FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

zakat profesi vs zakat mal Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

zakat profesi vs zakat mal Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

zakat profesi vs zakat mal

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

zakat profesi vs zakat mal Empty zakat profesi vs zakat mal

Post by keroncong Wed Jul 11, 2012 9:07 am

Kalau kita kembalikan dasar dari zakat profesi, sesungguhnya zakat itu merupakan semacam perluasan dari zakat pertanian. Lantaran banyak dalam ketentuannya yang mengacu kepada zakat pertanian.

Misalnya dalam penentuan waktu pembayaran. Zakat profesi wajib dibayarkan pada saat menerima gaji / pendapatan seperti halnya zakat pertanian yang wajib dibayarkan saat panen. Ini berbeda dengan zakat lainnya yang umumnya baru wajib bila telah berlalu masa satu tahun hijriyah (satu haul).

Selain itu kesamaan juga terjadi pada masalah nishab, yaitu batas minimal jumlah nilai pendapatan. Nishab zakat profesi juga mengacu kepada nishab zakat pertanian, yaitu 5 wasaq atau mudahnya bila dikonversikan dengan ukuran hari ini senilai 520 kg beras. Sedangkan zakat harta lainnya umumnya mengacu kepada zakat emas dan perak yang besar nishabnya adalah setara dengan nilai 85 gram emas.

Karena itu kami cenderung untuk mengambil perbandingan zakat profesi dengan zakat pertanian. Dan dari sini kita akan mulai pembahasan atas pertanyaan Anda.

Mari kita ambil contoh seorang petani yang berhasil memanen hasil sawahnya. Katakanlah tahun ini mendapat 100 ton beras. Tentu pada saat panen dia wajib mengeluarkan zakat sebesar 5 % yaitu 5 ton beras kepada lembaga amil zakat. Sisanya yang 95 ton tentu menjadi hartanya, baik untuk dipakai untuk keperluan sehari-hari maupun untuk ditabung. Bahkan bisa juga untuk diinvestasikan.

Mari kita andaikan bila sebagian harta milik pak tani itu diinvestasikan untuk berdagang. Usaha ini lebih dari setahun berjalan dengan modal berputarnya sebesar 20 juta. Maka tentu jumlah modal berputar sebesar ini sudah melebihi batas nishab zakat perdagangan yang nilainya seharga 85 gram emas. Dan untuk itu pertanyaanya : Apakah pak tani yang melakukan kerja berdagang itu bebas zakat perdagangan atau tidak ? .

Kami yakin Anda akan mengatakan wajib berzakat. Mengapa ? Karena usaha dagangnya itu sudah melebihi nisah dan telah berjalan satu haul. Bagaimana mungkin dia tidak wajib zakat ? Meski uang modalnya berasal dari kekayaannya yang dikumpulkan dari hasil panen yang ketika panen sudah dikeluarkan zakatnya. Karena zakat panen berbeda dengan zakat dagang. Zakat pertanian adalah zakat yang wajib dilakukan pada saat panen, sedangkan zakat perdangangan adalah zakat yang wajib dilakukan saat berdagang. Masing-masing dengan syarat nishab dan waktunya sendiri-sendiri meski sumber uangnya sama.

Sekarang, mari kita masuk kepada zakat tabungan yang mengacu kepada zakat emas dan perak. Ketentuannya adalah bila seseorang menyimpan harta yang diam atau menganggur dengan jumlah melebihi nishab dan telah berjalan selama setahun hu\ijriyah, maka ada kewajiban zakat mal sebesar 2,5 %. Dan selama bentuk harta itu berupa uang tunai, rekening atau emas dan perak, maka terkena kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Istilahnya dalam fiqih adalah ‘harta yang tumbuh’ atau memiliki sifat ‘an-namaa’. Sifat seperti ini merupakan kriteria harta yang wajib dizakati menurut para ulama.

Namun bila harta itu sudah dibelanjakan dan menjadi berbentuk benda yang dalam istilah fiqihnya ‘tidak tumbuh’, maka tidak ada kewajiban zakatnya. Misalnya uang itu dibelikan rumah, tanah, kendaraan atau benda lainnya, maka tidak ada kewajiban zakat rumah, tanah, atau pun zakat kendaraan. Meskipun nilainya lumayan besar. Selam rumah, tanah atau kendaraan itu bukan untuk bentuk usaha. Sedangkan bila tanah, rumah atau kendaraan itu disewakan yang mendatangkan pemasukan, maka statusnya berubah menjadi ‘harta yang tumbuh’ dan tentunya mewajibkan zakat.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

zakat profesi vs zakat mal Empty Re: zakat profesi vs zakat mal

Post by keroncong Sat Nov 10, 2012 3:56 am

Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab zakat. Profesi dimaksud mencakup, profesi sebagai pegawai negeri/swasta, wiraswasta dll. Penghasilan profesi wajib dikeluarkan zakatnya karena termasuk dalam cakupan firman Allah:

َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ْﻦِﻣ ﺍﻮُﻘِﻔْﻧَﺃ ﺍﻮُﻨَﻣﺍَء ْﻢُﺘْﺒَﺴَﻛ ﺎَﻣ ِﺕﺎَﺒِّﻴَﻃ َﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ ﺎَﻨْﺟَﺮْﺧَﺃ ﺎَّﻤِﻣَﻭ ﺍﻮُﻤَّﻤَﻴَﺗ ﺎَﻟَﻭ ِﺽْﺭَﺄْﻟﺍ َﻥﻮُﻘِﻔْﻨُﺗ ُﻪْﻨِﻣ َﺚﻴِﺒَﺨْﻟﺍ ﺎَّﻟِﺇ ِﻪﻳِﺬِﺧﺂِﺑ ْﻢُﺘْﺴَﻟَﻭ ِﻪﻴِﻓ ﺍﻮُﻀِﻤْﻐُﺗ ْﻥَﺃ َﻪَّﻠﻟﺍ َّﻥَﺃ ﺍﻮُﻤَﻠْﻋﺍَﻭ ٌﺪﻴِﻤَﺣ ٌّﻲِﻨَﻏ

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Al Baqarah267 )

Hadits rasulullah SAW:

ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻲﺿﺭ ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ :ﺩﺎﻔﺘﺳﺍ ﻦﻣ ﻪﻴﻠﻋ ﻝﻮﺤﻳ ﻰﺘﺣ ﻪﻴﻠﻋ ﺓﺎﻛﺯ ​ﻼﻓ ​ﻻﺎﻣ ﻝﻮﺤﻟﺍ

Artinya :Dari Ibnu Umar ra berkata: Barangsiapa memanfaatkan (profesi untuk mendapatkan ) harta maka ia tidak wajib bayar zakat kecuali sudah sampai satu tahunn (HR Turmudzi, hadits mauquf).

PENDAPAT ULAMA

1- Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat

2- Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern , seperti Muh Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf dll mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nishabnya maka wajib mengeluarkan zakat.

3- Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi dll tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian.

PERHITUNGAN NISHAB

Menurut pendapat kami nishab zakat profesi diqiyaskan dengan nishab zakat ‘az-Zuru’ wa Tsimar’ (tanaman dan buah-buahan) yaitu 5 wasaq. Rasulullah SAW bersabda:

ﺲﻴﻟﻭ ﺔﻗﺪﺻ ﻖﺳﻭﺃ ﺔﺴﻤﺧ ﻥﻭﺩ ﺎﻤﻴﻓ

Artinya:” Tidak ada zakat pada hasil tanaman yang kurang dari lima wasaq” (HR Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad jayyid)

ﺲﻴﻟﻭ ﺔﻗﺪﺻ ﺮﻤﺘﻟﺍ ﻦﻣ ﻖﺳﻭﺃ ﺔﺴﻤﺧ ﻥﻭﺩ ﺎﻤﻴﻓ

Artinya:” Dan tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasaq” (HR Muslim).

1 wasaq = 60 sha’,1 sha’ =2 , 176kg, Maka 5 wasaq = 5 x 60 x 2 , 176=652 , 8kg gabah. Jika dijadikan beras sekitar 520 kg.

WAKTU MENGELUARKAN

Penghasilan profesi yang telah mencapai nishab, zakatnya dikeluarkan pada setiap kali menerimanya, diqiyaskan dengan waktu pengeluaran zakat tanaman yakni setiap kali panen, Allah berfirman:

ﺍﻮُﺗﺍَءَﻭ ِﻩِﺩﺎَﺼَﺣ َﻡْﻮَﻳ ُﻪَّﻘَﺣ

Artinya:”…Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…” (QS Al An’am 141 )

Untuk penghasilan harian atau pekanan yang belum mencapai nishab diakumulasikan selama satu bulan, bila mencapai nishab maka dikeluarkan zakatnya setiap bulan.

KADAR ZAKAT YANG DIKELUARKAN

Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda dengan hasil tanaman, dan lebih dekat dengan ‘naqdain’ (emas dan perak). Oleh sebab itu, maka kadar zakat profesi yang dikeluarkan diqiyaskan berdasarkan zakat emas dan perak, yaitu ‘rub’ul usyur’ atau2 , 5% dari seluruh penghasilan kotor. Nash yang menjelaskan kadar zakat ‘naqdaian’ sebanyak2 ,5% adalah sabda Rasulullah SAW:

ﺍَﺫِﺈَﻓ ﺍًﺭﺎَﻨﻳِﺩ َﻥﻭُﺮْﺸِﻋ َﻚَﻟ َﻥﺎَﻛ ُﻝْﻮَﺤْﻟﺍ ﺎَﻬْﻴَﻠَﻋ َﻝﺎَﺣَﻭ ٍﺭﺎَﻨﻳِﺩ ُﻒْﺼِﻧ ﺎَﻬﻴِﻔَﻓ

Artinya:” Bila engkau memiliki 20 dinar (emas) dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)”(HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

ﺍﻮُﺗﺎَﻬَﻓ ِّﻞُﻛ ْﻦِﻣ ِﺔَﻗِّﺮﻟﺍ َﺔَﻗَﺪَﺻ ﺎًﻤَﻫْﺭِﺩ ﺎًﻤَﻫْﺭِﺩ َﻦﻴِﻌَﺑْﺭَﺃ ٍﺔَﺋﺎِﻣَﻭ َﻦﻴِﻌْﺴِﺗ ﻲِﻓ َﺲْﻴَﻟَﻭ ْﺖَﻐَﻠَﺑ ﺍَﺫِﺈَﻓ ٌءْﻲَﺷ ُﺔَﺴْﻤَﺧ ﺎَﻬﻴِﻔَﻓ ِﻦْﻴَﺘَﺋﺎِﻣ َﻢِﻫﺍَﺭَﺩ

Artinya:” Berikanlah zakat perak dari 40 dirham dikeluarkan satu dirham. Tidak ada zakat pada 190 dirham (perak), dan jika telah mencapai 200 dirham maka dikeluarkan lima dirham”(HR Ashabus Sunan).

HUKUM ZAKAT HADIAH

1. Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji, maka digabungkan dengan gaji, dan zakat yang dikeluarkan2 ,5%.

2. Jika berupa komisi:

a. Dari komisi perhitungan prosentase keuntungan perusahaan kepada pegawai, zakat yang dikeluarkan 10 % seperti zakat tanaman, dan dikeluarkan setiap kali memperolehnya.

b. Dari hasil profesinya, seperti makelar, maka digolongkan dengan zakat profesi dengan segala ketentuannya.

3. Jika berupa hibah:

a. Sumber hibah tidak diduga-duga sebelumnya, zakatnya20 % seperti rikaz.

ﻲﻓﻭ ﺲﻤﺨﻟﺍ ﺯﺎﻛﺮﻟﺍ } ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ {

“Zakat Rikaz adalah seperlimanya (20%)” (Muttafaqun alaihi)

b. Sumber hadiah sudah diduga dan diharap. Hadiah tersebut digabungkan dengan harta kekayaan yang ada, dikeluarkan2 ,5%.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

zakat profesi vs zakat mal Empty Re: zakat profesi vs zakat mal

Post by keroncong Sat Nov 10, 2012 4:10 am

Zakat profesi dilihat dari segi pengistilahnnya merupakan zakat yang kemasannya merupakan hasil ijtihad para ulama di masa kini. Meski demikian, dasar pengambilan hukumnya bukan semata-mata kehendak atau selera pribadi. Tapi hasil dari konklusi objketif dan telaah yang mendalam atas ayat-ayat Al-Quran dan sunnah Nabawiyah serta pemahaman yang mendapat atas maqashidus-syariah.

Ijithad ini dilakukan oleh para ulama yang memiliki kapasitas dan otoritas yang mendalam dalam masalah ilmu fiqih. Karena itu apa yang telah mereka lakukan bukanlah penyimpangan atau penambahan atas ajaran agama, tetapi merupakan ijtihad yang bisa diterima secara syariah dan juga secara ilmiyah.

Mengapa mereka merumuskan masalah zakat profesi ini yang pada zaman dahulu belum lagi dirumuskan? Jawabannya adalah bahwa memang demikianlah hakikat syariat ini yang tetap valid sepanjang zaman selama berada di tangan orang-orang yang berkompeten dan memiliki kapasitas dalam bidang itu.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa segala yang tidak ada di zaman Rasulullah SAW berarti bid‘ah yang sesat, padahal begitu banyak bentuk ibadah mahdhah yang tidak dikenal di masa beliau namun sepeninggal Rasulullah SAW justru dikerjakan oleh para khulafa‘ arrasyidun.

Contohnya adalah penyusunan Al-quran dan penulisannya dalam bentuk mushaf. Juga pembangunan masjid Nabawi dan Masjid al-haram. Juga pembentukan kementrian dan gubernur di berbagai wilayah Islam. Juga shalat tarawih berjamaah di masjid dan lain-lainnya. Hal seperti itu bisa dijalankan selama pintu ijtihad dari umat ini tidak tertutup.

Dan yang menjadi titik perhatian kita adalah bahwa adanya perubahan fenomena sosial dan kriteria orang kaya di zaman dahulu dengan zaman sekarang.

Bila kita cermati kewajiban zakat itu pada hakikatnya hanyalah bagi orang kaya dan disalurkan kepada orang miskin. Masalahnya kemudian siapakah yang bisa dikategorikan orang kaya? Tentu tiap zaman punya kriteria dan batasan tersendiri.

Yang bisa kita pahami bahwa di zaman dahulu belum ada kalangan profesional yang mendapatkan gaji besar dari profesinya. Orang kaya zaman dahulu terbatas pada pedagang, petani dan peternak. Karena itu dalam kitab fiqih selalu kita dapati keterangan tentang zakat perniagaan, zakat pertanian dan zakat peternakan.

Di zaman ini kondisi sosialnya tidak lagi seperti masa lalu. Umumnya para petani dan peternak adalah orang yang miskin apalagi bila ruang lingkup pembicaraannya adalah Indonesia. Sementara di sisi lain, ada orang yang dalam sehari bekerja dalam hitungan menit tapi penghasilannya berpuluh dan beratur kali lipat dari petani.

Adapun yang berkaitan dengan dalil-dalil yang digunakan untuk zakat profesi dari As-Sunnah An-Nabawiyah antara lain:

Diriwayatkan oleh Turmizi dari Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam dari bapanya dari Ibnu Umar, "Rasulullah s.a.w. Bersabda, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai lewat setahun di sisi Tuhannya." Hadis yang diriwayatkan oleh Turmizi juga dari Ayyub bin Nafi, dari Ibnu Umar, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakat atasnya dan seterusnya," tanpa dihubungkan kepada Nabi s.a.w. Turmizi mengatakan bahwa hadis itu lebih shahih daripada hadis Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, Ayyub, Ubaidillah, dan lainnya yang lebih dari seorang meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar secara mauquf. Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam lemah mengenai hadis, dianggap lemah oleh Ahmad bin Hanbal, Ali Madini, serta ahli hadis lainnya, dan dia itu terlalu banyak salahnya. Hadis dari Abdur Rahman bin Zaid juga diriwayatkan oleh Daruquthni dan al-Baihaqi, tetapi Baihaqi, Ibnu Jauzi, dan yang lain menganggapnya mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Turmizi. Daruquthni dalam Gharaibu Malik meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim Hunaini dari Malik dari Nafi‘ dari Ibnu Umar begitu juga Daruquthni mengatakan bahwa hadis tersebut lemah, dan yang shahih menurut Malik adalah mauquf. Baihaqi meriwayatkan dari Abu Bakr, Ali, dan Aisyah secara mauquf, begitu juga dari Ibnu Umar. Ia mengatakan bahwa yang jadi pegangan dalam masalah tersebut adalah hadis-hadis shahih dari Abu Bakr ash-Shiddiq, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, dan lain-lainnya. Dengan penjelasan ini jelaslah bagi kita bahwa mengenai persyaratan waktu setahun (haul) tidak berdasar hadis yang tegas dan berasal dari Nabi s.a.w, apalagi mengenai "harta penghasilan" seperti dikatakan oleh Baihaqi. Bila benar berasal dari Nabi s.a.w., maka hal itu tentulah mengenai kekayaan yang bukan "harta penghasilan" berdasarkan jalan tengah dan banyak dalil tersebut. Ini bisa diterima, yaitu bahwa harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib zakat lagi sampai setahun berikutnya. Zakat adalah tahunan tidak bisa dipertengahan lagi. Dalam hal ini hadis itu bisa berarti bahwa zakat tidak wajib atas suatu kekayaan sampai lewat setahun. Artinya tidak ada kewajiban zakat lagi atas harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya sampai lewat lagi masanya setahun penuh. Hal ini sudah kita jelaskan dalam fasal pertama bab ini. Petunjuk lain bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan tentang ketentuan setahun atas "harta penghasilan" itu adalah ketidak-sepakatan para sahabat yang akan kita jelaskan. Bila hadis-hadis tersebut shahih, mereka tentu akan mendukungnya. Ketidak-sepakatan para Sahabat dan Tabi‘in dan Sesudahnya tentang Harta Benda Hasil Usaha Bila mengenai ketentuan setahun tidak ada nash yang shahih, tidak pula ada ijmak qauli ataupun sukuti, maka para sahabat dan tabi‘in tidak sependapat pula tentang ketentuan setahun pada "harta penghasilan." Diantara mereka ada yang memberikan ketentuan setahun itu, dan ada pula yang tidak dan mewajibkan zakat dikeluarkan sesaat setelah seseorang memperoleh kekayaan penghasilan tersebut. Ketidak-sepakatan mereka itu tidak berarti bahwa pendapat salah satu pihak lebih kuat dari pendapat yang lain. Persoalannya harus diteropong dengan nash-nash lain dan aksioma umum Islam seperti firman Allah, "Bila kalian berselisih dalam sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul." (Quran, 4: 59). Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr ash-Shiddiq mengatakan bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq tidak mengambil zakat dari suatu harta sehingga lewat setahun. Umra binti Abdir Rahman dari Aisyah mengatakan zakat tidak dikeluarkan sampai lewat setahun, yaitu zakat "harta penghasilan." Hadis dari Ali bin Abi Thalib, "Siapa yang memperoleh harta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya sampai lewat setahun." Demikian pula dari Ibnu Umar. Hadis-hadis dari para sahabat itu menunjukkan, bahwa zakat tidak wajib atas harta benda sampai berada pada pemiliknya selama setahun, meskipun harta penghasilan. Namun sahabat lainnya tidak menerima pendapat tersebut, dan tidak memberikan syarat satu tahun atas zakat harta penghasilan. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Syaibah dan Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Abbas, bahwa kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati adalah yang memilikinya adalah seseorang Muslim. Mereka yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas tersebut bahwa zakat dari harta penghasilan harus segera dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu satu tahun adalah lbnu Mas‘ud, Mu‘awiyah dari sahabat, Umar bin Abdul Aziz, Hasan, dan az-Zuhri dari kalangan tabi‘in, yang akan kita jelaskan dalam fasal-fasal berikut.

HARTA PENGHASILAN MENURUT PARA SAHABAT DAN TABI‘IN 1. IBNU ABBAS Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya." Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. Hadis tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda pendapat mengenai itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak sedangkan saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda. Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut. Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip, namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah; karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang banyak meriwayatkan darinya. Pada dasarnya hadis tersebut harus difahami menurut zahirnya tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi penghambat itu tidak ada. Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk menerima pengertian zahir hadis tersebut tidak dapat diterima karena: 1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat. Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas‘ud, Mu‘awiyah, yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya. 2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian, maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak terjadi. 3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang terjadi dalam warisan hukum fikih kita. Ibnu Abbas misalnya mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut‘ah, daging himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya. Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya mengira, dan dalam penutup ia mengatakan; "Bila ia (Ibnu Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud hadis tersebut?" 2. IBNU MAS‘UD Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam, Abdullah bin Mas‘ud memberikan kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya. Abu Ubaid menafsirkan lain hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena diberikan. Penafsiran lain itu kadang-kadang dilakukan takwil serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna yang dapat langsung difahami, dan berbeda pula dengan pendapat yang berasal dari Ibnu Mas‘ud bahwa maksud penarikan zakat diatas adalah penarikan zakat atas pemberian Hubairah mengatakan bahwa lbnu Mas‘ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah, dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan Pengurangan Sumber, bukan diambil karena kekayaan asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa setahunnya. Bila Ibnu Mas‘ud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum mengetahui riwayat itu, sehingga dia memberikan takwil tersebut. 3. MU‘AWIYAH Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu‘awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas‘ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Mas‘ud tersebut, karena Ibnu Mas‘ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah. Yang jelas adalah bahwa Mu‘awiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan yang jelas adalah bahwa zaman Mu‘awiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu‘awiyah melanggar hadis Nabi atau ijmak yang dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu‘awiyah tentang masalah lain, ketika Mu‘awiyah memungut setengah sha‘ gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha‘ bukan gandum, seperti diberitakan hadis Abu Said al-Khudri sedangkan Mu‘awiyah sendiri - meski dikatakan bahwa ucapannya terlalu berlebih-lebihan dan banyak salah- tidak bermaksud menyanggah sunnah yang tegas dari Rasulullah s.a.w. 4. UMAR BIN ABDUL AZIZ Empat periode Mu‘awiyah, datanglah pembaru seratus tahun pertama yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pandangan baru yang diterapkannya adalah pemungutan zakat dari pemberian, hadiah, barang sitaan, dan lain Abu Ubaid menyebutkan bahwa bila Umar memberikan gaji seseorang ia memungut zakatnya, begitu pula bila ia mengembalikan barang sitaan. Ia memungut zakat dari pemberian bila telah berada di tangan penerima. Dengan demikian ucapan (‘Umalah) adalah sesuatu yang diterima seseorang karena kerjanya, seperti gaji pegawai dan karyawan pada masa sekarang. Harta sitaan (mazalim) ialah harta benda yang disita oleh penguasa karena tindakan tidak benar pada masa-masa yang telah silam dan pemiliknya menganggapnya sudah hilang atau tidak ada lagi, yang bila barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya merupakan penghasilan baru bagi pemilik itu. Pemberian (u‘tiyat) adalah harta seperti honorarium atau biaya hidup yang dikeluarkan oleh Baitul mal untuk tentara Islam dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaannya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz memungut zakat pemberian dan hadiah. Itu adalah pendapat Umar. Bahkan hadiah-hadiah atau bea-bea yang diberikan kepada para duta baik sebagai pemberian, tip, atau kado, ditarik zakatnya. Hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh banyak negara sekarang dalam pengenaan pajak atas hadiah-hadiah tersebut.

PARA ULAMA FIKIH LAIN DAN KALANGAN TABI‘IN DAN LAINNYA 1. Mengenai pemungutan zakat dari "harta penghasilan" yang bersumber dari Zuhri dan Hasan adalah seperti yang diutarakan Ibnu Hazm. (Kita akan mengulas sedikit hal tersebut waktu membicarakan cara pengeluaran zakat "harta penghasilan"). Sebelum itu sudah terdapat pendapat serupa dari al-Auza‘i. Bahkan Ahmad bin Hanbal diriwayatkan berpendapat yang mirip hal itu. Dan kita telah menerangkan dalam fasal sebelum ini pendapat tentang seseorang yang mengambil sewa dari penyewaan rumahnya bahwa ia harus mengeluarkan zakat hasil sewaan tersebut ketika menerimanya, sebagaimana disebutkan dalam al- Mughni. Ahmad berpendapat, dari sumber beberapa orang, bahwa orang itu mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya. Ibnu Mas‘ud meriwayatkan dengan sanad ia sendiri apa yang telah kita terangkan diatas tentang zakat pemberian. 2. Hal tersebut juga merupakan pendapat Nashir, Shadiq dan Baqir dari kalangan ulama-ulama Makkah sebagaimana juga mazhab Daud; bahwa barangsiapa yang memperoleh sejumlah senisab, ia harus mengeluarkan zakatnya langsung. Alasan mereka adalah keumuman nash-nash yang mewajibkan zakat, seperti sabda Rasulullah s.a.w.: "Uang perak zakatnya 1/40." (Muttafaq ‘alaihi). Berdasarkan hadis itu masa setahun tidak merupakan syarat, tetapi hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat dan tidak disyaratkan terpenuhinya nisab selain hanya pada saat harus dikeluarkan yaitu akhir tahun, sebagaimana dicontohkan Nabi yang memungut zakat pada akhir tahun, tanpa melihat keadaan harta tersebut pada awal tahun: cukup senisab atau tidak. PERBEDAAN MAZHAB EMPAT DALAM MASALAH HARTA PENGHASILAN Para imam mazhab empat berbeda pendapat yang cukup kisruh tentang harta penghasilan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam al- Muhalla. Ibnu Hazm berkata, bahwa Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak - meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas, perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan atau lainnya. Tetapi Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat Tetapi bila binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun belum mencapai nisab. Syafi‘i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nisab, dan bila tidak mencapai nisab maka tidak wajib zakatnya. Ibnu Hazm tampil - dengan caranya yang menggebu-gebu - dengan pendapat bahwa pendapat-pendapat di atas adalah salah. Ia mengatakan bahwa salah satu bukti pendapat-pendapat itu salah adalah cukup dengan melihat kekisruhan semua pendapat itu, semuanya hanya dugaan-dugaan belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan, yang tidak ada landasan salah satu pun dari semuanya, baik dari Quran atau hadis shahih ataupun dari riwayat yang bercacat sekalipun, tidak perlu dari Ijmak dan Qias, dan tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima. Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah tersebut dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku bagi seluruh harta benda, uang penghasilan atau bukan, bahkan termasuk anak-anak binatang piaraan. Hal itu bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri yang keluar dari pertentangan itu dengan pendapat bahwa seluruh harta penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh orang-orang lain di atas.
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

zakat profesi vs zakat mal Empty Re: zakat profesi vs zakat mal

Post by engkong Tue Aug 06, 2013 1:52 pm

Bila kita bedakan zakat secara umum menjadi dua yaitu zakat fitrah dan zakat mal, maka zakat profesi sebenarnya bagian dari zakat mal (harta yang dimiliki).

Namun zakat mal sendiri sangat banyak jenisnya, zakat profesi adalah salah satu bagian dari zakat mal tersebut.

Zakat profesi adalah jenis zakat yang paling luas pembahasannnya serta ketentuannya. Kadang diqiyaskan dengan zakat tanaman, kadang diqiyaskan dengan zakat harta dan hampir semua elemen-elemen di dalamnya merupakan hasil ijtihad terbaru.

Zakat jenis ini sebagai sebuha pembahasan tersendiri memang masih baru disusun oleh para ulama kontemporer, meski bukan baru sekali ini saja ide ini diluncurkan.

Dr. Ysuf Al-Qaradhawi dalam Fiqhuz Zakat telah menyebutkan banyak pendapat para ulama terdahulu tentang hal-hal yang senada dengan zakat profesi meski bukan dengan nama zakat profesi.

Memang secara istilah dan standart yang baku, zakat jenis ini belum dikenal luas di dalam literatur fiqih terdahulu. Barangkali karena di masa lalu, pendapat masyarakat masih berkisar perdagangan, pertanian, peternakan dan sejenisnya.

Lalu para ulama kontemporer menilai dan menimbang fenomena perubahan sistem perekonomian di zaman ini yang telah mengalami pergeseran besar. Para petani dan peternak di masa ini umumnya bukan lagi masuk dalam jajaran orang kaya. Dan sebaliknya, telah muncul lapisan masyarakat tertentu yang memiliki pemasukan jauh lebih banyak dari para petani dan peternak itu dengan modal dan usaha yang lebih ringan.

Lapisan itu bisa kita sebut para profesional dan pegawai dengan pendapatan yang jauh melebihi para petani dan peternak. Sangat tidak adil bila petani dibebani zakat 5 s/d 10% dari hasil tanamannya, sedangkan seorang dokter spesialis yang hanya memerlukan 3 s/d 5 untuk memeriksa seorang pasien dapat meraup penghasilan puluhan bahkan ratusan kali dari petani selama berbulan-bulan.

Karena itu, para ulama kontemporer hari ini menyusun sebuah lapisan wajib zakat baru yang dibingkai dengan nama: zakat profesi.

Mereka yang masuk dalam kriteria wajib zakat profesi ini umumnya adalah pegawai menengah ke atas, konsultan, dokter, notaris, wiraswasta, hakim, pengacara, artis dan sebagainya. Mereka ini sebenarnya masuk dalam golongan orang kaya yang wajib mengeluarkan sebagian hartanya untuk oang miskin.

Namun dalam aturannya, zakat profesi ini banyak macam dan fariasi pendapat di dalamnya. Secara umum, aturan zakat profesi ini dipecah-pecah dalam pengqiyasannya.

Dalam beberapa hal, zakat profesi mengikuti zakat tanaman. Seperti waktu pembayaran dan nisab.

Waktu pembayaran zakat tanaman bukan berdasarkan perputaran tahun, tetapi berdasarkan masa panen. Dan zakat profesi pun umumnya menurut pendapat ulama, dikeluarkan saat menerima gaji atau honor.

Nisab zakat tanaman adalah 5 wasaq atau sekitar 652, 8 kg gabah yang setara dengan 520 kg beras. Dan zakat profesi pun nisabnya mengikuti nisab zakat tanaman, yaitu seharga 520 kg beras. Jadi bila dalam setahun, seseorang memiliki penghasilan melebihi harga 520 beras, maka dia terkena kewajiban membayar zakat profesi. Bila harga beras rata-rata Rp. 2.500/kg, maka bila seseorang memiliki pendapat di atas Rp. 2.500 x 520 kg = Rp. 1.300.000, dia sudah waibmembayar zakat profesi.
2. Mengikuti zakat harta Namun dalam menentukan prosentase yang harus dikeluarkan, zakat profesi tidak mengikuti ketentuan zakat tanaman, tetapi malah mengikuti aturan zakat harga, yaitu 2, 5% dan bukan 5 atau 10% seperti tanaman.

Perbedaan Pendapat

Para ulama juga berbeda pendapat tentang hitungan zakat yang wajib dikeluarkan, apakah berdasarkan penghasilan kotor yang dizakatkan, atau dihitung dari penghasilan bersihnya saja.

1. Dari penghasilan kotor

Misalnya, Abdullah menerima gaji tiap bulan Rp. 1.000.000 per bulan. Sedangkan kebutuhan pokoknya rata-rata Rp. 900.000. Maka Abdullah hanya punya sisa uang bersih tiap bulannya Rp. 100.000.

Berdasarkan contoh di atas, bila menggunakan pendapat pertama, maka tiap bulan, Abdullah harus mengeluarkan zakat 2, 5% dari Rp. 1.000.000 = Rp. 25.000,-.


2. Dari penghasilan bersih

Sedangkan bila menggunakan pendapat kedua, maka dia tidak perlu mengeluarkan zakat, karena yang dihitung bukan pendapatan kotor, tapi pendapatan bersih yang di dapat dari gaji kotor dikurangi kebutuhan pokok sehari-hari.

Bila tiap bulan hanya tersisa Rp. 100.000 x 12bulan, maka dalam setahun, Abdullah hanya punya uang bersih sebesar Rp. 1.200.000,-. Bila perhitungan nisab mengacu pada contoh di atas, maka penghasilan bersih Abdullah dalam setahun kurang dari nisab, sehingga dia tidak wajib zakat.

Kebutuhan pokok yang dimaksud antara lain adalah makanan, pakaian, rumah (sewa), tanggungan keluarga, pendidikan anak, nafkah istri serta biaya yang diperlukan untuk menjalankanprofesinya.


Dalam hal ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi memberi jalan tengah yang cukup adil. Yaitu bila seseorang memang memiliki pendapatan yang cukup besar dan semua kebutuhan pokoknya terpenuhi dengan mudah. Bahkan sisa penghasilannya tiap bulan juga lumayan besar, maka selayaknya dia membayar zakat dari penghasilan kotor.

Sebaliknya, bila seseorang punya penghasilan pas-pasan bahkan sering tidak cukup bahkan nombok, maka kalaupun dia masih punya sisa uang dari pengashilan sebulannya, maka dari uang itulah dia membayar zakat. Karena memberi nafkah kepada keluarga adalah kewajiban yang Allah tetapkan. Kurangnya nakah akan melahirkan kemiskinan dan kefakiran semata.

Wallahu A‘lam Bish-Showab,
engkong
engkong
SERSAN SATU
SERSAN SATU

Male
Posts : 150
Kepercayaan : Islam
Location : betawi
Join date : 03.08.13
Reputation : 2

Kembali Ke Atas Go down

zakat profesi vs zakat mal Empty Re: zakat profesi vs zakat mal

Post by njlajahweb Sat Feb 24, 2018 9:39 pm

dalam melakukan zakat ataupun segala hal yang termasuk kebaikan ataupun dalam melakukan ibadah, harus disertai motivasi hati yang benar.
njlajahweb
njlajahweb
BANNED
BANNED

Female
Posts : 39612
Kepercayaan : Protestan
Location : banyuwangi
Join date : 30.04.13
Reputation : 119

Kembali Ke Atas Go down

zakat profesi vs zakat mal Empty Re: zakat profesi vs zakat mal

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik