merongrong mushaf Utsmani
Halaman 1 dari 1 • Share
merongrong mushaf Utsmani
Upaya ‘merongrong’ Al-Qur’an terus terjadi. Jika dahulu banyak dilakukan
kalangan orientalis yang benci Islam, kini, justru dilakukan para ‘santri’
pondok pesantren setelah mengaji di kalangan orentalis
“Usaha
‘Utsman bin Affan r.a. mengumpul-susun al-Qur’an akan senantiasa dijunjung
tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di
kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun justru malah
kecacatan mereka yang tersingkap.” (Abu ‘Ubayd)
Kata-kata Abu
‘Ubayd (224 H/ 838 M) ini muncul lebih dari seribu tahun yang lalu dalam rangka
menanggapi usaha sia-sia para perongrong kewibawaan Al-Quran Mushaf Uthmani
ketika itu. Ulama yang mempunyai otoritas ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu
Islam ini, termasuk ‘Ulum al-Qur’an, mengisyaratkan bahwa setiap bantahan
terhadap Mushaf Utsmani akan senantiasa dijawab-balas oleh para ulama Islam, dan
dibongkar kecacatan serta kelemahannya.
Satu abad kemudian, seorang
sarjana Al-Quran yang bernama Abu Bakr al-Anbar (328 H/ 939 M),
dalam pembelaannya terhadap Mushaf Utsmani pernah menulis buku, al-Radd ‘ala Man
Khalafa Mushaf ‘Utsman(Sanggahan Terhadap Orang yang Menyangkal Mushaf Utsmani).
Begitu juga di abad ke tujuh Hijriyah , al-Qurthubi (671 H/ 1272
M), seorang ahli tafsir yang berwibawa dan masyhur, dalam mukadimah
kitab tafsirnya menyediakan satu bab khusus mengenai hujah-hujah untuk membalas
dakwaan bahwa dalam Mushaf Utsmani terdapat penambahan dan pengurangan.
Perbedaan Riwayat Mengapa ada yang berupaya menyangkal kebenaran Mushaf
Utsmani? Jawabannya terdapat pada sejarah Al-Quran itu sendiri, dimana terdapat
riwayat ataupun berita-berita mengenai proses penyusunannya yang mengandung
perbedaan. Di antaranya adalah berita mengenai adanya beberapa mushaf yang
dimiliki Sahabat yang tidak sama dengan Mushaf Utsmani, seperti Mushaf Ubay bin
Ka‘ab dan Mushaf Ibnu Mas‘ud yang satu sama lain agak berbeda dari segi
susunannya. Begitu pula dari segi kelengkapan surah-surahnya. Misalnya pada
Mushaf Ibnu Mas‘ud tidak terdapat surat an-Nas dan al-Falaq. Sementara pada
Mushaf Ubay bin Ka‘ab ada sejumlah kecil tambahan. Ada juga yang menyusunnya
berdasarkan tanggal penurunannya. Misalnya Mushaf Sayidina ‘Ali, yang
diriwayatkan berawal dengan “iqra’ bismi rabbika” yaitu awal surah al-‘Alaq.
Walau bagaimanapun semua itu hanyalah riwayat yang bersifat ahad atau
berita-berita yang disampaikan oleh segelintir orang yang disebutkan dalam
kitab-kitab tertentu, seperti kitab Tafsir, Lughah, dan Qiraat. Sejauh mana
kebenaran riwayat itu memang dapat ditelusuri dari Ulum al-Hadits dan hal itu
sudah diperkirakan oleh para ulama Islam. Oleh karena itu mereka tetap melayani
kritikan-kritikan yang ditujukan kepada Mushaf Utsmani, selagi ada dasar
periwayatannya.
Sebagai contoh, menurut Ibnu Hajar riwayat yang
mengatakan bahwa Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak mengandungi Surat al-Falaq dan
Surat an-Nas adalah sah. Sementara bagi Fakhruddin ar-Razi dan an-Nawawi,
riwayat itu batil. Ar-Razi diantaranya berhujah bahwa jika benar bahwa di dalam
Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak terdapat kedua surah tersebut, maka hanya ada dua
kemungkinan. Pertama, jika periwayatan Al-Quran secara mutawatir telah tercapai
di zaman Sahabat, maka pengurangan itu membawa kepada kekufuran dan tidak
mungkin Ibnu Mas’ud berbuat kufur seperti itu. Kedua, jika periwayatan secara
mutawatir belum tercapai di zaman Sahabat, ini bermakna al-Qur’an tidak
diriwayatkan secara mutawatir sejak awalnya, maka hal ini juga tidak dapat
diterima. Oleh karena itu bagi ar-Razi hanya ada satu jawaban yang mungkin,
yaitu riwayat yang mengatakan bahwa Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak mengandung
al-mu‘awwidzatain itu adalah riwayat yang tidak sah.
Ibnu Hazm juga
mengatakan bahwa riwayat itu dusta. Ia mengemukakan riwayat lain dari Ibnu
Mas’ud sendiri bahwa dalam mushaf beliau terdapat kedua surah tersebut.
Al-Bazzar juga menambahkan bahwa tidak ada seorang Sahabat pun yang mengikuti
Ibnu Mas’ud jika benar mushafnya begitu. Sedangkan telah sah riwayat yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW membaca kedua surah itu dalam shalat.
Ibnu Hajar walau bagaimanapun tetap mempertahankan bahwa riwayat
ketiadaan dua surah itu sah. Dan bagi beliau, mereka yang mencela riwayat yang
sah tanpa sandaran yang kukuh adalah tertolak. Walaupun begitu, demi
mempertahankan Mushaf Utsmani beliau menerima takwil. Ibnu Hajar, yang mengambil
takwil Ibnu al-Abbas, mengakui bahwa riwayat kedua surah sebagai bagian dari
al-Qur’an memang telah tercapai secara mutawatir dikalangan Sahabat. Tetapi ia
sendiri menganggapnya tidak mutawatir, sehingga beliau tidak memasukkannya dalam
mushafnya. Begitulah contoh hujah-hujah para ulama Islam yang mempertahankan
Mushaf Utsmani.
Mushaf Utsmani, yaitu mushaf yang digunakan oleh seluruh
umat Islam sampai hari ini, baik Ahlu Sunnah di kebanyakan negeri-negeri Islam
ataupun Syiah di Iran. Ia merupakan mushaf yang disandarkan kepada riwayat yang
mutawatir, yaitu suatu jalan periwayatan dari generasi umat Islam terawal kepada
generasi umat Islam yang lain yang tiada terputus dari semenjak zaman Khalifah
‘Utsman sampai hari ini. Namun perlu juga disebutkan di sini bahwa Mushaf
Utsmani ini pun bukan hanya yang terdiri dari satu mushaf saja, tetapi ada
beberapa mushaf yang disebut sebagai al-Masahif al-‘Utsmaniyah.
Sejarah
mengatakan bahwa Khalifah Utsman telah menghantar beberapa naskah mushaf itu ke
seluruh kota-kota besar Islam pada ketika itu, yaitu ke Mekah, Syam, Yaman,
Bahrain, Basrah, Kufah dan satu disimpan di Madinah sendiri. Walaupun ada
perbedaan kecil pada mushaf-mushaf tersebut, seperti kebeadaan dan ketiadaan
huruf-huruf tertentu pada masing-masing mushaf itu, para ulama tetap menerima
perbedaan itu, dan tetap mengakuinya sebagai Mushaf Utsmani.
Mengapa
pula perbedaan-perbedaan itu muncul? Jawabannya ada pada tafsiran mengenai sabda
Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa Al-Quran itu diturunkan di atas tujuh
huruf. Para ulama memang berbeda pendapat mengenai tafsir ayat itu. Imam
as-Suyuti, misalnya menyebutkan sekitar empat puluh tafsiran. Pada pokoknya,
Rasulullah (s.a.w.) sendiri memberi kebenaran dan kelonggaran akan adanya
perbedaan bacaan untuk memudahkan umatnya dalam membaca al-Qur’an. Perkataan
‘tujuh’ pada ‘tujuh huruf’ itu menurut para ulama tidak menunjukkan bilangan
tertentu, tetapi menunjukkan banyaknya perbedaan itu sendiri. Walaupun begitu
perbedaan-perbedaan itu tetap mempunyai batas tertentu yang dibincangkan oleh
para ulama.
Berpegang pada tafsiran ‘tujuh huruf’ tersebut, sebagian
mereka berpendapat bahwa ketujuh huruf itu telah terkandung di dalam Mushaf
Utsmani, dan sebahagian yang lain pula mengatakan bahwa mushaf itu merupakan
satu diantara tujuh huruf tersebut. Namun mereka sepakat bahwa Mushaf Utsmani
itu bersandarkan kepada bacaan terakhir yang dikemukakan Jibril kepada
Rasulullah sebelum beliau wafat.
Perlu juga dijelaskan di sini bahwa
Mushaf Utsmani mengandung keseluruhan bacaan yang disepakati, karena mushaf ini
ditulis mengikut bacaan yang mutawatir. Walau begitu ada pula bacaan-bacaan yang
kurang disepakati, bergantung pada cara periwayatannya. Para ulama telah membagi
bacaan Al-Quran kepada bacaan mutawatir (tidak mungkin salah), bacaan masyhur
(terkenal), bacaan ahad (segelintir perawi), bacaan syadz (cacat), bacaan
mawdhu’ (palsu), dan bacaan mudraj. Bacaan masyhur dan ahad yang sah
periwayatannya pada umumnya diterima oleh para ulama sebagai sebahagian dari
makna tujuh huruf. Adapun bacaan syadh, mawdhu’, dan mudraj tidak dianggap
sebagai bacaan yang sah dan tidak termasuk bagian dari tujuh huruf al-Qur’an.
Para perongrong al-Quran selalu mengemukakan riwayat yang syadz, mawdhu’
atau mudraj, tetapi umat Islam tidak mempedulikan riwayat tersebut, sehingga
tinggallah riwayat itu dalam lipatan buku-buku yang hanya dibaca oleh para
sarjana yang memang tahu bagaimana menyikapinya. Berbeda dengan dahulu, dimana
para pengkritik itu terdiri dari orang-orang Islam sendiri, kini golongan
perongrong ini didukung pula oleh para pengkaji dari Barat (orientalis) yang
telah berputus asa terhadap keaslian kitab suci mereka sendiri.
Golongan
orientalis itu, baik yang berpegang teguh dengan agama mereka ataupun yang hanya
semata-mata bersimpati tetapi tidak teguh dengan ajaran agama mereka, memang
menginginkan agar nasib al-Quran itu sama dengan nasib kitab suci mereka (banyak
cacat). Selain menggunakan riwayat dan berita-berita yang telah kita sebutkan di
atas, mereka juga mencari dan menggunakan manuskrip-manuskrip al-Quran yang
mereka temukan. Kajian dan olahan mereka inilah yang digunakan oleh pengkritik
Mushaf Utsmani dari golongan orang Islam untuk menguatkan lagi riwayat dan
dakwaan mereka. Karena itu peperangan ilmiah ini masih akan berlanjut sampai
hari ini.
Namun ada perbedaan, bila dahulu para ulama kita tinggi
kedudukannya dan banyak jumlahnya serta peradaban Islam begitu menguasai
kehidupan untuk menghadapi para pengacau, hari ini kita kekurangan para ulama
yang berwibawa untuk menghadapi para penentang moden yang kini semakin banyak.
Lebih-lebih mereka juga disokong oleh para orientalis dengan kekuatan peradaban
Barat yang mendominasi dunia. Kondisi itu membuat kaum muslimin makin rendah
diri dengan Islam.
Diantara orang-orang Islam yang lemah imannya dan
dangkal ilmunya ada yang keluar dari Islam dan dengan serta merta melancarkan
serangan terhadap Islam sambil menyerang al-Quran. Misalnya seseorang yang
menggunakan nama samaran Ibnu Warraq, yang konon asalnya seorang muslim, menulis
sebuah buku Why I am not a Muslim serta mengkritik Al-Quran dengan mengumpulkan
kajian-kajian orientalis yang telah lapuk dalam bukunya The Origins of the
Koran.
Dikalangan pemikir muslim ada Mohammed Arkoun, yang berasal dari
Algeria dan mendapat Ph.D. dari Universitas Sorbonne. Ia mengkritik, menghakimi
dan mencanangkan pembaharuan (tajdid) terhadap Mushaf Utsmani, dan dengan
bantuan faham deconstruction Derrida, salah seorang pemikir post-modernism.
Arkoun berusaha membongkar (deconstruct) al-Quran.
Taufik Adnan
Amal, dari Indonesia juga berusaha mengeluarkan Al-Qur’an Edisi Kritis.
Usaha itu sebenarnya terpengaruh dan meniru-niru para orientalis tua yang
dahulunya pernah mempunyai ambitious project yang sesungguhnya gagal.
Kini dari Moroko di Afrika Utara hingga ke Merauke di Indonesia kita
menyaksikan secara langsung kemunculan penentang Mushaf Utsmani di kalangan
orang-orang Islam sendiri. Mudah-mudahan kata-kata keramat Abu ‘Ubayd di awal
tulisan ini sekali lagi akan menjadi kenyataan pada hari ini, sebagaimana pada
masa-masa yang lalu.
Dr. Ugi Suharto, Asisten Profesor Universitas
Islam Antarbangsa (UIA), Malaysia
kalangan orientalis yang benci Islam, kini, justru dilakukan para ‘santri’
pondok pesantren setelah mengaji di kalangan orentalis
“Usaha
‘Utsman bin Affan r.a. mengumpul-susun al-Qur’an akan senantiasa dijunjung
tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang di
kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun justru malah
kecacatan mereka yang tersingkap.” (Abu ‘Ubayd)
Kata-kata Abu
‘Ubayd (224 H/ 838 M) ini muncul lebih dari seribu tahun yang lalu dalam rangka
menanggapi usaha sia-sia para perongrong kewibawaan Al-Quran Mushaf Uthmani
ketika itu. Ulama yang mempunyai otoritas ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu
Islam ini, termasuk ‘Ulum al-Qur’an, mengisyaratkan bahwa setiap bantahan
terhadap Mushaf Utsmani akan senantiasa dijawab-balas oleh para ulama Islam, dan
dibongkar kecacatan serta kelemahannya.
Satu abad kemudian, seorang
sarjana Al-Quran yang bernama Abu Bakr al-Anbar (328 H/ 939 M),
dalam pembelaannya terhadap Mushaf Utsmani pernah menulis buku, al-Radd ‘ala Man
Khalafa Mushaf ‘Utsman(Sanggahan Terhadap Orang yang Menyangkal Mushaf Utsmani).
Begitu juga di abad ke tujuh Hijriyah , al-Qurthubi (671 H/ 1272
M), seorang ahli tafsir yang berwibawa dan masyhur, dalam mukadimah
kitab tafsirnya menyediakan satu bab khusus mengenai hujah-hujah untuk membalas
dakwaan bahwa dalam Mushaf Utsmani terdapat penambahan dan pengurangan.
Perbedaan Riwayat Mengapa ada yang berupaya menyangkal kebenaran Mushaf
Utsmani? Jawabannya terdapat pada sejarah Al-Quran itu sendiri, dimana terdapat
riwayat ataupun berita-berita mengenai proses penyusunannya yang mengandung
perbedaan. Di antaranya adalah berita mengenai adanya beberapa mushaf yang
dimiliki Sahabat yang tidak sama dengan Mushaf Utsmani, seperti Mushaf Ubay bin
Ka‘ab dan Mushaf Ibnu Mas‘ud yang satu sama lain agak berbeda dari segi
susunannya. Begitu pula dari segi kelengkapan surah-surahnya. Misalnya pada
Mushaf Ibnu Mas‘ud tidak terdapat surat an-Nas dan al-Falaq. Sementara pada
Mushaf Ubay bin Ka‘ab ada sejumlah kecil tambahan. Ada juga yang menyusunnya
berdasarkan tanggal penurunannya. Misalnya Mushaf Sayidina ‘Ali, yang
diriwayatkan berawal dengan “iqra’ bismi rabbika” yaitu awal surah al-‘Alaq.
Walau bagaimanapun semua itu hanyalah riwayat yang bersifat ahad atau
berita-berita yang disampaikan oleh segelintir orang yang disebutkan dalam
kitab-kitab tertentu, seperti kitab Tafsir, Lughah, dan Qiraat. Sejauh mana
kebenaran riwayat itu memang dapat ditelusuri dari Ulum al-Hadits dan hal itu
sudah diperkirakan oleh para ulama Islam. Oleh karena itu mereka tetap melayani
kritikan-kritikan yang ditujukan kepada Mushaf Utsmani, selagi ada dasar
periwayatannya.
Sebagai contoh, menurut Ibnu Hajar riwayat yang
mengatakan bahwa Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak mengandungi Surat al-Falaq dan
Surat an-Nas adalah sah. Sementara bagi Fakhruddin ar-Razi dan an-Nawawi,
riwayat itu batil. Ar-Razi diantaranya berhujah bahwa jika benar bahwa di dalam
Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak terdapat kedua surah tersebut, maka hanya ada dua
kemungkinan. Pertama, jika periwayatan Al-Quran secara mutawatir telah tercapai
di zaman Sahabat, maka pengurangan itu membawa kepada kekufuran dan tidak
mungkin Ibnu Mas’ud berbuat kufur seperti itu. Kedua, jika periwayatan secara
mutawatir belum tercapai di zaman Sahabat, ini bermakna al-Qur’an tidak
diriwayatkan secara mutawatir sejak awalnya, maka hal ini juga tidak dapat
diterima. Oleh karena itu bagi ar-Razi hanya ada satu jawaban yang mungkin,
yaitu riwayat yang mengatakan bahwa Mushaf Ibnu Mas’ud itu tidak mengandung
al-mu‘awwidzatain itu adalah riwayat yang tidak sah.
Ibnu Hazm juga
mengatakan bahwa riwayat itu dusta. Ia mengemukakan riwayat lain dari Ibnu
Mas’ud sendiri bahwa dalam mushaf beliau terdapat kedua surah tersebut.
Al-Bazzar juga menambahkan bahwa tidak ada seorang Sahabat pun yang mengikuti
Ibnu Mas’ud jika benar mushafnya begitu. Sedangkan telah sah riwayat yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW membaca kedua surah itu dalam shalat.
Ibnu Hajar walau bagaimanapun tetap mempertahankan bahwa riwayat
ketiadaan dua surah itu sah. Dan bagi beliau, mereka yang mencela riwayat yang
sah tanpa sandaran yang kukuh adalah tertolak. Walaupun begitu, demi
mempertahankan Mushaf Utsmani beliau menerima takwil. Ibnu Hajar, yang mengambil
takwil Ibnu al-Abbas, mengakui bahwa riwayat kedua surah sebagai bagian dari
al-Qur’an memang telah tercapai secara mutawatir dikalangan Sahabat. Tetapi ia
sendiri menganggapnya tidak mutawatir, sehingga beliau tidak memasukkannya dalam
mushafnya. Begitulah contoh hujah-hujah para ulama Islam yang mempertahankan
Mushaf Utsmani.
Mushaf Utsmani, yaitu mushaf yang digunakan oleh seluruh
umat Islam sampai hari ini, baik Ahlu Sunnah di kebanyakan negeri-negeri Islam
ataupun Syiah di Iran. Ia merupakan mushaf yang disandarkan kepada riwayat yang
mutawatir, yaitu suatu jalan periwayatan dari generasi umat Islam terawal kepada
generasi umat Islam yang lain yang tiada terputus dari semenjak zaman Khalifah
‘Utsman sampai hari ini. Namun perlu juga disebutkan di sini bahwa Mushaf
Utsmani ini pun bukan hanya yang terdiri dari satu mushaf saja, tetapi ada
beberapa mushaf yang disebut sebagai al-Masahif al-‘Utsmaniyah.
Sejarah
mengatakan bahwa Khalifah Utsman telah menghantar beberapa naskah mushaf itu ke
seluruh kota-kota besar Islam pada ketika itu, yaitu ke Mekah, Syam, Yaman,
Bahrain, Basrah, Kufah dan satu disimpan di Madinah sendiri. Walaupun ada
perbedaan kecil pada mushaf-mushaf tersebut, seperti kebeadaan dan ketiadaan
huruf-huruf tertentu pada masing-masing mushaf itu, para ulama tetap menerima
perbedaan itu, dan tetap mengakuinya sebagai Mushaf Utsmani.
Mengapa
pula perbedaan-perbedaan itu muncul? Jawabannya ada pada tafsiran mengenai sabda
Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa Al-Quran itu diturunkan di atas tujuh
huruf. Para ulama memang berbeda pendapat mengenai tafsir ayat itu. Imam
as-Suyuti, misalnya menyebutkan sekitar empat puluh tafsiran. Pada pokoknya,
Rasulullah (s.a.w.) sendiri memberi kebenaran dan kelonggaran akan adanya
perbedaan bacaan untuk memudahkan umatnya dalam membaca al-Qur’an. Perkataan
‘tujuh’ pada ‘tujuh huruf’ itu menurut para ulama tidak menunjukkan bilangan
tertentu, tetapi menunjukkan banyaknya perbedaan itu sendiri. Walaupun begitu
perbedaan-perbedaan itu tetap mempunyai batas tertentu yang dibincangkan oleh
para ulama.
Berpegang pada tafsiran ‘tujuh huruf’ tersebut, sebagian
mereka berpendapat bahwa ketujuh huruf itu telah terkandung di dalam Mushaf
Utsmani, dan sebahagian yang lain pula mengatakan bahwa mushaf itu merupakan
satu diantara tujuh huruf tersebut. Namun mereka sepakat bahwa Mushaf Utsmani
itu bersandarkan kepada bacaan terakhir yang dikemukakan Jibril kepada
Rasulullah sebelum beliau wafat.
Perlu juga dijelaskan di sini bahwa
Mushaf Utsmani mengandung keseluruhan bacaan yang disepakati, karena mushaf ini
ditulis mengikut bacaan yang mutawatir. Walau begitu ada pula bacaan-bacaan yang
kurang disepakati, bergantung pada cara periwayatannya. Para ulama telah membagi
bacaan Al-Quran kepada bacaan mutawatir (tidak mungkin salah), bacaan masyhur
(terkenal), bacaan ahad (segelintir perawi), bacaan syadz (cacat), bacaan
mawdhu’ (palsu), dan bacaan mudraj. Bacaan masyhur dan ahad yang sah
periwayatannya pada umumnya diterima oleh para ulama sebagai sebahagian dari
makna tujuh huruf. Adapun bacaan syadh, mawdhu’, dan mudraj tidak dianggap
sebagai bacaan yang sah dan tidak termasuk bagian dari tujuh huruf al-Qur’an.
Para perongrong al-Quran selalu mengemukakan riwayat yang syadz, mawdhu’
atau mudraj, tetapi umat Islam tidak mempedulikan riwayat tersebut, sehingga
tinggallah riwayat itu dalam lipatan buku-buku yang hanya dibaca oleh para
sarjana yang memang tahu bagaimana menyikapinya. Berbeda dengan dahulu, dimana
para pengkritik itu terdiri dari orang-orang Islam sendiri, kini golongan
perongrong ini didukung pula oleh para pengkaji dari Barat (orientalis) yang
telah berputus asa terhadap keaslian kitab suci mereka sendiri.
Golongan
orientalis itu, baik yang berpegang teguh dengan agama mereka ataupun yang hanya
semata-mata bersimpati tetapi tidak teguh dengan ajaran agama mereka, memang
menginginkan agar nasib al-Quran itu sama dengan nasib kitab suci mereka (banyak
cacat). Selain menggunakan riwayat dan berita-berita yang telah kita sebutkan di
atas, mereka juga mencari dan menggunakan manuskrip-manuskrip al-Quran yang
mereka temukan. Kajian dan olahan mereka inilah yang digunakan oleh pengkritik
Mushaf Utsmani dari golongan orang Islam untuk menguatkan lagi riwayat dan
dakwaan mereka. Karena itu peperangan ilmiah ini masih akan berlanjut sampai
hari ini.
Namun ada perbedaan, bila dahulu para ulama kita tinggi
kedudukannya dan banyak jumlahnya serta peradaban Islam begitu menguasai
kehidupan untuk menghadapi para pengacau, hari ini kita kekurangan para ulama
yang berwibawa untuk menghadapi para penentang moden yang kini semakin banyak.
Lebih-lebih mereka juga disokong oleh para orientalis dengan kekuatan peradaban
Barat yang mendominasi dunia. Kondisi itu membuat kaum muslimin makin rendah
diri dengan Islam.
Diantara orang-orang Islam yang lemah imannya dan
dangkal ilmunya ada yang keluar dari Islam dan dengan serta merta melancarkan
serangan terhadap Islam sambil menyerang al-Quran. Misalnya seseorang yang
menggunakan nama samaran Ibnu Warraq, yang konon asalnya seorang muslim, menulis
sebuah buku Why I am not a Muslim serta mengkritik Al-Quran dengan mengumpulkan
kajian-kajian orientalis yang telah lapuk dalam bukunya The Origins of the
Koran.
Dikalangan pemikir muslim ada Mohammed Arkoun, yang berasal dari
Algeria dan mendapat Ph.D. dari Universitas Sorbonne. Ia mengkritik, menghakimi
dan mencanangkan pembaharuan (tajdid) terhadap Mushaf Utsmani, dan dengan
bantuan faham deconstruction Derrida, salah seorang pemikir post-modernism.
Arkoun berusaha membongkar (deconstruct) al-Quran.
Taufik Adnan
Amal, dari Indonesia juga berusaha mengeluarkan Al-Qur’an Edisi Kritis.
Usaha itu sebenarnya terpengaruh dan meniru-niru para orientalis tua yang
dahulunya pernah mempunyai ambitious project yang sesungguhnya gagal.
Kini dari Moroko di Afrika Utara hingga ke Merauke di Indonesia kita
menyaksikan secara langsung kemunculan penentang Mushaf Utsmani di kalangan
orang-orang Islam sendiri. Mudah-mudahan kata-kata keramat Abu ‘Ubayd di awal
tulisan ini sekali lagi akan menjadi kenyataan pada hari ini, sebagaimana pada
masa-masa yang lalu.
Dr. Ugi Suharto, Asisten Profesor Universitas
Islam Antarbangsa (UIA), Malaysia
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Similar topics
» Sejarah terbentuknya mushaf "al quran"
» ISIS: ideologi kaum fasik yang merongrong umat islam
» bid'ah mencium mushaf
» mushaf usman
» sejarah pengumpulan mushaf Qur'an
» ISIS: ideologi kaum fasik yang merongrong umat islam
» bid'ah mencium mushaf
» mushaf usman
» sejarah pengumpulan mushaf Qur'an
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik