konsep pluralitas dalam masyarakat madinah
Halaman 1 dari 1 • Share
konsep pluralitas dalam masyarakat madinah
Perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam nampak cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan semaraknya aktifitas dan penampilan ummat Islam yang berusaha mengajak dan mempraktekan syareat Islam secara kaffah, baik secara individu maupun negara.
Konsep Pluralitas dalam Masyarakat Madinah
Perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam nampak cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan semaraknya aktifitas dan penampilan ummat Islam yang berusaha mengajak dan mempraktekan syareat Islam secara kaffah, baik secara individu maupun negara.
Namun demikian, ada juga sekelompok model ummat Islam yang formalistik, dimana dhohirnya mempraktekan Islam secara formal tetapi kenyataan dalam hidupnya adalah sekular.
Antitesa dari semua ini adalah Islam Liberal yang tidak menghendaki syareat Islam diterapkan maupun tidak menghendaki adanya simbul-simbul Islam seperti kalangan formalistik. Oleh Islam Liberal, golongan pertama yang menghendaki penerapan syareat Islam secara kaffah disebut fundamentalis dan golongan kedua disebut tradisionalis.
Gerakan Islam Liberal cenderung untuk mengangkat demokrasi sebagai jalan terbaik bagi msyarakat Muslim yang berkiblat kepada negara-negara Barat dan Amerika. Sedangkan mereka yang menghendaki Islam sebagai way of life, tolok ukurnya adalah praktek Rasulullah SAW dalam negara Madinah, sebagai masyarakat madani yang ideal.
Tulisan ini akan menelusuri sejauh mana kualitas pluralisme yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terhadap masyarakat yang majemuk itu, sekaligus sebagai masukan kepada Islam Liberal yang menjadikan ide dasarnya adalah memberi kebebasan (beragama, berfikir, berkeyakinan dan lain-lain) bagi setiap individu dimana mereka diilhami oleh liberalisme Barat yaitu sebuah paham pemikiran (idiologi) yang muncul di abad ke-16 sampai ke-18 di Barat.
Sejumlah tokoh Barat telah menilai sinis kepada Islam sehingga agama Islam dianggap sebagai belenggu bagi liberalisme. Seperti Foltaire yang mengatakan bahwa Islam melahirkan fanatisme karena lebih menekankan dogma, sehingga Islam tidak liberal, karena liberalisme anti dogma.
Sedangkan Montesquieu (penggagas trias politika) berpendapat bahwa Islam lekat dengan dispotisme, oriental, tiranik, sementara liberalisme anti dispotisme tiranik. Dan lain-lain pemikir Barat yang sinis terhadap Islam. Maka tampillah kelompok liberal Islam yang mencoba berfikir untuk mengubah wajah Islam melalui idiologi liberalisme itu yang ujung-ujungnya menolak Islam yang paripurna itu (lihat Greg Barton, gagasan Islam Liberal di Indonesia dan Bahaya Islam Liberal oleh Hartono Ahmad Jaiz).
Madinah Sebelum Hijrah Nabi SAW
Yathrib adalah nama lama dari kota Madinah. Suatu daerah yang subur dan berkebun. Penduduk kota Madinah, menurut peneliti Dr. Akram Dhiya Al-umari, terdiri dari warga Yahudi yang berhijrah ke Semenanjung Arabia pada abad pertama Masehi setelah kekalahan revolusi mereka melawan bangsa Romawi yang dipimpin oleh Kaesar Titus tahun 70 M.1 Sejumlah dari mereka menempati Madinah dengan membawa berbagai keyakinan, adat istiadat dan profesi bertani serta berternak. Profesi tersebut menjadikan kota Madinah sebagai kota pertanian yang menghasilkan kurma, anggur dan delima. Selain juga menghasilkan peternakan dan kerajinan tangan tenun dan alat-alat rumah tangga.
Menurut perkiraan para sejarawan, bahwa jumlah tenaga inti warga Yahudi yang ikut sebagai tentara ada sebanyak 2000 lebih terdiri dari 700 orang dari Bani Qoinuqo, 700 dari Bani Nadhir dan sekitar 700-900 dari Bani Quraidhah.2 Sedangkan warga lain yang menduduki kota Madinah adalah warga Arab yang berasal dari Yaman. Mereka terdiri dari dua kabilah yaitu kabilah Aus dan kabilah Khojraj. Karena jumlah warga Arab dikhawatirkan berkembang, maka warga Yahudi melakukan politik hasud adu domba agar mereka tidak bersatu. Bani Quraidhah dan Bani Nadhir mendukung kabilah Aus sedangkan Bani Qoinuqo mendukung kabilah Khojraj. Antara keduanya selalu berseteru. Perseteruan terakhir adalah perang "Buath", lima tahun sebelum hijrah Rasulullah SAW.
Aisyah meriwayatkan bahwa, "Hari buath adalah hari pendahuluan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya SAW, dimana pada saat itu terjadi pembunuhan dan banyak yang terluka, yang menyebabkan mereka masuk Islam." (HR. Bukhori 5/44).
Perdamaian tercapai dengan diangkatnya Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Tetapi dengan hijrahnya Rasulullah SAW, kepemimpinan bin Salul tergeser yang menyebabkan dia memusuhi Rasulullah SAW sehingga mempelopori kaum munafikun.
Hijrah Rasulullah SAW
Ketika ummat Islam di Madinah mengalami tekanan yang luar biasa oleh kaum kuffar Quraisy, Rasulullah SAW mengijinkan sejumlah orang untuk berhijrah. Diantaranya ke Habasyah (Ethiopia). Mus'ab bin umair diutus oleh Rasulullah SAW ke Madinah. Sambutan mereka ketika mendegar saudara sesama Muslim di Makkah tertindas, siap menerima kehadirannya di Madinah. Dalam waktu relatif singkat, Islam telah merasuki rumah-rumah warga Madinah. Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya, "Aku telah diperlihatkan tempat hijrah kalian, suatu bumi yang subur dengan kurmanya." (HR. Bukhori dan Muslim).
Ummat Islam diperintahkan Rasulullah SAW berhijrah, sementara beliau berhijrah terakhir disertai oleh Abu Bakar. Hijrahnya ummat Islam bukan tidak bermasalah tetapi mengalami penghadangan seperti yang dialami oleh Suhaib Arrumi yang dihadang di tengah jalan agar meninggalkan seluruh hartanya dan pergi berhijrah tanpa membawa apa-apa. Ketika Rasulullah SAW mendengar beritanya, beliau berkomentar: "Beruntung Suhaib." (HR. Hakim, shahih). Sedangkan Nabi sendiri menghadapi ujian dari mereka yaitu perbuatan makar yang akan secara bersama membunuhnya. Hal itu diabadikan oleh Al-Qur'an, surat Al-Anfal: 30, yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) berdaya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka bertipu daya sedang Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." Allah melindungi Rasulullah SAW bersama sahabat Abu Bakar sampai ke Madinah dan kedatangannya disambut oleh kaum Muslimin yang rindu menanti kehadiran beliau.
Rasulullah SAW Menata Negara Madinah
Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun masjid sebagai pusat kegiatan dan pertemuan ummat Islam. Kemudian langkah hijrah ke Madinah ini resmi dilarang oleh Nabi tahun ke-8 setelah kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah. Beliau bersabda, yang artinya: "Tidak ada hijrah setelah fattu Makkah, tetapi jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan perang, berperanglah." (HR. Bukhori).
Rasulullah SAW menempatkan penduduk Madinah menjadi tiga bagian. Pertama adalah kelompok kaum Mukminin yang terdiri dari kaum Anshor dan Muhajirin, kedua kelompok munafikin yang tergolong kelompok ini adalah mereka yang ragu-ragu terhadap Islam dan terkadang cenderung kepada musuh Islam (hipokrit), dan kelompok yang ketiga adalah Yahudi.
Untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, kelompok kaum mukminin dipersaudarakan atas dasar aqidah yang intinya adalah kasih sayang dan kerja sama. Dengan cara itu mereka semakin kokoh karena tidak ada lagi perbedaan antara pendatang (muhajirin) dan pribumi (Anshor). Bahkan ikatan mereka melebihi ikatan kekeluargaan. Sehingga Al-Qur'an menggambarkan bahwa: "Mereka (kaum Anshor) mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu." (Q. S. Al-Hasyr: 9).
"Sesungguhnya orang-orang Mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Q. S. Al-Hujurat: 10).
Imam Nasa'i merekam peristiwa persaudaraan antara Saad bin Rabi dengan Abdurrahman bin Auf dari kalangan Muhajirin. Kata Saad, "Saya punya harta, kita bagi dua. Dan saya punya istri, silahkan kamu pilih, nanti saya cerai dan nikahilah dia." Abdurrahman menimpali, "semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saya pasar?" (Imam Nasa'i 6/137).
Langkah kedua, Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan kalangan Yahudi agar mereka sebagai warga negara ikut menjaga keutuhan Madinah dan menjaga keutuhan bersama. Perjanjian itu selanjutnya disebut "Piagam Madinah" yang ditulis sebelum perang Badr, seperti diungkapkan oleh Abu Ubaid (Al Amwal No. 518). Perjanjian tersebut berisi:
Muqadimah.
Bab I : Pembentukan Ummat; berisi satu pasal.
Bab II : Hak Asasi Manusia; berisi 9 pasal.
Bab III : Persatuan Seagama; berisi 5 pasal.
Bab IV : Persatuan Segenap Warganegara; berisi 9 pasal.
Bab V : Golongan Minoritas; berisi 12 pasal.
Bab VI : Tugas Warganegara; berisi 3 pasal.
Bab VII : Melindungi Negara; berisi 3 pasal.
Bab VIII: Pemimpin Negara; berisi 3 pasal.
Bab IX : Politik Perdamaian; berisi 2 pasal.
Bab X : Penutup; berisi satu pasal.
Tetapi kemudian perjanjian itu dikhianati oleh warga Yahudi. Bani Qoinuqo merasa kesal atas kemenangan ummat Islam dalam perang Badar, sehingga salah seorang dari mereka membunuh wanita muslimah saat sedang berbelanja, maka seorang warga Muslim membunuh orang Yahudi itu, dan serta merta warga Yahudi membunuh muslim itu, karena itu Rasulullah SAW mengusir mereka. (Ibnul Atsir dalam Al-Kamil 2/65).
Demikian pula Bani Quraidhah yang berkali-kali melanggar janji dan banyak menimbulkan kejahatan di kalangan kaum Muslimin. Sementara Bani Nadhir bersekongkol dengan warga kafir dari luar Madinah untuk menyerang Madinah, padahal dalam perjanjian mereka harus mempertahankannya, sampailah terjadi perang Ahzab atau Khondak tahun ke-5 H, sehingga mereka pantas diusir.
Pengusiran warga Yahudi dari Madinah bukanlah karena faktor keagamannya, tetapi karena pengkhianatannya terhadap perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Maka jelaslah bahwa di dalam negara Islam terbukti bahwa hak-hak non Muslim dalam menjalankan keyakinannya terjaga selama mereka tidak mengganggu dan mengusik ketentraman warga Muslim. Sedangkan para pelanggar, memang pantas dihukum tanpa melihat apa agamanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa pluralitas di masyarakat Madinah di masa Nabi SAW sangat terjaga, apalagi hal itu diikat oleh perjanjian dimana warga Muslim dilarang melanggar perjanjian sama sekali. Allah SWT telah berfirman, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu. ?" (Q. S. Al-Maidah: 1)
"Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari sisi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (Q. S. At-Taubah: 4).
Tetapi pluralisme dalam arti memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi agama-agama lain (non Islam) untuk mengekspansi dan mempengaruhi warga Muslim, maka hal itu tidaklah fair. Oleh karena itu harus ada perlindungan bagi warga Muslim agar tidak terjadi tarik-menarik agama. Pluralisme dalam arti kebebasan beragama bagi masing-masing pemeluknya jelas dilindungi (lakum dinukum waliyadin).
Dalam sekup Indonesia, ajakan pluralisme tidak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang disertai dengan peningkatan kualitas warga Muslim dan perlindungan terhadap mereka, sehingga konsep pluralisme selalu merugikan ummat Islam karena ketentuan mereka dan gencarnya non Islam melakukan kampanye kepada ummat Islam melalui berbagai cara baik moril maupun materiil. Dan cara ini harus dicegah. (Lihat Al-Qur'an surat 109 dan 120). Wallohu a'lam.
Oleh: Farid Achmad Okbah
Konsep Pluralitas dalam Masyarakat Madinah
Perkembangan ummat Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup drastis. Kesadaran kaum Muslimin dalam berislam nampak cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan semaraknya aktifitas dan penampilan ummat Islam yang berusaha mengajak dan mempraktekan syareat Islam secara kaffah, baik secara individu maupun negara.
Namun demikian, ada juga sekelompok model ummat Islam yang formalistik, dimana dhohirnya mempraktekan Islam secara formal tetapi kenyataan dalam hidupnya adalah sekular.
Antitesa dari semua ini adalah Islam Liberal yang tidak menghendaki syareat Islam diterapkan maupun tidak menghendaki adanya simbul-simbul Islam seperti kalangan formalistik. Oleh Islam Liberal, golongan pertama yang menghendaki penerapan syareat Islam secara kaffah disebut fundamentalis dan golongan kedua disebut tradisionalis.
Gerakan Islam Liberal cenderung untuk mengangkat demokrasi sebagai jalan terbaik bagi msyarakat Muslim yang berkiblat kepada negara-negara Barat dan Amerika. Sedangkan mereka yang menghendaki Islam sebagai way of life, tolok ukurnya adalah praktek Rasulullah SAW dalam negara Madinah, sebagai masyarakat madani yang ideal.
Tulisan ini akan menelusuri sejauh mana kualitas pluralisme yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terhadap masyarakat yang majemuk itu, sekaligus sebagai masukan kepada Islam Liberal yang menjadikan ide dasarnya adalah memberi kebebasan (beragama, berfikir, berkeyakinan dan lain-lain) bagi setiap individu dimana mereka diilhami oleh liberalisme Barat yaitu sebuah paham pemikiran (idiologi) yang muncul di abad ke-16 sampai ke-18 di Barat.
Sejumlah tokoh Barat telah menilai sinis kepada Islam sehingga agama Islam dianggap sebagai belenggu bagi liberalisme. Seperti Foltaire yang mengatakan bahwa Islam melahirkan fanatisme karena lebih menekankan dogma, sehingga Islam tidak liberal, karena liberalisme anti dogma.
Sedangkan Montesquieu (penggagas trias politika) berpendapat bahwa Islam lekat dengan dispotisme, oriental, tiranik, sementara liberalisme anti dispotisme tiranik. Dan lain-lain pemikir Barat yang sinis terhadap Islam. Maka tampillah kelompok liberal Islam yang mencoba berfikir untuk mengubah wajah Islam melalui idiologi liberalisme itu yang ujung-ujungnya menolak Islam yang paripurna itu (lihat Greg Barton, gagasan Islam Liberal di Indonesia dan Bahaya Islam Liberal oleh Hartono Ahmad Jaiz).
Madinah Sebelum Hijrah Nabi SAW
Yathrib adalah nama lama dari kota Madinah. Suatu daerah yang subur dan berkebun. Penduduk kota Madinah, menurut peneliti Dr. Akram Dhiya Al-umari, terdiri dari warga Yahudi yang berhijrah ke Semenanjung Arabia pada abad pertama Masehi setelah kekalahan revolusi mereka melawan bangsa Romawi yang dipimpin oleh Kaesar Titus tahun 70 M.1 Sejumlah dari mereka menempati Madinah dengan membawa berbagai keyakinan, adat istiadat dan profesi bertani serta berternak. Profesi tersebut menjadikan kota Madinah sebagai kota pertanian yang menghasilkan kurma, anggur dan delima. Selain juga menghasilkan peternakan dan kerajinan tangan tenun dan alat-alat rumah tangga.
Menurut perkiraan para sejarawan, bahwa jumlah tenaga inti warga Yahudi yang ikut sebagai tentara ada sebanyak 2000 lebih terdiri dari 700 orang dari Bani Qoinuqo, 700 dari Bani Nadhir dan sekitar 700-900 dari Bani Quraidhah.2 Sedangkan warga lain yang menduduki kota Madinah adalah warga Arab yang berasal dari Yaman. Mereka terdiri dari dua kabilah yaitu kabilah Aus dan kabilah Khojraj. Karena jumlah warga Arab dikhawatirkan berkembang, maka warga Yahudi melakukan politik hasud adu domba agar mereka tidak bersatu. Bani Quraidhah dan Bani Nadhir mendukung kabilah Aus sedangkan Bani Qoinuqo mendukung kabilah Khojraj. Antara keduanya selalu berseteru. Perseteruan terakhir adalah perang "Buath", lima tahun sebelum hijrah Rasulullah SAW.
Aisyah meriwayatkan bahwa, "Hari buath adalah hari pendahuluan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya SAW, dimana pada saat itu terjadi pembunuhan dan banyak yang terluka, yang menyebabkan mereka masuk Islam." (HR. Bukhori 5/44).
Perdamaian tercapai dengan diangkatnya Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Tetapi dengan hijrahnya Rasulullah SAW, kepemimpinan bin Salul tergeser yang menyebabkan dia memusuhi Rasulullah SAW sehingga mempelopori kaum munafikun.
Hijrah Rasulullah SAW
Ketika ummat Islam di Madinah mengalami tekanan yang luar biasa oleh kaum kuffar Quraisy, Rasulullah SAW mengijinkan sejumlah orang untuk berhijrah. Diantaranya ke Habasyah (Ethiopia). Mus'ab bin umair diutus oleh Rasulullah SAW ke Madinah. Sambutan mereka ketika mendegar saudara sesama Muslim di Makkah tertindas, siap menerima kehadirannya di Madinah. Dalam waktu relatif singkat, Islam telah merasuki rumah-rumah warga Madinah. Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya, "Aku telah diperlihatkan tempat hijrah kalian, suatu bumi yang subur dengan kurmanya." (HR. Bukhori dan Muslim).
Ummat Islam diperintahkan Rasulullah SAW berhijrah, sementara beliau berhijrah terakhir disertai oleh Abu Bakar. Hijrahnya ummat Islam bukan tidak bermasalah tetapi mengalami penghadangan seperti yang dialami oleh Suhaib Arrumi yang dihadang di tengah jalan agar meninggalkan seluruh hartanya dan pergi berhijrah tanpa membawa apa-apa. Ketika Rasulullah SAW mendengar beritanya, beliau berkomentar: "Beruntung Suhaib." (HR. Hakim, shahih). Sedangkan Nabi sendiri menghadapi ujian dari mereka yaitu perbuatan makar yang akan secara bersama membunuhnya. Hal itu diabadikan oleh Al-Qur'an, surat Al-Anfal: 30, yang artinya, "Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) berdaya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka bertipu daya sedang Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya." Allah melindungi Rasulullah SAW bersama sahabat Abu Bakar sampai ke Madinah dan kedatangannya disambut oleh kaum Muslimin yang rindu menanti kehadiran beliau.
Rasulullah SAW Menata Negara Madinah
Langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun masjid sebagai pusat kegiatan dan pertemuan ummat Islam. Kemudian langkah hijrah ke Madinah ini resmi dilarang oleh Nabi tahun ke-8 setelah kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah. Beliau bersabda, yang artinya: "Tidak ada hijrah setelah fattu Makkah, tetapi jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan perang, berperanglah." (HR. Bukhori).
Rasulullah SAW menempatkan penduduk Madinah menjadi tiga bagian. Pertama adalah kelompok kaum Mukminin yang terdiri dari kaum Anshor dan Muhajirin, kedua kelompok munafikin yang tergolong kelompok ini adalah mereka yang ragu-ragu terhadap Islam dan terkadang cenderung kepada musuh Islam (hipokrit), dan kelompok yang ketiga adalah Yahudi.
Untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, kelompok kaum mukminin dipersaudarakan atas dasar aqidah yang intinya adalah kasih sayang dan kerja sama. Dengan cara itu mereka semakin kokoh karena tidak ada lagi perbedaan antara pendatang (muhajirin) dan pribumi (Anshor). Bahkan ikatan mereka melebihi ikatan kekeluargaan. Sehingga Al-Qur'an menggambarkan bahwa: "Mereka (kaum Anshor) mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka, sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu." (Q. S. Al-Hasyr: 9).
"Sesungguhnya orang-orang Mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Q. S. Al-Hujurat: 10).
Imam Nasa'i merekam peristiwa persaudaraan antara Saad bin Rabi dengan Abdurrahman bin Auf dari kalangan Muhajirin. Kata Saad, "Saya punya harta, kita bagi dua. Dan saya punya istri, silahkan kamu pilih, nanti saya cerai dan nikahilah dia." Abdurrahman menimpali, "semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saya pasar?" (Imam Nasa'i 6/137).
Langkah kedua, Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan kalangan Yahudi agar mereka sebagai warga negara ikut menjaga keutuhan Madinah dan menjaga keutuhan bersama. Perjanjian itu selanjutnya disebut "Piagam Madinah" yang ditulis sebelum perang Badr, seperti diungkapkan oleh Abu Ubaid (Al Amwal No. 518). Perjanjian tersebut berisi:
Muqadimah.
Bab I : Pembentukan Ummat; berisi satu pasal.
Bab II : Hak Asasi Manusia; berisi 9 pasal.
Bab III : Persatuan Seagama; berisi 5 pasal.
Bab IV : Persatuan Segenap Warganegara; berisi 9 pasal.
Bab V : Golongan Minoritas; berisi 12 pasal.
Bab VI : Tugas Warganegara; berisi 3 pasal.
Bab VII : Melindungi Negara; berisi 3 pasal.
Bab VIII: Pemimpin Negara; berisi 3 pasal.
Bab IX : Politik Perdamaian; berisi 2 pasal.
Bab X : Penutup; berisi satu pasal.
Tetapi kemudian perjanjian itu dikhianati oleh warga Yahudi. Bani Qoinuqo merasa kesal atas kemenangan ummat Islam dalam perang Badar, sehingga salah seorang dari mereka membunuh wanita muslimah saat sedang berbelanja, maka seorang warga Muslim membunuh orang Yahudi itu, dan serta merta warga Yahudi membunuh muslim itu, karena itu Rasulullah SAW mengusir mereka. (Ibnul Atsir dalam Al-Kamil 2/65).
Demikian pula Bani Quraidhah yang berkali-kali melanggar janji dan banyak menimbulkan kejahatan di kalangan kaum Muslimin. Sementara Bani Nadhir bersekongkol dengan warga kafir dari luar Madinah untuk menyerang Madinah, padahal dalam perjanjian mereka harus mempertahankannya, sampailah terjadi perang Ahzab atau Khondak tahun ke-5 H, sehingga mereka pantas diusir.
Pengusiran warga Yahudi dari Madinah bukanlah karena faktor keagamannya, tetapi karena pengkhianatannya terhadap perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Maka jelaslah bahwa di dalam negara Islam terbukti bahwa hak-hak non Muslim dalam menjalankan keyakinannya terjaga selama mereka tidak mengganggu dan mengusik ketentraman warga Muslim. Sedangkan para pelanggar, memang pantas dihukum tanpa melihat apa agamanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa pluralitas di masyarakat Madinah di masa Nabi SAW sangat terjaga, apalagi hal itu diikat oleh perjanjian dimana warga Muslim dilarang melanggar perjanjian sama sekali. Allah SWT telah berfirman, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu. ?" (Q. S. Al-Maidah: 1)
"Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari sisi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (Q. S. At-Taubah: 4).
Tetapi pluralisme dalam arti memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi agama-agama lain (non Islam) untuk mengekspansi dan mempengaruhi warga Muslim, maka hal itu tidaklah fair. Oleh karena itu harus ada perlindungan bagi warga Muslim agar tidak terjadi tarik-menarik agama. Pluralisme dalam arti kebebasan beragama bagi masing-masing pemeluknya jelas dilindungi (lakum dinukum waliyadin).
Dalam sekup Indonesia, ajakan pluralisme tidak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang disertai dengan peningkatan kualitas warga Muslim dan perlindungan terhadap mereka, sehingga konsep pluralisme selalu merugikan ummat Islam karena ketentuan mereka dan gencarnya non Islam melakukan kampanye kepada ummat Islam melalui berbagai cara baik moril maupun materiil. Dan cara ini harus dicegah. (Lihat Al-Qur'an surat 109 dan 120). Wallohu a'lam.
Oleh: Farid Achmad Okbah
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Similar topics
» teks ketuhanan dan pluralisme dalam masyarakat muslim
» konsep teologis dalam beragama
» peranan muslimah dalam masyarakat
» fenomena tabarruk dalam masyarakat
» konsep trias politica dalam pandangan islam
» konsep teologis dalam beragama
» peranan muslimah dalam masyarakat
» fenomena tabarruk dalam masyarakat
» konsep trias politica dalam pandangan islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik