semua nabi berkedudukan sama
Halaman 1 dari 1 • Share
semua nabi berkedudukan sama
Salah satu prinsip dasar ajaran Islam adalah beriman kepada segenap Nabi di seluruh dunia, suatu keimanan yang pada hakikatnya ialah sebelum datangnya Nabi Suci Muhammad saw., telah dibangkitkan para Nabi di berbagai bangsa. Perubahan besar dengan datangnya Nabi teragung bangsa Arab menyebabkan tugas Nabi nasional diambil alih oleh Nabi Besar Dunia, hal ini demi terciptanya tatanan baru untuk mempersatukan segenap umat manusia. Keimanan kepada segenap Nabi di seluruh dunia yang menjadi dasar keimanan Islam tersebut tidak dipelajari oleh kebanyakan kaum Muslimin dalam hal perbandingan tingkat derajat di antara mereka, sebab perbandingan itu, kata mereka, bisa menimbulkan kebencian. Kenyataannya, mereka merasa dilarang oleh Nabi sendiri untuk melakukan sesuatu yang tak ada gunanya agar masalah tersebut jangan sampai menimbulkan perdebtan yang memanas, mungkin hal itu bisa merendahkan derajat seseorang Nabi. Tapi Qur’an Suci menyatakan dengan kata-kata yang jelas bahwa di antara para Nabi itu ada berbagai tingkat derajat kemuliaan. Firman-Nya:
“Kami membuat sebagian Utusan itu melebihi sebagian yang lain” (2:253).
Karena itu perlu dinyatakan bahwa seseorang Nabi itu sudah tentu memiliki kelebihan dari yang lainnya, dan hal ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu penghinaan. Sudah tentu para Nabi itu semuanya manusia sempurna yang dibangkitkan untuk memperbaiki umat manusia, tapi tak diragukan bahwa mereka memiliki keutamaan yang berbeda satu sama lain tergantung pada sifat pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka dan tergantung pula pada keadaan suatu kaum dimana mereka diutus ke sana. Dalam hal inilah, kami mengangkat permasalahan yang sering dikemukakan oleh kaum Kristen yang suka membandingbandingkan antara kebesaran Nabi Muhammad dengan Kristus, ini merupakan kewajiban yang penting untuk dikemukakan meskipun terasa berat, karena banyak kesimpulan dari Kitab Suci Islam yang kerap disalahgambarkan dan disalahmengertikan oleh mereka.
Kesalahan para penulis Kristen pada umumnya sudah diakui bahwa mereka selalu menekankan kata-kata kepercayaan, bukan menekankan sesuatu untuk diamalkan dengan arti yang hakiki, mereka selalu menonjolkan bentuk lahiriahnya saja dan bukan hakikatnya. Bagi mereka, yang dibesar-besarkan hanyalah puji-pujian yang semakin menggunung pada diri seseorang, dan paling banter hanya cerita yang serba ajaib dan aneh-aneh saja dan bukan kewajiban yang harus diamalkan olehnya. Karena inilah, jika dipersoalkan, mereka selalu menyangkal, karena Yesus sendirilah yang mengatakan seperti itu, sedangkan Muhammad saw. tidak, atau mereka berdalih karena pendiri agama Kristen itu banyak sekali melakukan mu’jizat-mu’jizat sedangkan pendiri Islam tidak. Di lain pihak, Qur’an Suci selalu mengemukakan sikap yang berbeda terhadap permasalahan ini, yaitu menekankan tentang “amal perbuatan” yang menjadi tema utamanya, bukan pada kata-kata kepercayaan atau keajaiban-keajaiban yang aneh-aneh. Qur’an membicarakan keagungan Nabi Suci bukan dalam pujian kosong, tidak seperti yang dibicarakan oleh Yesus seperti dikemukakan dalam versi Injil, tapi melukiskan perhatian yang teramat besar terhadap perobahan, yakni perobahan ke arah hidup yang lebih baik lagi dan lebih tinggi lagi di dunia ini. Qur’an tidak selalu membicarakan mu’jizat-mu’jizat beliau meskipun kenyataannya mu’jizat beliau itu jauh lebih besar, namun hal itu hanya dicantumkan dalam berbagai himpunan Hadits saja, yang faktanya, bahwa perkara mu’jizat seperti itu bukan perkara utama tapi perkara sekunder jika dibandingkan dengan mu’jizat-mu’jizat yang lebih besar dan lebih utama lagi. Apa mu’jizat utama itu? Jelas, mu’jizat yang besar itu adalah menanamkan kebaikan dan mencabut segala keburukan di dunia, yakni mu’jizat yang bisa mengangkat derajat manusia dari keadaan hina-dina dan bobrok, lalu mereka diangkat ke tingkat derajat kemuliaan yang tinggi yang bisa mereka capai. Dan karenanya mengapa mu’jizat-mu’jizat itu ditempa dalam arti yang hakiki. Mu’jizat-mu’jizat itu tidak melayani maksud yang bukan-bukan, dan semua itu tidak berakhir begitu saja tapi bahkan mengandung makna untuk lebih meningkatkan rohani penghuni dunia ini secara bergenerasi. Untuk itulah mengapa Qur’an Suci tidak membicarakan Nabi Suci yang muluk-muluk, dan tidak juga menekankan perkara mu’jizat yang aneh-aneh, tapi selalu membicarakan berulang-ulang tentang perobahan yang menakjubkan yang ditempa, suatu transformasi yang unik dan tiada duanya dalam sejarah dunia hingga penulis artikel Koran (Qur’an) di dalam Encyclopaedia Britannica (edisi ketujuh) membicarakannya sebagai “Nabi yang tersukses di antara segenap Nabi dan agama yang ada”, suatu pengakuan yang lebih berbobot dari sekedar kata yang muluk-muluk maupun sekedar sejarah keajaiban yang aneh-aneh seperti yang diceritakan di dalam Injil.
Perlawanan kaum Kristen masa kini, bisa jadi mereka terus memutar otak mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Mereka selalu mengunggulkan Kristus dari Nabi-nabi lainnya dengan berdalil bukan saja berdasarkan Injil sendiri, tapi juga berdasarkan Qur’an. Sudah tentu itu praduga yang sangat aneh! Qur’an, di satu sisi, menyangkal tuduhan palsu yang dikemukakan oleh para penipu tersebut, di sisi lain, sebagai saksi pendukung pengakuan Yesus Kristus yang luar biasa itu. Posisi kontroversial Kristen di sini benar-benar sukar untuk dijelaskan, tapi kita tak perlu terkejut karena perkara yang lebih penting lagi yang berhubungan dengan seluk beluk agama Kristen itu sendiri memang tak bisa dijelaskan. Dikatakan bahwa Qur’an Suci memuji-muji Yesus Kristus. Memang, namun bersamaan itu pula Qur’an menjelaskannya bahwa beliau itu hanya salah seorang di antara sejumlah besar Nabi Bani Israel yang mengikuti Musa; Qur’an mengatakan bahwa beliau hanya seorang Rasul yang risalahnya terbatas bagi satu bangsa saja:
“Dan seorang utusan bagi kaum Bani Israel” (3:48)
Penjelasan itu cukup membuktikan bahwa Qur’an Suci tidak secara penuh menempatkan beliau (Nabi ‘Isa) dalam posisi yang terunggul dari Nabi-nabi lainnya, dengan kata lain bahwa beliau bukanlah Nabi bertaraf dunia yang risalahnya jelas dinyatakan untuk segenap bangsa. Tapi apakah kaum Kristen tidak bisa melihat, mengapa Qur’an Suci menghargai Nabi bangsa lain? Sebenarnya, dalam hal ini kaum Kristen tak bisa membedakan antara Injil dan Qur’an Suci. Risalah Nabi Isa hanyalah untuk kalangan Bani Israel saja dan karena itu beliau tidak melakukan apa-apa seperti Nabi-nabi yang lain; risalah Muhammad saw jelas sekali untuk segenap bangsa di seluruh dunia dan oleh karenanya Qur’an Suci membicarakan segenap Nabi-nabi di dunia. Dan lebih-lebih lagi bahwa mengimani segenap Nabi itu, penting sekali untuk mengajarkan rasa hormat terhadap mereka semua. Nah, sewaktu kedatangan Yesus Kristus dan ibunya yang sosok pribadi keduanya adalah orang suci, tapi keduanya sangat dibenci oleh bangsa Israel, padahal keduanya itu bangsa Israel sendiri. Maryam dituduh secara keji sebagai seorang pelacur, dan puteranya dicaci karena dituduh sebagai anak haram jadah hasil dari perzinahan dan juga dianggap sebagai seorang pendusta. Justru Qur’an Sucilah yang mengenyahkan tuduhan keji semacam itu dan menekankan prinsip utama bahwa para Nabi itu adalah orang-orang suci. Mereka yang amat memuji-muji secara berlebihan terhadap Nabi Isa dan ibunya dengan mengambil nara sumber dari Qur’an Suci harus ingat bahwa tuduhan jahat bangsa Yahudi terhadap kedua orang suci itu harus juga menyebutkan kebajikan dan kemuliaan mereka karena pada kenyataannya Nabi-nabi yang lain tidak dicela dengan sebutan sekeji itu tanpa perlu menyebut-nyebut kebaikan mereka.
Karenanya, jika seorang Kristen tidak konsisten dengan menganggap Yesus Kristus itu lebih unggul dari Nabi Suci berdasarkan kitab yang mereka tuduh sebagai karya seorang pendusta, ini pun masih tetap aneh karena pernyataan yang tak ada dasarnya itu seringkali menggambarkan perihal Yesus itu tidak hanya bertentangan dengan Qur’an Suci, tetapi bahkan bertentangan pula dengan Injil itu sendiri sebagai kitab suci agama Kristen, menuduh palsu dan kesimpulannya diambil dari kata-kata Qur’an Suci yang tidak hanya asing bagi pandangannya, namun juga dipungkiri oleh Injil. Dalam meliputi masalah ini karenanya saya akan menunjukkan kepada keduanya, yakni pada Qur’an dan Bebel, khususnya Injil. Tetapi mengenai keabsahan terhadap perkara yang akan dikemukakan dari dua sumber ini, di sana ada dunia dan situasi yang berbeda karena Injil itu ditulis dan disalin berulang-ulang dan ini menjadi penting demi menerima pernyataannya dengan penuh kehati hatian.
Adapun mengenai keotentikan Qur’an Suci, saya tidak perlu mengulur-ngulur waktu lebih lama lagi kepada para pembaca. Dari satu sisi dunia ke sisi lainnya, dari Cina yang ada di Timur Jauh hingga ke Maroko di Ujung Barat, dari kepulauan di Lautan Pasifik yang berserakan hingga ke gurun pasir yang maha luas di Afrika, Qur’an adalah satu, tidak ada satu salinan pun yang berbeda yang bisa dijumpai di setiap orang yang memilikinya di antara empatratus juta lebih kaum Muslimin. Padahal di sana selalu ada perbedaan paham, tetapi tetap memiliki satu Qur’an. Perselisihan politik dan perbedaan ajaran tumbuh berbeda selama seperempat abad setelah wafatnya Nabi Suci, tapi dari mereka itu tak pernah keluar satu suara pun yang melanggar kesucian naskah Qur’an Suci. Sedikit pun tidak dikenal ada perbedaan dalam teksnya. Bahkan Dr. Mingana sekalipun tidak bisa menunjukkan kesalahan akibat kelalaian di dalam menyalin ataupun mentranskripsi oleh tangan yang tak bertanggungjawab yang ia nyatakan di dalam bukunya yang berjudul: “Peninggalan dari tiga Qur’an Kuno”. Dan keaslian salinan naskah tersebut dibuat dan diedarkan dibawah perintah tiga khalifah Nabi Suci tetap terjaga disajikan hingga hari ini. Di sini pendapat seorang tukang kritik yang memusuhi mengatakan:
“Salinan naskah Utsman yang sampai ke tangan kita sekarang tak berubah … perselisihan dan pertikaian golongan membangkitkan mereka untuk membunuh Utsman sendiri dalam masa seperempat abad sejak kematian Muhamad, bahkan sejak perpecahan dunia Muhamad. Namun hanya berlaku Satu Qur’an di antara mereka; dan semua serempak menggunakan kitab suci yang sama di setiap zaman hingga kini tak ada bukti yang dapat disangkal bahwa sekarang pun ada di hadapan kita teks yang disediakan oleh perintah Khalifah yang tak beruntung itu. Mungkin di dunia ini tidak ada karya lain yang selama duabelas abad masih tetap murni teksnya”. (Muir: “Life of Mohamet”).(Huruf italik oleh saya, penulis).
Muir lebih jauh menunjukkan bahwa salinan yang dibuat oleh Utsman diyakini sebagai reproduksi dari salinan yang dibuat oleh Zaid hanya enam bulan setelah wafatnya Nabi Suci dan edisi Zaid tersebut diyakini salinan yang diwahyukan kepada Nabi Suci, ia memberikan sejumlah alasan untuk meyakini hal itu, dan kesimpulan yang Muir kemukakan, dia menyetujui pernyataan Von Hammer: “kami yakin bahwa Qur’an benarbenar ucapan Muhammad sebagaimana umat Muhammad yakin bahwa itu adalah firman Ilahi”.
Cerita dan penulisan serta penyalinan Injil sungguh berbeda. Awal mula adanya naskah didapat pada tahun 1859 dalam bahasa Yunani, yang kita diberitahu, bahwa tulisan itu dibuat di pertengahan abad keempat setelah Yesus Kristus tiada. Yang ditemukan di Gunung Sinai di Biara St. Catherine yang dikenal sebagai Siniaticus. Yang lainnya dikenal sebagai Alexandrinus yang kini ada di Museum Inggris terbilang dari abad kelima. Yang lainnya lagi disebut Vatikan terbilang dari abad keempat tapi tak lengkap. Dan semua itu dikatakan sebagai tiga naskah utama. Terhadap kondisi dan keberadaan ketiganya itu akan saya kutip, bukan kritikan, namun datang dari seorang komentator Bebel, Rev. J.R. Dummelow:
“Pertama-tama, para penulis Injil menyampaikan perkataan Yesus dalam bahasa Yunani (meskipun mungkin mereka memiliki beberapa sumber bahasa Aramaik) yang sebagian besar mungkin Yesus berbicara dalam bahasa Aramaik. Baik para penulisnya maupun salinan-salinan yang mereka catat berlangsung di luar Gereja permulaan yang mereka ketahui”.
Begitu pula yang diterapkan oleh St. Paulus. Surat-suratnya, yang kini begitu berharga, hanyalah risalah yang sengaja ditujukan untuk Gereja-gereja. Yang pertama-tama disalinkannya tidak dikenal sebagai barang ‘suci’ dalam pandangan kita.
Bahkan di abad-abad terakhir pun kita tak dapat mengamati dengan teliti terhadap kesucian naskah yang bercirikan perubahan dari Perjanjian Lama. Salinan-salinan tersebut seringkali tidak sesuai dengan naskahnya, tapi dia cuma mengira-ngira dari situ. Ia dipercaya berubah-rubah ingatan, atau ia membuat naskah itu sesuai dengan pandangan sektenya sendiri. Di samping itu, sejumlah besar salinan tetap dipelihara. Lebih-lebih versi yang disalin dari para Pemimpin Gereja permulaan, hampir empatribu naskah berbahasa Yunani dari Perjanjian Baru diketahui masih tetap ada. Karenanya, berbagai variasi bacaan tersebut masih bisa dipertimbangkan”.
Kepercayaan apa yang dapat diterapkan dari dokumen-dokumen yang peralihan dan tambahan-tambahan serta perobahannya begitu sembarangan ditulis oleh para penyalinnya? Bahkan penulisannya maupun tanggal penulisannya pun sungguh tak diketahui. Injil Kanonik pertama dipermaklumkan sebagai Injil menurut Matius, seorang Pengikut Yesus. Tapi Injil tersebut sungguh tak pernah ditulis olehnya. Itu ditulis oleh tangan seseorang yang tak diketahui. Kisah penulisan Injil tersebut diterangkan oleh komentatornya, seperti saya kutip di atas, mungkin St. Matius menulisnya dalam bahasa Yunani berupa kitab “logia” (bahasa sehari-hari) atau “oracles” (bahasa lisan) yang tidak bisa dijumpai di mana pun, kecuali tulisan Papias pada tahun 130 Masehi yang meminjam nama Matius dengan susunan kitab seperti itu.
“Terjemahan bahasa Yunaninya dari “Logia” tersebut penulis kita itu rupanya menggunakannya sebebas mungkin, dia mengakukan tugasnya itu dari murid Yesus dengan menyebutnya sebagai karya “menurut Matius”.
Penjelasan di atas berbicara sendiri. Matius mungkin menulis suatu buku yang tidak ditemukan di mana pun kecuali dalam referensi Papias. Lainnya tetap membingungkan. Tidak sedikit bukti bahwa penulis Injil pertama yang tak dikenal itu memiliki salinan kitab itu dari terjemahan bahasa Yunani, atau mungkin pula dia menggunakan itu semaunya saja. Kebingungan itu sebenarnya sederhana sekali bahwa Injil tersebut disebut saja Injil menurut St Matius, tapi mungkin pula dia hanya menggunakan bahasa lisan saja dari St Matius tadi.
Injil berikutnya adalah St. Markus, yaitu seorang sahabat Petrus, dan kesaksian di bawah ini sebagaimana dicatat oleh Papias kuranglebih tahun ke 130 Masehi yang ia hanya bertumpu kepada penjelasan penulis Injil tersebut:
“Markus menjadi (atau dijadikan) penafsir Petrus yang menulis semua apa yang ia ingat (atau, segala apa yang diceritakan oleh Petrus) meskipun dia tak pernah (mencatat) apa yang telah dikatakan oleh Kristus. Karena ia tak pernah mendengar Tuhan, tidak pula pernah mengikuti-Nya; namun sesudahnya, sebagaimana saya katakan, (melibatkan dirinya) kepada Petrus yang menggunakan bentuk ajarannya untuk menemui (secara mendadak) keinginan (para pendengarnya); dan cerita itu tidak ada hubungannya dari sumber Tuhan.
Bahkan jika kita terima bukti ini, Injil St. Markus bisa dikatakan hanya berdasarkan tradisi omongan Petrus belaka, bahkan meskipun bukti itu meragukan bahwa Injil yang ada di tangan kita sekarang benar-benar ditulis oleh Markus, kritik keras tersebut memandang bahwa ia hanya penulis pokok-pokok Injil yang ada sekarang yang disebutkan berasal dari dia.
St. Lukas juga bukan murid Yesus tapi ia hanya pengikut muridnya Yesus dan ia dikatakan ikut Paulus. Dan mengenai Injil yang empat itu, tidak diragukan belakangan banyak sekali ditambah-tambah. Mengenai penanggalan berbagai Injil itu, gambaran yang bisa diterima mengenai tiga Injil pertama semua itu ditulis kurang lebih tahun 70 Masehi, namun para pengeritik ulung mengatakannya jauh lebih belakangan, dan bukti internal menjadi alasan terhadap kesimpulan ini. Dalam membicarakan Injil kanoniknya Matius kita diberitahu bahwa “banyak sekali pemberian tanggal seluruh Injil tersebut di akhir tahun 130 Masehi”. Penanggalan yang terdini bisa diakui bila banyak kutipan-kutipan utama dianggap sebagai interpolasi atau sisipan belakangan. Mengenai penanggalan Injil Lukas kesimpulannya menyebutkan tahun 100 Masehi, ini lebih bisa diterima, dan beberapa keterangan menyatakan bahwa batas tanggal penyusunannya kurang lebih tahun 110.
Pertimbangan terhadap penulisan, penanggalan dan peralihan Injil-Injil tersebut, sebagian besar naskah, bacaan dan keberadaannya tidak bisa dipungkiri banyak sekali tambahan yang sudah tentu ini bisa mengurangi nilai; dan karena inilah kritik terhadap semua Injil tersebut, seperti dikemukakan di dalam Encyclopaedia Biblica, Pendeta E.A.
Abbot mengajukan pertanyaan yang sangat penting:
“Membiarkan bagian-bagian seringkali dapat menimbulkan keraguan yang unsurnya banyak sekali di seluruh Injil”.
Jawaban terhadap pertanyaan yang ada di seluruh Injil, lima kutipan di bawah ini mungkin bisa dianggap dapat dipercaya.
Kutipan yang menunjukkan bahwa Yesus menolak disebut orang tidak berdosa:
“Mengapa engkau mengatakan aku baik? Tidak ada yang baik kecuali satu, yakni Tuhan” (Markus 10:18)
Kutipan yang menunjukkan bahwa orang yang mengutuk beliau diampuni:
“Semua perkara dosa dan kutukan akan diampuni; tapi kutukan terhadap Ruhul Kudus tidak akan diampuni” (Matius 12:31)
Kutipan yang menunjukkan bahwa ibunya sendiri dan saudara-saudaranya tidak mengimaninya dan mereka secara tulus berpikir bahwa ia gila: Dan ketika teman-temannya mendengar itu, mereka keluar untuk mengambil dia, karena mereka berkata, Dia sudah tidak waras lagi” (Markus 3:21). Pada ayat 31 kawan-kawan yang muncul itu adalah ibunya sendiri serta saudara-saudaranya.
Kutipan yang menunjukkan bahwa Yesus Kristus tidak mengetahui barang gaib:
“Pada hari dan saat itu seorang pun tidak ada yang tahu, sekalipun para malaikat di langit, tidak juga anak kecuali Bapak”.
Kutipan yang menunjukkan teriakan rasa putus asa yang dia ucapkan di atas kayu salib: “Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau tinggalkan daku”.
Terhadap yang lima ini ditambah empat lainnya yang meliputi berbagai mu’jizatnya yang akan dibicarakan dalam bab mu’jizat di belakang, dan sembilan kutipan tersebut, ini dikatakan “soko-guru bagi ilmiahnya kehidupan Yesus yang sesungguhnya”.
Akan terlihat bahwa ajaran dasar Kristen terletak pada catatan-catatan yang tak bisa diterima, dan kisah mu’jizat yang ditempa dan dilakukan secara aneh, itu berdasarkan doktrin Keilahian Yesus Kristus dan keunggulannya dari semua manusia, karenanya perkara ini hanya bisa diterima dengan penuh kehati-hatian yang luar biasa. Bagaimanapun pasti terpikir bahwa jika hanya mengandalkan keunggulan Yesus Kristus sebagai manusia biasa yang bisa melebihi manusia lainnya, demikian sabda Pendiri Suci Islam, sudah tentu tidak membuat kita lebih dekat sedikit pun kepada kebenaran agama Kristen hingga ia dapat menunjukkan bahwa ia memiliki sifat keIlahian atau dia melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa. Jika agama Kristen mengikuti prinsip yang diletakkan oleh para Nabi terdahulu, pernyataan bahwa Yesus Kristus manusia yang paling utama dari manusia lainnya yang pernah hidup, pasti akan melakukan sesuatu yang baik terhadap kaum Kristen, namun sejauh doktrin penebusan dosa manusia oleh pribadi Tuhan seperti itu masih tetap menjadi doktrin utama agama tersebut, maka tak kurang bukti bahwa kelebihannya dari manusia lain terletak dalam keilahiannya dan kelebihannya di atas sekalian manusia dapat menjadi penyebab utamanya. Di dalam hal inilah gunanya membicarakan hubungan antara agama Kristen dan Islam, atau hubungan yang bertalian dengan keutamaan para pendirinya, maka ini bisa jadi membantu para pencari kebenaran. Tapi pertentangan yang terdapat di dalam Kristen itu sendiri tidak bisa mengatasi masalah ini. Saya akan mengemukakan berbagai masalah seperti yang dipertentangkan oleh kaum Kristen itu sendiri. Saya mengambil permasalahan Kristen sebagaimana yang disajikan di dalam selebaran-selebaran terakhirnya, sedikit menyinggung risalah agama yang disampaikan oleh para Missionaris Kristen di Ludhiana, India, di bawah judul Haqa’iq-I Qur’an, atau “Hakikat Qur’an” yang diakukan berdasarkan hanya dari “pernyataan Qur’an saja” yang telah diedarkan dan disiarkan di India, dan melalui lembaran-lembaran Dunia Muslim, di seluruh negeri-negeri Kristen maupun negeri Muslim.
“Kami membuat sebagian Utusan itu melebihi sebagian yang lain” (2:253).
Karena itu perlu dinyatakan bahwa seseorang Nabi itu sudah tentu memiliki kelebihan dari yang lainnya, dan hal ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu penghinaan. Sudah tentu para Nabi itu semuanya manusia sempurna yang dibangkitkan untuk memperbaiki umat manusia, tapi tak diragukan bahwa mereka memiliki keutamaan yang berbeda satu sama lain tergantung pada sifat pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka dan tergantung pula pada keadaan suatu kaum dimana mereka diutus ke sana. Dalam hal inilah, kami mengangkat permasalahan yang sering dikemukakan oleh kaum Kristen yang suka membandingbandingkan antara kebesaran Nabi Muhammad dengan Kristus, ini merupakan kewajiban yang penting untuk dikemukakan meskipun terasa berat, karena banyak kesimpulan dari Kitab Suci Islam yang kerap disalahgambarkan dan disalahmengertikan oleh mereka.
Kesalahan para penulis Kristen pada umumnya sudah diakui bahwa mereka selalu menekankan kata-kata kepercayaan, bukan menekankan sesuatu untuk diamalkan dengan arti yang hakiki, mereka selalu menonjolkan bentuk lahiriahnya saja dan bukan hakikatnya. Bagi mereka, yang dibesar-besarkan hanyalah puji-pujian yang semakin menggunung pada diri seseorang, dan paling banter hanya cerita yang serba ajaib dan aneh-aneh saja dan bukan kewajiban yang harus diamalkan olehnya. Karena inilah, jika dipersoalkan, mereka selalu menyangkal, karena Yesus sendirilah yang mengatakan seperti itu, sedangkan Muhammad saw. tidak, atau mereka berdalih karena pendiri agama Kristen itu banyak sekali melakukan mu’jizat-mu’jizat sedangkan pendiri Islam tidak. Di lain pihak, Qur’an Suci selalu mengemukakan sikap yang berbeda terhadap permasalahan ini, yaitu menekankan tentang “amal perbuatan” yang menjadi tema utamanya, bukan pada kata-kata kepercayaan atau keajaiban-keajaiban yang aneh-aneh. Qur’an membicarakan keagungan Nabi Suci bukan dalam pujian kosong, tidak seperti yang dibicarakan oleh Yesus seperti dikemukakan dalam versi Injil, tapi melukiskan perhatian yang teramat besar terhadap perobahan, yakni perobahan ke arah hidup yang lebih baik lagi dan lebih tinggi lagi di dunia ini. Qur’an tidak selalu membicarakan mu’jizat-mu’jizat beliau meskipun kenyataannya mu’jizat beliau itu jauh lebih besar, namun hal itu hanya dicantumkan dalam berbagai himpunan Hadits saja, yang faktanya, bahwa perkara mu’jizat seperti itu bukan perkara utama tapi perkara sekunder jika dibandingkan dengan mu’jizat-mu’jizat yang lebih besar dan lebih utama lagi. Apa mu’jizat utama itu? Jelas, mu’jizat yang besar itu adalah menanamkan kebaikan dan mencabut segala keburukan di dunia, yakni mu’jizat yang bisa mengangkat derajat manusia dari keadaan hina-dina dan bobrok, lalu mereka diangkat ke tingkat derajat kemuliaan yang tinggi yang bisa mereka capai. Dan karenanya mengapa mu’jizat-mu’jizat itu ditempa dalam arti yang hakiki. Mu’jizat-mu’jizat itu tidak melayani maksud yang bukan-bukan, dan semua itu tidak berakhir begitu saja tapi bahkan mengandung makna untuk lebih meningkatkan rohani penghuni dunia ini secara bergenerasi. Untuk itulah mengapa Qur’an Suci tidak membicarakan Nabi Suci yang muluk-muluk, dan tidak juga menekankan perkara mu’jizat yang aneh-aneh, tapi selalu membicarakan berulang-ulang tentang perobahan yang menakjubkan yang ditempa, suatu transformasi yang unik dan tiada duanya dalam sejarah dunia hingga penulis artikel Koran (Qur’an) di dalam Encyclopaedia Britannica (edisi ketujuh) membicarakannya sebagai “Nabi yang tersukses di antara segenap Nabi dan agama yang ada”, suatu pengakuan yang lebih berbobot dari sekedar kata yang muluk-muluk maupun sekedar sejarah keajaiban yang aneh-aneh seperti yang diceritakan di dalam Injil.
Perlawanan kaum Kristen masa kini, bisa jadi mereka terus memutar otak mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Mereka selalu mengunggulkan Kristus dari Nabi-nabi lainnya dengan berdalil bukan saja berdasarkan Injil sendiri, tapi juga berdasarkan Qur’an. Sudah tentu itu praduga yang sangat aneh! Qur’an, di satu sisi, menyangkal tuduhan palsu yang dikemukakan oleh para penipu tersebut, di sisi lain, sebagai saksi pendukung pengakuan Yesus Kristus yang luar biasa itu. Posisi kontroversial Kristen di sini benar-benar sukar untuk dijelaskan, tapi kita tak perlu terkejut karena perkara yang lebih penting lagi yang berhubungan dengan seluk beluk agama Kristen itu sendiri memang tak bisa dijelaskan. Dikatakan bahwa Qur’an Suci memuji-muji Yesus Kristus. Memang, namun bersamaan itu pula Qur’an menjelaskannya bahwa beliau itu hanya salah seorang di antara sejumlah besar Nabi Bani Israel yang mengikuti Musa; Qur’an mengatakan bahwa beliau hanya seorang Rasul yang risalahnya terbatas bagi satu bangsa saja:
“Dan seorang utusan bagi kaum Bani Israel” (3:48)
Penjelasan itu cukup membuktikan bahwa Qur’an Suci tidak secara penuh menempatkan beliau (Nabi ‘Isa) dalam posisi yang terunggul dari Nabi-nabi lainnya, dengan kata lain bahwa beliau bukanlah Nabi bertaraf dunia yang risalahnya jelas dinyatakan untuk segenap bangsa. Tapi apakah kaum Kristen tidak bisa melihat, mengapa Qur’an Suci menghargai Nabi bangsa lain? Sebenarnya, dalam hal ini kaum Kristen tak bisa membedakan antara Injil dan Qur’an Suci. Risalah Nabi Isa hanyalah untuk kalangan Bani Israel saja dan karena itu beliau tidak melakukan apa-apa seperti Nabi-nabi yang lain; risalah Muhammad saw jelas sekali untuk segenap bangsa di seluruh dunia dan oleh karenanya Qur’an Suci membicarakan segenap Nabi-nabi di dunia. Dan lebih-lebih lagi bahwa mengimani segenap Nabi itu, penting sekali untuk mengajarkan rasa hormat terhadap mereka semua. Nah, sewaktu kedatangan Yesus Kristus dan ibunya yang sosok pribadi keduanya adalah orang suci, tapi keduanya sangat dibenci oleh bangsa Israel, padahal keduanya itu bangsa Israel sendiri. Maryam dituduh secara keji sebagai seorang pelacur, dan puteranya dicaci karena dituduh sebagai anak haram jadah hasil dari perzinahan dan juga dianggap sebagai seorang pendusta. Justru Qur’an Sucilah yang mengenyahkan tuduhan keji semacam itu dan menekankan prinsip utama bahwa para Nabi itu adalah orang-orang suci. Mereka yang amat memuji-muji secara berlebihan terhadap Nabi Isa dan ibunya dengan mengambil nara sumber dari Qur’an Suci harus ingat bahwa tuduhan jahat bangsa Yahudi terhadap kedua orang suci itu harus juga menyebutkan kebajikan dan kemuliaan mereka karena pada kenyataannya Nabi-nabi yang lain tidak dicela dengan sebutan sekeji itu tanpa perlu menyebut-nyebut kebaikan mereka.
Karenanya, jika seorang Kristen tidak konsisten dengan menganggap Yesus Kristus itu lebih unggul dari Nabi Suci berdasarkan kitab yang mereka tuduh sebagai karya seorang pendusta, ini pun masih tetap aneh karena pernyataan yang tak ada dasarnya itu seringkali menggambarkan perihal Yesus itu tidak hanya bertentangan dengan Qur’an Suci, tetapi bahkan bertentangan pula dengan Injil itu sendiri sebagai kitab suci agama Kristen, menuduh palsu dan kesimpulannya diambil dari kata-kata Qur’an Suci yang tidak hanya asing bagi pandangannya, namun juga dipungkiri oleh Injil. Dalam meliputi masalah ini karenanya saya akan menunjukkan kepada keduanya, yakni pada Qur’an dan Bebel, khususnya Injil. Tetapi mengenai keabsahan terhadap perkara yang akan dikemukakan dari dua sumber ini, di sana ada dunia dan situasi yang berbeda karena Injil itu ditulis dan disalin berulang-ulang dan ini menjadi penting demi menerima pernyataannya dengan penuh kehati hatian.
Adapun mengenai keotentikan Qur’an Suci, saya tidak perlu mengulur-ngulur waktu lebih lama lagi kepada para pembaca. Dari satu sisi dunia ke sisi lainnya, dari Cina yang ada di Timur Jauh hingga ke Maroko di Ujung Barat, dari kepulauan di Lautan Pasifik yang berserakan hingga ke gurun pasir yang maha luas di Afrika, Qur’an adalah satu, tidak ada satu salinan pun yang berbeda yang bisa dijumpai di setiap orang yang memilikinya di antara empatratus juta lebih kaum Muslimin. Padahal di sana selalu ada perbedaan paham, tetapi tetap memiliki satu Qur’an. Perselisihan politik dan perbedaan ajaran tumbuh berbeda selama seperempat abad setelah wafatnya Nabi Suci, tapi dari mereka itu tak pernah keluar satu suara pun yang melanggar kesucian naskah Qur’an Suci. Sedikit pun tidak dikenal ada perbedaan dalam teksnya. Bahkan Dr. Mingana sekalipun tidak bisa menunjukkan kesalahan akibat kelalaian di dalam menyalin ataupun mentranskripsi oleh tangan yang tak bertanggungjawab yang ia nyatakan di dalam bukunya yang berjudul: “Peninggalan dari tiga Qur’an Kuno”. Dan keaslian salinan naskah tersebut dibuat dan diedarkan dibawah perintah tiga khalifah Nabi Suci tetap terjaga disajikan hingga hari ini. Di sini pendapat seorang tukang kritik yang memusuhi mengatakan:
“Salinan naskah Utsman yang sampai ke tangan kita sekarang tak berubah … perselisihan dan pertikaian golongan membangkitkan mereka untuk membunuh Utsman sendiri dalam masa seperempat abad sejak kematian Muhamad, bahkan sejak perpecahan dunia Muhamad. Namun hanya berlaku Satu Qur’an di antara mereka; dan semua serempak menggunakan kitab suci yang sama di setiap zaman hingga kini tak ada bukti yang dapat disangkal bahwa sekarang pun ada di hadapan kita teks yang disediakan oleh perintah Khalifah yang tak beruntung itu. Mungkin di dunia ini tidak ada karya lain yang selama duabelas abad masih tetap murni teksnya”. (Muir: “Life of Mohamet”).(Huruf italik oleh saya, penulis).
Muir lebih jauh menunjukkan bahwa salinan yang dibuat oleh Utsman diyakini sebagai reproduksi dari salinan yang dibuat oleh Zaid hanya enam bulan setelah wafatnya Nabi Suci dan edisi Zaid tersebut diyakini salinan yang diwahyukan kepada Nabi Suci, ia memberikan sejumlah alasan untuk meyakini hal itu, dan kesimpulan yang Muir kemukakan, dia menyetujui pernyataan Von Hammer: “kami yakin bahwa Qur’an benarbenar ucapan Muhammad sebagaimana umat Muhammad yakin bahwa itu adalah firman Ilahi”.
Cerita dan penulisan serta penyalinan Injil sungguh berbeda. Awal mula adanya naskah didapat pada tahun 1859 dalam bahasa Yunani, yang kita diberitahu, bahwa tulisan itu dibuat di pertengahan abad keempat setelah Yesus Kristus tiada. Yang ditemukan di Gunung Sinai di Biara St. Catherine yang dikenal sebagai Siniaticus. Yang lainnya dikenal sebagai Alexandrinus yang kini ada di Museum Inggris terbilang dari abad kelima. Yang lainnya lagi disebut Vatikan terbilang dari abad keempat tapi tak lengkap. Dan semua itu dikatakan sebagai tiga naskah utama. Terhadap kondisi dan keberadaan ketiganya itu akan saya kutip, bukan kritikan, namun datang dari seorang komentator Bebel, Rev. J.R. Dummelow:
“Pertama-tama, para penulis Injil menyampaikan perkataan Yesus dalam bahasa Yunani (meskipun mungkin mereka memiliki beberapa sumber bahasa Aramaik) yang sebagian besar mungkin Yesus berbicara dalam bahasa Aramaik. Baik para penulisnya maupun salinan-salinan yang mereka catat berlangsung di luar Gereja permulaan yang mereka ketahui”.
Begitu pula yang diterapkan oleh St. Paulus. Surat-suratnya, yang kini begitu berharga, hanyalah risalah yang sengaja ditujukan untuk Gereja-gereja. Yang pertama-tama disalinkannya tidak dikenal sebagai barang ‘suci’ dalam pandangan kita.
Bahkan di abad-abad terakhir pun kita tak dapat mengamati dengan teliti terhadap kesucian naskah yang bercirikan perubahan dari Perjanjian Lama. Salinan-salinan tersebut seringkali tidak sesuai dengan naskahnya, tapi dia cuma mengira-ngira dari situ. Ia dipercaya berubah-rubah ingatan, atau ia membuat naskah itu sesuai dengan pandangan sektenya sendiri. Di samping itu, sejumlah besar salinan tetap dipelihara. Lebih-lebih versi yang disalin dari para Pemimpin Gereja permulaan, hampir empatribu naskah berbahasa Yunani dari Perjanjian Baru diketahui masih tetap ada. Karenanya, berbagai variasi bacaan tersebut masih bisa dipertimbangkan”.
Kepercayaan apa yang dapat diterapkan dari dokumen-dokumen yang peralihan dan tambahan-tambahan serta perobahannya begitu sembarangan ditulis oleh para penyalinnya? Bahkan penulisannya maupun tanggal penulisannya pun sungguh tak diketahui. Injil Kanonik pertama dipermaklumkan sebagai Injil menurut Matius, seorang Pengikut Yesus. Tapi Injil tersebut sungguh tak pernah ditulis olehnya. Itu ditulis oleh tangan seseorang yang tak diketahui. Kisah penulisan Injil tersebut diterangkan oleh komentatornya, seperti saya kutip di atas, mungkin St. Matius menulisnya dalam bahasa Yunani berupa kitab “logia” (bahasa sehari-hari) atau “oracles” (bahasa lisan) yang tidak bisa dijumpai di mana pun, kecuali tulisan Papias pada tahun 130 Masehi yang meminjam nama Matius dengan susunan kitab seperti itu.
“Terjemahan bahasa Yunaninya dari “Logia” tersebut penulis kita itu rupanya menggunakannya sebebas mungkin, dia mengakukan tugasnya itu dari murid Yesus dengan menyebutnya sebagai karya “menurut Matius”.
Penjelasan di atas berbicara sendiri. Matius mungkin menulis suatu buku yang tidak ditemukan di mana pun kecuali dalam referensi Papias. Lainnya tetap membingungkan. Tidak sedikit bukti bahwa penulis Injil pertama yang tak dikenal itu memiliki salinan kitab itu dari terjemahan bahasa Yunani, atau mungkin pula dia menggunakan itu semaunya saja. Kebingungan itu sebenarnya sederhana sekali bahwa Injil tersebut disebut saja Injil menurut St Matius, tapi mungkin pula dia hanya menggunakan bahasa lisan saja dari St Matius tadi.
Injil berikutnya adalah St. Markus, yaitu seorang sahabat Petrus, dan kesaksian di bawah ini sebagaimana dicatat oleh Papias kuranglebih tahun ke 130 Masehi yang ia hanya bertumpu kepada penjelasan penulis Injil tersebut:
“Markus menjadi (atau dijadikan) penafsir Petrus yang menulis semua apa yang ia ingat (atau, segala apa yang diceritakan oleh Petrus) meskipun dia tak pernah (mencatat) apa yang telah dikatakan oleh Kristus. Karena ia tak pernah mendengar Tuhan, tidak pula pernah mengikuti-Nya; namun sesudahnya, sebagaimana saya katakan, (melibatkan dirinya) kepada Petrus yang menggunakan bentuk ajarannya untuk menemui (secara mendadak) keinginan (para pendengarnya); dan cerita itu tidak ada hubungannya dari sumber Tuhan.
Bahkan jika kita terima bukti ini, Injil St. Markus bisa dikatakan hanya berdasarkan tradisi omongan Petrus belaka, bahkan meskipun bukti itu meragukan bahwa Injil yang ada di tangan kita sekarang benar-benar ditulis oleh Markus, kritik keras tersebut memandang bahwa ia hanya penulis pokok-pokok Injil yang ada sekarang yang disebutkan berasal dari dia.
St. Lukas juga bukan murid Yesus tapi ia hanya pengikut muridnya Yesus dan ia dikatakan ikut Paulus. Dan mengenai Injil yang empat itu, tidak diragukan belakangan banyak sekali ditambah-tambah. Mengenai penanggalan berbagai Injil itu, gambaran yang bisa diterima mengenai tiga Injil pertama semua itu ditulis kurang lebih tahun 70 Masehi, namun para pengeritik ulung mengatakannya jauh lebih belakangan, dan bukti internal menjadi alasan terhadap kesimpulan ini. Dalam membicarakan Injil kanoniknya Matius kita diberitahu bahwa “banyak sekali pemberian tanggal seluruh Injil tersebut di akhir tahun 130 Masehi”. Penanggalan yang terdini bisa diakui bila banyak kutipan-kutipan utama dianggap sebagai interpolasi atau sisipan belakangan. Mengenai penanggalan Injil Lukas kesimpulannya menyebutkan tahun 100 Masehi, ini lebih bisa diterima, dan beberapa keterangan menyatakan bahwa batas tanggal penyusunannya kurang lebih tahun 110.
Pertimbangan terhadap penulisan, penanggalan dan peralihan Injil-Injil tersebut, sebagian besar naskah, bacaan dan keberadaannya tidak bisa dipungkiri banyak sekali tambahan yang sudah tentu ini bisa mengurangi nilai; dan karena inilah kritik terhadap semua Injil tersebut, seperti dikemukakan di dalam Encyclopaedia Biblica, Pendeta E.A.
Abbot mengajukan pertanyaan yang sangat penting:
“Membiarkan bagian-bagian seringkali dapat menimbulkan keraguan yang unsurnya banyak sekali di seluruh Injil”.
Jawaban terhadap pertanyaan yang ada di seluruh Injil, lima kutipan di bawah ini mungkin bisa dianggap dapat dipercaya.
Kutipan yang menunjukkan bahwa Yesus menolak disebut orang tidak berdosa:
“Mengapa engkau mengatakan aku baik? Tidak ada yang baik kecuali satu, yakni Tuhan” (Markus 10:18)
Kutipan yang menunjukkan bahwa orang yang mengutuk beliau diampuni:
“Semua perkara dosa dan kutukan akan diampuni; tapi kutukan terhadap Ruhul Kudus tidak akan diampuni” (Matius 12:31)
Kutipan yang menunjukkan bahwa ibunya sendiri dan saudara-saudaranya tidak mengimaninya dan mereka secara tulus berpikir bahwa ia gila: Dan ketika teman-temannya mendengar itu, mereka keluar untuk mengambil dia, karena mereka berkata, Dia sudah tidak waras lagi” (Markus 3:21). Pada ayat 31 kawan-kawan yang muncul itu adalah ibunya sendiri serta saudara-saudaranya.
Kutipan yang menunjukkan bahwa Yesus Kristus tidak mengetahui barang gaib:
“Pada hari dan saat itu seorang pun tidak ada yang tahu, sekalipun para malaikat di langit, tidak juga anak kecuali Bapak”.
Kutipan yang menunjukkan teriakan rasa putus asa yang dia ucapkan di atas kayu salib: “Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau tinggalkan daku”.
Terhadap yang lima ini ditambah empat lainnya yang meliputi berbagai mu’jizatnya yang akan dibicarakan dalam bab mu’jizat di belakang, dan sembilan kutipan tersebut, ini dikatakan “soko-guru bagi ilmiahnya kehidupan Yesus yang sesungguhnya”.
Akan terlihat bahwa ajaran dasar Kristen terletak pada catatan-catatan yang tak bisa diterima, dan kisah mu’jizat yang ditempa dan dilakukan secara aneh, itu berdasarkan doktrin Keilahian Yesus Kristus dan keunggulannya dari semua manusia, karenanya perkara ini hanya bisa diterima dengan penuh kehati-hatian yang luar biasa. Bagaimanapun pasti terpikir bahwa jika hanya mengandalkan keunggulan Yesus Kristus sebagai manusia biasa yang bisa melebihi manusia lainnya, demikian sabda Pendiri Suci Islam, sudah tentu tidak membuat kita lebih dekat sedikit pun kepada kebenaran agama Kristen hingga ia dapat menunjukkan bahwa ia memiliki sifat keIlahian atau dia melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa. Jika agama Kristen mengikuti prinsip yang diletakkan oleh para Nabi terdahulu, pernyataan bahwa Yesus Kristus manusia yang paling utama dari manusia lainnya yang pernah hidup, pasti akan melakukan sesuatu yang baik terhadap kaum Kristen, namun sejauh doktrin penebusan dosa manusia oleh pribadi Tuhan seperti itu masih tetap menjadi doktrin utama agama tersebut, maka tak kurang bukti bahwa kelebihannya dari manusia lain terletak dalam keilahiannya dan kelebihannya di atas sekalian manusia dapat menjadi penyebab utamanya. Di dalam hal inilah gunanya membicarakan hubungan antara agama Kristen dan Islam, atau hubungan yang bertalian dengan keutamaan para pendirinya, maka ini bisa jadi membantu para pencari kebenaran. Tapi pertentangan yang terdapat di dalam Kristen itu sendiri tidak bisa mengatasi masalah ini. Saya akan mengemukakan berbagai masalah seperti yang dipertentangkan oleh kaum Kristen itu sendiri. Saya mengambil permasalahan Kristen sebagaimana yang disajikan di dalam selebaran-selebaran terakhirnya, sedikit menyinggung risalah agama yang disampaikan oleh para Missionaris Kristen di Ludhiana, India, di bawah judul Haqa’iq-I Qur’an, atau “Hakikat Qur’an” yang diakukan berdasarkan hanya dari “pernyataan Qur’an saja” yang telah diedarkan dan disiarkan di India, dan melalui lembaran-lembaran Dunia Muslim, di seluruh negeri-negeri Kristen maupun negeri Muslim.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: semua nabi berkedudukan sama
muhammad kan special
apapun keinginannya pasti disediakan ayatnya oleh ilahnya
bahkan sorgapun haram bagi nabi-nabi sebelum muhammad memasukinya
muhammad gitu looh...
apapun keinginannya pasti disediakan ayatnya oleh ilahnya
bahkan sorgapun haram bagi nabi-nabi sebelum muhammad memasukinya
muhammad gitu looh...
SEGOROWEDI- BRIGADIR JENDERAL
- Posts : 43894
Kepercayaan : Protestan
Join date : 12.11.11
Reputation : 124
Re: semua nabi berkedudukan sama
diperlakukan spesial karena beliau adalah nabi Penutup
Kaum Muslim, apa pun madzhab dan firqah mereka, bersepakat
dalam keyakinan bahwa rasul-rasul Allah yang dikirim kepada
umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad SAW. Beliaulah
Nabi dan Rasul penutup (khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in).
Keyakinan seperti ini didasarkan pada firman Allah dalam
al-Qur'an: "Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah scorang di
antara kalian, dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir."
(QS Al-Azhab/33: 40).
Keyakinan bahwa Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi
bahwa rentetan wahyu-wahyu Allah yang diberikan, kepada para
rasul, semenjak Nabi Adam AS, dipandang telah sempurna
diturunkan di tangan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian
sesudah ayat terakhir dalam al-Qur'an turun, "Hari ini aku
(Allah) sempurnakan bagimu agamamu, lengkaplah untukmu
nikmat-Ku dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama" (QS.
al-Maidah: 3), berakhirlah proses penurunan wahyu dari Allah.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat evolusi di dalam
agama, dimana Islam dimunculkan sebagai bentuk terakhir dan
dengan demikian Islam merupakan agama yang paling memadai dan
sempurna.
Di saat Nabi Muhammad masih hidup, ummat Islam di zaman itu,
bila menghadapi masalah, baik dalam bidang kehidupan sosial
maupun dalam bidang kehidupan keagamaan, pergi bertanya kepada
Nabi bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikannya. Nabi
Muhammacl menyelesaikan masalah-masalah ummat dengan petunjuk
wahyu yang beliau terima dari Allah. Namun bila wahyu tidak
memberikan penjelasan apa-apa tentang masalah yang dihadapi
tersebut, Nabi terkadang menyelesaikan perkara-perkara yang
dihadapi dengan pemikiran dan pendapat bellau sendiri atau
terkadang melalui permusyawaratan dengan para sahabat.
Pemikiran dan pendapat Nabi dijumpai dalam hadits. Hadits pada
hakikatnya tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi
saja, tetapi juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu
perkara.
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, lebih kurang satu
tahun setelah Nabi Muhammad wafat, ayat-ayat al-Qur'an yang
ditulis di pelepah-pelepah tamar, tulang dan daun korma
dikumpulkan menjadi satu kesatuan. Pada masa pemerintahan
Usman, kumpulan ayat-ayat tersebut dikodifikasi ke dalam satu
kitab, dan dari kitab yang satu disalin lagi beberapa kitab
untuk dikirimkan ke beberapa ibu kota daerah sebagai pegangan
umat Islam di tempat mereka masing-masing. Al-Qur'an yang ada
di tangan kita dewasa ini berasal dari kodifikasi masa Usman
yang secara populer dikenal dengan nama Al-Mushaf al-Usmani.
Sementara itu hadits dikumpulkan menjadi buku pada abad ke-3
Hijrah, 200 tahun sesudah Nabi wafat.
Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat Islam bila
menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan
keagamaan tidak ada lagi. Umat di kala itu mempunyai dua
pegangan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka
hadapi. Kedua pegangan ini, yakni al-Qur'an dan hadits Nabi
dipergunakan oleh umat Islam generasi pertama itu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Di masa
beliau masih hidup, Nabi Muhammad memang pernah memperingatkan
mereka tentang kedua pegangan ini: "Aku tinggalkan bagimu bagi
pedoman, dan kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang
pada keduanya, yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah
Nabinya."
Predikat Muhammad sebagai khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in,
penutup para nabi dan rasul, dengan kitab suci al-Qur'an di
tangan beliau, juga sebagai pamungkas wahyu-wahyu Allah,
manusia dipandang sudah mencapai tingkat kedewasaan rasional
dan oleh karena itu wahyu tidak akan diturunkan lagi. Namun di
balik itu umat manusia, demikian Fazlur Rahman, masih me
ngalami kebingungan moral dan karena moral mereka tidak dapat
mengimbangi derap kemajuan sains dan teknologi yang
perkembangannya begitu cepat dan mencakup berbagai bidang
kehidupan. Maka setiap orang, agar tercapai kedewasaan moral,
selalu tergantung kepada perjuangannya yang terus menerus
untuk mencari petunjuk dari kitab-kitab Allah -khususnya
al-Qur'an- yang didalamnya seluruh wahyu Allah sudah
disempurnakan turunnya.
Bila pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, umat Muslim
menjadikan beliau nara sumber, tempat bertanya, untuk menjawab
persoalan-persoalan sosial dan keagamaan mereka. Dan ketika
beliau sudah tidak ada lagi yang dijadikan sebagai tempat
bertanya masalah-masalah sosial dan keagamaan umat Islam, maka
umat Islam haruslah senantiasa merujuk dua pedoman yang
ditinggalkan oleh beliau, yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah
berpesan, bila menghadapi masalah-masalah "technical know how"
dalam kehidupan, itu menjadi wewenang kaum Muslim. Tidak ada
sangkut pautnya dengan tugas risalah yang beliau bawa. Hadits
mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalah-masalah duniamu."
Sesuai dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat
Islam paska Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an dan
Sunnah atas masalah-masalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan
cepat dapat dirasakan dan diketahui oleh mereka bahwa banyak
sekali masalah yang dijumpai dalam kehidupan mereka
sehari-hari tidak diberikan penyelesaiannya dalam al-Qur'an
dan Sunnah. Bahkan tidak jarang masalah-masalah yang muncul
tersebut tidak disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah.
Situasi seperti itu ditemui oleh kaum Muslim generasi pertama
tersebut manakala Islam sudah meluas keluar semenanjung Arabia
dan masuk ke Suria, Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan
Afrika Utara. Problema-problema yang dihadapi oleh kaum Muslim
bertambah banyak, bertambah ragamnya dan bertambah
kepelikannya.
Secara geografis, daerah kekuasaan Islam, pada waktu kewafatan
Nabi Muhammad tahun 632 M, hanya semenanjung Arabia yang
tandus, dengan etnis Arab yang mempunyai kehidupan dan
kebudayaan sederhana sekali. Tetapi ketika berbagai kawasan
sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik Islam terutama di masa
pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar Umayyah
dan Abbasiyah, daerah kekuasaan Islam tidak lagi hanya
penduduk yang satu kebangsaannya, yakni Arab, dan satu
agamanya, yaitu Islam, tetapi penduduknya terdiri dari
berbagai bangsa dan menganut berbagai agama, terutama Kristen,
Yahudi, Zoroaster, disamping juga memakai bahasa yang saling
berbeda dengan satu sama lain. Maka masalah-masalah yang
timbul dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda
dengan masalah-masalah yang timbul tatkala umat Islam masih
berada di Medinah.
Inilah yang digambarkan oleh Ali Hasan Abdul Qadir yang
mengatakan, "Sekiranya bangsa Arab tetap tinggal di
Semenanjung mereka dan tidak keluar dari sana, mereka tidak
akan menghadapi masalah-masalah yang pelik. Tetapi kekuasaan
Islam dengan tiba-tiba meluas ke seberang batas-batas
Semenanjung Arabia dan tunduk kepadanya umat dan bangsa yang
berbeda-beda yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang
berlainan dengan apa yang dimiliki oleh bangsa Arab. Dengan
adanya kontak dan perang dengan bangsa-bangsa itu timbullah
banyak masalah baru, baik dalam bidang keakhiratan maupun
dalam bidang keduniaan, masalah-masalah yang tak pernah
terlintas dalam pikiran mereka."
Demikianlah setelah Muhammad Rasulullah sudah tiada lagi
petunjuk Allah hanya bisa diperoleh dengan selalu melakukan
rujukan pada al-Qur'an dan Hadits yang ditinggalkan oleh
Muhammad s.a.w. itu. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh
beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua sumber
tersebut umat Islam tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap
kaum beriman mempunyai kewajiban untuk secara terus-menerus
mempelajari dan memahami al-Qur'an dan hadits untuk
mendapatkan kebenaran yang dikandungnya, yang dengan kebenaran
itu arah moral kehidupan menjadi jelas.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa posisi Muhammad sebagai
penutup utusan Allah tersebut mengandung makna penyerahan
mandat kepada kaum Muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan
keagamaan mereka dengan selalu merujuk kepada dua sumber
al-Qur'an dan hadits. Malah bila al-Qur'an dan hadits tidak
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi,
kaum Muslim boleh mempergunakan al-ra 'yu atau ijtihad mereka.
Segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islarm dihadapkan
kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di
kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya
dalam al-Qur'an, yakni masalah suksesi. Siapa yang
menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah.
Sebagai diketahui Madinah telah menjadi ibu kota dari negara
yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang
terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau
wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul
Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, para muasrikh mencatat,
telah terjadi pertemuan antara pemuka-pemuka Muhajirin dan
Ansar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk
yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti Nabi
sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu
menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Kaum Ansar memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan
kepada Nabi sehingga beliau berhasil menaklukkan Makkah dan
menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Arabia. Kaum
Muhajirin mengajukan pula argumentasi mereka, yakni karena
merekalah orang yang pertama-tama pendukung dakwah Nabi
Muhammad. Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam
berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama kelamaan
bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin
juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para
Pemimpin itu dari suku Quraisy) serta perbuatan Nabi, yakni
mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam shalat kepada Abu
Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit. Terhadap
argumen-argumen yang diajukan oleh kaum Muhajirin itu, kaum
Ansar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah
pertama, pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala
negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan khalifatu
Rasulillah.
Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Ansar mundur
dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam
memajukan argumen, maka argumen yang dianggap kuat adalah
argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an dan hadits. Kaum
Ansar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai
argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen
perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari
suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak
Abu Bakar sebagai Khalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan
pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.
Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi
tersebut? Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah
berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan
bahwa para pemimpin dari suku Quraisy. Kaum Syi'ah umpamanya,
lebih spesifik dalam pandangan mereka tentang suksesi ini
yakni haruslah dari keluarga sedarah yang terdekat dengan
Nabi. Maka para imam dari kaum Syi'ah, memang rentetan
keturunan yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi, yang
dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri. Berbeda
dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum
Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari
suku Quraisy ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja
dari kaum Muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi
persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan nabi
sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij ini, dalam
perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad XVI M dianut
oleh Sunni.
Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum Muslim masa awal
itu adalah masalah siapa yang disebut mukmin dan siapa yang
disebut kafir. Al-Qur'an dan hadits Nabi memang memberikan
kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak
adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan berbagai
pandangan yang berbeda pula.
Persoalan mukmin dan kafir dimunculkan oleh kaum Khawarij ke
permukaan. Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin
Affan, yang kemudian memunculkan protes keras terhadap
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, selaku Khalifah keempat,
karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
Malah lebih ekstrem lagi, Ali bin Abi Thalib dituduh
berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman
bin Affan.
Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim
antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari
dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash.
Jalan tahkim yang dipergunakan menyelesaikan persoalan
tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang kemudian
dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka tahkim itu adalah
tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman
kapada apa yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka
dengan membawa ayat 44 surat al-Maidah, "Siapa yang tidak
menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah
orang kafir." Dengan dasar pandangan itu Khawarij kemudian
memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu Musa sudah kafir.
Orang muslim yang kemudian beralih menjadi kafir berarti
murtad. Pesan Nabi orang murtad darahnya halal dan wajib
dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk membunuh keempat-empat
tokoh tersebut.
Dalam perkembangannya timbul masalah baru apakah orang mukmin
yang melakukan dosa besar tetap mukmin? Karena mereka
merupakan kelompok sempalan dalam dinasti Umayyah, mereka
menganggap bahwa pemuka pemuka dinasti Bani Umayyah sudah
berbuat kedhaliman dan oleh karena itu telah berbuat dosa
besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu
berarti tidak sah lagi menjadi khalifah. Demikian kaum
Khawarij memasukkan semua perbuatan dosa besar, seperti
berzina, bersumpah palsu, mendurhaka ibu bapa, syirik,
mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir.
Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas,
sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan
muslim adalah orang-orang yang sudah mengucap dua kalimah
syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah"
(Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah).
Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam
sejarah teologi Islam, golongan yang menganut paham ini
dikenal dengan nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang
yang telah melakokan dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi
kafir. Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah memandang
pemuka-pemuka Bani Umayyah, tetap sah menjadi khalifah.
Kemudian timbul paham ketiga, yakni bila seseorang yang
mengucap dua kalimah syahadat itu melakukan dosa besar, ia
hanya boleh disebut muslim. Di sini dibedakan antara mukmin
dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa
besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa
besar. Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi
predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi
antara tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk
dalam doktrin dasar mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni
al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).
Dua kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan
dan masalah teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim
pertama itu menunjukkan bagaimana cara mereka menghadapi
masalah-masalah sosial dan keagamaan, di kala Nabi Muhammad
tidak ada lagi.
Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan
wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul utusan
sesudah Muhammad. Oleh sebab itu tidak ada otoritas pribadi
mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan
penterjemah yang paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam
al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan serta ketetapan
Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.
Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul kaum
Muslim telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial dan
keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam
bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah
itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian)
dalam berijtihad. Bila ijtihadnya benar akan mendapat dua
pahala, dan bila ijtihadnya salah masih diberi satu pahala.
Persoalan angkatan kita sekarang ini adalah bagaimana
memunculkan orang-orang yang mempunyai kapasitas untuk mampu
melakukan ijtihad tersebut.
Kaum Muslim, apa pun madzhab dan firqah mereka, bersepakat
dalam keyakinan bahwa rasul-rasul Allah yang dikirim kepada
umat manusia berakhir pada diri Nabi Muhammad SAW. Beliaulah
Nabi dan Rasul penutup (khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in).
Keyakinan seperti ini didasarkan pada firman Allah dalam
al-Qur'an: "Bukanlah Muhammad itu bapak dari salah scorang di
antara kalian, dia adalah Rasul Allah dan Nabi yang terakhir."
(QS Al-Azhab/33: 40).
Keyakinan bahwa Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi
bahwa rentetan wahyu-wahyu Allah yang diberikan, kepada para
rasul, semenjak Nabi Adam AS, dipandang telah sempurna
diturunkan di tangan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian
sesudah ayat terakhir dalam al-Qur'an turun, "Hari ini aku
(Allah) sempurnakan bagimu agamamu, lengkaplah untukmu
nikmat-Ku dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama" (QS.
al-Maidah: 3), berakhirlah proses penurunan wahyu dari Allah.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat evolusi di dalam
agama, dimana Islam dimunculkan sebagai bentuk terakhir dan
dengan demikian Islam merupakan agama yang paling memadai dan
sempurna.
Di saat Nabi Muhammad masih hidup, ummat Islam di zaman itu,
bila menghadapi masalah, baik dalam bidang kehidupan sosial
maupun dalam bidang kehidupan keagamaan, pergi bertanya kepada
Nabi bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikannya. Nabi
Muhammacl menyelesaikan masalah-masalah ummat dengan petunjuk
wahyu yang beliau terima dari Allah. Namun bila wahyu tidak
memberikan penjelasan apa-apa tentang masalah yang dihadapi
tersebut, Nabi terkadang menyelesaikan perkara-perkara yang
dihadapi dengan pemikiran dan pendapat bellau sendiri atau
terkadang melalui permusyawaratan dengan para sahabat.
Pemikiran dan pendapat Nabi dijumpai dalam hadits. Hadits pada
hakikatnya tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi
saja, tetapi juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu
perkara.
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, lebih kurang satu
tahun setelah Nabi Muhammad wafat, ayat-ayat al-Qur'an yang
ditulis di pelepah-pelepah tamar, tulang dan daun korma
dikumpulkan menjadi satu kesatuan. Pada masa pemerintahan
Usman, kumpulan ayat-ayat tersebut dikodifikasi ke dalam satu
kitab, dan dari kitab yang satu disalin lagi beberapa kitab
untuk dikirimkan ke beberapa ibu kota daerah sebagai pegangan
umat Islam di tempat mereka masing-masing. Al-Qur'an yang ada
di tangan kita dewasa ini berasal dari kodifikasi masa Usman
yang secara populer dikenal dengan nama Al-Mushaf al-Usmani.
Sementara itu hadits dikumpulkan menjadi buku pada abad ke-3
Hijrah, 200 tahun sesudah Nabi wafat.
Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat Islam bila
menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan
keagamaan tidak ada lagi. Umat di kala itu mempunyai dua
pegangan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka
hadapi. Kedua pegangan ini, yakni al-Qur'an dan hadits Nabi
dipergunakan oleh umat Islam generasi pertama itu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Di masa
beliau masih hidup, Nabi Muhammad memang pernah memperingatkan
mereka tentang kedua pegangan ini: "Aku tinggalkan bagimu bagi
pedoman, dan kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang
pada keduanya, yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah
Nabinya."
Predikat Muhammad sebagai khatam al-anbiya wa 'l-mursal-in,
penutup para nabi dan rasul, dengan kitab suci al-Qur'an di
tangan beliau, juga sebagai pamungkas wahyu-wahyu Allah,
manusia dipandang sudah mencapai tingkat kedewasaan rasional
dan oleh karena itu wahyu tidak akan diturunkan lagi. Namun di
balik itu umat manusia, demikian Fazlur Rahman, masih me
ngalami kebingungan moral dan karena moral mereka tidak dapat
mengimbangi derap kemajuan sains dan teknologi yang
perkembangannya begitu cepat dan mencakup berbagai bidang
kehidupan. Maka setiap orang, agar tercapai kedewasaan moral,
selalu tergantung kepada perjuangannya yang terus menerus
untuk mencari petunjuk dari kitab-kitab Allah -khususnya
al-Qur'an- yang didalamnya seluruh wahyu Allah sudah
disempurnakan turunnya.
Bila pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, umat Muslim
menjadikan beliau nara sumber, tempat bertanya, untuk menjawab
persoalan-persoalan sosial dan keagamaan mereka. Dan ketika
beliau sudah tidak ada lagi yang dijadikan sebagai tempat
bertanya masalah-masalah sosial dan keagamaan umat Islam, maka
umat Islam haruslah senantiasa merujuk dua pedoman yang
ditinggalkan oleh beliau, yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah
berpesan, bila menghadapi masalah-masalah "technical know how"
dalam kehidupan, itu menjadi wewenang kaum Muslim. Tidak ada
sangkut pautnya dengan tugas risalah yang beliau bawa. Hadits
mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalah-masalah duniamu."
Sesuai dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat
Islam paska Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an dan
Sunnah atas masalah-masalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan
cepat dapat dirasakan dan diketahui oleh mereka bahwa banyak
sekali masalah yang dijumpai dalam kehidupan mereka
sehari-hari tidak diberikan penyelesaiannya dalam al-Qur'an
dan Sunnah. Bahkan tidak jarang masalah-masalah yang muncul
tersebut tidak disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah.
Situasi seperti itu ditemui oleh kaum Muslim generasi pertama
tersebut manakala Islam sudah meluas keluar semenanjung Arabia
dan masuk ke Suria, Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan
Afrika Utara. Problema-problema yang dihadapi oleh kaum Muslim
bertambah banyak, bertambah ragamnya dan bertambah
kepelikannya.
Secara geografis, daerah kekuasaan Islam, pada waktu kewafatan
Nabi Muhammad tahun 632 M, hanya semenanjung Arabia yang
tandus, dengan etnis Arab yang mempunyai kehidupan dan
kebudayaan sederhana sekali. Tetapi ketika berbagai kawasan
sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik Islam terutama di masa
pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar Umayyah
dan Abbasiyah, daerah kekuasaan Islam tidak lagi hanya
penduduk yang satu kebangsaannya, yakni Arab, dan satu
agamanya, yaitu Islam, tetapi penduduknya terdiri dari
berbagai bangsa dan menganut berbagai agama, terutama Kristen,
Yahudi, Zoroaster, disamping juga memakai bahasa yang saling
berbeda dengan satu sama lain. Maka masalah-masalah yang
timbul dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda
dengan masalah-masalah yang timbul tatkala umat Islam masih
berada di Medinah.
Inilah yang digambarkan oleh Ali Hasan Abdul Qadir yang
mengatakan, "Sekiranya bangsa Arab tetap tinggal di
Semenanjung mereka dan tidak keluar dari sana, mereka tidak
akan menghadapi masalah-masalah yang pelik. Tetapi kekuasaan
Islam dengan tiba-tiba meluas ke seberang batas-batas
Semenanjung Arabia dan tunduk kepadanya umat dan bangsa yang
berbeda-beda yang mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang
berlainan dengan apa yang dimiliki oleh bangsa Arab. Dengan
adanya kontak dan perang dengan bangsa-bangsa itu timbullah
banyak masalah baru, baik dalam bidang keakhiratan maupun
dalam bidang keduniaan, masalah-masalah yang tak pernah
terlintas dalam pikiran mereka."
Demikianlah setelah Muhammad Rasulullah sudah tiada lagi
petunjuk Allah hanya bisa diperoleh dengan selalu melakukan
rujukan pada al-Qur'an dan Hadits yang ditinggalkan oleh
Muhammad s.a.w. itu. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh
beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua sumber
tersebut umat Islam tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap
kaum beriman mempunyai kewajiban untuk secara terus-menerus
mempelajari dan memahami al-Qur'an dan hadits untuk
mendapatkan kebenaran yang dikandungnya, yang dengan kebenaran
itu arah moral kehidupan menjadi jelas.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa posisi Muhammad sebagai
penutup utusan Allah tersebut mengandung makna penyerahan
mandat kepada kaum Muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan
keagamaan mereka dengan selalu merujuk kepada dua sumber
al-Qur'an dan hadits. Malah bila al-Qur'an dan hadits tidak
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi,
kaum Muslim boleh mempergunakan al-ra 'yu atau ijtihad mereka.
Segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islarm dihadapkan
kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di
kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya
dalam al-Qur'an, yakni masalah suksesi. Siapa yang
menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah.
Sebagai diketahui Madinah telah menjadi ibu kota dari negara
yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang
terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau
wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul
Allah, tetapi juga sebagai kepala negara.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, para muasrikh mencatat,
telah terjadi pertemuan antara pemuka-pemuka Muhajirin dan
Ansar di Saqirah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk
yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti Nabi
sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu
menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Kaum Ansar memajukan argumen pertolongan yang mereka berikan
kepada Nabi sehingga beliau berhasil menaklukkan Makkah dan
menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Arabia. Kaum
Muhajirin mengajukan pula argumentasi mereka, yakni karena
merekalah orang yang pertama-tama pendukung dakwah Nabi
Muhammad. Andaikata mereka tidak ada, tidak akan mungkin Islam
berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama kelamaan
bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin
juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para
Pemimpin itu dari suku Quraisy) serta perbuatan Nabi, yakni
mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam shalat kepada Abu
Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit. Terhadap
argumen-argumen yang diajukan oleh kaum Muhajirin itu, kaum
Ansar mundur, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah
pertama, pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala
negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan khalifatu
Rasulillah.
Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Ansar mundur
dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam
memajukan argumen, maka argumen yang dianggap kuat adalah
argumen yang mempunyai referensi al-Qur'an dan hadits. Kaum
Ansar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai
argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen
perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari
suku Quraisy'" ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak
Abu Bakar sebagai Khalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan
pemikiran ini dianut di kalangan Sunni.
Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi
tersebut? Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah
berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan
bahwa para pemimpin dari suku Quraisy. Kaum Syi'ah umpamanya,
lebih spesifik dalam pandangan mereka tentang suksesi ini
yakni haruslah dari keluarga sedarah yang terdekat dengan
Nabi. Maka para imam dari kaum Syi'ah, memang rentetan
keturunan yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi, yang
dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri. Berbeda
dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum
Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari
suku Quraisy ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja
dari kaum Muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi
persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan nabi
sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij ini, dalam
perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad XVI M dianut
oleh Sunni.
Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum Muslim masa awal
itu adalah masalah siapa yang disebut mukmin dan siapa yang
disebut kafir. Al-Qur'an dan hadits Nabi memang memberikan
kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak
adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan berbagai
pandangan yang berbeda pula.
Persoalan mukmin dan kafir dimunculkan oleh kaum Khawarij ke
permukaan. Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin
Affan, yang kemudian memunculkan protes keras terhadap
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, selaku Khalifah keempat,
karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
Malah lebih ekstrem lagi, Ali bin Abi Thalib dituduh
berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman
bin Affan.
Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim
antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari
dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash.
Jalan tahkim yang dipergunakan menyelesaikan persoalan
tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang kemudian
dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka tahkim itu adalah
tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman
kapada apa yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka
dengan membawa ayat 44 surat al-Maidah, "Siapa yang tidak
menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah
orang kafir." Dengan dasar pandangan itu Khawarij kemudian
memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu Musa sudah kafir.
Orang muslim yang kemudian beralih menjadi kafir berarti
murtad. Pesan Nabi orang murtad darahnya halal dan wajib
dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk membunuh keempat-empat
tokoh tersebut.
Dalam perkembangannya timbul masalah baru apakah orang mukmin
yang melakukan dosa besar tetap mukmin? Karena mereka
merupakan kelompok sempalan dalam dinasti Umayyah, mereka
menganggap bahwa pemuka pemuka dinasti Bani Umayyah sudah
berbuat kedhaliman dan oleh karena itu telah berbuat dosa
besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu
berarti tidak sah lagi menjadi khalifah. Demikian kaum
Khawarij memasukkan semua perbuatan dosa besar, seperti
berzina, bersumpah palsu, mendurhaka ibu bapa, syirik,
mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir.
Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas,
sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan
muslim adalah orang-orang yang sudah mengucap dua kalimah
syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah"
(Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah).
Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam
sejarah teologi Islam, golongan yang menganut paham ini
dikenal dengan nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang
yang telah melakokan dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi
kafir. Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah memandang
pemuka-pemuka Bani Umayyah, tetap sah menjadi khalifah.
Kemudian timbul paham ketiga, yakni bila seseorang yang
mengucap dua kalimah syahadat itu melakukan dosa besar, ia
hanya boleh disebut muslim. Di sini dibedakan antara mukmin
dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa
besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa
besar. Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi
predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi
antara tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk
dalam doktrin dasar mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni
al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).
Dua kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan
dan masalah teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim
pertama itu menunjukkan bagaimana cara mereka menghadapi
masalah-masalah sosial dan keagamaan, di kala Nabi Muhammad
tidak ada lagi.
Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan
wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul utusan
sesudah Muhammad. Oleh sebab itu tidak ada otoritas pribadi
mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan
penterjemah yang paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam
al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan serta ketetapan
Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.
Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul kaum
Muslim telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial dan
keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam
bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah
itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian)
dalam berijtihad. Bila ijtihadnya benar akan mendapat dua
pahala, dan bila ijtihadnya salah masih diberi satu pahala.
Persoalan angkatan kita sekarang ini adalah bagaimana
memunculkan orang-orang yang mempunyai kapasitas untuk mampu
melakukan ijtihad tersebut.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» kenapa semua nabi dari timur tengah
» Mengapa semua Nabi bergelar AS , kecuali Muhammad bergelar SAW ?
» [sama-sama blackpink members, TAPI!!!anak yg sebelah kanan(baju putih)menari dg level kesungguhan yg lebih unggul daripada lisa!!!]
» Mukjizat tipe Nabi Muhammad dengan mukjizat2 Nabi-nabi yg lain
» Ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa disempurnakan oleh Nabi Muhammad
» Mengapa semua Nabi bergelar AS , kecuali Muhammad bergelar SAW ?
» [sama-sama blackpink members, TAPI!!!anak yg sebelah kanan(baju putih)menari dg level kesungguhan yg lebih unggul daripada lisa!!!]
» Mukjizat tipe Nabi Muhammad dengan mukjizat2 Nabi-nabi yg lain
» Ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa disempurnakan oleh Nabi Muhammad
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik