kitab suci agama Budha
Halaman 1 dari 1 • Share
kitab suci agama Budha
“Maka celaka sekali orang yang menulis
Kitab dengan tangan mereka, lalu berkata: Ini dari Allah”. (Q.S.
2:79).
Adalah suatu fakta yang dikenal umum bahwa Buddha tidak
meninggalkan kitab atau naskah suci
sesudahnya. Seperti ditulis
Ward:
“Buddha (seperti juga Yesus) tidak meninggalkan karya
tulis sepeninggalnya, tetapi segera sesudah kematiannya, menurut tradisi
Buddhistis ortodoks, suatu konsili besar dari 500 rahib datang bersama-sama di
Rajagaha dan Upali dan Ananda mengulangi masing-masing Vinya dan Dhamma…. tak
disebutkan di sini pembuatan Abhi Dhamma divisi ke tiga yang, bersama Vinya dan
Dhamma, melengkapi kanon Buddhis” (Ward, “Outline of Buddhism”, halaman
15).
Ini terjadi demikian meskipun apa yang dinasihatkan Buddha kepada para
muridnya adalah:
Pelajarilah apa yang telah dikatakan, peganglah erat-erat,
dan hayatilah dia” (Majjihma, 3:199)”.
Meskipun demikian
penganut Buddhis percaya bahwa para murid Buddha telah menghafal dalam ingatan
apa yang dikatakannya, dan sebelum ajarannya ditulis mereka adalah para perawi
yang jujur.
Meskipun para
muridnya gagal untuk menghafal semua kata-katanya, pastilah mereka ingat
akan
maknanya. Namun dalam waktu singkat riwayat ini mengalami banyak
perubahan.
Rhys Davids menulis tentang hal ini:
“Selanjutnya, fakta bahwa ajaran ini tidak disimpan dalam
tulisan hingga berabad-abad setelah wafatnya sang guru, teatpi terdapat
hanya dalam tradisi lisan, membuatnya sangat sulit untuk menentukan yang
manakah ajarannya yang asli itu. Tetapi tidak ada disebutkan dalam Pitaka
orang-orang yang mengulanginya itu” (Rhys Davids, “Sakia” hal.360, 384,
389).
”Dalam seluruh Pitaka ada elemen dari ajaran yang sangat
awal bercampur dengan hal-hal yang jelas masuk dari abad-abad belakangan….Tetapi
kata-kata dari Buddha telah turun kepada kita dalam bahasa Pali, dan dalam
bentuk bahasa Pali yang sempurna, yang barangkali bahkan belum ada ketika saat
inskripsi Asoka dibuat. Jadi kata-kata Buddha dalam Teks bahasa Pali adalah
terjemahan dari bahasa lain serta ungkapan yang biasa dipergunakannya”. (Rhys
Davids, “Outline of Buddhism” hal. 20).
Untuk koreksi dari
kitab-kitab ini konsili yang sewaktu-waktu diadakan tidak ada gunanya akibat
terpecahnya peringkat umat Buddha yang menimbulkan timbulnya pelbagai sekte dan
usulan agar diterbitkan kitab yang terpisah serta berbeda. Di zaman modern,
agama Buddha dianggap terdiri dari tiga bagian. Dalam terminologi keagamaan tiga
bagian ini digambarkan sebagai tiga Keranjang (Tripitaka) nama-nama mereka
adalah:
1. Vinya Pitaka,
2.
Sutta Pitaka,
3. Abhidhamma Pitaka.
Sebagian dari yang
kedua dari ini, Sutta Pitaka, dikenal sebagai Dhamma Pada. Kitab suci ini
ditulis dalam bahasa Pali. Sejarah menceriterakan kepada kita bahwa bahasa yang
digunakan Buddha tidak sampai kepada kita. Bahasa Pali itu datang belakangan;
dan ini tidak pernah jadi bahasa lisan maupun tertulis pada saat pilar-pilar
Ashoka diukir dengan ajaran serta doktrin Buddha. Maka kaum Buddhis mengakui
bahwa kata-kata asli dari Buddha tidak pernah sampai kepada mereka tanpa
perubahan. Seorang otoritas tentang keaslian seperti Mrs. Rhys Davids
menulis:
“Dalam Pitaka Buddha tidak terdapat penyebutan seorangpun
dari orang-orang yang menghafal Pitaka dalam ingatan atau semacam yang
mengulang-ulangi”.
Kitab-kitab suci yang
ada kini tidak pernah disetujui sebagai yang otentik secara keseluruhan oleh
umat Buddhis permulaan. Dalam konsili Rajgaha, seorang Eklesias seperti Puran
menolak bersetuju terhadap otentisitas dari kitab itu sebagai yang asli. Puran
sebaliknya lebih menyukai copynya sendiri. (4)
SEKTE SEKTE BUDDHA
Ada dua sekte besar
di antara kaum Buddhis; 1. Mahayana, dan 2. Hinayana. Dikatakan
bahwa yang pertama itu sangat jauh dari ajaran asli Buddha. Menurut Pali Pitaka
Mahayana adalah khayalan yang tak berdasar dan sudah dirubah-rubah. Umat yang
termasuk dalam sekte ini percaya bahwa Buddha bukanlah suatu entitas manusiawi.
Mereka lebih mempercayai dia sebagai manusia super.
“Sakya Muni tidak pernah berinkarnasi di dunia; dia hanya
menurunkan bayangannya dan Buddha sendiri adalah Tuhan Yang Maha-kuasa, abadi
dan hidup selamanya”. (3)
Sebaliknya sekte
Hinayana tidak mempercayai Tuhan dan wahyu-Nya (“Buddhism” oleh Bhikku
Narada). Dia selanjutnya menulis bahwa Buddha adalah seorang manusia. Dia
dilahirkan, hidup dan meninggal, dan seterusnya. Buddha sendiri telah
mengumumkan:
“Menggantungkan keselamatan kepada yang lain itu negatif
tetapi menggantungkan kepada diri sendiri itu positif”. Lagi, diriwayatkan dia
telah berkata: “Jadilah kepulauan dirimu sendiri, dan jadilah pelabuhanmu
sendiri. Janganlah mencari perlindungan di bawah orang lain” (Parinibhan
Sutta).
Sebagai kenyataan,
bahasa Pali dimana Kitab-kitab suci ini ditulis, adalah penanggung-jawab tunggal
dari terciptanya sekte-sekte di kalangan Buddhis ini. Tata-bahasa Pali adalah
begitu membingungkan sehingga setiap cendikiawan bisa meramunya sesuai dengan
pandanagannya sendiri. Untuk merinci dan membetulkan ajaran Buddha serta
merawatnya dari perubahan maka tiga konsili berturutan dalam masa satu abad
telah diselenggarakan. Namun adalah suatu kenyataan yang diakui bahwa
kitab-kitab suci ini ditulis jauh belakangan sesudah Buddha. Keith berkata bahwa
Sutta Pitaka ditulis 200 tahun sesudah Ashoka wafat dan satu dari seksinya
dilengkapi pada abad kedua Masehi. (5) Sekte Buddhis yang
berbeda-beda menarik otoritasnya untuk kepercayaannya masing-masing dari
berbagai kitab serta naskah suci. Setiap sekte mempercayai bahwa naskahnyalah
yang paling otentik. Tetapi pakar penyusun “Sacred Books of the east”
menulis:
“Seluruh MSS India secara perbandingan adalah modern dan
seseorang barangkali telah menyerahkan lebih banyak MSS India daripada yang
lain. Mr. A.Burnel, belakangan telah mengungkapkan keyakinannya bahwa tak ada
MS yang ditulis seribu tahun yang lalu yang masih ada di India, dan adalah
nyaris mustahil untuk menemukan satu yang ditulis limaratus tahun yang lalu,
karena sebagian besar MSS yang meng-klaim berasal dari masa itu adalah hanya
copy dari MSS yang tua dimana tanggalnya juga diulangi lagi oleh yang
meng-copy”. (“Sacred Books of the East”, jilid 10 halaman 29).
Tiga konsili yang
dilangsungkan dengan sukses setelah setiap abad telah mengeluarkan fatwa bahwa
telah terjadi penambahan dan penghapusan dari Kitab-kitab suci
tersebut.
Beberapa bagian dari Pitaka telah ditambahkan kepadanya setelah
konvensi ke tiga pada 242 s.M. (6)
Buddha dikatakan telah mengumumkan, bahwa: “Sepeninggalku
lima perkara akan hilang berturutan”. Dari sini, satu dari ajarannya akan
hilang, karena itu kaum Buddhis percaya bahwa saatnya akan tiba dimana seorang
Raja Buddhis akan mengumumkan bahwa barangsiapa ingat akan empat baris ajarannya
maka dia akan mendapat hadiah seribu keping perak dalam peti emas di punggung
seekor gajah. Namun tak seorang pun di kota bisa memenangkan piala itu bahkan
setelah itu diumumkan berulang-kali.
Dalam sebuah buku berjudul, “What is Buddhism” yang
baru-baru ini diterbitkan oleh Buddhi Mission London (pada halaman 176)
dinyatakan: Tanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda
sendiri itu sebagai bisa dipercaya?
Jawab: “Sudah pasti tidak. Kecenderungan dari penelitian
modern itu menunjukkan bahwa kitab suci Buddhis, sebagaimana Alkitab Kristen
terdiri dari penulisan yang bermacam ragam, disusun oleh pengarang yang
berlainan dalam abad yang berbeda-beda, jadi tak satupun, atau satu bagian
darinya bisa dipercaya sebagai kata-kata pribadi Yang Tercerahkan sendiri”.
Kitab dengan tangan mereka, lalu berkata: Ini dari Allah”. (Q.S.
2:79).
Adalah suatu fakta yang dikenal umum bahwa Buddha tidak
meninggalkan kitab atau naskah suci
sesudahnya. Seperti ditulis
Ward:
“Buddha (seperti juga Yesus) tidak meninggalkan karya
tulis sepeninggalnya, tetapi segera sesudah kematiannya, menurut tradisi
Buddhistis ortodoks, suatu konsili besar dari 500 rahib datang bersama-sama di
Rajagaha dan Upali dan Ananda mengulangi masing-masing Vinya dan Dhamma…. tak
disebutkan di sini pembuatan Abhi Dhamma divisi ke tiga yang, bersama Vinya dan
Dhamma, melengkapi kanon Buddhis” (Ward, “Outline of Buddhism”, halaman
15).
Ini terjadi demikian meskipun apa yang dinasihatkan Buddha kepada para
muridnya adalah:
Pelajarilah apa yang telah dikatakan, peganglah erat-erat,
dan hayatilah dia” (Majjihma, 3:199)”.
Meskipun demikian
penganut Buddhis percaya bahwa para murid Buddha telah menghafal dalam ingatan
apa yang dikatakannya, dan sebelum ajarannya ditulis mereka adalah para perawi
yang jujur.
Meskipun para
muridnya gagal untuk menghafal semua kata-katanya, pastilah mereka ingat
akan
maknanya. Namun dalam waktu singkat riwayat ini mengalami banyak
perubahan.
Rhys Davids menulis tentang hal ini:
“Selanjutnya, fakta bahwa ajaran ini tidak disimpan dalam
tulisan hingga berabad-abad setelah wafatnya sang guru, teatpi terdapat
hanya dalam tradisi lisan, membuatnya sangat sulit untuk menentukan yang
manakah ajarannya yang asli itu. Tetapi tidak ada disebutkan dalam Pitaka
orang-orang yang mengulanginya itu” (Rhys Davids, “Sakia” hal.360, 384,
389).
”Dalam seluruh Pitaka ada elemen dari ajaran yang sangat
awal bercampur dengan hal-hal yang jelas masuk dari abad-abad belakangan….Tetapi
kata-kata dari Buddha telah turun kepada kita dalam bahasa Pali, dan dalam
bentuk bahasa Pali yang sempurna, yang barangkali bahkan belum ada ketika saat
inskripsi Asoka dibuat. Jadi kata-kata Buddha dalam Teks bahasa Pali adalah
terjemahan dari bahasa lain serta ungkapan yang biasa dipergunakannya”. (Rhys
Davids, “Outline of Buddhism” hal. 20).
Untuk koreksi dari
kitab-kitab ini konsili yang sewaktu-waktu diadakan tidak ada gunanya akibat
terpecahnya peringkat umat Buddha yang menimbulkan timbulnya pelbagai sekte dan
usulan agar diterbitkan kitab yang terpisah serta berbeda. Di zaman modern,
agama Buddha dianggap terdiri dari tiga bagian. Dalam terminologi keagamaan tiga
bagian ini digambarkan sebagai tiga Keranjang (Tripitaka) nama-nama mereka
adalah:
1. Vinya Pitaka,
2.
Sutta Pitaka,
3. Abhidhamma Pitaka.
Sebagian dari yang
kedua dari ini, Sutta Pitaka, dikenal sebagai Dhamma Pada. Kitab suci ini
ditulis dalam bahasa Pali. Sejarah menceriterakan kepada kita bahwa bahasa yang
digunakan Buddha tidak sampai kepada kita. Bahasa Pali itu datang belakangan;
dan ini tidak pernah jadi bahasa lisan maupun tertulis pada saat pilar-pilar
Ashoka diukir dengan ajaran serta doktrin Buddha. Maka kaum Buddhis mengakui
bahwa kata-kata asli dari Buddha tidak pernah sampai kepada mereka tanpa
perubahan. Seorang otoritas tentang keaslian seperti Mrs. Rhys Davids
menulis:
“Dalam Pitaka Buddha tidak terdapat penyebutan seorangpun
dari orang-orang yang menghafal Pitaka dalam ingatan atau semacam yang
mengulang-ulangi”.
Kitab-kitab suci yang
ada kini tidak pernah disetujui sebagai yang otentik secara keseluruhan oleh
umat Buddhis permulaan. Dalam konsili Rajgaha, seorang Eklesias seperti Puran
menolak bersetuju terhadap otentisitas dari kitab itu sebagai yang asli. Puran
sebaliknya lebih menyukai copynya sendiri. (4)
SEKTE SEKTE BUDDHA
Ada dua sekte besar
di antara kaum Buddhis; 1. Mahayana, dan 2. Hinayana. Dikatakan
bahwa yang pertama itu sangat jauh dari ajaran asli Buddha. Menurut Pali Pitaka
Mahayana adalah khayalan yang tak berdasar dan sudah dirubah-rubah. Umat yang
termasuk dalam sekte ini percaya bahwa Buddha bukanlah suatu entitas manusiawi.
Mereka lebih mempercayai dia sebagai manusia super.
“Sakya Muni tidak pernah berinkarnasi di dunia; dia hanya
menurunkan bayangannya dan Buddha sendiri adalah Tuhan Yang Maha-kuasa, abadi
dan hidup selamanya”. (3)
Sebaliknya sekte
Hinayana tidak mempercayai Tuhan dan wahyu-Nya (“Buddhism” oleh Bhikku
Narada). Dia selanjutnya menulis bahwa Buddha adalah seorang manusia. Dia
dilahirkan, hidup dan meninggal, dan seterusnya. Buddha sendiri telah
mengumumkan:
“Menggantungkan keselamatan kepada yang lain itu negatif
tetapi menggantungkan kepada diri sendiri itu positif”. Lagi, diriwayatkan dia
telah berkata: “Jadilah kepulauan dirimu sendiri, dan jadilah pelabuhanmu
sendiri. Janganlah mencari perlindungan di bawah orang lain” (Parinibhan
Sutta).
Sebagai kenyataan,
bahasa Pali dimana Kitab-kitab suci ini ditulis, adalah penanggung-jawab tunggal
dari terciptanya sekte-sekte di kalangan Buddhis ini. Tata-bahasa Pali adalah
begitu membingungkan sehingga setiap cendikiawan bisa meramunya sesuai dengan
pandanagannya sendiri. Untuk merinci dan membetulkan ajaran Buddha serta
merawatnya dari perubahan maka tiga konsili berturutan dalam masa satu abad
telah diselenggarakan. Namun adalah suatu kenyataan yang diakui bahwa
kitab-kitab suci ini ditulis jauh belakangan sesudah Buddha. Keith berkata bahwa
Sutta Pitaka ditulis 200 tahun sesudah Ashoka wafat dan satu dari seksinya
dilengkapi pada abad kedua Masehi. (5) Sekte Buddhis yang
berbeda-beda menarik otoritasnya untuk kepercayaannya masing-masing dari
berbagai kitab serta naskah suci. Setiap sekte mempercayai bahwa naskahnyalah
yang paling otentik. Tetapi pakar penyusun “Sacred Books of the east”
menulis:
“Seluruh MSS India secara perbandingan adalah modern dan
seseorang barangkali telah menyerahkan lebih banyak MSS India daripada yang
lain. Mr. A.Burnel, belakangan telah mengungkapkan keyakinannya bahwa tak ada
MS yang ditulis seribu tahun yang lalu yang masih ada di India, dan adalah
nyaris mustahil untuk menemukan satu yang ditulis limaratus tahun yang lalu,
karena sebagian besar MSS yang meng-klaim berasal dari masa itu adalah hanya
copy dari MSS yang tua dimana tanggalnya juga diulangi lagi oleh yang
meng-copy”. (“Sacred Books of the East”, jilid 10 halaman 29).
Tiga konsili yang
dilangsungkan dengan sukses setelah setiap abad telah mengeluarkan fatwa bahwa
telah terjadi penambahan dan penghapusan dari Kitab-kitab suci
tersebut.
Beberapa bagian dari Pitaka telah ditambahkan kepadanya setelah
konvensi ke tiga pada 242 s.M. (6)
Buddha dikatakan telah mengumumkan, bahwa: “Sepeninggalku
lima perkara akan hilang berturutan”. Dari sini, satu dari ajarannya akan
hilang, karena itu kaum Buddhis percaya bahwa saatnya akan tiba dimana seorang
Raja Buddhis akan mengumumkan bahwa barangsiapa ingat akan empat baris ajarannya
maka dia akan mendapat hadiah seribu keping perak dalam peti emas di punggung
seekor gajah. Namun tak seorang pun di kota bisa memenangkan piala itu bahkan
setelah itu diumumkan berulang-kali.
Dalam sebuah buku berjudul, “What is Buddhism” yang
baru-baru ini diterbitkan oleh Buddhi Mission London (pada halaman 176)
dinyatakan: Tanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda
sendiri itu sebagai bisa dipercaya?
Jawab: “Sudah pasti tidak. Kecenderungan dari penelitian
modern itu menunjukkan bahwa kitab suci Buddhis, sebagaimana Alkitab Kristen
terdiri dari penulisan yang bermacam ragam, disusun oleh pengarang yang
berlainan dalam abad yang berbeda-beda, jadi tak satupun, atau satu bagian
darinya bisa dipercaya sebagai kata-kata pribadi Yang Tercerahkan sendiri”.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kitab suci agama Budha
ada satu hal yang perlu anda ketahui.
sebelum Parinibbana (wafat), Beliau memungut segenggam daun kering dihadapan murid-muridNya dan berkata:
"hanya inilah (daun ditangan) yang Aku ajarkan kepada kalian, dan masih ada sehutan pengetahuan yang ada". demikianlah saja yang Beliau ajarakan, dan hanya itulah yang 'terpenting' untuk diketahui.
kemudian Beliau juga mengajarkan
EHIPASSIKO
Kata ehipassiko berasal dari kata ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma.
Istilah ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma) yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma.
Guru Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima ajaranNya. Guru Buddha mengajarkan untuk ”datang dan buktikan” ajaranNya, bukan ”datang dan percaya”. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.
Salah satu sikap dari Guru Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara Guru Buddha dengan suku Kalama berikut ini:
"Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, `Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan`, maka sudah selayaknya kalian menerimanya.” (Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)
Sikap awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki sikap ini maka nantinya seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan yang berdasarkan pada kebenaran.
Ajaran ehipassiko yang diajarkan oleh Guru Buddha juga harus diterapkan secara bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti ”datang dan buktikan” bukanlah berarti selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, bukan berarti orang tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang salah dalam menerapkan ajaran ehipassiko. Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, seseorang cukup melihat orang lain yang menjadi korban karena menggunakan narkoba. Melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba, itu pun suatu pengalaman, suatu pembuktian.
KEBENARAN
(Sacca)
Kebenaran atau dalam bahasa Pali disebut dengan sacca, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya. Jadi, kebenaran tidak selamanya menyangkut mengenai masalah moral semata.
Kebenaran sendiri terdiri dari 2 jenis, yaitu Paramatha-sacca atau Kebenaran Mutlak (Absolute) dan Sammuti-sacca atau Kebenaran Relatif.
Paramatha-sacca atau Kebenaran Mutlak adalah Kebenaran yang harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Harus benar (apa adanya)
2. Tidak terikat oleh waktu, baik waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang, kebenaran ini tetap ada dan tidak berubah ataupun berbeda.
3. Tidak terikat oleh tempat, baik di suatu tempat atau di tempat lain, di Indonesia atau di planet Mars, kebenaran ini ada dan tidak berubah ataupun berbeda.
Sammuti-sacca atau Kebenaran Relatif adalah Kebenaran yang masih terikat dengan waktu dan tempat. Kebenaran ini hanya ada berlaku di tempat tertentu dan waktu tertentu.
Dalam ajaranNya, Guru Buddha mengajarkan 2 jenis Dhamma, yaitu yang bersifat Paramatha-sacca dan yang bersifat Sammuti-sacca.
sebagaimana yang ditanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda
sendiri itu sebagai bisa dipercaya?
jawaban nya adalah Benar, silahkan buktikan sendiri dulu baru percaya.
disinilah mengapa umat Buddha cukup kritis terhadap ajaran, tidak seperti umat islam yang seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ngikut aja apa kata kitab.
sebelum Parinibbana (wafat), Beliau memungut segenggam daun kering dihadapan murid-muridNya dan berkata:
"hanya inilah (daun ditangan) yang Aku ajarkan kepada kalian, dan masih ada sehutan pengetahuan yang ada". demikianlah saja yang Beliau ajarakan, dan hanya itulah yang 'terpenting' untuk diketahui.
kemudian Beliau juga mengajarkan
EHIPASSIKO
Kata ehipassiko berasal dari kata ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma.
Istilah ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma) yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma.
Guru Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima ajaranNya. Guru Buddha mengajarkan untuk ”datang dan buktikan” ajaranNya, bukan ”datang dan percaya”. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.
Salah satu sikap dari Guru Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara Guru Buddha dengan suku Kalama berikut ini:
"Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, `Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan`, maka sudah selayaknya kalian menerimanya.” (Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)
Sikap awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki sikap ini maka nantinya seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan yang berdasarkan pada kebenaran.
Ajaran ehipassiko yang diajarkan oleh Guru Buddha juga harus diterapkan secara bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti ”datang dan buktikan” bukanlah berarti selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, bukan berarti orang tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang salah dalam menerapkan ajaran ehipassiko. Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, seseorang cukup melihat orang lain yang menjadi korban karena menggunakan narkoba. Melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba, itu pun suatu pengalaman, suatu pembuktian.
KEBENARAN
(Sacca)
Kebenaran atau dalam bahasa Pali disebut dengan sacca, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya. Jadi, kebenaran tidak selamanya menyangkut mengenai masalah moral semata.
Kebenaran sendiri terdiri dari 2 jenis, yaitu Paramatha-sacca atau Kebenaran Mutlak (Absolute) dan Sammuti-sacca atau Kebenaran Relatif.
Paramatha-sacca atau Kebenaran Mutlak adalah Kebenaran yang harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Harus benar (apa adanya)
2. Tidak terikat oleh waktu, baik waktu dulu, sekarang dan waktu yang akan datang, kebenaran ini tetap ada dan tidak berubah ataupun berbeda.
3. Tidak terikat oleh tempat, baik di suatu tempat atau di tempat lain, di Indonesia atau di planet Mars, kebenaran ini ada dan tidak berubah ataupun berbeda.
Sammuti-sacca atau Kebenaran Relatif adalah Kebenaran yang masih terikat dengan waktu dan tempat. Kebenaran ini hanya ada berlaku di tempat tertentu dan waktu tertentu.
Dalam ajaranNya, Guru Buddha mengajarkan 2 jenis Dhamma, yaitu yang bersifat Paramatha-sacca dan yang bersifat Sammuti-sacca.
sebagaimana yang ditanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda
sendiri itu sebagai bisa dipercaya?
jawaban nya adalah Benar, silahkan buktikan sendiri dulu baru percaya.
disinilah mengapa umat Buddha cukup kritis terhadap ajaran, tidak seperti umat islam yang seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ngikut aja apa kata kitab.
Gravelord- SERSAN DUA
-
Age : 40
Posts : 95
Location : Sungai Guntung
Join date : 24.12.11
Reputation : 6
Re: kitab suci agama Budha
“Maka celaka sekali orang yang menulis Kitab dengan tangan mereka, lalu berkata: Ini dari Allah”. (Q.S. 2:79).
Adalah suatu fakta yang dikenal umum bahwa Buddha tidak meninggalkan kitab atau naskah suci
sesudahnya. Seperti ditulis Ward:
“Buddha (seperti juga Yesus) tidak meninggalkan karya tulis sepeninggalnya, tetapi segera sesudah kematiannya, menurut tradisi Buddhistis ortodoks, suatu konsili besar dari 500 rahib datang bersama-sama di Rajagaha dan Upali dan Ananda mengulangi masing-masing Vinya dan Dhamma…. tak disebutkan di sini pembuatan Abhi Dhamma divisi ke tiga yang, bersama Vinya dan Dhamma, melengkapi kanon Buddhis” (Ward, “Outline of Buddhism”, halaman 15).
Ini terjadi demikian meskipun apa yang dinasihatkan Buddha kepada para muridnya adalah:
Pelajarilah apa yang telah dikatakan, peganglah erat-erat, dan hayatilah dia” (Majjihma, 3:199)”.
Meskipun demikian penganut Buddhis percaya bahwa para murid Buddha telah menghafal dalam ingatan apa yang dikatakannya, dan sebelum ajarannya ditulis mereka adalah para perawi yang jujur.
Meskipun para muridnya gagal untuk menghafal semua kata-katanya, pastilah mereka ingat akan
maknanya. Namun dalam waktu singkat riwayat ini mengalami banyak perubahan.
Rhys Davids menulis tentang hal ini:
“Selanjutnya, fakta bahwa ajaran ini tidak disimpan dalam tulisan hingga berabad-abad setelah wafatnya sang guru, teatpi terdapat hanya dalam tradisi lisan, membuatnya sangat sulit untuk menentukan yang manakah ajarannya yang asli itu. Tetapi tidak ada disebutkan dalam Pitaka orang-orang yang mengulanginya itu” (Rhys Davids, “Sakia” hal.360, 384, 389).
”Dalam seluruh Pitaka ada elemen dari ajaran yang sangat awal bercampur dengan hal-hal yang jelas masuk dari abad-abad belakangan….Tetapi kata-kata dari Buddha telah turun kepada kita dalam bahasa Pali, dan dalam bentuk bahasa Pali yang sempurna, yang barangkali bahkan belum ada ketika saat inskripsi Asoka dibuat. Jadi kata-kata Buddha dalam Teks bahasa Pali adalah terjemahan dari bahasa lain serta ungkapan yang biasa dipergunakannya”. (Rhys Davids, “Outline of Buddhism” hal. 20).
Untuk koreksi dari kitab-kitab ini konsili yang sewaktu-waktu diadakan tidak ada gunanya akibat terpecahnya peringkat umat Buddha yang menimbulkan timbulnya pelbagai sekte dan usulan agar diterbitkan kitab yang terpisah serta berbeda. Di zaman modern, agama Buddha dianggap terdiri dari tiga bagian. Dalam terminologi keagamaan tiga bagian ini digambarkan sebagai tiga Keranjang (Tripitaka) nama-nama mereka adalah:
1. Vinya Pitaka,
2. Sutta Pitaka,
3. Abhidhamma Pitaka.
Sebagian dari yang kedua dari ini, Sutta Pitaka, dikenal sebagai Dhamma Pada. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Pali. Sejarah menceriterakan kepada kita bahwa bahasa yang digunakan Buddha tidak sampai kepada kita. Bahasa Pali itu datang belakangan; dan ini tidak pernah jadi bahasa lisan maupun tertulis pada saat pilar-pilar Ashoka diukir dengan ajaran serta doktrin Buddha. Maka kaum Buddhis mengakui bahwa kata-kata asli dari Buddha tidak pernah sampai kepada mereka tanpa perubahan. Seorang otoritas tentang keaslian seperti Mrs. Rhys Davids menulis:
“Dalam Pitaka Buddha tidak terdapat penyebutan seorangpun dari orang-orang yang menghafal Pitaka dalam ingatan atau semacam yang mengulang-ulangi”.
Kitab-kitab suci yang ada kini tidak pernah disetujui sebagai yang otentik secara keseluruhan oleh umat Buddhis permulaan. Dalam konsili Rajgaha, seorang Eklesias seperti Puran menolak bersetuju terhadap otentisitas dari kitab itu sebagai yang asli. Puran sebaliknya lebih menyukai copynya sendiri. (4)
SEKTE SEKTE BUDDHA
Ada dua sekte besar di antara kaum Buddhis; 1. Mahayana, dan 2. Hinayana. Dikatakan bahwa yang pertama itu sangat jauh dari ajaran asli Buddha. Menurut Pali Pitaka Mahayana adalah khayalan yang tak berdasar dan sudah dirubah-rubah. Umat yang termasuk dalam sekte ini percaya bahwa Buddha bukanlah suatu entitas manusiawi. Mereka lebih mempercayai dia sebagai manusia super.
“Sakya Muni tidak pernah berinkarnasi di dunia; dia hanya menurunkan bayangannya dan Buddha sendiri adalah Tuhan Yang Maha-kuasa, abadi dan hidup selamanya”. (3)
Sebaliknya sekte Hinayana tidak mempercayai Tuhan dan wahyu-Nya (“Buddhism” oleh Bhikku Narada). Dia selanjutnya menulis bahwa Buddha adalah seorang manusia. Dia dilahirkan, hidup dan meninggal, dan seterusnya. Buddha sendiri telah mengumumkan:
“Menggantungkan keselamatan kepada yang lain itu negatif tetapi menggantungkan kepada diri sendiri itu positif”. Lagi, diriwayatkan dia telah berkata: “Jadilah kepulauan dirimu sendiri, dan jadilah pelabuhanmu sendiri. Janganlah mencari perlindungan di bawah orang lain” (Parinibhan Sutta).
Sebagai kenyataan, bahasa Pali dimana Kitab-kitab suci ini ditulis, adalah penanggung-jawab tunggal dari terciptanya sekte-sekte di kalangan Buddhis ini. Tata-bahasa Pali adalah begitu membingungkan sehingga setiap cendikiawan bisa meramunya sesuai dengan pandanagannya sendiri. Untuk merinci dan membetulkan ajaran Buddha serta merawatnya dari perubahan maka tiga konsili berturutan dalam masa satu abad telah diselenggarakan. Namun adalah suatu kenyataan yang diakui bahwa kitab-kitab suci ini ditulis jauh belakangan sesudah Buddha. Keith berkata bahwa Sutta Pitaka ditulis 200 tahun sesudah Ashoka wafat dan satu dari seksinya dilengkapi pada abad kedua Masehi. (5) Sekte Buddhis yang berbeda-beda menarik otoritasnya untuk kepercayaannya masing-masing dari berbagai kitab serta naskah suci. Setiap sekte mempercayai bahwa naskahnyalah yang paling otentik. Tetapi pakar penyusun “Sacred Books of the east” menulis:
“Seluruh MSS India secara perbandingan adalah modern dan seseorang barangkali telah menyerahkan lebih banyak MSS India daripada yang lain. Mr. A.Burnel, belakangan telah mengungkapkan keyakinannya bahwa tak ada MS yang ditulis seribu tahun yang lalu yang masih ada di India, dan adalah nyaris mustahil untuk menemukan satu yang ditulis limaratus tahun yang lalu, karena sebagian besar MSS yang meng-klaim berasal dari masa itu adalah hanya copy dari MSS yang tua dimana tanggalnya juga diulangi lagi oleh yang meng-copy”. (“Sacred Books of the East”, jilid 10 halaman 29).
Tiga konsili yang dilangsungkan dengan sukses setelah setiap abad telah mengeluarkan fatwa bahwa telah terjadi penambahan dan penghapusan dari Kitab-kitab suci tersebut.
Beberapa bagian dari Pitaka telah ditambahkan kepadanya setelah konvensi ke tiga pada 242 s.M. (6)
Buddha dikatakan telah mengumumkan, bahwa: “Sepeninggalku lima perkara akan hilang berturutan”. Dari sini, satu dari ajarannya akan hilang, karena itu kaum Buddhis percaya bahwa saatnya akan tiba dimana seorang Raja Buddhis akan mengumumkan bahwa barangsiapa ingat akan empat baris ajarannya maka dia akan mendapat hadiah seribu keping perak dalam peti emas di punggung seekor gajah. Namun tak seorang pun di kota bisa memenangkan piala itu bahkan setelah itu diumumkan berulang-kali.
Dalam sebuah buku berjudul, “What is Buddhism” yang baru-baru ini diterbitkan oleh Buddhi Mission London (pada halaman 176) dinyatakan: Tanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda sendiri itu sebagai bisa dipercaya?
Jawab: “Sudah pasti tidak. Kecenderungan dari penelitian modern itu menunjukkan bahwa kitab suci Buddhis, sebagaimana Alkitab Kristen terdiri dari penulisan yang bermacam ragam, disusun oleh pengarang yang berlainan dalam abad yang berbeda-beda, jadi tak satupun, atau satu bagian darinya bisa dipercaya sebagai kata-kata pribadi Yang Tercerahkan sendiri”.
Adalah suatu fakta yang dikenal umum bahwa Buddha tidak meninggalkan kitab atau naskah suci
sesudahnya. Seperti ditulis Ward:
“Buddha (seperti juga Yesus) tidak meninggalkan karya tulis sepeninggalnya, tetapi segera sesudah kematiannya, menurut tradisi Buddhistis ortodoks, suatu konsili besar dari 500 rahib datang bersama-sama di Rajagaha dan Upali dan Ananda mengulangi masing-masing Vinya dan Dhamma…. tak disebutkan di sini pembuatan Abhi Dhamma divisi ke tiga yang, bersama Vinya dan Dhamma, melengkapi kanon Buddhis” (Ward, “Outline of Buddhism”, halaman 15).
Ini terjadi demikian meskipun apa yang dinasihatkan Buddha kepada para muridnya adalah:
Pelajarilah apa yang telah dikatakan, peganglah erat-erat, dan hayatilah dia” (Majjihma, 3:199)”.
Meskipun demikian penganut Buddhis percaya bahwa para murid Buddha telah menghafal dalam ingatan apa yang dikatakannya, dan sebelum ajarannya ditulis mereka adalah para perawi yang jujur.
Meskipun para muridnya gagal untuk menghafal semua kata-katanya, pastilah mereka ingat akan
maknanya. Namun dalam waktu singkat riwayat ini mengalami banyak perubahan.
Rhys Davids menulis tentang hal ini:
“Selanjutnya, fakta bahwa ajaran ini tidak disimpan dalam tulisan hingga berabad-abad setelah wafatnya sang guru, teatpi terdapat hanya dalam tradisi lisan, membuatnya sangat sulit untuk menentukan yang manakah ajarannya yang asli itu. Tetapi tidak ada disebutkan dalam Pitaka orang-orang yang mengulanginya itu” (Rhys Davids, “Sakia” hal.360, 384, 389).
”Dalam seluruh Pitaka ada elemen dari ajaran yang sangat awal bercampur dengan hal-hal yang jelas masuk dari abad-abad belakangan….Tetapi kata-kata dari Buddha telah turun kepada kita dalam bahasa Pali, dan dalam bentuk bahasa Pali yang sempurna, yang barangkali bahkan belum ada ketika saat inskripsi Asoka dibuat. Jadi kata-kata Buddha dalam Teks bahasa Pali adalah terjemahan dari bahasa lain serta ungkapan yang biasa dipergunakannya”. (Rhys Davids, “Outline of Buddhism” hal. 20).
Untuk koreksi dari kitab-kitab ini konsili yang sewaktu-waktu diadakan tidak ada gunanya akibat terpecahnya peringkat umat Buddha yang menimbulkan timbulnya pelbagai sekte dan usulan agar diterbitkan kitab yang terpisah serta berbeda. Di zaman modern, agama Buddha dianggap terdiri dari tiga bagian. Dalam terminologi keagamaan tiga bagian ini digambarkan sebagai tiga Keranjang (Tripitaka) nama-nama mereka adalah:
1. Vinya Pitaka,
2. Sutta Pitaka,
3. Abhidhamma Pitaka.
Sebagian dari yang kedua dari ini, Sutta Pitaka, dikenal sebagai Dhamma Pada. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Pali. Sejarah menceriterakan kepada kita bahwa bahasa yang digunakan Buddha tidak sampai kepada kita. Bahasa Pali itu datang belakangan; dan ini tidak pernah jadi bahasa lisan maupun tertulis pada saat pilar-pilar Ashoka diukir dengan ajaran serta doktrin Buddha. Maka kaum Buddhis mengakui bahwa kata-kata asli dari Buddha tidak pernah sampai kepada mereka tanpa perubahan. Seorang otoritas tentang keaslian seperti Mrs. Rhys Davids menulis:
“Dalam Pitaka Buddha tidak terdapat penyebutan seorangpun dari orang-orang yang menghafal Pitaka dalam ingatan atau semacam yang mengulang-ulangi”.
Kitab-kitab suci yang ada kini tidak pernah disetujui sebagai yang otentik secara keseluruhan oleh umat Buddhis permulaan. Dalam konsili Rajgaha, seorang Eklesias seperti Puran menolak bersetuju terhadap otentisitas dari kitab itu sebagai yang asli. Puran sebaliknya lebih menyukai copynya sendiri. (4)
SEKTE SEKTE BUDDHA
Ada dua sekte besar di antara kaum Buddhis; 1. Mahayana, dan 2. Hinayana. Dikatakan bahwa yang pertama itu sangat jauh dari ajaran asli Buddha. Menurut Pali Pitaka Mahayana adalah khayalan yang tak berdasar dan sudah dirubah-rubah. Umat yang termasuk dalam sekte ini percaya bahwa Buddha bukanlah suatu entitas manusiawi. Mereka lebih mempercayai dia sebagai manusia super.
“Sakya Muni tidak pernah berinkarnasi di dunia; dia hanya menurunkan bayangannya dan Buddha sendiri adalah Tuhan Yang Maha-kuasa, abadi dan hidup selamanya”. (3)
Sebaliknya sekte Hinayana tidak mempercayai Tuhan dan wahyu-Nya (“Buddhism” oleh Bhikku Narada). Dia selanjutnya menulis bahwa Buddha adalah seorang manusia. Dia dilahirkan, hidup dan meninggal, dan seterusnya. Buddha sendiri telah mengumumkan:
“Menggantungkan keselamatan kepada yang lain itu negatif tetapi menggantungkan kepada diri sendiri itu positif”. Lagi, diriwayatkan dia telah berkata: “Jadilah kepulauan dirimu sendiri, dan jadilah pelabuhanmu sendiri. Janganlah mencari perlindungan di bawah orang lain” (Parinibhan Sutta).
Sebagai kenyataan, bahasa Pali dimana Kitab-kitab suci ini ditulis, adalah penanggung-jawab tunggal dari terciptanya sekte-sekte di kalangan Buddhis ini. Tata-bahasa Pali adalah begitu membingungkan sehingga setiap cendikiawan bisa meramunya sesuai dengan pandanagannya sendiri. Untuk merinci dan membetulkan ajaran Buddha serta merawatnya dari perubahan maka tiga konsili berturutan dalam masa satu abad telah diselenggarakan. Namun adalah suatu kenyataan yang diakui bahwa kitab-kitab suci ini ditulis jauh belakangan sesudah Buddha. Keith berkata bahwa Sutta Pitaka ditulis 200 tahun sesudah Ashoka wafat dan satu dari seksinya dilengkapi pada abad kedua Masehi. (5) Sekte Buddhis yang berbeda-beda menarik otoritasnya untuk kepercayaannya masing-masing dari berbagai kitab serta naskah suci. Setiap sekte mempercayai bahwa naskahnyalah yang paling otentik. Tetapi pakar penyusun “Sacred Books of the east” menulis:
“Seluruh MSS India secara perbandingan adalah modern dan seseorang barangkali telah menyerahkan lebih banyak MSS India daripada yang lain. Mr. A.Burnel, belakangan telah mengungkapkan keyakinannya bahwa tak ada MS yang ditulis seribu tahun yang lalu yang masih ada di India, dan adalah nyaris mustahil untuk menemukan satu yang ditulis limaratus tahun yang lalu, karena sebagian besar MSS yang meng-klaim berasal dari masa itu adalah hanya copy dari MSS yang tua dimana tanggalnya juga diulangi lagi oleh yang meng-copy”. (“Sacred Books of the East”, jilid 10 halaman 29).
Tiga konsili yang dilangsungkan dengan sukses setelah setiap abad telah mengeluarkan fatwa bahwa telah terjadi penambahan dan penghapusan dari Kitab-kitab suci tersebut.
Beberapa bagian dari Pitaka telah ditambahkan kepadanya setelah konvensi ke tiga pada 242 s.M. (6)
Buddha dikatakan telah mengumumkan, bahwa: “Sepeninggalku lima perkara akan hilang berturutan”. Dari sini, satu dari ajarannya akan hilang, karena itu kaum Buddhis percaya bahwa saatnya akan tiba dimana seorang Raja Buddhis akan mengumumkan bahwa barangsiapa ingat akan empat baris ajarannya maka dia akan mendapat hadiah seribu keping perak dalam peti emas di punggung seekor gajah. Namun tak seorang pun di kota bisa memenangkan piala itu bahkan setelah itu diumumkan berulang-kali.
Dalam sebuah buku berjudul, “What is Buddhism” yang baru-baru ini diterbitkan oleh Buddhi Mission London (pada halaman 176) dinyatakan: Tanya: Tetapi apakah anda bahkan tidak menganggap kitab suci anda sendiri itu sebagai bisa dipercaya?
Jawab: “Sudah pasti tidak. Kecenderungan dari penelitian modern itu menunjukkan bahwa kitab suci Buddhis, sebagaimana Alkitab Kristen terdiri dari penulisan yang bermacam ragam, disusun oleh pengarang yang berlainan dalam abad yang berbeda-beda, jadi tak satupun, atau satu bagian darinya bisa dipercaya sebagai kata-kata pribadi Yang Tercerahkan sendiri”.
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kitab suci agama Budha
NUBUATAN DALAM NASKAH SUCI YANG LAIN
Sulit didapatkan satu Kitab agama Buddha yang tidak menyebutkan kedatangan Maitreya yang dijanjikan.
Sir Charles Eliot, mantan Dutabesar Britania Raya di Jepang, dalam bukunya “Japanese Buddhism”
menulis pada halaman 119-120:
“Maitreya itu khusus penting bagi sejarah ajaran karena ini berkaitan dengan sifat dan keadaan dari seorang Bodhisatva baik yang lebih lama maupun yang lebih baru”.
‘Dia disebutkan, dalam teks Pali dengan sedikit rincian – Seluruh aliran Buddhisme mengenalnya dan dia kerap kali disebut dalam kepustakaan Pali belakangan dan di dalam teks Buddhist Sanskrit sebagai “Lalit vistara” dan “Mahavastu”.
Lagi, cendikiawan terkemuka dari Madras, Pandit Kumar Swamy, dalam bukunya: “Buddha and the Gospel of Buddhism”, pada halaman 225 menulis:
“Buddha di masa depan hanyalah Boddhisatva Maitreya, penjelmaan dari kasih-sayang dan kebaikannya disebutkan”.
R.S. Hardy dalam bukunya “Manual of Buddhism” menulis:
“Selama Buddha menetap di Weluwana maka ayahnya Sudhodana, yang telah mendengar pencapaiannya menjadi Buddha, mengirim kepadanya seorang bangsawan – yang menyerahkan pesan ini atas nama raja: “Adalah kehendakku untuk melihatmu; maka datanglah ke mari; yang lain telah memperoleh manfaat dari Dharma, tetapi ayahmu atau kerabatmu yang lain, belum. Sekarang sudah tujuh tahun sejak terakhir aku melihatmu”. Setibanya di taman, Buddha duduk di atas sebuah singgasana – Pangeran Sakya itu berkata: “Siddharta (Buddha) ternyata lebih muda daripada kita-kita ini; dia itu kemenakan kita; kita pamannya dan kakeknya”. Karena itu mereka mengatakan kepada pangeran yang lebih muda itu untuk menyembahnya, sedangkan mereka duduk berjarak yang agak jauh. Buddha mengerti jalan fikiran mereka dan berkata: “Sanak-kerabatku tidak mau menghormati aku, tetapi aku akan mengatasi keengganan mereka” – Setelah Saryut menyembah Buddha. Kemudian Buddha meramalkan kepada mereka kedatangan Maitreya”.
Dalam kisah lain diriwayatkan:
“Suatu kali ayah dari Gautama Buddha mengungkapkan keinginannya untuk melihatnya. Dia mengirimkan beberapa utusan, yang berkata kepada Buddha; ayahmu ingin sekali melihatmu sebagai kembang Leli dari matahari itu; dan demikian pula ratu sangat mendambakanmu seperti malam pekat yang merindukan rembulan baru. Istananya berjarak 960 mil dari Kapilawastu. Buddha melakukan perjalanannya selama dua bulan, dengan berjalan kaki enambelas mil setiap hari. Seorang pengajar agama menyampaikan berita atas kedatangan Buddha kepada ayahnya. Lebih dari 500 pemuda dan pemudi mengelu-elukan dia dengan harum bunga-bungaan dan manisan. Orang-orang berkata bahwa mereka adalah sesepuh dan pamannya, dan bahwa dia adalah keponakannya. Maka mereka tidak suka untuk menghormatinya. Buddha yang membaca fikiran mereka; mengapa orang-orang yang dekat dan saya sayangi ini tidak mau menghormatiku, tetapi aku akan atasi penolakan mereka itu. Kemudian setelah itulah dia menceriterakan kepada mereka kedatangan dari Maitreya yang dijanjikan”. (“Manual of Buddhism”, oleh R.S. Hardy, halaman 203).
Kedatangan Maitreya juga disebutkan dalam Kitab-kitab suci Hindu. Ada suatu kitab terkenal bernama “Buddha charit” dari “Ashva ghosha” dimana terbaca:
“Brahmin dan dewata yang lain dengan para pengawalnya dipanggil bersama-sama dari langit. Dan Maitreya yang diberkahi datang bersama para malaikat untuk menyegarkan kembali hukum Ilahi di bumi” (15:118).
Dalam kutipan ini peristiwanya telah diamati dalam suatu wahyu. Kaum Buddhis menangkap bahwa Maitreya, dia yang dijanjikan itu, berkaitan dengan langit Tushita. Tushita berarti ketenteraman sejati dan kepuasan. Ini mendorong kita untuk menarik kesimpulan, bahwa dia yang dijanjikan itu akan mencapai tingkat yang tertinggi dalam perdamaian, ketenteraman, dan kenikmatan. Quran Suci menyatakan tentang Nabi Suci:
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan di hati. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku!” (Q.S. 89: 27-30).
Ini tiada lain adalah istirahat dan tenteramnya fikiran yang membuatnya tetap bisa melayani bahkan ketika menghadapi cobaan yang paling berat di tangan para lawannya. Dia tak pernah mengeluh di hadapan Tuhan atas penderitaannya. Sebaliknya, dia berdoa dan bersujud di hadapan Tuhan malam dan siang. Dari sini kita dapat lebih membayangkan akan kedamaian fikirannya yang sudah sangat berkembang.
Kitab Sanskerta yang lain, naskah suci yang otoritatif dari sekte Buddhis Mahayana adalah Lalita vistara, yang mengungkapkan peristiwa kehidupan Buddha. Kaum Buddhis Cina sangat menghormati dan memiliki keyakinan kuat terhadap kitab ini. Ini berisi nubuatan tentang Maitreya dalam istilah yang sangat istimewa. (“Nidan prevritah”, Adhyay 26:8,10; Adhyay 5:39). Kitab Sanskrit yang lain yakni Sadhna Mala jilid I dan II, diterbitkan oleh Oriental Institute dari Baroda State (India) berbicara tentang jejak utama dari dia yang dijanjikan (Maitreya Sadhuam, halaman 50).
Dalam “Buddhist Philosophy in India and Ceylon” oleh Bridal Keith, ditulis: “Kedatangan Buddha yang dinamai Metteya, telah dikenal dalam kanun”. (“Digha Nikaya” 3:76, diterjemahkan oleh Sir Charles Eliot). Ada delapan baris tentang Maitreya dalam Ekottra berbahasa Cina (Bridal Keith’s “Buddhist Philosophy in India and Ceylon”).
PARA SAHABAT NABI DALAM PULUHAN RIBU
Seperti halnya Quran Suci yang telah diramalkan sebagai mukjizat dari Nabi yang terakhir, begitu pula pencapaian dari puluhan ribu sahabatnya adalah fakta yang sudah diperkirakan. Jika Quran Suci adalah mukjizatnya yang lisan, maka kumpulan sahabatnya adalah keajaiban spiritualnya yang tertinggi. Inilah sebabnya mengapa banyak nabi pendahulunya memanggil mereka orang-orang suci. Sebagai fakta nyata, ini adalah suatu kisah yang hidup dan suatu tanda yang menakjubkan atas kesuciannya yang luar-biasa. Buddha telah menyatakan bahwa Buddha Maitreya yang akan datang akan seperti dia. Ada banyak kemiripan antara Buddha dengan Nabi Muhammad. Persamaannya adalah kecintaannya akan budi-pekerti yang luhur dan kebenciannya kepada kejahatan; sebagaimana Quran Suci telah menyatakan:
“Tetapi kepada kamu, Allah telah menimbulkan kecintaan kepada iman, dan menampakkan indah (iman) itu di dalam hati kamu, dan kepada kamu, Ia telah menimbulkan benci kepada kekafiran, melanggar batas, dan mendurhaka. Demikian itulah orang-orang yang terpimpin pada jalan yang benar” (Q.S. 49:7).
Dan mereka dikatakan seperti bintang yang memberi petunjuk kepada umat: “Para sahabatku ibarat bintang; siapapun dari mereka yang kauikuti, engkau akan mengikuti arah yang benar” (Mishqat 27:12). Mereka juga disucikan dari dosa: “Seorang Utusan di antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan menyucikan mereka” (Q.S. 62:2).
Suatu kemiripan lainnya yang diramalkan oleh Buddha adalah bahwa Dia Yang Dijanjikan ini akan menjadi “Pemimpin dari kumpulan puluhan ribu orang, sama seperti dirinya yang menjadi kepala dari ratusan di antara mereka”. Kebesaran para sahabat Nabi Suci tidak hanya dalam jumlah melainkan juga dalam keluhuran yang sejati dari kemuliaan akhlak dan kesucian hidup. Le Comte de Bouillanvilliers berkata:
“Dan sejujurnya kita boleh katakan bahwa tak ada peristiwa sejarah yang patut dibanggakan, yang telah mengejutkan khayalan kita dengan keadaan yang lebih hidup, atau itu sendiri bisa lebih merupakan kejutan yang menyenangkan, bila dibandingkan dengan yang kita temukan dalam kehidupan kaum Muslimin pada awalnya”.(18)
Ada beberapa ratus kaum Buddhis pada saat Buddha wafat tetapi dengan sangat cepat mereka telah kehilangan ajaran dari tuannya: “Agama Buddha seluruhnya berubah dalam jangka pendek selama sepuluh tahun” (“Primitive Buddhism” oleh Elizabeth A. Reed, halaman 25).
Sebaliknya, para pengikut Nabi Suci menghayati seluruh risalah Ilahi dalam hatinya, dan melaksanakannya dalam praktik. Mereka mencintai risalah-Nya dan Utusan-Nya sedemikian besar sehingga mereka siap sedia untuk menyerahkan segalanya baginya. Dalam jumlah mereka ribuan tetapi dalam amal perbuatan mereka tak ada tandingannya, baik dalam pelayanan maupun kesucian, dan mereka adalah kunang-kunang dari cahaya Nabi Suci.
Dan jasa ini mengalir kepada Nabi Suci yang telah bisa menghasilkan kelas pengikut yang merupakan kesatuan dari ketulusan, kebenaran, kecintaan kepada Kebenaran Ilahi dan kehormatan.
Buddha benar ketika meramalkan tentang mereka:
“Bersiap-siaga dan berfikirlah sebaik-baiknya; berpegang tanganlah kalian, dia yang baik budi dan penuh rahmat kepada dunia ini (Rahmat-an-lil-alamien) akan berbicara, akan mencurahkan hujan Hukum yang tiada henti dan menyegarkan bagi mereka yang menunggu pencerahan. Dan jika ini akan menyingkirkannya demi anak-anaknya, Buddhisatva di sini, berjuang untuk pencerahan”.
“Dan saat itu fikiran berikut muncul dalam jiwa Buddhisattva Maitreya….Kita tidak pernah melihat, begitu besarnya kerumunan, begitu besarnya jumlah Buddhisattva, kita tidak pernah mendengar begitu besarnya kerumunan manusia yang setelah muncul dari celah bumi, telah berdiri hadir di hadapan Tuhannya untuk menghormati, menghargai, mengagungkan dan menyembahnya serta menyalaminya dengan pekik penuh kegembiraan. Kapankah mereka akan datang di sini dalam bentuk kumpulan yang sebesar itu? Semuanya adalah perukyah yang besar, bijaksana dan kuat ingatannya, yang tampak luarnya sedap dipandang, kapankah mereka akan datang?” (Saddharam Pundrik 14: 4, 6, 7).
H.G. Wells, menulis:
“Dapatkah seseorang yang tidak bersifat baik itu mempunyai teman? Karena mereka yang kenal Muhammad beriman kepadanya dengan sebenar-benarnya. Khadijah bisa jadi beriman kepadanya sepanjang hari tetapi itu bisa dikatakan karena mencintainya. Abu Bakar adalah seorang saksi yang lebih baik, dan dia tak pernah goyah dalam pengabdiannya. Abu Bakar beriman kepada Nabi, dan adalah sulit bagi seseorang yang membaca sejarah masa itu untuk tidak percaya kepada Abu Bakar. Ali juga membahayakan jiwanya demi nabi dalam hari-harinya yang penuh kegelapan”. (“The Outline of History”, halaman 325).
Sulit didapatkan satu Kitab agama Buddha yang tidak menyebutkan kedatangan Maitreya yang dijanjikan.
Sir Charles Eliot, mantan Dutabesar Britania Raya di Jepang, dalam bukunya “Japanese Buddhism”
menulis pada halaman 119-120:
“Maitreya itu khusus penting bagi sejarah ajaran karena ini berkaitan dengan sifat dan keadaan dari seorang Bodhisatva baik yang lebih lama maupun yang lebih baru”.
‘Dia disebutkan, dalam teks Pali dengan sedikit rincian – Seluruh aliran Buddhisme mengenalnya dan dia kerap kali disebut dalam kepustakaan Pali belakangan dan di dalam teks Buddhist Sanskrit sebagai “Lalit vistara” dan “Mahavastu”.
Lagi, cendikiawan terkemuka dari Madras, Pandit Kumar Swamy, dalam bukunya: “Buddha and the Gospel of Buddhism”, pada halaman 225 menulis:
“Buddha di masa depan hanyalah Boddhisatva Maitreya, penjelmaan dari kasih-sayang dan kebaikannya disebutkan”.
R.S. Hardy dalam bukunya “Manual of Buddhism” menulis:
“Selama Buddha menetap di Weluwana maka ayahnya Sudhodana, yang telah mendengar pencapaiannya menjadi Buddha, mengirim kepadanya seorang bangsawan – yang menyerahkan pesan ini atas nama raja: “Adalah kehendakku untuk melihatmu; maka datanglah ke mari; yang lain telah memperoleh manfaat dari Dharma, tetapi ayahmu atau kerabatmu yang lain, belum. Sekarang sudah tujuh tahun sejak terakhir aku melihatmu”. Setibanya di taman, Buddha duduk di atas sebuah singgasana – Pangeran Sakya itu berkata: “Siddharta (Buddha) ternyata lebih muda daripada kita-kita ini; dia itu kemenakan kita; kita pamannya dan kakeknya”. Karena itu mereka mengatakan kepada pangeran yang lebih muda itu untuk menyembahnya, sedangkan mereka duduk berjarak yang agak jauh. Buddha mengerti jalan fikiran mereka dan berkata: “Sanak-kerabatku tidak mau menghormati aku, tetapi aku akan mengatasi keengganan mereka” – Setelah Saryut menyembah Buddha. Kemudian Buddha meramalkan kepada mereka kedatangan Maitreya”.
Dalam kisah lain diriwayatkan:
“Suatu kali ayah dari Gautama Buddha mengungkapkan keinginannya untuk melihatnya. Dia mengirimkan beberapa utusan, yang berkata kepada Buddha; ayahmu ingin sekali melihatmu sebagai kembang Leli dari matahari itu; dan demikian pula ratu sangat mendambakanmu seperti malam pekat yang merindukan rembulan baru. Istananya berjarak 960 mil dari Kapilawastu. Buddha melakukan perjalanannya selama dua bulan, dengan berjalan kaki enambelas mil setiap hari. Seorang pengajar agama menyampaikan berita atas kedatangan Buddha kepada ayahnya. Lebih dari 500 pemuda dan pemudi mengelu-elukan dia dengan harum bunga-bungaan dan manisan. Orang-orang berkata bahwa mereka adalah sesepuh dan pamannya, dan bahwa dia adalah keponakannya. Maka mereka tidak suka untuk menghormatinya. Buddha yang membaca fikiran mereka; mengapa orang-orang yang dekat dan saya sayangi ini tidak mau menghormatiku, tetapi aku akan atasi penolakan mereka itu. Kemudian setelah itulah dia menceriterakan kepada mereka kedatangan dari Maitreya yang dijanjikan”. (“Manual of Buddhism”, oleh R.S. Hardy, halaman 203).
Kedatangan Maitreya juga disebutkan dalam Kitab-kitab suci Hindu. Ada suatu kitab terkenal bernama “Buddha charit” dari “Ashva ghosha” dimana terbaca:
“Brahmin dan dewata yang lain dengan para pengawalnya dipanggil bersama-sama dari langit. Dan Maitreya yang diberkahi datang bersama para malaikat untuk menyegarkan kembali hukum Ilahi di bumi” (15:118).
Dalam kutipan ini peristiwanya telah diamati dalam suatu wahyu. Kaum Buddhis menangkap bahwa Maitreya, dia yang dijanjikan itu, berkaitan dengan langit Tushita. Tushita berarti ketenteraman sejati dan kepuasan. Ini mendorong kita untuk menarik kesimpulan, bahwa dia yang dijanjikan itu akan mencapai tingkat yang tertinggi dalam perdamaian, ketenteraman, dan kenikmatan. Quran Suci menyatakan tentang Nabi Suci:
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhan dikau, dengan perasaan ridla, amat memuaskan di hati. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke Taman-Ku!” (Q.S. 89: 27-30).
Ini tiada lain adalah istirahat dan tenteramnya fikiran yang membuatnya tetap bisa melayani bahkan ketika menghadapi cobaan yang paling berat di tangan para lawannya. Dia tak pernah mengeluh di hadapan Tuhan atas penderitaannya. Sebaliknya, dia berdoa dan bersujud di hadapan Tuhan malam dan siang. Dari sini kita dapat lebih membayangkan akan kedamaian fikirannya yang sudah sangat berkembang.
Kitab Sanskerta yang lain, naskah suci yang otoritatif dari sekte Buddhis Mahayana adalah Lalita vistara, yang mengungkapkan peristiwa kehidupan Buddha. Kaum Buddhis Cina sangat menghormati dan memiliki keyakinan kuat terhadap kitab ini. Ini berisi nubuatan tentang Maitreya dalam istilah yang sangat istimewa. (“Nidan prevritah”, Adhyay 26:8,10; Adhyay 5:39). Kitab Sanskrit yang lain yakni Sadhna Mala jilid I dan II, diterbitkan oleh Oriental Institute dari Baroda State (India) berbicara tentang jejak utama dari dia yang dijanjikan (Maitreya Sadhuam, halaman 50).
Dalam “Buddhist Philosophy in India and Ceylon” oleh Bridal Keith, ditulis: “Kedatangan Buddha yang dinamai Metteya, telah dikenal dalam kanun”. (“Digha Nikaya” 3:76, diterjemahkan oleh Sir Charles Eliot). Ada delapan baris tentang Maitreya dalam Ekottra berbahasa Cina (Bridal Keith’s “Buddhist Philosophy in India and Ceylon”).
PARA SAHABAT NABI DALAM PULUHAN RIBU
Seperti halnya Quran Suci yang telah diramalkan sebagai mukjizat dari Nabi yang terakhir, begitu pula pencapaian dari puluhan ribu sahabatnya adalah fakta yang sudah diperkirakan. Jika Quran Suci adalah mukjizatnya yang lisan, maka kumpulan sahabatnya adalah keajaiban spiritualnya yang tertinggi. Inilah sebabnya mengapa banyak nabi pendahulunya memanggil mereka orang-orang suci. Sebagai fakta nyata, ini adalah suatu kisah yang hidup dan suatu tanda yang menakjubkan atas kesuciannya yang luar-biasa. Buddha telah menyatakan bahwa Buddha Maitreya yang akan datang akan seperti dia. Ada banyak kemiripan antara Buddha dengan Nabi Muhammad. Persamaannya adalah kecintaannya akan budi-pekerti yang luhur dan kebenciannya kepada kejahatan; sebagaimana Quran Suci telah menyatakan:
“Tetapi kepada kamu, Allah telah menimbulkan kecintaan kepada iman, dan menampakkan indah (iman) itu di dalam hati kamu, dan kepada kamu, Ia telah menimbulkan benci kepada kekafiran, melanggar batas, dan mendurhaka. Demikian itulah orang-orang yang terpimpin pada jalan yang benar” (Q.S. 49:7).
Dan mereka dikatakan seperti bintang yang memberi petunjuk kepada umat: “Para sahabatku ibarat bintang; siapapun dari mereka yang kauikuti, engkau akan mengikuti arah yang benar” (Mishqat 27:12). Mereka juga disucikan dari dosa: “Seorang Utusan di antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, dan menyucikan mereka” (Q.S. 62:2).
Suatu kemiripan lainnya yang diramalkan oleh Buddha adalah bahwa Dia Yang Dijanjikan ini akan menjadi “Pemimpin dari kumpulan puluhan ribu orang, sama seperti dirinya yang menjadi kepala dari ratusan di antara mereka”. Kebesaran para sahabat Nabi Suci tidak hanya dalam jumlah melainkan juga dalam keluhuran yang sejati dari kemuliaan akhlak dan kesucian hidup. Le Comte de Bouillanvilliers berkata:
“Dan sejujurnya kita boleh katakan bahwa tak ada peristiwa sejarah yang patut dibanggakan, yang telah mengejutkan khayalan kita dengan keadaan yang lebih hidup, atau itu sendiri bisa lebih merupakan kejutan yang menyenangkan, bila dibandingkan dengan yang kita temukan dalam kehidupan kaum Muslimin pada awalnya”.(18)
Ada beberapa ratus kaum Buddhis pada saat Buddha wafat tetapi dengan sangat cepat mereka telah kehilangan ajaran dari tuannya: “Agama Buddha seluruhnya berubah dalam jangka pendek selama sepuluh tahun” (“Primitive Buddhism” oleh Elizabeth A. Reed, halaman 25).
Sebaliknya, para pengikut Nabi Suci menghayati seluruh risalah Ilahi dalam hatinya, dan melaksanakannya dalam praktik. Mereka mencintai risalah-Nya dan Utusan-Nya sedemikian besar sehingga mereka siap sedia untuk menyerahkan segalanya baginya. Dalam jumlah mereka ribuan tetapi dalam amal perbuatan mereka tak ada tandingannya, baik dalam pelayanan maupun kesucian, dan mereka adalah kunang-kunang dari cahaya Nabi Suci.
Dan jasa ini mengalir kepada Nabi Suci yang telah bisa menghasilkan kelas pengikut yang merupakan kesatuan dari ketulusan, kebenaran, kecintaan kepada Kebenaran Ilahi dan kehormatan.
Buddha benar ketika meramalkan tentang mereka:
“Bersiap-siaga dan berfikirlah sebaik-baiknya; berpegang tanganlah kalian, dia yang baik budi dan penuh rahmat kepada dunia ini (Rahmat-an-lil-alamien) akan berbicara, akan mencurahkan hujan Hukum yang tiada henti dan menyegarkan bagi mereka yang menunggu pencerahan. Dan jika ini akan menyingkirkannya demi anak-anaknya, Buddhisatva di sini, berjuang untuk pencerahan”.
“Dan saat itu fikiran berikut muncul dalam jiwa Buddhisattva Maitreya….Kita tidak pernah melihat, begitu besarnya kerumunan, begitu besarnya jumlah Buddhisattva, kita tidak pernah mendengar begitu besarnya kerumunan manusia yang setelah muncul dari celah bumi, telah berdiri hadir di hadapan Tuhannya untuk menghormati, menghargai, mengagungkan dan menyembahnya serta menyalaminya dengan pekik penuh kegembiraan. Kapankah mereka akan datang di sini dalam bentuk kumpulan yang sebesar itu? Semuanya adalah perukyah yang besar, bijaksana dan kuat ingatannya, yang tampak luarnya sedap dipandang, kapankah mereka akan datang?” (Saddharam Pundrik 14: 4, 6, 7).
H.G. Wells, menulis:
“Dapatkah seseorang yang tidak bersifat baik itu mempunyai teman? Karena mereka yang kenal Muhammad beriman kepadanya dengan sebenar-benarnya. Khadijah bisa jadi beriman kepadanya sepanjang hari tetapi itu bisa dikatakan karena mencintainya. Abu Bakar adalah seorang saksi yang lebih baik, dan dia tak pernah goyah dalam pengabdiannya. Abu Bakar beriman kepada Nabi, dan adalah sulit bagi seseorang yang membaca sejarah masa itu untuk tidak percaya kepada Abu Bakar. Ali juga membahayakan jiwanya demi nabi dalam hari-harinya yang penuh kegelapan”. (“The Outline of History”, halaman 325).
keroncong- KAPTEN
-
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67
Re: kitab suci agama Budha
Tidak apa2 kata2 Buddha tidak sama percis ketika dia membabarkan dhamma pd masanya. Yg jelas maknanya sama dan dalam nafas yg sama. Dan lagi tidak ada kata tawar menawar dlm Buddhisme, kekerasan apapun tidak diperbolehkan dalam penyebaran agama.
Emiliana- SERSAN MAYOR
-
Posts : 258
Kepercayaan : Budha
Location : apa penting
Join date : 04.05.13
Reputation : 5
Re: kitab suci agama Budha
heran, dari tadi pagi sampe larut malam si Emiliana online mulu ? apa gak rusak tuh komputernya ?
Penyaran- LETNAN SATU
-
Posts : 2559
Join date : 03.01.12
Reputation : 115
Similar topics
» Ayat Kitab suci agama kafir yang anti HAM
» ilmuwan membuktikan kebenaran kitab suci agama islam tentang lautan
» bgm proses terjadinya kitab suci?
» bahasa dan kitab suci israel
» kitab suci isinya dongeng
» ilmuwan membuktikan kebenaran kitab suci agama islam tentang lautan
» bgm proses terjadinya kitab suci?
» bahasa dan kitab suci israel
» kitab suci isinya dongeng
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik