FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

rekonstruksi paradgma kecerdasan Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

rekonstruksi paradgma kecerdasan Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

rekonstruksi paradgma kecerdasan

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

rekonstruksi paradgma kecerdasan Empty rekonstruksi paradgma kecerdasan

Post by paman tat Sun Mar 08, 2015 7:45 pm

Selama ini ukuran kecerdasan selalu dilihat dari paradigma intelegensi (IQ). Angka-angka memainkan peranan penting dalam penilaian siswa. Efeknya siswa yang merasa IQ-nya tidak standard merasa minder dan bahkan baru-baru ini, di Palopo -sebagaimana diberitakan FAJAR- ada siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UAN 4,0.
Ketika berbicara tentang kecerdasan, setidaknya hal ini terkait dengan sistem pendidikan. Untuk melihat sistem pendidikan negara kita, kita perlu melihat sejarah. Tak salah kata Bung Karno: jangan sekali-sekali melupakan sejarah! Dalam dunia pendidikan juga.
Sistem pendidikan (juga hukum) kita selama ini banyak mengadopsi dari sistem barat. Ketika Belanda mendirikan lembaga pendidikan, langsung atau tidak langsung membawa budaya dan nilai Eropa. Di Indonesia nilai tersebut ada yang bisa diadopi, juga ada yang perlu ditolak. Hal ini dikarenakan perbedaan latar budaya Indonesia di Asia dengan Bangsa Eropa. Bangsa Eropa, dalam hal pendidikan lebih menekankan pada kecerdasan intelegensi (IQ). Ini efek dari kemajuan intelektual di abad pertengahan Eropa. Ketika itu terjadi ‘clash’ antara golongan intelektual vis a vis gereja. Kaum cerdik pandai semisal Copernicus mengkritik keras kebijakan gereja yang kontra dengan penemuan sains. Misalnya, dulu gereja menganggap bumi itu datar. Kemudian dibantah oleh golongan pandai dengan bumi itu bulat. Penemuan ini kemudian menjadi salah satu pendorong kenapa orang Eropa ramai-ramai menjelajahi samudera ke dunia timur.
Ketika itu terjadi dialektika sains dan agama (gereja). Efeknya kemudian kecenderungan para intelektual lebih pada otak. Kecerdasan dilihat dari otak. Terjadi dikotomi yang hebat antara dunia profan dan sakral atau sekuler. Dari sini kemudian, ketika menduduki wilayah jajahan, para kolonialis itu menerapkan paradigma kecerdasan intelegensi (IQ).
Makanya di Indonesia, terutama kampus negeri tidak ditekankan pada ajaran keagamaan. Dari sinilah berkembang terus hingga penjajah hengkang. Para tokoh pendidikan di Indonesia juga belum bisa mengubah sistem pendidikan di kampus negeri atau sekolah negeri ke arah pendidikan akhlak. Selama ini hanya pendidikan keilmuan saja. Tak heran kemudian banyak para intelektual yang korupsi. Di sini, nilai moralitas keagamaan memainkan peranan penting.
***
Paradigma kecerdasan mana yang harus kita pilih? Selain kecerdasan IQ juga ada Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). EQ dimunculkan oleh Daniel Goleman. Goleman melihat bahwa kecerdasan intelegensi tidak terlalu menentukan pada diri seorang siswa. Akan tetapi emosilah yang banyak menggerakkan siswa untuk sukses.
Pasca kedatangan Goleman, datang juga Ian Marshall dan Danah Zohar. Dalam bukunya Spiritual Quotient, dosen Oxford dan Harvard itu mengkirik kecerdasan EQ. Menurut keduanya-berdasarkan analisis selama beberapa tahun- mereka menemukan kecerdasan baru yang namanya spiritual. Hal ini diperkuat lagi dengan kajian Michael Persinger serta temuan dari Prof. V.S. Ramachandran yang menunjukkan dalam diri manusia ada alat yang bisa merasakan nuansa mistik. Alat itu dinamakan ‘god spot.’ Oleh Marshall dan Zohar, alat tersebut lebih dimaknai secara material. Dan keduanya menolak kecerdasan spiritual dikaitkan dengan agama tertentu.
Kajian ini membawa berita gembira di kalangan pendidik islam. Artinya dengan demikian, bahwa seharusnya sistem pendidikan di negara kita menekankan juga unsur spiritual. Tidak semata-mata kajian yang mengasah otak. Juga emosi dan spiritual. Namun pertanyaan penting terkait dengan hal ini: apakah konsep ini bisa diadopsi dalam sistem pendidikan hari ini?
Unsur spiritual mana yang akan dipakai nanti secara nasional? Apakah Islam, Kristen, Budha, Hindu, aliran kepercayaan atau nilai-nilai unversal dari tiap agama sebagaimana sering didengungkan Jaringan Islam Liberal (JIL)? Inilah yang belum terjawab. Begitu juga dengan penemuan Ary Ginanjar Agustian. Kang Ary -begitu biasa disapa- mengarang buku bestseller Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang mengacu pada 5 rukun islam dan 6 rukun iman. Dalam konteks sistem hari ini, sisi mana dulu dalam pendidikan yang harus direkonstruksi?
Untuk itu, hal yang perlu kita lakukan untuk merekonstruksi sistem pendidikan hari ini adalah dengan penggantian kurikulum. Jika selama ini kurikulum lebih menekankan pada latihan otak, maka perlu dilatih juga dalam bidang rohani. Kalau perlu untuk pendidikan tinggi kajian moralitas dan keagamaan ditingkatkan lagi sks-nya. Mengganti kurikulum memang perlu proses. Dan perlu kajian intensif yang lebih dalam lagi dengan melibatkan banyak kalangan.
Selanjutnya, perlu ada ‘kejujuran intelektual.’ Selama ini ada saja manipulasi intelektual demi meraih kepentingan tertentu. Contohnya di Inggris lewat penemuan tempurung kepala manusia purba di Piltdown. Ketika itu, batok kepala ini dianggap sebagai nenek moyangnya Inggris. Dan dipamer selama kurang lebih 40 tahun di British Museum. Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa penemuan itu adalah ‘penipuan intelektual.’ Menurut Harun Yahya -intelektual Turki- kasus ‘manusia piltdown’ adalah kasus penipuan terbesar kaum Darwinis. Begitu juga dengan teori evolusi Darwin. Dalam kurikulum, teori ini dianggap benar. Karena didukung oleh data ilmiah. Padahal, penemuan terbaru membuktikan bahwa teori itu salah dan menyesatkan. Hal ini diakui sendiri oleh intelektual barat. Anehnya lagi, teori ini masih dianggap benar oleh orang tertentu. Dan disebarkan. Sebagai bahan kajian, bolehlah dikaji, tapi untuk diyakini kebenarannya kan perlu pembuktian. Dan memang teori ini sudah runtuh! Ada yang mau dianggap keturunan kera?
***
Untuk mengubah sistem pendidikan, kita perlu waktu dan duduk bersama seluruh elemen bangsa. Agar nantinya pro kontra seperti RUU Sisdiknas bisa diatasi. Tentunya agar kebijakan pemerintah kita mengakomodasi keinginan rakyat dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran teoritis dan realitas. Kita semua berharap suksesi kepemimpinan nasional tahun ini akan membawa angin segar di dunia pendidikan. Kenaikan anggaran sampai sekitar 20% dan pembaharuan kurikulum ke arah yang lebih baik. Agar nantinya, setidaknya jangan sampai terulang kembali kasus bunuh diri karena tidak lulus UAN. Semoga.
paman tat
paman tat
SERSAN MAYOR
SERSAN MAYOR

Male
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik