FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

fiqh dan reaktualisasi ajaran islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

fiqh dan reaktualisasi ajaran islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

fiqh dan reaktualisasi ajaran islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

fiqh dan reaktualisasi ajaran islam Empty fiqh dan reaktualisasi ajaran islam

Post by keroncong Sat Sep 15, 2012 1:42 pm


Sedikitnya ada empat macam produk pemikiran hukum Islam yang
kita kenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu: kitab-kitab
fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama,
dan peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim.
Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri
khasnya tersendiri, karena itu memerlukan perhatian tersendiri
pula.

Fatwa-fatwa ulama atau mufti, sifatnya adalah kasuistik karena
merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam
arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa
yang diberikan kepadanya, tapi fatwa biasanya cenderung
bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan
baru yang sedang dihadapi masyarakat si peminta fatwa. Isi
fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tapi sifat responsifnya
itu yang sekurang-kurangaya dapat dikatakan dinamis.

Jenis produk pemikiran Islam yang kedua, adalah
keputusan-keputusan pengadilan agama. Berbeda dengan fatwa,
keputusan-keputusan pengadilan agama ini sifatnya mengikat
kepada pihak-pihak yang berperkara, dan sampai tingkat
tertentu juga bersifat dinamis karena merupakan usaha memberi
jawaban atau menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan
pada suatu titik waktu tertentu.

Jenis produk pemikiran hukum ketiga, yaitu peraturan
perundangan di negeri Muslim. Ini juga bersifat mengikat atau
mempunyai daya ikat yang lebih luas. Orang yang terlibat dalam
perumusannya juga tidak terbatas pada para fuqaha atau ulama,
tapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya.

Jenis produk pemikiran hukum keempat, ialah kitab-kitab fiqh
yang pada saat di tulis pengarangnya, kitab-kitab itu tidak
dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri,
meskipun dalam sejarah kita mengetahui, beberapa buku fiqh
tertentu telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang.
Kitab-kitab fiqh ketika ditulis juga tidak dimaksudkan, untuk
digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya
masa laku ini, maka kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus
berlaku untuk semua masa, yang oleh sebagian orang lalu
dianggap sebagai jumud atau beku alias tidak berkembang.
Selain itu kitab-kitab fiqh juga mempunyai karakteristik lain.
Kalau fatwa dan keputusan pengadilan agama sifatnya kasuistik
--yaitu membahas masalah tertentu-- maka kitab-kitab fiqh
sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek bahasan hukum
Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya yang menyeluruh
ini, maka perbaikan atau revisi terhadap sebagian isi kitab
fiqh dianggap dapat, atau akan mengganggu keutuhan isi
keseluruhannya. Karena itu kitab-kitab fiqh cenderung menjadi
resisten terhadap perubahan.

Inilah kedudukan kitab fiqh sebagai salah satu bentuk produk
pemikiran hukum Islam dan karakteristik serta
kecenderungan-kecenderungannya dibanding dengan produk-produk
pemikiran hukum lainnya: fatwa, keputusan pengadilan agama,
dan peraturan perundangan negeri Muslim. Dengan cara
meletakkan fiqh pada proporsinya yang demikian itu maka
diharapkan kita akan memperlakukannya secara proporsional
pula, seperti pertama, fiqh hanyalah salah satu dari beberapa
bentuk produk pemikiran hukum Islam. Kedua, karena sifatnya
sebagai produk pemikiran, maka fiqh sebenarnya tidak boleh
resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian. Dan
ketiga, membiarkan fiqh sebagai kumpulan aturan yang tidak
mempunyai batasan masa lakunya, adalah sama dengan
menghalalkan produk pemikiran manusia yang semestinya
temporal.

SIKAP MUSLIM TERHADAP FIQH

Setelah kita melihat bagaimana seharusnya memandang fiqh,
sekarang kita lihat bagaimana dalam kenyataan, masyarakat
memandang fiqh. Gambaran ini diperlukan, sebelum kita mencoba
memberi analisa lebih jauh tentang mekanisme kerja fiqh, dan
saran-saran pemecahan masalahnya, dalam rangka reaktualisasi
ajaran Islam.

Pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam
Indonesia, memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan
hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai
akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu
sendiri. Dengan cara pandang itu, maka kitab-kitab fiqh
dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan
adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah maka
kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk
keagamaan, tapi sebagai buku agama itu sendiri. Akibatnya,
selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandang
sebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari
produk pemikiran keagamaan.

Akibat lebih lanjut dari kedudukan fiqh yang diidentikkan
dengan agama itu, maka orang yang menguasai fiqh yang biasanya
disebut fugaha, juga mempunyai kedudukan tinggi, bukan saja
sebagai orang yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi
sebagai penjaga hukum agama itu sendiri. Secara sosiologis
kedudukan demikian itu memberi hak-hak istimewa dan peranan
tertentu kepada fuqaha pada lapisan sosial tertentu, yang pada
gilirannya akan mempengarahi cara pandang dan cara pikir
fuqaha itu sendiri. Ketika seorang faqih dari suatu masa
menuliskan tintanya menjadi kitab fiqh, maka sebenarnya itu
tidak terlepas dari cara pandang dan cara pikirnya yang
sebagian atau seluruhuya diwarnai oleh kedudukan sosialnya
tadi.

Di sini, sebenarnya terjadi siklus yang menarik diamati: bahwa
untuk menjaga dan memeliharanya, fiqh memerlukan penjaga yang
disebut faqih atau fuqaha, dan untuk memelihara status diri
mereka, maka para fuqaha memerlukan kehidupan fiqh yang
tinggi. Kadang-kadang fiqh yang dipeliharanya itu adalah
produk para pendahulunya, tapi kadang-kadang juga produksinya
sendiri. Ironisnya, produk-produk pemikiran fiqh itu dianggap
sebagai identik dengan hukum Tuhan itu sendiri, sebagaimana
telah disebutkan di muka. Demikian kesalahpahaman yang terjadi
di kalangan sementara orang Islam, tidak terkecuali di
Indonesia, dalam memandang fiqh. Kekeliruan ini rasanya perlu
diperbarui dan dibetulkan, dan untuk itu terlebih dahulu perlu
dipahami faktor-faktor apa sebenarnya mengakibatkan kekeliruan
tersebut.

EMPAT PASANGAN PILIHAN

Terdapat sejumlah pasangan pilihan yang dapat mempengaruhi
pandangan seseorang tentang fiqh, empat diantaranya akan
disebutkan dan diuraikan di sini. Keempat pasangan pilihan
tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pilihan Wahyu dan Akal

Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam kita mengetahui,
terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri madzhab,
dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan
menjabarkan ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama
adalah mereka yang mengutamakan penggunaan hadits dalam
memahami ayat-ayat Qur'an dan kelompok kedua, adalah mereka
yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian
dikenal dengan ahl al-hadith dan kelompok kedua disebut ahl
al-ra'yi. Kelompok pertama terutama berkembang di Madinah, dan
dipelopori Imam Malik bin Anas dan kelompok kedua berkembang
di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah.

Kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab fiqh yang
berbeda. Kitab-kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih memberi
tempat kepada hadits-hadits meskipun lemah, sedangkan kelompok
kedua menghasilkan kitab-kitab fiqh yang bersifat rasional.
Imam Syafi'i sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua
kelompok itu, tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena beliau
sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.

Jadi sejak awal pertumbuhannya telah ada pihak-pihak yang
berpendirian, aturan yang disebut hukum Islam itu tidak boleh
terkena intervensi akal manusia karena hukum Islam itu adalah
kebenarannya mutlak yang hanya diatur dengan wahyu. Meskipun
pandangan ini bersifat utopis karena kenyataan, jumlah ayat
al-Qur'an mengenai hukum itu hanya sedikit sekali (kurang
lebih 276-500 ayat), dan karenanya tidak meliput semua aspek
kehidupan manusia, apalagi aspek-aspek kehidupan yang
merupakan produk perkembangan zaman modern, tapi pandangan ini
telah mempunyai pengaruh dalam memberikan label bahwa produk
pemikiran fiqh itupun merupakan upaya menafsirkan kehendak
Tuhan yang bersifat abadi dalam bidang hukum. Inilah yang
menyebabkan lahirnya pandangan yang telah membiarkan fiqh
sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lalu
dan cenderung mengekalkan produk pemikiran manusia yang
semestinya temporal dan liable terhadap perubahan. Kesalahan
dalam melakukan pilihan antara wahyu dan akal, atau lebih
tepatnya kesalahan dalam memberikan porsi peranan wahyu dan
akal ternyata telah membawa pada kejumudan fiqh itu sendiri
yang justru meliputi sebagian terbesar dari aturan hukum Islam
yang ada. Satu kitab fiqh dapat ditulis dalam berpuluh-puluh
jilid, sementara wahyu yang mendasarinya hanya beberapa ratus
ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran dan
pemikiran manusia. Tapi karena hukum Islam dipandang identik
dengan fiqh, maka kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid itupun
menjadi tabu mendapatkan revisi. Jadi, kesalahan dalam
melakukan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan
akal telah mempunyai dampak yang serius dalam sejarah
perkembangan --atau lebih tepatnya ketidak-berkembangan fiqh.

2. Pilihan Kesatuan dan Keragaman

Pasangan pilihan kedua adalah, antara hukum Islam sebagai
kesatuan dan hukum Islam sebagai keragaman. Hukum Islam
sebagai kesatuan artinya, karena hukum Islam itu adalah hukum
Tuhan maka semestinya hukum Islam itu hanya ada satu macam
saja untuk seluruh umat manusia, untuk seluruh umat Islam di
dunia. Tapi pada kenyataan kita melihat, fiqh yang dipandang
identik dengan hukum Islam itu bermacam-macam. Kita mengetahui
terdapat berbagai madzhab dalam fiqh. Sekarang kita melihat
madzhab-madzhab itu sebagai aliran-aliran dalam hukum Islam,
tapi dulunya lebih merupakan ekspresi lokal. Demikianlah
perkembangan hukum Islam. Orang harus melakukan pilihan antara
pandangan yang mengatakan hukum Islam itu universal, dengan
pandangan yang mengatakan hukum Islam itu partikular . Kita
mengetahui dalam sejarah, bahwa pandangan pertama telah
mendominasi benak kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai
hasilnya fiqh selalu resisten terhadap perubahan.

Bagi kita kaum Muslim Indonesia, lebih ironis lagi. Hukum
Islam yang dianggap universal itu sebenarnya adalah produk
fuqaha dari suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu
masa tertentu di masa silam. Kitab-kitab fiqh yang kita
pelajari sekarang di Indonesia ini, dan sebagian diterjemahkan
atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah kitab-kitab fiqh
yang ditulis lima atau enam abad yang lalu, dan merupakan
ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Jadi,
selain sudah tua, kitab-kitab fiqh yang kita pelajari itu
mengandung ekspresi lokal di Timur Tengah sana. Artinya
kitab-kitab fiqh itu partikularistik. Tapi justru kitab-kitab
yang dipandang sebagai hukum Islam itu di Indonesia dipandang
universal tadi. Begitulah, mengidentikkan fiqh dengan hukum
Islam yang universal, telah mengakibatkan mandeknya
perkembangan fiqh, seperti yang kita saksikan selama ini.

3. Pilihan Idealisme dan Realisme

Pasangan pilihan ketiga yang telah mempengaruhi perkembangan
fiqh adalah pilihan antara idealisme dan realisme, antara
cita-cita dan kenyataan. Kita mengetahui dari sejarah, bahwa
kitab-kitab fiqh itu pada umumnya ditulis para fuqaha, jurist,
atau para ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di pengadilan
agama. Bahkan kita mengetahui banyak fuqaha menolak jabatan
qadi atau hakim, meskipun untuk itu mereka harus masuk
penjara. Ini berarti --sejarah telah membuktikannya-- fiqh
pada umumnya dirumuskan para teoritisi belakang meja daripada
praktisi di lapangan. Sebagai akibatnya, fiqh yang
dihasilkannya lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal
daripada real, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal
yang maksimal daripada minimal.

Akibat lain dari pilihan atas idealisme daripada realisme itu,
ialah: fiqh semakin hari semakin jauh dari kenyataan
masyarakat. Ini telah terjadi pada saat kitab fiqh itu
dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab fiqh itu menjadi remote
dari masyarakat yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun
tempat.

4. Pilihan Stabilitas dan Perubahan

Pasangan pilihan keempat adalah pilihan stabilitas dan
perubahan. Pasangan pilihan ini sebenarnya tidak sepenuhnya
berdiri sendiri, melainkan akibat lanjutan dari pilihan pada
pasangan-pasangan sebelumnya. Karena hukum Islam harus hanya
ada satu, maka secara konseptual hukum Islam tidak menerima
adanya variasi. Dari dimensi waktu, ini berarti hukum Islam
itu harus stabil, statis, dan tidak boleh mengalami perubahan.
Sebagai akibatnya kitab-kitab fiqh menjadi beku, dan resisten
terhadap perubahan.

Kebekuan fiqh itu, sebagaimana disebutkan di muka, telah
berlangsung selama berabad-abad. Baru pada abad ke-19
terdengar suara-suara untuk melakukan perubahan terhadap fiqh
yang ada. Beberapa negeri Muslim setelah pertemuan yang pahit
dengan peradaban Barat, mulai mencoba melakukan revisi
terhadap fiqhnya, dengan mengintrodusir dan memperbaharui
peraturan perundangan, khususnya dalam hal hukum keluarga. Hal
ini terjadi di Tunisia, Mesir, Siria, dan Irak. Bahkan Saudi
Arabia pun dalam banyak hal telah mulai melakukan suplemen
terhadap hukum-hukum fiqh Hambali yang umumnya terlalu
literalis.

LANGKAH-LANGKAH REAKTUALISASI

Uraian di atas dapat disimpulkan: Kemandekan pemikiran fiqh di
dunia Islam selama ini adalah karena kekeliruan menetapkan
pilihan dari pasangan-pasangan pilihan tersebut di atas, atau
sekurang-kurangnya kekeliruan dalam menentukan bobot
masing-masing pilihan itu. Fiqh telah dipandang sebagai
ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada sebagai
ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam
bentuk cita-cita daripada sebagai respon atau refleksi
kenyataan yang ada secara realis. Fiqh juga telah memilih
stabilitas daripada perubahan. Semua itu, telah mengakibatkan
kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini.

Jika kita hendak mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam,
khususnya dalam bidang hukum, dan lebih khusus lagi dalam
bidang fiqh, maka kita harus membalik pilihan-pilihan tersebut
di atas. Kita harus memandang fiqh sebagai produk dominan akal
ketimbang wahyu, dan karenanya boleh diotak-atik, dirubah atau
bahkan dibuang pada setiap saat. Fiqh harus dipandang sebagai
varian suatu keragaman yang bersifat partikularistik yang
terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus dikembangkan dari
yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Pendek
kata, fiqh harus dilihat sebagai mata rantai perubahan yang
tak henti-hentinya tanpa harus dipersoalkan keabsahannya
karena toh pada akhirnya fiqh itu hanya menyangkut soal cabang
dari agama. Tapi untuk melakukan pilihan-pilihan yang tepat
diperlukan beberapa syarat, sedikitnya ada tiga syarat yang
harus dipenuhi yaitu: Pertama, adanya tingkat pendidikan dan
tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat Muslim. Kedua,
adanya keberanian di kalangan umat Islam untuk mengambil
pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan
pilihan tersebut di atas. Dan ketiga, memahami faktor-faktor
sosiokultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu
produk pemikiran fiqhiyah tertentu, agar dapat memahami
partikularisme dari produk pemikiran hukum itu. Dengan
demikian, jika di tempat lain atau pada waktu lain ditemukan
unsur-unsur partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran
hukum itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian
dinamika hukum Islam dapat terus dijaga dan dikembangkan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Atho' Mudzhar, Catatan-catatan kuliah Sejarah Sosial Hukum
Islam pada Fakultas Pasca Sarjana, IAIN Jakarta, 1990/1991.

Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Law (The
University of Chicago Press, Chicago, 1969).

Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the
Orientalists (Islamic Publications Ltd., Pakistan, 1977).
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik