definisi iman
Halaman 1 dari 2 • Share
Halaman 1 dari 2 • 1, 2
mengenal rukun iman
[1]. Iman Kepada Allah Ta'ala
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat
bahwa Allah adalah Rabb dan Raja segala sesuatu; Dialah Yang Mencipta, Yang
Memberi Rezki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak
diibadahi. Kepasrahan, kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah
tidak boleh diberikan kepada selain-Nya; Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan,
keagungan, dan kemuliaan; serta Dia bersih dari segala cacat dan
kekurangan.[1]
[2]. Iman Kepada Para Malaikat Allah
Iman kepada
malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat, yang
diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah,
adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Apapun yang diperintahkan kepada
mereka, mereka laksanakan. Mereka bertasbih siang dan malam tanpa berhenti.
Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh
Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dari nash-nash
Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Jadi, setiap gerakan di langit dan bumi, berasal
dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah
Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil, (terperinci), para malaikat
yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang belum disebutkan namanya, wajib
mengimani mereka secara ijmal (global).[2]
[3]. Iman Kepada
Kitab-kitab
Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah
memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya; yang
benar-benar merupakan Kalam, (firman, ucapan),-Nya. la adalah cahaya dan
petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui
jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah
disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib untuk mengimaninya secara tafshil,
yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an. Selain wajib mengimani bahwa
Al-Qur'an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula mengimani bahwa Allah telah
mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh kitab lain yang
diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta
menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur'an merupakan tolok
ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur'an saja yang dijaga oleh
Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur'an adalah Kalam Allah yang
diturunkan, dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali
kepada-Nya.[3]
[4]. Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada rasul-rasul
adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mengutus para rasul untuk
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Kebijaksanaan-Nya telah
menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepada manusia untuk memberi kabar
gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib beriman kepada semua rasul secara
ijmal (global) sebagaimana wajib pula beriman secara tafshil (rinci) kepada
siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh Allah, yaitu 25 di antara
mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur'an. Wajib pula beriman bahwa
Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain mereka, yang jumlahnya
tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama
mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib pula beriman bahwa
Muhammad SAW. adalah yang paling mulia dan penutup para nabi dan rasul,
risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada nabi
setelahnya.[4]
[5]. Iman Kepada Kebangkitan Setelah Mati
Iman kepada
kebangkitan setelah mati adalah keyakinan yang kuat tentang adanya negeri
akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang berbuat
baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni dosa apapun
selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian al-ba'ts, (kebangkitan) menurut
syar'i adalah dipulihkannya badan dan dimasukkannya kembali nyawa ke dalamnya,
sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang bertebaran
dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon ampunan dan
kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.[5]
[6]. Iman
Kepada Takdir Yang Baik Maupun Yang Buruk Dari Allah Ta'ala.
Iman kepada
takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan dan
keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah Subhanallahu wa ta'ala telah
mengetahui kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum
menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, sesuai dengan
apa yang telah diketahui-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di Lauh Mahfuzh
sebelum menciptakannya.[6]
Banyak sekali dalil mengenai keenam rukun Iman
ini, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah
Ta'ala :
"Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu
ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, dan
Nabi-nabi..."[Al-Baqarah : 177]
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ
بِقَدَرٍ
"Artinya : Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut qadar (ukuran)."[Al-Qamar : 49]
Juga
sabda Nabi Sallallahu 'alaihi wassalam dalam hadits Jibril :
"Artinya :
Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya,
rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Dan engkau beriman kepada takdir Allah, baik
maupun yang buruk."[7]
Foote Note.
[1].Ar-Raudah An-Naiyah Syarh
Al-Aqidah Al-Washithiyah, hal. 15; Al-Ajwibah Al-Ushuliyyah, hal. 16; dan
At-Thahawiyah, hal. 335. Iman kepada Allah Ta'ala meliputi empat perkara : (1).
Iman kepada wujud-Nya Yang Maha Suci. (2). Iman kepada Rububiyyah-Nya.(3). Iman
kepada Uluhiyyah-Nya.(4). Iman kepada Asma dan sifat-sifat-Nya.
[2].
Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 16 dan Al-Aqidah At-Thahawiyyah, hal. 350.
[3]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 16 dan 17.
[4]. Lihat Al-Kawasyif
Al-Jaliyah An Ma'ani Al-Wasithiyah, hal 66.
[5]. Ibid
[6]. Syarh
Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Muhammad Khalil Al-Haras, hal. 19.
[7]. Dikeluarkan
oleh Muslim, I/37 no.8
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat
bahwa Allah adalah Rabb dan Raja segala sesuatu; Dialah Yang Mencipta, Yang
Memberi Rezki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak
diibadahi. Kepasrahan, kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah
tidak boleh diberikan kepada selain-Nya; Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan,
keagungan, dan kemuliaan; serta Dia bersih dari segala cacat dan
kekurangan.[1]
[2]. Iman Kepada Para Malaikat Allah
Iman kepada
malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat, yang
diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah,
adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Apapun yang diperintahkan kepada
mereka, mereka laksanakan. Mereka bertasbih siang dan malam tanpa berhenti.
Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh
Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dari nash-nash
Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Jadi, setiap gerakan di langit dan bumi, berasal
dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah
Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil, (terperinci), para malaikat
yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang belum disebutkan namanya, wajib
mengimani mereka secara ijmal (global).[2]
[3]. Iman Kepada
Kitab-kitab
Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah
memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya; yang
benar-benar merupakan Kalam, (firman, ucapan),-Nya. la adalah cahaya dan
petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui
jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah
disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib untuk mengimaninya secara tafshil,
yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an. Selain wajib mengimani bahwa
Al-Qur'an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula mengimani bahwa Allah telah
mengucapkannya sebagaimana Dia telah mengucapkan seluruh kitab lain yang
diturunkan. Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta
menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur'an merupakan tolok
ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur'an saja yang dijaga oleh
Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur'an adalah Kalam Allah yang
diturunkan, dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali
kepada-Nya.[3]
[4]. Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada rasul-rasul
adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mengutus para rasul untuk
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Kebijaksanaan-Nya telah
menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepada manusia untuk memberi kabar
gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib beriman kepada semua rasul secara
ijmal (global) sebagaimana wajib pula beriman secara tafshil (rinci) kepada
siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh Allah, yaitu 25 di antara
mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur'an. Wajib pula beriman bahwa
Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain mereka, yang jumlahnya
tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama
mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib pula beriman bahwa
Muhammad SAW. adalah yang paling mulia dan penutup para nabi dan rasul,
risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada nabi
setelahnya.[4]
[5]. Iman Kepada Kebangkitan Setelah Mati
Iman kepada
kebangkitan setelah mati adalah keyakinan yang kuat tentang adanya negeri
akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang berbuat
baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni dosa apapun
selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian al-ba'ts, (kebangkitan) menurut
syar'i adalah dipulihkannya badan dan dimasukkannya kembali nyawa ke dalamnya,
sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang bertebaran
dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon ampunan dan
kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.[5]
[6]. Iman
Kepada Takdir Yang Baik Maupun Yang Buruk Dari Allah Ta'ala.
Iman kepada
takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan dan
keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah Subhanallahu wa ta'ala telah
mengetahui kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum
menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, sesuai dengan
apa yang telah diketahui-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di Lauh Mahfuzh
sebelum menciptakannya.[6]
Banyak sekali dalil mengenai keenam rukun Iman
ini, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah
Ta'ala :
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
"Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu
ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, dan
Nabi-nabi..."[Al-Baqarah : 177]
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ
بِقَدَرٍ
"Artinya : Sesungguhnya Kami
menciptakan segala sesuatu menurut qadar (ukuran)."[Al-Qamar : 49]
Juga
sabda Nabi Sallallahu 'alaihi wassalam dalam hadits Jibril :
"Artinya :
Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya,
rasul-rasul-Nya, dan hari akhir. Dan engkau beriman kepada takdir Allah, baik
maupun yang buruk."[7]
Foote Note.
[1].Ar-Raudah An-Naiyah Syarh
Al-Aqidah Al-Washithiyah, hal. 15; Al-Ajwibah Al-Ushuliyyah, hal. 16; dan
At-Thahawiyah, hal. 335. Iman kepada Allah Ta'ala meliputi empat perkara : (1).
Iman kepada wujud-Nya Yang Maha Suci. (2). Iman kepada Rububiyyah-Nya.(3). Iman
kepada Uluhiyyah-Nya.(4). Iman kepada Asma dan sifat-sifat-Nya.
[2].
Ar-Raudhah An-Nadiyah, hal. 16 dan Al-Aqidah At-Thahawiyyah, hal. 350.
[3]. Al-Ajwibah Al-Ushuliyah, hal. 16 dan 17.
[4]. Lihat Al-Kawasyif
Al-Jaliyah An Ma'ani Al-Wasithiyah, hal 66.
[5]. Ibid
[6]. Syarh
Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Muhammad Khalil Al-Haras, hal. 19.
[7]. Dikeluarkan
oleh Muslim, I/37 no.8
Segoroasin- SERSAN SATU
-
Posts : 100
Join date : 13.12.11
Reputation : 1
Re: definisi iman
saya hanya ingin menambahkan, bahwa keimanan itu tidaklah bisa dilepaskan dari ketaqwaan...
15:31. Kecuali Iblis; ia enggan untuk menjadi antara orang-orang yang sujud.
15:32. Berkatalah Dia, "Wahai Iblis, apakah sebabnya kamu tidak bersama orang-orang yang sujud?"
15:33. Berkata, "Aku tidak akan sujud kepada makhluk yang Engkau cipta daripada tanah liat yang kering, daripada lumpur yang dibentuk."
15:36. Berkata, "Wahai Pemeliharaku, tangguhkanlah aku hingga hari mereka dibangkitkan."
15:37. Berkata Dia, "Kamu adalah antara orang-orang yang ditangguhkan,
15:38. Hingga hari, waktu yang diketahui."
15:39. Berkata, "Wahai Pemeliharaku, oleh kerana Engkau telah membuat aku bersalah, aku akan menampakkan semuanya indah bagi mereka di bumi, dan aku akan membuat mereka bersalah, kesemuanya,
walaupun Iblis masih mengakui Tuhan, tapi Iblis disebut kafir(tidak beriman) karena tidak mau bertaqwa...38:74. Kecuali Iblis; dia menyombongkan diri, dan termasuk orang-orang yang tidak percaya (kafir).
frontline defender- MAYOR
- Posts : 6462
Kepercayaan : Islam
Join date : 17.11.11
Reputation : 137
indikator keimanan
MENGENAL INDIKATOR KEIMANAN
Rabu, 07 April 04
Iman memiliki tanda-tanda, mempunyai rasa serta memberikan dampak, juga memiliki cahaya dan ikatan yang senantiasa di pegang oleh pemiliknya. Maka perlu bagi kita kaum muslimin yang notaben juga mukmin mengenal tanda-tanda keimanan, agar dapat mengukur diri kita masing-masing apakah kita masuk orang orang yang difirmankan Allah, yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.” (QS. 19:96).
Di antara indikator iman yang benar adalah sebagai berikut:
1. Ittiba' Kepada Rasul Shalallaahu alaihi wasalam Dengan Sebenarnya
Seorang mukmin senantiasa menerima apa saja yang disampaikan oleh Nabinya n, sebab khawatir termasuk golongan yang disabdakan oleh beliau :
"Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga kemauan (hawa nafsunya) tunduk terhadap segala yang kusampaikan."
Hawanya, cintanya, angan-angan dan keinginanya senantiasa diukur dengan apa yang dibawa oleh Nabinya Shalallaahu alaihi wasalam, tidak menyelisihi perintahnya dan tidak melanggar larangannya, lisannya senantiasa berucap, yang Artinya:
“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". (QS. 3:53)
2. Tunduk Terhadap Hukum Allah
Apabila telah ada ketetapan dari Allah baik berupa perintah atau pun larangan, maka seorang mukmin tidak pikir-pikir lagi atau mencari alternatif yang lain. Namun menerima dengan sepenuh hati terhadap apa yang ditetapkan Allah tersebut dalam segala permasalahan hidup. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : “Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perem-puan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. 33:36)
3. Membenarkan Apa yang Di-sampaikan Allah dan Rasul-Nya, Tanpa Ragu Sedikitpun
Seorang mukmin harus percaya dan membenarkan segala yang disampaikan Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasul Shalallaahu alaihi wasalam, meskipun belum mengetahui fadhilah atau hikmahnya. Jika kita telah memiliki sifat yang demikian, maka niscaya akan menjadi orang yang beruntung. Sebab Allah Subhannahu wa Ta'ala akan memasukkan kita dalam golongan yang disebutkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam firman Nya, yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. 49:15)
Sebagai misal, ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengatakan, bahwa wanita (pada mulanya) diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk yang memiliki sifat bengkok, maka seorang mukmin dan mukminah harus membenarkannya tanpa ragu sedikit pun. Wanita mukminah sejati tidak keberatan menerima hadits ini dan tidak meragukannya, demikian pula terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengan wanita.
4. Senantiasa Bertaubat, Beristighfar dan Takut Su'ul Khatimah
Di antara ucapan seorang mukmin adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya : “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Rabbmu", maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang- orang yang berbakti.” (QS. 3:193)
Seorang mukmin selalu melihat keburukan dirinya dan takut serta bersedih atas dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Barang siapa yang bersedih terhadap keburukannya dan bergembira terhadap kebaikannya, maka dia seorang mukmin." (HR. Ahmad)
Maka bukan merupakan sifat seorang mukmin kalau bangga tatkala dapat melakukan keburukan dan kejahatan, atau malah bersedih apabila berbuat kebaikan.
5. Besar Rasa Takut dan Harapnya
Rasa takut dan harap yang sangat besar berkumpul di dalam hati seorang mukmin, dia takut nanti kalau pada Hari Kiamat masuk ke dalam neraka, namun sekaligus berharap agar Allah menyelamatkannya, percaya akan rahmat Allah dan berharap agar segala amal perbuatannya diterima. Mereka memohon kepada Allah, yang artinya: “Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di Hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji".(QS. 3:194)
6. Sungguh-Sungguh dan Taat Beribadah
Seorang mukmin selalu bersungguh-sungguh dan taat dalam beribadah kepada Allah, selalu beristighfar, terutama di waktu sahur. Firman Allah:
“(Yaitu) orang-orang yang berdo'a, "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka". (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.”(QS. 3:16-17)
Inilah di antara beberapa tanda-tanda iman, dan tentunya masih banyak lagi tanda-tanda lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Yang penting adalah kita mencoba mengukur diri sampai di mana keimanan kita, kalau seluruh tanda keimanan yang tersebut di atas ada pada diri kita, maka hendaklah memuji Allah karena telah memberikan karunia yang amat besar. Dan sebaliknya kalau masih banyak yang belum ada pada diri kita, maka marilah bersegera meraih dan mengejar ketertinggalan kita, sebelum pintu kehidupan ini tertutup.
Ikatan Iman yang Terkuat
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (HR. Abu Dawud)
Seorang mukmin hendaknya selalu melihat apakah dirinya telah menda-patkan tali terkuat ini atau kah belum? Sudahkah dirinya mampu mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, atau kah malah justru mencintai dan membenci tergantung pada hawa nafsu dan pendapat sendiri?
Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu pernah berkata, "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memusuhi karena Allah, loyal (berwala) karena Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan perwalian (cinta dan pembelaan) dari Allah dengan sebab tersebut. seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman, meskipun banyak shalat dan puasa, sehingga dia bersikap demikian itu."
Sinar Keimanan
Iman akan memancarkan sinar yang terbit menyinari di dalam hati, sehingga hati menjadi hidup. Amr Ibnu Qais berkata, "Aku mendengar bukan hanya dari seorang shahabat saja yang berkata, "Cahaya iman adalah tafakkur."
Yaitu merenungkan dan memikirkan segala kebesaran dan kekuasaan Allah, segenap makhlukNya, memikirkan asma' dan sifat sifat Allah yang Maha Luhur, sehingga kalau itu semua memenuhi hati, maka akan membuatnya bersinar dan bercahaya, yang itu akan terus menambah kedekatan dan rasa cinta terhadap Allah Rabb Pencipta dan Pemeliharanya.
Iman, Musik dan Lagu
Musik dan lagu tidak akan dapat bersatu di dalam hati seorang mukmin sejati, sehingga amatlah sulit untuk dapat mencapai keutuhan dan kesempurnaan iman. Sebab hati yang seharusnya ditempati secara keseluruhan untuk iman, ternyata ada jatah yang di sediakan untuk nyanyian dan musik, akan berbahaya kalau jatah untuk musik dan nyanyian lebih besar daripada jatah untuk keimanan. Sebab musik dan lagu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dapat menumbuhkan kamunafikan.
Maka seorang mukmin hedaknya memakmurkan dan memenuhi hatinya dengan iman, jangan sampai nyanyian mendominasi hati karena itu dapat menjerumuskan ke dalam su'ul khatimah. Sebagaimana hal itu pernah terjadi di dalam kisah nyata, yaitu seorang yang akan meninggal dunia ketika dituntun untuk membaca syahadat dia tidak bisa mengucapkannya dan justru malah menyanyi. Na'udzu billah min dzalik.
Manisnya Iman
Manisnya iman dapat diraih dengan tiga hal sebagaimana yang disabdakan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, yang artinya:
"Tiga hal yang barang siapa memilki ketiganya, maka akan merasakan manisnya iman, (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dia cintai daripada selain keduanya, apabila menyintai seseorang, maka tidaklah dia mencintai, kecuali karena Allah, serta benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyela-matkan darinya sebagaimana bencinya kalau dilemparkan ke neraka."(HR. Al-Bukhari)
Maka masing-masing kita hedaklah melihat, apakah Allah dan Rasul telah kita tempatkan di atas semua orang, termasuk anak, istri atau suami, serta segala kesenangan hidup? Lalu kita lihat juga apakan cinta kita terhadap sesama manusia sudah karena Allah, atau kah karena ada sebab-sebab lain seperti materi, tujuan keduniaan, kelompok dan golongan dan sebagai-nya? Lalu yang ketiga, apakah kita telah membenci kekufuran, termasuk pelakunya dan segala yang berkaitan dengan diri, kehidupan dan gayanya? Atau kah sebaliknya kita malah meniru (tasyabbuh), taklid dan ikut-ikutan terhadap prilaku kaum kufar?
Sikap Mukmin Terhadap Dosa
Abdullah Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu berkata, "Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya ibarat kalau dia sedang duduk di bawah gunung dan takut kalau gunung itu runtuh menimpanya. Sedangkan seorang fajir (pelaku dosa) melihat dosanya ibarat (melihat) lalat yang terbang di depan hidungnya seraya mengatakan begini." Para ulama manafsirkan, yaitu dengan menggerak-kan tangannya di depan hidung layak-nya mengusir lalat.
Sikap seseorang terhadap dosa akan sangat berpengaruh terhadap sikap-sikapnya di dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini disebabkan karena tatkala seseorang menganggap kecil dan remeh sebuah dosa, maka cenderung akan berbuat semaunya.
Maka seorang mukmin kalau berbuat dosa akan merasa sedih, takut dan gelisah karena kekuatan imannya mendorong demikian. Ia tidak melihat besar kecilnya dosa, namun melihat kepada siapa berbuat dosa. Demikian hendaknya masing-maing kita menyi-kapi dosa, karena hal itu akan mendorong ke arah sikap-sikap positif se-perti introspeksi (muhasabah), mawas diri, hati-hati serta banyak beristighfar.
Mudah-mudahan Allah Subhannahu wa Ta'ala memasukkan kita semua ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan iman yang sejati dan benar, serta menghapuskan dosa dan kesalahan kita baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Amin.
Sumber: Kutaib,”Min ‘alamatil iman ash shadiq,” Asma’ binti Abdur Rahman Al Bani, bittasharruf wazzi-yadh. (Ibnu Djawari)
( Senin, 01 Desember 2003 / 07 Syawal 1424 H )
Rabu, 07 April 04
Iman memiliki tanda-tanda, mempunyai rasa serta memberikan dampak, juga memiliki cahaya dan ikatan yang senantiasa di pegang oleh pemiliknya. Maka perlu bagi kita kaum muslimin yang notaben juga mukmin mengenal tanda-tanda keimanan, agar dapat mengukur diri kita masing-masing apakah kita masuk orang orang yang difirmankan Allah, yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka kasih sayang.” (QS. 19:96).
Di antara indikator iman yang benar adalah sebagai berikut:
1. Ittiba' Kepada Rasul Shalallaahu alaihi wasalam Dengan Sebenarnya
Seorang mukmin senantiasa menerima apa saja yang disampaikan oleh Nabinya n, sebab khawatir termasuk golongan yang disabdakan oleh beliau :
"Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, sehingga kemauan (hawa nafsunya) tunduk terhadap segala yang kusampaikan."
Hawanya, cintanya, angan-angan dan keinginanya senantiasa diukur dengan apa yang dibawa oleh Nabinya Shalallaahu alaihi wasalam, tidak menyelisihi perintahnya dan tidak melanggar larangannya, lisannya senantiasa berucap, yang Artinya:
“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". (QS. 3:53)
2. Tunduk Terhadap Hukum Allah
Apabila telah ada ketetapan dari Allah baik berupa perintah atau pun larangan, maka seorang mukmin tidak pikir-pikir lagi atau mencari alternatif yang lain. Namun menerima dengan sepenuh hati terhadap apa yang ditetapkan Allah tersebut dalam segala permasalahan hidup. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : “Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perem-puan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. 33:36)
3. Membenarkan Apa yang Di-sampaikan Allah dan Rasul-Nya, Tanpa Ragu Sedikitpun
Seorang mukmin harus percaya dan membenarkan segala yang disampaikan Allah Subhannahu wa Ta'ala dan Rasul Shalallaahu alaihi wasalam, meskipun belum mengetahui fadhilah atau hikmahnya. Jika kita telah memiliki sifat yang demikian, maka niscaya akan menjadi orang yang beruntung. Sebab Allah Subhannahu wa Ta'ala akan memasukkan kita dalam golongan yang disebutkan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam firman Nya, yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. 49:15)
Sebagai misal, ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam mengatakan, bahwa wanita (pada mulanya) diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk yang memiliki sifat bengkok, maka seorang mukmin dan mukminah harus membenarkannya tanpa ragu sedikit pun. Wanita mukminah sejati tidak keberatan menerima hadits ini dan tidak meragukannya, demikian pula terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum yang khusus berkenaan dengan wanita.
4. Senantiasa Bertaubat, Beristighfar dan Takut Su'ul Khatimah
Di antara ucapan seorang mukmin adalah sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya : “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), “Berimanlah kamu kepada Rabbmu", maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang- orang yang berbakti.” (QS. 3:193)
Seorang mukmin selalu melihat keburukan dirinya dan takut serta bersedih atas dosa-dosa yang pernah diperbuatnya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Barang siapa yang bersedih terhadap keburukannya dan bergembira terhadap kebaikannya, maka dia seorang mukmin." (HR. Ahmad)
Maka bukan merupakan sifat seorang mukmin kalau bangga tatkala dapat melakukan keburukan dan kejahatan, atau malah bersedih apabila berbuat kebaikan.
5. Besar Rasa Takut dan Harapnya
Rasa takut dan harap yang sangat besar berkumpul di dalam hati seorang mukmin, dia takut nanti kalau pada Hari Kiamat masuk ke dalam neraka, namun sekaligus berharap agar Allah menyelamatkannya, percaya akan rahmat Allah dan berharap agar segala amal perbuatannya diterima. Mereka memohon kepada Allah, yang artinya: “Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di Hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji".(QS. 3:194)
6. Sungguh-Sungguh dan Taat Beribadah
Seorang mukmin selalu bersungguh-sungguh dan taat dalam beribadah kepada Allah, selalu beristighfar, terutama di waktu sahur. Firman Allah:
“(Yaitu) orang-orang yang berdo'a, "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka". (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.”(QS. 3:16-17)
Inilah di antara beberapa tanda-tanda iman, dan tentunya masih banyak lagi tanda-tanda lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Yang penting adalah kita mencoba mengukur diri sampai di mana keimanan kita, kalau seluruh tanda keimanan yang tersebut di atas ada pada diri kita, maka hendaklah memuji Allah karena telah memberikan karunia yang amat besar. Dan sebaliknya kalau masih banyak yang belum ada pada diri kita, maka marilah bersegera meraih dan mengejar ketertinggalan kita, sebelum pintu kehidupan ini tertutup.
Ikatan Iman yang Terkuat
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, "Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." (HR. Abu Dawud)
Seorang mukmin hendaknya selalu melihat apakah dirinya telah menda-patkan tali terkuat ini atau kah belum? Sudahkah dirinya mampu mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, atau kah malah justru mencintai dan membenci tergantung pada hawa nafsu dan pendapat sendiri?
Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu pernah berkata, "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memusuhi karena Allah, loyal (berwala) karena Allah, maka sungguh dia telah mendapatkan perwalian (cinta dan pembelaan) dari Allah dengan sebab tersebut. seorang hamba tidak akan merasakan lezatnya iman, meskipun banyak shalat dan puasa, sehingga dia bersikap demikian itu."
Sinar Keimanan
Iman akan memancarkan sinar yang terbit menyinari di dalam hati, sehingga hati menjadi hidup. Amr Ibnu Qais berkata, "Aku mendengar bukan hanya dari seorang shahabat saja yang berkata, "Cahaya iman adalah tafakkur."
Yaitu merenungkan dan memikirkan segala kebesaran dan kekuasaan Allah, segenap makhlukNya, memikirkan asma' dan sifat sifat Allah yang Maha Luhur, sehingga kalau itu semua memenuhi hati, maka akan membuatnya bersinar dan bercahaya, yang itu akan terus menambah kedekatan dan rasa cinta terhadap Allah Rabb Pencipta dan Pemeliharanya.
Iman, Musik dan Lagu
Musik dan lagu tidak akan dapat bersatu di dalam hati seorang mukmin sejati, sehingga amatlah sulit untuk dapat mencapai keutuhan dan kesempurnaan iman. Sebab hati yang seharusnya ditempati secara keseluruhan untuk iman, ternyata ada jatah yang di sediakan untuk nyanyian dan musik, akan berbahaya kalau jatah untuk musik dan nyanyian lebih besar daripada jatah untuk keimanan. Sebab musik dan lagu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dapat menumbuhkan kamunafikan.
Maka seorang mukmin hedaknya memakmurkan dan memenuhi hatinya dengan iman, jangan sampai nyanyian mendominasi hati karena itu dapat menjerumuskan ke dalam su'ul khatimah. Sebagaimana hal itu pernah terjadi di dalam kisah nyata, yaitu seorang yang akan meninggal dunia ketika dituntun untuk membaca syahadat dia tidak bisa mengucapkannya dan justru malah menyanyi. Na'udzu billah min dzalik.
Manisnya Iman
Manisnya iman dapat diraih dengan tiga hal sebagaimana yang disabdakan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, yang artinya:
"Tiga hal yang barang siapa memilki ketiganya, maka akan merasakan manisnya iman, (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dia cintai daripada selain keduanya, apabila menyintai seseorang, maka tidaklah dia mencintai, kecuali karena Allah, serta benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyela-matkan darinya sebagaimana bencinya kalau dilemparkan ke neraka."(HR. Al-Bukhari)
Maka masing-masing kita hedaklah melihat, apakah Allah dan Rasul telah kita tempatkan di atas semua orang, termasuk anak, istri atau suami, serta segala kesenangan hidup? Lalu kita lihat juga apakan cinta kita terhadap sesama manusia sudah karena Allah, atau kah karena ada sebab-sebab lain seperti materi, tujuan keduniaan, kelompok dan golongan dan sebagai-nya? Lalu yang ketiga, apakah kita telah membenci kekufuran, termasuk pelakunya dan segala yang berkaitan dengan diri, kehidupan dan gayanya? Atau kah sebaliknya kita malah meniru (tasyabbuh), taklid dan ikut-ikutan terhadap prilaku kaum kufar?
Sikap Mukmin Terhadap Dosa
Abdullah Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu berkata, "Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya ibarat kalau dia sedang duduk di bawah gunung dan takut kalau gunung itu runtuh menimpanya. Sedangkan seorang fajir (pelaku dosa) melihat dosanya ibarat (melihat) lalat yang terbang di depan hidungnya seraya mengatakan begini." Para ulama manafsirkan, yaitu dengan menggerak-kan tangannya di depan hidung layak-nya mengusir lalat.
Sikap seseorang terhadap dosa akan sangat berpengaruh terhadap sikap-sikapnya di dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini disebabkan karena tatkala seseorang menganggap kecil dan remeh sebuah dosa, maka cenderung akan berbuat semaunya.
Maka seorang mukmin kalau berbuat dosa akan merasa sedih, takut dan gelisah karena kekuatan imannya mendorong demikian. Ia tidak melihat besar kecilnya dosa, namun melihat kepada siapa berbuat dosa. Demikian hendaknya masing-maing kita menyi-kapi dosa, karena hal itu akan mendorong ke arah sikap-sikap positif se-perti introspeksi (muhasabah), mawas diri, hati-hati serta banyak beristighfar.
Mudah-mudahan Allah Subhannahu wa Ta'ala memasukkan kita semua ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan iman yang sejati dan benar, serta menghapuskan dosa dan kesalahan kita baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Amin.
Sumber: Kutaib,”Min ‘alamatil iman ash shadiq,” Asma’ binti Abdur Rahman Al Bani, bittasharruf wazzi-yadh. (Ibnu Djawari)
( Senin, 01 Desember 2003 / 07 Syawal 1424 H )
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
aqidah dan keimanan
Sesungguhnya asas pertama kali yang tegak diatasnya masyarakat Islam adalah aqidah, itulah aqidah Islam. Maka tugas masyarakat yang pertama adalah memelihara aqidah, menjaga dan memperkuat serta memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia.
Aqidah Islam ada pada keimanan kita kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari kemudian, sebagaimana firman Allah SWT:
"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kõtab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan:)"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, " dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat," (Mereka berdo'a:) "Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Al Baqarah: 285)
Aqidah Islam itu membangun bukan merusak, mempersatukan bukan memecah belah, karena aqidah ini tegak di atas warisan ilahiyah seluruhnya. Dan di atas keimanan kepada para utusan Allah seluruhnya "Laa Nufarriqu Baina Ahadin Min Rusulihi."
Aqidah tersebut diringkas dan dimampatkan dalam syahadatain (dua kalimat syahadat) yaitu: "Syahaadatu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan Rasuulullaah." Aqidah inilah yang mempengaruhi pandangan kaum Muslimin terhadap alam semesta dan penciptannya, terhadap alam metafisika, kehidupan ini dan kehidupan setelahnya, terhadap alam yang terlihat dan yang tidak terlihat, terhadap makhluq dan khaliq, dunia dan akhirat, dan terhadap alam yang nampak dan alam gaib (yang tidak kelihatan).
Alam ini dengan bumi dan langitnya, benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhannya, hewan dan manusianya, jin dan malaikatnya ..., kesemuanya tidak diciptakan tanpa makna, dan tidak diciptakan dengan sendirinya. Harus ada yang menciptakan, yakni Dia yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Dia yang telah menciptakan alam ini dengan sempurna, dan telah menentukan segala sesuatu di dalamnya dengan ketentuan yang pasti. Maka setiap benda yang terkecil sekali pun itu ada standarnya, dan setiap gerakan pasti ada ukuran dan perhitungannya. Pencipta itu adalah Allah SWT yang setiap kata, bahkan setiap huruf dalam alam ini membuktikan atas kehendak, kekuasaan, ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Allah SWT berfirman:
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (Al Isra': 44)
Pencipta Yang Maha Agung itulah Rabbnya langit dan bumi, Rabbnya alam semesta dan Rabbnya segala sesuatu, Dia Satu dan Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Hanya Dialah yang qadim dan azali, hanya Dialah yang tegak selama-lamanya, hanya Dialah yang menciptakan, yang menyempurnakan dan yang memberi rupa (bentuk). Hanya Dialah yang memiliki asmaul husna dan sifaatul 'ula, tidak ada sekutu dan tidak ada perlawanan bagi-Nya, tidak ada anak dan tidak ada bapak bagi-Nya, tidak ada yang mirip atau yang menyamaiNya. Allah swt berfirman:
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlas: 1-4)
"Dia-lah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Hadid: 3)
"Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)
Segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, baik yang atas dan yang bawah, yang diam dan yang bisa berbicara membuktikan adanya akal yang satu, Dia-lah yang mengatur segalanya. Membuktikan pula adanya tangan yang satu, Dialah yang mengatur penjuru alam dan mengarahkannya. Jika tidak demikian, maka akan rusaklah alam semesta ini, lepas kendalinya, goncang standarnya dan runtuh bangunannya sebagai akibat dari banyaknya akal yang mengatur dan banyaknya tangan yang menggerakkan. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan." (Al Anbiya': 22)
"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Al Mukminun: 91)
"Katakanlah: "Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." (Al Isra': 42-43)
Suatu hakikat yang tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya seluruh makhluq yang ada di langit dan yang di bumi semuanya kepunyaan Allah, dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi semuanya milik Allah. Maka tidak ada seorang pun atau sesuatu pun dari yang berakal maupun yang tidak berakal menyamai Allah dan tidak pula Dia mempunyai putra. Sebagaimana yang dikatakan oleh penyembah berhala dan yang serupa dengan mereka, Al Qur'an menggambarkan sebagai berikut:
"Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak." Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya. "Jadilah!" Lalu jadilah ia." (Al Baqarah: 116-11)
Barangsiapa yang tersesat dari hakekat ini di dunia maka niscaya akan terungkap di akhirat kelak, dia akan melihat kenyataan itu seakan telanjang. Jelas dan terang seperti terangnya matahari di waktu dhuha. Allah swt berfirman:
"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri." (Maryam: 93-95)
Maka tidak heran (bukan suatu hal yang aneh) setelah itu semua, jika Allah Sang Pencipta Yang Agung, Tuhan yang Maha Tinggi, hanya Dialah yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Dengan lain perkataan, "Dia berhak sangat dipatuhi dan sangat dicintai, dan makna yang terkandung dalam ketundukan dan cinta yang sangat, itulah yang kita namakan "Ibadah"1
Inilah makna "Laa ilaaha illallaah," artinya tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah atau tidak sesuatu pun berhak untuk menerima ketundukan dan cinta selain Allah. Hanya Dia-lah yang pantas untuk tunduk semua makhluk terhadap perintah-Nya, sujud di hadapan-Nya dan bertasbih dengan memuji-Nya serta mau menerima hukum-Nya.
Hanya Dia yang pantas untuk dicintai dengan segala makna cinta, Dia-lah yang mutlak kesempurnaan-Nya dan sesuatu yang sempurna itu pantas untuk dicintai. Dia-lah sumber segala keindahan, dan segala keindahan yang ada dalam kehidupan ini diambil dari pada-Nya, dan keindahan itu wajar kalau dicintai dan dicintai pula pemiliknya. Dia-lah yang memberi seluruh kenikmatan dan sumber segala kebaikan. Allah SWT berfirman:
"Dan apa saya nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan." (An-Nahl: 53)
Oleh karena itu kebaikan akan selamanya disenangi dan nikmat akan selamanya dicintai dan dicintai pula pemiliknya.
Makna "Laa ilaaha illallaah" adalah membuang ketundukan dan penghambaan kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah dan hukum selain hukum-Nya dan perintah selain perintah-Nya. Ia juga berarti menolak segala bentuk loyalitas selain loyalitas kepada-Nya dan menolak segala bentuk cinta selain cinta kepada-Nya dan cinta karena-Nya.
Untuk memperjelas makna tersebut, maka kami katakan bahwa sesungguhnya unsur (komponen) tauhid sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an ada tiga yaitu dalam surat Al An'am --surat yang memperhatikan ushulut-tauhid (prinsip-prinsip ketauhidan)-- sebagai berikut:
Pertama, hendaknya kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah. Allah berfirman:
"Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal. Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu ..." (Al An'am: 164)
Kedua, hendaknya kamu tidak mencari wali (penolong) kepada selain Allah. Allah berfirman:
"Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan ...." (Al An'am: 14)
Ketiga, hendaknya kamu tidak mencari hakim selain daripada Allah. Allah berfirman:
"Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?" (Al An'am: 114)
Makna unsur yang pertama --"Hendaklah kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah"-- adalah menolak seluruh tuhan-tuhan palsu yang disembah oleh manusia, baik di zaman dahulu atau sekarang ini, baik di timur atau di barat, baik dari batu, pohon-pohonan, perak dan emas, ataupun mata hari dan bulan atau dari golongan jin dan manusia. Ia juga berarti menolak seluruh tuhan-tuhan selain Allah sekaligus mengumumkan revolusi untuk melawan orang-orang di bumi yang mengaku tuhan dan bersikap sombong tanpa dasar yang benar, yaitu mereka yang ingin memperbudak hamba-hamba Allah.
"Laa ilaaha illallaah" adalah deklarasi untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Allah, sebagai penciptannya. Maka tidak boleh bersujud, tunduk dan khusyu' kecuali kepada Allah Pencipta langit dan bumi.
Oleh karena itu Nabi SAW mengakhiri surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan penguasa serta para kaisar dari kaum nasrani ayat berikut ini:
"Katakanlah: "Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menyadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali 'Imran: 64)
Kata-kata "Rabbunallah" adalah berfungsi sebagai pengumuman tentang pembangkangan dan penolakan terhadap segala kediktatoran di bumi ini.
Karena itulah Nabi Musa AS menghadapi ancaman pembunuhan, dan pada saat itu ada seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir'aun yang membela, seraya berkata, sebagaimana dikisahkan oleh Al Quran:
"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah." padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu ..." (Al Mukmin (Ghafir): 28)
Karena itu pula Nabi kita Muhammad SAW dan para sahabatnya juga menghadapi tekanan, siksa dan pengusiran dari tanah air dan perampasan harta, sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an:
"(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah" ...." (Al Hajj: 40)
Makna unsur yang kedua "Hendaklah kamu tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (pendukung)" adalah menolak (tidak memberikan) wala' atau loyalitasnya kepada selain Allah dan golongannya, karena bukanlah tauhid itu suatu pengakuan bahwa Tuhannya adalah Allah, tetapi pada saat yang sama dia memberikan wala', kecintaan dan dukungannya kepada selain Allah, bahkan kepada musuh-musuh-Nya. Allah swt berfirman:
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscsya lepaslah ia dari pertolongan Allah ..." (Ali 'Imran: 28)
Sesungguhnya hakikat tauhid bagi orang yang beriman bahwa sesungguhnya Tuhannya adalah Allah. Hendaknya ia memurnikan ketaatan kepada-Nya dan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang" (Al Maidah, 55-56)
Dari sinilah Al Qur'an menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang musyrik bahwa mereka itu telah membagi-bagi hati mereka antara Allah SWT dengan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah yaitu dari berhala-berhala dan patung-patung. Mereka telah memberikan kecintaan dan wala' mereka kepada tuhan-tuhan itu sebagaimana mereka memberikannya kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Dan sebagian manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah ..." (Al Baqarah: 165)
Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima syarikah (persekutuan) dalam hati para hamba-Nya yang beriman, maka tidak boleh sebagian hati kita, kita berikan kepada Allah, kemudian sebagian yang lain lagi untuk Thaghut. Tidak boleh kita memberikan sebagian wala'nya kepada Al Khaliq (pencipta) dan sebagiannya lagi kepada makhluk. Sesungguhnya seluruh wala' dan seluruh tumpuan hati hendaknya wajib diberikannya kepada Allah, yang memiliki seluruh makhluk-Nya dan seluruh perkara yang ada. Inilah perbedaan antara mukmin dan musyrik. Orang mukmin itu menyerahkan (dirinya) kepada Allah, memurnikan 'ubudiyahnya kepada Allah, sedangkan orang musyrik itu memilah-milah antara Allah dan selain Allah. Allah SWT berfirman:
"Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Az-Zumar: 29)
Makna unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak mencari hakim kepada selain Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain sistem yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain syari'at Allah dan setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan nilai yang tidak diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit dari semua itu baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah berarti dia telah mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur tauhid, karena ia telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri' itu termasuk hak Allah saja. Allah SWT berfirman:
"Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 40)
Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid rububbiyah dan uluhiyah Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan seseorang dari hamba Allah sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia memerintahkan dan melarang sesuai dengan kemauannya, menghalalkan dan mengharamkan semaunya serta memberikannya hak ketaatan dalam hal itu, meskipun ia menghalalkan yang haram, seperti zina, riba, khamr, dan judi, kemudian juga mengharamkan yang halal seperti thalaq (mencerai) dan berpoligami. Dan juga menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf dan nahi munkar, dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya. Barangsiapa yang menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang dijelaskan di dalam Al Qur'an dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31)
Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan orang-orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud kepada mereka dan tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap berhala?
Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani kemudian datang ke Madinah dan orang-orang membicarakan tentang kedatangannya. Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum wa ruhbaanaham arbaaban min duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya, mereka itu telah mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan menghalalkan kepada mereka yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti mereka, maka itulah ibadah mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi)
Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah mengikuti para rahib itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan haramkan."
As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti para ulama mereka, pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang punggung mereka, untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at maka harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada ilah (Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan."
Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari kedua kalimat syahadah, yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang konsekuensinya adalah: tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim, sebagaimana diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih dan yang muhkamat.
Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang berfungsi sebagai syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan Rasulullah." Karena sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai Ilah dan Rabb itu tidak cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua, yaitu bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam setiap kurun waktu para penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk, membimbing dan mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT berfirman:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah sesudah diutusnnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisaa': 165)
Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam masyarakat serta memberi petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan itu sebagai pedoman apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya apabila terjadi saling bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan kerusakan. Allah swt berfirman:
"Sesungguhzya Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Inilah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang terpelihara. Dan "Al Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal dan keutamaan manusiawi yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.
Kalau bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya untuk memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.
Utusan yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang menyampaikan perintah, hukum dan syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari mana asal kita dan hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita, mengenal halal dan haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak tahu jalan, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al Maaidah: 15-16)
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di mana akan dimintai pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia perbuat, dan akan dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat buruk, akan dibalas sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibalas dengan kebaikan pula.
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8)
Melalui Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at (suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula yang memperbaiki. Allah SWT berfirman .
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14)
Untuk itulah maka kalimat "Muhammadan Rasulullah" adalah penyempurna dari kalimat "Laaa ilaaha illallaah" yang artinya tiada yang berhak disembah selain Allah, sedangkan arti berikutnya adalah, tidak sah untuk menyembah Allah kecuali dengan syari'at dan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya.
Tidak heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa taat kepada Rasul maka taat kepada Allah." (An-Nisaa':80)
Dan ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu tanda kecintaan kita kepada Allah SWT:
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali 'Imran: 3)
Ridha terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak termasuk golongan orang-orang yang beriman orang yang menolak hukum atau perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap Al Qur'an, karena Allah SWT telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia apa (kitab) yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak dikatakan beriman orang yang berhukum kepada selain dari Rasulullah SAW atau orang yang menolak hukumnya atau ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT berfirman:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab: 36)
Allah SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya:
"Dan mereka berkata: 'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).' Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (An-Nuur: 51)
Allah SWT juga menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah SAW dan rela untuk menerima keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah orang-orang Yahudi:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan berrnaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65)
Inilah sikap orang-orang yang beriman terhadap Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya, sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu sedikit pun dalam menerima hukum atau menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak memilih alternatif lainnya dan mereka tidak meninggalkan ketundukan dan ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh orang-orang munafik, bahkan prinsip dan semboyan mereka adalah "Sami'naa wa Atha'naa."
Sikap tersebut berbeda dengan sikap orang-orang munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya disebut "Thaghut," oleh karena itu Allah SWT berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila thaaghuut" itu membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.
Al Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang sifat-sifat orangorang munafik dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61)
Al Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan menyerah terhadap hukum tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya:
"Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)
Barangsiapa berpaling dari semua seruan ini dan menutup kedua telinganya dari ayat-ayat tersebut, malah sebaliknya menerima aturan-aturan, perundang-undangan, sistem dan tradisi dari selain jalan Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para filosof, baik dari timur atau barat, ulama atau umara atau apa pun namanya, berarti ia telah menentang Allah SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan telah mengumumkan permusuhan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al Maaidah: 44)
"Barangsiapa tidak berhutum pada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)
"Barangsiapa tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Al Maadiah: 47)
Penggunaan kata-kata tersebut (Kaafiruun, zhaalimuun, dan Faasiquun) di dalam Al Qur'an Al Karim menunjukkan bahwa maknanya berdekatan. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang kafir mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 254)
"Barangsuapa yang kufur setelah demikian itu maka mereka adalah orangorang yang fasik." (An-Nuur: 55)
"Tidak ada yang menentang ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang kafir." (Al Ankabut: 47)
Oleh karena itu A1 Qur'an menjadikan kefasikan itu sebagai perlawanan terhadap keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SW:
"Seburuk-buruk nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman." (Al Hujuraat: 11)
"Apakah orang mukmin itu sama dengan orang yang fasik, mereka tidaklah sama." (As-Sajadah: 18)
Al Qur'an juga menceritakan tentang Iblis ketika menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Ia membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Al Baqarah: 34)
"Dia (iblis) adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik dan perintah Rabb-Nya." (Al Kahfi: 50)
Maka orang yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah berarti dia kafir, zhalim atau fasik atau mengumpulkan sifat-sifat ini kesemuanya. Terutama apabila ia meyakini bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu mengakibatkan jumud (beku), terbelakang dan menjadi mundur, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia itulah yang membawa perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial dan peningkatan tarap hidup.
Termasuk penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan yang nyata terhadap konsepsi pemikiran manusia jika ada yang mengatakan, "Bahwa sesungguhnya ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani." Dan orang yang berkata ini lupa atau pura-pura lupa bahwa ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada kaum tertentu, tetapi kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya meliputi seluruh manusia yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan kaidah yang ditetapkan oleh para mufassirin, bahwa"Ibrah diambil dari umumnya lafadz, bukan sebab yang khusus." Dan mustahil jika Allah mencela Ahlul Kitab yang pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena mereka telah menolak membuang hukum Allah di belakang mereka dan tidak mau berhukum pada hukum Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum Muslimin saat ini. Atau juga kepada Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan Kitab Allah menjadi terbengkalai (terabaikan, sementara sebagian yang lain telah menjadikannya sebagai minhaj (sistem) dan dustur (undang-undang) hidup mereka.
Apa faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau bukan memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar jangan berbuat seperti mereka dan berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga mereka dicela seperti Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Thaha: 81)
Mengapa Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab dan mengutus kepada mereka seorang Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab itu dan menentang Rasul? Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu." (An-Nisaa': 105)
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah." (An-Nisaa': 64)
Oleh karena itu Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat di atas sebagai berikut:
"Dan Kami telah turunkan kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa yangAllah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maaidah: 48)
Kemudian Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya sebagai berikut:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnnya kebanyakan munusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (A1 Maaidah: 49-50)
Dengan demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua hukum, dan tidak ada ketiganya, yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum Allah atau hukum Thaghut. Maka hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya, dan hendaklah setiap kaum memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam) atau hukum Thaghut (hukum jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari keduanya.
Adapun orang-orang yang beriman maka tidak ada alternatif bagi mereka, mereka selalu siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu siap bersama Islam' mereka senantiasa dalam peperangan dengan Thaghut dan hukum jahiliyah. Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa 'atha'naa."
Sedangkan orang-orang yang kafir, mereka itu selamanya berada di jalan Thaghut, mereka selamanya dalam keadaan ragu, mereka berada dalam kubangan jahiliyah. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut, mengelaarkan mereka dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah penghuni neraka, mereka di dalamnya kekal selama-lamanya." (Al Baqarah: 257)
Di sini ada dua catatan penting' yaitu sebagai berikut:
Pertama: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah itu merupakan suatu kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang menentang, ungkapan itu sama dengan istilah yang berkembang saat ini"Hakimiyah adalah kepunyaan Allah." Yang berarti Allah-lah yang mempunyai hak (wewenang) secara mutlak untuk membuat suatu aturan hidup, berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, yang berhak menentukan dan memberikan beban terhadap seluruh makhluk-Nya.
Sebagian orang salah memahami bahwa prinsip ini katanya berasal dari penemuan Al Maududi di Pakistan atau Sayyid Quthub di Mesir, padahal kenyataannya pemikiran (konsep) ini diambil dari ilmu"Ushul Fiqih Islami," dan ulama ushul memuat pembahasan ini dalam bab"Hukum" yang masuk dalam muqaddimah ilmu ushul, dan di dalam tema tentang"Al Hakim." Siapakah dia, mereka semuanya bersepakat bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu hukum) adalah Allah, artinya Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam mengatur makhluk-Nya, sampai golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah kitab"Musallamus Tsubuut," salah satu kitab ushul yang terkenal.
Dalil-dalil atas ketetapan prinsip ini baik dari Al Qur'an maupun Sunnah jelas dan nyata yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam menjelaskan kewajiban berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah.
Kedua: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT itu tidak akan menghilangkan peran manusia, karena manusia itulah yang memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya dan meng-istimbath (menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu' kemudian memenuhi yang kosong dalam hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami katakan dengan istilah"Min Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana syari' (Allah SWT) sengaja tidak membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang) Allah kepada kita, bukan karena lupa. Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa mencapai dan berijtihad dalam pancaran nash-nash dan kaidah-kaidah ushul.
[1] Lihatlah makna Ibadah pada kitab saya,"Al Ibadah Fil Islam"
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Aqidah Islam ada pada keimanan kita kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari kemudian, sebagaimana firman Allah SWT:
"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kõtab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan:)"Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, " dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat," (Mereka berdo'a:) "Ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Al Baqarah: 285)
Aqidah Islam itu membangun bukan merusak, mempersatukan bukan memecah belah, karena aqidah ini tegak di atas warisan ilahiyah seluruhnya. Dan di atas keimanan kepada para utusan Allah seluruhnya "Laa Nufarriqu Baina Ahadin Min Rusulihi."
Aqidah tersebut diringkas dan dimampatkan dalam syahadatain (dua kalimat syahadat) yaitu: "Syahaadatu an laa ilaaha illallaah wa anna Muhammadan Rasuulullaah." Aqidah inilah yang mempengaruhi pandangan kaum Muslimin terhadap alam semesta dan penciptannya, terhadap alam metafisika, kehidupan ini dan kehidupan setelahnya, terhadap alam yang terlihat dan yang tidak terlihat, terhadap makhluq dan khaliq, dunia dan akhirat, dan terhadap alam yang nampak dan alam gaib (yang tidak kelihatan).
Alam ini dengan bumi dan langitnya, benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhannya, hewan dan manusianya, jin dan malaikatnya ..., kesemuanya tidak diciptakan tanpa makna, dan tidak diciptakan dengan sendirinya. Harus ada yang menciptakan, yakni Dia yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Dia yang telah menciptakan alam ini dengan sempurna, dan telah menentukan segala sesuatu di dalamnya dengan ketentuan yang pasti. Maka setiap benda yang terkecil sekali pun itu ada standarnya, dan setiap gerakan pasti ada ukuran dan perhitungannya. Pencipta itu adalah Allah SWT yang setiap kata, bahkan setiap huruf dalam alam ini membuktikan atas kehendak, kekuasaan, ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Allah SWT berfirman:
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun." (Al Isra': 44)
Pencipta Yang Maha Agung itulah Rabbnya langit dan bumi, Rabbnya alam semesta dan Rabbnya segala sesuatu, Dia Satu dan Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya. Hanya Dialah yang qadim dan azali, hanya Dialah yang tegak selama-lamanya, hanya Dialah yang menciptakan, yang menyempurnakan dan yang memberi rupa (bentuk). Hanya Dialah yang memiliki asmaul husna dan sifaatul 'ula, tidak ada sekutu dan tidak ada perlawanan bagi-Nya, tidak ada anak dan tidak ada bapak bagi-Nya, tidak ada yang mirip atau yang menyamaiNya. Allah swt berfirman:
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al Ikhlas: 1-4)
"Dia-lah yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Hadid: 3)
"Tak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)
Segala sesuatu yang ada di jagad raya ini, baik yang atas dan yang bawah, yang diam dan yang bisa berbicara membuktikan adanya akal yang satu, Dia-lah yang mengatur segalanya. Membuktikan pula adanya tangan yang satu, Dialah yang mengatur penjuru alam dan mengarahkannya. Jika tidak demikian, maka akan rusaklah alam semesta ini, lepas kendalinya, goncang standarnya dan runtuh bangunannya sebagai akibat dari banyaknya akal yang mengatur dan banyaknya tangan yang menggerakkan. Maha Benar Allah dengan firman-Nya:
"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan." (Al Anbiya': 22)
"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (Al Mukminun: 91)
"Katakanlah: "Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai 'Arsy. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." (Al Isra': 42-43)
Suatu hakikat yang tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya seluruh makhluq yang ada di langit dan yang di bumi semuanya kepunyaan Allah, dan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi semuanya milik Allah. Maka tidak ada seorang pun atau sesuatu pun dari yang berakal maupun yang tidak berakal menyamai Allah dan tidak pula Dia mempunyai putra. Sebagaimana yang dikatakan oleh penyembah berhala dan yang serupa dengan mereka, Al Qur'an menggambarkan sebagai berikut:
"Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak." Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya. Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya. "Jadilah!" Lalu jadilah ia." (Al Baqarah: 116-11)
Barangsiapa yang tersesat dari hakekat ini di dunia maka niscaya akan terungkap di akhirat kelak, dia akan melihat kenyataan itu seakan telanjang. Jelas dan terang seperti terangnya matahari di waktu dhuha. Allah swt berfirman:
"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri." (Maryam: 93-95)
Maka tidak heran (bukan suatu hal yang aneh) setelah itu semua, jika Allah Sang Pencipta Yang Agung, Tuhan yang Maha Tinggi, hanya Dialah yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Dengan lain perkataan, "Dia berhak sangat dipatuhi dan sangat dicintai, dan makna yang terkandung dalam ketundukan dan cinta yang sangat, itulah yang kita namakan "Ibadah"1
Inilah makna "Laa ilaaha illallaah," artinya tidak ada yang berhak untuk disembah selain Allah atau tidak sesuatu pun berhak untuk menerima ketundukan dan cinta selain Allah. Hanya Dia-lah yang pantas untuk tunduk semua makhluk terhadap perintah-Nya, sujud di hadapan-Nya dan bertasbih dengan memuji-Nya serta mau menerima hukum-Nya.
Hanya Dia yang pantas untuk dicintai dengan segala makna cinta, Dia-lah yang mutlak kesempurnaan-Nya dan sesuatu yang sempurna itu pantas untuk dicintai. Dia-lah sumber segala keindahan, dan segala keindahan yang ada dalam kehidupan ini diambil dari pada-Nya, dan keindahan itu wajar kalau dicintai dan dicintai pula pemiliknya. Dia-lah yang memberi seluruh kenikmatan dan sumber segala kebaikan. Allah SWT berfirman:
"Dan apa saya nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan." (An-Nahl: 53)
Oleh karena itu kebaikan akan selamanya disenangi dan nikmat akan selamanya dicintai dan dicintai pula pemiliknya.
Makna "Laa ilaaha illallaah" adalah membuang ketundukan dan penghambaan kepada kekuasaan selain kekuasaan Allah dan hukum selain hukum-Nya dan perintah selain perintah-Nya. Ia juga berarti menolak segala bentuk loyalitas selain loyalitas kepada-Nya dan menolak segala bentuk cinta selain cinta kepada-Nya dan cinta karena-Nya.
Untuk memperjelas makna tersebut, maka kami katakan bahwa sesungguhnya unsur (komponen) tauhid sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur'an ada tiga yaitu dalam surat Al An'am --surat yang memperhatikan ushulut-tauhid (prinsip-prinsip ketauhidan)-- sebagai berikut:
Pertama, hendaknya kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah. Allah berfirman:
"Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal. Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu ..." (Al An'am: 164)
Kedua, hendaknya kamu tidak mencari wali (penolong) kepada selain Allah. Allah berfirman:
"Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan ...." (Al An'am: 14)
Ketiga, hendaknya kamu tidak mencari hakim selain daripada Allah. Allah berfirman:
"Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu dengan terperinci?" (Al An'am: 114)
Makna unsur yang pertama --"Hendaklah kamu tidak mencari Rabb (Tuhan) kepada selain Allah"-- adalah menolak seluruh tuhan-tuhan palsu yang disembah oleh manusia, baik di zaman dahulu atau sekarang ini, baik di timur atau di barat, baik dari batu, pohon-pohonan, perak dan emas, ataupun mata hari dan bulan atau dari golongan jin dan manusia. Ia juga berarti menolak seluruh tuhan-tuhan selain Allah sekaligus mengumumkan revolusi untuk melawan orang-orang di bumi yang mengaku tuhan dan bersikap sombong tanpa dasar yang benar, yaitu mereka yang ingin memperbudak hamba-hamba Allah.
"Laa ilaaha illallaah" adalah deklarasi untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketundukan dan penghambaan kepada selain Allah, sebagai penciptannya. Maka tidak boleh bersujud, tunduk dan khusyu' kecuali kepada Allah Pencipta langit dan bumi.
Oleh karena itu Nabi SAW mengakhiri surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan penguasa serta para kaisar dari kaum nasrani ayat berikut ini:
"Katakanlah: "Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menyadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali 'Imran: 64)
Kata-kata "Rabbunallah" adalah berfungsi sebagai pengumuman tentang pembangkangan dan penolakan terhadap segala kediktatoran di bumi ini.
Karena itulah Nabi Musa AS menghadapi ancaman pembunuhan, dan pada saat itu ada seorang laki-laki beriman dari keluarga Fir'aun yang membela, seraya berkata, sebagaimana dikisahkan oleh Al Quran:
"Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah." padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu ..." (Al Mukmin (Ghafir): 28)
Karena itu pula Nabi kita Muhammad SAW dan para sahabatnya juga menghadapi tekanan, siksa dan pengusiran dari tanah air dan perampasan harta, sebagaimana disebutkan oleh Al Qur'an:
"(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah" ...." (Al Hajj: 40)
Makna unsur yang kedua "Hendaklah kamu tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (pendukung)" adalah menolak (tidak memberikan) wala' atau loyalitasnya kepada selain Allah dan golongannya, karena bukanlah tauhid itu suatu pengakuan bahwa Tuhannya adalah Allah, tetapi pada saat yang sama dia memberikan wala', kecintaan dan dukungannya kepada selain Allah, bahkan kepada musuh-musuh-Nya. Allah swt berfirman:
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscsya lepaslah ia dari pertolongan Allah ..." (Ali 'Imran: 28)
Sesungguhnya hakikat tauhid bagi orang yang beriman bahwa sesungguhnya Tuhannya adalah Allah. Hendaknya ia memurnikan ketaatan kepada-Nya dan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang- orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang" (Al Maidah, 55-56)
Dari sinilah Al Qur'an menyatakan pengingkaran terhadap orang-orang musyrik bahwa mereka itu telah membagi-bagi hati mereka antara Allah SWT dengan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah yaitu dari berhala-berhala dan patung-patung. Mereka telah memberikan kecintaan dan wala' mereka kepada tuhan-tuhan itu sebagaimana mereka memberikannya kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Dan sebagian manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah ..." (Al Baqarah: 165)
Sesungguhnya Allah SWT tidak menerima syarikah (persekutuan) dalam hati para hamba-Nya yang beriman, maka tidak boleh sebagian hati kita, kita berikan kepada Allah, kemudian sebagian yang lain lagi untuk Thaghut. Tidak boleh kita memberikan sebagian wala'nya kepada Al Khaliq (pencipta) dan sebagiannya lagi kepada makhluk. Sesungguhnya seluruh wala' dan seluruh tumpuan hati hendaknya wajib diberikannya kepada Allah, yang memiliki seluruh makhluk-Nya dan seluruh perkara yang ada. Inilah perbedaan antara mukmin dan musyrik. Orang mukmin itu menyerahkan (dirinya) kepada Allah, memurnikan 'ubudiyahnya kepada Allah, sedangkan orang musyrik itu memilah-milah antara Allah dan selain Allah. Allah SWT berfirman:
"Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Az-Zumar: 29)
Makna unsur yang ketiga --"Hendaklah kamu tidak mencari hakim kepada selain Allah" -- adalah menolak ketundukan kepada setiap hukum selain hukum Allah, setiap perintah selain perintah dari Allah, setiap sistem selain sistem yang ditetapkan Allah, setiap undang-undang selain syari'at Allah dan setiap aturan, tradisi, adat istiadat, manhaj, fikrah dan nilai yang tidak diizinkan oleh Allah. Maka barangsiapa yang menerima sedikit dari semua itu baik sebagai hakim atau yang dihukumi, tanpa izin dari Allah berarti dia telah mernbatalkan salah satu unsur yang asasi dari unsur-unsur tauhid, karena ia telah mencari hakim selain Allah, padahal hukum dan tasyri' itu termasuk hak Allah saja. Allah SWT berfirman:
"Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 40)
Unsur ini sebenamya merupakan konsekuensi tauhid rububbiyah dan uluhiyah Allah, karena sesungguhnya orang yang menjadikan seseorang dari hamba Allah sebagai pembuat hukum dan yang menentukan, ia memerintahkan dan melarang sesuai dengan kemauannya, menghalalkan dan mengharamkan semaunya serta memberikannya hak ketaatan dalam hal itu, meskipun ia menghalalkan yang haram, seperti zina, riba, khamr, dan judi, kemudian juga mengharamkan yang halal seperti thalaq (mencerai) dan berpoligami. Dan juga menggugurkan kewajiban-kewajiban, seperti khilafah, jihad, zakat, amar ma'ruf dan nahi munkar, dan menegakkan ketentuan-ketentuan Allah dan yang lainnya. Barangsiapa yang menjadikan orang seperti ini sebagai hakim dan syari' (pembuat undang-undang) maka sebenarnya dia telah menjadikannya sebagai tuhan yang ditaati segala perintahnya dan dipatuhi segala peraturannya. Inilah yang dijelaskan di dalam Al Qur'an dan diuraikan oleh Sunnah Nabi. Al Qur'an menggambarkan perilaku Ahlul Kitab sebagai berikut:
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31)
Bagaimana bisa mereka itu dikatakan telah menjadikan orang-orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan, padahal tidak bersujud kepada mereka dan tidak menyembah mereka sebagaimana penyembahan terhadap berhala?
Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yaitu tentang kisah Islamnya 'Ady bin Hatim Ath-Thaa'i yang sebelumnya beragama Nasrani kemudian datang ke Madinah dan orang-orang membicarakan tentang kedatangannya. Maka ia mendatangi Rasulullah SAW, sedang di lehernya terdapat salib dari perak. Ketika itu Rasulullah SAW membacakan ayat: "Ittakhadzuu Ahbaarahum wa ruhbaanaham arbaaban min duunillaah." 'Ady berkata: "Sesungguhnya mereka tidak menyembah rahib-rahib itu!" Maka Nabi SAW bersabda: "Ya, mereka itu telah mengharamkan atas pengikut-pengikutnya yang halal dan menghalalkan kepada mereka yang haram, sehingga para pengikut itu mengikuti mereka, maka itulah ibadah mereka terhadap para rahib." (HR. Tirmidzi)
Ibnu Katsir berkata: "Demikianlah Hudzaifah bin Yaman dan Ibnu Abbas mengatakan penafsiran ayat tersebut, karena mereka telah mengikuti para rahib itu dalam hal yang para rahib itu telah halalkan dan haramkan."
As-Su'dy mengatakan: "Mereka telah memperturuti para ulama mereka, pada saat yang sama mereka membuang kitab Allah di belakang punggung mereka, untuk itu Allah SWT berfirman: "Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa." Yaitu tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu maka itu menjadi haram, dan apa saja yang telah Dia halalkan maka menjadi halal, apa yang telah ditetapkan dalam syari'at maka harus diikuti dan apa yang telah diputuskan maka harus dilaksanakan, tiada ilah (Tuhan) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan."
Inilah kesimpulan makna kalimat yang pertama dari kedua kalimat syahadah, yakni kalimat "Laa ilaaha illallaah" yang konsekuensinya adalah: tidak mencari Rabb selain Allah, tidak menjadikan selain Allah sebagai wali (penolong) dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim, sebagaimana diucapkan/dikatakan oleh Al Qur'an dalam ayat-ayatnya yang sharih dan yang muhkamat.
Adapun kalimah yang kedua dari kalimat syahadah yang berfungsi sebagai syarat sahnya seseorang masuk Islam adalah "Muhammadan Rasulullah." Karena sesungguhnya mengakui keesaan Allah Ta'ala sebagai Ilah dan Rabb itu tidak cukup apabila tidak disertai pengakuan yang kedua, yaitu bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Sesungguhnya hikmah (kebijaksanaan) Allah telah menghendaki, di mana Allah tidak membiarkan manusia ada tanpa makna, dan tidak membiarkan mereka tanpa arti. Untuk itu Allah mengutus kepada mereka dalam setiap kurun waktu para penyampai risalah yang berfungsi memberikan petunjuk, membimbing dan mengarahkan kepada mereka untuk memperoleh ridha-Nya dan menghindarkan mereka dari murka-Nya, itulah mereka para Rasul. Allah SWT berfirman:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manasia membantah Allah sesudah diutusnnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (An-Nisaa': 165)
Sebagaimana juga bahwa tugas para Rasul itu adalah membuat kaidah-kaidah, nilai-nilai dan standar yang mengatur kehidupan dalam masyarakat serta memberi petunjuk ke arah yang benar. Manusia bisa menjadikan itu sebagai pedoman apabila mereka berselisih, dan bisa kembali kepadanya apabila terjadi saling bermusuhan, sehingga mereka memperoleh kebenaran, keadilan, kebaikan, dan kemuliaan, jauh dari kebathilan, kezhaliman, keburukan dan kerusakan. Allah swt berfirman:
"Sesungguhzya Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan." (Al Hadid: 25)
Inilah sesuatu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya berupa Al Kitab yang terangkai di dalamnya nash-nash wahyu ilahi yang terpelihara. Dan "Al Mizan" (timbangan) yang itu merupakan standar nilai-nilai Rabbani yang ditunjukkan oleh para Nabi berupa percontohan ideal dan keutamaan manusiawi yang berjalan di bawah pancaran Kitabullah.
Kalau bukan karena keberadaan (tanpa) mereka, para rasul, niscaya manusia akan tersesat dari jalannya untuk memahami hakikat uluhiyah dan jalan menuju ridha-Nya. Dalam hal pelaksanaan kewajiban mereka terhadap Allah, tentu mereka akan membuat cara sendiri-sendiri dengan metode yang berbeda-beda. Sesungguhnya Allah tidak menurunkan hukumnya untuk memecah-belah melainkan untuk mempersatukan, tidak untuk merobohkan akan tetapi untuk membangun, dan tidak dalam rangka menyesatkan tetapi memberi petunjuk.
Utusan yang terakhir adalah Muhammad SAW dialah yang menyampaikan perintah, hukum dan syari'at Allah. Melalui dia kita mengetahui apa-apa yang diinginkan oleh Allah dari kita dan apa-apa yang diridhai oleh Allah atas kita, apa-apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kita dan apa-apa yang dilarang-Nya. Melalui Nabi kita mengenal Rabb kita, kita mengetahui dari mana asal kita dan hendak kemana kita menuju, kita mengetahui jalan hidup kita, mengenal halal dan haram dan mengetahui kewajiban-kewajiban. Kalau bukan karena Nabi SAW, maka kita akan hidup dalam kegelapan tanpa mengenal tujuan dan tidak tahu jalan, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dan Allah, dan kitab yang menerangkannya. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al Maaidah: 15-16)
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa di balik kehidupan ini masih ada kehidupan lainnya, di mana akan dimintai pertanggungjawaban setiap jiwa manusia terhadap apa yang ia perbuat, dan akan dibalas apa yang ia kerjakan. Maka orang-orang yang berbuat buruk, akan dibalas sesuai dengan amalnya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan akan dibalas dengan kebaikan pula.
Melalui Rasulullah SAW kita mengetahui bahwa sesungguhnya di balik apa yang kita lakukan itu ada hisab (perhitungan) dan mizan (timbangan amal), ada pahala dan siksa, serta surga dan neraka. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8)
Melalui Nabi SAW kita mengetahui prinsip-prinsip kebenaran dan kaidah-kaidah keadilan serta nilai-nilai kebaikan dalam syari'at (suatu aturan hidup) yang tidak menyesatkan dan tidak melalaikan. Syari'at yang dibuat oleh Dzat yang mengetahui rahasia, Dzat yang tidak ada yang mampu bersembunyi dari-Nya, Dzat yang mengetahui siapa yang merusak dan siapa pula yang memperbaiki. Allah SWT berfirman .
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al Mulk: 14)
Untuk itulah maka kalimat "Muhammadan Rasulullah" adalah penyempurna dari kalimat "Laaa ilaaha illallaah" yang artinya tiada yang berhak disembah selain Allah, sedangkan arti berikutnya adalah, tidak sah untuk menyembah Allah kecuali dengan syari'at dan wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya.
Tidak heran apabila ketaatan kita kepada Rasulullah SAW itu merupakan bagian dari ketaatan kita kepada Allah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa taat kepada Rasul maka taat kepada Allah." (An-Nisaa':80)
Dan ittiba' kita kepada Rasul termasuk salah satu tanda kecintaan kita kepada Allah SWT:
"Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali 'Imran: 3)
Ridha terhadap hukum-Nya dan syari'at-Nya merupakan salah satu bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan kepada Allah Tidak termasuk golongan orang-orang yang beriman orang yang menolak hukum atau perintah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan terhadap Al Qur'an, karena Allah SWT telah mengutusnya untuk menjelaskan kepada manusia apa (kitab) yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat jelas dalam Al Qur'an Al Karim. Tidak dikatakan beriman orang yang berhukum kepada selain dari Rasulullah SAW atau orang yang menolak hukumnya atau ragu-ragu terhadap hukum itu. Allah SWT berfirman:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al Ahzab: 36)
Allah SWT juga menjelaskan dan menolak keimanan orang-orang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya:
"Dan mereka berkata: 'Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).' Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zhalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: 'Kami mendengar, dan kami patuh.' Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (An-Nuur: 51)
Allah SWT juga menjelaskan tentang orang yang ragu-ragu dalam menerima keputusan Rasulullah SAW dan rela untuk menerima keputusan manusia lainnya, konon mereka adalah orang-orang Yahudi:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan berrnaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagairnanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah ."Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan Kami tidak mengurus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka rnendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 60-65)
Inilah sikap orang-orang yang beriman terhadap Rasulullah SAW, hukum dan syari'atnya, sungguh mereka tidak merasa ragu-ragu sedikit pun dalam menerima hukum atau menolaknya. Dengan kata lain mereka tidak memilih alternatif lainnya dan mereka tidak meninggalkan ketundukan dan ketaatan, sebagaimana itu dilakukan oleh orang-orang munafik, bahkan prinsip dan semboyan mereka adalah "Sami'naa wa Atha'naa."
Sikap tersebut berbeda dengan sikap orang-orang munafik yang rela terhadap hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan segala sesuatu yang diikuti selain Allah dan Rasul-Nya disebut "Thaghut," oleh karena itu Allah SWT berfirman: "Yurriduuna an yatahaakamuu ila thaaghuut" itu membuktikan bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua hukum, yaitu hukum Allah dan hukum thaghut' tidak ada hukum yang ketiga.
Al Qur'an telah menggambarkan kepada kita tentang sifat-sifat orangorang munafik dan sikap mereka terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu .lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (An-Nisaa': 61)
Al Qur'an juga meniadakan keimanan dari orang yang tidak mau berhakim kepada Rasulullah SAW ketika hidupnya, dan tidak mau berhukum pada Sunnahnya setelah beliau wafat. Kalaupun sudah demikian, itu masih belum cukup. Disyaratkan agar mereka ridha dan menyerah terhadap hukum tersebut. Inilah tabi'at keimanan dan inilah buahnya:
"Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang Kami berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisaa': 65)
Barangsiapa berpaling dari semua seruan ini dan menutup kedua telinganya dari ayat-ayat tersebut, malah sebaliknya menerima aturan-aturan, perundang-undangan, sistem dan tradisi dari selain jalan Rasulullah SAW serta ridha diatur oleh para filosof, baik dari timur atau barat, ulama atau umara atau apa pun namanya, berarti ia telah menentang Allah SWT terhadap apa yang Ia syari'atkan, dan telah mengumumkan permusuhan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan telah keluar dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
"Barangsiapa yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al Maaidah: 44)
"Barangsiapa tidak berhutum pada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al Maidah: 45)
"Barangsiapa tidak berhukum pada apa yang diturunkan Allah, rnaka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Al Maadiah: 47)
Penggunaan kata-kata tersebut (Kaafiruun, zhaalimuun, dan Faasiquun) di dalam Al Qur'an Al Karim menunjukkan bahwa maknanya berdekatan. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang kafir mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 254)
"Barangsuapa yang kufur setelah demikian itu maka mereka adalah orangorang yang fasik." (An-Nuur: 55)
"Tidak ada yang menentang ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang kafir." (Al Ankabut: 47)
Oleh karena itu A1 Qur'an menjadikan kefasikan itu sebagai perlawanan terhadap keimanan, sebagaimana dalam firman Allah SW:
"Seburuk-buruk nama (sebutan) adalah kefasikan setelah beriman." (Al Hujuraat: 11)
"Apakah orang mukmin itu sama dengan orang yang fasik, mereka tidaklah sama." (As-Sajadah: 18)
Al Qur'an juga menceritakan tentang Iblis ketika menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Ia membangkang dan sombong, dan ia tergolong orang-orang yang kafir." (Al Baqarah: 34)
"Dia (iblis) adalah (berasal) dari jin, kemudian ia fasik dan perintah Rabb-Nya." (Al Kahfi: 50)
Maka orang yang tidak berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah berarti dia kafir, zhalim atau fasik atau mengumpulkan sifat-sifat ini kesemuanya. Terutama apabila ia meyakini bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu mengakibatkan jumud (beku), terbelakang dan menjadi mundur, sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia itulah yang membawa perkembangan, kemajuan, perbaikan sosial dan peningkatan tarap hidup.
Termasuk penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan yang nyata terhadap konsepsi pemikiran manusia jika ada yang mengatakan, "Bahwa sesungguhnya ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani." Dan orang yang berkata ini lupa atau pura-pura lupa bahwa ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada kaum tertentu, tetapi kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya meliputi seluruh manusia yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan kaidah yang ditetapkan oleh para mufassirin, bahwa"Ibrah diambil dari umumnya lafadz, bukan sebab yang khusus." Dan mustahil jika Allah mencela Ahlul Kitab yang pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena mereka telah menolak membuang hukum Allah di belakang mereka dan tidak mau berhukum pada hukum Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum Muslimin saat ini. Atau juga kepada Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan Kitab Allah menjadi terbengkalai (terabaikan, sementara sebagian yang lain telah menjadikannya sebagai minhaj (sistem) dan dustur (undang-undang) hidup mereka.
Apa faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam kaitannya dengan Ahlul Kitab kalau bukan memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar jangan berbuat seperti mereka dan berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga mereka dicela seperti Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa oleh adzab Allah dan murka-Nya. Allah SWT berfirman:
"Barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia." (Thaha: 81)
Mengapa Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab dan mengutus kepada mereka seorang Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab itu dan menentang Rasul? Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq (benar), agar supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu." (An-Nisaa': 105)
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah." (An-Nisaa': 64)
Oleh karena itu Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya setelah menyebutkan ayat-ayat di atas sebagai berikut:
"Dan Kami telah turunkan kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putusilah perkara mereka menurut apa yangAllah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (Al Maaidah: 48)
Kemudian Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya sebagai berikut:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dan hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnnya kebanyakan munusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (A1 Maaidah: 49-50)
Dengan demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua hukum, dan tidak ada ketiganya, yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum Allah atau hukum Thaghut. Maka hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya, dan hendaklah setiap kaum memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam) atau hukum Thaghut (hukum jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari keduanya.
Adapun orang-orang yang beriman maka tidak ada alternatif bagi mereka, mereka selalu siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu siap bersama Islam' mereka senantiasa dalam peperangan dengan Thaghut dan hukum jahiliyah. Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa 'atha'naa."
Sedangkan orang-orang yang kafir, mereka itu selamanya berada di jalan Thaghut, mereka selamanya dalam keadaan ragu, mereka berada dalam kubangan jahiliyah. Allah SWT berfirman:
"Dan orang-orang yang kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka adalah Thaghut, mengelaarkan mereka dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan, mereka itulah penghuni neraka, mereka di dalamnya kekal selama-lamanya." (Al Baqarah: 257)
Di sini ada dua catatan penting' yaitu sebagai berikut:
Pertama: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah itu merupakan suatu kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang menentang, ungkapan itu sama dengan istilah yang berkembang saat ini"Hakimiyah adalah kepunyaan Allah." Yang berarti Allah-lah yang mempunyai hak (wewenang) secara mutlak untuk membuat suatu aturan hidup, berhak memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, yang berhak menentukan dan memberikan beban terhadap seluruh makhluk-Nya.
Sebagian orang salah memahami bahwa prinsip ini katanya berasal dari penemuan Al Maududi di Pakistan atau Sayyid Quthub di Mesir, padahal kenyataannya pemikiran (konsep) ini diambil dari ilmu"Ushul Fiqih Islami," dan ulama ushul memuat pembahasan ini dalam bab"Hukum" yang masuk dalam muqaddimah ilmu ushul, dan di dalam tema tentang"Al Hakim." Siapakah dia, mereka semuanya bersepakat bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu hukum) adalah Allah, artinya Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam mengatur makhluk-Nya, sampai golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah kitab"Musallamus Tsubuut," salah satu kitab ushul yang terkenal.
Dalil-dalil atas ketetapan prinsip ini baik dari Al Qur'an maupun Sunnah jelas dan nyata yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam menjelaskan kewajiban berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah.
Kedua: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT itu tidak akan menghilangkan peran manusia, karena manusia itulah yang memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya dan meng-istimbath (menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu' kemudian memenuhi yang kosong dalam hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami katakan dengan istilah"Min Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana syari' (Allah SWT) sengaja tidak membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang) Allah kepada kita, bukan karena lupa. Di sinilah akal seorang Muslim itu bisa mencapai dan berijtihad dalam pancaran nash-nash dan kaidah-kaidah ushul.
[1] Lihatlah makna Ibadah pada kitab saya,"Al Ibadah Fil Islam"
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
menghidupkan ruh iman
Terkadang kita sering berfikir, “Bagaimana yaaa?? untuk menjadi sukses atau mendapatkan kesuksesan?” pertanyaan seperti ini adalah hal yang wajar karena setiap orang mendambakan hal itu. Tetapi kita sering lupa untuk mencapai itu semua diperlukan sebuah bahan bakar, dan bahan bakar yang paling pas dan paling ampuh yang Alloh SWT anugerahkan kepada kita adalah “IMAN”.
Setiap pribadi muslim harus meyakini bahwa nilai iman akan terasa kelezatannya apabila secara nyata dimanifestasikan dalam bentuk amal sholeh atau tindakan kreatif dan prestatif. Iman merupakan energi batin yang memberi cahaya pelita untuk mewujudkan identitas dirinya sebagai bagian dari umat yang terbaik.
Oleh karena itu, Iman tidak cukup hanya diartikan “Percaya atau Yakin”, karena apabila kita berhenti pada pengertian ini, Iblis lebih percaya dan berpengalaman dari pada kita. Iblis pernah berdialog dengan Allah sekaligus menunjukkan pembangkangannya. Agar kita tidak sama dengan Iblis, kata iman harus kita maknai lebih jauh. Iman berarti menempatkan diri secara merdeka, membebaskan diri dari segala belenggu ikatan kecuali mengikat diri dengan penuh cinta kepada Alloh SWT. Hal ini akan menyebabkan keberpihakan kita hanya kepada Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Rasulullah SAW bersabda : “Yang dinamakan Iman itu adalah apabila kau meyakini didalam hati, menyatakannya dengan lidah dan melaksanakannya dengan perbuatan.” Kiranya perlu kita garis bawahi pada kalimat ucapan Rasulullah pada kalimat akhir yaitu : “melaksanakan dengan perbuatan” yang berarti ada gerakan aktif untuk mewujudkannya. Lebih dari itu, Alloh memberikan isyarat bahwa mereka hanya berkata “Aku beriman” , tetapi tidak konsekwen dalam perbuatannya termasuk kategori yang dimurkai Alloh. Iman merupakan tanda keberpihakan kepada Alloh dan Rasul-Nya. Keberpihakan itu dapat terlihat apabila diwujudkan dalam amal dan perbuatan iman dan amal bagaikan perbuatan iman dan amal bagaikan 2 sisi gelas yang diisi air, kalau gelas itu kita isi susu maka akan disebut segelas susu atau mungkin gelas tersebut kita isi dengan racun maka kita akan menyebutnya segelas racun tak peduli dari bahan apa gelas terbuat karena sebutan gelas itu tergantung pada isinya. Oleh karena itu iman adalah wadah yang akan menampung segala isinya yang sesuai. Jadi dapat kita garis bawahi, bahwa Iman adalah wadah, jasad adalah alat, perbuatan adalah isinya. Iman dan Islam bukan sekedar pengetahuan atau dalam bahasa asingnya knowledge. Kita tidak cukup kalau hanya sebatas “saya tahu-saya-saya tahu” atau I see, I see”. Anthony Robbins seorang trainer dan motivator, pernah menulis “You see in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know. Knowing is not enough! You must take action!”. (“Lihatlah, dalam kehidupan ini banyak orang yang tahu apa yang harus dikerjakan, tapi sedikit sekali yang mengerjakan apa yang dia tahu. Tahu saja tidak cukup! Anda harus berbuat!”) dengan kata lain, bahwa tidaklah sempurna Iman seseorang yang hanya meyakini dalam hati dan mengucapkan didalam perkataan, tetapi hampa dalam perbuatan. Pandai membuat pertanyaan tapi bodohnya dalam mewujudkannya dalam kenyataan.
Islam bukanlah sekedar seperangkat konsep normatif ideal, melainkan juga suatu bentuk praktek dari amal aktual, amal yang nyata. Dari akar kata iman kita mengenal kata Aman (damai dan tentram), sehingga seseorang seharusnya mampu mengaktualisasikan suasana damai dan selalu ingin pelita kedamaian. Ditangan orang beriman, sesuatu apapun tidak mungkin cacat atau rusak sehingga pantaslah orang tersebut diberi amanah karena dia sudah membuktikan dirinya sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya) atau dapat diistilahkan credible.
Seorang pribadi muslim, sadar bahwa kehadiran dirinya dimuka bumi tidak lain hanya untuk mengabdi, sebagaimana Allah SWT berfirman “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”(Qs. Ad-Dzaariyaat:56) didalam ayat ini dinyatakan bahwa misi seorang pribadi muslim adalah sebagai pelayan Alloh. Apabila bekerja dan melayani itu adalah fitrah manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mendayagunakan seluruh potensi dirinya untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal prestatif, sesungguhnya dia selalu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia sempurna, kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang (Qs. Al-A’raaf: 172). Manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan Iman, Ilmu dan Amal.
Amal hanya mungkin berkualitas bila dibarengi dengan ilmu dan ilmu yang baik adalah ilmu yang bermanfaat dan memberikan nilai kepada alam. Bila ilmu dan manfaat telah kita miliki, selanjutnya adalah usaha kita untuk selalu mencari arah, tujuan dan kesempatan. Seorang pribadi muslim harus banyak belajar dan membaca, dia harus pandai membaca tanda-tanda kekuasaan Alloh yang akan membawanya lebih mengenali siapa hakikat dirinya. Selain itu ada suatu kegemaran tersendiri untuk lebih banyak membaca buku-buku yang merupakan jendela informasi dunia. Dan juga menjadi suatu hal yang wajib bagi dirinya untuk terus membaca, mengkaji, merenungi dan mengamalkan Al-Qur’an. Kewajiban membaca ini telah Alloh tuangkan didalam firman-Nya “Bacalah dan Tuhamulah Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al’Alaq: 1-5).
Jadi jelaslah bahwa sekarang untuk menjadi orang yang berprestasi dan sukses ada tiga kata kunci yaitu “Iman, Ilmu dan Amal”. Orang-orang yang memiliki 3 kata kunci tersebut akan menjadi orang-orang yang tangguh walau harus menerjang badai. Mereka tidak mengenal kata pesimis. Tidak pernah lelah. Bagi mereka waktu adalah lembaran kertas untuk menulis tinta karya dan kerja nyata. Dan ilmu adalah pelita hati yang akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wallahu a'alam bishowab. May Allah bless You !!
Setiap pribadi muslim harus meyakini bahwa nilai iman akan terasa kelezatannya apabila secara nyata dimanifestasikan dalam bentuk amal sholeh atau tindakan kreatif dan prestatif. Iman merupakan energi batin yang memberi cahaya pelita untuk mewujudkan identitas dirinya sebagai bagian dari umat yang terbaik.
Oleh karena itu, Iman tidak cukup hanya diartikan “Percaya atau Yakin”, karena apabila kita berhenti pada pengertian ini, Iblis lebih percaya dan berpengalaman dari pada kita. Iblis pernah berdialog dengan Allah sekaligus menunjukkan pembangkangannya. Agar kita tidak sama dengan Iblis, kata iman harus kita maknai lebih jauh. Iman berarti menempatkan diri secara merdeka, membebaskan diri dari segala belenggu ikatan kecuali mengikat diri dengan penuh cinta kepada Alloh SWT. Hal ini akan menyebabkan keberpihakan kita hanya kepada Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Rasulullah SAW bersabda : “Yang dinamakan Iman itu adalah apabila kau meyakini didalam hati, menyatakannya dengan lidah dan melaksanakannya dengan perbuatan.” Kiranya perlu kita garis bawahi pada kalimat ucapan Rasulullah pada kalimat akhir yaitu : “melaksanakan dengan perbuatan” yang berarti ada gerakan aktif untuk mewujudkannya. Lebih dari itu, Alloh memberikan isyarat bahwa mereka hanya berkata “Aku beriman” , tetapi tidak konsekwen dalam perbuatannya termasuk kategori yang dimurkai Alloh. Iman merupakan tanda keberpihakan kepada Alloh dan Rasul-Nya. Keberpihakan itu dapat terlihat apabila diwujudkan dalam amal dan perbuatan iman dan amal bagaikan perbuatan iman dan amal bagaikan 2 sisi gelas yang diisi air, kalau gelas itu kita isi susu maka akan disebut segelas susu atau mungkin gelas tersebut kita isi dengan racun maka kita akan menyebutnya segelas racun tak peduli dari bahan apa gelas terbuat karena sebutan gelas itu tergantung pada isinya. Oleh karena itu iman adalah wadah yang akan menampung segala isinya yang sesuai. Jadi dapat kita garis bawahi, bahwa Iman adalah wadah, jasad adalah alat, perbuatan adalah isinya. Iman dan Islam bukan sekedar pengetahuan atau dalam bahasa asingnya knowledge. Kita tidak cukup kalau hanya sebatas “saya tahu-saya-saya tahu” atau I see, I see”. Anthony Robbins seorang trainer dan motivator, pernah menulis “You see in life, lots of people know what to do, but few people actually do what they know. Knowing is not enough! You must take action!”. (“Lihatlah, dalam kehidupan ini banyak orang yang tahu apa yang harus dikerjakan, tapi sedikit sekali yang mengerjakan apa yang dia tahu. Tahu saja tidak cukup! Anda harus berbuat!”) dengan kata lain, bahwa tidaklah sempurna Iman seseorang yang hanya meyakini dalam hati dan mengucapkan didalam perkataan, tetapi hampa dalam perbuatan. Pandai membuat pertanyaan tapi bodohnya dalam mewujudkannya dalam kenyataan.
Islam bukanlah sekedar seperangkat konsep normatif ideal, melainkan juga suatu bentuk praktek dari amal aktual, amal yang nyata. Dari akar kata iman kita mengenal kata Aman (damai dan tentram), sehingga seseorang seharusnya mampu mengaktualisasikan suasana damai dan selalu ingin pelita kedamaian. Ditangan orang beriman, sesuatu apapun tidak mungkin cacat atau rusak sehingga pantaslah orang tersebut diberi amanah karena dia sudah membuktikan dirinya sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya) atau dapat diistilahkan credible.
Seorang pribadi muslim, sadar bahwa kehadiran dirinya dimuka bumi tidak lain hanya untuk mengabdi, sebagaimana Allah SWT berfirman “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”(Qs. Ad-Dzaariyaat:56) didalam ayat ini dinyatakan bahwa misi seorang pribadi muslim adalah sebagai pelayan Alloh. Apabila bekerja dan melayani itu adalah fitrah manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mendayagunakan seluruh potensi dirinya untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal prestatif, sesungguhnya dia selalu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia sempurna, kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang (Qs. Al-A’raaf: 172). Manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan Iman, Ilmu dan Amal.
Amal hanya mungkin berkualitas bila dibarengi dengan ilmu dan ilmu yang baik adalah ilmu yang bermanfaat dan memberikan nilai kepada alam. Bila ilmu dan manfaat telah kita miliki, selanjutnya adalah usaha kita untuk selalu mencari arah, tujuan dan kesempatan. Seorang pribadi muslim harus banyak belajar dan membaca, dia harus pandai membaca tanda-tanda kekuasaan Alloh yang akan membawanya lebih mengenali siapa hakikat dirinya. Selain itu ada suatu kegemaran tersendiri untuk lebih banyak membaca buku-buku yang merupakan jendela informasi dunia. Dan juga menjadi suatu hal yang wajib bagi dirinya untuk terus membaca, mengkaji, merenungi dan mengamalkan Al-Qur’an. Kewajiban membaca ini telah Alloh tuangkan didalam firman-Nya “Bacalah dan Tuhamulah Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Qs. Al’Alaq: 1-5).
Jadi jelaslah bahwa sekarang untuk menjadi orang yang berprestasi dan sukses ada tiga kata kunci yaitu “Iman, Ilmu dan Amal”. Orang-orang yang memiliki 3 kata kunci tersebut akan menjadi orang-orang yang tangguh walau harus menerjang badai. Mereka tidak mengenal kata pesimis. Tidak pernah lelah. Bagi mereka waktu adalah lembaran kertas untuk menulis tinta karya dan kerja nyata. Dan ilmu adalah pelita hati yang akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wallahu a'alam bishowab. May Allah bless You !!
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
tantangan iman
"Wahai manusia, siapakah makhluk Allah yang imannya paling menakjubkan (man a'jabul khalqi imanan)?" Demikian pertanyaan Nabi Muhammad kepada sahabatnya di suatu pagi. Para sahabat langsung menjawab, "Malaikat!".
Nabi menukas, "Bagaimana para malaikat tidak beriman sedangkan mereka pelaksana perintah Allah?" Sahabat menjawab lagi, "kalau begitu, para Nabi-lah yang imannya paling menakjubkan!" "Bagaimana para Nabi tidak beriman, padahal wahyu turun kepada mereka," sahut Nabi.
Untuk ketiga kalinya, sahabat mencoba memberikan jawaban, "kalau begitu, sahabat-sahabatmu ya Rasul." Nabi pun menolak jawaban itu dengan berkata, "Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan."
Rasul yang mulia meneruskan kalimatnya, "Orang yang imannya paling menakjubkan adalah kaum yang datang sesudah kalian. Mereka beriman kepadaku, walaupun mereka tidak melihatku. Mereka benarkan aku tanpa pernah melihatku. Mereka temukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka amalkan apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka bela aku seperti kalian membela aku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan ikhwanku itu!"
Berangkat dari riwayat di atas, saya belajar memaknai iman sebagai sebuah tantangan. Semakin tinggi tingkat tantangan, semakin tinggi pula tingkat iman kita. Semakin sulit kita menjalankan sebuah keyakinan (iman), semakin tinggi pula nilai iman kita di sisi Allah.
Ilustrasi berikut mungkin bisa menyederhanakan persoalan: Seorang waliyullah tidak diragukan lagi telah melihat berbagai "keajaiban" dan "rahasia" Allah. Dia sudah menyaksikan dan merasakan getaran cinta ilahi. Kalau Allah mengangkat derajatnya, tentu saja kita tak akan heran. Yang membuat kita takjub adalah, seorang manajer yang sangat sibuk dan telah menyaksikan bahwa "time is money", namun tetap berusaha menunaikan shalat lima waktu di sela-sela kesibukannya. Begitu juga dengan seorang kuli bangunan yang lebih banyak menggunakan potensi otot dibanding potensi otaknya, namun tetap berpuasa di bulan Ramadhan meskipun dia harus kerja di tengah terik mentari. Bagi saya, manajer dan kuli bangunan tersebut memiliki iman yang paling menakjubkan.
Kita bukanlah sahabat Nabi yang menyaksikan secara langsung betapa mulianya akhlak junjungan kita itu; kita juga bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu; kita juga bukan waliyullah yang telah merasakan manisnya kasih sayang Allah. Kita adalah manusia biasa yang penuh dengan kelemahan. Dalam kelemahan itulah kita masih beriman kepada Allah. Dalam ketidakhebatan kita itulah kita selalu berusaha mendekati Allah.
Di tengah kesibukan dan beban ekonomi yang semakin meningkat, kita tetap keluarkan zakat dan sedekah. Tak sedikitpun kita akan gadaikan iman kita. Di tengah dunia yang semakin kompetitif, kita masih sempatkan untuk shalat. Di tengah godaan duniawi yang luar biasa, kita tahan nafsu kita di bulan Ramadhan. Di tengah kumpulan manusia yang putus asa dengan krisis moneter ini, kita masih bisa mensyukuri sejumput ni'mat yang diberikan Allah.
Nabi Muhammad menghibur kita, "Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku," Nabi ucapkan kalimat ini satu kali. "Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku." Nabi ucapkan kalimat terakhir ini tujuh kali.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
beberapa masalah penting seputar iman
Hakikat Iman
Kita harus meyakini bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keya-kinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Pokok dasarnya adalah tashdiq (pembenaran) terhadap khabar (berita yang disam-paikan Nabi SAW) dan tunduk terhadap syari’at yang dibawanya. Barang siapa dalam hatinya tidak ada tashdiq (pembenaran) dan inqiyad (ketundu-kan), maka ia bukan seorang muslim. Kesempurnaan iman yang bersifat wajib diraih dengan cara menjalankan kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala yang diharamkan, sedang kesempurnaannya yang mustahab (ekstra) adalah dengan menjalankan amalan sunnah (mandub) dan mening-galkan yang makruh (dibenci namun tidak sampai tingkat haram) ditambah dengan kewaspadaan terhadap perkara yang samar (mutasyabihat).
Orang yang mengeluarkan jenis ‘amal dari hakikat iman serta memba-tasi iman hanya sebatas keyakinan saja maka ia adalah batil, karena iman tidak akan terealisasi hanya dengan keya-kinan akan benarnya ajaran (agama) yang disampaikan Nabi n. Sudah amat banyak orang yang hanya memiliki keyakinan seperti ini, namun ternyata hal itu tidak membuat mereka masuk ke dalam jajaran orang-orang mukmin.
Dalil-dalil berkaitan dengan pembahasan di atas:
Firman Allah Ta'ala,“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi-mu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa siapa yang tidak mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka bukan seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Ini me-nunjukkan bahwa iman bukan sekedar membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi n, bukan pula sekedar ucapan (pengakuan), tetapi harus disertai adanya ketundukkan terhadap syariat, taat kepada Rasul n dan berhukum kepadanya.
Firman Allah Ta'ala, “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Allah telah bersumpah dengan Dirinya Yang Suci dan Mulia bahwa seseorang tidak dikatakan mukmin hingga ia berhukum kepada Rasul SAW dalam segala urusan. Apa yang telah beliau tetapkan adalah benar dan wajib untuk ditaati secara lahir dan batin
Firman Allah Ta'ala, “Dan mereka berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami pun ta’at,” kemudian sebagian dari mereka berpa-ling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. 24:47)
Ayat ini menafikan keimanan orang-orang munafik yang mulut mereka menyatakan iman, namun perbuatan mereka menyelisihi apa yang seharusnya menjadi tuntutan dari ucapannya, mereka berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya SAW.
Firman Allah Ta'ala, “Dan bagaimana mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu) dan mere-ka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 43)
Mereka (Yahudi) bukanlah orang-orang beriman terhadap Taurat karena tidak berhukum kepadanya. Dan orang yang tidak mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Nabi n juga bukanlah orang mukmin.
Firman Allah Ta'ala, “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur’an itulah yang hak dari Rabbmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. 22:54)
Allah Ta'ala berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.Maka perhati-kanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. 27:14)
Allah Ta'ala memberitahukan bahwa sekedar membenarkan apa yang disampaikan Nabi n saja belumlah disebut dengan iman.
Allah juga telah berfirman, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. 2:146)
Maka berdasarkan ayat ini, penge-tahuan dalam hati saja tidaklah disebut dengan iman, apabila ucapan dan perbuatan mendustakan apa yang diketahuinya itu. Sebagaimana para ulama Ahlul Kitab yang mengetahui kebenaran berita diutusnya Rasulullah SAW, pengetahuan mereka terhadap Rasulullah sama seperti pengetahuan mereka terhadap anak-anak mereka (karena berita yang amat jelas). Adapun dalil-dalil dari as-Sunnah:
Sabda Nabi SAW, “Seluruh umatku masuk Surga, kecuali yang enggan.” Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah? Nabi men-jawab, ”Barang siapa yang taat kepada-ku, maka masuk surga dan barang siapa maksiat kepadaku maka ia telah enggan (masuk surga).”(HR.Al-Bukhari).
Barang siapa yang enggan mengi-kuti Nabi n dan berpaling dari ajaran-nya maka ia termasuk ahlun naar (penduduk neraka) meskipun ia meyakini di dalam hatinya akan kebenaran ajaran tersebut.
Sabda Nabi n, dari Abu Hurairah z, Rasulullah n pernah ditanya,” Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan rasul-Nya.” Ditanyakan lagi, “Kemudi-an apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah”. Ditanyakan, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.”
Dalam hadits tersebut tampak jelas, bahwa iman adalah sebaik-baik amal. Hadits ini juga merupakan bantahan bagi orang yang mengeluar-kan amal dari definisi iman.
Ketika datang utusan Abdul Qais, Nabi n memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah, beliau menanyai mereka, “Tahukah kalian apa iman itu?” Mereka menjawab,” Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau bersabda, “Persaksian bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, Puasa Ramadahan dan membayar seperlima dari harta rampasan.” (HR. Muslim)
Iman Bertambah dan Berkurang
Kita harus meyakini bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Allah Ta'ala berfirman,“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keiman-an mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fath: 6)
Firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karena-nya).” (QS. Al-Anfal: 2)
Firman Allah Ta'ala, “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ”Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?”. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (QS. 9:124)
Di dalam sebuah hadits Muttafaq ’alaih disebutkan bahwa Allah akan mengeluarkan dari neraka orang yang di hatinya masih ada sebiji gandum dari iman, sebesar zarah atau sebiji sawi dan yang lebih kecil lagi dari itu. Ini menun-jukkan bahwa ukuran keimanan itu ber-beda-beda dan dapat berubah-ubah.
Dosa Besar Tidak Menggugurkan Keimanan
Seorang muslim tidak boleh dikafirkan dengan sebab melakukan dosa besar (kabair), kecuali bila mela-kukan pembatal keimanan seperti syirik atau apabila ia menghalalkan perbuatannya itu.
Firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’: 48 dan 116)
Berdasarkan ayat ini, maka pelaku dosa besar masih dalam lingkup Islam, ia berada di bawah kehendak Allah, apakah diadzab atau diampuni semua terserah Allah. Dan yang dimaksudkan dosa disini adalah dosa yang tidak ditaubati hingga dibawa mati.
Allah Ta'ala berfirman,“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keiman-an dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. 49:7)
Ayat di atas menunjukkan, bahwa Allah membedakan antara kekufuran dengan yang lebih kecil daripadanya yaitu kefasikan dan kemaksiatan.
Nabi SaW bersabda, “Mencaci maki orang Islam adalah kefasikan, sedangkan memeranginya adalah kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini Rasulullah n membedakan antara kefasikan dan kekufuran.
Sabda Nabi SAW, “Syafaatku bagi pelaku dosa besar dari umatku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Adanya syafaat dari Nabi n kepada ahlul kabair (pelaku dosa besar) menunjuk-kan bahwa mereka masih berada dalam lingkup iman.
Keimanan Gugur dengan Riddah
Iman dapat gugur atau batal dengan riddah (murtad), sebagaimana wudlu batal dengan hadats. Riddah terjadi dengan keluarnya seseorang dari Islam secara total, lalu masuk agama lain, atau pengingkaran yang murni terhadap ajaran Islam. Dapat pula terjadi karena tidak menerima sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah -setelah adanya ilmu-, baik itu dengan mendustakan atau menolaknya. Orang yang mati dalam keadaan mur-tad, maka seluruh amalnya terhapus.
Allah Ta'ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Ketika iblis enggan untuk taat kepada Allah, maka keimanannya men-jadi gugur, sehingga disebut sebagai kafir dan berhak mendapatkan laknat dan adzab yang kekal.
Firman Allah Ta'ala, “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari aga-manya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalan-nya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang- orang yang sesat.” (QS. 3:90)
Barang siapa yang kufur setelah beriman dan terus dalam kekufurannya hingga mati, maka tidak akan diterima taubatnya, ketika sudah menjelang ajal.
Sumber : Kitab “Maa la yasa’u al-Muslim jahluhu” DR. Abdullah Al-Muslih dan DR. Sholah ash-Showi.
Kita harus meyakini bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keya-kinan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Pokok dasarnya adalah tashdiq (pembenaran) terhadap khabar (berita yang disam-paikan Nabi SAW) dan tunduk terhadap syari’at yang dibawanya. Barang siapa dalam hatinya tidak ada tashdiq (pembenaran) dan inqiyad (ketundu-kan), maka ia bukan seorang muslim. Kesempurnaan iman yang bersifat wajib diraih dengan cara menjalankan kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala yang diharamkan, sedang kesempurnaannya yang mustahab (ekstra) adalah dengan menjalankan amalan sunnah (mandub) dan mening-galkan yang makruh (dibenci namun tidak sampai tingkat haram) ditambah dengan kewaspadaan terhadap perkara yang samar (mutasyabihat).
Orang yang mengeluarkan jenis ‘amal dari hakikat iman serta memba-tasi iman hanya sebatas keyakinan saja maka ia adalah batil, karena iman tidak akan terealisasi hanya dengan keya-kinan akan benarnya ajaran (agama) yang disampaikan Nabi n. Sudah amat banyak orang yang hanya memiliki keyakinan seperti ini, namun ternyata hal itu tidak membuat mereka masuk ke dalam jajaran orang-orang mukmin.
Dalil-dalil berkaitan dengan pembahasan di atas:
Firman Allah Ta'ala,“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi-mu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa siapa yang tidak mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka bukan seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Ini me-nunjukkan bahwa iman bukan sekedar membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi n, bukan pula sekedar ucapan (pengakuan), tetapi harus disertai adanya ketundukkan terhadap syariat, taat kepada Rasul n dan berhukum kepadanya.
Firman Allah Ta'ala, “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)
Allah telah bersumpah dengan Dirinya Yang Suci dan Mulia bahwa seseorang tidak dikatakan mukmin hingga ia berhukum kepada Rasul SAW dalam segala urusan. Apa yang telah beliau tetapkan adalah benar dan wajib untuk ditaati secara lahir dan batin
Firman Allah Ta'ala, “Dan mereka berkata, “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami pun ta’at,” kemudian sebagian dari mereka berpa-ling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (QS. 24:47)
Ayat ini menafikan keimanan orang-orang munafik yang mulut mereka menyatakan iman, namun perbuatan mereka menyelisihi apa yang seharusnya menjadi tuntutan dari ucapannya, mereka berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya SAW.
Firman Allah Ta'ala, “Dan bagaimana mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu) dan mere-ka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 43)
Mereka (Yahudi) bukanlah orang-orang beriman terhadap Taurat karena tidak berhukum kepadanya. Dan orang yang tidak mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Nabi n juga bukanlah orang mukmin.
Firman Allah Ta'ala, “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur’an itulah yang hak dari Rabbmu, lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (QS. 22:54)
Allah Ta'ala berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.Maka perhati-kanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. 27:14)
Allah Ta'ala memberitahukan bahwa sekedar membenarkan apa yang disampaikan Nabi n saja belumlah disebut dengan iman.
Allah juga telah berfirman, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. 2:146)
Maka berdasarkan ayat ini, penge-tahuan dalam hati saja tidaklah disebut dengan iman, apabila ucapan dan perbuatan mendustakan apa yang diketahuinya itu. Sebagaimana para ulama Ahlul Kitab yang mengetahui kebenaran berita diutusnya Rasulullah SAW, pengetahuan mereka terhadap Rasulullah sama seperti pengetahuan mereka terhadap anak-anak mereka (karena berita yang amat jelas). Adapun dalil-dalil dari as-Sunnah:
Sabda Nabi SAW, “Seluruh umatku masuk Surga, kecuali yang enggan.” Para shahabat bertanya, “Siapa yang enggan itu wahai Rasulullah? Nabi men-jawab, ”Barang siapa yang taat kepada-ku, maka masuk surga dan barang siapa maksiat kepadaku maka ia telah enggan (masuk surga).”(HR.Al-Bukhari).
Barang siapa yang enggan mengi-kuti Nabi n dan berpaling dari ajaran-nya maka ia termasuk ahlun naar (penduduk neraka) meskipun ia meyakini di dalam hatinya akan kebenaran ajaran tersebut.
Sabda Nabi n, dari Abu Hurairah z, Rasulullah n pernah ditanya,” Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan rasul-Nya.” Ditanyakan lagi, “Kemudi-an apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah”. Ditanyakan, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Haji yang mabrur.”
Dalam hadits tersebut tampak jelas, bahwa iman adalah sebaik-baik amal. Hadits ini juga merupakan bantahan bagi orang yang mengeluar-kan amal dari definisi iman.
Ketika datang utusan Abdul Qais, Nabi n memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah, beliau menanyai mereka, “Tahukah kalian apa iman itu?” Mereka menjawab,” Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Beliau bersabda, “Persaksian bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, Puasa Ramadahan dan membayar seperlima dari harta rampasan.” (HR. Muslim)
Iman Bertambah dan Berkurang
Kita harus meyakini bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Allah Ta'ala berfirman,“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu’min supaya keiman-an mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fath: 6)
Firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karena-nya).” (QS. Al-Anfal: 2)
Firman Allah Ta'ala, “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, ”Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?”. Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (QS. 9:124)
Di dalam sebuah hadits Muttafaq ’alaih disebutkan bahwa Allah akan mengeluarkan dari neraka orang yang di hatinya masih ada sebiji gandum dari iman, sebesar zarah atau sebiji sawi dan yang lebih kecil lagi dari itu. Ini menun-jukkan bahwa ukuran keimanan itu ber-beda-beda dan dapat berubah-ubah.
Dosa Besar Tidak Menggugurkan Keimanan
Seorang muslim tidak boleh dikafirkan dengan sebab melakukan dosa besar (kabair), kecuali bila mela-kukan pembatal keimanan seperti syirik atau apabila ia menghalalkan perbuatannya itu.
Firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisaa’: 48 dan 116)
Berdasarkan ayat ini, maka pelaku dosa besar masih dalam lingkup Islam, ia berada di bawah kehendak Allah, apakah diadzab atau diampuni semua terserah Allah. Dan yang dimaksudkan dosa disini adalah dosa yang tidak ditaubati hingga dibawa mati.
Allah Ta'ala berfirman,“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keiman-an dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. 49:7)
Ayat di atas menunjukkan, bahwa Allah membedakan antara kekufuran dengan yang lebih kecil daripadanya yaitu kefasikan dan kemaksiatan.
Nabi SaW bersabda, “Mencaci maki orang Islam adalah kefasikan, sedangkan memeranginya adalah kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini Rasulullah n membedakan antara kefasikan dan kekufuran.
Sabda Nabi SAW, “Syafaatku bagi pelaku dosa besar dari umatku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban). Adanya syafaat dari Nabi n kepada ahlul kabair (pelaku dosa besar) menunjuk-kan bahwa mereka masih berada dalam lingkup iman.
Keimanan Gugur dengan Riddah
Iman dapat gugur atau batal dengan riddah (murtad), sebagaimana wudlu batal dengan hadats. Riddah terjadi dengan keluarnya seseorang dari Islam secara total, lalu masuk agama lain, atau pengingkaran yang murni terhadap ajaran Islam. Dapat pula terjadi karena tidak menerima sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah -setelah adanya ilmu-, baik itu dengan mendustakan atau menolaknya. Orang yang mati dalam keadaan mur-tad, maka seluruh amalnya terhapus.
Allah Ta'ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Ketika iblis enggan untuk taat kepada Allah, maka keimanannya men-jadi gugur, sehingga disebut sebagai kafir dan berhak mendapatkan laknat dan adzab yang kekal.
Firman Allah Ta'ala, “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari aga-manya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalan-nya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 217)
Firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang- orang yang sesat.” (QS. 3:90)
Barang siapa yang kufur setelah beriman dan terus dalam kekufurannya hingga mati, maka tidak akan diterima taubatnya, ketika sudah menjelang ajal.
Sumber : Kitab “Maa la yasa’u al-Muslim jahluhu” DR. Abdullah Al-Muslih dan DR. Sholah ash-Showi.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
pengertian iman menurut ahlus sunnah wal jamaah
Artikel yang sedang dan akan Anda nikmati ini, merupakan cuplikan dari buku Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid terbitan At-Tibyan Solo, yang isinya merupakan fatwa-fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Sebagai upaya menyebarkan ilmu kami mencoba untuk memuatnya secara berseri, mulai dari Masalah-38 s.d Masalah-43 insya Allah, namun tidak semua fatwa tersebut kami angkat di sini, hanya beberapa saja, mengingat keterbatasan yang kami miliki.
Dan tema-tema yang kami hadirkan ke hadapan anda, merupakan pembahasan-pembahasan yang sangat menarik sekali untuk dikaji dan dipahami, seperti : Bagaimana pengertian iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah ? Apakah iman itu bisa bertambah atau berkurang ? kemudian, Apakah hari perhitungan (hisab) itu sehari ? Dan Apakah Adzab kubur terhadap badan ataukah ruh ? dll.
Harapan kami, dengan dihadirkannya permasalahan ini tidak lain supaya kita lebih bisa memahami pokok-pokok permasalahan tersebut dengan benar dan sesuai dengan apa yang dipahami oleh As-Salafush Shalih, insya Allah Ta'ala.
PENGERTIAN IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Iman Bisa Bertambah atau Berkurang.
Pertanyaan.
Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah ? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang ?
Jawab.
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah ; ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu mencakup tiga hal :
Ikrar dengan hati.
Pengucapan dengan lisan.
Pengamalan dengan anggota badan
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
"Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab : 'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". (Al-Baqarah : 260)
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat didalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir : 31)
"Artinya : Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : 'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?' Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". (At-Taubah : 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya:
Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya daripada yang lain.
Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. Artinya : "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" (Adz-Dzariyat : 20-21). Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.
Banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya. Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
Berbuat maksiat. Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : "Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". (Al-Hadits)
Meninggalkan ketaatan. Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimanannya dari sisi yang satu ini.
Dan tema-tema yang kami hadirkan ke hadapan anda, merupakan pembahasan-pembahasan yang sangat menarik sekali untuk dikaji dan dipahami, seperti : Bagaimana pengertian iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah ? Apakah iman itu bisa bertambah atau berkurang ? kemudian, Apakah hari perhitungan (hisab) itu sehari ? Dan Apakah Adzab kubur terhadap badan ataukah ruh ? dll.
Harapan kami, dengan dihadirkannya permasalahan ini tidak lain supaya kita lebih bisa memahami pokok-pokok permasalahan tersebut dengan benar dan sesuai dengan apa yang dipahami oleh As-Salafush Shalih, insya Allah Ta'ala.
PENGERTIAN IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Iman Bisa Bertambah atau Berkurang.
Pertanyaan.
Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah ? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang ?
Jawab.
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah ; ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu mencakup tiga hal :
Ikrar dengan hati.
Pengucapan dengan lisan.
Pengamalan dengan anggota badan
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
"Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab : 'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". (Al-Baqarah : 260)
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat didalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir : 31)
"Artinya : Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : 'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?' Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". (At-Taubah : 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya:
Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya daripada yang lain.
Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. Artinya : "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" (Adz-Dzariyat : 20-21). Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah.
Banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir -umpamanya- akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya. Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
Berbuat maksiat. Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : "Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". (Al-Hadits)
Meninggalkan ketaatan. Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimanannya dari sisi yang satu ini.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
8 tips merawat keimanan
Agar iman tetap terjaga maka iman itu perlu dirawat dengan baik. Agar dia menjadi sehat dan kuat. Di antrara hal-hal yang perlu dilakukan untuk merawat iman antara lain adalah :
Iman perlu ditanamkan dengan cara yang benar
Agar iman tumbuh dengan baik, maka perlu ditanamkan dengan cara yang benar. Yaitu dengan pemahaman konsep laa ilaaha illallah yang murni dan konsekuen. Ilmu tentang keimanan yang benar sesuai dengan manhaj ahlussunnah wal jamaah dibutuhkan agar iman itu tertanam dengan mantap.
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.(QS. Muhammad : 19)
Iman perlu diperbaharui terus
Rasulullah SAW telahbersabda bahwa iman itu kadang betambah dan kadang berkurang. Sehingga iman itu perlu terus ditambah. Baik dengan zikr, fikir, atau aktifitas lainnya yang bisa terus menambah iman.
Tanpa adanya perbaikan iman, maka iman itu sedikit demi sedikit akan mengalami kegersangan. Karena itu dia perlu terus disirami dan dipupuk agar menjadi subur. Orang yang tidak pernah mau memperbaharui iman, bisa jadi tidak menyadari kemunduran imannya kecuali setelah iman itu telah lenyap.
Iman perlu dijaga bersama dalam lingkungan yang baik
Lingkungan tempat dimana kita hidup sangat besar dalam mempengaruhi iman kita. Karena itu dalam Islam kita mengenal konsep hijrah dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang. Tujuannya adalah agar iman yang sudah baik itu kemudian bercampur dengan lingkungan yang buruk yang hanya akan menodainya.
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?". Mereka menjawab : "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri ". Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,(QS. An-Nisa : 97))
Menjauhkan diri dari maksiat
Kita tahu bahwa maksiat kecil namun bila dilakukan secara rutin dan berulang-ulang akan bisa merusak iman. Karena itu jangan biarkan maksiat kecil itu menggerogoti iman yang ada dalam dada. Jangan biarkan maksiat kecil itu menutupi cahaya hati kita dengan kegelapan, yang membuat kita tidak bisa lagi melihat cahaya.
Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia .(QS. Thaha : 121)
Selalu zikir dan ingat kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun , dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Al-Hadid : 16)
Doa agar ditetapkan iman
Allah adalah tuhan yang menciptakan hati kita. Dia pula yang akan merubah hati kita dan membolak-balikkannya. Karena itu kita diperintahkan untuk minta ditetapkan hati ini agar selalu tetap berada di dalam jalan yang benar.
: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi ".(QS. Ali Imran : 8)
Banyak Membaca Al-Quran Al-Karim
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil .(QS. Al-furqan : 32)
Memperbanyak ibrah dan mengambil pelajaran dari kisah orang terdahulu
Dengan banyak mengkaji sejarah para nabi dan rasul serta kisah pada orang shaleh, maka kita akan mendapatkan ketenangan dan tambahan kemantapan hati. Karena pada kisah mereka memang telah Allah SWT masukkan pelajaran penting dan berguna. Setiap kali kita membuka kembali kisah mereka, kita pasti akan mendapatkan kekuatan batin yang akan mengawal perjalanan kita menuju kebenaran dan menjaga kita dari penyelewengan.
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.(QS. Huud : 120)
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.(QS. Yusuf : 112)
Iman perlu ditanamkan dengan cara yang benar
Agar iman tumbuh dengan baik, maka perlu ditanamkan dengan cara yang benar. Yaitu dengan pemahaman konsep laa ilaaha illallah yang murni dan konsekuen. Ilmu tentang keimanan yang benar sesuai dengan manhaj ahlussunnah wal jamaah dibutuhkan agar iman itu tertanam dengan mantap.
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.(QS. Muhammad : 19)
Iman perlu diperbaharui terus
Rasulullah SAW telahbersabda bahwa iman itu kadang betambah dan kadang berkurang. Sehingga iman itu perlu terus ditambah. Baik dengan zikr, fikir, atau aktifitas lainnya yang bisa terus menambah iman.
Tanpa adanya perbaikan iman, maka iman itu sedikit demi sedikit akan mengalami kegersangan. Karena itu dia perlu terus disirami dan dipupuk agar menjadi subur. Orang yang tidak pernah mau memperbaharui iman, bisa jadi tidak menyadari kemunduran imannya kecuali setelah iman itu telah lenyap.
Iman perlu dijaga bersama dalam lingkungan yang baik
Lingkungan tempat dimana kita hidup sangat besar dalam mempengaruhi iman kita. Karena itu dalam Islam kita mengenal konsep hijrah dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang. Tujuannya adalah agar iman yang sudah baik itu kemudian bercampur dengan lingkungan yang buruk yang hanya akan menodainya.
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?". Mereka menjawab : "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri ". Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,(QS. An-Nisa : 97))
Menjauhkan diri dari maksiat
Kita tahu bahwa maksiat kecil namun bila dilakukan secara rutin dan berulang-ulang akan bisa merusak iman. Karena itu jangan biarkan maksiat kecil itu menggerogoti iman yang ada dalam dada. Jangan biarkan maksiat kecil itu menutupi cahaya hati kita dengan kegelapan, yang membuat kita tidak bisa lagi melihat cahaya.
Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia .(QS. Thaha : 121)
Selalu zikir dan ingat kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun , dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Al-Hadid : 16)
Doa agar ditetapkan iman
Allah adalah tuhan yang menciptakan hati kita. Dia pula yang akan merubah hati kita dan membolak-balikkannya. Karena itu kita diperintahkan untuk minta ditetapkan hati ini agar selalu tetap berada di dalam jalan yang benar.
: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi ".(QS. Ali Imran : 8)
Banyak Membaca Al-Quran Al-Karim
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil .(QS. Al-furqan : 32)
Memperbanyak ibrah dan mengambil pelajaran dari kisah orang terdahulu
Dengan banyak mengkaji sejarah para nabi dan rasul serta kisah pada orang shaleh, maka kita akan mendapatkan ketenangan dan tambahan kemantapan hati. Karena pada kisah mereka memang telah Allah SWT masukkan pelajaran penting dan berguna. Setiap kali kita membuka kembali kisah mereka, kita pasti akan mendapatkan kekuatan batin yang akan mengawal perjalanan kita menuju kebenaran dan menjaga kita dari penyelewengan.
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.(QS. Huud : 120)
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.(QS. Yusuf : 112)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
definisi iman
Iman menurut Ahlussunnah wal jama’ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Jadi Iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)
Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)
Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Kesalahan Memahami Hakekat Iman
Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah:
1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.
2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.
Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad
Jadi Iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)
Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)
Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Kesalahan Memahami Hakekat Iman
Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah:
1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.
2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.
Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
apa sih yang diesbut iman
Iman menurut Ahlussunnah wal jama’ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Jadi Iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)
Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)
Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Kesalahan Memahami Hakekat Iman
Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah:
1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.
2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.
Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad
Jadi Iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)
Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)
Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Kesalahan Memahami Hakekat Iman
Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah:
1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.
2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.
Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
iman dan nilainya dalam kehidupan
Dalam ajaran Islam, Iman adalah sesuatu yang asasi sekali. Dialah yang menjadikan kehidupan seseorang mempunyai arti dan makna. Dialah yang mendorong seseorang untuk produktif (beramal shaleh) dalam hidup ini dan memberinya nilai tambah. Tanpa iman, sia-sialah hidup ini.
Individu tanpa agama dan iman, ibarat bulu yang ditiup angin, terombang-ambing kesana-kemari, tak mempunyai arah dan tujuan. Individu tanpa agama dan iman adalah manusia yang tak ada nilai dan akarnya. Pribadi yang galau dan bingung, tak tahu hakekat dirinya, atau rahasia eksistensinya. Tak tahu siapa yang memberinya kehidupan, dan untuk apa, lalu mengapa dicabutnya kembali? Manusia tanpa agama dan iman, adalah makhluk hidup yang buas. Pengetahuan dan hukum saja, tak dapat membatasi kebuasannya atau memotong kuku-kuku cengkeramannya.
Dan masyarakat tanpa agama dan iman, adalah masyarakat rimba. Meski berkilau tanda-tanda kemajuan, tapi siapa yang kuatlah yang hidup dan berkuasa, bukan siapa yang lebih mulia atau lebih bertakwa. Masyarakat yang tak berharga dan rendah nilainya, karena tujuan orang-orangnya tak lebih dari sekedar memenuhi kepuasan perut dan syahwat. Mereka hanya bersenang-senang dan makan minum seperi halnya binatang. (Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Iman wal Hayat. Cet. 7 (1401 H), hal. 9 - 10).
Imanlah yang dapat memberikan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kepuasan dan kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan ketenangan jiwa, dan ketenangan jiwa tidak dapat dicapai kecuali dengan iman yang benar. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Fath : 4 yang artinya:
"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan Allah mempunyai tentara-tentara langit dan bumi, dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Disebutkan dalam hadits shahih : "Niscaya merasakan kenikmatan iman, orang yang rela Allah sebagi Tuhan, Islam sebagi agama dan Muhammad SAW sebagai Rasul." (HR. Muslim dan At-Turmudzi).
Jadi iman adalah sumber segala yang diperlukan manusia dalam kehidupan. Iman adalah kekuatan, iman adalah roh kehidupan, iman adalah dunia keindahan, penunjuk jalan, pelita dalam kegelapan, dan kunci rahasia kehidupan.
Dalam kehidupan modern sekarang ini, di mana arus informasi memasuki era globalisasi, tidak ada yang dapat membentengi seseorang dan melindungi dirinya, kecuali keimanannya.
Dengan kata singkat, iman adalah kebutuhan essensial bagi kehidupan manusia di segala zaman.
Adapun hasil yang dapat diperoleh karena iman, selain tersebut di atas, antara lain :
Petunjuk dari Allah. (Al-An'am : 82, Al-Hajj : 54, At-Taghaabun : 11).
Pertolongan dari Allah. (Al-Mu'min : 51, Muhammad : 7).
Kecintaan dan kasih-sayang Allah. (Al-Baqarah : 257, Al-Hajj : 38, Maryam : 96).
Jalan keluar dan rizqi dari-Nya. (Ath-Thalaaq : 3).
Limpahan berkah dari langit dan bumi. (Al-A'raaf : 96).
Menjadikan kaum mu'minin berkuasa di muka bumi, Islam menjadi kuat, dan keadaan menjadi aman sentaus. (An-Nur : 55).
Kehidupan yang baik dan balasan pahala yang lebih baik. (An-Nahl : 97).
Ketentraman dan kedamaian. (Ar-Ra'd : 28, Al-Fath : 4).
Do'a para malaikat dan kaum Mu'minin. (Al-Mu'min :7 - 9).
Selamat dari siksa dunia dan akhirat. (Yunus : 102-103, Maryam : 71-72).
Selamat dari godaan dan tipu daya syaitan. (Fushshilat : 36).
Surga yang abadi dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. (At-Taubah : 72, Maryam : 60-61, Al-Hadid : 21 ).
7. PENUTUP
Dari apa yang dikemukakan tadi, sudah jelas, bahwa hanya satu jalan yang harus ditempuh oleh umat Islam, dan tidak ada pilihan lain. Yaitu jalan iman, satu-satunya jalan untuk mewujudkan apa yang kita idam-idamkan dan cita-citakan.
Jika kita menginginkan kehidupan dunia, jalannya adalah iman. Jika kita menginginkan kehidupan akhirat, jalannya adalah iman. Dan jika kita menginginkan keduanya, jalannya adalah iman. Iman yang hak adalah satu-satunya jalan untuk menggapai keduanya. Semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya untuk kita sekalian.
T A M A T.
Individu tanpa agama dan iman, ibarat bulu yang ditiup angin, terombang-ambing kesana-kemari, tak mempunyai arah dan tujuan. Individu tanpa agama dan iman adalah manusia yang tak ada nilai dan akarnya. Pribadi yang galau dan bingung, tak tahu hakekat dirinya, atau rahasia eksistensinya. Tak tahu siapa yang memberinya kehidupan, dan untuk apa, lalu mengapa dicabutnya kembali? Manusia tanpa agama dan iman, adalah makhluk hidup yang buas. Pengetahuan dan hukum saja, tak dapat membatasi kebuasannya atau memotong kuku-kuku cengkeramannya.
Dan masyarakat tanpa agama dan iman, adalah masyarakat rimba. Meski berkilau tanda-tanda kemajuan, tapi siapa yang kuatlah yang hidup dan berkuasa, bukan siapa yang lebih mulia atau lebih bertakwa. Masyarakat yang tak berharga dan rendah nilainya, karena tujuan orang-orangnya tak lebih dari sekedar memenuhi kepuasan perut dan syahwat. Mereka hanya bersenang-senang dan makan minum seperi halnya binatang. (Dr. Yusuf Qardhawi, Al-Iman wal Hayat. Cet. 7 (1401 H), hal. 9 - 10).
Imanlah yang dapat memberikan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kepuasan dan kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan ketenangan jiwa, dan ketenangan jiwa tidak dapat dicapai kecuali dengan iman yang benar. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Fath : 4 yang artinya:
"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan Allah mempunyai tentara-tentara langit dan bumi, dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Disebutkan dalam hadits shahih : "Niscaya merasakan kenikmatan iman, orang yang rela Allah sebagi Tuhan, Islam sebagi agama dan Muhammad SAW sebagai Rasul." (HR. Muslim dan At-Turmudzi).
Jadi iman adalah sumber segala yang diperlukan manusia dalam kehidupan. Iman adalah kekuatan, iman adalah roh kehidupan, iman adalah dunia keindahan, penunjuk jalan, pelita dalam kegelapan, dan kunci rahasia kehidupan.
Dalam kehidupan modern sekarang ini, di mana arus informasi memasuki era globalisasi, tidak ada yang dapat membentengi seseorang dan melindungi dirinya, kecuali keimanannya.
Dengan kata singkat, iman adalah kebutuhan essensial bagi kehidupan manusia di segala zaman.
Adapun hasil yang dapat diperoleh karena iman, selain tersebut di atas, antara lain :
Petunjuk dari Allah. (Al-An'am : 82, Al-Hajj : 54, At-Taghaabun : 11).
Pertolongan dari Allah. (Al-Mu'min : 51, Muhammad : 7).
Kecintaan dan kasih-sayang Allah. (Al-Baqarah : 257, Al-Hajj : 38, Maryam : 96).
Jalan keluar dan rizqi dari-Nya. (Ath-Thalaaq : 3).
Limpahan berkah dari langit dan bumi. (Al-A'raaf : 96).
Menjadikan kaum mu'minin berkuasa di muka bumi, Islam menjadi kuat, dan keadaan menjadi aman sentaus. (An-Nur : 55).
Kehidupan yang baik dan balasan pahala yang lebih baik. (An-Nahl : 97).
Ketentraman dan kedamaian. (Ar-Ra'd : 28, Al-Fath : 4).
Do'a para malaikat dan kaum Mu'minin. (Al-Mu'min :7 - 9).
Selamat dari siksa dunia dan akhirat. (Yunus : 102-103, Maryam : 71-72).
Selamat dari godaan dan tipu daya syaitan. (Fushshilat : 36).
Surga yang abadi dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. (At-Taubah : 72, Maryam : 60-61, Al-Hadid : 21 ).
7. PENUTUP
Dari apa yang dikemukakan tadi, sudah jelas, bahwa hanya satu jalan yang harus ditempuh oleh umat Islam, dan tidak ada pilihan lain. Yaitu jalan iman, satu-satunya jalan untuk mewujudkan apa yang kita idam-idamkan dan cita-citakan.
Jika kita menginginkan kehidupan dunia, jalannya adalah iman. Jika kita menginginkan kehidupan akhirat, jalannya adalah iman. Dan jika kita menginginkan keduanya, jalannya adalah iman. Iman yang hak adalah satu-satunya jalan untuk menggapai keduanya. Semoga Allah melimpahkan taufiq-Nya untuk kita sekalian.
T A M A T.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: definisi iman
Ikut nyumbang iman versi bible:
Ibrani
11:1 Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
11:2 Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.
11:3 Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.
11:4 Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati.
11:5 Karena iman Henokh terangkat, supaya ia tidak mengalami kematian, dan ia tidak ditemukan, karena Allah telah mengangkatnya. Sebab sebelum ia terangkat, ia memperoleh kesaksian, bahwa ia berkenan kepada Allah.
11:6 Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.
11:7 Karena iman, maka Nuh -- dengan petunjuk Allah tentang sesuatu yang belum kelihatan -- dengan taat mempersiapkan bahtera untuk menyelamatkan keluarganya; dan karena iman itu ia menghukum dunia, dan ia ditentukan untuk menerima kebenaran, sesuai dengan imannya.
11:8 Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.
11:9 Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu.
11:10 Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.
11:11 Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.
11:12 Itulah sebabnya, maka dari satu orang, malahan orang yang telah mati pucuk, terpancar keturunan besar, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya.
11:13 Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.
11:14 Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air.
11:15 Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal, yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ.
11:16 Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.
11:17 Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal,
11:18 walaupun kepadanya telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu."
11:19 Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali.
11:20 Karena iman maka Ishak, sambil memandang jauh ke depan, memberikan berkatnya kepada Yakub dan Esau.
11:21 Karena iman maka Yakub, ketika hampir waktunya akan mati, memberkati kedua anak Yusuf, lalu menyembah sambil bersandar pada kepala tongkatnya.
11:22 Karena iman maka Yusuf menjelang matinya memberitakan tentang keluarnya orang-orang Israel dan memberi pesan tentang tulang-belulangnya.
11:23 Karena iman maka Musa, setelah ia lahir, disembunyikan selama tiga bulan oleh orang tuanya, karena mereka melihat, bahwa anak itu elok rupanya dan mereka tidak takut akan perintah raja.
11:24 Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun,
11:25 karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa.
11:26 Ia menganggap penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar dari pada semua harta Mesir, sebab pandangannya ia arahkan kepada upah.
11:27 Karena iman maka ia telah meninggalkan Mesir dengan tidak takut akan murka raja. Ia bertahan sama seperti ia melihat apa yang tidak kelihatan.
11:28 Karena iman maka ia mengadakan Paskah dan pemercikan darah, supaya pembinasa anak-anak sulung jangan menyentuh mereka.
11:29 Karena iman maka mereka telah melintasi Laut Merah sama seperti melintasi tanah kering, sedangkan orang-orang Mesir tenggelam, ketika mereka mencobanya juga.
11:30 Karena iman maka runtuhlah tembok-tembok Yerikho, setelah kota itu dikelilingi tujuh hari lamanya.
11:31 Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik.
11:32 Dan apakah lagi yang harus aku sebut? Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku hendak menceriterakan tentang Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel dan para nabi,
11:33 yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa,
11:34 memadamkan api yang dahsyat. Mereka telah luput dari mata pedang, telah beroleh kekuatan dalam kelemahan, telah menjadi kuat dalam peperangan dan telah memukul mundur pasukan-pasukan tentara asing.
F-22- LETNAN SATU
-
Posts : 2414
Kepercayaan : Protestan
Location : Indonesia
Join date : 02.11.12
Reputation : 28
cabang-cabang iman
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam bersabda, "Iman itu lebih dari enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan, "Laa ilaaha illallah" dan cabang yang paling rendah yaitu menyingkirkan kotoran dari jalan." (HR Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah meringkas hal tersebut dalam kitab-nya Fathul Baari, sesuai keterangan Ibnu Hibban, beliau berkata, "Cabang-cabang ini terbagi dalam amalan hati, lisan dan badan."
Amalan Hati:
Adapun amalan hati adalah berupa i'tikad dan niat. Dan ia terdiri dari dua puluh empat sifat (cabang); iman kepada Allah, termasuk di dalamnya iman kepada Dzat dan Sifat-sifat-Nya serta pengesaan bahwasanya Allah adalah: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat." (As-Syuraa: 11)
Serta ber'itikad bahwa selain-Nya adalah baru, makluk. Beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para rasul-Nya. Beriman kepada qadar (ketentuan) Allah, yang baik mau-pun yang buruk.
Beriman kepada hari Akhirat: Termasuk di dalamnya pertanyaan di dalam kubur, kenikmatan dan adzab-Nya, kebangkitan dan pengumpulan di Padang Mahsyar, hisab (perhitungan amal), mizan (tim-bangan amal), shirath (titian di atas Neraka), Surga dan Neraka.
Kecintaan kepada Allah, cinta dan marah karena Allah. Kecintaan kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dan yakin atas keagungan beliau, termasuk di dalamnya bershalawat atas Nabi Shallallaahu 'alaihi wa salam dan mengikuti sunnahnya.
Ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan riya dan nifaq. Taubat dan takut, berharap, syukur dan menepati janji, sabar, ridha dengan qadha dan qadhar, tawakkal, kasih sayang dan tawadhu (rendah hati), termasuk di dalamnya menghormati yang tua, mengasihi yang kecil, meninggalkan sifat sombong dan bangga diri, meninggalkan dengki, iri hati dan emosi.
Perbuatan Lisan:
Ia terdiri dari tujuh cabang: Mengucapkan kalimat tauhid, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah, membaca Al-Qur'an, belajar ilmu dan mengajarkannya, berdo'a, dzikir, termasuk di dalamnya istighfar (memohon ampun kepada Allah), bertasbih (mengucapkan, "Subhanallah", dan menjauhi perkataan yang sia-sia.
Amalan Badan:
Ia terdiri dari tiga puluh delapan cabang:
Yang berkaitan dengan materi
Bersuci baik secara lahiriyah maupun hukumiah: termasuk di dalamnya menjauhi barang-barang najis, menutup aurat, shalat fardhu dan sunnat, zakat, memerdekakan budak.
Dermawan: termasuk di dalamnya memberikan makan orang lain, memuliakan tamu. Puasa baik fardhu maupun sunnat, i'tikaf, mencari lailatul qadar, haji, umrah dan thawaf.
Lari dari musuh untuk mempertahankan agama: termasuk di dalamnya hijrah dari negeri musyrik ke negeri iman. Memenuhi nadzar, berhati-hati dalam soal sumpah (yakni bersumpah dengan nama Allah secara jujur, hanya ketika sangat membutuhkan hal itu), memenuhi kaffarat (denda), misalnya kaffarat sumpah, kaffarat hubungan suami-istri di bulan Ramadhan.
Yang berkaitan dengan nafsu
Ia terdiri dari enam cabang: menjaga diri dari perbuatan maksiat (zina) dengan menikah, memenuhi hak-hak keluarga, berbakti kepada kedua orang tua: termasuk di dalamnya tidak mendurhakainya, mendidik anak.
Silaturahmi, taat kepada penguasa (dalam hal-hal yang tidak merupakan maksiat kepada Allah), dan kasih sayang kepada hamba sahaya.
Yang berkaitan dengan hal-hal umum
Ia terdiri dari tujuh belas cabang: menegakkan kepemimpinan secara adil, mengikuti jamaah, taat kepada ulil amri, melakukan ishlah (perbaikan dan perdamaian) di antara manusia termasuk di dalamnya memerangi orang-orang Khawarij dan para pemberontak. Tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, termasuk di dalam-nya amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang dari kemungkaran), melaksanakan hudud (hukuman-hukuman yang telah ditetapkan Allah).
Jihad, termasuk di dalamnya menjaga wilayah Islam dari serangan musuh, melaksanakan amanat, di antaranya merealisasikan pembagian seperlima dari rampasan perang: Utang dan pembayaran, memuliakan tetangga, bergaul secara baik, termasuk di dalamnya mencari harta secara halal. Menginfakkan harta pada yang berhak, termasuk di dalamnya meninggalkan sikap boros dan foya-foya. Men-jawab salam, mendo'akan orang bersin yang mengucapkan alham-dulillah, mencegah diri dari menimpakan bahaya kepada manusia, menjauhi perkara yang tidak bermanfaat serta menyingkirkan kotoran yang mengganggu manusia dari jalan.
Hadits di muka menunjukkan, bahwa tauhid (kalimat laa ilaaha illallah) adalah cabang iman yang paling tinggi dan paling utama. Oleh karena itu, para da'i hendaknya memulai dakwahnya dari cabang iman yang paling utama, kemudian baru cabang-cabang lain yang ada di bawahnya. Dengan kata lain, membangun fondasi terlebih dahulu (tauhid), sebelum mendirikan bangunan (cabang-cabang iman yang lain). Mendahulukan hal yang terpenting, kemudian disusul hal-hal yang penting.
Tauhid adalah yang mempersatukan bangsa Arab dan bangsa asing lainnya atas dasar Islam. Dari persatuan itu, tegaklah daulah islamiyah sebagai daulah tauhid.
Sumber: Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Al-Hafizh Ibnu Hajar telah meringkas hal tersebut dalam kitab-nya Fathul Baari, sesuai keterangan Ibnu Hibban, beliau berkata, "Cabang-cabang ini terbagi dalam amalan hati, lisan dan badan."
Amalan Hati:
Adapun amalan hati adalah berupa i'tikad dan niat. Dan ia terdiri dari dua puluh empat sifat (cabang); iman kepada Allah, termasuk di dalamnya iman kepada Dzat dan Sifat-sifat-Nya serta pengesaan bahwasanya Allah adalah: "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat." (As-Syuraa: 11)
Serta ber'itikad bahwa selain-Nya adalah baru, makluk. Beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para rasul-Nya. Beriman kepada qadar (ketentuan) Allah, yang baik mau-pun yang buruk.
Beriman kepada hari Akhirat: Termasuk di dalamnya pertanyaan di dalam kubur, kenikmatan dan adzab-Nya, kebangkitan dan pengumpulan di Padang Mahsyar, hisab (perhitungan amal), mizan (tim-bangan amal), shirath (titian di atas Neraka), Surga dan Neraka.
Kecintaan kepada Allah, cinta dan marah karena Allah. Kecintaan kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dan yakin atas keagungan beliau, termasuk di dalamnya bershalawat atas Nabi Shallallaahu 'alaihi wa salam dan mengikuti sunnahnya.
Ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan riya dan nifaq. Taubat dan takut, berharap, syukur dan menepati janji, sabar, ridha dengan qadha dan qadhar, tawakkal, kasih sayang dan tawadhu (rendah hati), termasuk di dalamnya menghormati yang tua, mengasihi yang kecil, meninggalkan sifat sombong dan bangga diri, meninggalkan dengki, iri hati dan emosi.
Perbuatan Lisan:
Ia terdiri dari tujuh cabang: Mengucapkan kalimat tauhid, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah, membaca Al-Qur'an, belajar ilmu dan mengajarkannya, berdo'a, dzikir, termasuk di dalamnya istighfar (memohon ampun kepada Allah), bertasbih (mengucapkan, "Subhanallah", dan menjauhi perkataan yang sia-sia.
Amalan Badan:
Ia terdiri dari tiga puluh delapan cabang:
Yang berkaitan dengan materi
Bersuci baik secara lahiriyah maupun hukumiah: termasuk di dalamnya menjauhi barang-barang najis, menutup aurat, shalat fardhu dan sunnat, zakat, memerdekakan budak.
Dermawan: termasuk di dalamnya memberikan makan orang lain, memuliakan tamu. Puasa baik fardhu maupun sunnat, i'tikaf, mencari lailatul qadar, haji, umrah dan thawaf.
Lari dari musuh untuk mempertahankan agama: termasuk di dalamnya hijrah dari negeri musyrik ke negeri iman. Memenuhi nadzar, berhati-hati dalam soal sumpah (yakni bersumpah dengan nama Allah secara jujur, hanya ketika sangat membutuhkan hal itu), memenuhi kaffarat (denda), misalnya kaffarat sumpah, kaffarat hubungan suami-istri di bulan Ramadhan.
Yang berkaitan dengan nafsu
Ia terdiri dari enam cabang: menjaga diri dari perbuatan maksiat (zina) dengan menikah, memenuhi hak-hak keluarga, berbakti kepada kedua orang tua: termasuk di dalamnya tidak mendurhakainya, mendidik anak.
Silaturahmi, taat kepada penguasa (dalam hal-hal yang tidak merupakan maksiat kepada Allah), dan kasih sayang kepada hamba sahaya.
Yang berkaitan dengan hal-hal umum
Ia terdiri dari tujuh belas cabang: menegakkan kepemimpinan secara adil, mengikuti jamaah, taat kepada ulil amri, melakukan ishlah (perbaikan dan perdamaian) di antara manusia termasuk di dalamnya memerangi orang-orang Khawarij dan para pemberontak. Tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, termasuk di dalam-nya amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang dari kemungkaran), melaksanakan hudud (hukuman-hukuman yang telah ditetapkan Allah).
Jihad, termasuk di dalamnya menjaga wilayah Islam dari serangan musuh, melaksanakan amanat, di antaranya merealisasikan pembagian seperlima dari rampasan perang: Utang dan pembayaran, memuliakan tetangga, bergaul secara baik, termasuk di dalamnya mencari harta secara halal. Menginfakkan harta pada yang berhak, termasuk di dalamnya meninggalkan sikap boros dan foya-foya. Men-jawab salam, mendo'akan orang bersin yang mengucapkan alham-dulillah, mencegah diri dari menimpakan bahaya kepada manusia, menjauhi perkara yang tidak bermanfaat serta menyingkirkan kotoran yang mengganggu manusia dari jalan.
Hadits di muka menunjukkan, bahwa tauhid (kalimat laa ilaaha illallah) adalah cabang iman yang paling tinggi dan paling utama. Oleh karena itu, para da'i hendaknya memulai dakwahnya dari cabang iman yang paling utama, kemudian baru cabang-cabang lain yang ada di bawahnya. Dengan kata lain, membangun fondasi terlebih dahulu (tauhid), sebelum mendirikan bangunan (cabang-cabang iman yang lain). Mendahulukan hal yang terpenting, kemudian disusul hal-hal yang penting.
Tauhid adalah yang mempersatukan bangsa Arab dan bangsa asing lainnya atas dasar Islam. Dari persatuan itu, tegaklah daulah islamiyah sebagai daulah tauhid.
Sumber: Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
definisi iman dan islam
Islam dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyariatkan-Nya sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat.
Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh as berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa as, yang dibawa oleh Isa as dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim as, Imamul hunafa' (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syariat-syariat terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad saw adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menghapun (menasakh) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.
Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa as, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa as. Namun, ketika telah diutus Nabi Muhammad saw kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan lagi menjadi orang muslim.
Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana dienul Islam, bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam, sebab Allah Taala berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali-Imran: 19)
"Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya." (Ali-Imran: 85)
Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad saw dan umatnya. Allah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridoi Islam itu jadi agamamu." (Al-Maidah: 3)
Ini adalah dalil (nash) yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara seiman, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka. Agama mereka tidak sama dengan seperti pendahulu mereka yang masih lurus dengan ikhlas mengikuti rasulnya. Ajaran agama mereka telah diselewengkan dengan ajaran dan sejarah yang dibuat oleh orang-orang yang ingkar terhadap rasulnya. Mereka ingkar terhadap kedatangan rasul yang akhir, Muhammad saw, sebagai pembawa risalah yang terakhir dan yang sempurna dari Allah SWT.
Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Taala dengan menjalankan syariat-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zahir maupun batin. Ia mencakup seluruh aspek: akidah, amalan, maupun perkataan. Namun, jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Adapun Iman adalah amalan batiniah yang berupa akidah dan amalan-amalan hati.
Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Taala sebagai berikut.
"Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman'. Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (Al-Hujurat: 14)
Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Taala berfirman,
"Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri." (Adz-Dzariyat: 35-36)
Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka.
Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadis Umar bin Khattab ra bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai Islam dan iman. Beliau menjawab, "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan berhaji ke Baitullah." Mengenai iman, beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari Akhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk."
Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun, jika istilah Islam itu disandingkan dengan iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan, sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa itikad (i'tiqad) dan amalan hati.
Sumber: Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh as berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa as, yang dibawa oleh Isa as dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim as, Imamul hunafa' (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syariat-syariat terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad saw adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menghapun (menasakh) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.
Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa as, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa as. Namun, ketika telah diutus Nabi Muhammad saw kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan lagi menjadi orang muslim.
Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana dienul Islam, bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam, sebab Allah Taala berfirman yang artinya,
"Sesungguhnya dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali-Imran: 19)
"Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya." (Ali-Imran: 85)
Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad saw dan umatnya. Allah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridoi Islam itu jadi agamamu." (Al-Maidah: 3)
Ini adalah dalil (nash) yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara seiman, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka. Agama mereka tidak sama dengan seperti pendahulu mereka yang masih lurus dengan ikhlas mengikuti rasulnya. Ajaran agama mereka telah diselewengkan dengan ajaran dan sejarah yang dibuat oleh orang-orang yang ingkar terhadap rasulnya. Mereka ingkar terhadap kedatangan rasul yang akhir, Muhammad saw, sebagai pembawa risalah yang terakhir dan yang sempurna dari Allah SWT.
Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Taala dengan menjalankan syariat-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zahir maupun batin. Ia mencakup seluruh aspek: akidah, amalan, maupun perkataan. Namun, jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Adapun Iman adalah amalan batiniah yang berupa akidah dan amalan-amalan hati.
Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Taala sebagai berikut.
"Orang-orang Arab Badui itu berkata, 'Kami telah beriman'. Katakanlah (kepada mereka), 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu." (Al-Hujurat: 14)
Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Taala berfirman,
"Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri." (Adz-Dzariyat: 35-36)
Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka.
Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadis Umar bin Khattab ra bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi saw mengenai Islam dan iman. Beliau menjawab, "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan dan berhaji ke Baitullah." Mengenai iman, beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari Akhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk."
Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun, jika istilah Islam itu disandingkan dengan iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan, sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa itikad (i'tiqad) dan amalan hati.
Sumber: Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: definisi iman
Bagaimana pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apakah Iman itu bisa bertambah atau berkurang? Jawab: Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah ikrar dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.
Jadi, Iman itu mencakup tiga hal:
Ikrar dengan hati.
Pengucapan dengan lisan.
Pengamalan dengan anggota badan.
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
"Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab : 'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". (Al-Baqarah : 260)
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat didalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman yang artinya:
"Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir : 31)
"Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : 'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?' Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". (At-Taubah : 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya:
Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya daripada yang lain.
Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. Artinya : "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" (Adz-Dzariyat : 20-21).
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah, banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir, umpamanya, akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
-Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya.
Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
-Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah.
Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
-Berbuat maksiat.
Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". (Al-Hadits)
-Meninggalkan ketaatan.
Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimanannya dari sisi yang satu ini.
Sumber: Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Jadi, Iman itu mencakup tiga hal:
Ikrar dengan hati.
Pengucapan dengan lisan.
Pengamalan dengan anggota badan.
Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa bertambah atau bisa saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama. Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita, tidak sama dengan jika langsung melihat persoalan dengan kepala mata sendiri. Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang. Demikian seterusnya. Oleh karena itu, Ibrahim 'Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah dalam Al-Qur'an.
"Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : 'Apakah kamu belum percaya'. Ibrahim menjawab : 'Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya". (Al-Baqarah : 260)
Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati, ketenangan dan kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirinya sendiri, maka ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat didalamnya, disebutkan pula perihal surga dan neraka ; maka imannya akan bertambah sehingga seakan-akan ia menyaksikannya dengan mata kepala. Namun ketika ia lengah dan meninggalkan majlis itu, maka bisa jadi keyakinan dalam hatinya akan berkurang.
Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan, maka orang berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang kedua tentu lebih banyak tambahannya.
Demikian halnya dengan orang yang beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang orang yang ibadahnya kurang.
Dalam hal amal perbuatan pun juga demikian, orang yang amalan dengan anggota badannya jauh lebih banyak daripada orang lain, maka ia akan lebih bertambah imannya daripada orang yang tidak melakukan perbuatan seperti dia.
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman yang artinya:
"Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir : 31)
"Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : 'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?' Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir". (At-Taubah : 124-125)
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah bersabda bahwa kaum wanita itu memiliki kekurangan dalam soal akal dan agamanya. Dengan demikian, maka jelaslah kiranya bahwa iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang.
Namun ada masalah yang penting, apa yang menyebabkan iman itu bisa bertambah ? Ada beberapa sebab, di antaranya:
Mengenal Allah (Ma'rifatullah) dengan nama-nama (asma') dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu yang mengetahui benar-benar tentang asma' Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat imannya daripada yang lain.
Memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar'iyah. Seseorang jika mau memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta'ala berfirman. Artinya : "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan" (Adz-Dzariyat : 20-21).
Ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa jika manusia mau memperhatikan dan merenungkan alam ini, maka imannya akan semakin bertambah, banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah maupun fi'liyah. Berdzikir, umpamanya, akan menambah keimanan secara kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab bertambahnya iman, yaitu:
-Jahil terhadap asma' Allah dan sifat-sifat-Nya.
Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila mari'fatullah seseorang tentang asma' dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu akan berkurang juga imannya.
-Berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat Allah yang kauniyah maupun syar'iyah.
Hal ini akan menyebabkan berkurangnya iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah berkembang.
-Berbuat maksiat.
Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar terhadap hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, "Tidaklah seseorang itu berbuat zina ketika melakukannnya sedang ia dalam keadaan beriman". (Al-Hadits)
-Meninggalkan ketaatan.
Meninggalkan keta'atan akan menyebabkan berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi. Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan, namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya. Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi keimanannya dari sisi yang satu ini.
Sumber: Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: definisi iman
Tak diragukan lagi, bahwa siapapun ingin hidup bahagia. Masing-masing dalam hidup ini mendambakan ketenangan, kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan. Namun, di manakah sebenarnya dapat kita peroleh hal itu semua?
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam, hanya iman yang disertai dengan amal shaleh yang dapat menghantarkan kita, baik sebagai individu maupun masyarakat, ke arah itu.
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki-laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl : 97).
Dengan iman, umat Islam generasi pendahulu mencapai kejayaan, berhasil merubah keadaan duni dari kegelapan menjadi terang benderang. Dengan iman, masyarakat mereka menjadi masyarakat adil dan makmur. Para umara' melaksanakan perintah Allah, para ulama beramar ma'ruf dan nahi mungkar, dan rakyat saling tolong-menolong atas kebajikan dan kebaikan. Kalimatul Haq mereka junjung tinggi, tiada yang mengikat antar mereka selain tali persaudaraan iman.
Namun, setelah redup cahaya iman di hati kita, lenyaplah nilai-nilai kebaikan diantara kita. Masyarakat kita pun menjadi masyarakat yang penuh dengan kebohongan, kesombongan, kekerasan, individualisme, keserakahan, kerusakan moral , dan kemungkaran.
"Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, sehingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri?.." (Al-Anfal : 53).
Maka, apabila kita ingin mencapai apa yang telah dicapai para salaf (generasi pendahulu), apabila kita ingin mewujudkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada para hambaNya yang beriman, maka hendaklah kita memperbaharui iman dan melaksanakan apa yang menjadi konsekwensinya.
Dengan memohon ma'unah Allah, makalah singkat ini mencoba menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan topik tersebut di atas.
2. PENGERTIAN IMAN :
Iman, secara etimologis, berasal dari kata aamana - yu'minu, berarti tasdiq, yaitu : membenarkan, mempercayai. Dan menurut istilah, Iman ialah : "Membenarkan dengan hati , diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan."
Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dengan : "Qaulun wa amalun, wa niyyatun, wa tamassukun bis Sunnah." Yakni : Ucapan diiringi dengan ketulusan niat (lillah) dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah (Rasulullah SAW).
Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu , beliau menjawab demikian : "Qaulun, wa amalun, wa niyyatun, wa sunnatun." Artinya : Ucapan, yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat dan dilandasi dengan Sunnah. Kata beliau selanjutnya : "Sebab, iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur, apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat (lillah) adalah nifaq, sedang apabila hanya ucapan, perbuatan dan ketulusan niat, tanpa dilandasi dengan sunnah (Rasulullah SAW) adalah bid'ah. (Majmu' Fatawa Ibn Taimiyah, jilid 7, hal. 171)
Dengan demikian, iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan, dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan : "Iman itu bukanlah sekedar angan-angan, dan bukan pula sekedar basa-basi dengan ucapan, akan tetapi sesuatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. (Ahmad Izzuddin Al-Bayanuni. Al-Iman : Khashaa'ishuhu, Alaamaatuhu, Tsamaraatuhu, Cet. 2 (1405 h), bagian 1, hal. 18).
3. POSISI DAN KEDUDUKAN IMAN DALAM DIENUL ISLAM :
Iman, dalam Dienul Islam, menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman, tidaklah sah dan diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam Qur'an Surah An-Nisa' : 124 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."
Juga dalam Qur'an Surah Al-Isra' : 19 yang artinya :
"Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik."
Disebutkan dalam hadits dari Al-Bara' ibn 'Azib, Radhiyallahu 'Anhu, bahwa ada seorang kafir datang dengan bertopeng sambil membawa sepotong besi, kemudian memohon kepada Rasulullah SAW, agar diperkenankan pergi bersama kaum Muslimin untuk ikut berperang. Maka beliau bersabda kepadanya : "Masuklah Islam, kemudian pergilah berperang!" Lalu iapun masuk Islam dan ikut pergi berperang sehingga terbunuh. Nabi SAW bersabda : "Dia beramal sedikit tetapi dibalas dengan pahala yang banyak." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Disebutkannya iman dalam Al-Qur'an lebih dari 840 kali1, tiada lain menunjukkan posisi dan kedudukannya dalam Islam menurut Allah SWT.
4. KORELASI ANTARA IMAN DAN ISLAM :
Iman dan Islam adalah dua sejoli yang tidak boleh dipisahkan. Kedua-duanya ibarat dua sisi uang logam. Tidak ada Iman tanpa Islam, dan tidak ada Islam tanpa Iman. Tetapi, dengan demikian, bukan berarti Islam itu adalah Iman dan Iman adalah Islam.
Iman, apabila disebutkan bersama-sama dengan Islam, maka menunjukkan kepada hal-hal batiniah; seperti: Iman kepada Allah SWT, iman kepada Malaikat, iman kepada hari akhir, dan seterusnya. Dan Islam, apabila disebutkan bersama-sama dengan Iman, maka menunjukkan kepada hal-hal lahiriah; seperti: Syahadat, shalat, puasa, dan seterusnya. Dasarnya: Al-Hujurat : 14; Hadits Jibril, riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Namun, Iman apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Islam, maka mencakup pengertian Islam dan tidak terlepas darinya; karena iman, menurut definisinya, adalah: Keyakinan, ucapan dan perbuatan. Demikian pula Islam apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Iman, maka mencakup pengertian Iman dan tidak boleh dipisahkan darinya. Karena Islam, pada hakekatnya, yaitu: Berserah diri, lahir dan batin, kepada Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dasarnya: Al-Anfal : 2 - 3, Al-Mu'minun : 1 - 9, dan Al-Imran : 19, 85.
5. KONSEKWENSI DAN CIRI-CIRI IMAN :
Segala pengakuan ada konsekwensinya dan mempunyai ciri-ciri yang menunjukkan kebenarannya. Demikian pula iman. Adapun konsekwensi dan ciri-cirinya, antara lain:
Mempercayai segala yang datang dari Allah SWT, dengan yakin, tanpa ragu-ragu lagi. ( Al-Hujurat : 15).
Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi dari yang lain. (Al-Baqarah : 165, At-Taubah : 24).
Patuh dan tunduk kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. ( An-Nisa' : 69, 90, An-Nur : 51 - 52, Al-Ahzab : 36).
Senantiasa berhukum kepada syariat-Nya. (An-Nisa' : 65).
Amar Ma'ruf - Nahi Munkar. (At-Taubah : 71, Al-Ashr).
Berda'wah dan Jihad di jalan Allah SWT. (Fushshilat : 33, Yusuf : 108, Ash-Shaf : 10 - 13).
Walaa' kepada kaum Mu'minin dan Baraa' terhadap orang-orang kafir. (Al-Maidah : 55, At-Taubah : 71, Al-Mumtahanah : 4).
Ridha kepada segala takdir-Nya. (Al-Baqarah : 155 - 157).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam, hanya iman yang disertai dengan amal shaleh yang dapat menghantarkan kita, baik sebagai individu maupun masyarakat, ke arah itu.
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki-laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl : 97).
Dengan iman, umat Islam generasi pendahulu mencapai kejayaan, berhasil merubah keadaan duni dari kegelapan menjadi terang benderang. Dengan iman, masyarakat mereka menjadi masyarakat adil dan makmur. Para umara' melaksanakan perintah Allah, para ulama beramar ma'ruf dan nahi mungkar, dan rakyat saling tolong-menolong atas kebajikan dan kebaikan. Kalimatul Haq mereka junjung tinggi, tiada yang mengikat antar mereka selain tali persaudaraan iman.
Namun, setelah redup cahaya iman di hati kita, lenyaplah nilai-nilai kebaikan diantara kita. Masyarakat kita pun menjadi masyarakat yang penuh dengan kebohongan, kesombongan, kekerasan, individualisme, keserakahan, kerusakan moral , dan kemungkaran.
"Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak merubah sesuatu ni'mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, sehingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri?.." (Al-Anfal : 53).
Maka, apabila kita ingin mencapai apa yang telah dicapai para salaf (generasi pendahulu), apabila kita ingin mewujudkan apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada para hambaNya yang beriman, maka hendaklah kita memperbaharui iman dan melaksanakan apa yang menjadi konsekwensinya.
Dengan memohon ma'unah Allah, makalah singkat ini mencoba menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan topik tersebut di atas.
2. PENGERTIAN IMAN :
Iman, secara etimologis, berasal dari kata aamana - yu'minu, berarti tasdiq, yaitu : membenarkan, mempercayai. Dan menurut istilah, Iman ialah : "Membenarkan dengan hati , diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan."
Imam Ahmad bin Hanbal mendefinisikannya dengan : "Qaulun wa amalun, wa niyyatun, wa tamassukun bis Sunnah." Yakni : Ucapan diiringi dengan ketulusan niat (lillah) dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada Sunnah (Rasulullah SAW).
Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah sebenarnya iman itu , beliau menjawab demikian : "Qaulun, wa amalun, wa niyyatun, wa sunnatun." Artinya : Ucapan, yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat dan dilandasi dengan Sunnah. Kata beliau selanjutnya : "Sebab, iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur, apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat (lillah) adalah nifaq, sedang apabila hanya ucapan, perbuatan dan ketulusan niat, tanpa dilandasi dengan sunnah (Rasulullah SAW) adalah bid'ah. (Majmu' Fatawa Ibn Taimiyah, jilid 7, hal. 171)
Dengan demikian, iman itu bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan, dan bukan sekedar amal perbuatan saja tapi hati dan jiwa kosong. Imam Hasan Basri mengatakan : "Iman itu bukanlah sekedar angan-angan, dan bukan pula sekedar basa-basi dengan ucapan, akan tetapi sesuatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. (Ahmad Izzuddin Al-Bayanuni. Al-Iman : Khashaa'ishuhu, Alaamaatuhu, Tsamaraatuhu, Cet. 2 (1405 h), bagian 1, hal. 18).
3. POSISI DAN KEDUDUKAN IMAN DALAM DIENUL ISLAM :
Iman, dalam Dienul Islam, menempati posisi amat penting dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal perbuatan manusia. Tanpa iman, tidaklah sah dan diterima amal perbuatannya. Firman Allah SWT dalam Qur'an Surah An-Nisa' : 124 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun."
Juga dalam Qur'an Surah Al-Isra' : 19 yang artinya :
"Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik."
Disebutkan dalam hadits dari Al-Bara' ibn 'Azib, Radhiyallahu 'Anhu, bahwa ada seorang kafir datang dengan bertopeng sambil membawa sepotong besi, kemudian memohon kepada Rasulullah SAW, agar diperkenankan pergi bersama kaum Muslimin untuk ikut berperang. Maka beliau bersabda kepadanya : "Masuklah Islam, kemudian pergilah berperang!" Lalu iapun masuk Islam dan ikut pergi berperang sehingga terbunuh. Nabi SAW bersabda : "Dia beramal sedikit tetapi dibalas dengan pahala yang banyak." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Disebutkannya iman dalam Al-Qur'an lebih dari 840 kali1, tiada lain menunjukkan posisi dan kedudukannya dalam Islam menurut Allah SWT.
4. KORELASI ANTARA IMAN DAN ISLAM :
Iman dan Islam adalah dua sejoli yang tidak boleh dipisahkan. Kedua-duanya ibarat dua sisi uang logam. Tidak ada Iman tanpa Islam, dan tidak ada Islam tanpa Iman. Tetapi, dengan demikian, bukan berarti Islam itu adalah Iman dan Iman adalah Islam.
Iman, apabila disebutkan bersama-sama dengan Islam, maka menunjukkan kepada hal-hal batiniah; seperti: Iman kepada Allah SWT, iman kepada Malaikat, iman kepada hari akhir, dan seterusnya. Dan Islam, apabila disebutkan bersama-sama dengan Iman, maka menunjukkan kepada hal-hal lahiriah; seperti: Syahadat, shalat, puasa, dan seterusnya. Dasarnya: Al-Hujurat : 14; Hadits Jibril, riwayat Al-Bukhari dan Muslim.
Namun, Iman apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Islam, maka mencakup pengertian Islam dan tidak terlepas darinya; karena iman, menurut definisinya, adalah: Keyakinan, ucapan dan perbuatan. Demikian pula Islam apabila disebutkan tersendiri, tanpa dengan Iman, maka mencakup pengertian Iman dan tidak boleh dipisahkan darinya. Karena Islam, pada hakekatnya, yaitu: Berserah diri, lahir dan batin, kepada Allah SWT dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dasarnya: Al-Anfal : 2 - 3, Al-Mu'minun : 1 - 9, dan Al-Imran : 19, 85.
5. KONSEKWENSI DAN CIRI-CIRI IMAN :
Segala pengakuan ada konsekwensinya dan mempunyai ciri-ciri yang menunjukkan kebenarannya. Demikian pula iman. Adapun konsekwensi dan ciri-cirinya, antara lain:
Mempercayai segala yang datang dari Allah SWT, dengan yakin, tanpa ragu-ragu lagi. ( Al-Hujurat : 15).
Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi dari yang lain. (Al-Baqarah : 165, At-Taubah : 24).
Patuh dan tunduk kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. ( An-Nisa' : 69, 90, An-Nur : 51 - 52, Al-Ahzab : 36).
Senantiasa berhukum kepada syariat-Nya. (An-Nisa' : 65).
Amar Ma'ruf - Nahi Munkar. (At-Taubah : 71, Al-Ashr).
Berda'wah dan Jihad di jalan Allah SWT. (Fushshilat : 33, Yusuf : 108, Ash-Shaf : 10 - 13).
Walaa' kepada kaum Mu'minin dan Baraa' terhadap orang-orang kafir. (Al-Maidah : 55, At-Taubah : 71, Al-Mumtahanah : 4).
Ridha kepada segala takdir-Nya. (Al-Baqarah : 155 - 157).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
buah keimanan
Bila cahaya iman telah meresap dalam sanubari niscaya akan menda-tangkan keunikan-keunikan dalam aqidah, amal dan akhlak. Maka barang siapa yang dikaruniai iman, sungguh ia telah dikaruniai kebaikan yang sangat banyak dan tiada ternilai. Iman akan memberikan pengaruh, buah dan akibat-akibat yang terpuji baik di dunia maupun di akhirat, diantara buah dari keimanan tersebut adalah:
Kecintaan Allah kepada ahlul iman
Firman Allah:“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan me-rekapun mencintaiNya.” (Al-Maidah: 54)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iman tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang ia cintai dan dipilih dari kalangan manusia.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam bersabda, artinya: ”Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak dicintai, dan Dia tidak memberikan iman kecuali kepada orang yang Dia cintai. ”(HR al Hakim dari Ibnu Mas’ud).
Keridhaan Allah kepada ahlul iman
Allah Berfirman Tentang Orang –Orang Mukmin :“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya.Yang demiki-an itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al-Bayyinah: 8)
Sesuatu yang paling mulia dan agung didunia adalah keridhaan Allah kepada seorang hamba. Apabila Allah telah meridhai seorang hamba maka Dia akan menjadikanya hidup bahagia, meridhainya dan meneguhkan hatinya diatas jalan yang lurus. Allah juga akan memudahkan kepadanya kebaikan dimanapun berada, kapanpun dan kemanapun ia menuju. Allah meridhai-nya ketika di dunia dan setelah ia meninggalkan dunia.
Ahlul iman memiliki rasa aman yang sempurna
Allah Ta'ala berfirman:“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An'am: 82)
Allah memberitahukan kepada kita bahwa barang siapa yang diberi taufik untuk ikhlas dan tidak syirik maka berarti ia telah mendapatkan dua faedah yaitu rasa aman yang sempurna dan hidayah di dunia dan akhirat. Ada sebagian penafsiran yang menjelaskan bahwa yang dimaksud rasa aman adalah ketika di dunia, ada pula yang menaf-sirkan dengan rasa aman di akhirat. Namun yang jelas bila tauhid seorang hamba telah sempurna maka dia tidak akan takut dengan suatu apapun kecuali hanya kepada Allah.
Diantara buah iman adalah keteguhan hati
Firman Allah dalam surat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)
Di antara musibah yang sangat besar adalah berbolak baliknya hati dari ketaatan kepada Allah. Akan tetapi ahlul iman adalah orang-orang yang diberi keteguhan dan keyakinan yang mantap sehingga fitnah apapun tidak akan berdampak negatif kepada mereka, ujian seberat apapun tidak akan menggoyahkan mereka, sebab mereka berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh.
Hidayah dan rahmat bagi orang yang beriman
Allah ber firman: “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi pe-tunjuk kepada hatinya.” (At-Taghabun: 11)
Petunjuk dan hidayah Allah adalah sempurna, dalam segala kondisi dan urusan, hidayah yang tak teriringi oleh kesesatan.
Nikmatnya ketaatan dan manis-nya bermunajat
Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda, artinya: ”Telah merasakan nikmat iman orang yang rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR Muslim).
Rasulullah memberitahukan bahwa iman memiliki rasa nikmat, maka buah dari keridhaan adalah mencicipi nikmatnya iman. Ibnul qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin berkata: “Hadits ini adalah landasan bagi kedudukan-kedudukan dalam agama, ia mengandung sikap ridha terhadap rubbubiyah dan uluhiyyah Allah Ta'ala, ridha kepada rasul dan tunduk kepadanya, ridha dan berserah diri kepada agamaNya. Barang siapa yang terkumpul dalam dirinya empat perkara diatas maka ia adalah as-shiddiq (benar imannya), kami memohon semoga Allah Yang Maha Agung berkenan menjadikan kita orang-orang yang merasakan nikmatnya bermunajat, manisnya iman dan ketaatan.
Mendapatkan pembelaan dan keselamatan dari Allah
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah membela oarang-orang yang telah beriman.” (Al-Hajj: 38)
As-Sa’diy berkata:”Ini adalah pemberitahuan, janji dan kabar gembira bagi orang-orang mukmin, bahwasanya Allah membela mereka -karena iman mereka- dari kejahatan orang-orang kafir, sikap was-was, kejahatn jiwa dan amal-amal yang buruk. Dia juga meringankan kesulitan-kesulitan mereka dengan seringan-ringannya, dan pembelaan ini menurut kadar iman masing-masing.
Ahlul iman bila melakukan ketaatan maka akan dimudahkan untuk mela-kukakan bentuk ketaatan yang lain
Hal ini disebabkan karena Allah melapangkan dadanya dan memudah-kan perkaranya sehingga merasa mudah dan ringan (karena taufik dari Allah) dalam menjalankan amal shalih yang lain, maka akan terus bertambah amal seorang mukmin.
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaq-wa,dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al-Lail 5-7)
Juga firman Nya yang lain:“Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.” (Asy- Syura: 23)
Iman akan menghidupkan hati seorang hamba
Barang siapa beriman kepada Allah maka ia akan selalu mengingatNya, hati dan fikirannya terfokus secara kuat terhadap akhirat. Setiap kali muncul ketaatan ia bisa merasakan akibat-akibatnya yang mulia pada hari kiamat, ketika muncul rasa malas dalam mengerjakan shalat misalnya maka ia langsung ingat akan pahala dan buahnya di alam kubur maupun akhirat. Sehingga akhirnya terpacu untuk memperbaiki diri dan memperbanyak ibadah, demikianlah kondisi hati yang hidup dan berisikan keimanan.
Malaikat memohonkan ampun bagi orang mukmin
Firman Allah, artinya: “(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malai-kat yang berada di sekililingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepadaNya serta memintakan ampun ba-gi orang-orang yang beriman.” (Ghafir: 7)
Syetan Tidak Akan menguasai Orang-orang Mukmin
Firman Allah, artinya: “Sesungguh-nya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan ber-tawakkal kepada Rabbnya.” (An-Nahl: 99)
Allah memberitakan dalam kitab-Nya bahwa sebab yang paling besar untuk melindungi kejahatan syetan adalah dengan berlindung kepadaNya dan Dia juga menjelaskan bahwa ada sebab lain yang paling kuat untuk melawannya yaitu membentengi diri dengan iman dan tawakkal.
Penutup
Setelah kita mengetahui buah iman dan keutamaan-keutamaanya maka selayaknya bagi kita yang hidup di zaman ini untuk senantiasa menjaga aqidah, iman dan agama kita. Hendaknya kita senantiasa menjaga diri agar tidak melenceng dari rel agama tanpa kita menyadarinya. s*t*n dari golongan jin maupun manusia memiliki banyak cara, taktik dan strategi yang samar yang hampir-hampir kita tidak dapat mendeteksinya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa di akhir zaman ada orang yang di pagi hari ia mukmin namun di sore hari ia telah kafir demikian pula sebaliknya. Selain itu juga banyak terjadi kerancuan sehingga mengaburkan batasan-batasan antara keimanan dan kekufuran yang mengakibatkan banyak orang terkecoh. Namun bagi orang yang memiliki kesempurnaan iman dan terbebas dari noda syirik maka baginya rasa aman dan hidayah yang sempurna di dunia dan akherat. Dia meraih semua keutamaan iman yang begitu besar, maka wajib bagi setiap muslim agar senantiasa memikirkan bagaimana menambah iman dan amal shalih untuk mendapatkan rasa aman dan hidayah sepanjang masa.
Disarikan dari buletin Darul Wathan “tsamaratul iman”, Abdur Rahman Al-Yahya (Izzudin Karimi)
Kecintaan Allah kepada ahlul iman
Firman Allah:“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan me-rekapun mencintaiNya.” (Al-Maidah: 54)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iman tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang ia cintai dan dipilih dari kalangan manusia.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam bersabda, artinya: ”Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak dicintai, dan Dia tidak memberikan iman kecuali kepada orang yang Dia cintai. ”(HR al Hakim dari Ibnu Mas’ud).
Keridhaan Allah kepada ahlul iman
Allah Berfirman Tentang Orang –Orang Mukmin :“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya.Yang demiki-an itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al-Bayyinah: 8)
Sesuatu yang paling mulia dan agung didunia adalah keridhaan Allah kepada seorang hamba. Apabila Allah telah meridhai seorang hamba maka Dia akan menjadikanya hidup bahagia, meridhainya dan meneguhkan hatinya diatas jalan yang lurus. Allah juga akan memudahkan kepadanya kebaikan dimanapun berada, kapanpun dan kemanapun ia menuju. Allah meridhai-nya ketika di dunia dan setelah ia meninggalkan dunia.
Ahlul iman memiliki rasa aman yang sempurna
Allah Ta'ala berfirman:“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An'am: 82)
Allah memberitahukan kepada kita bahwa barang siapa yang diberi taufik untuk ikhlas dan tidak syirik maka berarti ia telah mendapatkan dua faedah yaitu rasa aman yang sempurna dan hidayah di dunia dan akhirat. Ada sebagian penafsiran yang menjelaskan bahwa yang dimaksud rasa aman adalah ketika di dunia, ada pula yang menaf-sirkan dengan rasa aman di akhirat. Namun yang jelas bila tauhid seorang hamba telah sempurna maka dia tidak akan takut dengan suatu apapun kecuali hanya kepada Allah.
Diantara buah iman adalah keteguhan hati
Firman Allah dalam surat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27)
Di antara musibah yang sangat besar adalah berbolak baliknya hati dari ketaatan kepada Allah. Akan tetapi ahlul iman adalah orang-orang yang diberi keteguhan dan keyakinan yang mantap sehingga fitnah apapun tidak akan berdampak negatif kepada mereka, ujian seberat apapun tidak akan menggoyahkan mereka, sebab mereka berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh.
Hidayah dan rahmat bagi orang yang beriman
Allah ber firman: “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi pe-tunjuk kepada hatinya.” (At-Taghabun: 11)
Petunjuk dan hidayah Allah adalah sempurna, dalam segala kondisi dan urusan, hidayah yang tak teriringi oleh kesesatan.
Nikmatnya ketaatan dan manis-nya bermunajat
Nabi Shallallaahu alaihi wasallam bersabda, artinya: ”Telah merasakan nikmat iman orang yang rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Rasul.” (HR Muslim).
Rasulullah memberitahukan bahwa iman memiliki rasa nikmat, maka buah dari keridhaan adalah mencicipi nikmatnya iman. Ibnul qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin berkata: “Hadits ini adalah landasan bagi kedudukan-kedudukan dalam agama, ia mengandung sikap ridha terhadap rubbubiyah dan uluhiyyah Allah Ta'ala, ridha kepada rasul dan tunduk kepadanya, ridha dan berserah diri kepada agamaNya. Barang siapa yang terkumpul dalam dirinya empat perkara diatas maka ia adalah as-shiddiq (benar imannya), kami memohon semoga Allah Yang Maha Agung berkenan menjadikan kita orang-orang yang merasakan nikmatnya bermunajat, manisnya iman dan ketaatan.
Mendapatkan pembelaan dan keselamatan dari Allah
Firman Allah: “Sesungguhnya Allah membela oarang-orang yang telah beriman.” (Al-Hajj: 38)
As-Sa’diy berkata:”Ini adalah pemberitahuan, janji dan kabar gembira bagi orang-orang mukmin, bahwasanya Allah membela mereka -karena iman mereka- dari kejahatan orang-orang kafir, sikap was-was, kejahatn jiwa dan amal-amal yang buruk. Dia juga meringankan kesulitan-kesulitan mereka dengan seringan-ringannya, dan pembelaan ini menurut kadar iman masing-masing.
Ahlul iman bila melakukan ketaatan maka akan dimudahkan untuk mela-kukakan bentuk ketaatan yang lain
Hal ini disebabkan karena Allah melapangkan dadanya dan memudah-kan perkaranya sehingga merasa mudah dan ringan (karena taufik dari Allah) dalam menjalankan amal shalih yang lain, maka akan terus bertambah amal seorang mukmin.
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaq-wa,dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al-Lail 5-7)
Juga firman Nya yang lain:“Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.” (Asy- Syura: 23)
Iman akan menghidupkan hati seorang hamba
Barang siapa beriman kepada Allah maka ia akan selalu mengingatNya, hati dan fikirannya terfokus secara kuat terhadap akhirat. Setiap kali muncul ketaatan ia bisa merasakan akibat-akibatnya yang mulia pada hari kiamat, ketika muncul rasa malas dalam mengerjakan shalat misalnya maka ia langsung ingat akan pahala dan buahnya di alam kubur maupun akhirat. Sehingga akhirnya terpacu untuk memperbaiki diri dan memperbanyak ibadah, demikianlah kondisi hati yang hidup dan berisikan keimanan.
Malaikat memohonkan ampun bagi orang mukmin
Firman Allah, artinya: “(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malai-kat yang berada di sekililingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepadaNya serta memintakan ampun ba-gi orang-orang yang beriman.” (Ghafir: 7)
Syetan Tidak Akan menguasai Orang-orang Mukmin
Firman Allah, artinya: “Sesungguh-nya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan ber-tawakkal kepada Rabbnya.” (An-Nahl: 99)
Allah memberitakan dalam kitab-Nya bahwa sebab yang paling besar untuk melindungi kejahatan syetan adalah dengan berlindung kepadaNya dan Dia juga menjelaskan bahwa ada sebab lain yang paling kuat untuk melawannya yaitu membentengi diri dengan iman dan tawakkal.
Penutup
Setelah kita mengetahui buah iman dan keutamaan-keutamaanya maka selayaknya bagi kita yang hidup di zaman ini untuk senantiasa menjaga aqidah, iman dan agama kita. Hendaknya kita senantiasa menjaga diri agar tidak melenceng dari rel agama tanpa kita menyadarinya. s*t*n dari golongan jin maupun manusia memiliki banyak cara, taktik dan strategi yang samar yang hampir-hampir kita tidak dapat mendeteksinya.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa di akhir zaman ada orang yang di pagi hari ia mukmin namun di sore hari ia telah kafir demikian pula sebaliknya. Selain itu juga banyak terjadi kerancuan sehingga mengaburkan batasan-batasan antara keimanan dan kekufuran yang mengakibatkan banyak orang terkecoh. Namun bagi orang yang memiliki kesempurnaan iman dan terbebas dari noda syirik maka baginya rasa aman dan hidayah yang sempurna di dunia dan akherat. Dia meraih semua keutamaan iman yang begitu besar, maka wajib bagi setiap muslim agar senantiasa memikirkan bagaimana menambah iman dan amal shalih untuk mendapatkan rasa aman dan hidayah sepanjang masa.
Disarikan dari buletin Darul Wathan “tsamaratul iman”, Abdur Rahman Al-Yahya (Izzudin Karimi)
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
hal yang membatalkan keimanan
Setelah kita memahami makna syahadat, kita juga harus tahu apa yang membatalkan persaksian itu, hal ini sangat penting dan harus diketahui oleh setiap orang yang mengucapkan syahadatain. Karena kita mendapati banyak orang dalam masyarakat kita yang mengucapkan syahadatain itu, namun ia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan syahadat tersebut, baik itu karena tidak tahu atau pun disengaja.
Di sini kami akan menjelaskan sepuluh hal yang membatalkan keislaman seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sedikit penjelasannya. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
A. Syirik dalam beribadah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni segala dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya." (Q.S. An-Nisa': 48).
begitu pula firman-Nya:
"Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah. Maka Allah telah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu satu penolong pun." (Q.S. Al-Maidah 72).
Allah menyebut masalah syirik, karena hal itu adalah dosa terbesar yang memungkinkan dilakukan oleh manusia, sementara tidak ada dosa yang lebih besar dari syirik sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, disertai pernyataan Allah bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik.
Syirik ada dua macam, yaitu:
1- Syirik Besar (Syirik Akbar)
Syirik ini apabila dilakukan oleh seorang muslim maka dia dinyatakan keluar dari Islam dan diazab oleh Allah selama-lamanya dalam api neraka. Namun jika dia bertaubat sebelum meninggal, maka Allah akan mengampuninya.
Contok syirik ini adalah: Penyembahan patung, hewan, bebatuan, pepohonan yang sering dilakukan kalangan animisme dan dinamisme atau bentuk penyembahan lain yang kita dapati dalam masyarakat kita.
2- Syirik Kecil (Syirik Ashghar)
Walaupun dinamakan Syirik Kecil, tetapi itu merupakan salah satu dosa besar, meski pelakunya tidak dinyatakan keluar dari agama Islam.
Contoh Syirik ini adalah: Bersumpah dengan nama selain Allah, baik nama Rasul maupun malaikat atau yang lainnya. Semisal: "Demi Nabi Muhammad, aku akan berbuat ini."
Contoh lain adalah Riya'. Riya' adalah berbuat sesuatu agar dilihat oleh orang dengan tujuan supaya mendapatkan pujian, sanjungan atau hadiah. Perbuatan ini sepertinya sepele tetapi ini adalah bagian dari syirik kecil yang merupakan dosa besar, sehingga Rasulullah SAW. banyak memberi peringatan dalam masalah ini. Maka kita harus benar-benar waspada terhadap masalah syirik ini, terutama Syirik Akbar karena perbuatan itu dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam.
B. Menjadikan makhluk sebagai perantara antara dia dan Allah SWT. dengan melakukan amalan-amalan seperti berdoa, meminta syafaat juga minta ampunan melalui media perantara yang mungkin berbentuk kuburan wali, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, benda-benda pusaka semacam keris atau tombak.
Ini adalah kekufuran yang banyak melanda kaum muslimin dan sangat berbahaya, karena pelaku perbuatan tersebut berkedok Islam, padahal di dalamnya sangat jelas terdapat kekufuran. Misalnya ketika dia tertimpa musibah dia meminta kepada seorang wali yang sudah meninggal agar dilepaskan dari musibah, dengan anggapan bahwa wali itu akan lebih diterima kalau dia yang meminta kepada Allah.
Si pelaku melakukan itu tidak lain karena tidak mengenal ajaran Islam yang benar. Dalih yang mereka pakai dalam melakukan hal itu adalah dengan permisalan, kalau seorang meminta sesuatu kepada seorang raja tentu ia tidak akan langsung meminta kepadanya, karena dia harus menyampaikan permintaannya melalui "pembisik" atau orang dekatnya yang kemudian akan menyampaikan permintaan itu kepada sang raja.
Dari sini kita bisa simpulkan dari alasan mereka bahwa Allah Ta'ala disetarakan dengan makhluk yang lemah yang dalam permisalan mereka adalah seorang raja.
Kita tidak bisa samakan antara makhluk lemah yang banyak kekurangan dengan Allah Yang maha sempurna dan Yang mengetahui segala sesuatu. Karena bagaimanapun juga, makhluk penuh dengan keterbatasan, walaupun dia seorang raja, karena dia tidak tahu kebutuhan rakyatnya dan ketidak-puasan yang ada di dalam hati mereka. Oleh karena itu, seorang raja tentu membutuhkan orang lain yang membantunya. Hal ini sangat berlainan dengan keberadaan Allah Yang maha mengetahui apa yang diminta oleh manusia dan apa yang berada di dalam hati mereka.
Siapa saja yang memperhatikan dan menelaah Al-Qur'an tentu ia akan mendapati pernyataan Allah bahwa para pelaku Syirik Akbar ini telah keluar dari Islam. Firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara meraka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidak bergun syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkannya memperoleh syafa'at itu." (Q.S. Saba 22-23).
Firman-Nya: "Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada tuhan mereka. Siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya? Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." (Q.S. Saba 56-57).
Firman-Nya: "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata:) "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya." (Q.S. Az-Zumar 3).
Masih banyak lagi ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengikhlaskan diri dalam beribadah. Ketiga ayat di atas membantah pendapat mereka bahwa tidaklah mereka meminta kepada wali atau orang shaleh karena ia kotor, maka agar permintaannya dikabulkan Allah, mereka jadikanlah para wali dan orang-orang shaleh itu sebagai perantara. Sebagaimana disebutkan dalam ayat ketiga di atas, bahwa mereka tidaklah menyembah wali atau orang-orang shaleh tersebut, namun yang mereka maksudkan adalah agar para wali tersebut mendekatkan mereka kepada Allah.
C. Tidak mengkafirkan kelompok musyrikin, ragu-ragu dengan kekafiran mereka atau membenarkan madzhab mereka. Sikap mengkafirkan orang musyrik harus dimiliki oleh setiap muslim karena Allah Ta'ala telah mengkafirkan mereka, sebagaimana disebutkan dalam banyak firman-Nya, dan memerintahkan untuk memerangi mereka karena kebohongan mereka dengan menjadikan makhluk Allah sebagai sekutu-Nya. Maka jika ia tidak mengkafirkan mereka berarti menentang dengan perintah Allah.
Begitu juga orang yang membenarkan madzhab mereka, telah keluar dari Islam berdasarkan kesepakatan ulama' tetapi alangkah menyedihkan bahwa ternyata pendapat yang salah seperti ini tersebar pada masyarakat kita, seperti pendapat bahwa semua agama adalah benar. Pendapat-pendapat yang semacam ini banyak diserukan oleh orang-orang yang otaknya telah teracuni pemikiran yang mereka bawa dari negeri barat, yang lebih ironis lagi hal ini diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat atas.
Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan "Laa ilaaha illallah" dan mengingkari sesuatu yang disembah selain Allah maka telah haram harta dan darahnya dan perhitungannya kembalikan kepada Allah."
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa harta dan darah seseorang adalah menjadi haram hukumnya dengan cukup berkata "Laa ilaaha illallah" namun dengan syarat harus mengingkari semua sesembahan selain Allah, tetapi jika tetap meyakini kebenaran pendapat seorang musyrik dan tidak mengkafirkan mereka, maka darah dan hartanya halal, karena dia telah menyalahi agama yang dibawa Nabi Ibrahim alaihis salam, di mana beliau adalah contoh dan suri tauladan bagi kita kaum muslimin sebagaimana firman-Nya yang mengisahkan tentang sikap dan pendirian beliau terhadap orang-orang musyrik.
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (Q.S. Al-Mumtahanah 4).
Dan firman-Nya: "Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berperang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah 256).
Jadi dari dua ayat di atas, sangatlah jelas bagaimana seharusnya seorang mu'min bersikap terhadap orang-orang kafir.
Wallahu a'lam.
Di sini kami akan menjelaskan sepuluh hal yang membatalkan keislaman seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sedikit penjelasannya. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
A. Syirik dalam beribadah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni segala dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya." (Q.S. An-Nisa': 48).
begitu pula firman-Nya:
"Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah. Maka Allah telah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu satu penolong pun." (Q.S. Al-Maidah 72).
Allah menyebut masalah syirik, karena hal itu adalah dosa terbesar yang memungkinkan dilakukan oleh manusia, sementara tidak ada dosa yang lebih besar dari syirik sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, disertai pernyataan Allah bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik.
Syirik ada dua macam, yaitu:
1- Syirik Besar (Syirik Akbar)
Syirik ini apabila dilakukan oleh seorang muslim maka dia dinyatakan keluar dari Islam dan diazab oleh Allah selama-lamanya dalam api neraka. Namun jika dia bertaubat sebelum meninggal, maka Allah akan mengampuninya.
Contok syirik ini adalah: Penyembahan patung, hewan, bebatuan, pepohonan yang sering dilakukan kalangan animisme dan dinamisme atau bentuk penyembahan lain yang kita dapati dalam masyarakat kita.
2- Syirik Kecil (Syirik Ashghar)
Walaupun dinamakan Syirik Kecil, tetapi itu merupakan salah satu dosa besar, meski pelakunya tidak dinyatakan keluar dari agama Islam.
Contoh Syirik ini adalah: Bersumpah dengan nama selain Allah, baik nama Rasul maupun malaikat atau yang lainnya. Semisal: "Demi Nabi Muhammad, aku akan berbuat ini."
Contoh lain adalah Riya'. Riya' adalah berbuat sesuatu agar dilihat oleh orang dengan tujuan supaya mendapatkan pujian, sanjungan atau hadiah. Perbuatan ini sepertinya sepele tetapi ini adalah bagian dari syirik kecil yang merupakan dosa besar, sehingga Rasulullah SAW. banyak memberi peringatan dalam masalah ini. Maka kita harus benar-benar waspada terhadap masalah syirik ini, terutama Syirik Akbar karena perbuatan itu dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam.
B. Menjadikan makhluk sebagai perantara antara dia dan Allah SWT. dengan melakukan amalan-amalan seperti berdoa, meminta syafaat juga minta ampunan melalui media perantara yang mungkin berbentuk kuburan wali, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, benda-benda pusaka semacam keris atau tombak.
Ini adalah kekufuran yang banyak melanda kaum muslimin dan sangat berbahaya, karena pelaku perbuatan tersebut berkedok Islam, padahal di dalamnya sangat jelas terdapat kekufuran. Misalnya ketika dia tertimpa musibah dia meminta kepada seorang wali yang sudah meninggal agar dilepaskan dari musibah, dengan anggapan bahwa wali itu akan lebih diterima kalau dia yang meminta kepada Allah.
Si pelaku melakukan itu tidak lain karena tidak mengenal ajaran Islam yang benar. Dalih yang mereka pakai dalam melakukan hal itu adalah dengan permisalan, kalau seorang meminta sesuatu kepada seorang raja tentu ia tidak akan langsung meminta kepadanya, karena dia harus menyampaikan permintaannya melalui "pembisik" atau orang dekatnya yang kemudian akan menyampaikan permintaan itu kepada sang raja.
Dari sini kita bisa simpulkan dari alasan mereka bahwa Allah Ta'ala disetarakan dengan makhluk yang lemah yang dalam permisalan mereka adalah seorang raja.
Kita tidak bisa samakan antara makhluk lemah yang banyak kekurangan dengan Allah Yang maha sempurna dan Yang mengetahui segala sesuatu. Karena bagaimanapun juga, makhluk penuh dengan keterbatasan, walaupun dia seorang raja, karena dia tidak tahu kebutuhan rakyatnya dan ketidak-puasan yang ada di dalam hati mereka. Oleh karena itu, seorang raja tentu membutuhkan orang lain yang membantunya. Hal ini sangat berlainan dengan keberadaan Allah Yang maha mengetahui apa yang diminta oleh manusia dan apa yang berada di dalam hati mereka.
Siapa saja yang memperhatikan dan menelaah Al-Qur'an tentu ia akan mendapati pernyataan Allah bahwa para pelaku Syirik Akbar ini telah keluar dari Islam. Firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara meraka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidak bergun syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkannya memperoleh syafa'at itu." (Q.S. Saba 22-23).
Firman-Nya: "Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada tuhan mereka. Siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya? Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." (Q.S. Saba 56-57).
Firman-Nya: "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata:) "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya." (Q.S. Az-Zumar 3).
Masih banyak lagi ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengikhlaskan diri dalam beribadah. Ketiga ayat di atas membantah pendapat mereka bahwa tidaklah mereka meminta kepada wali atau orang shaleh karena ia kotor, maka agar permintaannya dikabulkan Allah, mereka jadikanlah para wali dan orang-orang shaleh itu sebagai perantara. Sebagaimana disebutkan dalam ayat ketiga di atas, bahwa mereka tidaklah menyembah wali atau orang-orang shaleh tersebut, namun yang mereka maksudkan adalah agar para wali tersebut mendekatkan mereka kepada Allah.
C. Tidak mengkafirkan kelompok musyrikin, ragu-ragu dengan kekafiran mereka atau membenarkan madzhab mereka. Sikap mengkafirkan orang musyrik harus dimiliki oleh setiap muslim karena Allah Ta'ala telah mengkafirkan mereka, sebagaimana disebutkan dalam banyak firman-Nya, dan memerintahkan untuk memerangi mereka karena kebohongan mereka dengan menjadikan makhluk Allah sebagai sekutu-Nya. Maka jika ia tidak mengkafirkan mereka berarti menentang dengan perintah Allah.
Begitu juga orang yang membenarkan madzhab mereka, telah keluar dari Islam berdasarkan kesepakatan ulama' tetapi alangkah menyedihkan bahwa ternyata pendapat yang salah seperti ini tersebar pada masyarakat kita, seperti pendapat bahwa semua agama adalah benar. Pendapat-pendapat yang semacam ini banyak diserukan oleh orang-orang yang otaknya telah teracuni pemikiran yang mereka bawa dari negeri barat, yang lebih ironis lagi hal ini diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat atas.
Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan "Laa ilaaha illallah" dan mengingkari sesuatu yang disembah selain Allah maka telah haram harta dan darahnya dan perhitungannya kembalikan kepada Allah."
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa harta dan darah seseorang adalah menjadi haram hukumnya dengan cukup berkata "Laa ilaaha illallah" namun dengan syarat harus mengingkari semua sesembahan selain Allah, tetapi jika tetap meyakini kebenaran pendapat seorang musyrik dan tidak mengkafirkan mereka, maka darah dan hartanya halal, karena dia telah menyalahi agama yang dibawa Nabi Ibrahim alaihis salam, di mana beliau adalah contoh dan suri tauladan bagi kita kaum muslimin sebagaimana firman-Nya yang mengisahkan tentang sikap dan pendirian beliau terhadap orang-orang musyrik.
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (Q.S. Al-Mumtahanah 4).
Dan firman-Nya: "Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berperang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah 256).
Jadi dari dua ayat di atas, sangatlah jelas bagaimana seharusnya seorang mu'min bersikap terhadap orang-orang kafir.
Wallahu a'lam.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
menumbuhkan kesadaran iman
Manusia yang diberi anugerah akal oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala, sehingga dengannya ia lebih mulia dan lebih istimewa dibanding makhluq yang lain, seharusnya mempunyai kesadaran imani yang tinggi, menyadari bahwa alam semesta beserta isi-isinya adalah ciptaan Allah dan milik-Nya semata, termasuk di dalamnya adalah manusia itu sendiri (Baca: Rububiyah Allah). Manusia harus sadar betul, bahwa dirinya adalah merupakan salah satu ciptaan Allah dan milik-Nya. Manusia tidak pernah merencanakan keberadaan dan kehidupannya di dunia ini, dan sebagaimana ketika ia telah hadir di dunia ini pun, tidak pernah merencanakan pula kematiannya. Allah sang Pencipta yang telah merencanakan semua itu.
"Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya". (Al-Mulk: 2)
Kesadaran akan kepemilikan Allah terhadap diri manusia akan melahirkan sikap yang sangat mulia, yaitu:
1. Rasa Tunduk dan Patuh kepada Allah Sang Pemilik yang Telah Menciptakannya.
Ketika seseorang mengetahui, bahwa dirinya berada dibawah kepemilikan dan kekuasaan Allah, dan menyadari, bahwa Allah menciptakan dirinya agar menjadi hamba-Nya dan menghambakan diri (beribadah) kepada-Nya semasa hidupnya, maka hidup di atas ajaran (syari`at)Nya sebagaimana petunjuk rasul-Nya, patuh dan tuduk kepada Allah Sang Pemilik adalah segala-galanya dan merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
2. Merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah Subhannahu wa Ta'ala yang Tampak Pada Dirinya dan Pada Alam Semesta.
Alam semesta dengan segala keajaiban-keajaiban yang ada padanya dan manusia yang merupakan makhluk yang sangat unik bila dibanding dengan makhluk lainnya adalah menunjukkan betapa agungnya Allah, betapa besar kekuasaan-Nya, betapa luas pengetahuan-Nya, betapa sempurnanya Dia dan betapa besar karunia-Nya. Keagungan dan kebesaran Allah yang menghiasi hati manusia akan tampak pada kelumit kedua bibirnya, seraya menyadari kenyataan ini dengan mengucapan,
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka". (Ali Imran: 191)
Dari kesadaran ini ia merasakan kerendahan dirinya, kelemahan dan kerapuhannya di hadapan Allah. Maka dari itu ia merasa, bahwa manusia semua adalah sama seperti dirinya, milik dan ciptaan Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak lebih dari itu, dan dalam pandangannya, manusia yang paling mulia adalah dia yang paling bertaqwa di hadapan Allah. Keagungan dan kebesaran Allah yang ia rasakan benar-benar telah menjadikan dirinya tawadhu' (bersikap rendah hati) terhadap sesama makhluk Allah, membuat dia merasa bersaudara, mendorongnya untuk saling menolong. Tidak terlintas sedikitpun di dalam benaknya rasa sombong terhadap orang lain, karena memang tidak ada yang pantas ia sombongkan, karena ia tahu, bahwa semua apapun kelebihan yang ada pada dirinya adalah karunia dan pemberian dari Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Bahkan lebih dari itu, ia benar-benar merasakan bahwa Allah selalu melihatnya, mengetahui perbuatannya, mendengar segala ucapannya dan mengetahui jalan fikirannya, juga kondisi batinya. Kesadaran ini pada gilirannya membawa dia kepada sikap muraqabah dan hati-hati dalam berbuat, berkata dan bertindak.
3. Rasa Syukur dan Terimakasih atas Segala Karunia yang Telah Dia Berikan Padanya.
Bagi mereka yang sadar akan kepemilikan dan kebesaran Allah serta keagungan karunia-Nya yang ia rasakan akan membuatnya sadar, bahwa tanpa karunia dari-Nya ia tidak akan hadir di muka bumi ini dan tidak akan merasakan betapa kehidupan ini adalah ni`mat dan karunia dari-Nya. Oleh karenanya, mengakui Pemberi karunia, rasa syukur dan ucapan-ucapan terima kasih kepada-Nya akan selalu tampak dalam sikap dan ucapannya, seperti yang tergambar pada sosok hamba paripurna, Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam,
"Ya Allah, apapun kenikmatan yang ada padaku pada pagi ini, atau ada pada siapu pun di antara manusia, maka itu semua berasal dari-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu. Maka hanya bagi-Mu lah segala pujian dan segala kesyukuran"
" Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku (Pencipta, Pemilik dan Pengaturku), tiada sembahah yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah yang mencip-takanku, dan akupun menjadi budak-Mu, dan aku tetap berpegang teguh kepada janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang telah aku lakukan; aku mengakui semua karunia-Mu kepadaku, dan aku menga-kui pula dosa-dosaku, maka ampunialah aku. Sesungguhnya tiada yang mengam-puni dosa selain Engkau".
Do`a dan dzikir yang beliau ucap-kan itu menunjukkan betapa tingginya kesadaran Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam akan kerububiyahan Allah Subhannahu wa Ta'ala atas dirinya dan atas alam semesta ini (kedua do’a di atas adalah di antara sebagian dzikir pagi dan sore yang warid).
Sebaliknya, ketika manusia tidak sadar akan kepemilikan Allah atas alam semesta dan dirinya, maka lahir sikap dan sifat yang sangat tercela, seperti: sombong, angkuh dan kufur. Dari sinilah lahir berbagai macam penyakit ruhani dan penyakit-penyakit sosial yang sangat berbahaya.
Tidakkah orang yang angkuh dan sombong itu merasa dirinya adalah segala-galanya, tidak ada yang menandinginya, dan memandang orang lain rendah! Lalu dari situ ia berkeinginan agar orang lain menyanjung dan tunduk kepadanya?! Jangan engkau berharap ia tunduk dan patuh kepada manusia seperti anda, kepada Allah sang Pemilik dan Pencipta saja ia tidak mengakui dan tidak menyadarinya!
Lihatlah sosok manusia angkuh nan sombong yang diabadikan kisah-nya oleh Allah di dalam al-Qur'an untuk dijadikan sebagai `ibroh dan pelajaran. Dialah Fir`aun yang memproklamirkan diri sebagai tuhan dan memaksa rak-yatnya agar menyembah kepadanya. Fir`aun benar-benar telah melampaui batas. Dia tidak sadar, bahwa dirinya adalah milik dan ciptaan Allah yang sangat terbatas dan lemah, tidak dapat menghindarkan dirinya dari kematian! Kealpaan dari kesadaran akan kepemilikan Allah dan kekuasaan-Nya dari dirinya telah menyeretnya kepada tindakan merampas hak-hak prerogatif Allah Subhannahu wa Ta'ala. Ia buat atauran-aturan, lalu ia paksa manusia yang tidak berdaya untuk mematuhinya, termasuk keharusan menyembah dan mengagung-agungkannya. Dan jika mereka tidak mau tunduk, maka pedang terhunus selalu siap memenggal leher kepalanya.
Sesungguhnya banyak sekali manusia, kecuali orang yang dilindungi Allah, yang tidak menyadari kenyataan ini, berjalan di permukaan bumi tidak merasa dimiliki Allah, tidak sadar bahwa Allah mengetahui dan melihat seluruh apa yang ia lakukan, dan akan membalasnya nanti di akhirat. Akibat-nya, ia diperbudak oleh hawa nafsu, senang melakukan kemaksiatan dan perbuatan dosa, meninggalkan shalat, enggan bertobat dan berbuat kebajikan.
Untuk itu, sadarlah wahai manusia! Sesungguhnya jasad kita amatlah rapuh bila dibandingkan dengan makhluk lainnya, seperti batu, tanah dan lain-lain. Keistemewaan kita dari makhluk yang lain hanyah terletak pada akal kita. Akal kita pun sangat terbatas kemampuannya bila dibandingkan dengan kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta'ala. Maka, jangan anda tertipu dengan kecerdasan akal yang ada pada diri anda. Jangan sekali-kali anda menjadi congkak, sombong dan keras kepala karena akal dan nafsu anda, lalu tidak beriman kepada Hari Kiamat, karena anda pandang tidak masuk akal anda, sebagaimana teguran Allah,
"Dan apakah manusia tidak memperhatikan, bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), lalu tiba-tiba ia menjadi penentang yang nyata!". (Yasin: 77)
Mereka adalah manusia-manusia yang lupa akan asal kejadiannya, dan lupa pula ke mana akhir dari kehidupannya. Mereka tidak percaya kalau Allah akan membangkitkan dan menghidupkannya lagi, sebab menurut persangkaan dan akal tidak mungkin tulang belulang yang telah lebur akan hidup lagi, mustahil! Dengan congkaknya mereka menyanggah Allah, sebagaimana telah difirmankan:
"Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan ia lupa pada kejadian dirinya; ia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?". (Yasin: 78)
Maka Allah pun memberikan jawaban yang telak untuk mereka, “Katakanlah, ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk”. (QS. 36:79)
Maka kini giliran manusia yang harus menjawab pertanyaan dari Allah,
"Dan bukankah Rabb yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu?
Kalau manusia masih belum mau tahu juga, maka Allah telah memberikan jawaban yang begitu gamblang,
“Benar, Dia berkuasa dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui” (QS. 36: 81)
Tunduk dan patuhlah kepada Allah yang telah memberikan kehidupan kepada kita, berimanlah kepada apa yang ia firmankan dan kepada apa yang disabdakan oleh Rasul-Nya. Ingatlah, usia kita bukan makin bertambah, melainkan makin berkurang; dan dengan begitu kematian segera akan menjemput untuk dihadapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa Pemilik segala-galanya. Dan kalau ada manusia yang tidak mau tunduk kepada Allah, maka suatu saat dia pasti akan tunduk terhadap salah satu ciptaan Allah, maut! Baik dengan terpaksa maupun sukarela. Jika seluruh manusia tunduk terhadap maut, padahal maut tunduk terhadap Allah, maka apa tidak sepantasnya manusia itu lebih tunduk lagi kepada Penguasa maut?
Bukalah lembaran sejarah hidup-mu kembali, menolehlah ke belakang, lalu tanyakan, apa yang telah saya lakukan untuk hari kemudian?
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendak-lah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhi-rat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. 59:18)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?” (QS 57:16)
Al Fudhail ibnu 'Iyadh, ketika mendengar seseorang membaca ayat ini dia berkata, "Benar wahai Rabb, kini sudah saatnya (untuk tunduk)!”. Beliau lalu bertaubat dari pekerjaannya sebagai pembegal, lalu Allah mengaruniakan kepada beliau ilmu. Marilah masing masing kita menjawabnya! Wallahu a'lam bish shawab.
(Musthafa Aini)
"Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya". (Al-Mulk: 2)
Kesadaran akan kepemilikan Allah terhadap diri manusia akan melahirkan sikap yang sangat mulia, yaitu:
1. Rasa Tunduk dan Patuh kepada Allah Sang Pemilik yang Telah Menciptakannya.
Ketika seseorang mengetahui, bahwa dirinya berada dibawah kepemilikan dan kekuasaan Allah, dan menyadari, bahwa Allah menciptakan dirinya agar menjadi hamba-Nya dan menghambakan diri (beribadah) kepada-Nya semasa hidupnya, maka hidup di atas ajaran (syari`at)Nya sebagaimana petunjuk rasul-Nya, patuh dan tuduk kepada Allah Sang Pemilik adalah segala-galanya dan merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar.
2. Merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah Subhannahu wa Ta'ala yang Tampak Pada Dirinya dan Pada Alam Semesta.
Alam semesta dengan segala keajaiban-keajaiban yang ada padanya dan manusia yang merupakan makhluk yang sangat unik bila dibanding dengan makhluk lainnya adalah menunjukkan betapa agungnya Allah, betapa besar kekuasaan-Nya, betapa luas pengetahuan-Nya, betapa sempurnanya Dia dan betapa besar karunia-Nya. Keagungan dan kebesaran Allah yang menghiasi hati manusia akan tampak pada kelumit kedua bibirnya, seraya menyadari kenyataan ini dengan mengucapan,
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini semua dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka". (Ali Imran: 191)
Dari kesadaran ini ia merasakan kerendahan dirinya, kelemahan dan kerapuhannya di hadapan Allah. Maka dari itu ia merasa, bahwa manusia semua adalah sama seperti dirinya, milik dan ciptaan Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak lebih dari itu, dan dalam pandangannya, manusia yang paling mulia adalah dia yang paling bertaqwa di hadapan Allah. Keagungan dan kebesaran Allah yang ia rasakan benar-benar telah menjadikan dirinya tawadhu' (bersikap rendah hati) terhadap sesama makhluk Allah, membuat dia merasa bersaudara, mendorongnya untuk saling menolong. Tidak terlintas sedikitpun di dalam benaknya rasa sombong terhadap orang lain, karena memang tidak ada yang pantas ia sombongkan, karena ia tahu, bahwa semua apapun kelebihan yang ada pada dirinya adalah karunia dan pemberian dari Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Bahkan lebih dari itu, ia benar-benar merasakan bahwa Allah selalu melihatnya, mengetahui perbuatannya, mendengar segala ucapannya dan mengetahui jalan fikirannya, juga kondisi batinya. Kesadaran ini pada gilirannya membawa dia kepada sikap muraqabah dan hati-hati dalam berbuat, berkata dan bertindak.
3. Rasa Syukur dan Terimakasih atas Segala Karunia yang Telah Dia Berikan Padanya.
Bagi mereka yang sadar akan kepemilikan dan kebesaran Allah serta keagungan karunia-Nya yang ia rasakan akan membuatnya sadar, bahwa tanpa karunia dari-Nya ia tidak akan hadir di muka bumi ini dan tidak akan merasakan betapa kehidupan ini adalah ni`mat dan karunia dari-Nya. Oleh karenanya, mengakui Pemberi karunia, rasa syukur dan ucapan-ucapan terima kasih kepada-Nya akan selalu tampak dalam sikap dan ucapannya, seperti yang tergambar pada sosok hamba paripurna, Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam,
"Ya Allah, apapun kenikmatan yang ada padaku pada pagi ini, atau ada pada siapu pun di antara manusia, maka itu semua berasal dari-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu. Maka hanya bagi-Mu lah segala pujian dan segala kesyukuran"
" Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku (Pencipta, Pemilik dan Pengaturku), tiada sembahah yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah yang mencip-takanku, dan akupun menjadi budak-Mu, dan aku tetap berpegang teguh kepada janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang telah aku lakukan; aku mengakui semua karunia-Mu kepadaku, dan aku menga-kui pula dosa-dosaku, maka ampunialah aku. Sesungguhnya tiada yang mengam-puni dosa selain Engkau".
Do`a dan dzikir yang beliau ucap-kan itu menunjukkan betapa tingginya kesadaran Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam akan kerububiyahan Allah Subhannahu wa Ta'ala atas dirinya dan atas alam semesta ini (kedua do’a di atas adalah di antara sebagian dzikir pagi dan sore yang warid).
Sebaliknya, ketika manusia tidak sadar akan kepemilikan Allah atas alam semesta dan dirinya, maka lahir sikap dan sifat yang sangat tercela, seperti: sombong, angkuh dan kufur. Dari sinilah lahir berbagai macam penyakit ruhani dan penyakit-penyakit sosial yang sangat berbahaya.
Tidakkah orang yang angkuh dan sombong itu merasa dirinya adalah segala-galanya, tidak ada yang menandinginya, dan memandang orang lain rendah! Lalu dari situ ia berkeinginan agar orang lain menyanjung dan tunduk kepadanya?! Jangan engkau berharap ia tunduk dan patuh kepada manusia seperti anda, kepada Allah sang Pemilik dan Pencipta saja ia tidak mengakui dan tidak menyadarinya!
Lihatlah sosok manusia angkuh nan sombong yang diabadikan kisah-nya oleh Allah di dalam al-Qur'an untuk dijadikan sebagai `ibroh dan pelajaran. Dialah Fir`aun yang memproklamirkan diri sebagai tuhan dan memaksa rak-yatnya agar menyembah kepadanya. Fir`aun benar-benar telah melampaui batas. Dia tidak sadar, bahwa dirinya adalah milik dan ciptaan Allah yang sangat terbatas dan lemah, tidak dapat menghindarkan dirinya dari kematian! Kealpaan dari kesadaran akan kepemilikan Allah dan kekuasaan-Nya dari dirinya telah menyeretnya kepada tindakan merampas hak-hak prerogatif Allah Subhannahu wa Ta'ala. Ia buat atauran-aturan, lalu ia paksa manusia yang tidak berdaya untuk mematuhinya, termasuk keharusan menyembah dan mengagung-agungkannya. Dan jika mereka tidak mau tunduk, maka pedang terhunus selalu siap memenggal leher kepalanya.
Sesungguhnya banyak sekali manusia, kecuali orang yang dilindungi Allah, yang tidak menyadari kenyataan ini, berjalan di permukaan bumi tidak merasa dimiliki Allah, tidak sadar bahwa Allah mengetahui dan melihat seluruh apa yang ia lakukan, dan akan membalasnya nanti di akhirat. Akibat-nya, ia diperbudak oleh hawa nafsu, senang melakukan kemaksiatan dan perbuatan dosa, meninggalkan shalat, enggan bertobat dan berbuat kebajikan.
Untuk itu, sadarlah wahai manusia! Sesungguhnya jasad kita amatlah rapuh bila dibandingkan dengan makhluk lainnya, seperti batu, tanah dan lain-lain. Keistemewaan kita dari makhluk yang lain hanyah terletak pada akal kita. Akal kita pun sangat terbatas kemampuannya bila dibandingkan dengan kekuasaan Allah Subhannahu wa Ta'ala. Maka, jangan anda tertipu dengan kecerdasan akal yang ada pada diri anda. Jangan sekali-kali anda menjadi congkak, sombong dan keras kepala karena akal dan nafsu anda, lalu tidak beriman kepada Hari Kiamat, karena anda pandang tidak masuk akal anda, sebagaimana teguran Allah,
"Dan apakah manusia tidak memperhatikan, bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), lalu tiba-tiba ia menjadi penentang yang nyata!". (Yasin: 77)
Mereka adalah manusia-manusia yang lupa akan asal kejadiannya, dan lupa pula ke mana akhir dari kehidupannya. Mereka tidak percaya kalau Allah akan membangkitkan dan menghidupkannya lagi, sebab menurut persangkaan dan akal tidak mungkin tulang belulang yang telah lebur akan hidup lagi, mustahil! Dengan congkaknya mereka menyanggah Allah, sebagaimana telah difirmankan:
"Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan ia lupa pada kejadian dirinya; ia berkata, "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?". (Yasin: 78)
Maka Allah pun memberikan jawaban yang telak untuk mereka, “Katakanlah, ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk”. (QS. 36:79)
Maka kini giliran manusia yang harus menjawab pertanyaan dari Allah,
"Dan bukankah Rabb yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu?
Kalau manusia masih belum mau tahu juga, maka Allah telah memberikan jawaban yang begitu gamblang,
“Benar, Dia berkuasa dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui” (QS. 36: 81)
Tunduk dan patuhlah kepada Allah yang telah memberikan kehidupan kepada kita, berimanlah kepada apa yang ia firmankan dan kepada apa yang disabdakan oleh Rasul-Nya. Ingatlah, usia kita bukan makin bertambah, melainkan makin berkurang; dan dengan begitu kematian segera akan menjemput untuk dihadapkan kepada Allah Yang Maha Kuasa Pemilik segala-galanya. Dan kalau ada manusia yang tidak mau tunduk kepada Allah, maka suatu saat dia pasti akan tunduk terhadap salah satu ciptaan Allah, maut! Baik dengan terpaksa maupun sukarela. Jika seluruh manusia tunduk terhadap maut, padahal maut tunduk terhadap Allah, maka apa tidak sepantasnya manusia itu lebih tunduk lagi kepada Penguasa maut?
Bukalah lembaran sejarah hidup-mu kembali, menolehlah ke belakang, lalu tanyakan, apa yang telah saya lakukan untuk hari kemudian?
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendak-lah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhi-rat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. 59:18)
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?” (QS 57:16)
Al Fudhail ibnu 'Iyadh, ketika mendengar seseorang membaca ayat ini dia berkata, "Benar wahai Rabb, kini sudah saatnya (untuk tunduk)!”. Beliau lalu bertaubat dari pekerjaannya sebagai pembegal, lalu Allah mengaruniakan kepada beliau ilmu. Marilah masing masing kita menjawabnya! Wallahu a'lam bish shawab.
(Musthafa Aini)
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: definisi iman
Rukun iman yang enam itu secara lengkap terdapat di dalam sebuah hadits yang amat terkenal dan juga shahih. Keshahihannya tidak diragukan lagi oleh para ulama. Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menempatkannya dalam urutan pertama dalam susunan hadits arba'in (40 hadits utama).
Salah satu petikannya adalah:“Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan kepada Qadar baik dan buruk-Nya dari Allah taala. (HR. Muttafaq 'alaihi)
Mengapa Ragu?
Sebenarnya anda tidak perlu ragu-ragu dengan hadits nabawi yang beredar sekarang maupun di masa lalu. Sebab sejak fajar Islam menyingsing di masa lalu, Allah sudah menjamin keaslian agama ini dari kemungkinan dipalsukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Shahih tidaknya suatu hadits bisa dengan mudah kita lihat dari perawinya. Lagi pula kita masih punya banyak ulama hadits, yang bisa dengan mudah kita tanya dan minta penjelasan tentang keshahihan suatu hadits.
Khususnya dalam pemeliharaan keaslian sunnah nabawiyah, Allah SWT berkenan membangkitkan dari putera-putera Islam, orang-orang yang menjadi pemelihara, pembela dan pelindungnya. Mereka telah melakukan penelusuran riwayat tiap-tiap hadits nabawi yang ada. Bahkan mereka berhasil mendirikan sebuah disiplin ilmu mandiri yang kita kenal dengan ilmu riwayat.
Ilmu seperti ini tidak pernah ditemukan sebelumnya dan sesudahnya, bahkan di luar dunia Islam sekalipun. Bayangkan, bagaimana di masa itu dengan media informasi yang terbatas, para ulama mengadakan tour abadi untuk mengejar keshahihan sebuah hadits, dari satu negeri ke negeri yang lain. Dengan menggunakan metodologi yang nyaris tidak pernah terpikirkan oleh ilmuwan dari dunia barat.
Intinya, mereka menggunakan dua parameter. Pertama, dengan melihat kondisi ke-dhabit-an perawi. Ini untuk memastikan apakah seorang yang meriwayatkan sebuah hadits memang seorang yang punya kemampuan untuk menghafal hadits yang disampaikannya itu dengan benar, baik pada matan (redaksi) maupun pada jalur (sanad) periwayatannya. Adakah seorang perawi memenuhi segala macam persyaratan yang sangat berat itu.
Dari sini akan ketahuan apakah riwayat suatu hadits benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya atau tidak. Bila perawi ketahuan sebagai orang yang kurang hafalannya, atau tidak mampu menyebutkan jalur periwayatannya secara pasti, maka haditsnya itu akan dibuang ke tempat sampah.
Apalagi bila sampai ketahuan bahwa hadits itu tidak punya asal-usul, alias hadits palsu. Tentu dengan mudah akan segera ketahuan.
Kedua, paramater yang digunakan adalah sisi 'adaalatur-rawi, yaitu penilaian terhadap pribadi si perawi. Benarkah dirinya seorang muslim yang serius menjalankan agama atau tidak? Yang dinilai adalah aspek aqidah, syariah dan akhlaq si perawi. Bahkan termasuk muru'ah yang sering dianggap agak sepele, ternyata turut dijadikan ukuran keshahihan suatu hadits.
Seringkali disebutkan bahwa bila seorang perawi punya akhlaq yang kurang baik, atau mengerjakan hal-hal yang mengurangi muru'ah-nya, maka nilainya akan dikurangi secara sangat signifikan.
Para perawi itu dari level terakhir hingga ke level pertama, yaitu di tingkat shahabat sebelum sampai kepada Rasulullah SAW, lalu didata dan ditabulasi sedemikian rupa dalam ratusan kitab terkenal. Kondisi hafalan mereka, kemampuan mereka dalam menyimpan, bahkan sifat-sifat mereka, semua terdata dengan rapi di dalam database para ulama.
Kitab-kita yang memuat data para perawi itu dikenal sebagai kitab rijalul hadits. Kitab-kitab seperti ini barangkali kurang populer di kalangan awam. Bahkan kalau anda cari di toko buku di Indonesia, penjualnya pun akan kebingungan. Namun ketahuilah, bahwa semua data mereka sudah tercatat dengan rapi.
Tinggal para ulama hadits melakukan penelitian atas masing-masing hadits itu dengan dilakukan penilaian pada para perawinya. Namun di dalam catatan mereka, tiap hadits itu sudah terlacak dengan jelas peta penyebarannya, mulai dari mulut Rasulullah SAW ke generasi pertama (shahabat), lalu ke generasi kedua (tabi'in), lalu ke generasi ketiga (atba'ut-tabi'in), lalu ke generasi berikutnya lagi. Tugas para ulama di masa itu tinggal melakukan dua sisi penilaian utama dari masing-masing orang itu. Salah satu hadits itu adalah hadits berikut ini:
Rasululah SAW bersabda,"Bila salah seorang dari kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia mencuci tangannya, karena dia tidak tahu semalam tangannya berada di mana”.
Di tangan para ulama sudah ada peta penyebaran hadits itu. Pada level pertama (tabaqah ula), hadits inidisampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para shahaat. Tercatat ada 5 orang shahabat yang berbeda yang menyampaikan kembali hadits ini. Mereka adalah:
Abu Hurairah ra
Ibnu Umar ra
Jabir bin Abdillah ra
Aisyah ra
Ali bin Abi Thalib ra
Kemudian, masing-masing shahabat meriwayatkan kembali hadits yang pernah didengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Salah seorang dari shahabat itu, yaitu Abu Hurairah ra kemudian meriwayatkan hadits ini kepada orang lain. Tercatat ada 13 orang pada level kedua yang mendapatkan hadits ini dari Abi Hurairah. Mereka adalah para tabi`in.
Kemudian hadits ini bisa dilacak lagi ke bawah, di mana kita bisa dengan mudah mengetahui bahwa ke-13 orang ini lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dalam database tercatat dari 13 orang itu ada 8 orang yang menerima hadits ini dan tinggal di Madinah, ada satu orang tinggal di Kufah, ada 2 orang tinggal di Bashrah, satu orang tinggal di Yaman dan seorang lagi tinggal di Syam.
Kemudian ke 13 tabi`in ini lalu meriwayatkan lagi hadits itu kepada generasi berikutnya (level ketiga), yang kita sebut sebagai atba`ut-tabi`in. Dan jumlah mereka menjadi 16 orang. Detailnya adalah ada 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang di Bashrah, 2 orang di Kufah, 1 orang di Makkah, 1 orang di Yaman, 1 orang di Khurasan dan 1 orang di Himsh Syam.
Maka amat mustahil ke 16 orang yang domisilinya terpencar-pencar di beragam ujung dunia itu pernah berkumpul bersama pada suatu saat untuk membuat hadits palsu bersama yang redaksinya sama. Atau mustahil pula mereka masing-masing di rumahnya membuat hadits lalu kebetulan semua bisa sama sampai pada tingkat redaksinya.
Padahal ke 16 orang itu baru dari jalur Abu Hurairah saja. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan yang dari ke 4 shahabat lainnya, maka jumlahnya akan menjadi lebih banyak.
Pesan Buat Para Pengingkar Hadits
Para pengingkar hadits dari kalangan muslimin sebenarnya perlu membuka mata untuk tahu dari manakah sebenarnya pemikiran keliru itu mereka lahap. Tidak lain dari para orientalis yang sejak awal sudah punya niat tidak baik terhadap Islam.
Seharusnya mereka perlu sedikit lebih mawas diri untuk belajar dan memperdalam ilmu agama secara benar, agar tidak terlalu mudah terlena dengan bujuk rayu musuh Islam.
Sayangnya kebanyakan mereka justru terlalu awam dengan ajaran Islam, ditambah terlalu mudah terpesona dengan apa yang lahir dari mulut musuh-musuh Islam. Seolah-olah barat itu sumber kebenaran satu-satunya.
Salah satu petikannya adalah:“Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan kepada Qadar baik dan buruk-Nya dari Allah taala. (HR. Muttafaq 'alaihi)
Mengapa Ragu?
Sebenarnya anda tidak perlu ragu-ragu dengan hadits nabawi yang beredar sekarang maupun di masa lalu. Sebab sejak fajar Islam menyingsing di masa lalu, Allah sudah menjamin keaslian agama ini dari kemungkinan dipalsukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Shahih tidaknya suatu hadits bisa dengan mudah kita lihat dari perawinya. Lagi pula kita masih punya banyak ulama hadits, yang bisa dengan mudah kita tanya dan minta penjelasan tentang keshahihan suatu hadits.
Khususnya dalam pemeliharaan keaslian sunnah nabawiyah, Allah SWT berkenan membangkitkan dari putera-putera Islam, orang-orang yang menjadi pemelihara, pembela dan pelindungnya. Mereka telah melakukan penelusuran riwayat tiap-tiap hadits nabawi yang ada. Bahkan mereka berhasil mendirikan sebuah disiplin ilmu mandiri yang kita kenal dengan ilmu riwayat.
Ilmu seperti ini tidak pernah ditemukan sebelumnya dan sesudahnya, bahkan di luar dunia Islam sekalipun. Bayangkan, bagaimana di masa itu dengan media informasi yang terbatas, para ulama mengadakan tour abadi untuk mengejar keshahihan sebuah hadits, dari satu negeri ke negeri yang lain. Dengan menggunakan metodologi yang nyaris tidak pernah terpikirkan oleh ilmuwan dari dunia barat.
Intinya, mereka menggunakan dua parameter. Pertama, dengan melihat kondisi ke-dhabit-an perawi. Ini untuk memastikan apakah seorang yang meriwayatkan sebuah hadits memang seorang yang punya kemampuan untuk menghafal hadits yang disampaikannya itu dengan benar, baik pada matan (redaksi) maupun pada jalur (sanad) periwayatannya. Adakah seorang perawi memenuhi segala macam persyaratan yang sangat berat itu.
Dari sini akan ketahuan apakah riwayat suatu hadits benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya atau tidak. Bila perawi ketahuan sebagai orang yang kurang hafalannya, atau tidak mampu menyebutkan jalur periwayatannya secara pasti, maka haditsnya itu akan dibuang ke tempat sampah.
Apalagi bila sampai ketahuan bahwa hadits itu tidak punya asal-usul, alias hadits palsu. Tentu dengan mudah akan segera ketahuan.
Kedua, paramater yang digunakan adalah sisi 'adaalatur-rawi, yaitu penilaian terhadap pribadi si perawi. Benarkah dirinya seorang muslim yang serius menjalankan agama atau tidak? Yang dinilai adalah aspek aqidah, syariah dan akhlaq si perawi. Bahkan termasuk muru'ah yang sering dianggap agak sepele, ternyata turut dijadikan ukuran keshahihan suatu hadits.
Seringkali disebutkan bahwa bila seorang perawi punya akhlaq yang kurang baik, atau mengerjakan hal-hal yang mengurangi muru'ah-nya, maka nilainya akan dikurangi secara sangat signifikan.
Para perawi itu dari level terakhir hingga ke level pertama, yaitu di tingkat shahabat sebelum sampai kepada Rasulullah SAW, lalu didata dan ditabulasi sedemikian rupa dalam ratusan kitab terkenal. Kondisi hafalan mereka, kemampuan mereka dalam menyimpan, bahkan sifat-sifat mereka, semua terdata dengan rapi di dalam database para ulama.
Kitab-kita yang memuat data para perawi itu dikenal sebagai kitab rijalul hadits. Kitab-kitab seperti ini barangkali kurang populer di kalangan awam. Bahkan kalau anda cari di toko buku di Indonesia, penjualnya pun akan kebingungan. Namun ketahuilah, bahwa semua data mereka sudah tercatat dengan rapi.
Tinggal para ulama hadits melakukan penelitian atas masing-masing hadits itu dengan dilakukan penilaian pada para perawinya. Namun di dalam catatan mereka, tiap hadits itu sudah terlacak dengan jelas peta penyebarannya, mulai dari mulut Rasulullah SAW ke generasi pertama (shahabat), lalu ke generasi kedua (tabi'in), lalu ke generasi ketiga (atba'ut-tabi'in), lalu ke generasi berikutnya lagi. Tugas para ulama di masa itu tinggal melakukan dua sisi penilaian utama dari masing-masing orang itu. Salah satu hadits itu adalah hadits berikut ini:
Rasululah SAW bersabda,"Bila salah seorang dari kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia mencuci tangannya, karena dia tidak tahu semalam tangannya berada di mana”.
Di tangan para ulama sudah ada peta penyebaran hadits itu. Pada level pertama (tabaqah ula), hadits inidisampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para shahaat. Tercatat ada 5 orang shahabat yang berbeda yang menyampaikan kembali hadits ini. Mereka adalah:
Abu Hurairah ra
Ibnu Umar ra
Jabir bin Abdillah ra
Aisyah ra
Ali bin Abi Thalib ra
Kemudian, masing-masing shahabat meriwayatkan kembali hadits yang pernah didengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Salah seorang dari shahabat itu, yaitu Abu Hurairah ra kemudian meriwayatkan hadits ini kepada orang lain. Tercatat ada 13 orang pada level kedua yang mendapatkan hadits ini dari Abi Hurairah. Mereka adalah para tabi`in.
Kemudian hadits ini bisa dilacak lagi ke bawah, di mana kita bisa dengan mudah mengetahui bahwa ke-13 orang ini lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dalam database tercatat dari 13 orang itu ada 8 orang yang menerima hadits ini dan tinggal di Madinah, ada satu orang tinggal di Kufah, ada 2 orang tinggal di Bashrah, satu orang tinggal di Yaman dan seorang lagi tinggal di Syam.
Kemudian ke 13 tabi`in ini lalu meriwayatkan lagi hadits itu kepada generasi berikutnya (level ketiga), yang kita sebut sebagai atba`ut-tabi`in. Dan jumlah mereka menjadi 16 orang. Detailnya adalah ada 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang di Bashrah, 2 orang di Kufah, 1 orang di Makkah, 1 orang di Yaman, 1 orang di Khurasan dan 1 orang di Himsh Syam.
Maka amat mustahil ke 16 orang yang domisilinya terpencar-pencar di beragam ujung dunia itu pernah berkumpul bersama pada suatu saat untuk membuat hadits palsu bersama yang redaksinya sama. Atau mustahil pula mereka masing-masing di rumahnya membuat hadits lalu kebetulan semua bisa sama sampai pada tingkat redaksinya.
Padahal ke 16 orang itu baru dari jalur Abu Hurairah saja. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan yang dari ke 4 shahabat lainnya, maka jumlahnya akan menjadi lebih banyak.
Pesan Buat Para Pengingkar Hadits
Para pengingkar hadits dari kalangan muslimin sebenarnya perlu membuka mata untuk tahu dari manakah sebenarnya pemikiran keliru itu mereka lahap. Tidak lain dari para orientalis yang sejak awal sudah punya niat tidak baik terhadap Islam.
Seharusnya mereka perlu sedikit lebih mawas diri untuk belajar dan memperdalam ilmu agama secara benar, agar tidak terlalu mudah terlena dengan bujuk rayu musuh Islam.
Sayangnya kebanyakan mereka justru terlalu awam dengan ajaran Islam, ditambah terlalu mudah terpesona dengan apa yang lahir dari mulut musuh-musuh Islam. Seolah-olah barat itu sumber kebenaran satu-satunya.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
iman murni
"Orang-orang yang beriman dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat ketentraman dan mereka itulah orang-orang yang menepati jalan hidayah."
(Al-An'am: 82).
Banyak orang yang menganggap dan mengaku dirinya beriman, akan tetapi di samping itu, dia juga melakukan hal-hal yang mengeruhkan keimanannya itu, atau bahkan sampai menggugurkan iman itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor; di antaranya, karena kebodohan mereka, atau mungkin karena kesombongan dan keangkuhan mereka sehingga mereka tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan pada mereka. Padahal, dalam masalah keimanan dan tauhid, tidak ada udzur (alasan) kebodohan. Jadi, seseorang tidak bisa beralasan dengan kebodohan (ketidaktahuan)nya ketika salah dalam masalah iman dan tauhid ini. Dan salah dalam masalah ini akan berakibat fatal. Masalah keimanan dan tauhid ini adalah masalah yang sangat prinsip bagi seorang muslim, yang merupakan dasar dan pondasi baginya, yang menentukan kuat tidaknya bangunan yang dibangun di atas pondasi itu. Tetapi, justru kebanyakan manusia bodoh dalam hal ini, sehingga sadar atau tidak sadar mereka sering menodai keimanan mereka itu. Maka, tidak perlu diherankan jika ada tokoh agama, yang konon luas wawasan agamanya kemudian sembrono dalam mengambil sikap yang justru jelas-jelas bertentangan dengan agama. Seakan-akan dia adalah orang yang sama sekali tidak mengenal agama. Mengapa demikian? Hal itu di antaranya adalah karena pondasi, dasar pijakannya tidak kuat. Pondasi yang dimaksud adalah akidah.
Banyak juga orang, bahkan yang disebut ulama, yang keliru dalam memahami ayat di atas. Mungkin karena ketidaktahuan mereka akan keterangan tentang ayat tersebut yang datang dari Rasulullah saw., atau mungkin karena mereka terbiasa menafsirkan ayat dengan pikiran mereka sendiri tanpa didasari oleh ilmu. Mereka menafsirkan ayat tersebut adalah bahwa orang yang beriman dan tidak menodai imannya dengan kedzaliman, yaitu kedzaliman kepada orang lain dan diri mereka, maka mereka itulah yang berhak mendapat ketentraman dan petunjuk. Mereka menafsiri kedzaliman hanya sebatas itu. Sedangkan tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri, kecuali beberapa orang yang dilindungi oleh Allah.
Maka dari itu, marilah kita simak bagaimana Ibnu katsir mengomentari ayat tersebut. Beliau mengatakan, "Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja, mereka tidak menyekutukan-Nya sama sekali, dan mereka itulah orang-orang yang tenteram pada hari kiamat dan mendapat petunjuk di dunia akherat."
Diriwayatan oleh Imam Bukhari, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman', kami (para sahabat) berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakan di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukan seperti yang kamu katakan, mereka tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman, tetapi dengan kemusyrikan. Bukankah kamu telah memperhatikan perkataan Luqman kepada anaknya?, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya, mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar' (Luqman: 13)'."
Imam Ahmad juga meriwayatkan hal senada dari Abdullah, katanya, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman', hal itu menyebabkan para sahabat Rasulullah saw. menjadi resah. Lalu mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya, itu bukan seperti yang kamu semua maksudkan. Bukankah kamu semua telah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kedzaliman yang besar' (Luqman: 13)'."
Syaikhul Islam berkata, "Yang membuat mereka resah adalah, mereka mengira bahwa kedzaliman yang harus dihilangkan itu adalah kedzaliman seorang hamba kepada dirinya sendiri. Sementara itu, tidak ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri. Maka dari itu, Nabi saw. menerangkan tentang sesuatu yang menunjukkan kepada mereka, bahwa kemusyrikan disebut kedzaliman menurut ungkapan Kitab Allah. Maka, tidak akan ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman ini. karena, orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman berhak meneriman ketentraman dan petunjuk sebagaiamana ia termasuk orang-orang pilihan. Seperti dalam firman Allah, "Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang terdepan dalam berbuat kebaikan dengan idzin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (Faathir: 32).
Ini tidak menafikan bahwa salah seorang dari mereka disiksa karena kedzalimannya terhadap diri sendiri dengan melakukan dosa jika ia tidak bertobat. Sebagaimana firman Allah ta'ala, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8).
Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak melakukan perbuatan buruk? Maka beliau menjawab, 'Wahai Abu Bakar, bukankah kamu pernah berjerih payah? Bukankah kamu pernah sedih? Bukankah kamu pernah tertimpa keresahan? Itulah yang kamu dibalas dengannya'."
Dengan demikian, beliau menjelaskan bahwa seorang mukmin yang jika mati lalu ia masuk surga, terkadang kejahatannya telah dibalas di dunia dengan musibah.
Barang siapa yang selamat dari tiga jenis kedzaliman; syirik, mendzalimi orang lain, dan mendzalimi diri sendiri dengan perilaku dosa yang selain syirik, maka baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna. Sedangkan barang siapa yang tidak selamat dari kedzaliman terhadap dirinya sendiri, maka baginya ketentraman dan petunjuk yang masih bersifat mutlak. Dalam artian, bahwa ia pasti masuk surga sebagaimana yang dijanjikan Allah pada ayat lain. Allah telah memberinya petunjuk ke jalan yang lurus yang menyebabkan dia masuk surga. Namun, ia pun akan mendapatkan keamanan dan petunjuk yang kurang sempurna tergantung dari kurangnya iman yang berupa kedzaliman terhadap dirinya sendiri. Bukanlah yang dimaksud Nabi saw. dalam sabdanya, "Akan tetapi itu adalah syirik." Adalah bahwa orang yang tidak pernah melakukan syirik besar, baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna. Karena, banyak hadis dan ayat-ayat Alquran yang menerangkan bahwa orang-orang yang maklukan dosa besar (ahlul kaba'ir) akan menghadapi ketakutan. Mereka tidak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk yang penuh, yang dengan keduanya mereka mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan bagi orang-orang yang telah Allah berikan nikmat kepadanya tanpa adanya siksa yang menimpa. Sebaliknya mereka mendapatkan standar minimal petunjuk menuju jalan ini dan nikmat dari Allah untuk mereka, dan mereka pun nantinya masuk surga.
Sabda Nabi, "Akan tetapi itu adalah syirik, "jika yang dikehendaki adalah syirik besar, maka maksudnya adalah orang yang tidak melakukan syirik besar akan selamat dari siksa dunia dan akherat, yang diancamkan kepada orang-orang musyrik. Jika yang dimaksud di sini adalah syirik kecil, maka jika seorang hamba mendzalimi dirinya sendiri, seperti bakhil dalam sebagian kewajiban karena cinta kepada dunia, maka itu adalah syirik kecil. Juga, kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai Allah sehingga mendahulukan hawa nafsunya atas kecintaannya kepada Allah dan sebagainya, itu adalah syirik kecil dan sebagainya. Maka, orang seperti ini akan kehilangan petunjuk, tergantung pada kesyirikannya. Dengan pertimbangan tersebut, para ulama' salaf yang saleh mengategorikan dosa ke dalam kesyirikan ini." Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Dari keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita apa makna yang terkandung dalam ayat di atas. Kedzaliman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah syirik. Meskipun sebagian kedzaliman pada diri sendiri juga bisa termasuk dalam kesyirikan ini. Jadi, orang yang beriman, yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang berhak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk.
Padahal, sangat sedikit sekali orang yang benar-benar murni imannya, bersih dan tidak ternodai dengan kotoran syirik. Hal ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar berhati-hati jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang kesyirikan, yang apabila keimanan kita ternodai dengannya, maka ketenteraman dan petunjuk yang kita harapkan tidak akan kita dapatkan, dan justru sebaliknya, kita akan mendapatkan kecelakaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Na'udzubillah min dzalik.
Allah berfirman, "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106).
Tauhid (iman) dan syirik, keduanya tidak akan mungkin pernah bersatu di hati seseorang. Karena keduanya bertentangan. Jika beriman, maka harus menghilangkan dan membuang jauh-jauh kesyirikan. Jika seseorang melakukan kesyirikan (syirik besar), secara langsung keimanan akan luntur dan batal.
Adapun hal-hal yang termasuk perbuatan syirik sangatlah banyak. Yang semua itu intinya adalah mempersekutukan Allah, atau menjadikan tandingan untuk Allah. Terkadang seseorang melakukan suatu perbuatan yang dia yakini bahwa perbuatan itu adalah benar karena dia melakukannya tanpa petunjuk (dalil), hanya karena persangkaan atau karena ikut-ikutan, padahal perbuatannya itu adalah termasuk kesyirikan. Maka, terhapuslah amalan yang dia lakukan itu atau semua amalnya, dan akhirnya, dia akan menanggung beban yang teramat sangat berat di hadapan Allah. Sebab, syirik adalah merupakan dosa besar yang paling besar. Dan tidak akan diampuni apabila tidak bertobat sebelum nyawa sampai di tenggorokan.
Kendati demikian, idealnya kita harus berusaha sekuat tenaga dan semampu kita untuk meninggalkan segala macam dosa. Karena, para ulama' mengategorikan segala macam dosa ke dalam kedzaliman. Baik itu dzalim kepada diri sendiri, atau dzalim kepada orang lain. Adapun kedzaliman yang paling besar adalah kedzaliman dalam masalah tauhid, yaitu kedzaliman seorang hamba kepada Allah swt. Yang disebut dengan dosa itu adalah bersumber dari dua hal; meninggalkan perintah, atau mengerjakan larangan. Dan dari semua itu, perkara yang paling besar adalah yang berkaitan dengan iman dan tauhid. Perintah yang paling utama adalah tauhid, dan larangan yang paling besar adalah syirik.
Ya Allah, lindungilah kami dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu, sedangkan kami mengetahuinya. Dan ampunilah kami, terhadap suatu kesyirikan yang kami tidak mengetahuinya. (Zen).
(Al-An'am: 82).
Banyak orang yang menganggap dan mengaku dirinya beriman, akan tetapi di samping itu, dia juga melakukan hal-hal yang mengeruhkan keimanannya itu, atau bahkan sampai menggugurkan iman itu sendiri. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor; di antaranya, karena kebodohan mereka, atau mungkin karena kesombongan dan keangkuhan mereka sehingga mereka tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan pada mereka. Padahal, dalam masalah keimanan dan tauhid, tidak ada udzur (alasan) kebodohan. Jadi, seseorang tidak bisa beralasan dengan kebodohan (ketidaktahuan)nya ketika salah dalam masalah iman dan tauhid ini. Dan salah dalam masalah ini akan berakibat fatal. Masalah keimanan dan tauhid ini adalah masalah yang sangat prinsip bagi seorang muslim, yang merupakan dasar dan pondasi baginya, yang menentukan kuat tidaknya bangunan yang dibangun di atas pondasi itu. Tetapi, justru kebanyakan manusia bodoh dalam hal ini, sehingga sadar atau tidak sadar mereka sering menodai keimanan mereka itu. Maka, tidak perlu diherankan jika ada tokoh agama, yang konon luas wawasan agamanya kemudian sembrono dalam mengambil sikap yang justru jelas-jelas bertentangan dengan agama. Seakan-akan dia adalah orang yang sama sekali tidak mengenal agama. Mengapa demikian? Hal itu di antaranya adalah karena pondasi, dasar pijakannya tidak kuat. Pondasi yang dimaksud adalah akidah.
Banyak juga orang, bahkan yang disebut ulama, yang keliru dalam memahami ayat di atas. Mungkin karena ketidaktahuan mereka akan keterangan tentang ayat tersebut yang datang dari Rasulullah saw., atau mungkin karena mereka terbiasa menafsirkan ayat dengan pikiran mereka sendiri tanpa didasari oleh ilmu. Mereka menafsirkan ayat tersebut adalah bahwa orang yang beriman dan tidak menodai imannya dengan kedzaliman, yaitu kedzaliman kepada orang lain dan diri mereka, maka mereka itulah yang berhak mendapat ketentraman dan petunjuk. Mereka menafsiri kedzaliman hanya sebatas itu. Sedangkan tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri, kecuali beberapa orang yang dilindungi oleh Allah.
Maka dari itu, marilah kita simak bagaimana Ibnu katsir mengomentari ayat tersebut. Beliau mengatakan, "Maksudnya, mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja, mereka tidak menyekutukan-Nya sama sekali, dan mereka itulah orang-orang yang tenteram pada hari kiamat dan mendapat petunjuk di dunia akherat."
Diriwayatan oleh Imam Bukhari, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman', kami (para sahabat) berkata, 'Wahai Rasulullah, siapakan di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau bersabda, 'Bukan seperti yang kamu katakan, mereka tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman, tetapi dengan kemusyrikan. Bukankah kamu telah memperhatikan perkataan Luqman kepada anaknya?, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya, mempersekutukan Allah adalah kedzaliman yang besar' (Luqman: 13)'."
Imam Ahmad juga meriwayatkan hal senada dari Abdullah, katanya, "Ketika turun ayat, 'Orang-orang yang beriman, dan tidak menodai iman mereka dengan kedzaliman', hal itu menyebabkan para sahabat Rasulullah saw. menjadi resah. Lalu mereka bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya, itu bukan seperti yang kamu semua maksudkan. Bukankah kamu semua telah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, 'Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kedzaliman yang besar' (Luqman: 13)'."
Syaikhul Islam berkata, "Yang membuat mereka resah adalah, mereka mengira bahwa kedzaliman yang harus dihilangkan itu adalah kedzaliman seorang hamba kepada dirinya sendiri. Sementara itu, tidak ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak pernah mendzalimi dirinya sendiri. Maka dari itu, Nabi saw. menerangkan tentang sesuatu yang menunjukkan kepada mereka, bahwa kemusyrikan disebut kedzaliman menurut ungkapan Kitab Allah. Maka, tidak akan ada ketentraman dan petunjuk kecuali bagi orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman ini. karena, orang yang tidak menodai keimanannya dengan kedzaliman berhak meneriman ketentraman dan petunjuk sebagaiamana ia termasuk orang-orang pilihan. Seperti dalam firman Allah, "Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang terdepan dalam berbuat kebaikan dengan idzin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (Faathir: 32).
Ini tidak menafikan bahwa salah seorang dari mereka disiksa karena kedzalimannya terhadap diri sendiri dengan melakukan dosa jika ia tidak bertobat. Sebagaimana firman Allah ta'ala, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah: 7-8).
Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak melakukan perbuatan buruk? Maka beliau menjawab, 'Wahai Abu Bakar, bukankah kamu pernah berjerih payah? Bukankah kamu pernah sedih? Bukankah kamu pernah tertimpa keresahan? Itulah yang kamu dibalas dengannya'."
Dengan demikian, beliau menjelaskan bahwa seorang mukmin yang jika mati lalu ia masuk surga, terkadang kejahatannya telah dibalas di dunia dengan musibah.
Barang siapa yang selamat dari tiga jenis kedzaliman; syirik, mendzalimi orang lain, dan mendzalimi diri sendiri dengan perilaku dosa yang selain syirik, maka baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna. Sedangkan barang siapa yang tidak selamat dari kedzaliman terhadap dirinya sendiri, maka baginya ketentraman dan petunjuk yang masih bersifat mutlak. Dalam artian, bahwa ia pasti masuk surga sebagaimana yang dijanjikan Allah pada ayat lain. Allah telah memberinya petunjuk ke jalan yang lurus yang menyebabkan dia masuk surga. Namun, ia pun akan mendapatkan keamanan dan petunjuk yang kurang sempurna tergantung dari kurangnya iman yang berupa kedzaliman terhadap dirinya sendiri. Bukanlah yang dimaksud Nabi saw. dalam sabdanya, "Akan tetapi itu adalah syirik." Adalah bahwa orang yang tidak pernah melakukan syirik besar, baginya ketenteraman dan petunjuk yang sempurna. Karena, banyak hadis dan ayat-ayat Alquran yang menerangkan bahwa orang-orang yang maklukan dosa besar (ahlul kaba'ir) akan menghadapi ketakutan. Mereka tidak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk yang penuh, yang dengan keduanya mereka mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan bagi orang-orang yang telah Allah berikan nikmat kepadanya tanpa adanya siksa yang menimpa. Sebaliknya mereka mendapatkan standar minimal petunjuk menuju jalan ini dan nikmat dari Allah untuk mereka, dan mereka pun nantinya masuk surga.
Sabda Nabi, "Akan tetapi itu adalah syirik, "jika yang dikehendaki adalah syirik besar, maka maksudnya adalah orang yang tidak melakukan syirik besar akan selamat dari siksa dunia dan akherat, yang diancamkan kepada orang-orang musyrik. Jika yang dimaksud di sini adalah syirik kecil, maka jika seorang hamba mendzalimi dirinya sendiri, seperti bakhil dalam sebagian kewajiban karena cinta kepada dunia, maka itu adalah syirik kecil. Juga, kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai Allah sehingga mendahulukan hawa nafsunya atas kecintaannya kepada Allah dan sebagainya, itu adalah syirik kecil dan sebagainya. Maka, orang seperti ini akan kehilangan petunjuk, tergantung pada kesyirikannya. Dengan pertimbangan tersebut, para ulama' salaf yang saleh mengategorikan dosa ke dalam kesyirikan ini." Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Dari keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita apa makna yang terkandung dalam ayat di atas. Kedzaliman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah syirik. Meskipun sebagian kedzaliman pada diri sendiri juga bisa termasuk dalam kesyirikan ini. Jadi, orang yang beriman, yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang berhak mendapatkan ketenteraman dan petunjuk.
Padahal, sangat sedikit sekali orang yang benar-benar murni imannya, bersih dan tidak ternodai dengan kotoran syirik. Hal ini seharusnya memberikan dorongan kepada kita agar berhati-hati jangan sampai kita terjerumus ke dalam jurang kesyirikan, yang apabila keimanan kita ternodai dengannya, maka ketenteraman dan petunjuk yang kita harapkan tidak akan kita dapatkan, dan justru sebaliknya, kita akan mendapatkan kecelakaan dan kesengsaraan yang berkepanjangan. Na'udzubillah min dzalik.
Allah berfirman, "Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Yusuf: 106).
Tauhid (iman) dan syirik, keduanya tidak akan mungkin pernah bersatu di hati seseorang. Karena keduanya bertentangan. Jika beriman, maka harus menghilangkan dan membuang jauh-jauh kesyirikan. Jika seseorang melakukan kesyirikan (syirik besar), secara langsung keimanan akan luntur dan batal.
Adapun hal-hal yang termasuk perbuatan syirik sangatlah banyak. Yang semua itu intinya adalah mempersekutukan Allah, atau menjadikan tandingan untuk Allah. Terkadang seseorang melakukan suatu perbuatan yang dia yakini bahwa perbuatan itu adalah benar karena dia melakukannya tanpa petunjuk (dalil), hanya karena persangkaan atau karena ikut-ikutan, padahal perbuatannya itu adalah termasuk kesyirikan. Maka, terhapuslah amalan yang dia lakukan itu atau semua amalnya, dan akhirnya, dia akan menanggung beban yang teramat sangat berat di hadapan Allah. Sebab, syirik adalah merupakan dosa besar yang paling besar. Dan tidak akan diampuni apabila tidak bertobat sebelum nyawa sampai di tenggorokan.
Kendati demikian, idealnya kita harus berusaha sekuat tenaga dan semampu kita untuk meninggalkan segala macam dosa. Karena, para ulama' mengategorikan segala macam dosa ke dalam kedzaliman. Baik itu dzalim kepada diri sendiri, atau dzalim kepada orang lain. Adapun kedzaliman yang paling besar adalah kedzaliman dalam masalah tauhid, yaitu kedzaliman seorang hamba kepada Allah swt. Yang disebut dengan dosa itu adalah bersumber dari dua hal; meninggalkan perintah, atau mengerjakan larangan. Dan dari semua itu, perkara yang paling besar adalah yang berkaitan dengan iman dan tauhid. Perintah yang paling utama adalah tauhid, dan larangan yang paling besar adalah syirik.
Ya Allah, lindungilah kami dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu, sedangkan kami mengetahuinya. Dan ampunilah kami, terhadap suatu kesyirikan yang kami tidak mengetahuinya. (Zen).
sungokong- SERSAN SATU
-
Posts : 154
Kepercayaan : Islam
Location : gunung hwa kwou
Join date : 04.05.13
Reputation : 3
definisi iman
Iman menurut Ahlussunnah wal jama’ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Jadi Iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)
Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)
Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Kesalahan Memahami Hakekat Iman
Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah:
1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.
2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.
Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad
Jadi Iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)
Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”
Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi bersabda yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan La Ilaha Illallah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)
Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Kesalahan Memahami Hakekat Iman
Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah:
1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.
2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.
Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad
voorman- SERSAN SATU
-
Posts : 155
Kepercayaan : Islam
Location : voorwagens
Join date : 23.05.13
Reputation : 8
Re: definisi iman
adakah Alquran dengan jelas mendefinisikan iman itu sendiri...?
alex77- LETNAN DUA
-
Posts : 773
Kepercayaan : Protestan
Location : indonesia
Join date : 05.06.13
Reputation : 3
Re: definisi iman
Ketika ada orang yang berusaha memegang teguh nilai-nilai agama, terlontarlah ucapan orang lain kepadanya: “Tidak usah sok suci kamu. Iman itu yang penting di dalam hati.” Ilustrasi ini sangat mungkin pernah kita alami. Benarkah demikian? Cukupkah untuk dikatakan sebagai orang yang beriman hanya dengan keyakinan yang ada di dalam hati?
Ketika ada orang yang berusaha memegang teguh nilai-nilai agama, terlontarlah ucapan orang lain kepadanya: “Tidak usah sok suci kamu. Iman itu yang penting di dalam hati.” Ilustrasi ini sangat mungkin pernah kita alami. Benarkah demikian? Cukupkah untuk dikatakan sebagai orang yang beriman hanya dengan keyakinan yang ada di dalam hati?
Pembahasan seputar iman adalah sangat penting, sebab iman menjadi satu istilah yang syar’i dan agung di dalam syariat. Secara bahasa iman berarti pembenaran (tashdiq) yang pasti dan tidak terkandung keraguan di dalamnya. Pembenaran yang dimaksud dari iman ini meliputi dua perkara, yaitu membenarkan segala berita, perintah, dan larangan, serta melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan- larangan-Nya.
Adapun secara istilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berpemahaman bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Sebagian mereka ada pula yang mendefinisikan iman dengan ‘ucapan dan amalan’ atau ‘ucapan, amalan, dan niat’ namun semua pengertian tentang iman ini tidaklah saling bertentangan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Mereka (para salaf dan imam-imam As-Sunnah) terkadang mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan dan amalan’ atau iman adalah ‘ucapan, amalan, dan niat’, terkadang juga mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan, amalan, niat, dan mengikuti As-Sunnah’, tapi adakalanya mengatakan bahwa iman itu ‘ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan’, dan semua makna iman di atas adalah benar adanya.”
Beliau melanjutkan: “Sesungguhnya yang mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan dan amalan’, maka yang dimaksud adalah ucapan hati dan lisan kemudian amalan hati dan anggota badan. Adapun yang menambahnya dengan kata ‘i’tiqad (keyakinan)’ adalah karena memandang bahwa ucapan itu tidak dapat dipahami darinya kecuali ucapan zhahir (lisan) atau khawatir akan dipahami seperti itu, maka ditambahlah kata i’tiqad dalam hati.
Sementara yang menyatakan iman sebagai ‘ucapan, amalan, dan niat’, dikarenakan suatu amalan tidaklah dapat dikatakan sebagai amalan kecuali dengan adanya niat. Karena itu ditambahlah kata niat padanya. Kemudian yang menambahkan kata ‘mengikuti As-Sunnah’ ke dalam makna iman, karena hal tersebut tidaklah dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan mengikuti As-Sunnah.” (Kitabul Iman hal. 162-163)
Iman jika disebutkan secara mutlak dalam kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka akan mencakup penunaian atas hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan perkara-perkara yang haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللهِ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِي كَثِيْرٍ مِنَ اْلأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيْمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُوْنَ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kapada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Al-Hujurat: 7)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُوْلُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ‘kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51)
Dari sini nampak jelas adanya keterkaitan yang kuat antara iman dengan amal. Karena itu di dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak menguraikan persoalan ini. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih memuji Rabbnya, sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (As-Sajdah: 15)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
لاَ يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِيْنَ. إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوْبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.” (At-Taubah: 44-45). Dan ayat-ayat lainnya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa iman yang diserukan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan sebagai dien-Nya. Ini menunjukkan adanya keterkaitan pula antara iman dengan Islam.
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu dan yang lainnya dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan: “Amal masuk dalam kategori iman, sedangkan Islam adalah bagian dari iman.” (Majmu’ul Fatawa, 7/254)
Iman, Islam, dan Amal
Iman, Islam, dan amal shalih seringkali penyebutannya dibarengkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Terkadang iman juga disatukan penyebutannya dengan orang- orang yang berilmu. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang berilmu masuk dalam jajaran orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِيْنَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِيْنَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِيْنَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِيْنَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْـمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْـمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِيْنَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيْهَا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri (muslimin).” (Adz- Dzariyat: 35-36)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika engkau telah memiliki kemampuan untuk itu.”
Beliau bersabda lagi: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta beriman kepada qadar (taqdir) yang baik dan buruknya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan lainnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)
وَقَالَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَاْلإِيْمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلَكِنَّكُمْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): ‘Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit, maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakininya’.” (Ar-Rum: 56)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami…’.” (Ali ‘Imran: 7)
لَكِنِ الرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُوْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur`an) dan apa yang telah diturunkan sebelummu.” (An-Nisa`: 162)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Ketika kata iman dan Islam menyatu penyebutannya maka Islam adalah amalan-amalan yang dzahir seperti dua kalimat syahadat, shalat, zakat, dan shaum serta haji dan yang lainnya. Sedangkan iman adalah apa yang ada dalam hati seperti beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta yang lainnya.” (Majmu'ul Fatawa, 7/14)
Adakalanya kata iman disebutkan tersendiri tanpa dibarengi kata Islam, amal shalih, maupun kata-kata lainnya. Dalam keadaan ini maka secara otomatis telah masuk ke dalamnya Islam dan amal shalih. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman itu ada 63 atau 73 cabang. Yang paling afdhal adalah ucapan Laa ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah cabang dari iman.” (HR. Muslim, dan juga Al-Bukhari serta yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Seluruh hadits yang menyebutkan amalan-amalan yang baik sebagai bagian dari iman menunjukkan akan hal ini.
Perbedaan Iman dan Islam
Islam adalah dien. Dan kata “dien” merupakan bentuk mashdar1 (kata kerja yang dibendakan) dari asal kata دَانَ – يَدِ يْنُ yang bermakna tunduk dan merendah.
Dien Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ridhai dan utus dengannya para Rasul adalah penyerahan diri hanya kepada-Nya saja. Maka landasannya di dalam hati ialah ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beribadah hanya kepada-Nya saja, tanpa kepada yang lain. Barangsiapa menyembah-Nya dan menyembah ilah yang lain, tidaklah menjadi seorang muslim. Dan barangsiapa enggan menyembah-Nya bahkan menyombongkan diri dari beribadah kepada-Nya, maka tidaklah menjadi seorang muslim. Intinya, Islam adalah berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya. Kemudian, pada prinsipnya, Islam adalah bagian dari bab amalan yakni amalan hati dan anggota badan.
Adapun iman landasannya adalah tashdiq (pembenaran), iqrar (pengakuan), dan ma’rifat (pengenalan/pengetahuan). Iman adalah bagian dari ucapan hati, yang mencakup amalan hati dan landasannya adalah tashdiq. Sedangkan amal adalah perkara yang mengikutinya.
Oleh sebab itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkan kata ‘iman’ dengan keimanan hati dan ketundukannya, yakni beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Sedangkan kata ‘Islam’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tafsirkan dengan penyerahan/penerimaan (istislam) yang khusus yakni terhadap bangunan-bangunannya (mabani) yang lima. Demikianlah dalam seluruh pernyataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menafsirkan iman dengan itu dan Islam dengan ini. (Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, seperti dalam Majmu’ Fatawa, 7/178)
Iman Bertambah dan Berkurang
Pemahaman tentang iman bertambah dan berkurang adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jamaah secara utuh. Bahkan Al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullahu menegaskan bahwa ahli hadits dan fiqih telah sepakat menetapkan bahwa iman adalah ucapan dan amalan, tidak ada amalan kecuali dengan niat, dan bahwa iman itu bertambah dan berkurang. (At-Tamhid 9/238, melalui nukilan dari Taisirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 77)
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullahu dalam Syarhus Sunnah (hal. 132) mengatakan: “Barangsiapa berkata bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka ia telah terbebas dari keyakinan irja` (Murji`ah) secara menyeluruh.”
Dalil-dalil yang menerangkan bertambah dan berkurangnya iman sangatlah banyak baik dari Al-Qur`an, As-Sunnah, ataupun ucapan para salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِي قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوا إِيْمَانًا مَعَ إِيْمَانِهِمْ
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِيْمَانًا ...
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat dan orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya….” (Al-Muddatstsir: 31)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ
“Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kapada Rabb-nyalah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُوْنَ اْلأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَدَقَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلاَّ إِيْمَانًا وَتَسْلِيْمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’ Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Al-Ahzab: 22)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)
Dari ‘Umair bin Habib, berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang.” Ia ditanya: “Apa tanda bertambah dan berkurangnya?” Beliau menjawab: “Jika kita ingat Allah k, lalu memuji dan menyucikan-Nya, maka itulah bertambahnya. Dan bila kita lalai, melupakan dan tidak menghiraukan-Nya, maka itulah tanda berkurangnya.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullahu dalam ‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 266)
Demikian uraian singkat mengenai hakikat iman, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi kita semua kebenaran iman dan kekokohannya.
Wallahu a’lam.
1 Silakan lihat pembahasan mudah tentang mashdar dalam buku kami Pengantar Mudah Belajar Bahasa Arab.
Ketika ada orang yang berusaha memegang teguh nilai-nilai agama, terlontarlah ucapan orang lain kepadanya: “Tidak usah sok suci kamu. Iman itu yang penting di dalam hati.” Ilustrasi ini sangat mungkin pernah kita alami. Benarkah demikian? Cukupkah untuk dikatakan sebagai orang yang beriman hanya dengan keyakinan yang ada di dalam hati?
Pembahasan seputar iman adalah sangat penting, sebab iman menjadi satu istilah yang syar’i dan agung di dalam syariat. Secara bahasa iman berarti pembenaran (tashdiq) yang pasti dan tidak terkandung keraguan di dalamnya. Pembenaran yang dimaksud dari iman ini meliputi dua perkara, yaitu membenarkan segala berita, perintah, dan larangan, serta melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan- larangan-Nya.
Adapun secara istilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah berpemahaman bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan. Sebagian mereka ada pula yang mendefinisikan iman dengan ‘ucapan dan amalan’ atau ‘ucapan, amalan, dan niat’ namun semua pengertian tentang iman ini tidaklah saling bertentangan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Mereka (para salaf dan imam-imam As-Sunnah) terkadang mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan dan amalan’ atau iman adalah ‘ucapan, amalan, dan niat’, terkadang juga mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan, amalan, niat, dan mengikuti As-Sunnah’, tapi adakalanya mengatakan bahwa iman itu ‘ucapan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amalan dengan anggota badan’, dan semua makna iman di atas adalah benar adanya.”
Beliau melanjutkan: “Sesungguhnya yang mengatakan bahwa iman adalah ‘ucapan dan amalan’, maka yang dimaksud adalah ucapan hati dan lisan kemudian amalan hati dan anggota badan. Adapun yang menambahnya dengan kata ‘i’tiqad (keyakinan)’ adalah karena memandang bahwa ucapan itu tidak dapat dipahami darinya kecuali ucapan zhahir (lisan) atau khawatir akan dipahami seperti itu, maka ditambahlah kata i’tiqad dalam hati.
Sementara yang menyatakan iman sebagai ‘ucapan, amalan, dan niat’, dikarenakan suatu amalan tidaklah dapat dikatakan sebagai amalan kecuali dengan adanya niat. Karena itu ditambahlah kata niat padanya. Kemudian yang menambahkan kata ‘mengikuti As-Sunnah’ ke dalam makna iman, karena hal tersebut tidaklah dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan mengikuti As-Sunnah.” (Kitabul Iman hal. 162-163)
Iman jika disebutkan secara mutlak dalam kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka akan mencakup penunaian atas hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan perkara-perkara yang haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللهِ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِي كَثِيْرٍ مِنَ اْلأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيْمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُوْنَ
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kapada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (Al-Hujurat: 7)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُوْلُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ‘kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51)
Dari sini nampak jelas adanya keterkaitan yang kuat antara iman dengan amal. Karena itu di dalam Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak menguraikan persoalan ini. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih memuji Rabbnya, sedang mereka tidak menyombongkan diri.” (As-Sajdah: 15)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
لاَ يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِيْنَ. إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوْبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُوْنَ
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.” (At-Taubah: 44-45). Dan ayat-ayat lainnya.
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa iman yang diserukan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan sebagai dien-Nya. Ini menunjukkan adanya keterkaitan pula antara iman dengan Islam.
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu dan yang lainnya dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan: “Amal masuk dalam kategori iman, sedangkan Islam adalah bagian dari iman.” (Majmu’ul Fatawa, 7/254)
Iman, Islam, dan Amal
Iman, Islam, dan amal shalih seringkali penyebutannya dibarengkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Terkadang iman juga disatukan penyebutannya dengan orang- orang yang berilmu. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang berilmu masuk dalam jajaran orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِيْنَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِيْنَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِيْنَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِيْنَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْـمُتَصَدِّقِيْنَ وَالْـمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِيْنَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِيْنَ فُرُوْجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Ahzab: 35)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيْهَا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ. فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri (muslimin).” (Adz- Dzariyat: 35-36)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah jika engkau telah memiliki kemampuan untuk itu.”
Beliau bersabda lagi: “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta beriman kepada qadar (taqdir) yang baik dan buruknya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan lainnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)
وَقَالَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَاْلإِيْمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللهِ إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلَكِنَّكُمْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Dan berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): ‘Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit, maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakininya’.” (Ar-Rum: 56)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami…’.” (Ali ‘Imran: 7)
لَكِنِ الرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُوْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur`an) dan apa yang telah diturunkan sebelummu.” (An-Nisa`: 162)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Ketika kata iman dan Islam menyatu penyebutannya maka Islam adalah amalan-amalan yang dzahir seperti dua kalimat syahadat, shalat, zakat, dan shaum serta haji dan yang lainnya. Sedangkan iman adalah apa yang ada dalam hati seperti beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta yang lainnya.” (Majmu'ul Fatawa, 7/14)
Adakalanya kata iman disebutkan tersendiri tanpa dibarengi kata Islam, amal shalih, maupun kata-kata lainnya. Dalam keadaan ini maka secara otomatis telah masuk ke dalamnya Islam dan amal shalih. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iman itu ada 63 atau 73 cabang. Yang paling afdhal adalah ucapan Laa ilaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah cabang dari iman.” (HR. Muslim, dan juga Al-Bukhari serta yang lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Seluruh hadits yang menyebutkan amalan-amalan yang baik sebagai bagian dari iman menunjukkan akan hal ini.
Perbedaan Iman dan Islam
Islam adalah dien. Dan kata “dien” merupakan bentuk mashdar1 (kata kerja yang dibendakan) dari asal kata دَانَ – يَدِ يْنُ yang bermakna tunduk dan merendah.
Dien Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ridhai dan utus dengannya para Rasul adalah penyerahan diri hanya kepada-Nya saja. Maka landasannya di dalam hati ialah ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beribadah hanya kepada-Nya saja, tanpa kepada yang lain. Barangsiapa menyembah-Nya dan menyembah ilah yang lain, tidaklah menjadi seorang muslim. Dan barangsiapa enggan menyembah-Nya bahkan menyombongkan diri dari beribadah kepada-Nya, maka tidaklah menjadi seorang muslim. Intinya, Islam adalah berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk kepada-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya. Kemudian, pada prinsipnya, Islam adalah bagian dari bab amalan yakni amalan hati dan anggota badan.
Adapun iman landasannya adalah tashdiq (pembenaran), iqrar (pengakuan), dan ma’rifat (pengenalan/pengetahuan). Iman adalah bagian dari ucapan hati, yang mencakup amalan hati dan landasannya adalah tashdiq. Sedangkan amal adalah perkara yang mengikutinya.
Oleh sebab itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkan kata ‘iman’ dengan keimanan hati dan ketundukannya, yakni beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Sedangkan kata ‘Islam’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tafsirkan dengan penyerahan/penerimaan (istislam) yang khusus yakni terhadap bangunan-bangunannya (mabani) yang lima. Demikianlah dalam seluruh pernyataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menafsirkan iman dengan itu dan Islam dengan ini. (Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, seperti dalam Majmu’ Fatawa, 7/178)
Iman Bertambah dan Berkurang
Pemahaman tentang iman bertambah dan berkurang adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jamaah secara utuh. Bahkan Al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullahu menegaskan bahwa ahli hadits dan fiqih telah sepakat menetapkan bahwa iman adalah ucapan dan amalan, tidak ada amalan kecuali dengan niat, dan bahwa iman itu bertambah dan berkurang. (At-Tamhid 9/238, melalui nukilan dari Taisirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 77)
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullahu dalam Syarhus Sunnah (hal. 132) mengatakan: “Barangsiapa berkata bahwa iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, maka ia telah terbebas dari keyakinan irja` (Murji`ah) secara menyeluruh.”
Dalil-dalil yang menerangkan bertambah dan berkurangnya iman sangatlah banyak baik dari Al-Qur`an, As-Sunnah, ataupun ucapan para salaf. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِي قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوا إِيْمَانًا مَعَ إِيْمَانِهِمْ
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al-Fath: 4)
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِيْمَانًا ...
“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat dan orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya….” (Al-Muddatstsir: 31)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ
“Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (At-Taubah: 124)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kapada Rabb-nyalah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُوْنَ اْلأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَدَقَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلاَّ إِيْمَانًا وَتَسْلِيْمًا
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.’ Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (Al-Ahzab: 22)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)
Dari ‘Umair bin Habib, berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang.” Ia ditanya: “Apa tanda bertambah dan berkurangnya?” Beliau menjawab: “Jika kita ingat Allah k, lalu memuji dan menyucikan-Nya, maka itulah bertambahnya. Dan bila kita lalai, melupakan dan tidak menghiraukan-Nya, maka itulah tanda berkurangnya.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni rahimahullahu dalam ‘Aqidatus Salaf Ashabil Hadits hal. 266)
Demikian uraian singkat mengenai hakikat iman, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi kita semua kebenaran iman dan kekokohannya.
Wallahu a’lam.
1 Silakan lihat pembahasan mudah tentang mashdar dalam buku kami Pengantar Mudah Belajar Bahasa Arab.
bee gees- SERSAN SATU
-
Posts : 152
Kepercayaan : Islam
Location : douglas
Join date : 27.06.13
Reputation : 0
Halaman 1 dari 2 • 1, 2
Halaman 1 dari 2
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik