
9. Bahwa Laa ilaha illa Allah berat timbangannya mengungguli berat timbangan seluruh makhluk, padahal banyak diantara orang yang mengucapkan kalimat tersebut ringan timbangannya.
10. Dinyatakan bahwa bumi itu tujuh, seperti halnya langit.
11. Langit dan bumi ada penghuninya.
12. Menetapkan sifat-sifat Allah, berbeda dengan pendapat Asy'ariyah yaitu salah satu aliran teologis, pengikut Syaikh Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ary (260-324H = 874-936M). Dan maksud penulis disini ialah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an dan Sunnah. Termasuk sifat yang ditetapkan adalah kebenaran adanya Wajah bagi Allah, mengikuti cara yang diamalkan kaum Salaf Shaleh dalam masalah ini, yaitu: mengimani kebenaran sifat-sifat Allah yang dituturkan oleh Al Qur'an dan Sunnah tanpa tahrif, ta'thil, takyif, dan tamtsil.
Adapun Asy'ariyah dalam masalah sifat yang seperti ini, sebagian mereka ada yang menta'wilkannya (menafsirinya dengan makna yang menyimpang dari makna yang sebenarnya) dengan dalih bahwa hal tersebut apabila tidak dita'wilkan bisa menimbulkan tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Syaikh Abul Hasan Al Asy'ary sendiri dalam masalah ini telah menyatakan berpegang teguh dengan madzab salaf shaleh, sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab yang ditulis diakhir masa hidupnya, yaitu Al-Ibanah 'An Ushulid-Diyanah (editor: Abdul Qadir Al-Arna'uth, Beirut: Maktabah Dar Al-Bayan, 1401 H), bahkan dalam karyanya ini beliau mengkritik dan menyanggah tindakan ta'wil yang dilakukan orang-orang yang menyimpang dari madzhab Salaf.
13. Apabila anda memahami hadits Anas, anda akan tahu bahwa sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits 'Itban maksudnya ialah dengan tidak melakukan perbuatan syirik sedikitpun, bukan sekedar mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja.
14. Perhatikanlah perpaduan sebutan Hamba Allah dan Rasul-Nya dalam pribadi Nabi 'Isa dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
15. Mengetahui keistimewaan Nabi 'Isa sebagai kalimat Allah, maksudnya yaitu bahwa Nabi 'Isa diciptakan Allah dengan firman-Nya "Kun" (jadilah) yang disampaikan-Nya kepada Maryam melalui Malaikat Jibril.
16. Mengetahui bahwa Nabi 'Isa adalah ruh diantara ruh-ruh yang diciptakan-Nya.
17. Mengetahui keistimewaan iman kepada kebenaran adanya surga dan neraka.
18. Mengetahui sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "betapapun amal yang telah diperbuatnya".
19. Mengetahui bahwa timbangan mempunyai dua daun.
20. Mengetahui kebenaran adanya Wajah bagi Allah Ta'ala.
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.
Firman Allah Ta'ala:
"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kedhaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat ketenteraman dan mereka itu adalah orang-orang yang menepati jalan hidayah." (Al-An'am: 82)
Iman yaitu ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat Lillah dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syirik disebut kedhaliman, karena syirik adalah perbuatan menempatkan sesuatu ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak menerimanya.
'Ubadah ibn Ash-Shamit radhiyallahu 'anhu, menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah Hamba dan Rasul-Nya; dan (bersyahadat) bahwa 'Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam serta ruh daripada-Nya; dan (bersyahadat pula bahwa) surga adalah benar adanya dan neraka-pun benar adanya; maka Allah pasti memasukkannya ke dalam surga betapapun amal yang diperbuatnya." (HR Bukhari Muslim)
Syahadat ialah persaksian dengan hati dan lisan, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa yang menjadi tuntutannya, baik lahir maupun batin.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari 'Itban: "Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada neraka orang yang berkata: Laa ilaha illa Allah (Tiada sesembahan yang hak selain Allah), dengan ikhlas dari hatinya dan mengharapkan (pahala melihat) Wajah Allah."
Diriwayatkan dari Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Musa berkata: Ya Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk berdzikir dan berdo'a kepada-Mu. Allah berfirman: Katakanlah hai Musa: "Laa ilaha illa Allah". Musa berkata lagi: Ya Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini. Allah pun berfirman: Hai Musa, andaikata ketujuh langit dan penghuninya, selain Aku, serta ketujuh bumi diletakkan pada salah satu daun timbangan, sedang Laa ilaha illa Allah diletakkan pada daun timbangan yang lain, maka Laa ilaha illa Allah niscaya lebih berat timbangannya." (Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim dengan menyatakan bahwa hadits ini Shahih)
At-Tirmidzi meriwayatkan hadits, yang dinyatakan hasan, dari Anas: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh jagad, sedangkan kamu ketika mati berada dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan kepadamu ampunan sepenuh jagad pula."
Kandungan dalam tulisan ini:
1. Luasnya karunia Allah Ta'ala.
2. Banyaknya pahala tauhid disisi Allah Ta'ala.
3. Selain itu, tauhid menghapuskan dosa-dosa.
4. Tafsiran surah Al-An'am ayat 82, menunjukkan keistimewaan tauhid dan keuntungan yang diperoleh darinya dalam kehidupan dunia dan akhirat; dan menunjukkan pula bahwa syirik adalah perbuatan zhalim yang dapat membatalkan iman jika syirik itu akbar (besar) atau mengurangi iman jika syirik itu ashghar (kecil).
5. Perhatikan kelima masalah yang tersebut dalam hadits 'Ubadah.
6. Apabila anda mempertemukan hadits 'Ubadah, hadits 'Itban dan hadits sesudahnya, akan jelas bagi anda pengertian kalimat "Laa ilaha illa Allah" dan jelas pula kesalahan orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya.
7. Perlu diingat persyaratan yang dinyatakan di dalam hadits 'Itban yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.
8. Para nabi perlu diingatkan pula akan keistimewaan "Laa ilaha illa Allah"
9. Bahwa Laa ilaha illa Allah berat timbangannya mengungguli berat timbangan seluruh makhluk, padahal banyak diantara orang yang mengucapkan kalimat tersebut ringan timbangannya.
10. Dinyatakan bahwa bumi itu tujuh, seperti halnya langit.
11. Langit dan bumi ada penghuninya.
12. Menetapkan sifat-sifat Allah, berbeda dengan pendapat Asy'ariyah yaitu salah satu aliran teologis, pengikut Syaikh Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ary (260-324H = 874-936M). Dan maksud penulis disini ialah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an dan Sunnah. Termasuk sifat yang ditetapkan adalah kebenaran adanya Wajah bagi Allah, mengikuti cara yang diamalkan kaum Salaf Shaleh dalam masalah ini, yaitu: mengimani kebenaran sifat-sifat Allah yang dituturkan oleh Al Qur'an dan Sunnah tanpa tahrif, ta'thil, takyif, dan tamtsil.
Adapun Asy'ariyah dalam masalah sifat yang seperti ini, sebagian mereka ada yang menta'wilkannya (menafsirinya dengan makna yang menyimpang dari makna yang sebenarnya) dengan dalih bahwa hal tersebut apabila tidak dita'wilkan bisa menimbulkan tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Syaikh Abul Hasan Al Asy'ary sendiri dalam masalah ini telah menyatakan berpegang teguh dengan madzab salaf shaleh, sebagaimana beliau nyatakan dalam kitab yang ditulis diakhir masa hidupnya, yaitu Al-Ibanah 'An Ushulid-Diyanah (editor: Abdul Qadir Al-Arna'uth, Beirut: Maktabah Dar Al-Bayan, 1401 H), bahkan dalam karyanya ini beliau mengkritik dan menyanggah tindakan ta'wil yang dilakukan orang-orang yang menyimpang dari madzhab Salaf.
13. Apabila anda memahami hadits Anas, anda akan tahu bahwa sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits 'Itban maksudnya ialah dengan tidak melakukan perbuatan syirik sedikitpun, bukan sekedar mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan saja.
14. Perhatikanlah perpaduan sebutan Hamba Allah dan Rasul-Nya dalam pribadi Nabi 'Isa dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
15. Mengetahui keistimewaan Nabi 'Isa sebagai kalimat Allah, maksudnya yaitu bahwa Nabi 'Isa diciptakan Allah dengan firman-Nya "Kun" (jadilah) yang disampaikan-Nya kepada Maryam melalui Malaikat Jibril.
16. Mengetahui bahwa Nabi 'Isa adalah ruh diantara ruh-ruh yang diciptakan-Nya.
17. Mengetahui keistimewaan iman kepada kebenaran adanya surga dan neraka.
18. Mengetahui sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "betapapun amal yang telah diperbuatnya".
19. Mengetahui bahwa timbangan mempunyai dua daun.
20. Mengetahui kebenaran adanya Wajah bagi Allah Ta'ala.
Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Saya masih menunggu Muslim yang mampu menjawab....hehehe.
oglikom- LETNAN SATU
-
Posts : 2360
Kepercayaan : Lain-lain
Location : sidoarjo
Join date : 05.10.12
Reputation : 17
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna Laa Ilaaha Illallah, dan menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah" !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. " [Luqman : 25].
Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :
"Artinya :Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) : 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3].
Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir. Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]
Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makna kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : 'Laa Ilaaha Illallah' tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya. berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).
Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu :
"Artinya : Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]
Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.
Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di akhirat !.
Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].
Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.
Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :
[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]
Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :
"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].
Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :
"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita.
Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji'ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :
Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah naungan hukum Islam.
Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan.
Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.
[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz]
"Artinya : Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. " [Luqman : 25].
Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :
"Artinya :Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) : 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3].
Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir. Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]
Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makna kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : 'Laa Ilaaha Illallah' tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya. berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).
Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu :
"Artinya : Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]
Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.
Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di akhirat !.
Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].
Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.
Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :
[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.
Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]
Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :
"Artinya : Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].
Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :
"Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita.
Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji'ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :
Artinya : Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]
Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah naungan hukum Islam.
Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan.
Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.
[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz]
voorman- SERSAN SATU
-
Posts : 155
Kepercayaan : Islam
Location : voorwagens
Join date : 23.05.13
Reputation : 8
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Setiap muslim wajib mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Seorang muslim juga mesti mengetahui pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan syarat-syaratnya supaya ia benar-benar memahami tauhid.
Kalimat tauhid bagi kaum muslimin, khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kalimat yang sudah tidak asing lagi, karena tauhid bagi mereka adalah suatu ibadah yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan yang pertama kali didakwahkan sebelum yang lainnya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul (untuk menyeru) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu mentauhidkan-Nya) dan menjauhi thaghut…” [An-Nahl: 36]
Tauhid menurut bahasa (etimologi) diambil dari kata: æóÍøóÏó¡ íõæóÍöøÏõ¡ ÊóæúÍöíúÏðÇ artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut ilmu syar’i (terminologi), tauhid berarti mengesakan Allah Azza wa Jalla terhdap sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya.
Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
[A]. Macam-Macam Tauhid
[1]. Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allah adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“... Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“...Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, kepunyaanNya-lah segala kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah, tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” [Faathir: 13]
Kaum musyrikin pun mengakui sifat Rububiyyah Allah. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
“Katakanlah (Muhammad): ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka, mereka menjawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ Maka, (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka, mengapa kamu masih berpaling (dari kebenaran)?” [Yunus: 31-32]
Firman Allah Azza wa Jalla.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Pastilah mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf: 9] [1]
Kaum musyrikin pun mengakui bahwasanya hanya Allah semata Pencipta segala sesuatu, Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi, dan Pengatur alam semesta. Namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai penolong, mereka bertawassul dengannya (berhala tersebut) dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at, sebagai-mana yang disebutkan dalam beberapa ayat.[2]
Dengan perbuatan tersebut, mereka tetap dalam keadaan musyrik, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
“Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” [Yusuf: 106]
Sebagian ulama Salaf berkata, “Jika kalian bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’ Mereka pasti menjawab, ‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain-Nya.” [3]
[2]. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya (apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat kepada Allah atas perbuatan syiriknya). (An-Nisaa: 48, 116)[4]
Al-ilaah artinya al-ma’luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullah berkata, “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allah tidak boleh disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.” [5]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Allah menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (yang menegakkan keadilan). Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengenai Laata, ‘Uzza dan Manaat yang disebut sebagai ilah (sesembahan), namun tidak diberi hak Uluhiyyah.
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk (menyembah)-nya...” [An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah l adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla.
“Demikianlah (kebesaran Allah) karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil, dan sesung-guhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'Alaihis sallam, yang berkata kepada kedua temannya di penjara:
“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang (nama-nama) itu...” [Yusuf: 39-40]
Oleh karena itu, para Rasul Alaihimus sallam menyeru kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja. [6]
”... Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada ilah yang haq selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” [Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada sesembahan-sesembahan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pengambilan sesembahan-sesembahan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan dua bukti:
Pertama.
Sesembahan-sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Namun mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), padahal mereka itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) bahaya terhadap dirinya dan tidak dapat memberi manfaat serta tidak kuasa mematikan dan menghidupkan juga tidak (pula) dapat membangkitkan.” [Al-Furqaan: 3]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai sesembahan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai suatu saham (peran) pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidaklah berguna syafa’at di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan oleh-Nya (memperoleh syafa’at)...” [Saba': 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun? Padahal berhala itu sendiri diciptakan dan (berhala itu) tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya bahkan berhala itu tidak dapat memberi pertolongan kepada dirinya sendiri.” [Al-A’raaf: 191-192]
Apabila demikian keadaan berhala-berhala itu, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadi-kan mereka sebagai ilah (sesembahan) dan tempat meminta pertolongan.
Kedua.
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah l adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu. Mereka pun mengakui bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat memberi-Nya perlindungan. Hal ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyyah (beribadah hanya kepada Allah saja).
“Wahai manusia, beribadahlah hanya kepada Rabb-mu yang telah menciptakan dirimu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Dia-lah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah: 21-22]
[3]. Tauhid Asma’ wa Shifat Allah
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanhu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu berupa Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat-Sifat Allah, baik yang terdapat di dalam Al-Qur'an maupun dalam As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’d dan Sufyan ats-Tsauri Radhiyallahu 'anhum tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:
ÃóãöÑøõæú åóÇ ßóãóÇ ÌóÇÁóÊú ÈöáÇó ßóíúÝó.
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat-Sifat Allah) seperti datangnya dan janganlah engkau persoalkan (jangan engkau tanya tentang bagaimana sifat itu).” [7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata
ÂãóäúÊõ ÈöÇááåö¡ æóÈöãóÇ ÌóÇÁó Úóäö Çááåö Úóáóì ãõÑóÇÏö Çááåö¡ æóÂãóäúÊõ ÈöÑóÓõæúáö Çááåö æóÈöãóÇ ÌóÇÁó Úóäú ÑóÓõæúáö Çááåö Úóáóì ãõÑóÇÏö ÑóÓõæúáö Çááåö.
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah.” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah adalah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk diri-Nya, tanpa tahrif[9] dan ta’thil[10] serta tanpa takyif[11] dan tamtsil[12]. Menetap-kan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuuraa: 11]
Lafazh ayat: áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóìúÁñ “Tidak ada yang sesuatu pun yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan terhadap golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat: æóåõæó ÇáÓøóãöíÚõ ÇáúÈóÕöí “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan terhadap orang-orang yang menafikan atau mengingkari Sifat-Sifat Allah.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Lihat juga QS. Al-Mu'-minuun: 84-89, lihat juga ayat-ayat lain.
[2]. Lihat QS. Yunus: 18, Az-Zumar: 3, 43-44.
[3]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha', Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40), tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[4]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan ‘Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[5]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 60), cet. Mu-assasah ar-Risalah, 1417 H.
[6]. Lihat Al-Qur-an pada surat al-A’raaf ayat 65, 73 dan 85.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930). Sanadnya shahih, lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, th. 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq: Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134).
[8]. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad Shalih bin al-‘Utsaimin (hal. 36).
[9]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[10]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur-an atau hadits Nabi j, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[11]. Takyiif adalah menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?” Atau menentukan hakikat dari Sifat Allah, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang sepertinya adalah tidak boleh bertanya tentang kaifiyat Sifat Allah karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa Jallamempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[12]. Tamtsiil sama dengan tasybiih, yaitu mempersamakan atau menyeru-pakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhluk-Nya. Lihat Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-100) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihaat al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasi-thiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’anil Wasithiyah (hal. 86-94) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz as-Salman.
Kalimat tauhid bagi kaum muslimin, khususnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kalimat yang sudah tidak asing lagi, karena tauhid bagi mereka adalah suatu ibadah yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan yang pertama kali didakwahkan sebelum yang lainnya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang Rasul (untuk menyeru) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu mentauhidkan-Nya) dan menjauhi thaghut…” [An-Nahl: 36]
Tauhid menurut bahasa (etimologi) diambil dari kata: æóÍøóÏó¡ íõæóÍöøÏõ¡ ÊóæúÍöíúÏðÇ artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut ilmu syar’i (terminologi), tauhid berarti mengesakan Allah Azza wa Jalla terhdap sesuatu yang khusus bagi-Nya, baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya.
Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
[A]. Macam-Macam Tauhid
[1]. Tauhid Rububiyyah
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allah adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“... Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” [Al-A’raaf: 54]
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“...Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabb-mu, kepunyaanNya-lah segala kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah, tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” [Faathir: 13]
Kaum musyrikin pun mengakui sifat Rububiyyah Allah. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
“Katakanlah (Muhammad): ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka, mereka menjawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ Maka, (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka, mengapa kamu masih berpaling (dari kebenaran)?” [Yunus: 31-32]
Firman Allah Azza wa Jalla.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Pastilah mereka akan menjawab, ‘Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Mahamengetahui.’” [Az-Zukhruuf: 9] [1]
Kaum musyrikin pun mengakui bahwasanya hanya Allah semata Pencipta segala sesuatu, Pemberi rizki, Pemilik langit dan bumi, dan Pengatur alam semesta. Namun mereka juga menetapkan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai penolong, mereka bertawassul dengannya (berhala tersebut) dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa’at, sebagai-mana yang disebutkan dalam beberapa ayat.[2]
Dengan perbuatan tersebut, mereka tetap dalam keadaan musyrik, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
“Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain).” [Yusuf: 106]
Sebagian ulama Salaf berkata, “Jika kalian bertanya kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’ Mereka pasti menjawab, ‘Allah.’ Walaupun demikian mereka tetap saja menyembah kepada selain-Nya.” [3]
[2]. Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’aanah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah.
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa pun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada Syirkun Akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya (apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat kepada Allah atas perbuatan syiriknya). (An-Nisaa: 48, 116)[4]
Al-ilaah artinya al-ma’luuh, yaitu sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Dan Rabb-mu adalah Allah Yang Maha Esa, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 163]
Syaikh al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullah berkata, “Bahwasanya Allah itu tunggal Dzat-Nya, Nama-Nama, Sifat-Sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allah. Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allah tidak boleh disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.” [5]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Allah menyatakan bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (yang menegakkan keadilan). Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Mahabijaksana.” [Ali ‘Imran: 18]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengenai Laata, ‘Uzza dan Manaat yang disebut sebagai ilah (sesembahan), namun tidak diberi hak Uluhiyyah.
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya, Allah tidak menurunkan satu keterangan pun untuk (menyembah)-nya...” [An-Najm: 23]
Setiap sesuatu yang disembah selain Allah l adalah bathil, dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla.
“Demikianlah (kebesaran Allah) karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil, dan sesung-guhnya Allah, Dia-lah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” [Al-Hajj: 62]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang Nabi Yusuf 'Alaihis sallam, yang berkata kepada kedua temannya di penjara:
“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang (nama-nama) itu...” [Yusuf: 39-40]
Oleh karena itu, para Rasul Alaihimus sallam menyeru kepada kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah saja. [6]
”... Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada ilah yang haq selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” [Al-Mukminuun: 32]
Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada sesembahan-sesembahan itu dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pengambilan sesembahan-sesembahan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan dua bukti:
Pertama.
Sesembahan-sesembahan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan Uluhiyyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberi manfaat, tidak dapat menolak bahaya, tidak dapat menghidupkan dan mematikan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Namun mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia (untuk disembah), padahal mereka itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) bahaya terhadap dirinya dan tidak dapat memberi manfaat serta tidak kuasa mematikan dan menghidupkan juga tidak (pula) dapat membangkitkan.” [Al-Furqaan: 3]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Serulah mereka yang kalian anggap (sebagai sesembahan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai suatu saham (peran) pun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidaklah berguna syafa’at di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan oleh-Nya (memperoleh syafa’at)...” [Saba': 22-23]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Mengapa mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu (berhala) yang tidak dapat menciptakan sesuatu apa pun? Padahal berhala itu sendiri diciptakan dan (berhala itu) tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya bahkan berhala itu tidak dapat memberi pertolongan kepada dirinya sendiri.” [Al-A’raaf: 191-192]
Apabila demikian keadaan berhala-berhala itu, maka sungguh sangat bodoh, bathil dan zhalim apabila menjadi-kan mereka sebagai ilah (sesembahan) dan tempat meminta pertolongan.
Kedua.
Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah l adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu. Mereka pun mengakui bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat memberi-Nya perlindungan. Hal ini mengharuskan pengesaan Uluhiyyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan Rububiyyah (ketuhanan) Allah. Tauhid Rububiyyah mengharuskan adanya konsekuensi untuk melaksanakan Tauhid Uluhiyyah (beribadah hanya kepada Allah saja).
“Wahai manusia, beribadahlah hanya kepada Rabb-mu yang telah menciptakan dirimu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Dia-lah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah: 21-22]
[3]. Tauhid Asma’ wa Shifat Allah
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah Subhanhu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tetapkan atas diri-Nya, baik itu berupa Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat-Sifat Allah, baik yang terdapat di dalam Al-Qur'an maupun dalam As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’d dan Sufyan ats-Tsauri Radhiyallahu 'anhum tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:
ÃóãöÑøõæú åóÇ ßóãóÇ ÌóÇÁóÊú ÈöáÇó ßóíúÝó.
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat-Sifat Allah) seperti datangnya dan janganlah engkau persoalkan (jangan engkau tanya tentang bagaimana sifat itu).” [7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata
ÂãóäúÊõ ÈöÇááåö¡ æóÈöãóÇ ÌóÇÁó Úóäö Çááåö Úóáóì ãõÑóÇÏö Çááåö¡ æóÂãóäúÊõ ÈöÑóÓõæúáö Çááåö æóÈöãóÇ ÌóÇÁó Úóäú ÑóÓõæúáö Çááåö Úóáóì ãõÑóÇÏö ÑóÓõæúáö Çááåö.
“Aku beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang datang dari Allah sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah, dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada apa-apa yang datang dari beliau, sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah.” [8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah adalah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang Allah telah tetapkan atas diri-Nya dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk diri-Nya, tanpa tahrif[9] dan ta’thil[10] serta tanpa takyif[11] dan tamtsil[12]. Menetap-kan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuuraa: 11]
Lafazh ayat: áóíúÓó ßóãöËúáöåö ÔóìúÁñ “Tidak ada yang sesuatu pun yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan terhadap golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sifat makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat: æóåõæó ÇáÓøóãöíÚõ ÇáúÈóÕöí “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan terhadap orang-orang yang menafikan atau mengingkari Sifat-Sifat Allah.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Lihat juga QS. Al-Mu'-minuun: 84-89, lihat juga ayat-ayat lain.
[2]. Lihat QS. Yunus: 18, Az-Zumar: 3, 43-44.
[3]. Disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha', Ikrimah, asy-Sya’bi, Qatadah dan lainnya. Lihat Fat-hul Majiid Syarh Kitabit Tauhiid (hal. 39-40), tahqiq: Dr. Walid bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Furaiyan.
[4]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah dan ‘Aqidatut Tauhiid (hal. 36) oleh Dr. Shalih al-Fauzan, Fat-hul Majiid Syarah Kitabut Tauhiid dan al-Ushuul ats-Tsalaatsah (Tiga Landasan Utama).
[5]. Lihat Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hal. 60), cet. Mu-assasah ar-Risalah, 1417 H.
[6]. Lihat Al-Qur-an pada surat al-A’raaf ayat 65, 73 dan 85.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Laalikai (no. 930). Sanadnya shahih, lihat Fatwa Hamawiyah Kubra (hal. 303, cet. I, th. 1419 H) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq: Hamd bin ‘Abdil Muhsin at-Tuwaijiry, Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyil Ghaffar (hal. 142 no. 134).
[8]. Lihat Lum’atul I’tiqaad oleh Imam Ibnul Qudamah al-Maqdisy, syarah oleh Syaikh Muhammad Shalih bin al-‘Utsaimin (hal. 36).
[9]. Tahrif atau ta’wil yaitu merubah lafazh Nama dan Sifat, atau merubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna yang sebenarnya.
[10]. Ta’thil yaitu menghilangkan dan menafikan Sifat-Sifat Allah atau mengingkari seluruh atau sebagian Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Perbedaan antara tahrif dan ta’thil ialah, bahwa ta’thil itu mengingkari atau menafikan makna yang sebenarnya yang dikandung oleh suatu nash dari al-Qur-an atau hadits Nabi j, sedangkan tahrif ialah, merubah lafazh atau makna, dari makna yang sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut.
[11]. Takyiif adalah menerangkan keadaan yang ada padanya sifat atau mempertanyakan: “Bagaimana Sifat Allah itu?” Atau menentukan hakikat dari Sifat Allah, seperti menanyakan: “Bagaimana Allah bersemayam?” Dan yang sepertinya adalah tidak boleh bertanya tentang kaifiyat Sifat Allah karena berbicara tentang sifat sama juga berbicara tentang dzat. Sebagaimana Allah Azza wa Jallamempunyai Dzat yang kita tidak mengetahui kaifiyatnya. Dan hanya Allah yang mengetahui dan kita wajib mengimani tentang hakikat maknanya.
[12]. Tamtsiil sama dengan tasybiih, yaitu mempersamakan atau menyeru-pakan Sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhluk-Nya. Lihat Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (I/86-100) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarah al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal 66-69) oleh Syaikh Muhammad Khalil Hirras, tahqiq ‘Alawiy as-Saqqaf, at-Tanbiihaat al-Lathiifah ‘ala Mahtawat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waasi-thiyyah (hal 15-18) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, tahqiq Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, al-Kawaasyif al-Jaliyyah ‘an Ma’anil Wasithiyah (hal. 86-94) oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz as-Salman.
voorman- SERSAN SATU
-
Posts : 155
Kepercayaan : Islam
Location : voorwagens
Join date : 23.05.13
Reputation : 8
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada cahaya iman, dien yang lurus yaitu agama Islam melalui hamba pilihan-Nya Muhammad saw. Dan yang telah meneguhkan hati para hambanya yang teguh dalam memegang akidah yang lurus. Selawat dan salam teriring kepada teladan kita Rasulullah Muhammad saw, Nabi yang terakhir, juga kepada para keluarga dan para sahabatnya serta kaum muslimin/muslimat yang teguh mengikuti ajaran dan akidahnya sampai akhir jaman, amin.
Urgensi tauhid dalam kehidupan muslim sangat besar pengaruhnya, sebagai dasar utama yang dibangun di atasnya seluruh ajaran Islam.
Periode dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. di Makkah menegaskan betapa tauhid sangat urgen pengaruhnya. Ayat-ayat Alquran yang diturunkan Allah pada fase itu fokus utamanya berbicara tentang tauhid.
Generasi sahabat, mereka yang dibina Rasulullah saw. adalah manusia-manusia yang bertauhid, yang tidak dijumpai di permukaan bumi ini sebelum dan sesudahnya.
Tauhid mampu merubah manusia menjadi manusia yang perilakunya sesuai dengan keinginan Allah SWT. Mungkinkah kita menjadi orang yang bertauhid seperti yang diinginkan? Dengan berdoa dan memohon taufik dari-Nya Insya Allah kita bisa mencapai ke arah itu minimal pemahaman tauhid kita tidak melenceng dari rambu-rambu yang ditetapkan Allah.
Semua itu memerlukan pemahaman yang benar akan tauhid dari sumbernya yang autentik yaitu Alquran dan Sunah serta kitab-kitab tauhid yang diakui keabsahannya oleh ulama-ulama Islam dahulu dan sekarang.
Untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari sumber ilmu yang autentik, maka perlu merujuk kepada pehamaman generasi teladan umat yaitu generasi salaf. Kelurusan dan keteladanannya dalam beragama dan beraqidah tidak diragukan lagi karena mereka mewarisi apa yang telah diajarkan Rasulullah saw.
Allah SWT telah memberikan penilaian terhadap generasi tersebut akan keteladanan dan keutamaannya dari umat-umat atau generasi-generasi lainnya. Allah SWT telah berfirman,
"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf (baik)dan mencegah kepada yang mungkar (jahat) dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110).
Demikian juga sabda Rasulullah saw,
"Sebaik-baik generasi ialah generasiku (generasi yang sejaman dengan Rasulullah saw yang dalam hal ini adalah sahabat ra), kemudian generasi sesudah mereka (generasi yang belajar Islam dari sahabat Nabi, dalam hal ini disebut generasi tabi'in), kemudian generasi yang sesudah mereka (generasi yang belajar Islam dari tabi'in, dalam hal ini disebut generasi tabi'it tabi'in) kemudian setelah itu datang pula kaum-kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya (yakni sudah banyak orang yang tidak bisa dipercaya sehingga memberi persakssian dan sumpah tanpa diminta dan persaksian serta sumpahnya itu palsu)." (HR Bukhari).
Jadi generasi umat yang dapat dijadikan suri tauladan adalah tiga generasi semenjak generasi Rasulullah saw sampai generasi tabi'it tabiin, yaitu:
Generasi sejaman dengan Rasulullah saw: sahabat ra (generasi ayah).
Generasi sesudah mereka: tabi'in (generasi anak).
Generasi yang sesudah mereka : tabi'it tabi'in (generasi cucu), sampai abad ke-3 H.
Inilah tiga generasi pertama umat Islam, generasi yang terpercaya dalam menyampaikan agama Allah SWT. Kepada merekalah kita merujuk segala pemahaman agama Islam ini yang benar dan lurus, melalui merekalah kita mengambil ilmu syariat agama ini yang telah Rasulullah saw ajarkan dan mereka ini adalah generasi yang menumbuhkan sunnah-sunnah Rasulullah saw.
Banyak sekali sumber-sumber rujukan ilmu agama yang telah diwariskan oleh generasi kaum salaf. Dan juga generasi sesudahnya yang mengikuti jejaknya yang lurus dan dapat dipercaya.
Akan tetapi di antara pemahaman yang lurus itu telah muncul pula pemahaman yang menyimpang yang menyebabkan umat Islam ini berpecah-pecah atau bergolong-golongan. Masing-masing dari golongan yang telah menyimpang itu juga mengklaim bahwa golongan sendirilah yang pemahamannya benar sedangkan yang lain salah. Maka benarlah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw,
"Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Ditanyakan kepada beliau: "Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku." (HR Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Darami, dan -Hakim).
Dengan memahami persoalan tersebut di atas, maka kita sadar bahwa setiap Muslim perlu mencari dan mendapatkan pemahaman agama yang banar dan lurus yang tidak dibelokkan oleh kaum yang bodoh dan menuruti hawa nafsunya serta kepentingan kelompoknya. Hanya atas petunjuk dan pertolongan Allah sajalah kita dapat mengikuti jejak Rasulullah saw di dalam beribadah kepada-Nya.
Maka dengan mengharap pertolongan, petunjuk, taufik dan hidayah-Nya di dalam rubrik "TAUHID" ini, www.alislam.or.id berusaha menyajikan kepada pemahaman yang lurus sesuai dengan pemahaman salafussalih dari umat ini.
I. MUKADIMAH TAUHID
A. Tauhid Merupakan Dakwah Semua Rasul
Bahwa semua rasul yang diutus kepada umat manusia mempunyai kesamaan tujuan adalah sebuah aksioma yang mesti diketahui setiap Muslim. Hal itu dijelaskan dengan rinci oleh Allah SWT dalam firmannya di beberapa tempat dalam Alquran.
Firman Allah tentang rasul pertama, Nuh as,
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkat: 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selan-Nya. Sesungguhnya kalau kamu tidak menyembah Allah aku takut kamu akan di timpa azab hari yang besar (kiamat)." (Al-A'raf: 59)
Firman Allah menjelaskan tentang perkataan Hud as kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada 'Ad saudara mereka Hud, ia berkata: 'Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadanya." (Al-A'raf: 65)
Firman Allah tentang perkataan Saleh as kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata: 'Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selan-Nya." (Al-A'raf: 73)
Firman Allah tentang perkataan Su'aib kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada penduduk Madyan saudara mereka, Su'aib. Ia berkata, 'Hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya." (Al-A'raf: 85)
Penjelasan Allah tentang diutusnya setiap rasul
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu." (An-Nahl: 36)
Penjelasan Allah tentang rasul-rasul sebelum Muhammad
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang Haq) melainkan Aku, maka sembahlah oleh mu sekalian akan Aku." (Al-Anbiya: 25)
Penegasan Rasulullah saw tentang tauhid
"Saya diperintahkan untuk memerangi manusia, sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan yang Haq disembah selain Allah SWT dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah." (HR Bukhrai, Muslim).
Dari uraian di atas maka kewajiban seorang Muslim yang pertama dan utama adalah menauhidkan Allah SWT dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusannya, dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang dicakup oleh kalimat sahadatain itu.
B. Macam-Macam Tauhid
Tauhid terbagi menjadi tiga macam:
Tauhid Rububiyah
Tauhid Uluhiyah
Tauhid Asma dan Sifat
C. Urgensi Tauhid dan Korelasinya dalam Menghapus Dosa
Firman Allah:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman (sirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-Anfal: 82)
Abdullah ra ia berkata, "Ketika ayat ini turun kami berkata kepada Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak menzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukanlah maksudnya seperti yang kalian katakan (firman Allah: 'Yang tidak mencampuradukan iman mereka') maksudnya adalah syirik, tidakkah kalian mendengar perkataan Lukman kepada anaknya: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar." (HR Bukhari, Muslim)
Dari Ubadah bin Shamit ra ia berkata Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah tiada sekutu baginya dan Muhammad adalah hamba dan Rasulnya, dan bahwa Isa as adalah hamba Allah dan Rasulnya, ia adalah kalimat-Nya yang dianugerahkan kepada Maryam sebagai ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga dan neraka adalah kebenaran yang haq, maka Allah akan memasukkannya kedalam surga dengan amalan apapun yang pernah ia kerjakan." (HR Bukhari, Muslim)
Hadits Itban ra meriwayatkan bahwa Allah mengharamkan neraka terhadap orang yang berkata, "Tiada Tuhan selain Allah dengan tujuan ikhlas karena Allah." (HR Bukari, Muslim)
Hadis-hadis di atas juga yang semisal dengannya menjelaskan keutamaan kalimat tauhid, tidaklah hanya sebatas ucapan yang dilafalkan mulut semata, namun ia memerlukan konsekwensi dari orang yang mengucapkannya. Karena tidaklah kaum Musrikin Quraisy dahulu tidak bisa melafalkannya tetapi mereka mengetahui konsekwensi jika mereka mengucapkan kalimat itu, tentunya hidahyah dan taufik Allah juga tidak masuk kepada mereka.
D. Tanya Jawab
a. Tanya: Apakah macam-macam tauhid dan jelaskan definisinya?
Jawab: Macam-macam tauhid ada tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat.
Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan yang semacamnya seperti mengelola apa yang ada di langit dan di bumi. Serta mengesakan Allah dalam menentukan hukum dan perundang-undangan dengan mengutus Rasul dan menurunkan kitab.
Firman Allah:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakannya pula matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam." (Al-A'raf: 54)
Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah dalam beribadah hanya kepadanya, tidak menyembah selai-Nya, tidak berdo'a kecuali kepadanya, tidak memohon pertolongan kecuali kepadanya, tidak bernadzar atau menyembelih binatang kecuali bagi-Nya.
Firman Allah:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah." (Al-An'am: 162-163)
Tauhid Asma wa Sifat adalah mensifatkan Allah dan menamakan-Nya sesuai dengan apa yang disifatkan dan dinamakan oleh Allah sendiri dan sesuai dengan apa yang disifatkan dan dinamakan oleh Rasulullah saw kepada-Nya, dalam hadis-hadis sahih dan menetapkan bagi-Nya tanpa menyerupakan, mempermisalkan dan tanpa mentakwilkannya.
Firman Allah:
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." ( Asy-Syuura: 11)
Urgensi tauhid dalam kehidupan muslim sangat besar pengaruhnya, sebagai dasar utama yang dibangun di atasnya seluruh ajaran Islam.
Periode dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. di Makkah menegaskan betapa tauhid sangat urgen pengaruhnya. Ayat-ayat Alquran yang diturunkan Allah pada fase itu fokus utamanya berbicara tentang tauhid.
Generasi sahabat, mereka yang dibina Rasulullah saw. adalah manusia-manusia yang bertauhid, yang tidak dijumpai di permukaan bumi ini sebelum dan sesudahnya.
Tauhid mampu merubah manusia menjadi manusia yang perilakunya sesuai dengan keinginan Allah SWT. Mungkinkah kita menjadi orang yang bertauhid seperti yang diinginkan? Dengan berdoa dan memohon taufik dari-Nya Insya Allah kita bisa mencapai ke arah itu minimal pemahaman tauhid kita tidak melenceng dari rambu-rambu yang ditetapkan Allah.
Semua itu memerlukan pemahaman yang benar akan tauhid dari sumbernya yang autentik yaitu Alquran dan Sunah serta kitab-kitab tauhid yang diakui keabsahannya oleh ulama-ulama Islam dahulu dan sekarang.
Untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari sumber ilmu yang autentik, maka perlu merujuk kepada pehamaman generasi teladan umat yaitu generasi salaf. Kelurusan dan keteladanannya dalam beragama dan beraqidah tidak diragukan lagi karena mereka mewarisi apa yang telah diajarkan Rasulullah saw.
Allah SWT telah memberikan penilaian terhadap generasi tersebut akan keteladanan dan keutamaannya dari umat-umat atau generasi-generasi lainnya. Allah SWT telah berfirman,
"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf (baik)dan mencegah kepada yang mungkar (jahat) dan beriman kepada Allah." (Ali Imran: 110).
Demikian juga sabda Rasulullah saw,
"Sebaik-baik generasi ialah generasiku (generasi yang sejaman dengan Rasulullah saw yang dalam hal ini adalah sahabat ra), kemudian generasi sesudah mereka (generasi yang belajar Islam dari sahabat Nabi, dalam hal ini disebut generasi tabi'in), kemudian generasi yang sesudah mereka (generasi yang belajar Islam dari tabi'in, dalam hal ini disebut generasi tabi'it tabi'in) kemudian setelah itu datang pula kaum-kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya (yakni sudah banyak orang yang tidak bisa dipercaya sehingga memberi persakssian dan sumpah tanpa diminta dan persaksian serta sumpahnya itu palsu)." (HR Bukhari).
Jadi generasi umat yang dapat dijadikan suri tauladan adalah tiga generasi semenjak generasi Rasulullah saw sampai generasi tabi'it tabiin, yaitu:
Generasi sejaman dengan Rasulullah saw: sahabat ra (generasi ayah).
Generasi sesudah mereka: tabi'in (generasi anak).
Generasi yang sesudah mereka : tabi'it tabi'in (generasi cucu), sampai abad ke-3 H.
Inilah tiga generasi pertama umat Islam, generasi yang terpercaya dalam menyampaikan agama Allah SWT. Kepada merekalah kita merujuk segala pemahaman agama Islam ini yang benar dan lurus, melalui merekalah kita mengambil ilmu syariat agama ini yang telah Rasulullah saw ajarkan dan mereka ini adalah generasi yang menumbuhkan sunnah-sunnah Rasulullah saw.
Banyak sekali sumber-sumber rujukan ilmu agama yang telah diwariskan oleh generasi kaum salaf. Dan juga generasi sesudahnya yang mengikuti jejaknya yang lurus dan dapat dipercaya.
Akan tetapi di antara pemahaman yang lurus itu telah muncul pula pemahaman yang menyimpang yang menyebabkan umat Islam ini berpecah-pecah atau bergolong-golongan. Masing-masing dari golongan yang telah menyimpang itu juga mengklaim bahwa golongan sendirilah yang pemahamannya benar sedangkan yang lain salah. Maka benarlah apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw,
"Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan." Ditanyakan kepada beliau: "Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab: "Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku." (HR Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Darami, dan -Hakim).
Dengan memahami persoalan tersebut di atas, maka kita sadar bahwa setiap Muslim perlu mencari dan mendapatkan pemahaman agama yang banar dan lurus yang tidak dibelokkan oleh kaum yang bodoh dan menuruti hawa nafsunya serta kepentingan kelompoknya. Hanya atas petunjuk dan pertolongan Allah sajalah kita dapat mengikuti jejak Rasulullah saw di dalam beribadah kepada-Nya.
Maka dengan mengharap pertolongan, petunjuk, taufik dan hidayah-Nya di dalam rubrik "TAUHID" ini, www.alislam.or.id berusaha menyajikan kepada pemahaman yang lurus sesuai dengan pemahaman salafussalih dari umat ini.
I. MUKADIMAH TAUHID
A. Tauhid Merupakan Dakwah Semua Rasul
Bahwa semua rasul yang diutus kepada umat manusia mempunyai kesamaan tujuan adalah sebuah aksioma yang mesti diketahui setiap Muslim. Hal itu dijelaskan dengan rinci oleh Allah SWT dalam firmannya di beberapa tempat dalam Alquran.
Firman Allah tentang rasul pertama, Nuh as,
"Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkat: 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selan-Nya. Sesungguhnya kalau kamu tidak menyembah Allah aku takut kamu akan di timpa azab hari yang besar (kiamat)." (Al-A'raf: 59)
Firman Allah menjelaskan tentang perkataan Hud as kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada 'Ad saudara mereka Hud, ia berkata: 'Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadanya." (Al-A'raf: 65)
Firman Allah tentang perkataan Saleh as kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata: 'Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selan-Nya." (Al-A'raf: 73)
Firman Allah tentang perkataan Su'aib kepada kaumnya,
"Dan Kami telah mengutus kepada penduduk Madyan saudara mereka, Su'aib. Ia berkata, 'Hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya." (Al-A'raf: 85)
Penjelasan Allah tentang diutusnya setiap rasul
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): 'Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu." (An-Nahl: 36)
Penjelasan Allah tentang rasul-rasul sebelum Muhammad
"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang Haq) melainkan Aku, maka sembahlah oleh mu sekalian akan Aku." (Al-Anbiya: 25)
Penegasan Rasulullah saw tentang tauhid
"Saya diperintahkan untuk memerangi manusia, sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan yang Haq disembah selain Allah SWT dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah." (HR Bukhrai, Muslim).
Dari uraian di atas maka kewajiban seorang Muslim yang pertama dan utama adalah menauhidkan Allah SWT dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusannya, dengan menunaikan kewajiban-kewajiban yang dicakup oleh kalimat sahadatain itu.
B. Macam-Macam Tauhid
Tauhid terbagi menjadi tiga macam:
Tauhid Rububiyah
Tauhid Uluhiyah
Tauhid Asma dan Sifat
C. Urgensi Tauhid dan Korelasinya dalam Menghapus Dosa
Firman Allah:
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezaliman (sirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al-Anfal: 82)
Abdullah ra ia berkata, "Ketika ayat ini turun kami berkata kepada Rasulullah saw, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak menzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukanlah maksudnya seperti yang kalian katakan (firman Allah: 'Yang tidak mencampuradukan iman mereka') maksudnya adalah syirik, tidakkah kalian mendengar perkataan Lukman kepada anaknya: 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar." (HR Bukhari, Muslim)
Dari Ubadah bin Shamit ra ia berkata Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah tiada sekutu baginya dan Muhammad adalah hamba dan Rasulnya, dan bahwa Isa as adalah hamba Allah dan Rasulnya, ia adalah kalimat-Nya yang dianugerahkan kepada Maryam sebagai ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga dan neraka adalah kebenaran yang haq, maka Allah akan memasukkannya kedalam surga dengan amalan apapun yang pernah ia kerjakan." (HR Bukhari, Muslim)
Hadits Itban ra meriwayatkan bahwa Allah mengharamkan neraka terhadap orang yang berkata, "Tiada Tuhan selain Allah dengan tujuan ikhlas karena Allah." (HR Bukari, Muslim)
Hadis-hadis di atas juga yang semisal dengannya menjelaskan keutamaan kalimat tauhid, tidaklah hanya sebatas ucapan yang dilafalkan mulut semata, namun ia memerlukan konsekwensi dari orang yang mengucapkannya. Karena tidaklah kaum Musrikin Quraisy dahulu tidak bisa melafalkannya tetapi mereka mengetahui konsekwensi jika mereka mengucapkan kalimat itu, tentunya hidahyah dan taufik Allah juga tidak masuk kepada mereka.
D. Tanya Jawab
a. Tanya: Apakah macam-macam tauhid dan jelaskan definisinya?
Jawab: Macam-macam tauhid ada tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat.
Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal mencipta, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan dan yang semacamnya seperti mengelola apa yang ada di langit dan di bumi. Serta mengesakan Allah dalam menentukan hukum dan perundang-undangan dengan mengutus Rasul dan menurunkan kitab.
Firman Allah:
"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan diciptakannya pula matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam." (Al-A'raf: 54)
Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah dalam beribadah hanya kepadanya, tidak menyembah selai-Nya, tidak berdo'a kecuali kepadanya, tidak memohon pertolongan kecuali kepadanya, tidak bernadzar atau menyembelih binatang kecuali bagi-Nya.
Firman Allah:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah." (Al-An'am: 162-163)
Tauhid Asma wa Sifat adalah mensifatkan Allah dan menamakan-Nya sesuai dengan apa yang disifatkan dan dinamakan oleh Allah sendiri dan sesuai dengan apa yang disifatkan dan dinamakan oleh Rasulullah saw kepada-Nya, dalam hadis-hadis sahih dan menetapkan bagi-Nya tanpa menyerupakan, mempermisalkan dan tanpa mentakwilkannya.
Firman Allah:
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." ( Asy-Syuura: 11)
voorman- SERSAN SATU
-
Posts : 155
Kepercayaan : Islam
Location : voorwagens
Join date : 23.05.13
Reputation : 8
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Sesungguhnya Tauhid itu adalah kewajiban pertama yang diserukan oleh para rasul, yang merupakan pondasi da'wah mereka, Allah swt berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah taghut (An-Nahl:36). Artikel ini membahas tentang: Syarat-syarat Tauhid, Hal-hal yang bisa merusak Tauhid dan Sekilas tentang Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah saw.
Akhi Fillah! Kepadamu aku persembahkan kalimat-kalimat singkat ini yang membahas masalah keutamaan Tauhid dan peringatan dari hal-hal yang membatalkannya, seperti berbagai macam perbuatan syirik dan bid'ah, baik yang besar maupun yang kecil.
Sesungguhnya Tauhid itu adalah kewajiban pertama yang diserukan oleh para rasul, yang merupakan pondasi da'wah mereka, Allah swt berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah taghut (An-Nahl:36)
Dan tauhid itu adalah merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-Nya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Mu'adz ra berkata: Rasulullah saw bersabda:'Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain'
Maka barangsiapa yang mengamalkan tauhid akan masuk surga, dan barangsiapa yang mengamalkan dan menyakini hal-hal yang bertentangan dengannya, maka ia termasuk penghuni neraka. Dan karena tauhid itu pulalah para rasul diperintahkan untuk memerangi kaumnya hingga mereka meyakininya, sebagaimana sabda Rasulullah saw: Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah.[H.R. Bukhari-Muslim]
Merealisasikan (mewujudkan) tauhid adalah jalan menuju kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, sedang melakukan hal-hal yang bertentangan dengannya adalah jalan menuju kepada kesengsaraan. Mengamalkan tauhid adalah jalan untuk menyatukan barisan dan kalimat umat, sedang kesalahan dalam tauhid adalah penyebab perpecahan dan terceraiberainya umat ini.
Ketahuilah wahai akhi fillah- semoga Allah merahmati kita semua- bahwa sesungguhnya tidak semua orang yang mengucapkan laa ilaha illallah termasuk ahli tauhid hingga terpenuhinya syarat-syarat tauhid yang tujuh itu, seperti yang disebutkan oleh ulama, yaitu:
1. Mengetahui makna dan maksudnya, dengan kedua dimensinya, baik dari segi peniadaan (laa ilaha) tiada tuhan maupun dari segi penetapan (illallah) kecuali Allah, jadi tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah swt.
2. Meyakini kandungannya dengan keyakinan yang kuat
3. Menerima apa yang dimaksudkan oleh kalimat ini dengan hati dan lisan
4. Tunduk kepada kandungannya
5. Jujur, yaitu ia menyibukkan dengan lisan yang dibenarkan oleh hatinya
6. Ikhlas yang tidak dicampuri oleh perasaan riya
7. Mencintai kalimat ini dengan segala kandungannya
Wahai saudara-saudaraku yang saya cintai karena Allah!. Sebagaimana kita wajib untuk mengamalkan tauhid dengan memenuhi syarat-syarat laa ilaha illallah maka kitapun diwajibkan untuk menghindari dan mencegah diri dari perbuatan syirik dengan segala bentuk, pintu dan tempat masuknya, baik syirik yang besar maupun syirik yang kecil, karena sebesar-besar kezaliman adalah syirik kepada Allah, dimana Allah swt mengampuni dosa-dosa hamba-Nya kecuali perbuatan syirik itu. Dan barangsiapa yang terperosok ke dalamnya maka Allah swt mengharamkan surga baginya dan nerakalah tempat kembalinya. Allah swt berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisaa':48)
Kepadamu wahai akhi fillah! saya persembahkan beberapa hal yang membatalkan dan merusak tauhid, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama agar kita dapat menghindarinya, diantaranya adalah:
1. Memakai kalung atau benang (yang diikatkan di leher atau di tangan) dari apapun jenisnya, seperti kuningan , besi ataupun kulit dengan maksud mengangkat(menghilangkan) dan menolak bencana karena hal ini termasuk perbuatan syirik.
2. Menggunakan Ruqyah Bid'ah (pengobatan dengan membaca mantra) dan Tamimah (jimat). Ruqyah bid'ah yang dimaksud adalah yang mengandung coretan-coretan, gambar-gambar dan perkataan-perkataan yang tidak dimengerti serta meminta pertolongan kepada jin dalam mendeteksi suatu penyakit atau melepaskan diri dari sihir. Sedang yang dimaksud dengan Tamimah adalah apa-apa yang dikalungkan pada manusia atau hewan yang terbuat dari benang atau ikatan lainnya, baik yang tertulis dengan ucapan bid'ah yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah, ataupun yang bersumber dari keduanya-berdasarkan pendapat yang rajih (kuat)- karena ini termasuk hal yang melahirkan perbuatan syirik.
Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Ruqyah-yang mengandung syirik-, Tamimah, dan Tiwalah (sesuatu yang dibuat agar suami mencintai istrinya atau sebaliknya) adalah perbuatan syirik [H.R Ahmad dan Abu Daud]
Termasuk perbuatan ini adalah menggantungkan selembar kertas, sepotong logam kuningan atau besi di dalam mobil yang diatasnya tertulis 'Lafdhul Jalala' (Allah) atau ayat kursyi atau meletakkan mushaf Al-Qur'an di dalam mobil dengan keyakinan bahwa itu semua dapat menjaga dan mencegahnya dari kejelekan seperti mata yang mengandung sihir dan sejenisnya. Termasuk pula memasang sepotong kertas atau logam yang berbentuk telapak tangan atau terdapat gambar mata. Tidak boleh memasang itu semua dengan keyakinan dapat mencegah dari pandangan mata yang mengandung sihir.
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menggantungkan dirinya pada sesuatu maka Allah akan membuatnya tetap bergantung padanya. [H.R Ahmad, Tirmidzi dan Hakim]
3. Termasuk diantara yang membatalkan tauhid adalah mencari berkah pada orang-orang tertentu dengan menyentuh dan meminta berkahnya, atau mencari berkah pada pohon-pohon, batu-batu dan lain-lain, bahkan kepada Ka'bahpun tidak boleh disentuh dengan tujuan mencari dan mengambil berkahnya, Umar ra ketika mencium Hajar Aswad berkata: Sesungguhnya saya tahu bahwa kamu adalah batu yang tidak mendatangkan mudharat dan manfaat, seandainya saya tidak melihat Rasulullah saw menciummu, saya tidak akan menciummu.
4. Diantara yang membatalkan tauhid adalah menyembelih hewan bukan karena Allah, seperti untuk para wali, setan-setan, jin dengan tujuan mengambil manfaat dan mencegah kejahatan mereka, perbuatan ini termasuk syirik paling besar. Dan sebagaimana kita dilarang menyembelih untuk selain Allah, maka kitapun dilarang meyembelih pada tempat-tempat penyembelihan yang biasa digunakan menyembelih hewan untuk selain Allah, walaupun orang tersebut menyembelih dengan niat untuk Allah swt, dengan maksud mencegah seseorang terperosok ke dalam perbuatan syirik.
5. Termasuk pula, bernadzar untuk selain Allah, karena nadzar itu adalah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah swt
6. Termasuk diantaranya adalah meminta pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah swt. Rasulullah saw bersabda kepada Ibnu Abbas ra: Bila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan bila engkau memohon sesuatu, maka mohonlah kepada Allah. Oleh karena itu kita dilarang memohon kepada Jin.
7. Diantara yang menafikan (membatalkan) tauhid adalah sifat Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap para wali dan orang-orang shaleh dan mengangkat mereka melebihi kedudukannya, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memuliakan atau mengangkat mereka sederajat dengan kedudukan para rasul, atau menganggap mereka sebagai orang-orang yang ma'sum (terbebas dari dosa)
8. Diantara yang merusak tauhid adalah thawaf di (sekeliling) kuburan, ini termasuk perbuatan syirik. Kita dilarang shalat di kuburan karena dapat menggiring seseorang kepada perbuatan syirik, maka bagaimana pula kita shalat dan beribadah kepadanya? Na'udzu billah.
9. Untuk menjaga tauhid, kita dilarang membangun sesuatu diatas kuburan atau membuat kubah dan masjid, serta dilarang meninggikan (tanah kuburan) nya.
10. Diantara yang merusak tauhid adalah sihir, mendatangi tukang sihir, dukun, ahli nujum dan sebagainya. Jadi tukang sihir itu adalah orang yang kafir, tidak boleh mendatangi, bertanya dan membenarkannya, walaupun mereka mengaku sebagai wali, syaikh dan sebagainya
11. Termasuk yang membatalkan tauhid adalah Thiyarah yaitu perasaan pesimis (karena melihat suatu jenis burung tertentu) kepada hari, bulan, atau orang tertentu. Ini semua dilarang, karena Thiyarah adalah sesuatu yang dilarang, sebagaimana disebutkan di dalam salah satu hadits.
12. Termasuk yang merusak tauhid adalah mengandalkan dan bergantung kepada-sesuatu-sebab (perantara) seperti dokter, pengobatan, jabatan, dan sebagainya dan tidak bertawakkal kepada Allah SWT. Dan yang diperintahkan adalah mencari perantara itu seperti mencari penyembuhan dan rejeki tetapi dengan tetap menggantungkan hati (tawakkal) kepada Allah SWT semata, tidak kepada perantara tersebut.
13. Termasuk yang menafikkan tauhid adalah ilmu nujum atau memanfaatkan bintang pada sesuatu yang tidak diciptakan untuk itu. Maka kita dilarang untuk menggunakan bintang untuk mengetahui atau meramal kejadian yang akan datang dan hal-hal ghaib, karena ini semua dilarang.
14. Termasuk pula meminta hujan berdasarkan musim, bintang dan benda langit lainnya dengan keyakinan bahwa bintang-bintang itulah yang menurunkan atau menahan hujan, akan tetapi yang menurunkan dan menahan turunnya hujan adalah Allah SWT, maka katakanlah, Hujan itu diturunkan kepada kami karena keutamaan (karunia) dan rahmat Allah.
15. Di antara yang membatalkan tauhid adalah memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah, seperti memalingkan perasaan cinta yang tulus atau rasa takut kepada makhluk-makhluk.
16. Termasuk yang menghapuskan Tauhid adalah perasaan aman dari tipu daya dan adzab Allah serta berputus asa dari rahmat-Nya. Maka janganlah merasa aman dari tipu daya Allah dan jangan berputus asa dari rahmat-Nya, tetapi hendaklah berada di antara perasaan takut dan harapan.
17. Termasuk yang membatalkan tauhid adalah tidak sabar terhadap takdir-takdir Allah, mengeluh dan menentang takdir, seperti mengatakan: Ya Allah, Mengapa engkau melakukan ini terhadapku, atau terhadap si Fulan. atau mengucapkan: Mengapa Engkau melakukan ini semua, ya Allah. dan termasuk dalam jenis ini adalah meratap, merobek kantong dan memotong-motong rambut (karena perasaan sedih yang berlebih-lebihan).
18. Termasuk pula adalah riya' dan sum'ah (ingin memperdengarkan kebaikannya) dimana seseorang melakukan kebaikan karena dunia.
19. Di antara yang menafikkan tauhid adalah mematuhi para ulama, pemimpin dan sebagainya dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, karena taat kepada mereka dalam hal ini termasuk perbuatan syirik.
20. Termasuk yang membatalkan tauhid adalah ucapan: Apa yang Allah dan engkau kehendaki. atau ucapan: Seandainya bukan karena Allah dan si Fulan. atau ucapan: Saya bertawakkal kepada Allah dan kepada si Fulan. Hendaklah menggunakan kata kemudian dalam ungkapan-ungkapan tersebut di atas, berdasarkan perintah Rasulullah SAW bahwa ketika mereka ingin bersumpah hendaklah mengatakan: Demi Tuhan Ka'bah dan mengatakan: Apa yang dikehendaki Allah kemudian apa yang engkau kehendaki. [H.R Nasai]
21. Termasuk perbuatan yang merusak Tauhid adalah mencaci maki tahun, waktu, hari dan bulan.
22. Termasuk yang menafikan tauhid adalah menghina agama, rasul-rasul, Al-Qur'an dan Sunnah. Atau mengejek orang-orang shaleh dan ulama disebabkan oleh karena mereka mengamalkan sunnah dan menampakkannya kepada mereka seperti memelihara jenggot, memakai siwak, memendekkan pakaian hingga ke atas mata kaki dan lain-lain.
23. Termasuk pula penamaan Abdul Nabi, Abdul Ka'bah dan Abdul Husain. Ini semua dilarang karena mengandung makna penghambaan diri kepada selain Allah. Karena penghambaan diri hanya kepada Allah semata, seperti nama Abdullah dan Abdurrahman
24. Termasuk yang menafikan Tauhid adalah menggambar makhluk-makhluk yang memiliki roh lalu mengagungkan dan menggantungkan gambar tersebut di dinding, ruang tamu dan sebagainya
25. Diantara yang merusak Tauhid adalah meletakkan dan menggambar salib atau membiarkannya ada pada pakaian sebagai pengakuan. Hendaklah salib itu dipatahkan atau dibuang.
26. Diantara yang menafikan Tauhid adalah mengangkat orang-orang kafir dan munafiq sebagai pemimpin dengan mengagungkan dan memuliakan mereka atau memanggil mereka dengan sebutan sayyid (tuan), menyambut ataupun mencintai mereka.
27. Termasuk yang menafikan dan bertentangan dengan Tauhid adalah bertahkim (berhukum) kepada selain apa yang diturunkan oleh Allah serta mendudukkan undang-undang buatan manusia sejajar dengan hukum syariat Allah Yang Maha Bijaksana, atau melegalisir undang-undang manusia dalam hukum, atau menganggap undang-udang tersebut sama atau bahkan lebih baik dari hukum syariat dan lebih cocok dengan zaman, dan seseorang yang meridhai itu termasuk dalam jenis ini.
28. Termasuk yang membatalkan Tauhid adalah bersumpah dengan selain Allah, seperti bersumpah dengan nabi amanah dan semacamnya. Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh ia telah kafir atau musyrik [H.R. Tirmidzi dan dihasankannya]
Akhi fillah! Sebagaimana kita wajib mengamalkan Tauhid dan berhati-hati dari segala hal yang bertentangan dan membatalkannya, maka kita juga harus selalu berjalan diatas jalan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dikenal dengan sebutan Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yaitu jalan orang-orang salaf (dulu) umat ini seperti para sahabat dan yang datang sesudah mereka dalam segala aspek aqidah dan akhlak. Dan sebagaimana Ahlus Sunnah memiliki manhaj (jalan hidup) dalam hal aqidah pada masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah dan sebagainya, maka demikian pula mereka memiliki manhaj dalam hal tingkah laku, akhlak, muamalah, ibadah, dan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu ketika Rasulullah saw menyebutkan bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan: Semua di neraka kecuali satu, Beliau ditanya: Siapa mereka? Lalu Beliau menjawab: Mereka adalah seperti apa yang aku dan para sahabatku jalani sekarang.
Beliau tidak mengatakan: Mereka yang mengatakan dan melakukan ini dan itu... saja Tetapi mereka yang mengikuti dan menjalani manhaj Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam berbagai hal.
Maka yang harus anda lakukan adalah sebagai berikut:
1. Dalam masalah Sifat, hendaklah anda menyifati Allah dengan apa yang Dia sifati dirinya dan apa yang Rasulullah sifati dengan tanpa penyimpangan, penggambaran bentuk, penyerupaan dan peniadaan. Jadi tidak boleh menolak (sifat-sifat itu) kecuali (apa) yang diingkari oleh Allah swt dan tidak ada penyerupaan. Berdasarkan firman Allah swt: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy-Syuura:11)
2. Bahwa Al-Qur'an itu adalah kalam Allah, bukan makhluk yang diturunkan oleh-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
3. Beriman dengan apa yang akan terjadi setelah mati seperti adzab kubur dan sebagainya
4. Keyakinan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan
5. Tidak boleh mengkafirkan seseorang ketika melakukan dosa selain syirik selama ia tidak melakukannya. Dan bahwa pelaku dosa besar bila ia bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya, dan bila meninggal sebelum bertaubat, maka ia berada dalam kehendak Allah. Bila Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya dan bila Dia mengendaki, maka Dia akan menyiksanya lalu memasukkannya ke dalam surga. Dan bahwa tidak ada yang akan kekal di dalam neraka kecuali orang yang tergelincir dalam lembah kekafiran dan syirik, dan meninggalkan shalat termasuk perbuatan kafir.
6. Ahlus-Sunnah mencintai, mengagumi dan mengikuti seluruh sahabat Rasulullah, apakah mereka termasuk Ahlul-Bait atau bukan. Dan tidak meyakini kemaksuman seorang pun di antara mereka. Dan bahwa sahabat yang paling mulia adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian Umar bin Khattab lalu Utsman bin 'Affan disusul Ali bin Abi Thalib, -semoga Allah meridhoi mereka-.
7. Mereka beriman kepada karomah para wali yaitu orang-orang yang bertakwa dan sholeh.
Sebagaimana firman Allah SWT: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (Yunus: 62-63)
8. Mereka tidak melihat bolehnya keluar dari kepemimpinan seorang imam (pemimpin) selama ia masih menegakkan sholat. Dan mereka pun tidak menganggapnya kafir murtad selama ia memiliki dalil dan petunjuk dari Allah.
9. Mereka juga beriman kepada takdir baik dan buruk dengan seluruh tingkatannya, dan meyakini bahwa manusia itu berjalan dan memiliki ikhtiyar (pilihan untuk melakukan usaha atau perbuatan yang terbaik). Jadi mereka tidak menafikkan takdir dan tidak pula menafikkan ikhtiyar, tetapi menetapkan keduanya.
10. Mereka senang melakukan kebaikan untuk manusia, mereka adalah sebaik-baik manusia bahkan termasuk yang paling adil di antara manusia.
Shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad.
(Diambil dari buletin Darull Qasim,Keutamaan Tauhid dan Peringatan dari Hal-hal yang Membatalkannya. Penyusun: Darull Qasim, muraja'ah: Syaikh Abdullah bin Jibrin )
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah saw.
Akhi Fillah! Kepadamu aku persembahkan kalimat-kalimat singkat ini yang membahas masalah keutamaan Tauhid dan peringatan dari hal-hal yang membatalkannya, seperti berbagai macam perbuatan syirik dan bid'ah, baik yang besar maupun yang kecil.
Sesungguhnya Tauhid itu adalah kewajiban pertama yang diserukan oleh para rasul, yang merupakan pondasi da'wah mereka, Allah swt berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah taghut (An-Nahl:36)
Dan tauhid itu adalah merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-Nya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Mu'adz ra berkata: Rasulullah saw bersabda:'Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain'
Maka barangsiapa yang mengamalkan tauhid akan masuk surga, dan barangsiapa yang mengamalkan dan menyakini hal-hal yang bertentangan dengannya, maka ia termasuk penghuni neraka. Dan karena tauhid itu pulalah para rasul diperintahkan untuk memerangi kaumnya hingga mereka meyakininya, sebagaimana sabda Rasulullah saw: Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah.[H.R. Bukhari-Muslim]
Merealisasikan (mewujudkan) tauhid adalah jalan menuju kebahagiaan di dunia maupun di akhirat, sedang melakukan hal-hal yang bertentangan dengannya adalah jalan menuju kepada kesengsaraan. Mengamalkan tauhid adalah jalan untuk menyatukan barisan dan kalimat umat, sedang kesalahan dalam tauhid adalah penyebab perpecahan dan terceraiberainya umat ini.
Ketahuilah wahai akhi fillah- semoga Allah merahmati kita semua- bahwa sesungguhnya tidak semua orang yang mengucapkan laa ilaha illallah termasuk ahli tauhid hingga terpenuhinya syarat-syarat tauhid yang tujuh itu, seperti yang disebutkan oleh ulama, yaitu:
1. Mengetahui makna dan maksudnya, dengan kedua dimensinya, baik dari segi peniadaan (laa ilaha) tiada tuhan maupun dari segi penetapan (illallah) kecuali Allah, jadi tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah swt.
2. Meyakini kandungannya dengan keyakinan yang kuat
3. Menerima apa yang dimaksudkan oleh kalimat ini dengan hati dan lisan
4. Tunduk kepada kandungannya
5. Jujur, yaitu ia menyibukkan dengan lisan yang dibenarkan oleh hatinya
6. Ikhlas yang tidak dicampuri oleh perasaan riya
7. Mencintai kalimat ini dengan segala kandungannya
Wahai saudara-saudaraku yang saya cintai karena Allah!. Sebagaimana kita wajib untuk mengamalkan tauhid dengan memenuhi syarat-syarat laa ilaha illallah maka kitapun diwajibkan untuk menghindari dan mencegah diri dari perbuatan syirik dengan segala bentuk, pintu dan tempat masuknya, baik syirik yang besar maupun syirik yang kecil, karena sebesar-besar kezaliman adalah syirik kepada Allah, dimana Allah swt mengampuni dosa-dosa hamba-Nya kecuali perbuatan syirik itu. Dan barangsiapa yang terperosok ke dalamnya maka Allah swt mengharamkan surga baginya dan nerakalah tempat kembalinya. Allah swt berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An-Nisaa':48)
Kepadamu wahai akhi fillah! saya persembahkan beberapa hal yang membatalkan dan merusak tauhid, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama agar kita dapat menghindarinya, diantaranya adalah:
1. Memakai kalung atau benang (yang diikatkan di leher atau di tangan) dari apapun jenisnya, seperti kuningan , besi ataupun kulit dengan maksud mengangkat(menghilangkan) dan menolak bencana karena hal ini termasuk perbuatan syirik.
2. Menggunakan Ruqyah Bid'ah (pengobatan dengan membaca mantra) dan Tamimah (jimat). Ruqyah bid'ah yang dimaksud adalah yang mengandung coretan-coretan, gambar-gambar dan perkataan-perkataan yang tidak dimengerti serta meminta pertolongan kepada jin dalam mendeteksi suatu penyakit atau melepaskan diri dari sihir. Sedang yang dimaksud dengan Tamimah adalah apa-apa yang dikalungkan pada manusia atau hewan yang terbuat dari benang atau ikatan lainnya, baik yang tertulis dengan ucapan bid'ah yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah, ataupun yang bersumber dari keduanya-berdasarkan pendapat yang rajih (kuat)- karena ini termasuk hal yang melahirkan perbuatan syirik.
Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Ruqyah-yang mengandung syirik-, Tamimah, dan Tiwalah (sesuatu yang dibuat agar suami mencintai istrinya atau sebaliknya) adalah perbuatan syirik [H.R Ahmad dan Abu Daud]
Termasuk perbuatan ini adalah menggantungkan selembar kertas, sepotong logam kuningan atau besi di dalam mobil yang diatasnya tertulis 'Lafdhul Jalala' (Allah) atau ayat kursyi atau meletakkan mushaf Al-Qur'an di dalam mobil dengan keyakinan bahwa itu semua dapat menjaga dan mencegahnya dari kejelekan seperti mata yang mengandung sihir dan sejenisnya. Termasuk pula memasang sepotong kertas atau logam yang berbentuk telapak tangan atau terdapat gambar mata. Tidak boleh memasang itu semua dengan keyakinan dapat mencegah dari pandangan mata yang mengandung sihir.
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menggantungkan dirinya pada sesuatu maka Allah akan membuatnya tetap bergantung padanya. [H.R Ahmad, Tirmidzi dan Hakim]
3. Termasuk diantara yang membatalkan tauhid adalah mencari berkah pada orang-orang tertentu dengan menyentuh dan meminta berkahnya, atau mencari berkah pada pohon-pohon, batu-batu dan lain-lain, bahkan kepada Ka'bahpun tidak boleh disentuh dengan tujuan mencari dan mengambil berkahnya, Umar ra ketika mencium Hajar Aswad berkata: Sesungguhnya saya tahu bahwa kamu adalah batu yang tidak mendatangkan mudharat dan manfaat, seandainya saya tidak melihat Rasulullah saw menciummu, saya tidak akan menciummu.
4. Diantara yang membatalkan tauhid adalah menyembelih hewan bukan karena Allah, seperti untuk para wali, setan-setan, jin dengan tujuan mengambil manfaat dan mencegah kejahatan mereka, perbuatan ini termasuk syirik paling besar. Dan sebagaimana kita dilarang menyembelih untuk selain Allah, maka kitapun dilarang meyembelih pada tempat-tempat penyembelihan yang biasa digunakan menyembelih hewan untuk selain Allah, walaupun orang tersebut menyembelih dengan niat untuk Allah swt, dengan maksud mencegah seseorang terperosok ke dalam perbuatan syirik.
5. Termasuk pula, bernadzar untuk selain Allah, karena nadzar itu adalah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah swt
6. Termasuk diantaranya adalah meminta pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah swt. Rasulullah saw bersabda kepada Ibnu Abbas ra: Bila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah dan bila engkau memohon sesuatu, maka mohonlah kepada Allah. Oleh karena itu kita dilarang memohon kepada Jin.
7. Diantara yang menafikan (membatalkan) tauhid adalah sifat Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap para wali dan orang-orang shaleh dan mengangkat mereka melebihi kedudukannya, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memuliakan atau mengangkat mereka sederajat dengan kedudukan para rasul, atau menganggap mereka sebagai orang-orang yang ma'sum (terbebas dari dosa)
8. Diantara yang merusak tauhid adalah thawaf di (sekeliling) kuburan, ini termasuk perbuatan syirik. Kita dilarang shalat di kuburan karena dapat menggiring seseorang kepada perbuatan syirik, maka bagaimana pula kita shalat dan beribadah kepadanya? Na'udzu billah.
9. Untuk menjaga tauhid, kita dilarang membangun sesuatu diatas kuburan atau membuat kubah dan masjid, serta dilarang meninggikan (tanah kuburan) nya.
10. Diantara yang merusak tauhid adalah sihir, mendatangi tukang sihir, dukun, ahli nujum dan sebagainya. Jadi tukang sihir itu adalah orang yang kafir, tidak boleh mendatangi, bertanya dan membenarkannya, walaupun mereka mengaku sebagai wali, syaikh dan sebagainya
11. Termasuk yang membatalkan tauhid adalah Thiyarah yaitu perasaan pesimis (karena melihat suatu jenis burung tertentu) kepada hari, bulan, atau orang tertentu. Ini semua dilarang, karena Thiyarah adalah sesuatu yang dilarang, sebagaimana disebutkan di dalam salah satu hadits.
12. Termasuk yang merusak tauhid adalah mengandalkan dan bergantung kepada-sesuatu-sebab (perantara) seperti dokter, pengobatan, jabatan, dan sebagainya dan tidak bertawakkal kepada Allah SWT. Dan yang diperintahkan adalah mencari perantara itu seperti mencari penyembuhan dan rejeki tetapi dengan tetap menggantungkan hati (tawakkal) kepada Allah SWT semata, tidak kepada perantara tersebut.
13. Termasuk yang menafikkan tauhid adalah ilmu nujum atau memanfaatkan bintang pada sesuatu yang tidak diciptakan untuk itu. Maka kita dilarang untuk menggunakan bintang untuk mengetahui atau meramal kejadian yang akan datang dan hal-hal ghaib, karena ini semua dilarang.
14. Termasuk pula meminta hujan berdasarkan musim, bintang dan benda langit lainnya dengan keyakinan bahwa bintang-bintang itulah yang menurunkan atau menahan hujan, akan tetapi yang menurunkan dan menahan turunnya hujan adalah Allah SWT, maka katakanlah, Hujan itu diturunkan kepada kami karena keutamaan (karunia) dan rahmat Allah.
15. Di antara yang membatalkan tauhid adalah memalingkan suatu ibadah kepada selain Allah, seperti memalingkan perasaan cinta yang tulus atau rasa takut kepada makhluk-makhluk.
16. Termasuk yang menghapuskan Tauhid adalah perasaan aman dari tipu daya dan adzab Allah serta berputus asa dari rahmat-Nya. Maka janganlah merasa aman dari tipu daya Allah dan jangan berputus asa dari rahmat-Nya, tetapi hendaklah berada di antara perasaan takut dan harapan.
17. Termasuk yang membatalkan tauhid adalah tidak sabar terhadap takdir-takdir Allah, mengeluh dan menentang takdir, seperti mengatakan: Ya Allah, Mengapa engkau melakukan ini terhadapku, atau terhadap si Fulan. atau mengucapkan: Mengapa Engkau melakukan ini semua, ya Allah. dan termasuk dalam jenis ini adalah meratap, merobek kantong dan memotong-motong rambut (karena perasaan sedih yang berlebih-lebihan).
18. Termasuk pula adalah riya' dan sum'ah (ingin memperdengarkan kebaikannya) dimana seseorang melakukan kebaikan karena dunia.
19. Di antara yang menafikkan tauhid adalah mematuhi para ulama, pemimpin dan sebagainya dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, karena taat kepada mereka dalam hal ini termasuk perbuatan syirik.
20. Termasuk yang membatalkan tauhid adalah ucapan: Apa yang Allah dan engkau kehendaki. atau ucapan: Seandainya bukan karena Allah dan si Fulan. atau ucapan: Saya bertawakkal kepada Allah dan kepada si Fulan. Hendaklah menggunakan kata kemudian dalam ungkapan-ungkapan tersebut di atas, berdasarkan perintah Rasulullah SAW bahwa ketika mereka ingin bersumpah hendaklah mengatakan: Demi Tuhan Ka'bah dan mengatakan: Apa yang dikehendaki Allah kemudian apa yang engkau kehendaki. [H.R Nasai]
21. Termasuk perbuatan yang merusak Tauhid adalah mencaci maki tahun, waktu, hari dan bulan.
22. Termasuk yang menafikan tauhid adalah menghina agama, rasul-rasul, Al-Qur'an dan Sunnah. Atau mengejek orang-orang shaleh dan ulama disebabkan oleh karena mereka mengamalkan sunnah dan menampakkannya kepada mereka seperti memelihara jenggot, memakai siwak, memendekkan pakaian hingga ke atas mata kaki dan lain-lain.
23. Termasuk pula penamaan Abdul Nabi, Abdul Ka'bah dan Abdul Husain. Ini semua dilarang karena mengandung makna penghambaan diri kepada selain Allah. Karena penghambaan diri hanya kepada Allah semata, seperti nama Abdullah dan Abdurrahman
24. Termasuk yang menafikan Tauhid adalah menggambar makhluk-makhluk yang memiliki roh lalu mengagungkan dan menggantungkan gambar tersebut di dinding, ruang tamu dan sebagainya
25. Diantara yang merusak Tauhid adalah meletakkan dan menggambar salib atau membiarkannya ada pada pakaian sebagai pengakuan. Hendaklah salib itu dipatahkan atau dibuang.
26. Diantara yang menafikan Tauhid adalah mengangkat orang-orang kafir dan munafiq sebagai pemimpin dengan mengagungkan dan memuliakan mereka atau memanggil mereka dengan sebutan sayyid (tuan), menyambut ataupun mencintai mereka.
27. Termasuk yang menafikan dan bertentangan dengan Tauhid adalah bertahkim (berhukum) kepada selain apa yang diturunkan oleh Allah serta mendudukkan undang-undang buatan manusia sejajar dengan hukum syariat Allah Yang Maha Bijaksana, atau melegalisir undang-undang manusia dalam hukum, atau menganggap undang-udang tersebut sama atau bahkan lebih baik dari hukum syariat dan lebih cocok dengan zaman, dan seseorang yang meridhai itu termasuk dalam jenis ini.
28. Termasuk yang membatalkan Tauhid adalah bersumpah dengan selain Allah, seperti bersumpah dengan nabi amanah dan semacamnya. Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka sungguh ia telah kafir atau musyrik [H.R. Tirmidzi dan dihasankannya]
Akhi fillah! Sebagaimana kita wajib mengamalkan Tauhid dan berhati-hati dari segala hal yang bertentangan dan membatalkannya, maka kita juga harus selalu berjalan diatas jalan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang dikenal dengan sebutan Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yaitu jalan orang-orang salaf (dulu) umat ini seperti para sahabat dan yang datang sesudah mereka dalam segala aspek aqidah dan akhlak. Dan sebagaimana Ahlus Sunnah memiliki manhaj (jalan hidup) dalam hal aqidah pada masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah dan sebagainya, maka demikian pula mereka memiliki manhaj dalam hal tingkah laku, akhlak, muamalah, ibadah, dan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu ketika Rasulullah saw menyebutkan bahwa umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan: Semua di neraka kecuali satu, Beliau ditanya: Siapa mereka? Lalu Beliau menjawab: Mereka adalah seperti apa yang aku dan para sahabatku jalani sekarang.
Beliau tidak mengatakan: Mereka yang mengatakan dan melakukan ini dan itu... saja Tetapi mereka yang mengikuti dan menjalani manhaj Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam berbagai hal.
Maka yang harus anda lakukan adalah sebagai berikut:
1. Dalam masalah Sifat, hendaklah anda menyifati Allah dengan apa yang Dia sifati dirinya dan apa yang Rasulullah sifati dengan tanpa penyimpangan, penggambaran bentuk, penyerupaan dan peniadaan. Jadi tidak boleh menolak (sifat-sifat itu) kecuali (apa) yang diingkari oleh Allah swt dan tidak ada penyerupaan. Berdasarkan firman Allah swt: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy-Syuura:11)
2. Bahwa Al-Qur'an itu adalah kalam Allah, bukan makhluk yang diturunkan oleh-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
3. Beriman dengan apa yang akan terjadi setelah mati seperti adzab kubur dan sebagainya
4. Keyakinan bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan
5. Tidak boleh mengkafirkan seseorang ketika melakukan dosa selain syirik selama ia tidak melakukannya. Dan bahwa pelaku dosa besar bila ia bertaubat kepada Allah, maka Allah akan menerima taubatnya, dan bila meninggal sebelum bertaubat, maka ia berada dalam kehendak Allah. Bila Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya dan bila Dia mengendaki, maka Dia akan menyiksanya lalu memasukkannya ke dalam surga. Dan bahwa tidak ada yang akan kekal di dalam neraka kecuali orang yang tergelincir dalam lembah kekafiran dan syirik, dan meninggalkan shalat termasuk perbuatan kafir.
6. Ahlus-Sunnah mencintai, mengagumi dan mengikuti seluruh sahabat Rasulullah, apakah mereka termasuk Ahlul-Bait atau bukan. Dan tidak meyakini kemaksuman seorang pun di antara mereka. Dan bahwa sahabat yang paling mulia adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian Umar bin Khattab lalu Utsman bin 'Affan disusul Ali bin Abi Thalib, -semoga Allah meridhoi mereka-.
7. Mereka beriman kepada karomah para wali yaitu orang-orang yang bertakwa dan sholeh.
Sebagaimana firman Allah SWT: Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (Yunus: 62-63)
8. Mereka tidak melihat bolehnya keluar dari kepemimpinan seorang imam (pemimpin) selama ia masih menegakkan sholat. Dan mereka pun tidak menganggapnya kafir murtad selama ia memiliki dalil dan petunjuk dari Allah.
9. Mereka juga beriman kepada takdir baik dan buruk dengan seluruh tingkatannya, dan meyakini bahwa manusia itu berjalan dan memiliki ikhtiyar (pilihan untuk melakukan usaha atau perbuatan yang terbaik). Jadi mereka tidak menafikkan takdir dan tidak pula menafikkan ikhtiyar, tetapi menetapkan keduanya.
10. Mereka senang melakukan kebaikan untuk manusia, mereka adalah sebaik-baik manusia bahkan termasuk yang paling adil di antara manusia.
Shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad.
(Diambil dari buletin Darull Qasim,Keutamaan Tauhid dan Peringatan dari Hal-hal yang Membatalkannya. Penyusun: Darull Qasim, muraja'ah: Syaikh Abdullah bin Jibrin )
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Dakwah merupakan ibadah yang agung. Sayangnya, dakwah telah banyak disalahgunakan untuk membungkus kampanye politik dalam rangka mencari pengikut, merekrut simpatisan dan kader partai, atau sekedar mencari dunia. Di sisi lain, ada da’i yang mengkhususkan pada persoalan-persoalan politik hingga melupakan hal-hal mendasar dalam Islam. Lalu bagaimanakah sesungguhnya dakwah Rasulullah itu?
Terlalu banyak seruan atau ‘dakwah’ ilallah (menuju Allah) yang kita jumpai di sekeliling kita. Masyarakat pun dengan mudahnya mengatakan bahwa ‘dakwah itu semuanya sama’. Benarkah? Lalu manakah seruan yang benar yang akan mendekatkan kepada Allah?
Beragamnya seruan itu sendiri telah menjadi sunnatullah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bercerita di mana Rasulullah membuat satu garis lurus dan mengatakan: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Lalu beliau membuat garis-garis yang banyak dari arah kanan dan arah kiri dan beliau mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan dan tidak ada satupun dari jalan tersebut melainkan syaitan menyeru di atasnya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah: “Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka tempuhlah ia dan jangan kalian menempuh jalan yang banyak tersebut yang pada akhirnya akan memecah diri-diri kalian dari jalan-Nya.”
As Sa’dy menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus tersebut di dalam kitab tafsirnya: “Adalah jalan yang sangat jelas yang akan menyampaikan kita kepada Allah dan kepada surga-Nya. Jalan yang lurus itu adalah mengenal yang hak dan mengamalkannya.”
Rasulullah juga telah menjelaskan akan munculnya para da’i yang menyeru di atas jurang neraka. Dalam hadits Hudzaifah bin Yaman yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Hudzaifah mengatakan: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan yang khawatir akan menimpaku. Lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, tatkala kami berada dalam kehidupan jahiliyah Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan? Rasulullah menjawab: “Ya.” Aku berkata lagi: “Apakah setelah kejelekan ini ada kebaikan?” Rasulullah menjawab: “ Ya, akan tetapi ada asapnya.” Aku mengatakan: “Apakah asapnya wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku kamu kenal dan kamu ingkari.” Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu para da’i yang berada di pintu neraka dan barangsiapa yang memenuhi seruannya, maka akan mencampakkannya ke jurang neraka tersebut.”
Kedua hadits di atas menjelaskan tentang adanya sunnatullah munculnya berbagai seruan yang semuanya mengangkat panji Islam dan mengatasnamakan Islam. Akan tetapi seruan yang benar adalah satu dan jalan yang benar adalah satu dan tidak berbilang. Allah berfirman:
“Tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Hadits tadi juga menjelaskan bahwa jalan yang tidak benar itu lebih banyak daripada jalan yang benar. Demikian juga dengan da’i yang menyeru kepada kesesatan, lebih banyak dibanding dengan para penyeru kebenaran.
Kedudukan Tauhid
Tidak ada keraguan lagi bahwa tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi di dalam agama. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal z. Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah? Ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
1. Tauhid merupakan dasar dibangunnya segala amalan yang ada di dalam agama ini. Rasulullah bersabda:
“Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar)
2. Tauhid merupakan perintah pertama kali yang kita temukan di dalam Al Qur’an sebagaimana lawannya (yaitu syirik) yang merupakan larangan paling besar dan pertama kali kita temukan di dalam Al Qur’an, sebagaimana firman Allah:
“Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa. Yang telah menjadikan bumi terhampar dan langit sebagai bangunan dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengannya buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah”. (Al-Baqarah: 21-22)
Dalil yang menunjukkan hal tadi dalam ayat ini adalah perintah Allah “sembahlah Rabb kalian” dan “janganlah kalian menjadikan tandingan bagi Allah”.
3. Tauhid merupakan poros dakwah seluruh para Rasul, sejak Rasul yang pertama hingga penutup para Rasul yaitu Muhammad . Allah berfirman:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (An-Nahl: 36)
4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Sementara lawannya, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.
Allah berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-Isra: 23)
“Dan sembahlah oleh kalian Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. ” (An-Nisa: 36)
5. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindungi dari neraka Allah, sebagaimana syirik merupakan sebab utama yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka dan diharamkan dari surga Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga.” (Shahih, HR Muslim No.26 dari Utsman bin Affan)
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang kamu jumpai di belakang tembok ini bersaksi terhadap Lailaha illallah dan dalam keadaan yakin hatinya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga.” (Shahih, HR Muslim No.31 dari Abu Hurairah)
6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang dan akan bernilai di hadapan Allah. Allah berfirman:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dan mengikhlaskan bagi-Nya agama. ” (Al-Bayinah: 5)
Tauhid Poros Dakwah Para Rasul
Menggali dakwah seluruh para rasul dan sepak terjang mereka dalam memikul amanat dakwah ini, niscaya akan kita temukan keanehan di atas keanehan yang seandainya kita yang memikulnya, sunggguh kita tidak akan sanggup.
Dakwah membutuhkan keikhlasan agar bisa bernilai di sisi Allah dan untuk mengikat diri kita dengan pemilik dakwah itu, yaitu Allah, serta mendapatkan segala apa yang dipersiapkan di negeri akhirat. Dakwah membutuhkan keberanian untuk tidak gentar, takut, dan lari ketika menghadapi segala tantangan. Dakwah membutuhkan kesabaran terhadap segala ujian dan tantangan di atasnya. Dakwah membutuhkan istiqamah untuk selalu bersemangat di atas dakwah meskipun kebanyakan orang tidak menerimanya. Dakwah membutuhkan iman yang kuat dan yakin terhadap pertolongan pemilik dakwah ini yaitu Allah. Dakwah membutuhkan tawakal, kelembutan, dan segala bentuk akhlak yang mulia.
Allah telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa yang menjadi poros dakwah para rasul adalah seruan untuk mentauhidkan Allah sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut. ” (An-Nahl: 36)
Dari ayat ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengambil beberapa faidah di dalam kitabnya At Tauhid, di antaranya: Hikmah dari diutusnya seluruh para rasul, bahwa risalah itu mencakup seluruh umat, dan agama para nabi itu adalah satu.
Dari semua faidah ini, sangat jelas bahwa risalah para Rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini menyembah hanya kepada-Nya. Atau dengan kata lain, memerdekakan manusia dari penyembahan kepada manusia menuju penyembahan kepada Rabbnya manusia.
Tauhid, Wahai Para Da’i!
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany mengatakan dalam risalahnya Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam: “Melihat jeleknya situasi yang menimpa saudara kita se-Islam, maka kita mengatakan situasi yang jelek ini tidak lebih jelek dibanding dengan kejahatan situasi jahiliah dulu ketika Allah mengutus Rasulullah…”
Berdasarkan hal itu, maka obatnya adalah obat yang disebarkan oleh Rasulullah di masa jahiliah. Maka dari itu, bagi setiap da’i agar tampil mengobati jeleknya pemahaman umat terhadap kalimat La ilaha illallah dan mengobati keadaan itu dengan obat tersebut. Yang demikian itu sangat jelas jika kita mencoba untuk merenungi apa yang difirmankan oleh Allah:
“Sungguh telah nampak bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir, dan bagi orang yang mengingat Allah. ” (Al-Ahdzab: 21)
Kemudian beliau (Syaikh Albany) mengatakan: “Maka Rasul kita Muhammad adalah suri teladan yang baik dalam mengobati segala problem yang menimpa kaum muslimin di masa kita sekarang ini, bahkan dalam setiap waktu dan keadaan. Yang demikian itu menuntut kita agar seharusnya memulai sebagaimana Rasulullah memulai yaitu pertama kali memperbaiki akidah kaum muslimin yang sudah rusak, yang kedua ibadah mereka, dan yang ketiga akhlak. Saya bukan berarti ingin memisahkan antara yang pertama dari yang paling penting menuju yang penting kemudian yang di bawahnya lagi. Akan tetapi yang saya maksudkan adalah agar setiap orang Islam terlebih khusus da’inya untuk memberikan perhatian yang besar (terhadap akidah, red).”
Kenyataan yang menimpa umat secara menyeluruh dan kaum muslimin secara khusus adalah kerusakan hubungan mereka dengan Allah. Bahkan sampai kepada puncak menyekutukan Allah dalam peribadatan dan mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah, baik itu dalam wujud manusia atau benda-benda yang tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.
Penyakit ini telah mendarah daging seperti pohon yang telah menancap akarnya. Bahkan telah menjadi penyakit kanker yang setiap saat merenggut nyawa manusia. Oleh karena itu, sungguh sangat dibutuhkan obat yang tepat dan dokter yang telaten untuk mengawali perombakan akar-akar pohon tersebut dan mengobati penyakit-penyakit kanker tersebut. Ketahuilah, dokter umat ini adalah mereka-mereka yang mengikuti langkah Rasulullah dalam berdakwah yang memulai dari tauhid yang merupakan dasar bangunan Islam ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan memberikan obat yang sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu Tauhidullah.
Wahai para da’i, mulailah darimana Allah dan Rasul-Nya memulai dan persiapkan dirimu untuk menghadapi segala kemungkinan gangguan dan cobaan yang dahsyat yang terkadang harus mengalami kegagalan di tengah jalan. Mulailah wahai para da’i dari tauhidullah!
Sumber Bacaan:
1. Al Qur’an
2. Kitab Tauhid-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
3. Qaulul Mufid-Muhammad Al Wushabi
4. Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam Syaikh Al Albany
Terlalu banyak seruan atau ‘dakwah’ ilallah (menuju Allah) yang kita jumpai di sekeliling kita. Masyarakat pun dengan mudahnya mengatakan bahwa ‘dakwah itu semuanya sama’. Benarkah? Lalu manakah seruan yang benar yang akan mendekatkan kepada Allah?
Beragamnya seruan itu sendiri telah menjadi sunnatullah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari shahabat Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya Abdullah bin Mas’ud bercerita di mana Rasulullah membuat satu garis lurus dan mengatakan: “Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Lalu beliau membuat garis-garis yang banyak dari arah kanan dan arah kiri dan beliau mengatakan: “Ini adalah jalan-jalan dan tidak ada satupun dari jalan tersebut melainkan syaitan menyeru di atasnya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah: “Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka tempuhlah ia dan jangan kalian menempuh jalan yang banyak tersebut yang pada akhirnya akan memecah diri-diri kalian dari jalan-Nya.”
As Sa’dy menjelaskan apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus tersebut di dalam kitab tafsirnya: “Adalah jalan yang sangat jelas yang akan menyampaikan kita kepada Allah dan kepada surga-Nya. Jalan yang lurus itu adalah mengenal yang hak dan mengamalkannya.”
Rasulullah juga telah menjelaskan akan munculnya para da’i yang menyeru di atas jurang neraka. Dalam hadits Hudzaifah bin Yaman yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Hudzaifah mengatakan: “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan aku bertanya kepada beliau tentang kejelekan yang khawatir akan menimpaku. Lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, tatkala kami berada dalam kehidupan jahiliyah Allah mendatangkan kebaikan ini (Islam). Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan? Rasulullah menjawab: “Ya.” Aku berkata lagi: “Apakah setelah kejelekan ini ada kebaikan?” Rasulullah menjawab: “ Ya, akan tetapi ada asapnya.” Aku mengatakan: “Apakah asapnya wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Kaum yang mengambil petunjuk selain petunjukku kamu kenal dan kamu ingkari.” Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu para da’i yang berada di pintu neraka dan barangsiapa yang memenuhi seruannya, maka akan mencampakkannya ke jurang neraka tersebut.”
Kedua hadits di atas menjelaskan tentang adanya sunnatullah munculnya berbagai seruan yang semuanya mengangkat panji Islam dan mengatasnamakan Islam. Akan tetapi seruan yang benar adalah satu dan jalan yang benar adalah satu dan tidak berbilang. Allah berfirman:
“Tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Hadits tadi juga menjelaskan bahwa jalan yang tidak benar itu lebih banyak daripada jalan yang benar. Demikian juga dengan da’i yang menyeru kepada kesesatan, lebih banyak dibanding dengan para penyeru kebenaran.
Kedudukan Tauhid
Tidak ada keraguan lagi bahwa tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi di dalam agama. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits Mu’adz bin Jabal z. Rasulullah berkata kepadanya: “Hai Mu’adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah? Ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau mengatakan: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
1. Tauhid merupakan dasar dibangunnya segala amalan yang ada di dalam agama ini. Rasulullah bersabda:
“Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa pada bulan Ramadhan.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah Ibnu Umar)
2. Tauhid merupakan perintah pertama kali yang kita temukan di dalam Al Qur’an sebagaimana lawannya (yaitu syirik) yang merupakan larangan paling besar dan pertama kali kita temukan di dalam Al Qur’an, sebagaimana firman Allah:
“Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa. Yang telah menjadikan bumi terhampar dan langit sebagai bangunan dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengannya buah-buahan sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah”. (Al-Baqarah: 21-22)
Dalil yang menunjukkan hal tadi dalam ayat ini adalah perintah Allah “sembahlah Rabb kalian” dan “janganlah kalian menjadikan tandingan bagi Allah”.
3. Tauhid merupakan poros dakwah seluruh para Rasul, sejak Rasul yang pertama hingga penutup para Rasul yaitu Muhammad . Allah berfirman:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (An-Nahl: 36)
4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Sementara lawannya, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.
Allah berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah kecuali kepada-Nya dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-Isra: 23)
“Dan sembahlah oleh kalian Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. ” (An-Nisa: 36)
5. Tauhid merupakan syarat masuknya seseorang ke dalam surga dan terlindungi dari neraka Allah, sebagaimana syirik merupakan sebab utama yang akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka dan diharamkan dari surga Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah maka Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidak ada bagi orang-orang dzalim seorang penolongpun.” (Al-Maidah: 72)
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang mati dan dia mengetahui bahwasanya tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, dia akan masuk ke dalam surga.” (Shahih, HR Muslim No.26 dari Utsman bin Affan)
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang kamu jumpai di belakang tembok ini bersaksi terhadap Lailaha illallah dan dalam keadaan yakin hatinya, maka berilah dia kabar gembira dengan surga.” (Shahih, HR Muslim No.31 dari Abu Hurairah)
6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang dan akan bernilai di hadapan Allah. Allah berfirman:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dan mengikhlaskan bagi-Nya agama. ” (Al-Bayinah: 5)
Tauhid Poros Dakwah Para Rasul
Menggali dakwah seluruh para rasul dan sepak terjang mereka dalam memikul amanat dakwah ini, niscaya akan kita temukan keanehan di atas keanehan yang seandainya kita yang memikulnya, sunggguh kita tidak akan sanggup.
Dakwah membutuhkan keikhlasan agar bisa bernilai di sisi Allah dan untuk mengikat diri kita dengan pemilik dakwah itu, yaitu Allah, serta mendapatkan segala apa yang dipersiapkan di negeri akhirat. Dakwah membutuhkan keberanian untuk tidak gentar, takut, dan lari ketika menghadapi segala tantangan. Dakwah membutuhkan kesabaran terhadap segala ujian dan tantangan di atasnya. Dakwah membutuhkan istiqamah untuk selalu bersemangat di atas dakwah meskipun kebanyakan orang tidak menerimanya. Dakwah membutuhkan iman yang kuat dan yakin terhadap pertolongan pemilik dakwah ini yaitu Allah. Dakwah membutuhkan tawakal, kelembutan, dan segala bentuk akhlak yang mulia.
Allah telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa yang menjadi poros dakwah para rasul adalah seruan untuk mentauhidkan Allah sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang rasul (yang menyeru) agar kalian menyembah Allah dan menjauhi thagut. ” (An-Nahl: 36)
Dari ayat ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengambil beberapa faidah di dalam kitabnya At Tauhid, di antaranya: Hikmah dari diutusnya seluruh para rasul, bahwa risalah itu mencakup seluruh umat, dan agama para nabi itu adalah satu.
Dari semua faidah ini, sangat jelas bahwa risalah para Rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini menyembah hanya kepada-Nya. Atau dengan kata lain, memerdekakan manusia dari penyembahan kepada manusia menuju penyembahan kepada Rabbnya manusia.
Tauhid, Wahai Para Da’i!
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany mengatakan dalam risalahnya Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam: “Melihat jeleknya situasi yang menimpa saudara kita se-Islam, maka kita mengatakan situasi yang jelek ini tidak lebih jelek dibanding dengan kejahatan situasi jahiliah dulu ketika Allah mengutus Rasulullah…”
Berdasarkan hal itu, maka obatnya adalah obat yang disebarkan oleh Rasulullah di masa jahiliah. Maka dari itu, bagi setiap da’i agar tampil mengobati jeleknya pemahaman umat terhadap kalimat La ilaha illallah dan mengobati keadaan itu dengan obat tersebut. Yang demikian itu sangat jelas jika kita mencoba untuk merenungi apa yang difirmankan oleh Allah:
“Sungguh telah nampak bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir, dan bagi orang yang mengingat Allah. ” (Al-Ahdzab: 21)
Kemudian beliau (Syaikh Albany) mengatakan: “Maka Rasul kita Muhammad adalah suri teladan yang baik dalam mengobati segala problem yang menimpa kaum muslimin di masa kita sekarang ini, bahkan dalam setiap waktu dan keadaan. Yang demikian itu menuntut kita agar seharusnya memulai sebagaimana Rasulullah memulai yaitu pertama kali memperbaiki akidah kaum muslimin yang sudah rusak, yang kedua ibadah mereka, dan yang ketiga akhlak. Saya bukan berarti ingin memisahkan antara yang pertama dari yang paling penting menuju yang penting kemudian yang di bawahnya lagi. Akan tetapi yang saya maksudkan adalah agar setiap orang Islam terlebih khusus da’inya untuk memberikan perhatian yang besar (terhadap akidah, red).”
Kenyataan yang menimpa umat secara menyeluruh dan kaum muslimin secara khusus adalah kerusakan hubungan mereka dengan Allah. Bahkan sampai kepada puncak menyekutukan Allah dalam peribadatan dan mengangkat tandingan-tandingan bagi Allah, baik itu dalam wujud manusia atau benda-benda yang tidak bisa bergerak dan berbuat apa-apa.
Penyakit ini telah mendarah daging seperti pohon yang telah menancap akarnya. Bahkan telah menjadi penyakit kanker yang setiap saat merenggut nyawa manusia. Oleh karena itu, sungguh sangat dibutuhkan obat yang tepat dan dokter yang telaten untuk mengawali perombakan akar-akar pohon tersebut dan mengobati penyakit-penyakit kanker tersebut. Ketahuilah, dokter umat ini adalah mereka-mereka yang mengikuti langkah Rasulullah dalam berdakwah yang memulai dari tauhid yang merupakan dasar bangunan Islam ini sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Dan memberikan obat yang sesuai dengan kebutuhan mereka yaitu Tauhidullah.
Wahai para da’i, mulailah darimana Allah dan Rasul-Nya memulai dan persiapkan dirimu untuk menghadapi segala kemungkinan gangguan dan cobaan yang dahsyat yang terkadang harus mengalami kegagalan di tengah jalan. Mulailah wahai para da’i dari tauhidullah!
Sumber Bacaan:
1. Al Qur’an
2. Kitab Tauhid-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
3. Qaulul Mufid-Muhammad Al Wushabi
4. Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam Syaikh Al Albany
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (Al-Anbiya: 25)
Penjelasan Mufradat Ayat
رَسُوْلٍ
“Seorang rasul.” Yang dimaksud rasul di dalam ayat ini bersifat umum, meliputi setiap yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dari kalangan para nabi maupun rasul. Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan antara makna nabi dan rasul. Sebab rasul memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari nabi, atau dengan ungkapan lain bahwa setiap rasul pasti seorang nabi namun tidak setiap nabi memiliki gelar sebagai rasul.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan keduanya. Sebagian ada yang mengatakan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa nabi adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya. Sedangkan rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya. Pendapat ini dijadikan sandaran oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa nabi adalah seorang yang diutus dengan membawa syariat dan diperintahkan untuk disampaikan kepada kaum yang telah siap menerimanya, atau tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan rasul adalah seseorang yang diutus dengan membawa syariat dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum yang menyelisihinya.
Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Shalih Alusy Syaikh. Namun yang nampak bahwa kedua pendapat ini saling berkaitan. Ada lagi yang membedakan dengan cara yang lain, wallahu a’lam. (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi, 1/150, Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 1/124, Syarah Al-Ushul Ats-Tsalatsah Shalih Alusy Syaikh dari kaset yang ditranskrip, Kitab At-Ta’rifat, Al-Jurjani, hal. 307)
نُوْحِي
“Kami wahyukan”, dengan huruf nun di depan. Ini berdasarkan qira`ah Hamzah, Hafsh, dan Al-Kasa`i. Adapun yang lainnya membaca dengan lafadz (يُوحَى) (diwahyukan kepadanya) dengan bentuk majhul yang didahului dengan huruf ya. (lihat Tafsir Al-Qurthubi dan Al-Baghawi)
Wahyu yang dimaksud di dalam ayat ini adalah kabar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-hamba yang memang dikehendaki-Nya berupa hidayah dengan cara cepat dan tersembunyi. Definisi ini dibawa kepada setiap wahyu yang ditujukan kepada para nabi dan rasul-Nya. Wahyu memiliki makna selain yang tersebut di atas, di antaranya:
- Wahyu yang bermakna ilham dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada fitrah manusia, seperti wahyu yang ditujukan kepada Ibu Nabi Musa ‘alaihissalam.
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوْسَى أَنْ أَرْضِعِيْهِ
“Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa: ‘Susuilah dia’.” (Al-Qashash: 7)
- Wahyu yang bermakna ilham yang diperuntukkan bagi watak dan tabiat hewan tertentu, seperti wahyu yang diberikan kepada lebah dalam firman-Nya:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَ
“Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia’.” (An-Nahl: 68) [Lihat kitab Mabahits fi ‘Ulumil Qur`an karangan Manna’ Al-Qaththan hal. 26-27, Maktabah Wahbah, cet. ke-12]
فَاعْبُدُوْنِ
“Sembahlah Aku.” Maknanya adalah “tauhidkanlah Aku.” Setiap lafadz di dalam Al-Qur`an yang menyebutkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka maknanya adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadahan kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/58)
Adapun makna ibadah secara istilah adalah nama yang mencakup setiap apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir dan yang batin. (Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 10/149)
Penjelasan Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa risalah yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul adalah satu, yang menjadi inti dakwah mereka. Yaitu menyeru umatnya untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan segala jenis peribadahan kepada selain-Nya. Di antara ayat yang semakna dengan ayat ini adalah firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ فَسِيْرُوا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu.’ Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)
Al-Imam Ath-Thabari mengatakan ketika menjelaskan surat Al-Anbiya ayat 25: “Tidaklah Kami utus sebelum engkau seorang rasul kepada satu umat dari umat-umat yang ada, wahai Muhammad, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan di langit dan bumi, yang benar penyembahan kepadanya kecuali hanya Aku. Maka sembahlah Aku, ikhlaskan ibadah hanya untuk-Ku, sendirikan Aku dalam uluhiyyah (penyembahan).” (Tafsir At-Thabari)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu mengatakan dalam menjelaskan ayat ini: “Setiap rasul sebelum engkau bersama dengan kitab-kitab mereka, inti dan pokok risalah mereka adalah perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan menjelaskan bahwa sesembahan yang haq itu hanyalah satu dan sesembahan yang selain Dia adalah batil.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Qatadah rahimahullahu mengatakan: “Para rasul diutus membawa ikhlas dan tauhid, tidak diterima amalan apapun dari mereka hingga mereka mengucapkan dan mengikrarkannya. Sedangkan syariat mereka berbeda-beda. Dalam Taurat terdapat syariat tersendiri, dalam Injil juga terdapat syariat tersendiri, dan dalam Al-Qur`an juga terdapat syariat tersendiri, ada halal dan haram. Dan yang dimaksud dari ini semua adalah memurnikannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentauhidkan-Nya.” (Tafsir At-Thabari)
Syaikhul Islam berkata: “Tauhid yang dibawa oleh para rasul mengandung penetapan bahwa uluhiyyah hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, agar seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia. Sehingga dia tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya, tidak bertawakal kecuali hanya kepada-Nya, tidak ber-wala` (loyalitas) dan bersikap bara` (antipati) kecuali karena-Nya, tidak beramal kecuali hanya untuk-Nya. (Fathul Majid, hal. 38-39)
Seluruh Risalah para Nabi di atas Tauhid, walaupun Syariat Mereka Berbeda
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa inti risalah yang dibawa oleh setiap nabi adalah sama, yaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak terjadi perbedaan di antara mereka dalam hal ini. Sebagian ayat Al-Qur`an menyebutkan lebih rinci tentang dakwah mereka. Seperti ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam firman-Nya:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوْحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagi kalian selain-Nya.’ Sesungguhnya (kalau kalian tidak menyembah Allah), aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
Demikian pula dakwah Nabi Hud ‘alaihissalam kepada kaumnya, sebagaimana firman-Nya:
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُوْدًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya. Maka mengapa kalian tidak bertakwa kepada-Nya?’.” (Al-A’raf: 65)
Demikian pula dakwah Nabi Shalih ‘alaihissalam, sebagaimana firman-Nya:
وَإِلَى ثَمُوْدَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Ia berkata. ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya’.” (Al-A’raf: 73)
Demikian pula dakwah Nabi Syu’aib ‘alaihissalam, sebagaimana firman-Nya:
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain-Nya’.” (Al-A’raf: 85)
Namun dalam hal hukum dan syariat yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka, terjadi perbedaan antara syariat seorang rasul dengan rasul yang lainnya, sesuai dengan kemaslahatan dan hikmah yang Allah k kehendaki atas mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al-Ma`idah: 48)
Qatadah rahimahullahu berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Syir’atan wa minhajan adalah jalan dan metode (sunnah). Sunnah mereka berbeda-beda: Taurat memiliki sunnah sendiri, Injil memiliki sunnah sendiri, Al-Qur`an juga memiliki sunnah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan padanya apa yang Dia inginkan dan mengharamkan apa yang Dia inginkan sebagai cobaan, agar Dia mengetahui siapa yang taat dan siapa yang bermaksiat. Akan tetapi agama-Nya satu yang tidak diterima selainnya: tauhid dan ikhlas hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Itulah yang dibawa oleh para rasul.” Dalam riwayat lain beliau mengatakan: “Agama satu dan syariat berbeda.” (Lihat Tafsir At-Thabari)
Ini dikuatkan dengan hadits yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاْلأَنْبِيَاءُ أَوْلاَدُ عَلاَّتٍ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِيْنُهُمْ وَاحِدٌ
“Para nabi itu saudara seayah, ibu-ibu mereka berbeda dan agama mereka adalah satu.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Al-Munawi berkata dalam Al-Faidhul Qadir (3/62): “Yaitu pokok agama mereka satu yakni tauhid, dan cabang syariat mereka berbeda-beda. Tujuan diutusnya para nabi yaitu membimbing seluruh makhluk diserupakan dengan ayah yang satu, sedangkan syariat mereka yang berbeda bentuk dan tingkatannya diserupakan dengan para ibu. Al-Qadhi berkata: ‘Kesimpulannya bahwa tujuan utama dari sebab diutusnya mereka semua adalah mengajak seluruh makhluk untuk mengenal kebenaran dan membimbing mereka menuju sesuatu yang mengatur kehidupan dunianya, serta memperbaiki hari di saat mereka kembali. Mereka sama dalam pokok ajaran ini, meskipun berbeda-beda dalam cabang-cabang syariat.
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan pokok yang terjadi kesamaan di antara (dakwah) mereka dengan ungkapan ‘ayah’ dan menisbahkan mereka kepadanya. Dan beliau mengibaratkan perbedaan mereka dalam hal hukum dan syariat yang dari sisi bentuk dan tingkatannya dalam hal tujuannya dengan ungkapan ‘para ibu’. Walaupun berjauhan jaman dan kurun mereka, namun asal yang menjadi sebab mereka dikeluarkan dan diutus adalah satu, yaitu agama haq yang Allah telah menjadikannya sebagai fitrah bagi manusia yang siap menerimanya, tegak di atasnya, dan berpegang teguh dengannya. Berdasarkan hal ini, maka yang dimaksud dengan para ibu adalah zaman-zaman di mana mereka diutus.”
Namun setelah diutusnya Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka syariat telah sempurna. Tidak lagi ada hukum yang benar kecuali apa yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Allah kberfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan Kami tidak mengutusmu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Saba`: 28)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Dan adalah nabi terdahulu diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Jabir z)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Telah diketahui secara pasti dari agama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah disepakati umat ini bahwa pokok ajaran Islam, dan hal yang pertama kali diperintahkan kepada seseorang adalah: syahadat La Ilaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Dengan itu seorang yang kafir menjadi muslim, musuh menjadi kawan, yang halal darah dan hartanya menjadi terjaga darah dan hartanya. Kemudian jika syahadat tersebut berasal dari hatinya, maka dia telah memasuki tingkatan keimanan. Namun jika dia hanya mengucapkan dengan lisannya tanpa keyakinan hatinya, maka dia secara lahiriah menampakkan Islam tanpa keimanan dalam hati. Adapun orang yang tidak berucap dengan lisannya, padahal dia mampu melakukannya, maka dia kafir secara zhahir dan batin berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menurut pendahulu umat ini dan para imamnya serta mayoritas para ulama." (Fathul Majid, hal. 113)
Skala Prioritas dalam Berdakwah
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran yang sangat penting, terkhusus bagi seorang dai yang mengajak manusia menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahwa dalam mengemban amanah dakwah, hendaklah kita selalu berusaha mengikuti tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan senantiasa mendahulukan skala prioritas dalam menyampaikan agama, dengan menerapkan al-bad`u bil aham fal aham (mendahulukan yang terpenting kemudian yang terpenting berikutnya).
Para nabi menjadikan inti dakwah mereka memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala sebab walaupun mereka mengamalkan amalan yang lainnya, tapi bila tidak disertai memurnikan tauhid dalam beribadah kepada-Nya, maka hal tersebut akan menjadi sia-sia belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِيْنَ كَذَبُوا عَلَى اللهِ وُجُوْهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِيْنَ
“Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (Az-Zumar: 60)
Dan juga firman-Nya:
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُوْنَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Inilah yang dajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Jika Rasulullah mengutus salah seorang mereka untuk berdakwah, beliau menasihatinya untuk memulai dakwahnya dengan yang terpenting. Di antara yang menunjukkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa tatkala Rasulullah mengutus Mu’adz radhiyallahu 'anhu ke Yaman, beliau berpesan:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِذَا عَرَفُوا اللهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ، فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ
“Sesungguhnya engkau mendatangi kaum dari ahli kitab, hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka beribadah (mentauhidkan) hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika mereka telah mengenal Allah, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu pada setiap hari dan malam. Jika mereka telah melakukan itu maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka telah menaatinya, maka ambillah dari mereka dan berhati-hatilah dari harta yang sangat berharga milik mereka." (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu untuk memulai dalam berdakwah dengan hal yang terpenting untuk mereka.
Wallahu a’lam.
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).
Apalagi masalah ilmu dan pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]
Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف: 86]
Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR. Muslim)
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...[الحجرات: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu ... (al-Hujurat: 15)
Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)
Adapun dalil dari hadits adalah:
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه البخاري)
Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR. Bukhari)
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2] وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
[العنكبوت: 3]
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه البخاري)
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar: 2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ... [البينة: 5]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.... [البقرة: 165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (alBaqarah: 165)
dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري)
Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).
Syarat ke delapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang kufur dan syirik.
Maka pimpinan yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)
Dan dalam hadits:
مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Syarat-syarat Tauhid".)
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).
Apalagi masalah ilmu dan pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]
Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف: 86]
Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR. Muslim)
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...[الحجرات: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu ... (al-Hujurat: 15)
Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)
Adapun dalil dari hadits adalah:
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه البخاري)
Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR. Bukhari)
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2] وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
[العنكبوت: 3]
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه البخاري)
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar: 2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ... [البينة: 5]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.... [البقرة: 165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (alBaqarah: 165)
dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري)
Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).
Syarat ke delapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang kufur dan syirik.
Maka pimpinan yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)
Dan dalam hadits:
مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Syarat-syarat Tauhid".)
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).
Apalagi masalah ilmu dan pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]
Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف: 86]
Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR. Muslim)
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...[الحجرات: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu ... (al-Hujurat: 15)
Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)
Adapun dalil dari hadits adalah:
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه البخاري)
Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR. Bukhari)
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2] وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
[العنكبوت: 3]
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه البخاري)
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar: 2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ... [البينة: 5]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.... [البقرة: 165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (alBaqarah: 165)
dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري)
Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).
Syarat ke delapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang kufur dan syirik.
Maka pimpinan yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)
Dan dalam hadits:
مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Syarat-syarat Tauhid".)
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).
Apalagi masalah ilmu dan pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]
Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah
إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف: 86]
Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi kecuali Allah .... (Muhammad: 19)
dan dalam hadits disebutkan:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR. Muslim)
Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا...[الحجرات: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu ... (al-Hujurat: 15)
Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)
Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (ash-Shafat: 35-36)
Adapun dalil dari hadits adalah:
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه البخاري)
Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR. Bukhari)
Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)
Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.
Allah berfirman:
الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2] وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
[العنكبوت: 3]
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)
Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه البخاري)
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)
Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar: 2)
وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ... [البينة: 5]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)
dan dalam hadits:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)
Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ.... [البقرة: 165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (alBaqarah: 165)
dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassalam :
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري)
Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).
Syarat ke delapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang kufur dan syirik.
Maka pimpinan yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
...قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)
Dan dalam hadits:
مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli "Syarat-syarat Tauhid".)
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Di antara kita mungkin banyak yang belum paham bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki banyak nama dan sifat. Namun tentu saja nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala berbeda dengan nama dan sifat makhluk-Nya, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Di antara perbedaannya, nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala penuh dengan kesempurnaan, sedangkan nama dan sifat makhluk mengandung banyak kekurangan. Pemahaman yang benar tentang nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi dampak yang besar terhadap keimanan seseorang. Sebaliknya, pemahaman yang keliru bisa menyebabkan seseorang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang dimaksud dengan tauhid ini ialah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan seluruh nama dan sifat yang dimiliki-Nya. Keyakinan ini mengandung dua perkara:
1. Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala seluruh nama dan sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala seluruh nama dan sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Meniadakan pula semua penyerupaan dengan nama dan sifat makhluk. Jika ada keserupaan dari sisi asal makna kata namun hakikatnya tetaplah berbeda. Jadi, yang ditiadakan adalah keserupaan dari segala sisi, bukan pada sebagiannya.
Barangsiapa tidak mau menetapkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuatu yang sudah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya berarti dia mu’aththil (seorang penolak) dan penolakannya serupa dengan penolakan Fir’aun. Sebab seorang yang tidak mau menetapkan nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti dia telah meniadakan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana Fir’aun yang tidak mengimani keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi barangsiapa mau menetapkan lalu menyerupakan nama dan sifat tersebut dengan makhluk berarti dia menyamai kaum musyrikin yang mengibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab seorang yang menyerupakan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang ada pada makhluk, pada hakikatnya dia mengibadahi sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sama dengan makhluk-Nya. Kemudian, barangsiapa mau menetapkan sesuatu yang sudah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya tanpa menyerupakan dengan yang selain-Nya berarti dia seorang muwahhid (seorang yang bertauhid). Wallahu a’lam bish-shawab.
Penetapan dan peniadaan ini memiliki dali-dalil yang sangat otentik dan akurat dari dua arah yang tak diragukan lagi keabsahannya, yaitu syariat dan naluri logika. Adapun dari syariat, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلِلَّهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan atas segala yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kalian mengikuti sesuatu yang kalian tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, seluruhnya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 36)
Sedangkan dalil dari naluri logika yaitu kita mengatakan bahwa berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk pemberitaan yang tak mungkin akal kita mampu menangkap rinciannya tanpa tuntunan wahyu. Oleh karena itu, seharusnya kita mencukupkan diri dengan setiap yang diberitakan oleh wahyu saja dan tidak melampauinya.
Menggabungkan antara penetapan dan peniadaan dalam masalah nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan hakikat tauhid. Tak mungkin mencapai kebenaran hakikat tauhid kecuali dengan penetapan dan peniadaan. Karena mencukupkan diri dengan penetapan semata, tidaklah mencegah timbulnya penyerupaan dan penyekutuan. Sedangkan mencukupkan diri dengan peniadaan berarti penolakan yang murni.
Sebagai contoh, jika engkau berkata, “Si Zaid bukan seorang pemberani.” Berarti engkau telah meniadakan sifat pemberani dari si Zaid sekaligus menolak (menjauhkan) Zaid dari sifat pemberani. Jika engkau berkata, “Zaid adalah seorang pemberani.” Berarti engkau telah menetapkan sifat pemberani bagi Zaid, tetapi tidak menolak kemungkinan bahwa selain Zaid juga pemberani. Jika engkau berkata, “Tak ada seorang pun yang pemberani kecuali Zaid.” Berarti engkau telah menetapkan sifat pemberani bagi Zaid dan meniadakannya dari selain Zaid. Dengan demikian, engkau telah mengesakan Zaid dalam perkara keberanian.
Jadi, tidak mungkin mengesakan seseorang dalam suatu perkara kecuali dengan menggabungkan antara peniadaan dan penetapan.
Di sini kita perlu menegaskan bahwa seluruh sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi diri-Nya merupakan sifat-sifat kesempurnaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak menyebutkannya secara rinci daripada mengglobalkan. Karena bila pemberitaan dan kandungan-kandungan yang ditunjukkannya semakin banyak maka akan tampak kesempurnaan dzat yang disifatkan dengannya, yang sebelumnya tidak diketahui.
Oleh karena itu, sifat-sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya lebih banyak diberitakan daripada sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari diri-Nya. Adapun seluruh sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari diri-Nya merupakan sifat-sifat kekurangan yang tidak pantas bagi Dzat-Nya, seperti sifat kelemahan, letih, aniaya, dan sifat menyerupai para makhluk.
Kebanyakan sifat ini disebutkan secara global. Sebab hal itu lebih mendukung untuk mengagungkan dzat yang disifatkan dan lebih sempurna dalam menyucikannya. Sedangkan penyebutan sifat-sifat itu secara rinci tanpa alasan, bisa menjadi ejekan dan pelecehan terhadap dzat yang disifati.
Jika anda memuji seorang raja dengan mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang yang dermawan, pemberani, teguh, memiliki hukum yang kuat, perkasa atas musuh-musuhmu” dan sifat-sifat terpuji lainnya, sungguh hal ini termasuk sanjungan yang sangat besar terhadapnya. Bahkan di dalamnya terdapat nilai pujian yang lebih dan menampakkan kebaikan-kebaikannya, sehingga menjadikannya sebagai seorang yang dicintai dan dihormati, karena anda telah memperinci sifat-sifat yang ditetapkan baginya.
Demikian pula jika anda mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang raja yang tak bisa disamai oleh seorang pun dari raja-raja dunia yang berada di masamu,” sungguh hal ini juga merupakan sanjungan yang bernilai lebih, karena anda telah mengglobalkan sifat-sifat yang ditiadakan darinya.
Jika anda mengatakan kepadanya, “Engkau adalah seorang raja yang tidak pelit, tidak penakut, tidak faqir, dan engkau bukan seorang penjual sayur, bukan seorang tukang sapu, bukan dokter hewan, dan bukan tukang bekam,” dan rincian-rincian yang semacam itu dalam meniadakan segala keaiban yang tidak pantas bagi kemuliaannya, sungguh hal ini akan dianggap sebagai ejekan dan pelecehan terhadap haknya.
Walaupun yang mayoritas pada sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Dzat-Nya adalah disebutkan secara global, namun terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkannya dengan rinci pula, karena beberapa sebab:
1. Untuk meniadakan sesuatu yang diklaim oleh para pendusta terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya:
مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi beserta-Nya.” (Al-Mu`minun: 91)
2. Untuk menepis anggapan akan suatu kekurangan pada kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, dan tidaklah sedikitpun kami ditimpa keletihan.” (Qaf: 38)
Di dalam Al-Qur`an terlalu banyak ayat yang berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara rinci. Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
هُوَ اللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ. هُوَ اللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ. هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dialah Allah yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang Maha Memiliki, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Maha Sombong. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Maha Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang baik. Seluruh yang di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya. Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr: 22-24)
Ayat-ayat ini mengandung lebih dari 15 nama, dan setiap nama bisa mengandung satu atau dua sifat bahkan bisa pula lebih. Juga di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيُدْخِلَنَّهُمْ مُدْخَلاً يَرْضَوْنَهُ وَإِنَّ اللهَ لَعَلِيْمٌ حَلِيْمٌ. ذَلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوْقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللهُ إِنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ. ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ يُوْلِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُوْلِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَأَنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ. ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَتُصْبِحُ اْلأَرْضُ مُخْضَرَّةً إِنَّ اللهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ. لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ. أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, dialah (Ilah) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Apakah kalian tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya? Dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Hajj: 59-65)
Ayat ini berjumlah tujuh ayat yang saling beriringan. Masing-masing ayat ditutup dengan dua nama dari nama-nama Allah, sedangkan setiap nama mengandung satu atau dua sifat bahkan bisa pula lebih.
Mengenai peniadaan yang disebutkan secara global, di antaranya sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” (Asy-Syura: 11)
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 4)
Di sini kita ingin kembali menegaskan bahwa kesamaan dalam perkara nama dan sifat tidaklah menunjukkan kesamaan antara dzat-dzat yang diberi nama dan disifati. Hal ini bisa dibuktikan melalui dalil-dalil syariat, logika, dan panca indera.
1. Bukti dari dalil yang syar’i di antaranya, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang Dzat-Nya:
إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa`: 58)
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Demikian pula di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa manusia mendengar dan melihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan dia seorang yang mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Namun tentunya pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sama dengan pendengaran manusia walaupun sama-sama diberi nama dan disifati dengan mendengar. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita akan hal ini dengan firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
2. Bukti dari dalil yang logis, yaitu bahwa perkara yang maknawi dan sebuah sifat akan terkait dan terbedakan dari yang lainnya sesuai dengan apa yang dinisbatkan kepadanya. Bila segala sesuatu berbeda-beda dari sisi hakikat dzatnya, maka pastilah segala sesuatu berbeda-beda pula dari sisi sifat dan perkara maknawi yang dinisbatkan kepadanya. Oleh karena itu, sifat setiap dzat yang diberikan padanya sesuai dengan yang dinisbatkan kepadanya dan tidak mungkin kurang atau melebihi dzat yang disifatkan. Sebagai contoh, kita mensifatkan manusia dengan kelembutan dan juga mensifatkan besi yang meleleh dengan kelembutan. Padahal kita mengetahui bahwa jenis kelembutan itu berbeda-beda maknanya sesuai dengan apa yang dinisbatkan kepadanya.
3. Adapun bukti dari dalil secara panca indera, yaitu bahwasanya kita menyaksikan gajah memiliki fisik, kaki, serta kekuatan dan nyamuk juga memiliki fisik, kaki, serta kekuatan. Di sini tentunya kita mengetahui perbedaan antara fisik, kaki, serta kekuatan keduanya.
Jika kita sudah mengetahui bahwa kesamaan dalam perkara nama dan sifat di antara para makhluk tidaklah berkonsekuensi keserupaan dalam bentuk hakikatnya, padahal mereka adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tidak adanya keserupaan antara Dzat yang Maha pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya dalam hakikat nama dan sifat tentu lebih utama dan jelas. Bahkan kesamaan antara Dzat Yang Maha Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya dalam perkara nama dan sifat adalah sesuatu yang amat sangat tidak mungkin terjadi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Prinsip dalam Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus Sunnah menyucikan nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menolaknya dan menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama dan sifat-sifat makhluk). Ada empat perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai berikut:
1. At-Tahrif
At-Tahrif secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahirnya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya. Perbuatan At-Tahrif terbagi kepada dua jenis:
a. At-Tahrif yang dilakukan pada teks lafadz. Jenis yang ini terbagi kepada tiga bentuk:
1. Mengubah harakatnya. Di antaranya seperti bacaan dari sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka membacanya dengan memberi harakat fathah pada kata (اللهَ) dengan tujuan untuk mengubah maknanya, yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam yang mengajak Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berbicara, bukan sebaliknya.
2. Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa.
3. Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah وَجَاءَ رَبُّكَ yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya “telah datang rahmat Rabbmu.”
b. At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya. Contohnya seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ
“Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (Al-Ma`idah: 64)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau nikmat-Nya, atau yang selain itu.
Di sini perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan At-Tahrif tidak menamakannya dengan At-Tahrif, tetapi menyebutnya sebagai At-Ta`wil yang artinya menafsirkan. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata At-Tahrif berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa`: 46)
Pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menisbatkan perbuatan At-Tahrif kepada kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah At-Tahrif dengan istilah At-Ta`wil agar lebih diterima oleh banyak kalangan, dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
2. At-Ta’thil
At-Ta’thil secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1. At-Ta’thil yang bersifat global, yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Jahmiyyah, Al-Qaramithah, para ahli filsafat, dan yang selain mereka.
2. At-Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menetapkan nama-nama-Nya. Demikian pula kelompok Al-Asya’irah, Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah yang menolak sebagian sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menetapkan sebagian yang lainnya.
3. At-Tamtsil
At-Tamtsil secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. At-Tamtsil terbagi dua jenis:
1. Menyerupakan makhluk dengan Dzat Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Dzat yang Maha Pencipta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Menyerupakan Dzat yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu menetapkan untuk Dzat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang faqir, pelit, dan lemah.
4. At-Takyif
At-Takyif maknanya meyakini sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud. Berarti At-Takyif berbeda dari At-Tamtsil dari satu sisi dan sama dari sisi yang lainnya. Perbedaan keduanya, At-Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran, sedangkan At-Tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam pikiran. Adapun kesamaannya, keduanya sama-sama perbuatan menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang selainnya. Sehingga setiap orang yang melakukan At-Tamtsil pasti melakukan pula At-Takyif, tetapi tidak sebaliknya.
Kelompok-kelompok yang Sesat
Secara garis besar, kelompok-kelompok yang sesat dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala terbagi menjadi dua golongan:
1. Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Mereka mengingkari karena keyakinan bahwa menetapkannya berarti menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Keyakinan mereka ini adalah batil dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Untuk membuktikan kebatilan keyakinan mereka, bisa dilihat dari beberapa sisi, di antaranya:
a. Keyakinan mereka ini mengandung beberapa konsekuensi yang batil, di antaranya berkonsekuensi terjadinya kontradiksi di antara firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada sebagian ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Dzat-Nya. Pada ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala meniadakan penyerupaan-Nya dengan yang selain-Nya. Jika menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya, maka telah terjadi kontradiksi di antara firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagiannya telah mendustakan sebagian yang lain.
b. Kesamaan antara dua hal dalam perkara nama atau sifat, tidaklah menuntut keserupaan antara hakikat keduanya dari segala sisi. Kita bisa melihat dua orang yang sama-sama disebut dengan manusia, mendengar dan melihat. Namun bukan berarti keduanya sama dalam sifat kemanusiaan, pendengaran, dan penglihatan dari segala sisi. Pasti sifat-sifat yang dimiliki oleh keduanya sangat berbeda hakikatnya. Bila perbedaan hakikat nama dan sifat terjadi di kalangan makhluk walaupun ada kesamaan pada sebagian sisi, maka perbedaan hakikat nama dan sifat antara Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk-Nya tentu lebih nyata dan lebih besar.
2. Al-Musyabbihah, yaitu orang-orang yang menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi menyerupakan dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Mereka menyerupakannya karena berkeyakinan bahwa hal itu merupakan kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tentunya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami. Kita meyakini bahwa keyakinan mereka ini adalah batil. Bisa dibuktikan kebatilan keyakinan mereka dari beberapa sisi, di antaranya:
a. Menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya adalah kebatilan yang ditolak oleh naluri logika dan syariat. Sebab, kandungan-kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak mungkin merupakan perkara yang batil.
b. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami dari sisi asal makna kata atau kalimat. Adapun bentuk dan hakikat yang berkaitan dengan nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mereka ketahui, dan ilmunya hanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan sifat ‘mendengar’ dan ‘melihat’ bagi Dzat-Nya, niscaya kita bisa memahami maksud kata ‘mendengar’ dan ‘melihat’ dari sisi asal makna kata. ‘Mendengar’ artinya mampu menangkap segala suara dan ‘melihat’ artinya mampu menangkap apa saja yang bisa dilihat. Namun tak seorang pun di antara manusia yang dapat mengetahui hakikat pendengaran dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, hakikat sifat mendengar dan melihat yang ada di kalangan manusia berbeda dengan hakikat sifat mendengar dan melihat yang dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.
Al-Ilhad dalam Masalah Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Al-Ilhad secara bahasa maknanya miring atau menyimpang dari sesuatu. Disebut liang lahad dalam kuburan dengan nama itu karena lubangnya berada di bagian samping dari kuburan dan bukan di tengahnya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menyimpang dari syariat yang lurus kepada salah satu bentuk kekafiran.
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya menyimpang dari kebenaran yang wajib untuk ditetapkan pada nama dan sifat-sifat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلِلّّهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Hanya milik Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam perkara nama-nama-Nya. Niscaya mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala terbagi kepada lima jenis, sebagai berikut:
1. Menetapkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebuah nama atau lebih, yang tidak ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Dzat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli filsafat ketika mereka menamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebutan, (عِلَّةٌ فَاعِلَةٌ) yang artinya unsur pembuat. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka menamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebutan tuhan bapak dan menamakan Nabi ‘Isa dengan sebutan tuhan anak. Semua ini adalah penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sepantasnya juga kaum muslimin menghindari memanggil nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebutan ‘Gusti’ atau ‘Pangeran’, seperti ucapan: “Wahai Gusti ampunilah aku,” atau “Wahai Pangeran tolonglah aku.” Hal ini sebaiknya dihindari, karena dikhawatirkan termasuk dalam bentuk penamaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menamai diri-Nya dengannya, dan tidak pula dinamai oleh Rasul-Nya. Karena nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perkara tauqifiyyah, yakni tidak bisa ditetapkan kecuali dengan pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Bila kita menamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi Dzat-Nya, berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
2. Mengingkari satu nama atau lebih, yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Dzat-Nya. Perbuatan ini adalah kebalikan dari yang pertama. Maka pengingkaran terhadap nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala baik secara keseluruhan atau sebagian merupakan perbuatan Al-Ilhad. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia yang menolak nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti kelompok Al-Jahmiyyah. Mereka mengingkari dan menolak nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan alasan agar tidak menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benda-benda yang ada di alam ini. Pendapat mereka ini jelas merupakan kebatilan murni dan tidak bisa diterima. Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan sebuah nama bagi Dzat-Nya maka kita harus menetapkannya pula dan tak ada alasan untuk menolaknya. Jika kita mengingkari atau menolaknya berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
3. Menetapkan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Al-Mu’tazilah. Sebagai contoh, mereka menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mendengar namun tanpa pendengaran, Maha Melihat namun tanpa penglihatan, Maha Mengetahui namun tanpa ilmu, Maha Kuasa namun tanpa kekuasaan, dan seterusnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang banyak itu pada hakikatnya hanyalah satu nama saja, tidak lebih. Pendapat-pendapat mereka ini sangat tidak logis bagi siapa saja yang memiliki akal pikiran. Terlebih lagi jika diukur dengan penilaian Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidaklah ditetapkan sebuah nama pada sesuatu melainkan karena dia memiliki sifat yang sesuai dengan namanya. Dan setiap nama pasti menunjukkan kepada suatu sifat yang sesuai dengannya. Maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa nama-nama yang banyak pada hakikatnya hanya menunjukkan pada satu nama? Ini jelas penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi juga menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Hal ini sebagaimana dilakukan kelompok Al-Musyabbihah. Seharusnya kita menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Jika tidak, berarti kita telah melakukan penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
5. Mengambil pecahan kata dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu menjadikannya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin di masa jahiliah. Mereka menamakan sebagian berhala mereka dengan pecahan kata yang diambil dari nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti, Al-Laatta yang diambil dari nama Allah Subhanahu wa Ta’ala Al-Ilah, Al-‘Uzza yang diambil dari nama Allah Al-‘Aziz, Al-Manaat yang diambil dari nama Allah Al-Mannan. Ini adalah penyimpangan dalam menggunakan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seharusnya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi perkara yang khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengambil pecahan-pecahan katanya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
Demikianlah jenis-jenis penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ahlus Sunnah tidak berbuat Al-Ilhad (penyimpangan), bahkan mereka menyikapi nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri. Mereka menetapkan pula seluruh makna yang telah ditunjukkan oleh nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, karena mereka meyakini bahwa menyelisihi prinsip ini merupakan perbuatan Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.
Buah Keimanan kepada Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan suatu perkara yang sia-sia tanpa manfaat. Bahkan hal itu mengandung berbagai manfaat yang sangat positif terhadap tauhid dan ibadah seorang hamba. Lebih dari itu, beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wujud dari tauhid dan ibadah hamba itu sendiri. Dalam tulisan ini kita akan menyebutkan sebagian manfaat tersebut, antara lain:
1. Merealisasikan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga seorang hamba tidak menggantungkan harapan, rasa takut, dan ibadahnya kepada yang selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Menyempurnakan rasa cinta dan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat Nya yang tinggi.
3. Merealisasikan peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Demikianlah yang bisa kita tuliskan di sini, semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
1 Walaupun ada yang mengatakan bahwa hal ini dibolehkan bila ditinjau dari sisi penerjemahan, namun dalam praktiknya lebih mengarah kepada penamaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menamakan diri-Nya dengannya, tidak pula oleh Rasul-Nya. Sehingga, sebaiknya memanggil nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya, seperti; “Ya Rabbi,” atau “Ya Allah.” (ed)
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=443
Yang dimaksud dengan tauhid ini ialah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan seluruh nama dan sifat yang dimiliki-Nya. Keyakinan ini mengandung dua perkara:
1. Penetapan, yang dimaksud adalah menetapkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala seluruh nama dan sifat-Nya. Maka tidaklah kita menetapkan nama bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula tidaklah kita menetapkan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Peniadaan, yang dimaksud adalah meniadakan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala seluruh nama dan sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Meniadakan pula semua penyerupaan dengan nama dan sifat makhluk. Jika ada keserupaan dari sisi asal makna kata namun hakikatnya tetaplah berbeda. Jadi, yang ditiadakan adalah keserupaan dari segala sisi, bukan pada sebagiannya.
Barangsiapa tidak mau menetapkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuatu yang sudah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya berarti dia mu’aththil (seorang penolak) dan penolakannya serupa dengan penolakan Fir’aun. Sebab seorang yang tidak mau menetapkan nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti dia telah meniadakan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana Fir’aun yang tidak mengimani keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi barangsiapa mau menetapkan lalu menyerupakan nama dan sifat tersebut dengan makhluk berarti dia menyamai kaum musyrikin yang mengibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab seorang yang menyerupakan nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang ada pada makhluk, pada hakikatnya dia mengibadahi sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sama dengan makhluk-Nya. Kemudian, barangsiapa mau menetapkan sesuatu yang sudah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya tanpa menyerupakan dengan yang selain-Nya berarti dia seorang muwahhid (seorang yang bertauhid). Wallahu a’lam bish-shawab.
Penetapan dan peniadaan ini memiliki dali-dalil yang sangat otentik dan akurat dari dua arah yang tak diragukan lagi keabsahannya, yaitu syariat dan naluri logika. Adapun dari syariat, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلِلَّهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Hanya milik Allah nama-nama yang paling baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mengenai nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan atas segala yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
فَلاَ تَضْرِبُوا لِلَّهِ اْلأَمْثَالَ إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kalian mengikuti sesuatu yang kalian tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, seluruhnya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 36)
Sedangkan dalil dari naluri logika yaitu kita mengatakan bahwa berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk pemberitaan yang tak mungkin akal kita mampu menangkap rinciannya tanpa tuntunan wahyu. Oleh karena itu, seharusnya kita mencukupkan diri dengan setiap yang diberitakan oleh wahyu saja dan tidak melampauinya.
Menggabungkan antara penetapan dan peniadaan dalam masalah nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan hakikat tauhid. Tak mungkin mencapai kebenaran hakikat tauhid kecuali dengan penetapan dan peniadaan. Karena mencukupkan diri dengan penetapan semata, tidaklah mencegah timbulnya penyerupaan dan penyekutuan. Sedangkan mencukupkan diri dengan peniadaan berarti penolakan yang murni.
Sebagai contoh, jika engkau berkata, “Si Zaid bukan seorang pemberani.” Berarti engkau telah meniadakan sifat pemberani dari si Zaid sekaligus menolak (menjauhkan) Zaid dari sifat pemberani. Jika engkau berkata, “Zaid adalah seorang pemberani.” Berarti engkau telah menetapkan sifat pemberani bagi Zaid, tetapi tidak menolak kemungkinan bahwa selain Zaid juga pemberani. Jika engkau berkata, “Tak ada seorang pun yang pemberani kecuali Zaid.” Berarti engkau telah menetapkan sifat pemberani bagi Zaid dan meniadakannya dari selain Zaid. Dengan demikian, engkau telah mengesakan Zaid dalam perkara keberanian.
Jadi, tidak mungkin mengesakan seseorang dalam suatu perkara kecuali dengan menggabungkan antara peniadaan dan penetapan.
Di sini kita perlu menegaskan bahwa seluruh sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi diri-Nya merupakan sifat-sifat kesempurnaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak menyebutkannya secara rinci daripada mengglobalkan. Karena bila pemberitaan dan kandungan-kandungan yang ditunjukkannya semakin banyak maka akan tampak kesempurnaan dzat yang disifatkan dengannya, yang sebelumnya tidak diketahui.
Oleh karena itu, sifat-sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi diri-Nya lebih banyak diberitakan daripada sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari diri-Nya. Adapun seluruh sifat yang telah ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari diri-Nya merupakan sifat-sifat kekurangan yang tidak pantas bagi Dzat-Nya, seperti sifat kelemahan, letih, aniaya, dan sifat menyerupai para makhluk.
Kebanyakan sifat ini disebutkan secara global. Sebab hal itu lebih mendukung untuk mengagungkan dzat yang disifatkan dan lebih sempurna dalam menyucikannya. Sedangkan penyebutan sifat-sifat itu secara rinci tanpa alasan, bisa menjadi ejekan dan pelecehan terhadap dzat yang disifati.
Jika anda memuji seorang raja dengan mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang yang dermawan, pemberani, teguh, memiliki hukum yang kuat, perkasa atas musuh-musuhmu” dan sifat-sifat terpuji lainnya, sungguh hal ini termasuk sanjungan yang sangat besar terhadapnya. Bahkan di dalamnya terdapat nilai pujian yang lebih dan menampakkan kebaikan-kebaikannya, sehingga menjadikannya sebagai seorang yang dicintai dan dihormati, karena anda telah memperinci sifat-sifat yang ditetapkan baginya.
Demikian pula jika anda mengatakan kepadanya, “Anda adalah seorang raja yang tak bisa disamai oleh seorang pun dari raja-raja dunia yang berada di masamu,” sungguh hal ini juga merupakan sanjungan yang bernilai lebih, karena anda telah mengglobalkan sifat-sifat yang ditiadakan darinya.
Jika anda mengatakan kepadanya, “Engkau adalah seorang raja yang tidak pelit, tidak penakut, tidak faqir, dan engkau bukan seorang penjual sayur, bukan seorang tukang sapu, bukan dokter hewan, dan bukan tukang bekam,” dan rincian-rincian yang semacam itu dalam meniadakan segala keaiban yang tidak pantas bagi kemuliaannya, sungguh hal ini akan dianggap sebagai ejekan dan pelecehan terhadap haknya.
Walaupun yang mayoritas pada sifat-sifat yang ditiadakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Dzat-Nya adalah disebutkan secara global, namun terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkannya dengan rinci pula, karena beberapa sebab:
1. Untuk meniadakan sesuatu yang diklaim oleh para pendusta terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya:
مَا اتَّخَذَ اللهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi beserta-Nya.” (Al-Mu`minun: 91)
2. Untuk menepis anggapan akan suatu kekurangan pada kesempurnaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari, dan tidaklah sedikitpun kami ditimpa keletihan.” (Qaf: 38)
Di dalam Al-Qur`an terlalu banyak ayat yang berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara rinci. Di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
هُوَ اللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ. هُوَ اللهُ الَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ. هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dialah Allah yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, yang Maha Memiliki, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang Maha Sombong. Maha Suci Allah dari segala yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Maha Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang baik. Seluruh yang di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya. Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Hasyr: 22-24)
Ayat-ayat ini mengandung lebih dari 15 nama, dan setiap nama bisa mengandung satu atau dua sifat bahkan bisa pula lebih. Juga di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيُدْخِلَنَّهُمْ مُدْخَلاً يَرْضَوْنَهُ وَإِنَّ اللهَ لَعَلِيْمٌ حَلِيْمٌ. ذَلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوْقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللهُ إِنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ. ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ يُوْلِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُوْلِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَأَنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ. ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَتُصْبِحُ اْلأَرْضُ مُخْضَرَّةً إِنَّ اللهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ. لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَإِنَّ اللهَ لَهُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ. أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءَ أَنْ تَقَعَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan bahwasanya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, dialah (Ilah) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil, dan sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Apakah kalian tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya? Dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Hajj: 59-65)
Ayat ini berjumlah tujuh ayat yang saling beriringan. Masing-masing ayat ditutup dengan dua nama dari nama-nama Allah, sedangkan setiap nama mengandung satu atau dua sifat bahkan bisa pula lebih.
Mengenai peniadaan yang disebutkan secara global, di antaranya sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” (Asy-Syura: 11)
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash: 4)
Di sini kita ingin kembali menegaskan bahwa kesamaan dalam perkara nama dan sifat tidaklah menunjukkan kesamaan antara dzat-dzat yang diberi nama dan disifati. Hal ini bisa dibuktikan melalui dalil-dalil syariat, logika, dan panca indera.
1. Bukti dari dalil yang syar’i di antaranya, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang Dzat-Nya:
إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa`: 58)
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Demikian pula di dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa manusia mendengar dan melihat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيْعًا بَصِيْرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan dia seorang yang mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Namun tentunya pendengaran Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak sama dengan pendengaran manusia walaupun sama-sama diberi nama dan disifati dengan mendengar. Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita akan hal ini dengan firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
2. Bukti dari dalil yang logis, yaitu bahwa perkara yang maknawi dan sebuah sifat akan terkait dan terbedakan dari yang lainnya sesuai dengan apa yang dinisbatkan kepadanya. Bila segala sesuatu berbeda-beda dari sisi hakikat dzatnya, maka pastilah segala sesuatu berbeda-beda pula dari sisi sifat dan perkara maknawi yang dinisbatkan kepadanya. Oleh karena itu, sifat setiap dzat yang diberikan padanya sesuai dengan yang dinisbatkan kepadanya dan tidak mungkin kurang atau melebihi dzat yang disifatkan. Sebagai contoh, kita mensifatkan manusia dengan kelembutan dan juga mensifatkan besi yang meleleh dengan kelembutan. Padahal kita mengetahui bahwa jenis kelembutan itu berbeda-beda maknanya sesuai dengan apa yang dinisbatkan kepadanya.
3. Adapun bukti dari dalil secara panca indera, yaitu bahwasanya kita menyaksikan gajah memiliki fisik, kaki, serta kekuatan dan nyamuk juga memiliki fisik, kaki, serta kekuatan. Di sini tentunya kita mengetahui perbedaan antara fisik, kaki, serta kekuatan keduanya.
Jika kita sudah mengetahui bahwa kesamaan dalam perkara nama dan sifat di antara para makhluk tidaklah berkonsekuensi keserupaan dalam bentuk hakikatnya, padahal mereka adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tidak adanya keserupaan antara Dzat yang Maha pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya dalam hakikat nama dan sifat tentu lebih utama dan jelas. Bahkan kesamaan antara Dzat Yang Maha Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya dalam perkara nama dan sifat adalah sesuatu yang amat sangat tidak mungkin terjadi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Prinsip dalam Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, Ahlus Sunnah menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak diragukan lagi, bahwa menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala haruslah dengan prinsip-prinsip yang benar. Ahlus Sunnah menyucikan nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menolaknya dan menetapkannya tanpa menyerupakannya (dengan nama dan sifat-sifat makhluk). Ada empat perkara yang diingkari oleh Ahlus Sunnah dalam menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai berikut:
1. At-Tahrif
At-Tahrif secara bahasa bermakna menyimpangkan sesuatu dari hakikat, bentuk, dan kebenarannya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah memalingkan sebuah ucapan dari makna zhahirnya yang semula dipahami, kepada makna lain yang tidak ditunjukkan oleh rangkaian kalimatnya. Perbuatan At-Tahrif terbagi kepada dua jenis:
a. At-Tahrif yang dilakukan pada teks lafadz. Jenis yang ini terbagi kepada tiga bentuk:
1. Mengubah harakatnya. Di antaranya seperti bacaan dari sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa`: 164)
Mereka membacanya dengan memberi harakat fathah pada kata (اللهَ) dengan tujuan untuk mengubah maknanya, yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam yang mengajak Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk berbicara, bukan sebaliknya.
2. Menambahkan hurufnya, yang demikian itu seperti men-tahrif bacaan اسْتَوَى yang artinya tinggi, menjadi اسْتَوْلَى yang artinya berkuasa.
3. Menambahkan kalimatnya, yang demikian itu seperti menambahkan kata (الرَّحْمَةُ) yang artinya rahmat, pada firman Allah وَجَاءَ رَبُّكَ yang artinya “telah datang Rabbmu”, sehingga menjadi وَجَاءَ رَحْمَةُ رَبِّكَ yang artinya “telah datang rahmat Rabbmu.”
b. At-Tahrif yang dilakukan pada makna kata tanpa mengubah harakat dan lafadznya. Contohnya seperti ucapan sebagian ahli bid’ah terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ
“Bahkan kedua tangan-Nya terbentang.” (Al-Ma`idah: 64)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan-Nya adalah kekuasaan atau nikmat-Nya, atau yang selain itu.
Di sini perlu ditegaskan bahwa ahli bid’ah yang suka melakukan At-Tahrif tidak menamakannya dengan At-Tahrif, tetapi menyebutnya sebagai At-Ta`wil yang artinya menafsirkan. Hal ini karena mereka tahu bahwa kata At-Tahrif berkonotasi jelek dan tercela di dalam Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mentahrif (mengubah) perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisa`: 46)
Pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menisbatkan perbuatan At-Tahrif kepada kaum Yahudi. Ini menunjukkan bahwa konotasi maknanya adalah jelek. Mereka mengganti istilah At-Tahrif dengan istilah At-Ta`wil agar lebih diterima oleh banyak kalangan, dan dalam rangka melariskan dagangan kebid’ahan mereka di antara orang-orang yang tidak bisa membedakan antara keduanya.
2. At-Ta’thil
At-Ta’thil secara bahasa maknanya meninggalkan dan mengosongkan. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menolak makna yang benar di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. At-Ta’thil terbagi kepada dua jenis:
1. At-Ta’thil yang bersifat global, yaitu menolak nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala secara menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Jahmiyyah, Al-Qaramithah, para ahli filsafat, dan yang selain mereka.
2. At-Ta’thil yang bersifat parsial, yaitu menolak sebagian dan menetapkan sebagian yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menetapkan nama-nama-Nya. Demikian pula kelompok Al-Asya’irah, Al-Kullabiyyah, dan Al-Maturidiyyah yang menolak sebagian sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menetapkan sebagian yang lainnya.
3. At-Tamtsil
At-Tamtsil secara bahasa maknanya menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah meyakini bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Pencipta serupa dengan sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. At-Tamtsil terbagi dua jenis:
1. Menyerupakan makhluk dengan Dzat Yang Maha Pencipta, yaitu menetapkan untuk makhluk sesuatu yang telah menjadi kekhususan Dzat yang Maha Pencipta. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Menyerupakan Dzat yang Maha Pencipta dengan makhluk ciptaan-Nya, yaitu menetapkan untuk Dzat yang Maha Pencipta sesuatu yang telah menjadi kekhususan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi ketika mereka mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang faqir, pelit, dan lemah.
4. At-Takyif
At-Takyif maknanya meyakini sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk tertentu yang dibayangkan di alam pikiran, atau menanyakan bagaimana bentuknya walaupun tanpa menyerupakannya dengan sesuatu yang wujud. Berarti At-Takyif berbeda dari At-Tamtsil dari satu sisi dan sama dari sisi yang lainnya. Perbedaan keduanya, At-Takyif menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang tak ada wujudnya di luar alam pikiran, sedangkan At-Tamtsil menyerupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang ada wujudnya di luar alam pikiran. Adapun kesamaannya, keduanya sama-sama perbuatan menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang selainnya. Sehingga setiap orang yang melakukan At-Tamtsil pasti melakukan pula At-Takyif, tetapi tidak sebaliknya.
Kelompok-kelompok yang Sesat
Secara garis besar, kelompok-kelompok yang sesat dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala terbagi menjadi dua golongan:
1. Al-Mu’aththilah, yaitu orang-orang yang mengingkari nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Mereka mengingkari karena keyakinan bahwa menetapkannya berarti menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Keyakinan mereka ini adalah batil dan bertentangan dengan dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Untuk membuktikan kebatilan keyakinan mereka, bisa dilihat dari beberapa sisi, di antaranya:
a. Keyakinan mereka ini mengandung beberapa konsekuensi yang batil, di antaranya berkonsekuensi terjadinya kontradiksi di antara firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada sebagian ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Dzat-Nya. Pada ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala meniadakan penyerupaan-Nya dengan yang selain-Nya. Jika menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya, maka telah terjadi kontradiksi di antara firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagiannya telah mendustakan sebagian yang lain.
b. Kesamaan antara dua hal dalam perkara nama atau sifat, tidaklah menuntut keserupaan antara hakikat keduanya dari segala sisi. Kita bisa melihat dua orang yang sama-sama disebut dengan manusia, mendengar dan melihat. Namun bukan berarti keduanya sama dalam sifat kemanusiaan, pendengaran, dan penglihatan dari segala sisi. Pasti sifat-sifat yang dimiliki oleh keduanya sangat berbeda hakikatnya. Bila perbedaan hakikat nama dan sifat terjadi di kalangan makhluk walaupun ada kesamaan pada sebagian sisi, maka perbedaan hakikat nama dan sifat antara Allah Subhanahu wa Ta’ala dan makhluk-Nya tentu lebih nyata dan lebih besar.
2. Al-Musyabbihah, yaitu orang-orang yang menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi menyerupakan dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Mereka menyerupakannya karena berkeyakinan bahwa hal itu merupakan kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tentunya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami. Kita meyakini bahwa keyakinan mereka ini adalah batil. Bisa dibuktikan kebatilan keyakinan mereka dari beberapa sisi, di antaranya:
a. Menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya adalah kebatilan yang ditolak oleh naluri logika dan syariat. Sebab, kandungan-kandungan makna yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak mungkin merupakan perkara yang batil.
b. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak manusia berbicara dengan sesuatu yang mereka pahami dari sisi asal makna kata atau kalimat. Adapun bentuk dan hakikat yang berkaitan dengan nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mereka ketahui, dan ilmunya hanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan sifat ‘mendengar’ dan ‘melihat’ bagi Dzat-Nya, niscaya kita bisa memahami maksud kata ‘mendengar’ dan ‘melihat’ dari sisi asal makna kata. ‘Mendengar’ artinya mampu menangkap segala suara dan ‘melihat’ artinya mampu menangkap apa saja yang bisa dilihat. Namun tak seorang pun di antara manusia yang dapat mengetahui hakikat pendengaran dan penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, hakikat sifat mendengar dan melihat yang ada di kalangan manusia berbeda dengan hakikat sifat mendengar dan melihat yang dimiliki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.
Al-Ilhad dalam Masalah Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Al-Ilhad secara bahasa maknanya miring atau menyimpang dari sesuatu. Disebut liang lahad dalam kuburan dengan nama itu karena lubangnya berada di bagian samping dari kuburan dan bukan di tengahnya. Adapun menurut istilah syariat, maknanya adalah menyimpang dari syariat yang lurus kepada salah satu bentuk kekafiran.
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya menyimpang dari kebenaran yang wajib untuk ditetapkan pada nama dan sifat-sifat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلِلّّهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Hanya milik Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam perkara nama-nama-Nya. Niscaya mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)
Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala terbagi kepada lima jenis, sebagai berikut:
1. Menetapkan bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebuah nama atau lebih, yang tidak ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Dzat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli filsafat ketika mereka menamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebutan, (عِلَّةٌ فَاعِلَةٌ) yang artinya unsur pembuat. Demikian pula yang dilakukan oleh kaum Nasrani ketika mereka menamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebutan tuhan bapak dan menamakan Nabi ‘Isa dengan sebutan tuhan anak. Semua ini adalah penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sepantasnya juga kaum muslimin menghindari memanggil nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebutan ‘Gusti’ atau ‘Pangeran’, seperti ucapan: “Wahai Gusti ampunilah aku,” atau “Wahai Pangeran tolonglah aku.” Hal ini sebaiknya dihindari, karena dikhawatirkan termasuk dalam bentuk penamaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menamai diri-Nya dengannya, dan tidak pula dinamai oleh Rasul-Nya. Karena nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perkara tauqifiyyah, yakni tidak bisa ditetapkan kecuali dengan pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Bila kita menamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan bagi Dzat-Nya, berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
2. Mengingkari satu nama atau lebih, yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi Dzat-Nya. Perbuatan ini adalah kebalikan dari yang pertama. Maka pengingkaran terhadap nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala baik secara keseluruhan atau sebagian merupakan perbuatan Al-Ilhad. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia yang menolak nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti kelompok Al-Jahmiyyah. Mereka mengingkari dan menolak nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan alasan agar tidak menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benda-benda yang ada di alam ini. Pendapat mereka ini jelas merupakan kebatilan murni dan tidak bisa diterima. Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan sebuah nama bagi Dzat-Nya maka kita harus menetapkannya pula dan tak ada alasan untuk menolaknya. Jika kita mengingkari atau menolaknya berarti kita telah menyimpang dalam perkara nama-Nya. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
3. Menetapkan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi mengingkari sifat-sifat-Nya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Al-Mu’tazilah. Sebagai contoh, mereka menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mendengar namun tanpa pendengaran, Maha Melihat namun tanpa penglihatan, Maha Mengetahui namun tanpa ilmu, Maha Kuasa namun tanpa kekuasaan, dan seterusnya. Sebagian mereka mengatakan bahwa nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang banyak itu pada hakikatnya hanyalah satu nama saja, tidak lebih. Pendapat-pendapat mereka ini sangat tidak logis bagi siapa saja yang memiliki akal pikiran. Terlebih lagi jika diukur dengan penilaian Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidaklah ditetapkan sebuah nama pada sesuatu melainkan karena dia memiliki sifat yang sesuai dengan namanya. Dan setiap nama pasti menunjukkan kepada suatu sifat yang sesuai dengannya. Maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa nama-nama yang banyak pada hakikatnya hanya menunjukkan pada satu nama? Ini jelas penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi juga menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Hal ini sebagaimana dilakukan kelompok Al-Musyabbihah. Seharusnya kita menetapkan nama dan sifat-sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat-sifat para makhluk. Jika tidak, berarti kita telah melakukan penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
5. Mengambil pecahan kata dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu menjadikannya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin di masa jahiliah. Mereka menamakan sebagian berhala mereka dengan pecahan kata yang diambil dari nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti, Al-Laatta yang diambil dari nama Allah Subhanahu wa Ta’ala Al-Ilah, Al-‘Uzza yang diambil dari nama Allah Al-‘Aziz, Al-Manaat yang diambil dari nama Allah Al-Mannan. Ini adalah penyimpangan dalam menggunakan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seharusnya nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi perkara yang khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengambil pecahan-pecahan katanya sebagai nama untuk sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan perbuatan Al-Ilhad.
Demikianlah jenis-jenis penyimpangan dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ahlus Sunnah tidak berbuat Al-Ilhad (penyimpangan), bahkan mereka menyikapi nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri. Mereka menetapkan pula seluruh makna yang telah ditunjukkan oleh nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, karena mereka meyakini bahwa menyelisihi prinsip ini merupakan perbuatan Al-Ilhad dalam perkara nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawab.
Buah Keimanan kepada Nama dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan suatu perkara yang sia-sia tanpa manfaat. Bahkan hal itu mengandung berbagai manfaat yang sangat positif terhadap tauhid dan ibadah seorang hamba. Lebih dari itu, beriman kepada nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah wujud dari tauhid dan ibadah hamba itu sendiri. Dalam tulisan ini kita akan menyebutkan sebagian manfaat tersebut, antara lain:
1. Merealisasikan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga seorang hamba tidak menggantungkan harapan, rasa takut, dan ibadahnya kepada yang selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Menyempurnakan rasa cinta dan pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kandungan nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat Nya yang tinggi.
3. Merealisasikan peribadahan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Demikianlah yang bisa kita tuliskan di sini, semoga bermanfaat bagi segenap kaum muslimin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
1 Walaupun ada yang mengatakan bahwa hal ini dibolehkan bila ditinjau dari sisi penerjemahan, namun dalam praktiknya lebih mengarah kepada penamaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menamakan diri-Nya dengannya, tidak pula oleh Rasul-Nya. Sehingga, sebaiknya memanggil nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya, seperti; “Ya Rabbi,” atau “Ya Allah.” (ed)
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=443
engkong- SERSAN SATU
-
Posts : 150
Kepercayaan : Islam
Location : betawi
Join date : 03.08.13
Reputation : 2
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Syahadat Laa ilaaha illallah merupakan pondasi dasar dienul Islam. Ia merupakan rukun pertama dari rukun Islam yang lima. Kalimat Laa ilaaha illallah merupakan kalimat yang menjadi pemisah antara mukmin dan kafir. Ia menjadi tujuan diciptakannya makhluk. Ia juga merupakan sebab di utusnya para rasul. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri diperintah untuk memerangi manusia sehingga manusia mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, sebagaimana hadits yang terdapat dalam Bukhari dan Muslim, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu (yang artinya):
“Aku diperintah memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah berarti selamat dariku harta dan jiwanya kecuali hak keduanya. Dan adapun perhitungannya (diserahkan) kepada Allah Azza wa Jalla.”
Karena kalimat Laa ilaaha illallah ini pula ditegakkan timbangan keadilan dan catatan amal. Merupakan materi utama yang akan ditanyakan dan dihisab, merupakan asas agama, merupakan hak Allah atas hamba-Nya untuk masuk Islam dan kunci keselamatan, penentu surga dan neraka.
Kita terkadang melihat sebagian kaum muslimin –kalau tidak boleh dikatakan banyak- setelah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, telah merasa bahwa dirinya sudah selamat dari api neraka. Asalkan sudah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah sudah pasti masuk surga, sudah jaminan bebas dari api neraka. Mereka tidak lagi melihat haram dan haram. Tidak memperhatikan lagi apakah melakukan ke-syirik-kan atau tidak. Apakah telah melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat-nya atau tidak.
Mereka, selain menyembah Allah juga menyembah kepada yang lain. Datang dan minta ke kuburan, menyembah kuburan, minta berkah kepada batu atau pohon, menggunakan jimat dan mantra-mantra, berdoa kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, bersumpah kepada selain Allah, datang, percaya, dan minta kepada dukun, melakukan sihir, dan melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat mengurangi kesempurnaan bahkan membatalkan syahadatnya.
Ketika diberitahu dan diingatkan, terkadang di antara mereka berdalih dengan hadits: dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal (yang artinya):
“ Tak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tiada illah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya kecuali Allah mengharamkan baginya neraka.” (Riwayat Muslim)
Sudahkah mereka memahami, apa makna kalimat Laa ilaaha illallah? Apa syarat dan rukun-nya, apa pula konsekuensinya dan pembatal-pembatalnya?
Ketika mereka (para penyembah berhala) diberitahu, dijelaskan kebenaran, kebanyakan dari mereka berpaling, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Mereka tetap saja menyembah berhala dan tidak mau mendengarkan firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, serta menolak petunjuk orang-orang yang memberi nasihat, dan barangkali juga mereka justru menentang dan menyakiti orang yang mengingkari kebatilan dan dosa-dosa mereka. Allahu Musta’an.
Mereka lupa (atau berpura-pura lupa?) atau bodoh (atau berpura-pura bodoh?)? Atau memang karena tidak tahu? Belum sampai penjelasan kepada mereka? entahlah. Allahu A’lam; bahwa di dalam kalimat Laa ilaaha illallah terdapat syarat dan rukun yang harus kita penuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus kita laksanakan, ada juga pembatal-pembatal yang harus kita tingggalkan dan jauhi. Jadi tidak semata-mata hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah semuanya menjadi beres.
Kalau kita tidak waspada dan hati-hati, kita dapat berbuat seperti mereka, melakukan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan Laa ilaaha illallah kita. Naudzu billahi min dzalik. Kita berlindung dari hal yang demikian.
Karenanya mari kita bersama-sama mengoreksi syahadat Laa ilaaha illallah yang telah kita ucapkan. Apakah sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maknanya, konsekuensinya, apakah telah meninggalkan pembatal-pembatalnya atau belum. Apabila sudah, alhamdulillah, itu yang kita harapkan. Namun apabila sebaliknya, marilah kita perbaiki, mumpung masih ada kesempatan. Selagi ajal belum sampai tenggorokan.
Makna Laa ilaaha illallah
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin dalam bukunya yang diterjemahkan menjadi “Murnikan Syahadat Anda” (hal.35) membawakan analisa Syaikh Sulaiman bin Abdullah dalam buku tafsir ‘Aziz Al-Hamid syarah Kitab Tauhid halaman 53; beliau, Syaikh Sulaiman bin Abdullah menyebutkan makna Laa ilaaha illallah adalah Laa ma’ buda bihaqqin illa ilaahun wahid (tidak ada yang disembah yang sebenarnya kecuali ilah yang satu), yaitu Allah yang tunggal yang tiada memiliki sekutu baginya.
“Dan tiadalah Kami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’:25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:36)
Makna ilah yang sebenarnya adalah al-ma’bud (sesuatu yang disembah). Karenanya ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajak orang musyrik Quraisy untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah, mereka menjawab:
“Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad:5)
Demikian penjelasan Syaikh Jibrin pada buku tersebut hal.35-37.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan di dalam bukunya, yang diterjemahkan dengan judul “Kitab Tauhid I” pada hal 52-53 menjelaskan beberapa penafsiran batil menganai Laa ilaaha illallah ini yang banyak beredar di masyrakat. (Saya nukil dengan sedikit perubahan) Adapun yang menafsirkan “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, “Tidak ada Tuhan selain Allah”; ini adalah tafsiran yang batil. Hal ini menyelisihi kenyataan, karena pada kenyataannya ada yang disembah kecuali Allah. Kemudian, tafsiran tersebut dapat berarti juga bahwa setiap yang disembah baik yang haq maupun batil adalah Allah.
Sedangkan penafsiran “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizqi kecuali Allah”, ini hanyalah sebagian dari arti kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mencakup tauhid rububiyah saja, sedangkan tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, dan asma dan sifat Allah.
Demikian pula penafsiran “Tidak ada hakim (penentu hukum) kecuali Allah”, ini juga cuma sebagian dari kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dikehendaki, karenanya maknanya belum cukup.
Syarat Laa ilaaha illallah
Bersaksi Laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat, tanpa syarat-syarat ini tidak bermanfaat bagi yang mengucapkan. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Al-Ilmu artinya mengetahui makna kalimat ini. Karenanya orang yang mengucapkan tanpa memahami makna dan konsekuensinya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara dengan bahasa tertentu tapi ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.
Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya):
“Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah.” (Muhammad:19)
“Melainkan orang yang menyaksikan kebenaran sedang mereka mengerti.” (Az-Zukhruf:86)
Hadits dari Utsman bin Affan Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa mati dan dia mengetahui bahwasanya Laa ilaaha illallah ,maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
2. Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat ini tanpa ragu dan bimbang sedikitpun.
Dalilnya firman Allah (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman keapda Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Hadits dari Abu Hurairah (yang artinya):
“Tidaklah bertemu Allah seorang hamba yang membawa kedua kalimat syahadat dan dia betul-betul tidak ragu-ragu kecuali dia masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Al-Ikhlas artinya ikhlas tanpa disertai kesyirikan sedikitpun. Inilah konsekuensi pokok Laa ilaaha illallah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
”Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan semata mengharap agar mendapat ridha Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari-Muslim)
4. Ash-Shidqu artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak sekali yang mengucapkan kalimat ini akan tetapi tidak diyakini isinya dalam hati.
Firman Allah (yang artinya):
“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allahdan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mreka berdusta.” (Al-Baqarah:8-10)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tiadalah seseorang bersaksi secara jujur dari hatinya bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali orang tersebut diharamkan dari neraka.” (Bukhari-Muslim)
5. Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya serta merasa gembira dengan hal itu, hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang munafik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165)
Dalam hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Tiga perkara, jika dimiliki oelh seseorang, ia akan mendapat manisnya iman, yaiut: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, mencintai seseorang karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran seperti ia membenci jika dicampakkan ke dalam api neraka.”
6. Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlas dan mencari ridha Allah, ini termasuk konsekuensinya.
Firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya):
“Dan siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat baik, maka dia telah berpegang kepada urwatul wutsqa.” (Lukman:22)
7. Al-Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak, hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallah mereka takabur.” (Ash-Shofat:35)
Syarat-syarat di atas diambil oleh para ulama dari nash Al-Qur’an dan sunnah yang membahas secara khusus tentang kalimat agung ini, menjelaskan hak dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya. Yang intinya, kalimat Laa ilaaha illallah bukan sekedar diucapkan dengan lisan.
Rukun Laa ilaaha illallah
Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun, yaitu:
1. An-Nafyu (peniadaan) artinya membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
2. Al-Itsbat (penetapan) artinya menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Dalil dari kedua rukun Laa ilaaha illallah ini adalah firman Allah (yang artinya):
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…” (Al Baqarah:256)
‘Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut’ adalah makna dari rukun pertama Laa ilaaha, sedangkan ‘Beriman kepada Allah’ adalah makna rukun kedua illallah.
Konsekuensi Laa ilaaha illallah
Mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallah adalah dengan cara menyembah Allah dengan ikhlas dan mengingkari segala jenis peribadatan kepada selain Allah (syirik). Inilah tujuan utama kalimat ini. Termasuk konsekuensi kalimat ini adalah menerima (dengan ketundukan yang penuh) syariat Allah dalam masalah ibadah, muamalah, halal, haram dan menolak segala macam bentuk syariat dari selain-Nya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura:21)
Pembatal-Pembatal Laa ilaaha illallah
Di dalam buku: “Penjelasan Tentang Pembatal Keislaman” disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah atau pembatal keislaman adalah hal-hal yang dapat merusakkan keislaman seseorang. Manakala hal itu menimpa diri seseorang, maka hal itu dapat merusakkan keislamannya dan mengguggurkan amalan-amalannya, dan dia menjadi termasuk orang-orang yang kekal di dalam api neraka.
Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib mempelajari pembatal-pembatal ini. Jika tiadak, maka bisa jadi seorang muslim terperosok ke dalamnya sedangkan ia tidak merasa, seperti yang terlihat pada kebanyakan orang yang mengaku dirinya sebagai orang islam. La Haula wa la Quwwata Illah Billah!
Di dalam buku tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah ini jumlahnya banyak, tapi yang pokok ada sepuluh. Pembatal-pembatal yang lain kembalinya kepada yang sepuluh ini. Saya ringkskan permasalahan ini dari buku tersebut untuk Anda wahai Saudaraku. Pahamilah! Pembatal-pembatal tersebut adalah:
1.Syirik dalam beribadah kepada Allah
Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih kurban untuk selain Allah, seperti untuk jin atau kuburan, jembatan, rumah, atau lainnya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’:48)
Ada ulama yang membagi syirik menjadi tiga, yaitu: syirik akbar, syirik ashghar, dan syirik khafi. Namun ada juga yang cuma membagi menjadi dua, yaitu: syirik akbar dan syirik ashgar.
Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam dan menjadikannya pelakunya kekal di dalam neraka, jika ia mati dalam keadaan membawa dosa syirik besar tersebut dan belum bertaubat.
Diantara yang termasuk syirik besar adalah penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, takut kepada orang yang mati, jin, syaithan bahwa mereka bisa membahayakan dan membuat sakit, meminta kepada orang mati.
Syirik besar dibagi menjadi empat, yaitu syirik doa(disamping berdoa kepada Allah juga berdoa kepada selainnya), syirik niat, keinginan dan tujuan (menunjukkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah), syirik ketaatan (mentaaati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah), syirik kecintaan (menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan).
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari Islam, tetapi mengurangi tauhid dan merupakan perantara kepada syirik besar.
Syirik kecil dibagi dua, yaitu syirik zhahir (nyata) dan syirik khafi (tersembunyi).
Syirik zhahir ini terdiri dari perkataan dan perbuatan. Contoh dari perkataan adalah ucapan “Kalau bukan karena Allah dan karena si fulan”, adapun contoh yang berupa perbuatan misalnya memakai kalung atau benang sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya atau namimah. Apabila ia berkeyakinan bahwa hal itu sebagai perantara maka ia jatuh pada syirik kecil, namun apabila ia berkeyakin bahwa hal itu dapat menolak bahaya maka itu syirik besar.
Syirik khafi yaitu syirik dalam keingin dan niat, seperti riya (ingin dipuji orang), sum’ah (ingin didengar orang)
2.Orang yang membuat “Perantara” antara dirinya dengan Allah, yang kepada perantara-perantara itu ia berdoa atau meminta syafaat, serta bertawakal kepada mereka; maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra:56-57)
3.Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan madzab (ideologi) mereka.
Mengapa demikian?
Sebab, Allah Jalla wa ‘Ala telah mengkafirkan mereka melalui sekian banyak ayat di dalam kitab-Nya serta memerintahkan untuk memusuhi mereka disebabkan karena mereka telah mengada-adakan kebohongan atas nama Allah, menjadikan sekutu-sekutu di samping Allah serta menganggap Allah mempunyai anak laki-laki. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Allah Jalla wa ‘Ala telah mewajibkan atas kaum muslimin untuk memusuhi dan membenci mereka.
Seseorang tidak bisa disebut sebagai muslim, sehingga ia mengkafirkan orang-orang musyrik. Jika ia meragukan hal itu, padahal persoalannya sudah nyata mengenai siapa sebenarnya mereka itu, atau ia bimbang mengenai kekafiran mereka padahal ia telah memperoleh kejelasan, berarti ia telah kafir seperti mereka.
Orang yang membenarkan orang-orang musyrik itu dan menganggap baik terhadap kekufuran dan kezhaliman mereka, maka ia berarti kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. Sebab, ia berarti belum/tidak mengenal Islam secara hakiki, yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepadaNya dengan ketaatan, berlepas diri dari syirik dan orang-orang yang berbuat syirik. Sedangkan ia justru berwala’ (memberikan loyalitas) terhadap ahli syirik, mana mungkin dia akan mengkafirkan mereka.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesugguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah:4)
Inilah millah Ibrahim, barang siapa membencinya, maka ia berarti telah membodohi diri sendiri. Perhatikan pula surat Al-Maidah:51, Ali Imron:28, Az-Zukhruf:26-27, at-taubah:5, at-taubah:23, al-Mujadilah:23, al-mumtahanah:1, dan msih banyak ayat lain yang menjelaskan mengenai permasalahan ini. Perhatikanlah wahai Saudaraku kamu muslimin. Janganlah kalian tertipu oleh dai-dai yang menyeru kepada api neraka!!
4.Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau meyakini ada hukum yang lebih baik daripada hukum beliau; seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran:19)
“Barangsiapa mencari agama selain dari dien (agama) Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imron:85)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya):
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di tengah-tengah kalian, kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka pastilah kalian telah tersesat denagn keseatan yang jauh.” (HR. Ahmad)
5.Membenci sebagian (apalagi seluruhnya) ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, walaupun ia mengamalkannya.
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhya mereka benci kepda apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:8-9)
6.Memperolok-olok sebagian ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau memperolok pahala dan hukuman Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah:65-66)
7.Sihir, seperti sharf (jenis sihir yang ditujukan untuk memisahkan seseorang dengan kekasihnya) dan ‘athaf (di kalangan orang Jawa dikenal dengan istilah pelet). Ia melakukannya atau rela dengan sihir.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya):
“Keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah:102)
8.Tolong menolong dengan kaum musyrikin dan bantu membantu dengan mereka dalam menghadapi kaum muslimin.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Barangsiapa di antara kalian yang tolong-menolong dengan mereka, maka ia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah:51)
9.Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari syariat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana keleluasaan Nabi Khidir untuk tidak mengikuti syariat Musa alaihi salam.
Dalilnya adalah:
An-Nasa’I dan laiinya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa beliau melihat lembaran dari kitab Taurat di tangan Umar bin Al-Khattab Radhiallahu 'Anhu, lalu beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Apakah kamu masih juga bingung wahai putera al-Khathab?!, padahal aku telah membawakan kepadamau ajaran yang putih bersih. Seandainya Musa masih hidup, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, tentulah kamu tersesat.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Seandainya Musa masih hidup, maka tiada keleluasaan baginay kecuali harus mengikutiku,”
lalu Umar pun berkata: “Aku telah ridha bila Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien (agama), dan Muhammad (Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) sebagai nabi.”
10.Berpaling dari dinul (agama) Islam, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling dari padanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah:22)
Wahai saudaraku,
Semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk kepada kebenaran; ketahuilah bahwa pelaku-pelaku hal-hal yang membatalkan keislaman seseorang di atas, tidak ada bedanya antara yang melakukan dengan main-main, sungguh-sungguh, ataupun takut (karena harta,jabatan). Semuanya sama saja, kecuali bagi orang yang dipaksa. Orang yang dipaksa memiliki udzur sebagaimana kisahnya Ammar bin Yassir yang kemudian turun ayat An-Nahl:106.
Semua hal itu besar sekali bahayanya, karenanya setiap kita harus berhati-hati dan menjaga diri dengan baik. Jangan sampai kita terjerumus dalam hal yang berbahaya ini. Kita berlindung kepada Allah dari murka dan adzab-Nya yang pedih.
Untuk melengkapi risalah ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang dapat mengurangi,merusak,atau membatalkan kesempurnan tauhid Laa ilaaha illallah ini, selain apa yang telah disebutkan di atas. Diantaranya adalah:
Menggunakan benang, gelang, dan sejenisnya untuk menangkal bahaya. Termasuk juga menggantungkan selembar kertas, sepotong logam kuningan atau besi yang di atasnya tertulis lafdhul jalalah (Allah) atau ayat kursi atau meletakkan mushaf al-Qur’an di dalam mobil atau tempat lainnya dengan keyakinan bahwa semua itu dapat menjaga dan mencegahnya dari bahaya kecelakaan, dari kejelekan pandangan mata yang mengandung sihir (‘ain). Termasuk pula memasang sepotong kertas atau logam yang berbentuk telapak tangan atau terdapat gambar mata dengan keyakinan untuk mencegah pandangan mata (‘ain). Memasang rajah-rajah di warung atau toko dengan harapan agar terhindar dari kecurian,perampokan, dan harapan agar dagangannya laris.
Menggunakan akik, sabuk, atau benda-benda lainnya yang katanya benda tersebut sudah “diisi”, sehingga orang yang menggunakannya memiliki kesaktian, kekebalan, dan lain sebagainya dari banutan jin.
Ilmu-ilmu tenaga dalam yang menggunakan bantuan jin, apakah itu white magic ataupun black magic. Semuanya itu dilarang oleh syariat Islam. Apakah itu yang langsung “diisi” ataupun yang diperoleh dengan menggunakan ayat-ayat atau dzikir-dzikir yang bid’ah yang beraneka ragam yang tidak ada asalnya. Semuanya itu dapat merusak syahadat Laa ilaaha illallah.
Melakukan ruqyah-ruqyah yang tidak syar’i. Membaca hal-hal yang tidak dimengerti. Membaca ayat Qur’an dicampur hafalan-hafalan lain yang mengandung kesyirikan. Termasuk juga pengobatan-pengobatan “alternatif” yang dilakukan oleh para dukun dengan nama yang beraneka ragam, dengan mengelabui kaum muslimin bahwa seolah-olah pengobatannya adalah pengobatan sacara islam, yang diperbolehkan. Di antaranya adalah pemindahan penyakit dari orang yang sakit ke binatang, kemudian binatang itu disembelih untuk melihat bagian mana yang sakit dari si penderita.
Melakukan penyembelihan bukan karena Allah. Untuk rumah atau gedung yang baru di bangun. Disembelih untuk jembatan-jembatan. Penyembelihan kurban pada bulan Syuro (apa yang dinamakan Syuran). yang semuanya itu bertujuan untuk mengambil manfaat dan menghindari kejahatan dari jin dan setan yang dianggap menunggu dan atau menguasai tempat tersebut. Termasuk juga pembuatan bubur syuro yang ada pada masyarakat jawa. Bernadzar, isti’adzah (mohon perlindungan), istighatsah (mohon pertolongan tuk dimenangkan), dan berdoa kepada selain Allah juga tidak diperbolehkan. Hal yang demikian merusak tauhid.
“Ngalap berkah” ke kuburan-kuburan/petilasan-petilasan orang-orang yang dianggap shaleh seperti: kyai, nyai, syaikh. Atau “ngalap berkah” ke pohon-pohon angker, tempat-tempat “wingit”. Ada juga yang ke kuburannya para pahlawan, raja, presiden, ataupun nenek moyang. Bahkan ada juga ke makam yang sebenarnya kosong tapi dikatakan sebagai makamnya orang shaleh. Yang aneh lagi, ada juga kuburan yang didatangi untuk ngalap berkah ini yang merupakan kuburan binatang!!.
Beribadah di samping kubur dengan keyakinan hal itu lebih afdhal. Meminta kepada penghuni kubur, menjadikan penghuni kubur sebagai perantara antara kita dengan Allah. Melakukan thawaf di kuburan. Kita dilarang sholat di kuburan karena dapat menggiring kepada kesyirikan, bagaimana pula kalau kita beribadah kepada kubur? Untuk menjaga tauhid kita dilarang untuk membuat bangunan di atas kubur (memasang “kijing”). Kita dilarang juga untuk menjadikan kuburan sebagai ied (hari raya).
Kita dilarang untuk bersikap berlebih-lebihan kepada orang shalih dan mengangkat mereka melebihi dari kedudukannya. Ada di antara kaum muslimin yang mengangkat mereka melebihi kedudukannya, mereka angkat sederajat dengan kedudukan rasul, bahkan sederajat dengan Allah. Orang-orang shalih tersebut dianggap ma’sum, terbebas dari dosa.
Sebagaimana dijelaskan di atas, kita tidak boleh melakukan sihir, mendatangi tukang sihir, dukun, para normal, orang pintar, atau apapun namanya yang berprofesi seperti mereka, yang mengaku mengetahui hal yang ghaib. Kita tidak boleh mendatangi, bertanya, apalagi membenarkan mereka. Hal ini dapat merusak tauhid kita, merusak Laa ilaaha illallah kita. Termasuk juga ilmu nujum yang menggunakan perbintangan yang sekarang ini dinamakan astrologi. Demikian pula Zodiak-zodiak seperti: leo, pisces, aries, dan sebagainya; yang hal ini marak di koran, majalah, ataupun di televisi. Semua ini adalah dilarang.
Merasa bernasib sial karena suatu hal juga dilarang. Hal ini dalam bahasa dien (agama) dinamakan sebagai thiyarah. Merasa sial kalau mendengar suara burung tertentu, sehingga membatalkan rencananya. Apabila menabrak kucing ketika berkendaraan sudah pasti akan merasa sial (misalnya kecelakaan).Takut mengadakan perkawinan pada bulan Muharram (Suro), tidak boleh bepergian pada hari Sabtu karena hari tersebut hari sial, dan hal-hal lainnya yang semacam dengan ini. Semuanya ini adalah batil. Tidak ada perhitungan bulan atau hari baik, semua hari adalah baik.
Termasuk perbuatan merusak tauhid ada
“Aku diperintah memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Barangsiapa yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah berarti selamat dariku harta dan jiwanya kecuali hak keduanya. Dan adapun perhitungannya (diserahkan) kepada Allah Azza wa Jalla.”
Karena kalimat Laa ilaaha illallah ini pula ditegakkan timbangan keadilan dan catatan amal. Merupakan materi utama yang akan ditanyakan dan dihisab, merupakan asas agama, merupakan hak Allah atas hamba-Nya untuk masuk Islam dan kunci keselamatan, penentu surga dan neraka.
Kita terkadang melihat sebagian kaum muslimin –kalau tidak boleh dikatakan banyak- setelah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, telah merasa bahwa dirinya sudah selamat dari api neraka. Asalkan sudah mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah sudah pasti masuk surga, sudah jaminan bebas dari api neraka. Mereka tidak lagi melihat haram dan haram. Tidak memperhatikan lagi apakah melakukan ke-syirik-kan atau tidak. Apakah telah melakukan perbuatan yang bisa membatalkan syahadat-nya atau tidak.
Mereka, selain menyembah Allah juga menyembah kepada yang lain. Datang dan minta ke kuburan, menyembah kuburan, minta berkah kepada batu atau pohon, menggunakan jimat dan mantra-mantra, berdoa kepada selain Allah, menyembelih binatang untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, bersumpah kepada selain Allah, datang, percaya, dan minta kepada dukun, melakukan sihir, dan melakukan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat mengurangi kesempurnaan bahkan membatalkan syahadatnya.
Ketika diberitahu dan diingatkan, terkadang di antara mereka berdalih dengan hadits: dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal (yang artinya):
“ Tak ada seorang hamba pun yang bersaksi bahwa tiada illah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya kecuali Allah mengharamkan baginya neraka.” (Riwayat Muslim)
Sudahkah mereka memahami, apa makna kalimat Laa ilaaha illallah? Apa syarat dan rukun-nya, apa pula konsekuensinya dan pembatal-pembatalnya?
Ketika mereka (para penyembah berhala) diberitahu, dijelaskan kebenaran, kebanyakan dari mereka berpaling, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Mereka tetap saja menyembah berhala dan tidak mau mendengarkan firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, serta menolak petunjuk orang-orang yang memberi nasihat, dan barangkali juga mereka justru menentang dan menyakiti orang yang mengingkari kebatilan dan dosa-dosa mereka. Allahu Musta’an.
Mereka lupa (atau berpura-pura lupa?) atau bodoh (atau berpura-pura bodoh?)? Atau memang karena tidak tahu? Belum sampai penjelasan kepada mereka? entahlah. Allahu A’lam; bahwa di dalam kalimat Laa ilaaha illallah terdapat syarat dan rukun yang harus kita penuhi, konsekuensi-konsekuensi yang harus kita laksanakan, ada juga pembatal-pembatal yang harus kita tingggalkan dan jauhi. Jadi tidak semata-mata hanya mengucapkan Laa ilaaha illallah semuanya menjadi beres.
Kalau kita tidak waspada dan hati-hati, kita dapat berbuat seperti mereka, melakukan hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan melakukan hal-hal yang dapat membatalkan Laa ilaaha illallah kita. Naudzu billahi min dzalik. Kita berlindung dari hal yang demikian.
Karenanya mari kita bersama-sama mengoreksi syahadat Laa ilaaha illallah yang telah kita ucapkan. Apakah sudah memenuhi syarat dan rukunnya, maknanya, konsekuensinya, apakah telah meninggalkan pembatal-pembatalnya atau belum. Apabila sudah, alhamdulillah, itu yang kita harapkan. Namun apabila sebaliknya, marilah kita perbaiki, mumpung masih ada kesempatan. Selagi ajal belum sampai tenggorokan.
Makna Laa ilaaha illallah
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin dalam bukunya yang diterjemahkan menjadi “Murnikan Syahadat Anda” (hal.35) membawakan analisa Syaikh Sulaiman bin Abdullah dalam buku tafsir ‘Aziz Al-Hamid syarah Kitab Tauhid halaman 53; beliau, Syaikh Sulaiman bin Abdullah menyebutkan makna Laa ilaaha illallah adalah Laa ma’ buda bihaqqin illa ilaahun wahid (tidak ada yang disembah yang sebenarnya kecuali ilah yang satu), yaitu Allah yang tunggal yang tiada memiliki sekutu baginya.
“Dan tiadalah Kami mengutus sebelummu (Muhammad) seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’:25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl:36)
Makna ilah yang sebenarnya adalah al-ma’bud (sesuatu yang disembah). Karenanya ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengajak orang musyrik Quraisy untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah, mereka menjawab:
“Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shad:5)
Demikian penjelasan Syaikh Jibrin pada buku tersebut hal.35-37.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan di dalam bukunya, yang diterjemahkan dengan judul “Kitab Tauhid I” pada hal 52-53 menjelaskan beberapa penafsiran batil menganai Laa ilaaha illallah ini yang banyak beredar di masyrakat. (Saya nukil dengan sedikit perubahan) Adapun yang menafsirkan “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, “Tidak ada Tuhan selain Allah”; ini adalah tafsiran yang batil. Hal ini menyelisihi kenyataan, karena pada kenyataannya ada yang disembah kecuali Allah. Kemudian, tafsiran tersebut dapat berarti juga bahwa setiap yang disembah baik yang haq maupun batil adalah Allah.
Sedangkan penafsiran “Tidak ada pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizqi kecuali Allah”, ini hanyalah sebagian dari arti kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dimaksud, karena arti ini hanya mencakup tauhid rububiyah saja, sedangkan tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, dan asma dan sifat Allah.
Demikian pula penafsiran “Tidak ada hakim (penentu hukum) kecuali Allah”, ini juga cuma sebagian dari kalimat Laa ilaaha illallah. Bukan ini yang dikehendaki, karenanya maknanya belum cukup.
Syarat Laa ilaaha illallah
Bersaksi Laa ilaaha illallah harus dengan tujuh syarat, tanpa syarat-syarat ini tidak bermanfaat bagi yang mengucapkan. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Al-Ilmu artinya mengetahui makna kalimat ini. Karenanya orang yang mengucapkan tanpa memahami makna dan konsekuensinya, ia tidak dapat memetik manfaat sedikitpun, bagaikan orang yang berbicara dengan bahasa tertentu tapi ia tidak mengerti apa yang diucapkannya.
Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya):
“Maka ketahuilah bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Allah.” (Muhammad:19)
“Melainkan orang yang menyaksikan kebenaran sedang mereka mengerti.” (Az-Zukhruf:86)
Hadits dari Utsman bin Affan Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa mati dan dia mengetahui bahwasanya Laa ilaaha illallah ,maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
2. Al-Yaqin artinya meyakini sepenuhnya kebenaran kalimat ini tanpa ragu dan bimbang sedikitpun.
Dalilnya firman Allah (yang artinya):
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman keapda Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Hadits dari Abu Hurairah (yang artinya):
“Tidaklah bertemu Allah seorang hamba yang membawa kedua kalimat syahadat dan dia betul-betul tidak ragu-ragu kecuali dia masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Al-Ikhlas artinya ikhlas tanpa disertai kesyirikan sedikitpun. Inilah konsekuensi pokok Laa ilaaha illallah.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
”Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan semata mengharap agar mendapat ridha Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari-Muslim)
4. Ash-Shidqu artinya jujur tanpa disertai sifat kemunafikan, karena banyak sekali yang mengucapkan kalimat ini akan tetapi tidak diyakini isinya dalam hati.
Firman Allah (yang artinya):
“Di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allahdan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mreka berdusta.” (Al-Baqarah:8-10)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tiadalah seseorang bersaksi secara jujur dari hatinya bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali orang tersebut diharamkan dari neraka.” (Bukhari-Muslim)
5. Al-Mahabbah artinya mencintai kalimat ini dan segala konsekuensinya serta merasa gembira dengan hal itu, hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang munafik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah, mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah:165)
Dalam hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiallahu 'Anhu, katanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Tiga perkara, jika dimiliki oelh seseorang, ia akan mendapat manisnya iman, yaiut: mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lain, mencintai seseorang karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah dari kekafiran seperti ia membenci jika dicampakkan ke dalam api neraka.”
6. Al-Inqiyad artinya tunduk dan patuh melaksanakan hak-hak kalimat ini, dengan cara melaksanakan kewajiban atas dasar ikhlas dan mencari ridha Allah, ini termasuk konsekuensinya.
Firman Allah Azza wa Jalla (yang artinya):
“Dan siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan berbuat baik, maka dia telah berpegang kepada urwatul wutsqa.” (Lukman:22)
7. Al-Qobul artinya menerima apa adanya tanpa menolak, hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallah mereka takabur.” (Ash-Shofat:35)
Syarat-syarat di atas diambil oleh para ulama dari nash Al-Qur’an dan sunnah yang membahas secara khusus tentang kalimat agung ini, menjelaskan hak dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya. Yang intinya, kalimat Laa ilaaha illallah bukan sekedar diucapkan dengan lisan.
Rukun Laa ilaaha illallah
Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun, yaitu:
1. An-Nafyu (peniadaan) artinya membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
2. Al-Itsbat (penetapan) artinya menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Dalil dari kedua rukun Laa ilaaha illallah ini adalah firman Allah (yang artinya):
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat…” (Al Baqarah:256)
‘Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut’ adalah makna dari rukun pertama Laa ilaaha, sedangkan ‘Beriman kepada Allah’ adalah makna rukun kedua illallah.
Konsekuensi Laa ilaaha illallah
Mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallah adalah dengan cara menyembah Allah dengan ikhlas dan mengingkari segala jenis peribadatan kepada selain Allah (syirik). Inilah tujuan utama kalimat ini. Termasuk konsekuensi kalimat ini adalah menerima (dengan ketundukan yang penuh) syariat Allah dalam masalah ibadah, muamalah, halal, haram dan menolak segala macam bentuk syariat dari selain-Nya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura:21)
Pembatal-Pembatal Laa ilaaha illallah
Di dalam buku: “Penjelasan Tentang Pembatal Keislaman” disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah atau pembatal keislaman adalah hal-hal yang dapat merusakkan keislaman seseorang. Manakala hal itu menimpa diri seseorang, maka hal itu dapat merusakkan keislamannya dan mengguggurkan amalan-amalannya, dan dia menjadi termasuk orang-orang yang kekal di dalam api neraka.
Oleh karena itu, setiap muslim dan muslimah wajib mempelajari pembatal-pembatal ini. Jika tiadak, maka bisa jadi seorang muslim terperosok ke dalamnya sedangkan ia tidak merasa, seperti yang terlihat pada kebanyakan orang yang mengaku dirinya sebagai orang islam. La Haula wa la Quwwata Illah Billah!
Di dalam buku tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa pembatal-pembatal Laa ilaaha illallah ini jumlahnya banyak, tapi yang pokok ada sepuluh. Pembatal-pembatal yang lain kembalinya kepada yang sepuluh ini. Saya ringkskan permasalahan ini dari buku tersebut untuk Anda wahai Saudaraku. Pahamilah! Pembatal-pembatal tersebut adalah:
1.Syirik dalam beribadah kepada Allah
Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang merupakan kekhususan Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih kurban untuk selain Allah, seperti untuk jin atau kuburan, jembatan, rumah, atau lainnya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’:48)
Ada ulama yang membagi syirik menjadi tiga, yaitu: syirik akbar, syirik ashghar, dan syirik khafi. Namun ada juga yang cuma membagi menjadi dua, yaitu: syirik akbar dan syirik ashgar.
Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam dan menjadikannya pelakunya kekal di dalam neraka, jika ia mati dalam keadaan membawa dosa syirik besar tersebut dan belum bertaubat.
Diantara yang termasuk syirik besar adalah penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, takut kepada orang yang mati, jin, syaithan bahwa mereka bisa membahayakan dan membuat sakit, meminta kepada orang mati.
Syirik besar dibagi menjadi empat, yaitu syirik doa(disamping berdoa kepada Allah juga berdoa kepada selainnya), syirik niat, keinginan dan tujuan (menunjukkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah), syirik ketaatan (mentaaati selain Allah dalam hal maksiat kepada Allah), syirik kecintaan (menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan).
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari Islam, tetapi mengurangi tauhid dan merupakan perantara kepada syirik besar.
Syirik kecil dibagi dua, yaitu syirik zhahir (nyata) dan syirik khafi (tersembunyi).
Syirik zhahir ini terdiri dari perkataan dan perbuatan. Contoh dari perkataan adalah ucapan “Kalau bukan karena Allah dan karena si fulan”, adapun contoh yang berupa perbuatan misalnya memakai kalung atau benang sebagai pengusir atau penangkal mara bahaya atau namimah. Apabila ia berkeyakinan bahwa hal itu sebagai perantara maka ia jatuh pada syirik kecil, namun apabila ia berkeyakin bahwa hal itu dapat menolak bahaya maka itu syirik besar.
Syirik khafi yaitu syirik dalam keingin dan niat, seperti riya (ingin dipuji orang), sum’ah (ingin didengar orang)
2.Orang yang membuat “Perantara” antara dirinya dengan Allah, yang kepada perantara-perantara itu ia berdoa atau meminta syafaat, serta bertawakal kepada mereka; maka ia telah kafir berdasarkan ijma’.
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra:56-57)
3.Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan madzab (ideologi) mereka.
Mengapa demikian?
Sebab, Allah Jalla wa ‘Ala telah mengkafirkan mereka melalui sekian banyak ayat di dalam kitab-Nya serta memerintahkan untuk memusuhi mereka disebabkan karena mereka telah mengada-adakan kebohongan atas nama Allah, menjadikan sekutu-sekutu di samping Allah serta menganggap Allah mempunyai anak laki-laki. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Allah Jalla wa ‘Ala telah mewajibkan atas kaum muslimin untuk memusuhi dan membenci mereka.
Seseorang tidak bisa disebut sebagai muslim, sehingga ia mengkafirkan orang-orang musyrik. Jika ia meragukan hal itu, padahal persoalannya sudah nyata mengenai siapa sebenarnya mereka itu, atau ia bimbang mengenai kekafiran mereka padahal ia telah memperoleh kejelasan, berarti ia telah kafir seperti mereka.
Orang yang membenarkan orang-orang musyrik itu dan menganggap baik terhadap kekufuran dan kezhaliman mereka, maka ia berarti kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. Sebab, ia berarti belum/tidak mengenal Islam secara hakiki, yaitu berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepadaNya dengan ketaatan, berlepas diri dari syirik dan orang-orang yang berbuat syirik. Sedangkan ia justru berwala’ (memberikan loyalitas) terhadap ahli syirik, mana mungkin dia akan mengkafirkan mereka.
Allah berfirman (yang artinya):
“Sesugguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah:4)
Inilah millah Ibrahim, barang siapa membencinya, maka ia berarti telah membodohi diri sendiri. Perhatikan pula surat Al-Maidah:51, Ali Imron:28, Az-Zukhruf:26-27, at-taubah:5, at-taubah:23, al-Mujadilah:23, al-mumtahanah:1, dan msih banyak ayat lain yang menjelaskan mengenai permasalahan ini. Perhatikanlah wahai Saudaraku kamu muslimin. Janganlah kalian tertipu oleh dai-dai yang menyeru kepada api neraka!!
4.Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau meyakini ada hukum yang lebih baik daripada hukum beliau; seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Sesungguhnya dien (agama) disisi Allah adalah Islam.” (Ali Imran:19)
“Barangsiapa mencari agama selain dari dien (agama) Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imron:85)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (yang artinya):
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Musa berada di tengah-tengah kalian, kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka pastilah kalian telah tersesat denagn keseatan yang jauh.” (HR. Ahmad)
5.Membenci sebagian (apalagi seluruhnya) ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, walaupun ia mengamalkannya.
“Dan orang-orang yang kafir maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhya mereka benci kepda apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad:8-9)
6.Memperolok-olok sebagian ajaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, atau memperolok pahala dan hukuman Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tak usahlah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah:65-66)
7.Sihir, seperti sharf (jenis sihir yang ditujukan untuk memisahkan seseorang dengan kekasihnya) dan ‘athaf (di kalangan orang Jawa dikenal dengan istilah pelet). Ia melakukannya atau rela dengan sihir.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya):
“Keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah:102)
8.Tolong menolong dengan kaum musyrikin dan bantu membantu dengan mereka dalam menghadapi kaum muslimin.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Barangsiapa di antara kalian yang tolong-menolong dengan mereka, maka ia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah:51)
9.Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang mempunyai kebebasan keluar dari syariat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagaimana keleluasaan Nabi Khidir untuk tidak mengikuti syariat Musa alaihi salam.
Dalilnya adalah:
An-Nasa’I dan laiinya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa beliau melihat lembaran dari kitab Taurat di tangan Umar bin Al-Khattab Radhiallahu 'Anhu, lalu beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Apakah kamu masih juga bingung wahai putera al-Khathab?!, padahal aku telah membawakan kepadamau ajaran yang putih bersih. Seandainya Musa masih hidup, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, tentulah kamu tersesat.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Seandainya Musa masih hidup, maka tiada keleluasaan baginay kecuali harus mengikutiku,”
lalu Umar pun berkata: “Aku telah ridha bila Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien (agama), dan Muhammad (Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) sebagai nabi.”
10.Berpaling dari dinul (agama) Islam, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau mengamalkannya.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Dan siapakah yang lebih dzalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian ia berpaling dari padanya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah:22)
Wahai saudaraku,
Semoga Allah senantiasa memberi kita petunjuk kepada kebenaran; ketahuilah bahwa pelaku-pelaku hal-hal yang membatalkan keislaman seseorang di atas, tidak ada bedanya antara yang melakukan dengan main-main, sungguh-sungguh, ataupun takut (karena harta,jabatan). Semuanya sama saja, kecuali bagi orang yang dipaksa. Orang yang dipaksa memiliki udzur sebagaimana kisahnya Ammar bin Yassir yang kemudian turun ayat An-Nahl:106.
Semua hal itu besar sekali bahayanya, karenanya setiap kita harus berhati-hati dan menjaga diri dengan baik. Jangan sampai kita terjerumus dalam hal yang berbahaya ini. Kita berlindung kepada Allah dari murka dan adzab-Nya yang pedih.
Untuk melengkapi risalah ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang dapat mengurangi,merusak,atau membatalkan kesempurnan tauhid Laa ilaaha illallah ini, selain apa yang telah disebutkan di atas. Diantaranya adalah:
Menggunakan benang, gelang, dan sejenisnya untuk menangkal bahaya. Termasuk juga menggantungkan selembar kertas, sepotong logam kuningan atau besi yang di atasnya tertulis lafdhul jalalah (Allah) atau ayat kursi atau meletakkan mushaf al-Qur’an di dalam mobil atau tempat lainnya dengan keyakinan bahwa semua itu dapat menjaga dan mencegahnya dari bahaya kecelakaan, dari kejelekan pandangan mata yang mengandung sihir (‘ain). Termasuk pula memasang sepotong kertas atau logam yang berbentuk telapak tangan atau terdapat gambar mata dengan keyakinan untuk mencegah pandangan mata (‘ain). Memasang rajah-rajah di warung atau toko dengan harapan agar terhindar dari kecurian,perampokan, dan harapan agar dagangannya laris.
Menggunakan akik, sabuk, atau benda-benda lainnya yang katanya benda tersebut sudah “diisi”, sehingga orang yang menggunakannya memiliki kesaktian, kekebalan, dan lain sebagainya dari banutan jin.
Ilmu-ilmu tenaga dalam yang menggunakan bantuan jin, apakah itu white magic ataupun black magic. Semuanya itu dilarang oleh syariat Islam. Apakah itu yang langsung “diisi” ataupun yang diperoleh dengan menggunakan ayat-ayat atau dzikir-dzikir yang bid’ah yang beraneka ragam yang tidak ada asalnya. Semuanya itu dapat merusak syahadat Laa ilaaha illallah.
Melakukan ruqyah-ruqyah yang tidak syar’i. Membaca hal-hal yang tidak dimengerti. Membaca ayat Qur’an dicampur hafalan-hafalan lain yang mengandung kesyirikan. Termasuk juga pengobatan-pengobatan “alternatif” yang dilakukan oleh para dukun dengan nama yang beraneka ragam, dengan mengelabui kaum muslimin bahwa seolah-olah pengobatannya adalah pengobatan sacara islam, yang diperbolehkan. Di antaranya adalah pemindahan penyakit dari orang yang sakit ke binatang, kemudian binatang itu disembelih untuk melihat bagian mana yang sakit dari si penderita.
Melakukan penyembelihan bukan karena Allah. Untuk rumah atau gedung yang baru di bangun. Disembelih untuk jembatan-jembatan. Penyembelihan kurban pada bulan Syuro (apa yang dinamakan Syuran). yang semuanya itu bertujuan untuk mengambil manfaat dan menghindari kejahatan dari jin dan setan yang dianggap menunggu dan atau menguasai tempat tersebut. Termasuk juga pembuatan bubur syuro yang ada pada masyarakat jawa. Bernadzar, isti’adzah (mohon perlindungan), istighatsah (mohon pertolongan tuk dimenangkan), dan berdoa kepada selain Allah juga tidak diperbolehkan. Hal yang demikian merusak tauhid.
“Ngalap berkah” ke kuburan-kuburan/petilasan-petilasan orang-orang yang dianggap shaleh seperti: kyai, nyai, syaikh. Atau “ngalap berkah” ke pohon-pohon angker, tempat-tempat “wingit”. Ada juga yang ke kuburannya para pahlawan, raja, presiden, ataupun nenek moyang. Bahkan ada juga ke makam yang sebenarnya kosong tapi dikatakan sebagai makamnya orang shaleh. Yang aneh lagi, ada juga kuburan yang didatangi untuk ngalap berkah ini yang merupakan kuburan binatang!!.
Beribadah di samping kubur dengan keyakinan hal itu lebih afdhal. Meminta kepada penghuni kubur, menjadikan penghuni kubur sebagai perantara antara kita dengan Allah. Melakukan thawaf di kuburan. Kita dilarang sholat di kuburan karena dapat menggiring kepada kesyirikan, bagaimana pula kalau kita beribadah kepada kubur? Untuk menjaga tauhid kita dilarang untuk membuat bangunan di atas kubur (memasang “kijing”). Kita dilarang juga untuk menjadikan kuburan sebagai ied (hari raya).
Kita dilarang untuk bersikap berlebih-lebihan kepada orang shalih dan mengangkat mereka melebihi dari kedudukannya. Ada di antara kaum muslimin yang mengangkat mereka melebihi kedudukannya, mereka angkat sederajat dengan kedudukan rasul, bahkan sederajat dengan Allah. Orang-orang shalih tersebut dianggap ma’sum, terbebas dari dosa.
Sebagaimana dijelaskan di atas, kita tidak boleh melakukan sihir, mendatangi tukang sihir, dukun, para normal, orang pintar, atau apapun namanya yang berprofesi seperti mereka, yang mengaku mengetahui hal yang ghaib. Kita tidak boleh mendatangi, bertanya, apalagi membenarkan mereka. Hal ini dapat merusak tauhid kita, merusak Laa ilaaha illallah kita. Termasuk juga ilmu nujum yang menggunakan perbintangan yang sekarang ini dinamakan astrologi. Demikian pula Zodiak-zodiak seperti: leo, pisces, aries, dan sebagainya; yang hal ini marak di koran, majalah, ataupun di televisi. Semua ini adalah dilarang.
Merasa bernasib sial karena suatu hal juga dilarang. Hal ini dalam bahasa dien (agama) dinamakan sebagai thiyarah. Merasa sial kalau mendengar suara burung tertentu, sehingga membatalkan rencananya. Apabila menabrak kucing ketika berkendaraan sudah pasti akan merasa sial (misalnya kecelakaan).Takut mengadakan perkawinan pada bulan Muharram (Suro), tidak boleh bepergian pada hari Sabtu karena hari tersebut hari sial, dan hal-hal lainnya yang semacam dengan ini. Semuanya ini adalah batil. Tidak ada perhitungan bulan atau hari baik, semua hari adalah baik.
Termasuk perbuatan merusak tauhid ada
engkong- SERSAN SATU
-
Posts : 150
Kepercayaan : Islam
Location : betawi
Join date : 03.08.13
Reputation : 2
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Kalimat pemisah itu adalah tidak ada ilah selain Allah swt.
jaya- LETNAN SATU
-
Posts : 1967
Kepercayaan : Lain-lain
Location : London
Join date : 21.07.13
Reputation : 8
Re: Tauhid: Pengetahuan dan keyakinan
Pemikiran dari sebuah filsafat yang tidak berakar sains.
Semacam praduga yang terbentuk dari kesimpulan-kesimpulan yang terjadi di masyarakat sekitar.
Semacam praduga yang terbentuk dari kesimpulan-kesimpulan yang terjadi di masyarakat sekitar.
Otak Trailer- SERSAN MAYOR
-
Posts : 542
Location : kolong tanah
Join date : 11.02.12
Reputation : 4
Halaman 3 dari 3 • 1, 2, 3
Similar topics
» abu hanan vs duren tentang tauhid islam vs tauhid yahudi
» menguatkan keyakinan islam
» KEYAKINAN AHMADIYAH TENTANG KEDATANGAN KEMBALI NABI ISA
» Biarkan kertas menjelaskan arti dari sebuah keyakinan
» ilmu pengetahuan
» menguatkan keyakinan islam
» KEYAKINAN AHMADIYAH TENTANG KEDATANGAN KEMBALI NABI ISA
» Biarkan kertas menjelaskan arti dari sebuah keyakinan
» ilmu pengetahuan
Halaman 3 dari 3
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik