Fiqh mawaris
Halaman 2 dari 2 • Share
Halaman 2 dari 2 • 1, 2
Fiqh mawaris
First topic message reminder :
Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.
Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.
Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.
Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD
A. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashhabul furudh.
Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al-mubahalah.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)
Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.
Catatan
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada 'aul.
A. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul
Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak pernah terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: "Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.
C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashhabul furudh.
Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.
Beberapa Contoh Masalah 'Aul
Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al-mubahalah.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya enam. Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah syuraihiyah.
Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-contohnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus di-'aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.
Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)
Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.
Catatan
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat (4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan tidak ada 'aul.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
izin nitip sebuah link ya mas reza.....
Kitab Faraid al-Fawaid fi ikhtilafi al-Qaulainy li Mujtahid Wahid karangan Syamsu ad-Din Muhammad as-Salamy asy-Syafii al-Manawy
silahkan didownload:
http://www.mediafire.com/?i18y9qud65pbiuh
Kitab Faraid al-Fawaid fi ikhtilafi al-Qaulainy li Mujtahid Wahid karangan Syamsu ad-Din Muhammad as-Salamy asy-Syafii al-Manawy
silahkan didownload:
http://www.mediafire.com/?i18y9qud65pbiuh
hamba tuhan- LETNAN SATU
-
Posts : 1666
Kepercayaan : Islam
Location : Aceh - Pekanbaru
Join date : 07.10.11
Reputation : 19
Re: Fiqh mawaris
Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun internasional.
Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub
Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum. Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian, maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya, yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris. Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Pembagian waris sebaiknya dilakukan secepatnya seteah urusan pemakaman jenazah selesai. Karena biasanya rangkaiannya adalah pengeluaran biaya pemakaman, pembayaran hutang dan pelaksanaan wasiat mayit atas hartanya. Sisa hartanya itu sebaiknya cepat dibagi sesuai dengan ketentuan syariat, sebelum ada perubahan dalam struktur ahli waris. Misalnya ada ahli waris yang kemudian meninggal juga. Agar tidak terjadi salah paham dan ketidak-mengertian dari ahli waris lainnya.
Hal itu disebabkan kemungkinan rusaknya atau menurunnya nilai harta yang menjadi harta warisan. Sebagai contoh, bila harta itu berupa sawah yang perlu biaya perawatan, maka perlu ada orang yang mengeluarkan biayanya. Sedangkan pemilik sawah itu sudah wafat, yang ada hanya ahli warisnya. Bila status kepemilikan sawah ini belum jelas, maka siapakah yang wajib mengeluarkan biaya perawatan. Hal yang sama juga berlaku pada jenis harta lainnya yang membutuhkan biaya perawatan atau biaya rutin untuk kelanggengannya.
Selain itu juga untuk menghindari dipakainya harta oleh orang yang sebenarnya tidak berhak memanfaatkannya. Entah oleh anak yang lebih tua atau yang lebih dominan atau oleh ibu. Karena semua ahli waris punya hak pada harta itu sesuai dengan kadar bagian masing-masing.
Paling tidak yang harus dilakukan adalah keputusan fatwa waris, meski secara pembagian pisik barngkali masih ada yang harus ditunggu. Karena dengan ditetapkannya fatwa waris itu kemungkinan muncul masalah di kemudian hari menjadi lebih kecil.
NAZAR PERGI HAJI
Nazar adalah ibadah yang wajib dikerjakan dan tetap akan menjadi hutang kepada Allah selama belum ditunaikan. Apabila selama belum mengerjakan nazar itu seseorang keburu meninggal, maka ahli warisnya bertanggung-jawab untuk menunaikan nazar itu.
Dasar perintah ini adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata,”Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya ?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarkannya ?. Bayarkanlah hutang kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan.” (HR. Al-bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji yang sudah dinazarkan harus dilakukan oleh orang ahli warisnya. Karena merupakan hutang yang wajib dibayarkan kepada Allah. Para shahabat dan fuqoha mendukung hal tersebut. Mereka di antaranya adalah Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Imam Asy-Syafi`i ra. dan lainnya. Sedangkan Imam Malik ra. mengatakan bahwa boleh melakukan haji untuk orang lain selama orang itu sewaktu hidupnya berwasiat untuk dihajikan.
IBU MENJUAL HARTA WARISAN MILIK ANAK-ANAK
Seorang ibu dari anak-anak yang suaminya meninggal dan meninggalkan warisan, maka haknya atas harta warisan itu hanya sebesar 1/8 dari total nilai warisan. Sisanya merupakan hak ahli waris lainnya yaitu anak-anaknya. Jadi yang boleh dijual hanya seharga 1/8 dari nilai total warisan.
Bila si ibu menual semuanya tanpa memberitahukan anak-anaknya, maka dia berhutang kepada anak-anaknya itu dan harus mengganti senilai dengan 7/8 nilai warisan. Karena yang 7/8 itu bukan hak miliknya tapi hak milik orang lain, yang dalam hal ini milik anaknya sendiri.
Namun bila anak-anaknya merelakan dan mengikhlaskan, maka si ibu bebas dari hutang dan tanggungan.
Hal itu disebabkan kemungkinan rusaknya atau menurunnya nilai harta yang menjadi harta warisan. Sebagai contoh, bila harta itu berupa sawah yang perlu biaya perawatan, maka perlu ada orang yang mengeluarkan biayanya. Sedangkan pemilik sawah itu sudah wafat, yang ada hanya ahli warisnya. Bila status kepemilikan sawah ini belum jelas, maka siapakah yang wajib mengeluarkan biaya perawatan. Hal yang sama juga berlaku pada jenis harta lainnya yang membutuhkan biaya perawatan atau biaya rutin untuk kelanggengannya.
Selain itu juga untuk menghindari dipakainya harta oleh orang yang sebenarnya tidak berhak memanfaatkannya. Entah oleh anak yang lebih tua atau yang lebih dominan atau oleh ibu. Karena semua ahli waris punya hak pada harta itu sesuai dengan kadar bagian masing-masing.
Paling tidak yang harus dilakukan adalah keputusan fatwa waris, meski secara pembagian pisik barngkali masih ada yang harus ditunggu. Karena dengan ditetapkannya fatwa waris itu kemungkinan muncul masalah di kemudian hari menjadi lebih kecil.
NAZAR PERGI HAJI
Nazar adalah ibadah yang wajib dikerjakan dan tetap akan menjadi hutang kepada Allah selama belum ditunaikan. Apabila selama belum mengerjakan nazar itu seseorang keburu meninggal, maka ahli warisnya bertanggung-jawab untuk menunaikan nazar itu.
Dasar perintah ini adalah sabda Rasulullah SAW :
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata,”Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya ?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarkannya ?. Bayarkanlah hutang kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan.” (HR. Al-bukhari).
Hadits ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji yang sudah dinazarkan harus dilakukan oleh orang ahli warisnya. Karena merupakan hutang yang wajib dibayarkan kepada Allah. Para shahabat dan fuqoha mendukung hal tersebut. Mereka di antaranya adalah Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Imam Asy-Syafi`i ra. dan lainnya. Sedangkan Imam Malik ra. mengatakan bahwa boleh melakukan haji untuk orang lain selama orang itu sewaktu hidupnya berwasiat untuk dihajikan.
IBU MENJUAL HARTA WARISAN MILIK ANAK-ANAK
Seorang ibu dari anak-anak yang suaminya meninggal dan meninggalkan warisan, maka haknya atas harta warisan itu hanya sebesar 1/8 dari total nilai warisan. Sisanya merupakan hak ahli waris lainnya yaitu anak-anaknya. Jadi yang boleh dijual hanya seharga 1/8 dari nilai total warisan.
Bila si ibu menual semuanya tanpa memberitahukan anak-anaknya, maka dia berhutang kepada anak-anaknya itu dan harus mengganti senilai dengan 7/8 nilai warisan. Karena yang 7/8 itu bukan hak miliknya tapi hak milik orang lain, yang dalam hal ini milik anaknya sendiri.
Namun bila anak-anaknya merelakan dan mengikhlaskan, maka si ibu bebas dari hutang dan tanggungan.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur‘an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur‘an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. Dan ijma‘ para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur‘an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Dengan demikian, selama seseorang memeluk Islam sebagai agama, maka dalam pembagian harta waris harus mengacu kepada syariat Islam. Rasulullah SAW bersbda,捻elajarilah al-quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Perlajarilah ilmu faraidh (waris) dan ajarkan kepada orang-orang. Sebab aku adalah orang yang akan diambil nayawanya oleh Allah. Sesungguhnya ilmu faraidh (waris) itu termasuk juga akan diambil oleh Allah (jika tidak dipelajari). Sehingga ada dua berselisih masalah warisan dan tidak ada yang menengahi akan timbul fitnah .
Dalam surat An-Nisa ayat 12 dibagian akhir ayat Allah menetapkan bahwa semua aturan tentang warisan adalah merupakan washiat dari Allah dan Allah Maha Mengetahui dan Maha bijaksana.
Sedangkan bila dalam keluarga tidak diterapkan hukum waris sesuai dengan Islam, maka menjadi kewajiban anda untuk:
1. Mensosialisasikan kehebatan sistem warisan dalam Islam dalam keluarga sejak dini. Baik yang bersifat langsung maupun yang tidak langsung. Dan sebaiknya hal ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum ada kematian yang akan melahirkan perbedaan pendapat dalam sistem warisan. Tentu saja langkah ini memerlukan proses.
2. Diantara anggota keluarga yang lebih mengerti kewajiban Islam, ajaklah mereka bersama-sama untuk melaksakana pembagian waris sesuai dengan sistem Islam. Untuk itu tidak ada salahnya anda meminta bantuan para ulama dan ahli agama yang menguasai betul pembagian waris menurut Islam. Ini diperlukan untuk meyakinkan bagaimana warisan itu harus dibagi sesuai dengan ajaran Islam.
3. Bila ada diantara anggota keluarga yang bersikeras tidak memakai hukum waris sesuai dengan syariat, maka minimal anda sudah menyampaikan kewajiban hukum waris itu dengan disertai dalil dan hujjahnya sekalian.
4. Ada baiknya anda mencoba meminta penjelasan kepada ulama yang mengerti hukum waris untuk menghitungkan jatah masing-masing ahli waris menurut Islam. Seandainya ternyata anggota keluarga yang menolak pembagian waris sesuai hukum Islam malah mendapat jatah warisan lebih besar ketimbang menggunakan sistem non Islam, kami yakin mereka akan memilih sistem Islam. Karena itu bila memang demikian, tugas anda menjadi lebih mudah.
5. Kalaupun mereka tetap tidak akan menggunakan sistem pembagian waris sesuai dengan islam, maka paling tidak usahakan bahwa anda menerima bagian yang tidak melebihi hak anda bila dibagi sesuai dengan hukum Islam.
6. Dan yang terpenting dari itu semua, bisa saja kepada orangtua yang meninggal itu selama masa hayatnya ditanamkan pentingnya pembagian warisan menurut Islam. Bahkan kalau bisa beliau berwasiat untuk membagi warisan sesuai dengan huku Islam, itu akan lebih baik lagi.
7. Dan akhirnya bila semua upaya telah anda usahakan dengan sepenuh hati, tinggallah anda serahkan semua itu kepada Allah. Allah pasti mengetahui apa yang telah anda kerjakan dan akan memberi balasan sesuai dengan amal dan jerih payah yang telah anda lakukan.
Al-Qur‘an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur‘an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. Dan ijma‘ para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur‘an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Dengan demikian, selama seseorang memeluk Islam sebagai agama, maka dalam pembagian harta waris harus mengacu kepada syariat Islam. Rasulullah SAW bersbda,捻elajarilah al-quran dan ajarkanlah kepada orang-orang. Perlajarilah ilmu faraidh (waris) dan ajarkan kepada orang-orang. Sebab aku adalah orang yang akan diambil nayawanya oleh Allah. Sesungguhnya ilmu faraidh (waris) itu termasuk juga akan diambil oleh Allah (jika tidak dipelajari). Sehingga ada dua berselisih masalah warisan dan tidak ada yang menengahi akan timbul fitnah .
Dalam surat An-Nisa ayat 12 dibagian akhir ayat Allah menetapkan bahwa semua aturan tentang warisan adalah merupakan washiat dari Allah dan Allah Maha Mengetahui dan Maha bijaksana.
Sedangkan bila dalam keluarga tidak diterapkan hukum waris sesuai dengan Islam, maka menjadi kewajiban anda untuk:
1. Mensosialisasikan kehebatan sistem warisan dalam Islam dalam keluarga sejak dini. Baik yang bersifat langsung maupun yang tidak langsung. Dan sebaiknya hal ini dilakukan jauh-jauh hari sebelum ada kematian yang akan melahirkan perbedaan pendapat dalam sistem warisan. Tentu saja langkah ini memerlukan proses.
2. Diantara anggota keluarga yang lebih mengerti kewajiban Islam, ajaklah mereka bersama-sama untuk melaksakana pembagian waris sesuai dengan sistem Islam. Untuk itu tidak ada salahnya anda meminta bantuan para ulama dan ahli agama yang menguasai betul pembagian waris menurut Islam. Ini diperlukan untuk meyakinkan bagaimana warisan itu harus dibagi sesuai dengan ajaran Islam.
3. Bila ada diantara anggota keluarga yang bersikeras tidak memakai hukum waris sesuai dengan syariat, maka minimal anda sudah menyampaikan kewajiban hukum waris itu dengan disertai dalil dan hujjahnya sekalian.
4. Ada baiknya anda mencoba meminta penjelasan kepada ulama yang mengerti hukum waris untuk menghitungkan jatah masing-masing ahli waris menurut Islam. Seandainya ternyata anggota keluarga yang menolak pembagian waris sesuai hukum Islam malah mendapat jatah warisan lebih besar ketimbang menggunakan sistem non Islam, kami yakin mereka akan memilih sistem Islam. Karena itu bila memang demikian, tugas anda menjadi lebih mudah.
5. Kalaupun mereka tetap tidak akan menggunakan sistem pembagian waris sesuai dengan islam, maka paling tidak usahakan bahwa anda menerima bagian yang tidak melebihi hak anda bila dibagi sesuai dengan hukum Islam.
6. Dan yang terpenting dari itu semua, bisa saja kepada orangtua yang meninggal itu selama masa hayatnya ditanamkan pentingnya pembagian warisan menurut Islam. Bahkan kalau bisa beliau berwasiat untuk membagi warisan sesuai dengan huku Islam, itu akan lebih baik lagi.
7. Dan akhirnya bila semua upaya telah anda usahakan dengan sepenuh hati, tinggallah anda serahkan semua itu kepada Allah. Allah pasti mengetahui apa yang telah anda kerjakan dan akan memberi balasan sesuai dengan amal dan jerih payah yang telah anda lakukan.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Perlu Anda pahami bahwa antara warisan dan wasiat itu berbeda hukumnya.
Warisan itu tidak bisa dibagi kecuali dengan tiga syarat utama yang harus terpenuhi.
Matinya orang yang memiliki harta.
Orang yang mau dibagi-bagi hartanya itu haruslah mati terlebih dahulu. Baik mati secara hakiki maupun secara hukum yang ditetapkan oleh hakim atas kematiannya.
Misalnya orang yang hilang bertahun-tahun bisa dihukumi telah meninggal oleh sebuah pengadilan syariah.
Maka tidak ada istilah bagi waris dalam Islam kecuali setelah kematian orang tua atau yang memiliki harta.
Hidupnya orang yang akan mewarisi
Orang yang akan menjadi ahli wris haruslah dipastikan hidup pada saat pemili harta yang akan dibagi hartanya itu mati. Baik hidup secara hakiki maupun secara hukum.
Misalnya anak yang masih berupa janin di dalam perut ibunya dianggap sebagai manusia yang hidup dan berhak mendapatkan harta warisan, asal ketika kematian pemberi warisan, janin itu sudah ada dan hidup.
Tidak Adanya Mencegah Terjadinya Pewarisan
Diantara yang bisa menyebabkan seseorang tidak mendapatkan harta warisan antara lain :
Salah satunya atau dua-duanya adalah budak.
Membunuh si pemberi waris.
Berbeda Agama antara penerima dan pemberi waris
Berbeda Negeri
Maka Anda dan siapapun muslim lainnya tidak akan pernah bisa membagi-bagi warisan harta Anda sendiri. Kecuali semua itu nanti dilakukan setelah Anda meninggal dunia.
Washiyat
Sedangkan wasiat merupakan hal yang dibenarkan dalam Islam. Berbeda dengan warisan yang semua aturan pembaiannya telah dipastikan dan perlu ilmu hitung-hitung waris secara khusus, warisan boleh diberikan kepada siapa saja, berapa saja dan kapan saja. Termasuk sebelum kematian datang.
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS.Al-Baqarah : 180)
Yang perlu diperhatikan dalam masalah memberi wasiat adalah
Wasiat itu harus didahulukan dari pada pembagian harta waris. Dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT berfirman :
…Setelah dipenuhi wasiat dan hutang …(QS.An-Nisa : 11)
Namun harta yang diwasiatkan itu tidak boleh lebih dari 1/3 dari total harta yang dimiliki. Sebab bila tidak, akan menzalimi hak ahli waris.
Dari Saad bin Abi Waqqash berkata bahwa Rasulullah SAW menugnjunginya saat sakit. Beliau bertanya kepada Rasulullah SAW,”Ya Rasulullah SAW, aku ingin mewasiatkan seluruh hartaku, bolehkah ?.”. Rasulullah SAW menjawab,”Tidak”. “Setengah hartaku ?”, beliau menjawab,”Tidak”. “Sepertiga ?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ysa, sepertiga dan sepertiga itu banyak”. .. (Bukhari Muslim)
Selain itu yang berhak atas washiyat ini tidak boleh orang yang berhak juga dalam menerima warisan.
Rasulullah SAW bersabda :
Tidak ada washiyat untuk ahli waris. (HR.Ahmad dan Tirmizy )
Warisan itu tidak bisa dibagi kecuali dengan tiga syarat utama yang harus terpenuhi.
Matinya orang yang memiliki harta.
Orang yang mau dibagi-bagi hartanya itu haruslah mati terlebih dahulu. Baik mati secara hakiki maupun secara hukum yang ditetapkan oleh hakim atas kematiannya.
Misalnya orang yang hilang bertahun-tahun bisa dihukumi telah meninggal oleh sebuah pengadilan syariah.
Maka tidak ada istilah bagi waris dalam Islam kecuali setelah kematian orang tua atau yang memiliki harta.
Hidupnya orang yang akan mewarisi
Orang yang akan menjadi ahli wris haruslah dipastikan hidup pada saat pemili harta yang akan dibagi hartanya itu mati. Baik hidup secara hakiki maupun secara hukum.
Misalnya anak yang masih berupa janin di dalam perut ibunya dianggap sebagai manusia yang hidup dan berhak mendapatkan harta warisan, asal ketika kematian pemberi warisan, janin itu sudah ada dan hidup.
Tidak Adanya Mencegah Terjadinya Pewarisan
Diantara yang bisa menyebabkan seseorang tidak mendapatkan harta warisan antara lain :
Salah satunya atau dua-duanya adalah budak.
Membunuh si pemberi waris.
Berbeda Agama antara penerima dan pemberi waris
Berbeda Negeri
Maka Anda dan siapapun muslim lainnya tidak akan pernah bisa membagi-bagi warisan harta Anda sendiri. Kecuali semua itu nanti dilakukan setelah Anda meninggal dunia.
Washiyat
Sedangkan wasiat merupakan hal yang dibenarkan dalam Islam. Berbeda dengan warisan yang semua aturan pembaiannya telah dipastikan dan perlu ilmu hitung-hitung waris secara khusus, warisan boleh diberikan kepada siapa saja, berapa saja dan kapan saja. Termasuk sebelum kematian datang.
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf , kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS.Al-Baqarah : 180)
Yang perlu diperhatikan dalam masalah memberi wasiat adalah
Wasiat itu harus didahulukan dari pada pembagian harta waris. Dalam Al-Quran Al-Kariem Allah SWT berfirman :
…Setelah dipenuhi wasiat dan hutang …(QS.An-Nisa : 11)
Namun harta yang diwasiatkan itu tidak boleh lebih dari 1/3 dari total harta yang dimiliki. Sebab bila tidak, akan menzalimi hak ahli waris.
Dari Saad bin Abi Waqqash berkata bahwa Rasulullah SAW menugnjunginya saat sakit. Beliau bertanya kepada Rasulullah SAW,”Ya Rasulullah SAW, aku ingin mewasiatkan seluruh hartaku, bolehkah ?.”. Rasulullah SAW menjawab,”Tidak”. “Setengah hartaku ?”, beliau menjawab,”Tidak”. “Sepertiga ?”. Rasulullah SAW menjawab,”Ysa, sepertiga dan sepertiga itu banyak”. .. (Bukhari Muslim)
Selain itu yang berhak atas washiyat ini tidak boleh orang yang berhak juga dalam menerima warisan.
Rasulullah SAW bersabda :
Tidak ada washiyat untuk ahli waris. (HR.Ahmad dan Tirmizy )
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek
Persoalan yang saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanya bersamaan dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek jika ia tidak hanya bersama dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengan saudara seayah. Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa para saudara seayah dikategorikan sama dengan saudara kandung, mereka dianggap satu jenis.
Apabila pemberian dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalam keadaan seperti ini dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakek mendapatkan bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya menjadi hak para saudara kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah bersama-sama, maka saudara seayah mahjub, haknya menjadi gugur.
Akan tetapi, jika saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudara kandung perempuan, maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan bagian sisa harta yang ada, setelah diambil hak saudara kandung perempuan (1/2) dan hak kakek (1/3).
Agar persoalan ini tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan beberapa contoh kasus.
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki memperoleh dua per tiga (2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah mahjub (terhalangi) karena adanya saudara kandung laki-laki.
Dalam contoh pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena itu bagian kakek sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3), sedangkan saudara laki-laki seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih kuat dan dekat, yakni saudara kandung laki-laki.
Jumlah sepertiga (1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yang ada: "hendaklah kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling menguntungkannya, mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara pembagian". Kebetulan dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek menghasilkan bagian yang sama, yaitu sepertiga.
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung perempuan, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, sedangkan sisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan seayah --dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Pada contoh kedua ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpa menggunakan cara pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwa keberadaan para saudara laki-laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikan kakek pada cara pembagian. Kalaulah pemberian kepada kakak dalam contoh ini menggunakan cara pembagian, tentu hal ini akan merugikannya karena ia akan menerima bagian kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu, saya berikan haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga (1/3).
Setelah itu saya berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh, karena ia lebih kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkan para saudara laki-laki/perempuan seayah. Sisanya barulah untuk mereka.
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua per enam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki. Dalam hal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan keberadaannya hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Catatan
Pada contoh ketiga --seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-laki/perempuan seayah merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kemudian, dalam masalah ini kita berikan nasib (bagian) saudara perempuan seayah sebanyak dua per enam (2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-laki kandung, sebab saudara perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung. Bila kita lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan kakek dalam hal ini adalah cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga (1/3) sisa harta waris setelah diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah ibu.
Barangkali untuk lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya.
Masalahnya 12
Bagian ibu 1/6 secara fardh
2
Bagian kakek 2/6 secara pembagian dengan saudara kandung laki-laki
4
Bagian saudara kandung (sisanya)
6
Bagian saudara perempuan seayah mahjub
0
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian, kakek sepertiga (1/3), dan saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2), sedangkan bagian dua orang saudara seayah sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
Masalahnya 12 dan naik menjadi 36
Bagian ibu 1/6
6
Bagian kakek 1/3 (sisa setelah diambil ibu)
10
Bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2)
18
Bagian dua orang saudara laki-laki seayah (sisanya)
2
Catatan
Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab, seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak waris saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu hanyalah bila pewaris sebagai kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan tidak pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris dari keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi hak kakek.
Persoalan yang saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanya bersamaan dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek jika ia tidak hanya bersama dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengan saudara seayah. Untuk keadaan seperti ini, ulama faraid menyatakan bahwa para saudara seayah dikategorikan sama dengan saudara kandung, mereka dianggap satu jenis.
Apabila pemberian dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalam keadaan seperti ini dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakek mendapatkan bagian, seluruh sisa harta waris yang ada hanya menjadi hak para saudara kandung -- sebab jika saudara kandung dan seayah bersama-sama, maka saudara seayah mahjub, haknya menjadi gugur.
Akan tetapi, jika saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudara kandung perempuan, maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan bagian sisa harta yang ada, setelah diambil hak saudara kandung perempuan (1/2) dan hak kakek (1/3).
Agar persoalan ini tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan beberapa contoh kasus.
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan saudara kandung laki-laki memperoleh dua per tiga (2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah mahjub (terhalangi) karena adanya saudara kandung laki-laki.
Dalam contoh pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena itu bagian kakek sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3), sedangkan saudara laki-laki seayah terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih kuat dan dekat, yakni saudara kandung laki-laki.
Jumlah sepertiga (1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yang ada: "hendaklah kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling menguntungkannya, mendapat sepertiga harta waris atau dengan cara pembagian". Kebetulan dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek menghasilkan bagian yang sama, yaitu sepertiga.
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung perempuan, kakek, seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, sedangkan sisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan seayah --dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Pada contoh kedua ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpa menggunakan cara pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwa keberadaan para saudara laki-laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikan kakek pada cara pembagian. Kalaulah pemberian kepada kakak dalam contoh ini menggunakan cara pembagian, tentu hal ini akan merugikannya karena ia akan menerima bagian kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh sebab itu, saya berikan haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga (1/3).
Setelah itu saya berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh, karena ia lebih kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkan para saudara laki-laki/perempuan seayah. Sisanya barulah untuk mereka.
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua per enam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki. Dalam hal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan keberadaannya hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Catatan
Pada contoh ketiga --seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-laki/perempuan seayah merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kemudian, dalam masalah ini kita berikan nasib (bagian) saudara perempuan seayah sebanyak dua per enam (2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-laki kandung, sebab saudara perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung. Bila kita lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan kakek dalam hal ini adalah cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga (1/3) sisa harta waris setelah diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah ibu.
Barangkali untuk lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya.
Masalahnya 12
Bagian ibu 1/6 secara fardh
2
Bagian kakek 2/6 secara pembagian dengan saudara kandung laki-laki
4
Bagian saudara kandung (sisanya)
6
Bagian saudara perempuan seayah mahjub
0
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu memperoleh seperenam (1/6) bagian, kakek sepertiga (1/3), dan saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2), sedangkan bagian dua orang saudara seayah sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
Masalahnya 12 dan naik menjadi 36
Bagian ibu 1/6
6
Bagian kakek 1/3 (sisa setelah diambil ibu)
10
Bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2)
18
Bagian dua orang saudara laki-laki seayah (sisanya)
2
Catatan
Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab, seperti yang telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak waris saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu hanyalah bila pewaris sebagai kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan tidak pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris dari keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya kakek. Misalnya, bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi hak kakek.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal, menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi, meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah. Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
D.Tentang Mazhab Jumhur
Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- maka saya perlu mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan saudara, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.
Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan sebagainya.
Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu, istri, dan anak perempuan.
Hukum Keadaan Pertama
Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agar lebih banyak memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan cara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya.
Makna Pembagian
Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki. Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara kandung laki-laki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih cara mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.
Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek
Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:
Kakek dengan saudara kandung perempuan.
Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan saudara kandung laki-laki.
Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.
Adapun penjelasannya seperti berikut:
Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).
Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).
Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).
Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.
Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang
Ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu sebagai berikut:
Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.
Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek
Selain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga (1/3) kepada sang kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat sepertiga (1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita.
Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan dirugikan karena akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.
Catatan
Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika bersama dengan kakek --tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnya sama dengan hukum yang saya jelaskan di atas.
Hukum Keadaan Kedua
Bila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian, menerima sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6) dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat bagiannya tidak kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkan kurang, maka tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan para saudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
Adapun bila cara pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya-- bagian sang kakek lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu. Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah bagiannya yang telah ditentukan syariat.
Contoh Keadaan Kedua
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah (1/2) karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.
Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara pembagian. Sebab dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam (1/6).
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung laki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan sepertiga dari sisa harta setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat sepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6).
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek, kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi anak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6), dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung perempuan sesuai jumlah orangnya secara rata.
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek, dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3), dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.
Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dan sepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam. Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebab ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada.
Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- maka saya perlu mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan saudara, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.
Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan sebagainya.
Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu, istri, dan anak perempuan.
Hukum Keadaan Pertama
Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agar lebih banyak memperoleh harta warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan cara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya.
Makna Pembagian
Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki. Apabila kakek berhadapan dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara kandung laki-laki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih cara mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.
Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek
Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:
Kakek dengan saudara kandung perempuan.
Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan saudara kandung laki-laki.
Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.
Adapun penjelasannya seperti berikut:
Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).
Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).
Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2).
Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).
Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.
Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang
Ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu sebagai berikut:
Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.
Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.
Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek
Selain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga (1/3) kepada sang kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini kakek mendapat sepertiga (1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian wanita.
Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan dirugikan karena akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.
Catatan
Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika bersama dengan kakek --tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnya sama dengan hukum yang saya jelaskan di atas.
Hukum Keadaan Kedua
Bila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian, menerima sepertiga (1/3), atau menerima seperenam (1/6) dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat bagiannya tidak kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkan kurang, maka tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan para saudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
Adapun bila cara pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya-- bagian sang kakek lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu. Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek tidaklah boleh kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah bagiannya yang telah ditentukan syariat.
Contoh Keadaan Kedua
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah (1/2) karena pewaris tidak mempunyai anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.
Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara pembagian. Sebab dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam (1/6).
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung laki-laki dan dua saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan sepertiga dari sisa harta setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat sepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6).
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek, kakek, dan tiga saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi anak perempuan setengah (1/2), nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6), dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung perempuan sesuai jumlah orangnya secara rata.
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek, dan empat saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat seperempat (1/4), lima anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3), dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.
Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dan sepuluh saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam. Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebab ashhabul furudh telah menghabiskan bagian yang ada.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah:
1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil.
2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."
Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain.
3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.
Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah.
Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang baitulmal.
Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)
Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.
Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.
Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah.
Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."
Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.
Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.
Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah.
Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan.
Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.
Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam."
Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah:
1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil.
2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."
Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain.
3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.
Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah.
Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang baitulmal.
Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)
Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.
Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab, "Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.
Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah.
Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."
Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.
Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.
Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah.
Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan.
Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.
Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam."
Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Pembagian Harta Peninggalan
At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer.
Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris.
Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.
Contoh Cara Pertama
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.
Jadi,
bagian istri
3 bagian
x
20 dinar
=
60 dinar
Anak perempuan
12 bagian
x
20 dinar
=
240 dinar
Ibu
4 bagian
x
20 dinar
=
80 dinar
Ayah ('ashabah)
5 bagian
x
20 dinar
=
100 dinar
Total
=
480 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:
2
12
24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
1/2
6
12
Suami 1/4
1/4
3
6
Ibu 1/6
1/6
2
4
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
1
2
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli waris:
Jadi,
Cucu pr. keturunan anak laki-laki
12
x
40 dinar
=
480 dinar
Suami
6
x
40 dinar
=
240 dinar
Ibu
4
x
40 dinar
=
160 dinar
Dua saudara kandung perempuan
2
x
40 dinar
=
80 dinar
Total
=
960 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak tabel berikut:
2
6
12
Empat anak perempuan
4
4
Dua anak laki-laki
3
4
Ayah
1/6
1
2
Ibu
1/6
1
2
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)
-
-
Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi,
Jadi bagian 4 anak perempuan
4
x
250 dinar
=
1.000 dinar
dua anak laki-laki
4
x
250 dinar
=
1.000 dinar
ibu
2
x
250 dinar
=
500 dinar
ayah
2
x
250 dinar
=
500 dinar
Total
=
3.000 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:
6
9
Suami
1/2
3
Saudara kandung perempuan
1/2
3
Saudara laki-laki seibu
1/3
2
Nenek
1/6
1
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi,
Suami
3
x
1.100 dinar
=
3.300 dinar
Saudara perempuan kandung
3
x
1.100 dinar
=
3.300 dinar
Dua saudara laki-laki seibu
2
x
1.100 dinar
=
2.200 dinar
Nenek
1
x
1.100 dinar
=
2.200 dinar
Total
=
9.000 dinar
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
12
13
Suami
1/4
3
Ibu
1/6
2
Dua anak perempuan
2/3
8
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan
'ashabah
-
Jadi,
Suami
3
x
585:13 dinar
=
135 dinar
Ibu
2
x
585:13 dinar
=
90 dinar
Dua anak perempuan
8
x
585:13 dinar
=
360 dinar
Total
=
585 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12
24
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2
6
12
Ibu
1/6
2
4
Suami
1/4
3
6
Dua saudara kandung ('ashabah)
1
2
Cucu pr. ket. anak laki-laki
12
x
240:24 dinar
=
120 dinar
Ibu
4
x
240:24 dinar
=
40 dinar
Suami
6
x
240:24 dinar
=
60 dinar
Dua saudara kandung ('ashabah)
2
x
240:24 dinar
=
20 dinar
Total
=
240 dinar
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:
6
Ibu
1/6
1
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2
3
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)
2
Saudara perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)
-
Masalah Dinariyah ash-Shughra
Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
12
17
Ke-3 istri
1/4
3
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Kedua nenek
1/6
2
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-8 sdr. pr. seayah
2/3
8
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-4 sdr. pr. seibu
1/3
4
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian
Istri
3
x
600:24 dinar
=
75 dinar
Ibu
4
x
600:24 dinar
=
100 dinar
Kedua anak perempuan
16
x
600:24 dinar
=
400 dinar
Total
=
575 dinar
Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:
25
24
600
Istri
1/8
3
75
Ibu
1/6
4
100
Kedua anak perempuan
2/3
16
100
12 saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)
1
24
1
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.
At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer.
Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris.
Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.
Contoh Cara Pertama
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.
Jadi,
bagian istri
3 bagian
x
20 dinar
=
60 dinar
Anak perempuan
12 bagian
x
20 dinar
=
240 dinar
Ibu
4 bagian
x
20 dinar
=
80 dinar
Ayah ('ashabah)
5 bagian
x
20 dinar
=
100 dinar
Total
=
480 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:
2
12
24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
1/2
6
12
Suami 1/4
1/4
3
6
Ibu 1/6
1/6
2
4
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
1
2
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli waris:
Jadi,
Cucu pr. keturunan anak laki-laki
12
x
40 dinar
=
480 dinar
Suami
6
x
40 dinar
=
240 dinar
Ibu
4
x
40 dinar
=
160 dinar
Dua saudara kandung perempuan
2
x
40 dinar
=
80 dinar
Total
=
960 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak tabel berikut:
2
6
12
Empat anak perempuan
4
4
Dua anak laki-laki
3
4
Ayah
1/6
1
2
Ibu
1/6
1
2
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)
-
-
Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi,
Jadi bagian 4 anak perempuan
4
x
250 dinar
=
1.000 dinar
dua anak laki-laki
4
x
250 dinar
=
1.000 dinar
ibu
2
x
250 dinar
=
500 dinar
ayah
2
x
250 dinar
=
500 dinar
Total
=
3.000 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:
6
9
Suami
1/2
3
Saudara kandung perempuan
1/2
3
Saudara laki-laki seibu
1/3
2
Nenek
1/6
1
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi,
Suami
3
x
1.100 dinar
=
3.300 dinar
Saudara perempuan kandung
3
x
1.100 dinar
=
3.300 dinar
Dua saudara laki-laki seibu
2
x
1.100 dinar
=
2.200 dinar
Nenek
1
x
1.100 dinar
=
2.200 dinar
Total
=
9.000 dinar
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
12
13
Suami
1/4
3
Ibu
1/6
2
Dua anak perempuan
2/3
8
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan
'ashabah
-
Jadi,
Suami
3
x
585:13 dinar
=
135 dinar
Ibu
2
x
585:13 dinar
=
90 dinar
Dua anak perempuan
8
x
585:13 dinar
=
360 dinar
Total
=
585 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12
24
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2
6
12
Ibu
1/6
2
4
Suami
1/4
3
6
Dua saudara kandung ('ashabah)
1
2
Cucu pr. ket. anak laki-laki
12
x
240:24 dinar
=
120 dinar
Ibu
4
x
240:24 dinar
=
40 dinar
Suami
6
x
240:24 dinar
=
60 dinar
Dua saudara kandung ('ashabah)
2
x
240:24 dinar
=
20 dinar
Total
=
240 dinar
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:
6
Ibu
1/6
1
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2
3
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)
2
Saudara perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)
-
Masalah Dinariyah ash-Shughra
Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
12
17
Ke-3 istri
1/4
3
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Kedua nenek
1/6
2
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-8 sdr. pr. seayah
2/3
8
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-4 sdr. pr. seibu
1/3
4
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian
Istri
3
x
600:24 dinar
=
75 dinar
Ibu
4
x
600:24 dinar
=
100 dinar
Kedua anak perempuan
16
x
600:24 dinar
=
400 dinar
Total
=
575 dinar
Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:
25
24
600
Istri
1/8
3
75
Ibu
1/6
4
100
Kedua anak perempuan
2/3
16
100
12 saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)
1
24
1
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Cara Mentashih Pokok Masalah
Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.
Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat lebih memahaminya.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah
Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).
Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:
3
12
36
Suami 1/4
3
9
Anak perempuan 1/2
6
18
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
2
6
Saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1
3
Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
5
24
27
135
Istri 1/8
3
15
Lima anak perempuan 2/3
16
80
Ayah 1/6
4
20
Ibu 1/6
4
20
Saudara kandung laki-laki (mahjub)
-
-
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.
Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
28
24
672
3 istri bagiannya 1/8
3
84
7 anak perempuan 2/3
16
448
2 orang nenek 1/6
4
112
saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1
28
Saudara laki-lah seibu (mahjub
-
-
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.
Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.
Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat lebih memahaminya.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah
Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).
Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:
3
12
36
Suami 1/4
3
9
Anak perempuan 1/2
6
18
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
2
6
Saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1
3
Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
5
24
27
135
Istri 1/8
3
15
Lima anak perempuan 2/3
16
80
Ayah 1/6
4
20
Ibu 1/6
4
20
Saudara kandung laki-laki (mahjub)
-
-
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.
Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
28
24
672
3 istri bagiannya 1/8
3
84
7 anak perempuan 2/3
16
448
2 orang nenek 1/6
4
112
saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1
28
Saudara laki-lah seibu (mahjub
-
-
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.
Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).
Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung.
Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil arham.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada. Tabelnya seperti berikut:
6
9
Suami 1/2
3
Ibu 1/6
1
3 sdr. pr. seibu 1/3
1
Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2
1
Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.
Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya --hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan)-- maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.
Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam dua kategori (laki-laki dan perempuan).
24
24
24
Istri 1/8
3
Istri 1/8
3
3
Ayah 1/6
4
Ayah 'ashabah
5
4
Ibu 1/6
4
Ibu 1/6
4
4
Janin lk. sbg. 'ashabah
13
Janin pr. 1/2
12
12
Sisanya satu (1), dibekukan.
Keadaan Keempat
Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.
6
6
Sdr. kdg. pr. 1/2
3
Sdr. kdg. pr. 1/2
3
Sdr. pr. seayah 1/6
1
Sdr. pr. seayah 1/6
1
Ibu (hamil) 1/6
1
Ibu
1
(Janin) sdr. seibu 1/6
1
(Janin) sdr. seibu 1/6
1
Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya karena adanya janin.
Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung, tanpa harus menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).
Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun, bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi kepada ahli waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung.
Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil arham.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki, berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada. Tabelnya seperti berikut:
6
9
Suami 1/2
3
Ibu 1/6
1
3 sdr. pr. seibu 1/3
1
Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2
1
Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.
Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya --hanya saja hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan)-- maka dalam keadaan demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.
Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam dua kategori (laki-laki dan perempuan).
24
24
24
Istri 1/8
3
Istri 1/8
3
3
Ayah 1/6
4
Ayah 'ashabah
5
4
Ibu 1/6
4
Ibu 1/6
4
4
Janin lk. sbg. 'ashabah
13
Janin pr. 1/2
12
12
Sisanya satu (1), dibekukan.
Keadaan Keempat
Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya, baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.
6
6
Sdr. kdg. pr. 1/2
3
Sdr. kdg. pr. 1/2
3
Sdr. pr. seayah 1/6
1
Sdr. pr. seayah 1/6
1
Ibu (hamil) 1/6
1
Ibu
1
(Janin) sdr. seibu 1/6
1
(Janin) sdr. seibu 1/6
1
Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:
Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.
Kedua: Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.
Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.
Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.
Catatan
Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?
Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis ayah.
Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.
Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
Catatan
Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat).
'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
Catatan
Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).
Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.
'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."
Dalil 'Ashabah ma'al Ghair
Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."
Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah."
Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Catatan
Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang seayah.
Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:
Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pokok masalahnya dari 2
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Anak perempuan
1/2
1
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair
1/2
1
Saudara laki-laki seayah
gugur
0
Keterangan
Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah.
Contoh Kedua
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Suami
1/4
1
Cucu perempuan
1/2
2
Saudara kandung perempuan
'ashabah ma'al ghair
1
Saudara laki-laki seayah
mahjub
0
Keterangan
Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara kandung.
Contoh Ketiga
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 3
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Dua anak perempuan
2/3
2
Saudara perempuan seayah
'ashabah ma'al ghair
1
Anak saudara laki-laki
mahjub
0
Keterangan
Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.
Contoh Keempat
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Anak perempuan
1/2
3
Cucu perempuan
1/6
1
Ibu
1/6
1
Saudara perempuan seayah
'ashabah ma'al ghair
1
Keterangan
Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.
Catatan
Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi 'ashabah.
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
'Ashabah bin nafs
'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.
Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.
Hukum 'Ashabah bin nafs
Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:
Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya paparkan pada bab tersendiri.
Kedua: Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.
Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya dengan pewaris.
Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan seterusnya.
Catatan
Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.
Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?
Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis ayah.
Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.
Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
Catatan
Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat).
'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
Catatan
Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).
Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi
Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).
Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi
Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.
'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."
Dalil 'Ashabah ma'al Ghair
Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."
Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah."
Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Catatan
Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang seayah.
Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:
Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pokok masalahnya dari 2
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Anak perempuan
1/2
1
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair
1/2
1
Saudara laki-laki seayah
gugur
0
Keterangan
Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah.
Contoh Kedua
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Suami
1/4
1
Cucu perempuan
1/2
2
Saudara kandung perempuan
'ashabah ma'al ghair
1
Saudara laki-laki seayah
mahjub
0
Keterangan
Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara kandung.
Contoh Ketiga
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 3
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Dua anak perempuan
2/3
2
Saudara perempuan seayah
'ashabah ma'al ghair
1
Anak saudara laki-laki
mahjub
0
Keterangan
Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.
Contoh Keempat
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Anak perempuan
1/2
3
Cucu perempuan
1/6
1
Ibu
1/6
1
Saudara perempuan seayah
'ashabah ma'al ghair
1
Keterangan
Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.
Catatan
Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi 'ashabah.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.
Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Sederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:
Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris.
Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat).
Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh saudara laki-laki seayah.
Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).
Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya paman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman seayah.
Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi sepupu laki-laki (anak paman kandung).
Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:
Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya sang ibu.
Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada 'ashabah.
Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).
Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandung perempuan jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya 'ashabah.
Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.
Saudara Laki-laki yang Berkah
Apabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat ataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapat menyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapat fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atau saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki, cucu perempuan tidak akan mendapat warisan.
Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara laki-laki seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya menjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebab tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan menerima hak waris mereka.
Saudara Laki-laki yang Merugikan
Kalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini saya akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut saudara laki-laki yang merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita tidak mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris. Agar lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.
Pertama:
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami seperempat (1/4) bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena merupakan bagian wanita.
Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan".
Kedua:
Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang merugikan. Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah, anak perempuan, serta cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4) bagian karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian, ayah seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapat bagian.
Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucu perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara laki-laki yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki.
Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi cucu laki-laki keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah. Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudara laki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa.
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung, terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak). Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung laki-laki, anak kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau bahkan keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.
Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman
Sederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:
Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh kakek yang lebih dekat dengan pewaris.
Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya) dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki. Demikian juga para cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat).
Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan adanya ayah dan kakek, anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh saudara laki-laki seayah.
Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi dengan adanya orang-orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).
Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman kandung, dan juga dengan adanya paman kandung.
Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya paman seayah, dan juga oleh sosok yang menghalangi paman seayah.
Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu laki-laki (anak paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi sepupu laki-laki (anak paman kandung).
Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:
Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya sang ibu.
Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak laki-laki, baik cucu itu hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada 'ashabah.
Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit, dan seterusnya (semuanya laki-laki).
Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandung perempuan jika ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua orang saudara kandung perempuan bila keduanya menyempurnakan bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya 'ashabah.
Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek, dan seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun perempuan.
Saudara Laki-laki yang Berkah
Apabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat ataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan, maka cucu laki-laki dapat menyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak mendapat fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atau saudara laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki, cucu perempuan tidak akan mendapat warisan.
Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara laki-laki seayah. Sebab saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya menjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan sebagai saudara yang berkah, sebab tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak akan menerima hak waris mereka.
Saudara Laki-laki yang Merugikan
Kalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini saya akan menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut saudara laki-laki yang merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita tidak mendapatkan warisan. Padahal, apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris. Agar lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.
Pertama:
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami seperempat (1/4) bagian, ibu seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak perempuan setengah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3) karena merupakan bagian wanita.
Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak cucu perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu perempuan keturunan anak laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara laki-laki yang merugikan".
Kedua:
Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang merugikan. Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah, anak perempuan, serta cucu laki-laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami memperoleh seperempat (1/4) bagian karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6) bagian, ayah seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapat bagian.
Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan dalam contoh kedua, cucu perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara laki-laki yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki.
Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi cucu laki-laki keturunan anak laki-laki diganti dengan saudara laki-laki seayah. Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris bila tidak mempunyai saudara laki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara laki-laki seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Cara Pembagian Waris Para Kerabat
Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:
Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6
Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).
Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.
3. Menurut Ahlul Qarabah
Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam praktiknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.
Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:
Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.
Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris.
Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:
Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
Yang dinisbati oleh pewaris:
Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:
Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya.
Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.
Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.
Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya.
Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.
Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah
Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.
Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti berikut:
Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6
Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).
Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.
3. Menurut Ahlul Qarabah
Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam praktiknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.
Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:
Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.
Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris.
Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:
Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
Yang dinisbati oleh pewaris:
Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:
Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan seterusnya.
Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.
Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.
Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya.
Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.
Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah
Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.
Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah
Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: Fiqh mawaris
Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan @#$%^ menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1 Tafsir al-Qurthubi, juz V, hlm. 56.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Halaman 2 dari 2 • 1, 2
Similar topics
» Hukuman bagi Org yg berzinah menurut fiqh yesus
» prioritas dalam pendapat fiqh
» fiqh dan reaktualisasi ajaran islam
» tashawwur dan tashdiq usul fiqh
» fiqh prioritas dalam warisan pemikiran kita
» prioritas dalam pendapat fiqh
» fiqh dan reaktualisasi ajaran islam
» tashawwur dan tashdiq usul fiqh
» fiqh prioritas dalam warisan pemikiran kita
Halaman 2 dari 2
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik