teologi inklusivisme adalah tradisi kristen
Halaman 1 dari 1 • Share
teologi inklusivisme adalah tradisi kristen
Jika dicermati secara seksama, semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim
kebenaran” (truth-claim)nya, baik secara explisit ataupun implisit. Masalah
apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional atau irasional,
that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang tidak membuat klaim
kebenaran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara agama-agama dalam memandang
klaim kebenaran ini, antara lain:
Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran
absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak
memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak memberikan konsesi sedikitpun dan
tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih.
Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia
terrepresentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme,
Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling
benar.
Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian
ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of
salvation), di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai
satu-satunya “ruang” soteriologis (soteriological space) yang hanya di
dalamnya, atau “jalan” soteriologis (soteriological way) yang hanya melaluinya,
manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation)
atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan
kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.
Yudaisme, dengan
doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan
keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja;
Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan
doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan
keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas
tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan
statemen Allah SWT dalam al-Qur’an: “Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran
19) dan hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam)
kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan: “wa man
yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati
minal-khasirin” (Ali Imran 85).
Inklusivisme, merupakan bentuk klaim
kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap
meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara
absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan
dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivisme
ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam
pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal
Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang
kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown
Christ of Hinduism’.
Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini
secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang
relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis
yang mulai merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di
lain pihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan
zaman.
Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap
tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara
dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement)
yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar
dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement
tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka
dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampunan
Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia
mati disalib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi
inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan
dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.
Di lingkungan Islam,
sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia
pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual
muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam inklusif” dalam berbagai
kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang
mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model
pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini.
Pluralisme. Wacana ini
muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu,
yakni humanisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi
liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme
agama (yang oleh sementara sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang
teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis
(soteriological spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis
(soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan
keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya
sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam
terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.
Klaim
pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa implikasi yang luar biasa
berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritualnya. Kenyataan ini
pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi
yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu
apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap
konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan
penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena
pluralitas keagamaan?
Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian
pemahaman ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan
semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang
lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur
paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis
ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan
agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?
Dan di pihak lain,
klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehingga
mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang
sangat sempit dan private –hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate.
Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan
pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan
membentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya
atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali
mengiyakan atau mengukuhkannya.
Di samping itu, terminologi “pluralisme”
di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya:
perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan
sebangun dengan “demokrasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi
persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara
teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung
menunjukkan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus
karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad
Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun
pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan
intelektual mereka masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let
the others to be really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).
Islam dan Klaim Kebenaran Agama
Masalah hubungan Islam dengan
agama-agama lain beserta klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah
selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menuntaskan masalah ini
sejak awal lewat wahyu-Nya, Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayaknya seorang
Muslim mengingkari hal ini, sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan
yang tertinggi, di mana teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan
Allah SWT, tak akan pernah berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika
bahasa Arabnya.
Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara
teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa
perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat
di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi
Islam.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan
teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan
fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang
genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori
pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi
eksternal yang superfisial –dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine.
Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam
menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis– oleh karenanya
lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi
teologis epistemologis.
Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam
memandang perbedaan dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis
(haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine.
Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan
eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur,
tak jelas, atau hilang sama sekali.
Dengan kata lain, Islam
memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan
membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan
manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak
boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.
Kesimpulannya, klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama adalah sesuatu
yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupakan esensi jati-diri sebuah
agama.
kebenaran” (truth-claim)nya, baik secara explisit ataupun implisit. Masalah
apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional atau irasional,
that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang tidak membuat klaim
kebenaran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara agama-agama dalam memandang
klaim kebenaran ini, antara lain:
Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran
absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak
memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak memberikan konsesi sedikitpun dan
tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih.
Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia
terrepresentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme,
Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling
benar.
Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian
ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of
salvation), di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai
satu-satunya “ruang” soteriologis (soteriological space) yang hanya di
dalamnya, atau “jalan” soteriologis (soteriological way) yang hanya melaluinya,
manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation)
atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan
kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.
Yudaisme, dengan
doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan
keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja;
Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan
doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan
keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas
tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan
statemen Allah SWT dalam al-Qur’an: “Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran
19) dan hanya dengan meniscayakan kepasrahan dan ketundukan total (berislam)
kepada Allah SWT sajalah seseorang bisa mendapatkan keselamatan: “wa man
yabtaghi ghairal-islami dinan fa lan yuqbala minhu wa huwa fil-akhirati
minal-khasirin” (Ali Imran 85).
Inklusivisme, merupakan bentuk klaim
kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap
meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara
absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan
dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivisme
ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam
pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal
Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang
kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown
Christ of Hinduism’.
Sejauh yang bisa dilacak, teologi inklusif ini
secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang
relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis
yang mulai merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di
lain pihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan
zaman.
Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap
tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara
dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement)
yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar
dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement
tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka
dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampunan
Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia
mati disalib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi
inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan
dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.
Di lingkungan Islam,
sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia
pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual
muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam inklusif” dalam berbagai
kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang
mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model
pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini.
Pluralisme. Wacana ini
muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu,
yakni humanisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi
liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme
agama (yang oleh sementara sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang
teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis
(soteriological spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis
(soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan
keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya
sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam
terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.
Klaim
pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa implikasi yang luar biasa
berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritualnya. Kenyataan ini
pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi
yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu
apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap
konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan
penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena
pluralitas keagamaan?
Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian
pemahaman ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan
semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang
lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur
paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis
ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan
agama-agama primitif dan pagan yang kanibalistik?
Dan di pihak lain,
klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehingga
mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang
sangat sempit dan private –hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate.
Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan
pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan
membentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya
atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali
mengiyakan atau mengukuhkannya.
Di samping itu, terminologi “pluralisme”
di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya:
perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan
sebangun dengan “demokrasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi
persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara
teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung
menunjukkan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus
karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad
Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun
pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan
intelektual mereka masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let
the others to be really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).
Islam dan Klaim Kebenaran Agama
Masalah hubungan Islam dengan
agama-agama lain beserta klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah
selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menuntaskan masalah ini
sejak awal lewat wahyu-Nya, Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayaknya seorang
Muslim mengingkari hal ini, sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan
yang tertinggi, di mana teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan
Allah SWT, tak akan pernah berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika
bahasa Arabnya.
Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara
teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa
perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat
di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi
Islam.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan
teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan
fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang
genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori
pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi
eksternal yang superfisial –dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine.
Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam
menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis– oleh karenanya
lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi
teologis epistemologis.
Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam
memandang perbedaan dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis
(haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine.
Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan
eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur,
tak jelas, atau hilang sama sekali.
Dengan kata lain, Islam
memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan
membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan
manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak
boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.
Kesimpulannya, klaim kebenaran (truth-claim) bagi agama adalah sesuatu
yang alami atau natural. Lebih dari itu, ia merupakan esensi jati-diri sebuah
agama.
darussalam- Co-Administrator
-
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10
Similar topics
» menjawab pemahaman teologi pluralis mengenai kristen dan islam
» KRISTEN BILANG KRISTEN PAULUS ADALAH MURTAD
» Hitler adalah Kristen Taat
» Kristen adalah Dongeng Yunani
» Kristen Sejati adalah Islam Itu Sendiri ?
» KRISTEN BILANG KRISTEN PAULUS ADALAH MURTAD
» Hitler adalah Kristen Taat
» Kristen adalah Dongeng Yunani
» Kristen Sejati adalah Islam Itu Sendiri ?
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik