FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

menjauhi bergosip dan ghibah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

menjauhi bergosip dan ghibah Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

menjauhi bergosip dan ghibah

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

menjauhi bergosip dan ghibah Empty menjauhi bergosip dan ghibah

Post by keroncong Tue Nov 13, 2012 7:13 pm

Perkataan yang ditujukan untuk membicarakan aib-aib kaum muslimin dengan menyebutkan apa-apa yang tidak mereka sukai (sehingga hal itu bisa menjatuhkan kehormatan mereka di hadapan orang lain), maka hal ini adalah perbuatan kemunkaran yang sangat besar. Perkara ini termasuk perbuatan ghibah yang diharamkan, bahkan termasuk dari dosa-dosa besar. Hal ini berdasarkan firman Allah ta'ala (artinya) : "janganlah sebagian kalian menggunjing/mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati ? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Q.S.Al Hujurat : 12)

Dan berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya dari jalan shahabat Abu Hurairah radliallahu'anhu dari Nabi shallallahu'alaihi wasallam, bahwa sesungguhnya beliau telah bersabda (yang artinya) :" Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah ?" Para shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu". Beliau bersabda:”(Ghibah adalah) kamu menceritakan tentang saudaramu dengan apa - apa yang tidak dia sukai". Dikatakan kepada beliau :"Wahai Rasulullah, bagaimana jika yang aku katakan tentang saudaraku itu memang ada padanya ?" Beliau menjawab : "Jika apa yang kamu katakan itu memang ada pada saudaramu, maka sungguh kamu telah mengghibahinya. Dan jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada saudaramu, maka sungguh kamu telah berdusta atasnya". Dan telah shahih dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beliau di mi'rajkan oleh Allah, beliau melewati suatu kaum yang mempunyai kuku dari tembaga. Dengan kuku dari tembaga itu mereka melukai wajah-wajah dan dada-dada mereka. Maka nabi bertanya : "Wahai Jibril, siapakah mereka ?"Maka Jibril menjawab :"Mereka adalah orang-orang yang telah memakan daging-daging manusia dan telah menginjak-injak/menjatuhkan kehormatan mereka ". (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari jalan shahabat Anas radliallahu'anhu).
Dan telah dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud dengan sanad yang hasan dari jalan shahabat Abu Hurairah radliallahu'anhu secara marfu : " Sesungguhnya termasuk dari dosa-dosa besar yaitu seorang yang menjatuhkan kehormatan seorang muslim (dengan membicarakan aibnya) tanpa alasan yang haq ".

Dan wajib bagi engkau, demikian pula wajib bagi kaum muslimin yang lain untuk menjauhi/meninggalkan majelisnya orang-orang yang mengghibahi kaum muslimin. Bersamaan dengan itu, engkau nasehati orang yang berbuat ghibah itu dan engkau ingkari perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (artinya ) : "Barang siapa diantara kalian yang melihat suatu perbuatan munkar, maka hendaklah dia ubah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu maka dengan lisannya. Dan jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu (mengubah kemungkaran dengan mengingkari dalam hati ) adalah selemah-lemahnya iman ".
( Riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya)
Maka jika engkau telah memberinya nasehat agar dia meninggalkan perbuatan ghibahnya, akan tetapi dia masih dalam perbuatan itu, maka tinggaalkanlah majelis-majelisnya. Karena yang demikian itu termasuk kesempurnaan dalam mengingkari perbuatan munkar (perbuatan ghibah yang dilakukannya).
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberikan taufiq kepada mereka untuk menjalankan apa-apa yang bisa mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan bagi mereka di dunia dan di akhirat.

(Diterjemahkan oleh Al Akh Abu Sulaiman dari ‘Fataawa wa Maqaalaat bin Baaz ’, Muraja’ah Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid)
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

menjauhi bergosip dan ghibah Empty Re: menjauhi bergosip dan ghibah

Post by keroncong Wed Dec 05, 2012 6:39 pm

Ghibah atau membicarakan orang lain (bisa juga diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang s*t*n telah menghiasi perbuatan ini sehingga nampak indah dan menyenangkan. Tahukah anda bahwa Allah mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita yang telah mati?

Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari semua sisi: tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan keadaan seperti ini, Allah dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban syariat sesuai dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan Asy-Syaikh Sa’di dalam Tafsir-nya.
Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Mendzalimi diri sendiri, orang lain, bahkan mendzalimi Allah. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti kelemahan dirinya.
Abu Ad-Darda z berkata: “Termasuk wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau berkurang. Dan termasuk dari barakah ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui darimana s*t*n akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatul Iman, hal. 10)
Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Serta betapa berat untuk diajak berdzikir kepada Allah. Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan sangat tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah itu tak bertulang.”
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah z)
Namun bukan berarti engkau diam dari suatu kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. “s*t*n bisu” itulah gelar dan panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan kebenaran.

Makna Ghibah
Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah selain penafsiran Rasulullah  dalam hadits beliau. Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah  menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah zbahwa Rasulullah bersabda:
“Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang dia tidak sukai.” Dikatakan kepada beliau: “Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab: “Jika apa yang kamu katakan ada pada saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.”(Shahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, dan At-Tirmidzi no. 1435)

Ghibah adalah Dosa Besar
Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.
Ibnu Katsir t mengatakan: “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan (dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta’dil (menerangkan perawi hadits) dan nasehat, sebagaimana sabda Rasulullah ketika seseorang yang jahat meminta izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata: ‘Izinkan dia, sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.’ Juga seperti sabda beliau kepada Fathimah binti Qais saat dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. (Rasulullah mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215)
Ghibah jelas perbuatan terlarang. Bahkan ia termasuk perbuatan dosa besar. Allah berfirman:

“Janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah)

Rasulullah bersabda:

“Ketika saya dibawa naik, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya:’Hai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang lain dan menginjak-injak kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari shahabat Anas bin Malik dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4082 dan dalam Ash-Shahihah no. 533)

Masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.

Kapan Boleh Mengghibah
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Ghibah dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut melainkan dengannya.”

Dibolehkah ghibah pada enam perkara:
1. Ketika terdzalimi.
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa yang Diperbolehkan untuk Ghibah”)

Cara Bertaubat dari Ghibah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t,, orang yang telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hal. 31).

Haruskah Meminta Maaf kepada Orang yang Dighibahi?
Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).
Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di tempat ia berbuat ghibah.
Al-Qahthani t dalam kitab Nuniyyah beliau (hal. 39) menasihati kita:
“Janganlah kamu sibuk dengan aib saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua keaiban.”
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

menjauhi bergosip dan ghibah Empty Re: menjauhi bergosip dan ghibah

Post by keroncong Mon Dec 10, 2012 5:34 pm

Ghibah adalah penyakit hati yang memakan kebaikan, mendatangkan keburukan serta membuang-buang waktu secara sia-sia. Penyakit ini meluas di masyarakat karena kurangnya pemahaman agama, kehidupan yang semakin mudah dan banyaknya waktu luang. Kemajuan teknologi, telepon misalnya, juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini.

Hakekat Ghibah
Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila ia mengetahuinya, baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan, nasab, tabiat, ucapan maupun agama hingga pada pakaian, rumah atau harta miliknya yang lain. Menyebut kekurangannya yang ada pada badan seperti mengatakan ia pendek, hitam, kurus dan lain sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong, fasik, munafik dan lain-lain. Kadang orang tidak sadar ia telah melakukan ghibah, dan saat diperingatkan ia menjawab: "Yang saya katakan ini benar adanya!" Padahal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan tegas menyatakan perbuatan tersebut adalah ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau, bagaimana bila yang disebut-sebut itu memang benar adanya pada orang yang sedang digunjing-kan, beliau menjawab: "Jika yang engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut, maka engkau telah melakukan ghibah, dan jika yang engkau sebut tidak ada pada orang yang engkau sebut, maka engkau telah melakukan dusta atasnya." (HR. Muslim)

Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Ketika wanita itu sudah pergi, 'Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lantas bersabda: "Engkau telah melakukan ghibah!" Semisal dengan ini adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang, cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah, karena di samping mengandung unsur memberitahu kekurangan orang, juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.

Tak kalah meluasnya adalah ghibah dengan tulisan, karena tulisan adalah lisan kedua. Media massa sudah tidak segan dan malu-malu lagi membuka aib seseorang yang paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian, sensor perasaan malu masyarakat menurun sampai pada tingkat yang paling rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yang seharusnya ditutupi, perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.

Macam dan Bentuk Ghibah
Ghibah mempunyai berbagai macam dan bentuk, yang paling buruk adalah ghibah yang disertai dengan riya' seperti mengatakan: "Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu semacam ini, semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu." padahal maksudnya mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain, namun ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya. Kadang orang melakukan ghibah dengan cara pujian, seperti mengatakan: "Betapa baik orang itu, tidak pernah meninggalkan kewajibannya, namun sayang ia mempunyai perangai seperti yang banyak kita miliki, kurang sabar." Ia menyebut juga dirinya dengan maksud mencela orang lain dan mengisyaratkan dirinya termasuk golongan orang-orang shalih yang selalu menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yang lain misalnya mengucapkan: "Saya kasihan terhadap teman kita yang selalu diremehkan ini. Saya berdoa kepada Allah agar dia tidak lagi diremehkan." Ucapan semacam ini bukanlah doa, karena jika ia menginginkan doa untuknya, tentu ia akan mendoakannya dalam kesendiriannya dan tidak menguta-rakannya semacam itu.

Ghibah yang Diperbolehkan
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar, dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Setidaknya ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan:

Pertama: Melaporkan perbuatan aniaya. Orang yang teraniaya boleh mela-porkan kepada hakim dengan mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adalah perbuatan ghibah, namun karena dimaksudkan untuk tujuan yang benar, maka hal ini diperbolehkan dalam agama.

Kedua: Usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari perbuatan maksiat, seperti mengutarakan kepada orang yang mem-punyai kekuasaan untuk mengubah kemungkaran: "Si Fulan telah berbuat tidak benar, cegahlah dia!" Maksudnya adalah meminta orang lain untuk mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah ghibah yang diharamkan.

Ketiga: Untuk tujuan meminta nasehat. Misalnya dengan mengucapkan: "Ayah saya telah berbuat begini kepada saya, apakah perbuatannya itu diperbolehkan? Bagaimana caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi? Bagaimana cara mendapatkan hak saya?" Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi lebih selamat bila ia mengutarakannya dengan ungkapan misalnya: "Bagaimana hukum-nya bila ada seseorang yang berbuat begini kepada anaknya, apakah hal itu diperboleh-kan?" Ungkapan semacam ini lebih selamat karena tidak menyebut orang tertentu.

Keempat: Untuk memperingatkan atau menasehati kaum muslimin . Contoh dalam hal ini adalah jarh (menyebut cela perawi hadits) yang dilakukan para ulama hadits. Hal ini diper-bolehkan menurut ijma' ulama, bahkan menjadi wajib karena mengandung masla-hat untuk umat Islam.

Kelima: Bila seseorang berterus terang dengan menunjukkan kefasikan dan kebid'ahan, seperti minum arak, berjudi dan lain sebagainya, maka boleh menyebut seseorang tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun ia tidak boleh menyebutkan aib-aibnya yang lain.

Keenam: Untuk memberi penjelasan dengan suatu sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang. Seperti menyebut dengan sebutan si bisu, si pincang dan lainnya. Namun hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan untuk menunjukkan kekurangan seseorang. Tapi alangkah baiknya bila memanggilnya dengan julukan yang ia senangi.

Taubat dari Ghibah
Menurut ijma' ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya orang yang melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap Allah Ta'ala karena melakukan perbuatan yang jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil untuk menghindari maksiat ini adalah dengan taubat yang mencakup tiga syaratnya, yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, menyesali perbuatan yang telah dilakukan dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Selanjutnya, harus diikuti dengan langkah kedua untuk menebus kejahatannya atas hak manusia, yaitu dengan mendatangi orang yang digunjingkannya kemudian minta maaf atas perbuatannya dan menunjuk-kan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicarakannya mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahuinya, maka bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan kebaikan dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulanginya.

Kiat Menghindari Ghibah
Untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit dideteksi dan sulit diobati ini, ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan.

Pertama: Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya adzab dariNya.

Kedua: Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yang digunjingkannya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambilkan dari timbangan kejahatan orang yang digunjingkannya dan ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu, niscaya seseorang akan berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan ghibah.

Ketiga: Hendaknya orang yang melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri bila membuka aib orang lain, sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.

Keempat: Jika aib orang yang hendak digunjingkan tidak ada pada dirinya sendiri, hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah karena Dia telah menghindarkannya dari aib tersebut, bukannya malah mengotori dirinya dengan aib yang lebih besar yang berupa perbuatan ghibah.

Kelima: Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya, maka ia seperti orang yang makan bangkai saudaranya sendiri, sebagaimana yang difirmankan Allah: "Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?" (Al Hujuraat : 12)

Keenam: Hukumnya wajib mengi-ngatkan orang yang sedang melakukan ghibah, bahwa perbuatan tersebut hukum-nya haram dan dimurkai Allah.

Ketujuh: Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yang melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah. Mudah-mudahan Allah selalu menjauhkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji ini, amin. (Aas)
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

menjauhi bergosip dan ghibah Empty Re: menjauhi bergosip dan ghibah

Post by keroncong Tue Dec 11, 2012 3:52 pm

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Al-Hujuraat: 12).

Mbah Rinah, nenek berusia 81 tahun, baru saja meninggal dunia. Ia dikubur di desa Mojotengah, Kemangkon, Purbalingga. Tiba-tiba warga setempat geger. Belum sampai 24 jam dikubur, mayat mbah Rinah raib. Terang saja insiden ini melahirkan spekulasi mitos yang tidak karu-karuan. Teka-teki berakhir ketika polisi menangkap Sumanto, sang pencuri mayat. Mula-mula Sumanto menggali kuburan dengan tangan kosong pada Sabtu, (11/1/2003). Pada Ahad dini hari, kain kafan pembungkus mayat baru berhasil disentuh. Mayat mbah Rinah dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam karung plastik. Mayat diangkut ke rumah Sumanto dengan sepeda onthel. Sesampainya di rumah, Sumanto memotong alat vital nenek itu dan membungkusnya dengan kain merah. Selanjutnya ia memotong-motong mayat seperti memotong daging kambing. Sebagian dagingnya dibakar, sebagian digulai, dan sebagian dimakan mentah-mentah. Begitulah Sumanto, sang kanibal dari Purbalingga yang belakangan mencuat. Untuk ilusi mendapatkan kekebalan dan kekayaan, ia tega melakukan ritual menjijikkan itu. Gilanya, ia bahkan mengaku telah memakan daging tiga manusia sebelumnya.

Tak terbayang oleh akal sehat. Sebagian warga menduga ia tidak waras. Adalah warga setempat berteriak histris dan merasa jijik saat Sumanto melakukan rekonstruksi. "Ini tidak lazim," kata mereka. Rapat desa juga memutuskan hendak mengasingkan Sumanto dari kampung mereka. Reaksi warga setempat tidaklah berlebihan. Siapa pun, dari bangsa mana pun, dari agama apa pun, berkulit apa pun, sulit membenarkan aksi Sumanto. Tak ada yang berkeberatan jika ia dikatakan gila segila-gilanya. Juga tak ada yang rugi jika ia harus diasingkan. Tak ada yang sudi berkawan dan bertetangga dengan orang semacam dia. Itulah mengapa warga setempat mengasingkannya, dan meminta kepada aparat agar ia dihukum seberat-beratnya.
Jika kita ditanya, "Maukah kalian meniru Sumanto?" Secara koor kita akan menjawab, "Tidak!" Ei, tapi tunggu dulu. Jawaban itu bukan berarti kita tidak berperilaku seperti Sumanto. Kok bisa? Ya, di dalam Alquran, Allah menyerupakan perbuatan menggunjing terhadap muslim (ghibah) dengan memakan bangkai manusia. Persis seperti yang dilakukan Sumanto.

"Janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya."

Setiap orang waras akan merasa jijik memakan bangkai manusia, terlebih bangkai saudara sesama muslim. Namun demikian, di dalam masyarakat gunjing-menggunjing antarsesama sudah seperti lumrah. Padahal, dalam ayat di atas, menggunjing orang lain disetarakan dengan memakan bangkai manusia.

Ibnu Katsir menceritakan dari Anas bin Malik bahwa adalah tradisi bangsa Arab bila bepergian mereka saling melayani. Dalam sebuah safar, Abu Bakar dan Umar disertai seorang pelayan. Saat keduanya terjaga dari tidur, sang pelayan belum menyediakan untuk mereka makanan. Beliau berdua berkata, "Sungguh ia orang mati (kiasan)," kemudian kedua membangunkannya dan menyeru, "Datanglah kepada Rasulullah dan sampaikan bahwa Abu Bakar dan Umar mengirimkan salam, serta meminta lauk." Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya keduanya telah memakan lauk." [Kontan, Abu Bakar dan Umar kaget], keduanya menghadap Rasulullah dan bertanya, "Dengan lauk apa kami makan?" Rasulullah menjawab, "Dengan daging saudara kalian. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya melihat dagingnya berada di antara gigi seri kalian." Keduanya r.a. lalu berkata, "Mintakan ampun untuk kami wahai Rasulullah!" Rasulullah menjawab, "Pergilah kepadanya dan mintalah maaf untuk kalian."

Tentu kita tidak seperti Rasulullah di atas, yang atas karunia Allah dapat melihat daging pada gigi seri bekas menggunjing. Namun, meski secara hissy (materiil) kita tidak dapat melihat, ayat di atas menegaskan bahwa secara maknawi, perilaku ghibah diserupakan dengan memakan daging manusia.

Lantas apakah ghibah itu? Rasululullah pernah menjawab kepada Abu Hurairah, "Ghibah itu adalah membicarakan tentang saudaramu terhadap apa yang ia tidak sukai." "Bagaimana jika padanya terdapat seperti apa yang saya katakan?" tanya Abu Hurairah. "Jika ada padanya seperti yang anda katakan, maka engkau telah menggunjingnya (ghibah). Namun, jika tidak ada padanya seperti yang anda katakan, maka engkau telah membuat kebohongan atas dia." (Tirmizi, hasan sahih)

Suatu ketika Aisyah r.a. berkata kepada Nabi saw., "Cukuplah bagimu tentang Shafiyah itu begini dan begini." (Maksudnya Shafiyah itu badannya pendek). Maka Rasulullah saw. bersabda, "Sungguh, engkau telah mengucapkan sesuatu perkataan, yang sekiranya dicampur dengan air laut, maka perkataan itu dapat mencampurinya." (Abu Dawud dan Tirmidzi). Maksudnya, sekiranya perkataan itu bercampur dengan air laut, niscaya air laut tersebut berbau busuk semua. Padahal, air laut itu tidak akan busuk lantaran kadar garamnya banyak. Ini menunjukkan betapa dahsyat keburukan ghibah.

Al-Imam an-Nawawi berkata dalam al-Adzkar, "Adapun ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah menyangkut tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut tentang orang tersebut dengan bibirmu, atau tulisanmu, isyarat matamu, isyarat tanganmu, isyarat kepalamu atau yang semisalnya...."

Demikianlah ghibah. Ia dapat meruntuhkan kehormatan seseorang yang digunjing. Karena, kehormatan tidak hanya aurat, tetapi kehormatan juga berupa celaan atau pujian. Ketika kita menggunjing seseorang, hakikatnya kita telah menggerogoti kehormatannya. Padahal, menjaga kehormatan sesama termasuk inti wasiat Rasulullah dalam khutbatul wada': "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti halnya keharaman hari kalian ini." Tidak hanya itu, diakhir khotbah Rasulullah menegaskan, "Ingatlah, adakah aku sampaikan?" "Ya," jawab para Sahabat. Beliau kemudian berkata, "Ya Allah, saksikanlah!" (Bukhari dan Muslim).

Jangan dikira bahwa keharaman zina dan riba lebih besar daripada keharaman menginjak-nginjak harga diri dan kehormatan seorang muslim. Dalam sebuah hadis sahih dinyatakan, "Riba itu ada tujuh lebih cabangnya. Yang paling rendah tingkatannya ialah seperti seorang laki-laki yang berzina (menikahi) dengan ibunya sendiri dibawah tirai Kakbah. Sedangkan yang paling tinggi tingkatannya ialah seperti seorang muslim yang mencemarkan harga diri saudaranya muslim." (Al-Albany, al-Jami'us Shaghir).

Bukan berarti setiap menyebut aib sesama dilarang. Dalam konteks tertentu, penyebutan aib seseorang dapat dibenarkan, seperti disebutkan Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin, misalnya mengadukan kezaliman seseorang pada pihak berwenang dalam rangka meminta fatwa (istifta'), dalam rangka jarh wat-ta'diel, dalam rangka musyawarah mencari jodoh, menyebut kejelakan orang yang terang-terangan berbuat maksiyat, dan menyebut seseorang dengan gelaran yang ia masyhur dengannya.

Jika Sumanto Purbalingga yang suka makan tubuh orang tengah menghadapi proses hukum, "Sumanto" dalam makna lain tangah bergentayangan di tengah kita. Semoga kita dapat menjaga lisan dari menggunjing sesama, sehingga tidak masuk dalam kafilah "Sumanto". Nastaghfirullah al-adhim. Wallahu a'lam. (Abu Zahrah).
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

menjauhi bergosip dan ghibah Empty Re: menjauhi bergosip dan ghibah

Post by Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik