JIL Copasan Kristen liberal
Halaman 1 dari 1 • Share
JIL Copasan Kristen liberal
Wajah asli peradaban Barat merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno,
Kristen, dan tradisi paganisme Eropa. Meski Barat telah sekular-liberal,
sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai.
Ada buku menarik yang perlu
anda baca minggu-minggu ini. Buku itu berjudul, "Wajah Peradaban Barat: Dari
Hegemoni Kristen ke Dominasi Liberalisme-Sekularisme", karya saudara
Adian Husaini. Setidaknya, ini adalah buku penting yang bisa anda jadikan
pegangan untuk melihat wajah asli Barat beserta 'copy-paste' nya sekarang
ini.
Sebagaimana bisa disimak dalam buku ini, peradaban Barat sejatinya
merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno, Kristen, dan tradisi paganisme
Eropa.
Meskipun Barat telah menjadi sekular-liberal, namun
sentimen-sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai kehidupan mereka. Jika dalam
masa kolonialisme klasik mereka mengusung jargon “Gold,
Gospel, dan Glory”, maka di era modern, dalam beberapa hal, semboyan
itu tidak berubah.
Jika dianalisis secara mendalam, serbuan AS terhadap
Irak tahun 2003 dan dukungannya yang terus-menerus terhadap Israel, juga tidak
terlepas dari unsur “Gold, Gospel, dan Glory”.
Meskipun berbeda dalam
banyak hal, unsur-unsur Barat sekular-liberal kadang bisa bertemu dengan
kepentingan “misi Kristen”, atau “sentimen Kristen.”
Di masa klasik dulu,
seorang misonaris legendaris Henry Martyn, menyatakan, “Saya datang menemui umat
Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi
dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” Ia berpendapat,
bahwa Perang Salib telah gagal.
Karena itu, untuk “menaklukkan” dunia
Islam, dia mengajukan resep: gunakan “kata, logika, dan cinta”. Bukan kekuatan
senjata atau kekerasan. Misionaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan hal
senada, “Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan;
dan
kupikir mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya
semua hancur sebelum mereka mendapatkan apa yang tadinya ingin mereka
rebut.”
Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor di “Church
Missionary Society”, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen
dibandingkan Raymond Lull. Lull, kata Stock, adalah “misionaris pertama bahkan
terhebat bagi kaum Mohammedans”.
Itulah resep Lull, Islam tidak dapat
ditaklukkan dengan “darah dan air mata”, tetapi dengan “cinta kasih” dan doa.
Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum Muslim adalah satu
keharusan. Jika tidak, maka dunia pun akan diislamkan. Dalam laporan tentang
“Centenary Conference on the Protestant Missions of the World” di London tahun
1888, tercatat ucapan Dr. George F. Post, “Kita harus menghadapi
Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini pertarungan hidup dan
mati.”
Selanjutnya, dia berpidato: “..kita harus masuk ke Arabia;
kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus
meng-Kristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris melewati gurun-gurun
pasir mereka, dan mereka akan mereka akan menyapu seperti api yang melahap
ke-Kristenan kita dan menghancurkannya.
Ringkasnya, misionaris
ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka akan mengganyang
Kristen!”
Kekuatan “kata” yang dipadu dengan “kasih” seperti yang
diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius. Konon, “orang Jawa” –
sebagaimana huruf Jawa -- akan mati jika “dipangku”.
Jika seseorang
dibantu, dibiayai, diberi perhatian yang besar (kasih), maka hatinya akan luluh.
Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak selalu.
Simaklah kasus Ahmad
Wahib dan Nurcholish Madjid, bagaimana pemikiran dan keyakinan mereka berubah.
Simaklah, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, bagaimana kekuatan ide
“freedom” dan “liberalisme” mampu menggulung sebuah imperium besar bernama Turki
Utsmani.
Ketika kaum Muslim tidak lagi memahami Islam dengan baik, tidak
meyakini Islam, dan menderita penyakit mental minder terhadap peradaban Barat,
maka yang terjadi kemudian adalah upaya imitasi terhadap apa saja yang
dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan, “Yang
ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa.
Karena itu,
kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya
sekaligus.”
Sekularisme dan liberalisme di Barat telah memukau banyak
umat manusia. Gerakan pembebasan (Liberation movement) di berbagai dunia
mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu “Revolusi Perancis” dan
“kemerdekaan AS”. A New Encyclopedia of Freemasonry (1996), mencatat bahwa
George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin adalah para
aktivis Free Masonry.
Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin
Simon Bolivar dan Jose Rigal di Filipina. Ide pokok Freemasonry adalah “Liberty,
Equality, and Fraternity”.
Di bawah jargon inilah, jutaan orang
“tertarik” untuk melakukan apa yang disebut sebagai “kemerdekaan abadi semua
bangsa dari tirani politik dan agama”. Dalam Revolusi Perancis, jargon
Freemasonry itu juga menjadi jargon resmi.
Dalam konteks Utsmani ketika
itu, Sultan Abdulhamid II diposisikan sebagai “kekuatan tiran”. Dalam konteks
gerakan pembebasan pemikiran, tampaknya, yang diposisikan sebagai
“ecclesiastical tyranny” adalah “teks-teks Al-Quran dan Sunnah”, juga
khazanah-khazanah Islam klasik karya para ulama Islam terkemuka.
Perlu
ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam
konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Rene Guenon, guru dari
Frithjof Schuon, (pelopor gagasan pluralisme), misalnya, adalah aktivis
Freemasonry.
Adakah misalnya pengaruh aktivitas Afghani di Freemasonry
dengan pemikiran Abduh atau tafsir al-Manarnya Rasyid Ridla? Masih perlu
diteliti. Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari “teks”, dekonstruksi tafsir
Quran (lalu menggantinya dengan metode hermenuetika yang banyak digunakan dalam
tradisi Bible), dan sebagainya, cukup sering terungkap.
Kekuatan “kata”
dan “kasih” terbukti ampuh dalam sejarah dalam menggulung kekuatan-kekuatan
Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik,
seperti “ortodoks”, “beku”, dan “berorientasi masa lalu”, “emosional”.
Sejarah menunjukkan, kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen Eropa, dan
Zionis Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang
yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdulhamid II pada 1909, adalah
non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Pada zaman
kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat,
pencitraan buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai
“karya setan”. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan
mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire
menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis, dan pendusta yang paling
canggih. Biografi Rasulullah Saw beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck
Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang
di atas kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar
bahwa Muhammad tidak pernah ada.”
Harapan Hurgronje ini selanjutnya
terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel
diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel
tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan
Muhammad adalah buatan belaka. Muhammad adalah “fiksi yang wajib” karena selalu
ada asumsi “setiap agama harus mempunyai pendiri”. Sikap para orientalis seperti
itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang
berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap
mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, cara dan strategi
yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan
kebenaran al-Quran.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common
places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi
agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika
kajian mereka kepada Rasulullah Saw dan al-Quran tidak dibangun dari keimanan,
sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang
teologi dan filsafat Islam sejak D.B. MacDonald, Alfred
Gullimaune,
Montgomery Watt, atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael
Frank, Richard J. McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain
mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka
pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains, dan hal-hal yang rasional tidak
ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah "carbon copy" dari pemikiran Yunani.
Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan
wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang
di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa
pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Buku ini merupakan salah satu karya terbaik Adian Husaini. Studi
Doktornya di ISTAC-IIUM, makin menambah kedalaman pemikiran Adian dalam membedah
“kulit dan jeroan” Peradaban Barat. Tidak heran, bila buku dengan cover berwajah
klasik ini, sarat dengan referensi-referensi ilmiah baik karya ilmuwan klasik
maupun kontemporer.
Karena itu buku ini sangat layak dijadikan referensi
dalam meneropong tingkah laku kebijakan dan politik Barat di dunia saat ini.
Sehingga kita tidak terperosok jauh mengambil dan memuja Barat dalam segala hal.
Pemikiran Barat tentu tidak semuanya kita tolak mentah-mentah. Ada
hal-hal yang baik, misalnya dalam hal sains dan teknologi, yang bisa kita ambil
dari Barat.
Akhirnya kita ingat kata-kata Sayid Qutb adopsi pemikiran :
"Dalam bidang ekonomi, seseorang tidak boleh memaksakan diri berutang sebelum ia
meninjau terlebih dahulu kekayaan yang dimilikinya, masih cukupkah atau memang
tidak mencukupi. Demikian pula halnya dengan negara, suatu negara tidak boleh
mengimpor barang dari negara lain sebelum ia meninjau kekayaan yang dimilikinya,
dan juga kemampuan yang ada padanya…
Becermin dari hal ini, kita bisa
bertanya, 'Tidakkah kekayaan jiwa, kekayaan pemikiran, dan kekayaan hati itu
bisa dibangun, sebagaimana halnya dengan kekayaan material yang ada pada diri
manusia?'
Pasti dapat! Apalagi kita yang berada di Mesir, dan yang berada
di negara-negara Islam. Kekayaan dan modal semangat serta konsep kita belum akan
ambruk sepanjang kita tidak berpikir untuk mengimpor prinsip-prinsip dan
ideologi, serta meminjam sistem dan aturan dari negara-negara di balik awan dan
di seberang lautan."
Walhasil, pembahasan Barat oleh Adian dalam buku
ini cukup lengkap, mulai dari siapa yang disebut Barat, pandangan Barat terhadap
agama, perselingkuhan Barat dengan zionisme, pandangan Barat terhadap
Islam-fundamenlisme--terorisme, benturan peradaban, invasi Barat dalam pemikiran
Islam dan the end of the West. (ghazali nahdia
izzadina/Hidayatullah).
RESENSI
Dari Peluncuran Buku
'Wajah Peradaban Barat': Invansi Barat Hancurkan Peradaban Islam
Setelah sekian
lama Barat mencampakkan agama (Kristen-Katholik) jauh dari percaturan kehidupan
(politik, sosial, budaya dan sebagainya), akhir-akhir ini Barat mulai 'sadar'
atas kekeliruannya memeluk sekularisme dan liberalisme sebagai pedoman hidup
mereka.
Menurut peneliti sosiologi politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Dr. Yudi Latif, arus balik ini ditandai dengan lahirnya
gerakan-gerakan neofundamentalis dan neokonservatif di negara-negara Barat,
seperi Jerman, Prancis, Belanda. Bahkan gejala ini juga marak di jantung
peradaban Barat, Amerika Serikat (AS).
"Ada arus balik di Barat. Di AS
ada trend desekularisasi. Mereka ingin kembali ke gereja," ujar Yudi saat
menjadi pembahas peluncuran buku karya kandidat doktor program Islamic
Civilazation di International Institute of Islamic Thought and Civilization
International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Adian Husaini yang
berjudul "Wajah Peradaban Barat", di Istora Senayan, Jakarta, Jum'at
(1/7).
Tanda-tanda desekularisasi itu juga dapat dikenali dengan
kemenangan-kemenangan partai-partai berbasis agama. Partai Kristen hampir
menguasai negara-negara Eropa yang punya pengaruh kuat di Barat maupun di dunia
internasional, sebut saja misalnya, Perancis, Jerman dan Italia.
Padahal,
lanjut Pembantu Rektor III Universitas Paramadina itu, sejak abad XVIII sampai
awal abad XXI, Barat dalam kungkungan hegemoni sekularisme dan liberalisme. Pada
masa inilah Barat mengklaim diri sebagai sumber kehormatan dan kemajuan.
Dan pada saat itu pula umat Islam dipecah-pecah kekuatannya melalui
mesin imperalisme dan kolonialisme Barat. "Mereka datang ke negeri-negeri Islam
bukan hanya memburu golden (kekayaan) tapi juga mengajarkan gospel (Injil),"
terangnya. Lebih dari itu para imperalis itu juga mengkotak-kotak
wilayah-wilayah negara-negara Islam. Dan mereka berhasil.
"Di masa
inilah banyak masjid dan rumah orang Islam di bakar. Indonesia juga mengalami
teritorialisasi," sambungnya. Padahal, sebelum itu, Muslim Indonesia, Malaysia,
Mesir, Arab Saudi, Thailand, Singapura sehari-harinya mereka berbicara dengan
bahasa yang sama ketika berada di Mesir. Tapi lantaran ulah adu domba
bangsa-bangsa Eropa itu maka umat Islam terpecah belah. Kaum muslimin tak lagi
menjadi "Global Islamic Community," imbuhnya.
Adian sendiri dalam bukunya
berpendapat, pada masa jaya-jayanya sekularisme dan liberalisme, Barat pun
menghina dan melecehkan Islam. "Martin Luther menuduh Nabi Muhammad sebgai orang
jahat dan mengutuknya sebagai anak setan, Voltaire menganggapnya sebagai orang
fanatik dan ektrimis," ujarnya.
Selain, dua nama itu masih ada ratusan
inteletual Barat yang mencela Al-Qur'an, Nabi Muhammad, Islam dan umat Islam itu
sendiri. Sebut saja mislnya, Snouck Hurgronje, Rene Guenon, Eugene Stock, George
F. Post dan lain-lainnya.
"Bagi para misionaris Kristen ini,
mengkristenkan kaum muslimin adalah suatu keharusan," terang Adian yang juga
mendapatkan master ilmu politik dari Universitas Jayabaya itu.
Karena itu
pula tidak aneh jika George F. Post dalam acara Centenary Conference on the
Protestant Missions of the Word menyatakan, "Kita harus menghadapi Pan-Islamisme
dengan Pan-Evaneglisme. Ini pertarungan hidup dan mati."
Menurut Adian,
dengan memahami Barat dengan baik maka akan mudah membantu kita dalam memahami
problema yang muncul di kalangan kaum muslimin, yang memang disebabkan oleh
invasi peradaban Barat dalam pemikiran dan peradaban Islam.
Kristen, dan tradisi paganisme Eropa. Meski Barat telah sekular-liberal,
sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai.
Ada buku menarik yang perlu
anda baca minggu-minggu ini. Buku itu berjudul, "Wajah Peradaban Barat: Dari
Hegemoni Kristen ke Dominasi Liberalisme-Sekularisme", karya saudara
Adian Husaini. Setidaknya, ini adalah buku penting yang bisa anda jadikan
pegangan untuk melihat wajah asli Barat beserta 'copy-paste' nya sekarang
ini.
Sebagaimana bisa disimak dalam buku ini, peradaban Barat sejatinya
merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno, Kristen, dan tradisi paganisme
Eropa.
Meskipun Barat telah menjadi sekular-liberal, namun
sentimen-sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai kehidupan mereka. Jika dalam
masa kolonialisme klasik mereka mengusung jargon “Gold,
Gospel, dan Glory”, maka di era modern, dalam beberapa hal, semboyan
itu tidak berubah.
Jika dianalisis secara mendalam, serbuan AS terhadap
Irak tahun 2003 dan dukungannya yang terus-menerus terhadap Israel, juga tidak
terlepas dari unsur “Gold, Gospel, dan Glory”.
Meskipun berbeda dalam
banyak hal, unsur-unsur Barat sekular-liberal kadang bisa bertemu dengan
kepentingan “misi Kristen”, atau “sentimen Kristen.”
Di masa klasik dulu,
seorang misonaris legendaris Henry Martyn, menyatakan, “Saya datang menemui umat
Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi
dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” Ia berpendapat,
bahwa Perang Salib telah gagal.
Karena itu, untuk “menaklukkan” dunia
Islam, dia mengajukan resep: gunakan “kata, logika, dan cinta”. Bukan kekuatan
senjata atau kekerasan. Misionaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan hal
senada, “Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan;
dan
kupikir mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya
semua hancur sebelum mereka mendapatkan apa yang tadinya ingin mereka
rebut.”
Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor di “Church
Missionary Society”, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen
dibandingkan Raymond Lull. Lull, kata Stock, adalah “misionaris pertama bahkan
terhebat bagi kaum Mohammedans”.
Itulah resep Lull, Islam tidak dapat
ditaklukkan dengan “darah dan air mata”, tetapi dengan “cinta kasih” dan doa.
Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum Muslim adalah satu
keharusan. Jika tidak, maka dunia pun akan diislamkan. Dalam laporan tentang
“Centenary Conference on the Protestant Missions of the World” di London tahun
1888, tercatat ucapan Dr. George F. Post, “Kita harus menghadapi
Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini pertarungan hidup dan
mati.”
Selanjutnya, dia berpidato: “..kita harus masuk ke Arabia;
kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus
meng-Kristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris melewati gurun-gurun
pasir mereka, dan mereka akan mereka akan menyapu seperti api yang melahap
ke-Kristenan kita dan menghancurkannya.
Ringkasnya, misionaris
ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka akan mengganyang
Kristen!”
Kekuatan “kata” yang dipadu dengan “kasih” seperti yang
diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius. Konon, “orang Jawa” –
sebagaimana huruf Jawa -- akan mati jika “dipangku”.
Jika seseorang
dibantu, dibiayai, diberi perhatian yang besar (kasih), maka hatinya akan luluh.
Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak selalu.
Simaklah kasus Ahmad
Wahib dan Nurcholish Madjid, bagaimana pemikiran dan keyakinan mereka berubah.
Simaklah, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, bagaimana kekuatan ide
“freedom” dan “liberalisme” mampu menggulung sebuah imperium besar bernama Turki
Utsmani.
Ketika kaum Muslim tidak lagi memahami Islam dengan baik, tidak
meyakini Islam, dan menderita penyakit mental minder terhadap peradaban Barat,
maka yang terjadi kemudian adalah upaya imitasi terhadap apa saja yang
dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan, “Yang
ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa.
Karena itu,
kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya
sekaligus.”
Sekularisme dan liberalisme di Barat telah memukau banyak
umat manusia. Gerakan pembebasan (Liberation movement) di berbagai dunia
mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu “Revolusi Perancis” dan
“kemerdekaan AS”. A New Encyclopedia of Freemasonry (1996), mencatat bahwa
George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin adalah para
aktivis Free Masonry.
Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin
Simon Bolivar dan Jose Rigal di Filipina. Ide pokok Freemasonry adalah “Liberty,
Equality, and Fraternity”.
Di bawah jargon inilah, jutaan orang
“tertarik” untuk melakukan apa yang disebut sebagai “kemerdekaan abadi semua
bangsa dari tirani politik dan agama”. Dalam Revolusi Perancis, jargon
Freemasonry itu juga menjadi jargon resmi.
Dalam konteks Utsmani ketika
itu, Sultan Abdulhamid II diposisikan sebagai “kekuatan tiran”. Dalam konteks
gerakan pembebasan pemikiran, tampaknya, yang diposisikan sebagai
“ecclesiastical tyranny” adalah “teks-teks Al-Quran dan Sunnah”, juga
khazanah-khazanah Islam klasik karya para ulama Islam terkemuka.
Perlu
ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam
konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Rene Guenon, guru dari
Frithjof Schuon, (pelopor gagasan pluralisme), misalnya, adalah aktivis
Freemasonry.
Adakah misalnya pengaruh aktivitas Afghani di Freemasonry
dengan pemikiran Abduh atau tafsir al-Manarnya Rasyid Ridla? Masih perlu
diteliti. Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari “teks”, dekonstruksi tafsir
Quran (lalu menggantinya dengan metode hermenuetika yang banyak digunakan dalam
tradisi Bible), dan sebagainya, cukup sering terungkap.
Kekuatan “kata”
dan “kasih” terbukti ampuh dalam sejarah dalam menggulung kekuatan-kekuatan
Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik,
seperti “ortodoks”, “beku”, dan “berorientasi masa lalu”, “emosional”.
Sejarah menunjukkan, kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen Eropa, dan
Zionis Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang
yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdulhamid II pada 1909, adalah
non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Pada zaman
kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat,
pencitraan buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai
“karya setan”. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan
mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire
menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis, dan pendusta yang paling
canggih. Biografi Rasulullah Saw beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck
Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang
di atas kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar
bahwa Muhammad tidak pernah ada.”
Harapan Hurgronje ini selanjutnya
terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel
diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel
tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan
Muhammad adalah buatan belaka. Muhammad adalah “fiksi yang wajib” karena selalu
ada asumsi “setiap agama harus mempunyai pendiri”. Sikap para orientalis seperti
itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang
berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap
mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, cara dan strategi
yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan
kebenaran al-Quran.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common
places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi
agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika
kajian mereka kepada Rasulullah Saw dan al-Quran tidak dibangun dari keimanan,
sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang
teologi dan filsafat Islam sejak D.B. MacDonald, Alfred
Gullimaune,
Montgomery Watt, atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael
Frank, Richard J. McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain
mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka
pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains, dan hal-hal yang rasional tidak
ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah "carbon copy" dari pemikiran Yunani.
Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan
wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang
di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa
pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Buku ini merupakan salah satu karya terbaik Adian Husaini. Studi
Doktornya di ISTAC-IIUM, makin menambah kedalaman pemikiran Adian dalam membedah
“kulit dan jeroan” Peradaban Barat. Tidak heran, bila buku dengan cover berwajah
klasik ini, sarat dengan referensi-referensi ilmiah baik karya ilmuwan klasik
maupun kontemporer.
Karena itu buku ini sangat layak dijadikan referensi
dalam meneropong tingkah laku kebijakan dan politik Barat di dunia saat ini.
Sehingga kita tidak terperosok jauh mengambil dan memuja Barat dalam segala hal.
Pemikiran Barat tentu tidak semuanya kita tolak mentah-mentah. Ada
hal-hal yang baik, misalnya dalam hal sains dan teknologi, yang bisa kita ambil
dari Barat.
Akhirnya kita ingat kata-kata Sayid Qutb adopsi pemikiran :
"Dalam bidang ekonomi, seseorang tidak boleh memaksakan diri berutang sebelum ia
meninjau terlebih dahulu kekayaan yang dimilikinya, masih cukupkah atau memang
tidak mencukupi. Demikian pula halnya dengan negara, suatu negara tidak boleh
mengimpor barang dari negara lain sebelum ia meninjau kekayaan yang dimilikinya,
dan juga kemampuan yang ada padanya…
Becermin dari hal ini, kita bisa
bertanya, 'Tidakkah kekayaan jiwa, kekayaan pemikiran, dan kekayaan hati itu
bisa dibangun, sebagaimana halnya dengan kekayaan material yang ada pada diri
manusia?'
Pasti dapat! Apalagi kita yang berada di Mesir, dan yang berada
di negara-negara Islam. Kekayaan dan modal semangat serta konsep kita belum akan
ambruk sepanjang kita tidak berpikir untuk mengimpor prinsip-prinsip dan
ideologi, serta meminjam sistem dan aturan dari negara-negara di balik awan dan
di seberang lautan."
Walhasil, pembahasan Barat oleh Adian dalam buku
ini cukup lengkap, mulai dari siapa yang disebut Barat, pandangan Barat terhadap
agama, perselingkuhan Barat dengan zionisme, pandangan Barat terhadap
Islam-fundamenlisme--terorisme, benturan peradaban, invasi Barat dalam pemikiran
Islam dan the end of the West. (ghazali nahdia
izzadina/Hidayatullah).
RESENSI
Dari Peluncuran Buku
'Wajah Peradaban Barat': Invansi Barat Hancurkan Peradaban Islam
Setelah sekian
lama Barat mencampakkan agama (Kristen-Katholik) jauh dari percaturan kehidupan
(politik, sosial, budaya dan sebagainya), akhir-akhir ini Barat mulai 'sadar'
atas kekeliruannya memeluk sekularisme dan liberalisme sebagai pedoman hidup
mereka.
Menurut peneliti sosiologi politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Dr. Yudi Latif, arus balik ini ditandai dengan lahirnya
gerakan-gerakan neofundamentalis dan neokonservatif di negara-negara Barat,
seperi Jerman, Prancis, Belanda. Bahkan gejala ini juga marak di jantung
peradaban Barat, Amerika Serikat (AS).
"Ada arus balik di Barat. Di AS
ada trend desekularisasi. Mereka ingin kembali ke gereja," ujar Yudi saat
menjadi pembahas peluncuran buku karya kandidat doktor program Islamic
Civilazation di International Institute of Islamic Thought and Civilization
International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Adian Husaini yang
berjudul "Wajah Peradaban Barat", di Istora Senayan, Jakarta, Jum'at
(1/7).
Tanda-tanda desekularisasi itu juga dapat dikenali dengan
kemenangan-kemenangan partai-partai berbasis agama. Partai Kristen hampir
menguasai negara-negara Eropa yang punya pengaruh kuat di Barat maupun di dunia
internasional, sebut saja misalnya, Perancis, Jerman dan Italia.
Padahal,
lanjut Pembantu Rektor III Universitas Paramadina itu, sejak abad XVIII sampai
awal abad XXI, Barat dalam kungkungan hegemoni sekularisme dan liberalisme. Pada
masa inilah Barat mengklaim diri sebagai sumber kehormatan dan kemajuan.
Dan pada saat itu pula umat Islam dipecah-pecah kekuatannya melalui
mesin imperalisme dan kolonialisme Barat. "Mereka datang ke negeri-negeri Islam
bukan hanya memburu golden (kekayaan) tapi juga mengajarkan gospel (Injil),"
terangnya. Lebih dari itu para imperalis itu juga mengkotak-kotak
wilayah-wilayah negara-negara Islam. Dan mereka berhasil.
"Di masa
inilah banyak masjid dan rumah orang Islam di bakar. Indonesia juga mengalami
teritorialisasi," sambungnya. Padahal, sebelum itu, Muslim Indonesia, Malaysia,
Mesir, Arab Saudi, Thailand, Singapura sehari-harinya mereka berbicara dengan
bahasa yang sama ketika berada di Mesir. Tapi lantaran ulah adu domba
bangsa-bangsa Eropa itu maka umat Islam terpecah belah. Kaum muslimin tak lagi
menjadi "Global Islamic Community," imbuhnya.
Adian sendiri dalam bukunya
berpendapat, pada masa jaya-jayanya sekularisme dan liberalisme, Barat pun
menghina dan melecehkan Islam. "Martin Luther menuduh Nabi Muhammad sebgai orang
jahat dan mengutuknya sebagai anak setan, Voltaire menganggapnya sebagai orang
fanatik dan ektrimis," ujarnya.
Selain, dua nama itu masih ada ratusan
inteletual Barat yang mencela Al-Qur'an, Nabi Muhammad, Islam dan umat Islam itu
sendiri. Sebut saja mislnya, Snouck Hurgronje, Rene Guenon, Eugene Stock, George
F. Post dan lain-lainnya.
"Bagi para misionaris Kristen ini,
mengkristenkan kaum muslimin adalah suatu keharusan," terang Adian yang juga
mendapatkan master ilmu politik dari Universitas Jayabaya itu.
Karena itu
pula tidak aneh jika George F. Post dalam acara Centenary Conference on the
Protestant Missions of the Word menyatakan, "Kita harus menghadapi Pan-Islamisme
dengan Pan-Evaneglisme. Ini pertarungan hidup dan mati."
Menurut Adian,
dengan memahami Barat dengan baik maka akan mudah membantu kita dalam memahami
problema yang muncul di kalangan kaum muslimin, yang memang disebabkan oleh
invasi peradaban Barat dalam pemikiran dan peradaban Islam.
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Re: JIL Copasan Kristen liberal
wah, salah nieh Kristen tidak ada hubungannya dengan liberalisme dan malah juga menentangnya
berikut adalah salah satu buktinya
Penginjil dan Politikus di Amerika Nilai Tragedi Penembakan 'Film Batman' di Colorado Bukti Kejatuhan Iman
WASHINGTON D.C (AS) - Seorang jurubicara dari kelompok penginjil di Amerika, Truth In Action menyatakan tragedi penembakan saat pemutaran perdana film Batman: The Dark Knight Rises, di Colorado terjadi akibat negaranya telah jauh dari Tuhan.
Dalam artikel yang ditulis di OneNewsNow, penginjil Jerry Newcombe mengungkapkan, "Sebagai sebuah masyarakat [Amerika Serikat], kita menuai apa yang kita tabur, kita mengatakan kepada Tuhan 'keluarlah dari ruang publik [pelarangan membawa Alkitab ke sekolah, pelarangan menyebut mujizat Tuhan di kantor dan pemerintahan, dan pelarangan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta semesta]' dari peraturan ke peraturan, [kita] selalu disesatkan oleh 'masyarakat libertarian' yang mengabaikan penghormatan kepada Tuhan -- sekurangnya telah mempengaruhi jutaan hati masyarakat."
Hal yang sama juga dikatakan Anggota Dewan Kongres perwakilan negara bagian Texas, Louie Gohmert, pada Jumat (20/07/2012) di Washington D.C .
Ia menjelaskan, nilai-nilai Kekristenan di negara itu semakin berkurang akibat pengaruh liberalisasi dan sekularitas masyarakat Amerika, sehingga penghargaan terhadap orang lain dan kasih yang merupakan bagian dalam nilai-nilai seorang Kristen pun menghilang. Salah satu hasilnya adalah peristiwa penembakan yang menghilangkan 12 nyawa dengan belasan orang luka-luka.
"... sebagai seorang Kristen, saya melihat hal ini sebagai serangan bertubi-tubi terhadap iman Kristen, sehingga aksi teror gila seperti inilah yang terjadi."
"Beberapa dari kita masih percaya dengan apa yang dibicarakan pendiri bangsa tentang kebajikan dan kebebasan adalah penting.... [namun kini] kita berada dalam perang [yang mengancam] pilar-pilar [negara], dasar utama dari negara ini." (HuffingtonPost/TimPPGI)
Sumber: http://www.kabargereja.tk/2012/07/penginjil-dan-politikus-di-amerika.html
berikut adalah salah satu buktinya
Penginjil dan Politikus di Amerika Nilai Tragedi Penembakan 'Film Batman' di Colorado Bukti Kejatuhan Iman
WASHINGTON D.C (AS) - Seorang jurubicara dari kelompok penginjil di Amerika, Truth In Action menyatakan tragedi penembakan saat pemutaran perdana film Batman: The Dark Knight Rises, di Colorado terjadi akibat negaranya telah jauh dari Tuhan.
Dalam artikel yang ditulis di OneNewsNow, penginjil Jerry Newcombe mengungkapkan, "Sebagai sebuah masyarakat [Amerika Serikat], kita menuai apa yang kita tabur, kita mengatakan kepada Tuhan 'keluarlah dari ruang publik [pelarangan membawa Alkitab ke sekolah, pelarangan menyebut mujizat Tuhan di kantor dan pemerintahan, dan pelarangan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta semesta]' dari peraturan ke peraturan, [kita] selalu disesatkan oleh 'masyarakat libertarian' yang mengabaikan penghormatan kepada Tuhan -- sekurangnya telah mempengaruhi jutaan hati masyarakat."
Hal yang sama juga dikatakan Anggota Dewan Kongres perwakilan negara bagian Texas, Louie Gohmert, pada Jumat (20/07/2012) di Washington D.C .
Ia menjelaskan, nilai-nilai Kekristenan di negara itu semakin berkurang akibat pengaruh liberalisasi dan sekularitas masyarakat Amerika, sehingga penghargaan terhadap orang lain dan kasih yang merupakan bagian dalam nilai-nilai seorang Kristen pun menghilang. Salah satu hasilnya adalah peristiwa penembakan yang menghilangkan 12 nyawa dengan belasan orang luka-luka.
"... sebagai seorang Kristen, saya melihat hal ini sebagai serangan bertubi-tubi terhadap iman Kristen, sehingga aksi teror gila seperti inilah yang terjadi."
"Beberapa dari kita masih percaya dengan apa yang dibicarakan pendiri bangsa tentang kebajikan dan kebebasan adalah penting.... [namun kini] kita berada dalam perang [yang mengancam] pilar-pilar [negara], dasar utama dari negara ini." (HuffingtonPost/TimPPGI)
Sumber: http://www.kabargereja.tk/2012/07/penginjil-dan-politikus-di-amerika.html
Pembela Kristen- SERSAN MAYOR
-
Posts : 349
Join date : 29.01.12
Reputation : 4
Re: JIL Copasan Kristen liberal
Perkembangan pemikiran Islam berjalan sesuai dengan perkembangan sejarah manusia muslim. Berbagai masalah timbul dan terjadi membutuhkan pemecahan. Pada abad-abad jarah perkembangan Islam tidak banyak diwarnai peninjauan ulang terhadap berbagai pemikiran tetapi setelah abad ketiga dengan diadopsinya filsafat Yunani oleh para intdektual muslim menjadikan babak baru bagi perdebatan pemikiran Islam yang melahirkan banyak trend pemikiran.
Perjalanan pemikiran Islam itu juga dipengaruhi oleh naik turunnya kekuasaan pada abad ke-15, terjadi kemerosotan pemikiran Islam serta ditandai oleh kejumudan berpikir sehingga kekuasaan para penjajah menjadi kuat di hampir semua negara Islam yang terjajah, apa lagi para penjajah ini juga membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk menyingkirkan atau paling tidak memdistorsi pemikiran Islam. Karena itu terjadi penurunan pemikiran di antara umat Islam sendiri. Ada yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka, kelompok ini disebut oleh para orientalis sebagai kelompok konservatif sedangkan anti tesa dari kelompok ini adalah kelompok yang menginginkan perubahan dalam pemikiran Islam sehingga ditarik sedemikian rupa agar sesuai dengan pemikiran modern yang nota bene adalah model Barat. Kelompok kedua inilah disebut dengan kelompok yang berpandangan Liberal (Liberal Islam).
Istilah Islam Liberal
Para orieiitalis Barat berbeda pendapat ketika menilai Islam. Charles Kurzman mencatat sejumlah tokoh yang menilai Islam secara pesimis, seperti Voltaire (1745) dalain bukunya "Mahomet of Fanaticism" menilai bahwa Islam identik dengan kefanatikan. Dalam terminologi politik, kekuasaan Islam berarti dispotisme (kesewenang-wenangan), kata Montesquie, demikian juga Francis Bacon (1622) yang mengidentikkan kekuasaan Islam dengan Monarki Absolut. Sedangkan di bidang militer Islam identik dengan teror seperti diungkap oleh Eugene Delacroix (1824). Bahkan sastrawan Ernest Renon (1862) berpendapat bahwa tradisi Islam identik dengan keterbelakangan dan primitif.
Namun demikian banyak terdapat sejumlah tokoh orientalis Barat yang memandang Islam secara objektif seperti Arnold Toynbee dalam bukunya "The Preaching of Islam " atau John L. Esposito dalam bukunya "The Islamic Threat: Mith or Reality" lebih positif lagi adalah para tokoh Barat yang masuk Islam seperti Leopold Asad, Maryam Jamilah yang menulis buku "Islam and Modernism" dan Roger Gerandy yang menulis "Tromisses De L' Islam."
Menurut Kurzman, bahwa biasanya membicarakan Islam Liberal berarti membandingkannya dengan Liberalisme Barat yang intinya pada daya kritisnya, meskipun terdapat perbedaan diantara keduanya, karena Liberal Islam masih berpijak kepada Al-Quran dan Hadis serta sejarah Islam. Sedangkan menurut Prof. William Montgomery Watt bahwa istilah Islam menunjuk kepada kaum muslimin yang menghargai pandangan Barat dan merasa bahwa kritikan terselubung atau terang-terangan terhadap Islam sebagiannya dapat dibenarkan. Mereka memandang dirinya sebagai umat Islam dan berkehendak menjalani kehidupannya sebagai Muslim. Istilah Liberal Islam identik dengan kalangan modernis dan neo mu'tazilah.
Perkembangan Islam Liberal
Liberal Islam bagi Kurzman, sama seperti kaum pembaharuan yang menyerukan kepada modernitas dan meninggalkan keterbelakangan masa lalu serta menyerukan kapada pengembangan teknologi, ekonomi, demokrasi dan hak-hak resmi. Para tokoh pembaharuan yang disebut-sebut berpengaruh adalah Muhammmad bin Abdul Wahhab dari Saudi Arabia, syekh Jibril bin Umar AI-Aqdisi dari Afrika Barat, Haji Miskin dari Sumatra, Haji Syariat Allah dan Ahmed Brelwi dari Asia Selatan dan Ma Ming Xin dari Cina. Tetapi pengaruh Liberal Islam yang paling kuat dari pembaharuan India yang bemama Shah Wali Allah Addahlawi (1703-1762). Sedangkan Montgomery Watt memandang bahwa Liberal Islam bermula pada abad 19 sampai masa kemerdekaan (1945).
Tokoh-tokoh Islam Liberal
Para tokoh kaum Liberal Islam yang paling menonjol dan banyak dicatat oleh para penulis Barat adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dari India. Beliau melihat bahwa perlakuan Inggris terhadap kaum muslimin di negaranya sangat sengsara dan diperlakukan tidak adil. Sementara warga hindu dianak-emaskan. Sebagai contoh di kota Bengal, departemen-departemen pemerintahan diletakkan para insinyur, akuntan dan pegawai lainnya dari warga Hindu sementara warga muslim satu dua orang dari 300 anak di perguruan tinggi Inggris di Calcutta tidak sampai 1% adalah orang-orang muslim. Maka Ahmad Khan menulis buku untuk disampaikan kepada pemerintah Inggris di India atas berbagai perlakuan ketidakadilan dan perbuatan sernena-rnena yang menyebabkan kebencian warga muslim kepada Inggris. Sampai pada saatnya tahun 1869 Sayyid Ahmad Khan urnurnya sudah 52 tahun, ia pergi menemani anaknya yang sekolah ke Inggris. Keberangkatannya itu bermaksud untuk mengumpulkan bahan guna membantah para tokoh orientalis Inggris yang menyudutkan sejarah Nabi Muhammad SAW, sampai selesai tulisan berjudul "Essays on The Life of Muhammad" yang berbau apologis narnun tak lama kemudian buku itu diungguli oleh tokoh liberal India bernama Sayyid Amir Ali (1849-1928), narnun demikian Sayyid Ahmad Khan telah berhasil memompa semangat kaum muslimin dengan membujuk mereka mengambil kebijaksanaan bekerja sama dengan Inggris. Upaya ini melibatkan penerimaan nilai-nilai Barat hingga taraf tertentu, karena secara tidak langsung dinyatakan bahwa generasi muda muslim akan memasuki sekolah-sekolah yang dibangun guna mendidik mereka menjadi abdi negara. Salah satu prestasi Ahmad Khan adalah pembukaan suatu kolase pada 1877 yang menjadi cikal bakal Universitas Aliqrah yang resmi berdiri pada 1920.
Sedangkan Sayyid Amir Ali dengan bukunya yang terkenal "The Spirit Of Islam" dalarn edisi Indonesia berjudul "Api Islam " itu pada hakekatnya merupakan suatu pandangan tentang Islam dan pembawaannya yang mewujudkan seluruh nilai liberal yang di puja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali berpandangan bahwa Muhammad adalah "Guru Agung'' seorang yang percaya kepada kemajuan, yang menjunjung tinggi penggunaan akar dan bahkan pelopor agung rasionalisme, yaitu seorang manusia yang benar-benar modern. Islam dipandang sebagai agama paling ideal, yang menanarnkan suatu kepercayaan yang besar kepada Tuhan dan menekankan kesucian moral serta kode etik yang tinggi. Perang-perang yang dilakukannya semata-mata bersifat defensif yang mengangkat martabat wanita, memperbaiki nasib para budak dan mencela perbudakan yang menganjurkan pengetahuan dan ilmu serta menegaskan tanggung jawab manusia dan karsa bebasnya.
Di Sudan, muncul Sadiq AI-Mahdi sebagai figur politik yang mendukung gagasan Liberal Islam yang menghendaki Islamisasi yang lebih luas tetapi bukan dengan jalan membentuk masyarakat masa kini dalam cetakan intelektual dan sosial generasi Islam yang menganggap "babwa sya'riah cukup lentur untuk mengijinkan hal ini. Caranya yaitu melampaui madzhab-madzhab hukum Islam dan hanya terikat pada Al-Qur'an dan sunnah serta mampu mengatasi kondisi-kondisi masa kini. Perjuangan itu selanjutnya dikembangkan oleh Dr. Hassan Turabi yang kemudian mengahadapi tantangan hebat dari para ulama setempat seperti Dr. Syaikh Ja'far ldris, Amir AI-Haj dll.
Keberhasilan kaum Liberal Islam yang paling menonjol adalah ditangan Mustafa Kamal Ataturk (l924) sebagai lembaga sakral umat Islam di dunia, dan merubah pendidikan Islam tradisional menjadi ala Barat bahkan melarang peagajaran bahasa arab sampai-sampai adzanpun tidak diperbolehkan pakai bahasa arab tetapi dikumandangkan dengan bahasa Turki. Suara penolakan khilafah Islamiah sebagai institusi pemerintahan Islam digugat oleh Ali Abd. Raziq (1925) dari Mesir. la mengkritik keabsahan kekhalifahan, tetapi juga mempertanyakan dasar-dasar kekuasaan dalam Islam.
Di Indonesia gagasan Islam Liberal diteliti oleh Dr. Greg Barton yang ditulis dalam disertasi doktornya di Monash University, Melbourne, Australia. Penelitian ditekankan mulai tahun 1960 sampai 1990. Gerakan dan pemikiran ini telah mempelopori perkembangan lslam Liberal yang disebut Neo-Modemisme Islam yang telah berpengaruh pada tataran keagamaan, sosial, dan politik. Gerakan ini secara luas tumbuh dilingkungan para Intelektual yang memiliki latar belakang modern, yang dikombinasikan dengan pendidikan Islam klasik. Kemunculannya di Indonesia merupakan pendorong bagi terbitnya kebangkitan baru satu generasi muslim, terutama kelas menengah kota, sehingga mampu berperan secara lebih liberal dan progresif untuk sebuah Indonesai baru. Disertasi itu memfokuskan kepada empat tokoh penarik gerbong liberal Islam di Indonesia yaitu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur, mantan presiden RI ke-4), Dr. Nurcholis Majid (ketua yayasan Paramadina), Johan Efendi (sekertaris Gus Dur di istana) dan Ahmad Wahid (telah wafat). Barton mencoba menempatkan mereka dalam konteks globalisasi dan modemnisasi yang lebih luas.
Analisa Pokok-pokok Pemikiran Kaum Islam Liberal
Tema sentral dari pokok-pokok pemikiran kaum liberal Islam adalah rasionalisasi dan modernisasi terhadap Islam selain masalah gender, kepemimpinan wanita, dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tak jarang menuju kepada sekularisasi.
Kalau kita amati bahwa lahirnya pemikiran para tokoh kaum liberal Islam itu disebabkan karena beberapa hal, yaitu:
1) Faktor penjajahan panjang yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam di segala bidang.
2) Faktor kebodohan dan kejumudan umat Islam yang mengakibatkan setagnasi pemikiran dan keterbelakangan pendidikan.
3) Apa yang mereka saksikan dari pengamatan langsung ke dunia Barat sampai terkesima yang mendorong mereka melahirkan sikap untuk membawa umat Islam kearah kemajuan barat yang tidak jarang mereka sikapi dengan apologi yang berlebihan.
Pada hakikatnya ada titik-titik kelebihan dan kelemahan pada pemikiran kaum liberal Islam itu. Titik kelebihan yang menonjol bahwa mereka telahmerangsang kebangkitan kaum tradisionalis untuk bangkit berijtihad dan melakukan berbagai perubahan. Tetapi titik-titik kelemahannya cukup banyak. Paling tidak sikap reaktif mereka terhadap kenyataan tidak dibarengi dengan implementasi riil yang dapat dirasakan oleh umat secara luas sehingga bisa menyadarkan mereka bahwa karya mereka bermanfaat bagi umat. Juga tidak jarang lebih banyak bersifat teoritik dan mencibir serta apologetik dan berbangga diri sehingga melahirkan arogansi intelektual.
Dalam struktur Islam di Indonesia, kaum liberal Islam termasuk pembawa bendera Islam substantif untuk berhadapan dengan kelompok Islam lain yaitu kelompok Islam formalistik dan kelompok Islam fundamentalis atau konserfatif. Dalam tatanan pemerintahan kelompok Islam formalistik nampak pada corak pemerintahan orde lama, orde baru dan pemerintahan Habibie. Sedangkan kelompok Islam sustansif nampak dalam pemerintahan Gus Dur. Dan keduanya telah gagal, sehingga kesempatan terakhir pada kelompok Islam ketiga yaitu fundamentalis yang sekarang lagi getol-getolnya menuatut pelaksanaan syariat Islam di Indonesia atau melalui otonomi khusus/daerah.
Dari segi pemikiran, perguruan-perguruan tinggi terutama institut agama Islam negeri (IAIN) adalah tempat subur berkembangnya aliran pemikiran liberal Islam dan nampak sangat kebarat-baratan. WALLAHU'ALAM.
Referensi:
Charles Kurzman, Introduction Liberal Islam and Yts Islamic Contec, Oxford University, new York 1998, hal : 3.
William Montgomery Watt. Fundamefitaliismee Islam dan Modernitos, terjemah Tauflk Adna Arnal, Raja Grafindo,Jakarta,hal : 129.
H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran yang disebut modern di Yunani dan Pakistan, Mizan, Bandung, Cat-Hal 52.
Al- Amin Al-Had, Arraddul Qoim Lima Ja'a bihi Atturabi, Markadz shaaf, cetakan 1, tahun 1417 H-1997 M.
M. Dim Shamsudin, Islam dan politik, Jakarta, logos, cetakan 1, tahun 2001, hal 132.
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, Paramadina, cetakan 1, 1999, hal XV
Perjalanan pemikiran Islam itu juga dipengaruhi oleh naik turunnya kekuasaan pada abad ke-15, terjadi kemerosotan pemikiran Islam serta ditandai oleh kejumudan berpikir sehingga kekuasaan para penjajah menjadi kuat di hampir semua negara Islam yang terjajah, apa lagi para penjajah ini juga membawa konsepsi pemikiran yang sengaja dikembangkan untuk menyingkirkan atau paling tidak memdistorsi pemikiran Islam. Karena itu terjadi penurunan pemikiran di antara umat Islam sendiri. Ada yang ingin mempertahankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka, kelompok ini disebut oleh para orientalis sebagai kelompok konservatif sedangkan anti tesa dari kelompok ini adalah kelompok yang menginginkan perubahan dalam pemikiran Islam sehingga ditarik sedemikian rupa agar sesuai dengan pemikiran modern yang nota bene adalah model Barat. Kelompok kedua inilah disebut dengan kelompok yang berpandangan Liberal (Liberal Islam).
Istilah Islam Liberal
Para orieiitalis Barat berbeda pendapat ketika menilai Islam. Charles Kurzman mencatat sejumlah tokoh yang menilai Islam secara pesimis, seperti Voltaire (1745) dalain bukunya "Mahomet of Fanaticism" menilai bahwa Islam identik dengan kefanatikan. Dalam terminologi politik, kekuasaan Islam berarti dispotisme (kesewenang-wenangan), kata Montesquie, demikian juga Francis Bacon (1622) yang mengidentikkan kekuasaan Islam dengan Monarki Absolut. Sedangkan di bidang militer Islam identik dengan teror seperti diungkap oleh Eugene Delacroix (1824). Bahkan sastrawan Ernest Renon (1862) berpendapat bahwa tradisi Islam identik dengan keterbelakangan dan primitif.
Namun demikian banyak terdapat sejumlah tokoh orientalis Barat yang memandang Islam secara objektif seperti Arnold Toynbee dalam bukunya "The Preaching of Islam " atau John L. Esposito dalam bukunya "The Islamic Threat: Mith or Reality" lebih positif lagi adalah para tokoh Barat yang masuk Islam seperti Leopold Asad, Maryam Jamilah yang menulis buku "Islam and Modernism" dan Roger Gerandy yang menulis "Tromisses De L' Islam."
Menurut Kurzman, bahwa biasanya membicarakan Islam Liberal berarti membandingkannya dengan Liberalisme Barat yang intinya pada daya kritisnya, meskipun terdapat perbedaan diantara keduanya, karena Liberal Islam masih berpijak kepada Al-Quran dan Hadis serta sejarah Islam. Sedangkan menurut Prof. William Montgomery Watt bahwa istilah Islam menunjuk kepada kaum muslimin yang menghargai pandangan Barat dan merasa bahwa kritikan terselubung atau terang-terangan terhadap Islam sebagiannya dapat dibenarkan. Mereka memandang dirinya sebagai umat Islam dan berkehendak menjalani kehidupannya sebagai Muslim. Istilah Liberal Islam identik dengan kalangan modernis dan neo mu'tazilah.
Perkembangan Islam Liberal
Liberal Islam bagi Kurzman, sama seperti kaum pembaharuan yang menyerukan kepada modernitas dan meninggalkan keterbelakangan masa lalu serta menyerukan kapada pengembangan teknologi, ekonomi, demokrasi dan hak-hak resmi. Para tokoh pembaharuan yang disebut-sebut berpengaruh adalah Muhammmad bin Abdul Wahhab dari Saudi Arabia, syekh Jibril bin Umar AI-Aqdisi dari Afrika Barat, Haji Miskin dari Sumatra, Haji Syariat Allah dan Ahmed Brelwi dari Asia Selatan dan Ma Ming Xin dari Cina. Tetapi pengaruh Liberal Islam yang paling kuat dari pembaharuan India yang bemama Shah Wali Allah Addahlawi (1703-1762). Sedangkan Montgomery Watt memandang bahwa Liberal Islam bermula pada abad 19 sampai masa kemerdekaan (1945).
Tokoh-tokoh Islam Liberal
Para tokoh kaum Liberal Islam yang paling menonjol dan banyak dicatat oleh para penulis Barat adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dari India. Beliau melihat bahwa perlakuan Inggris terhadap kaum muslimin di negaranya sangat sengsara dan diperlakukan tidak adil. Sementara warga hindu dianak-emaskan. Sebagai contoh di kota Bengal, departemen-departemen pemerintahan diletakkan para insinyur, akuntan dan pegawai lainnya dari warga Hindu sementara warga muslim satu dua orang dari 300 anak di perguruan tinggi Inggris di Calcutta tidak sampai 1% adalah orang-orang muslim. Maka Ahmad Khan menulis buku untuk disampaikan kepada pemerintah Inggris di India atas berbagai perlakuan ketidakadilan dan perbuatan sernena-rnena yang menyebabkan kebencian warga muslim kepada Inggris. Sampai pada saatnya tahun 1869 Sayyid Ahmad Khan urnurnya sudah 52 tahun, ia pergi menemani anaknya yang sekolah ke Inggris. Keberangkatannya itu bermaksud untuk mengumpulkan bahan guna membantah para tokoh orientalis Inggris yang menyudutkan sejarah Nabi Muhammad SAW, sampai selesai tulisan berjudul "Essays on The Life of Muhammad" yang berbau apologis narnun tak lama kemudian buku itu diungguli oleh tokoh liberal India bernama Sayyid Amir Ali (1849-1928), narnun demikian Sayyid Ahmad Khan telah berhasil memompa semangat kaum muslimin dengan membujuk mereka mengambil kebijaksanaan bekerja sama dengan Inggris. Upaya ini melibatkan penerimaan nilai-nilai Barat hingga taraf tertentu, karena secara tidak langsung dinyatakan bahwa generasi muda muslim akan memasuki sekolah-sekolah yang dibangun guna mendidik mereka menjadi abdi negara. Salah satu prestasi Ahmad Khan adalah pembukaan suatu kolase pada 1877 yang menjadi cikal bakal Universitas Aliqrah yang resmi berdiri pada 1920.
Sedangkan Sayyid Amir Ali dengan bukunya yang terkenal "The Spirit Of Islam" dalarn edisi Indonesia berjudul "Api Islam " itu pada hakekatnya merupakan suatu pandangan tentang Islam dan pembawaannya yang mewujudkan seluruh nilai liberal yang di puja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali berpandangan bahwa Muhammad adalah "Guru Agung'' seorang yang percaya kepada kemajuan, yang menjunjung tinggi penggunaan akar dan bahkan pelopor agung rasionalisme, yaitu seorang manusia yang benar-benar modern. Islam dipandang sebagai agama paling ideal, yang menanarnkan suatu kepercayaan yang besar kepada Tuhan dan menekankan kesucian moral serta kode etik yang tinggi. Perang-perang yang dilakukannya semata-mata bersifat defensif yang mengangkat martabat wanita, memperbaiki nasib para budak dan mencela perbudakan yang menganjurkan pengetahuan dan ilmu serta menegaskan tanggung jawab manusia dan karsa bebasnya.
Di Sudan, muncul Sadiq AI-Mahdi sebagai figur politik yang mendukung gagasan Liberal Islam yang menghendaki Islamisasi yang lebih luas tetapi bukan dengan jalan membentuk masyarakat masa kini dalam cetakan intelektual dan sosial generasi Islam yang menganggap "babwa sya'riah cukup lentur untuk mengijinkan hal ini. Caranya yaitu melampaui madzhab-madzhab hukum Islam dan hanya terikat pada Al-Qur'an dan sunnah serta mampu mengatasi kondisi-kondisi masa kini. Perjuangan itu selanjutnya dikembangkan oleh Dr. Hassan Turabi yang kemudian mengahadapi tantangan hebat dari para ulama setempat seperti Dr. Syaikh Ja'far ldris, Amir AI-Haj dll.
Keberhasilan kaum Liberal Islam yang paling menonjol adalah ditangan Mustafa Kamal Ataturk (l924) sebagai lembaga sakral umat Islam di dunia, dan merubah pendidikan Islam tradisional menjadi ala Barat bahkan melarang peagajaran bahasa arab sampai-sampai adzanpun tidak diperbolehkan pakai bahasa arab tetapi dikumandangkan dengan bahasa Turki. Suara penolakan khilafah Islamiah sebagai institusi pemerintahan Islam digugat oleh Ali Abd. Raziq (1925) dari Mesir. la mengkritik keabsahan kekhalifahan, tetapi juga mempertanyakan dasar-dasar kekuasaan dalam Islam.
Di Indonesia gagasan Islam Liberal diteliti oleh Dr. Greg Barton yang ditulis dalam disertasi doktornya di Monash University, Melbourne, Australia. Penelitian ditekankan mulai tahun 1960 sampai 1990. Gerakan dan pemikiran ini telah mempelopori perkembangan lslam Liberal yang disebut Neo-Modemisme Islam yang telah berpengaruh pada tataran keagamaan, sosial, dan politik. Gerakan ini secara luas tumbuh dilingkungan para Intelektual yang memiliki latar belakang modern, yang dikombinasikan dengan pendidikan Islam klasik. Kemunculannya di Indonesia merupakan pendorong bagi terbitnya kebangkitan baru satu generasi muslim, terutama kelas menengah kota, sehingga mampu berperan secara lebih liberal dan progresif untuk sebuah Indonesai baru. Disertasi itu memfokuskan kepada empat tokoh penarik gerbong liberal Islam di Indonesia yaitu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur, mantan presiden RI ke-4), Dr. Nurcholis Majid (ketua yayasan Paramadina), Johan Efendi (sekertaris Gus Dur di istana) dan Ahmad Wahid (telah wafat). Barton mencoba menempatkan mereka dalam konteks globalisasi dan modemnisasi yang lebih luas.
Analisa Pokok-pokok Pemikiran Kaum Islam Liberal
Tema sentral dari pokok-pokok pemikiran kaum liberal Islam adalah rasionalisasi dan modernisasi terhadap Islam selain masalah gender, kepemimpinan wanita, dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tak jarang menuju kepada sekularisasi.
Kalau kita amati bahwa lahirnya pemikiran para tokoh kaum liberal Islam itu disebabkan karena beberapa hal, yaitu:
1) Faktor penjajahan panjang yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam di segala bidang.
2) Faktor kebodohan dan kejumudan umat Islam yang mengakibatkan setagnasi pemikiran dan keterbelakangan pendidikan.
3) Apa yang mereka saksikan dari pengamatan langsung ke dunia Barat sampai terkesima yang mendorong mereka melahirkan sikap untuk membawa umat Islam kearah kemajuan barat yang tidak jarang mereka sikapi dengan apologi yang berlebihan.
Pada hakikatnya ada titik-titik kelebihan dan kelemahan pada pemikiran kaum liberal Islam itu. Titik kelebihan yang menonjol bahwa mereka telahmerangsang kebangkitan kaum tradisionalis untuk bangkit berijtihad dan melakukan berbagai perubahan. Tetapi titik-titik kelemahannya cukup banyak. Paling tidak sikap reaktif mereka terhadap kenyataan tidak dibarengi dengan implementasi riil yang dapat dirasakan oleh umat secara luas sehingga bisa menyadarkan mereka bahwa karya mereka bermanfaat bagi umat. Juga tidak jarang lebih banyak bersifat teoritik dan mencibir serta apologetik dan berbangga diri sehingga melahirkan arogansi intelektual.
Dalam struktur Islam di Indonesia, kaum liberal Islam termasuk pembawa bendera Islam substantif untuk berhadapan dengan kelompok Islam lain yaitu kelompok Islam formalistik dan kelompok Islam fundamentalis atau konserfatif. Dalam tatanan pemerintahan kelompok Islam formalistik nampak pada corak pemerintahan orde lama, orde baru dan pemerintahan Habibie. Sedangkan kelompok Islam sustansif nampak dalam pemerintahan Gus Dur. Dan keduanya telah gagal, sehingga kesempatan terakhir pada kelompok Islam ketiga yaitu fundamentalis yang sekarang lagi getol-getolnya menuatut pelaksanaan syariat Islam di Indonesia atau melalui otonomi khusus/daerah.
Dari segi pemikiran, perguruan-perguruan tinggi terutama institut agama Islam negeri (IAIN) adalah tempat subur berkembangnya aliran pemikiran liberal Islam dan nampak sangat kebarat-baratan. WALLAHU'ALAM.
Referensi:
Charles Kurzman, Introduction Liberal Islam and Yts Islamic Contec, Oxford University, new York 1998, hal : 3.
William Montgomery Watt. Fundamefitaliismee Islam dan Modernitos, terjemah Tauflk Adna Arnal, Raja Grafindo,Jakarta,hal : 129.
H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran yang disebut modern di Yunani dan Pakistan, Mizan, Bandung, Cat-Hal 52.
Al- Amin Al-Had, Arraddul Qoim Lima Ja'a bihi Atturabi, Markadz shaaf, cetakan 1, tahun 1417 H-1997 M.
M. Dim Shamsudin, Islam dan politik, Jakarta, logos, cetakan 1, tahun 2001, hal 132.
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, Paramadina, cetakan 1, 1999, hal XV
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» Tragedi kyai Liberal
» aku pendukung JIL (jaringan islam liberal)
» Jaringan Islam Liberal, SESAT? Gus Dur juga LIBERAL? dan Apa pandangan teman sekalian tentang islamlib???
» 13 tokoh muhammadiyah yang berbau liberal
» how liberal can you go
» aku pendukung JIL (jaringan islam liberal)
» Jaringan Islam Liberal, SESAT? Gus Dur juga LIBERAL? dan Apa pandangan teman sekalian tentang islamlib???
» 13 tokoh muhammadiyah yang berbau liberal
» how liberal can you go
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik