FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

i'tikaf di masjid Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

i'tikaf di masjid Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

i'tikaf di masjid

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

i'tikaf di masjid Empty i'tikaf di masjid

Post by keroncong Sat Sep 01, 2012 4:58 am

A. DEFENISI I'TIKAAF

I'tikaaf berasal dari kata :

'AKAFA - YA'KIFU - WAYA'KUFU - 'UKUUFAN

I'tikaaf menurut bahasa ialah = "menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan".

Allah berfirman :
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya ?" (QS 21 : 52)

Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah : seseorang tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan shifat/cara tertentu.
(Lihat Syarah Muslim, 8 : 66. Fathul Baari 4 : 271. Muhalla 5 : 179, masalah No. 624).

B. DISYARI'ATKANNYA

Para Ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam dan Nabi SAW selalu mengerjakan sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.
Artinya :

"Dari 'Aisyah ra, istri Nabi SAW, ia berkata : "Adalah Nabi SAW, biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sampai beliau wafat kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf sepeninggalnya".
(Hadist riwayat Bukhari 2 : 255. Fathul Baari 4 : 271 Nomor 2462. Ahmad 6 : 292 dan Baihaqy 4 : 315, 320).

"Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Adalah Rasulullah SAW, biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan".
(Hadits Shahih riwayat : Ahmad, Bukhari dan Muslim).

"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Adalah Rasulullah SAW, apabila sudah masuk sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan), maka beliau menghidupkan malam itu, membangunkan istrinya dan mengikat kainnya".
(Hadits Shahih riwayat : Ahmad, Bukhari 2 : 255. Muslim 3 : 176. Abu Dawud No. 1376. Nasa'i 3 : 218 dan Tirmidzi).

Maksud dari kalimat :

Menghidupkan malamnya, artinya beliau sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat dan dzikir.
Membangunkan istrinya, ya'ni menyuruh mereka shalat malam/tarawih serta melakukan ibadah-ibadah lainnya.
Mengikat kainnya, adalah satu kinayah bahwa beliau sungguh-sungguh beribadah dan tidak bercampur dengan istri-istrinya, karena beliau selalu melakukan iti'kaaf setiap sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, sedangkan orang yang i'tikaaf tidak tidak boleh bercampur dengan istrinya. (Lihat Subulus Salam 2 : 356-357. Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram 3 : 257-258).

"'Aisyah berkata: "Adalah Rasulullah SAW, bersungguh-sungguh pada sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di malam-malamnya".
(Hadits Shahih riwayat : Ahmad dan Muslim 3 : 176).

Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya, begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu merupakan taqarrub kepada Allah akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun menyatakan keutamaannya.

Berkata Imam Abu Dawud As-Sijistany : "Saya bertanya kepada Imam Ahmad : Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf ? Jawab beliau : tidak kudapati, kecuali ada sedikit riwayat, dan riwayat inipun lemah.
(Lihat Al-Mughni, 4 : 455-456 dan Silsilah Ahaadist Dha'ifah dan Maudhu'-ah No. 518).

C. HUKUM I'TIKAAF

Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu sunnat dan wajib.

I'tikaaf Sunat.
Ialah yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala dari pada-Nya, serta mengikuti sunnah Rasulullah SAW. I'tikaaf seperti ini sangat ditekankan dan lebih utama dilakukan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW setiap bulan Ramadhan sampai beliau wafat.

I'tikaaf Wajib.
Ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan wajib bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari semalam. Atau dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah dengan menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam. Nadzar ini wajib dilaksanakan.

Rasulullah SAW bersabda.
Artinya :
"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Telah bersabda Rasulullah SAW : "Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu keta'atan kepada Allah hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan barangsiapa bernadzar untuk melakukan ma'shiat (kedurhakaan/kesyirikan) kepada Allah, maka janganlah lakukan ma'syiat itu".
(Hadits Shahih riwayat : Bukhari, Malik, Abu Dawud No. 3289, Nasa'i, Tirmidzi, Darimy 2 : 184. Ibnu Majah No. 2126, Ahmad 6 : 36,41,224 dan Baihaqy 19/68 dan Ibnu Jarud No. 934).

'Umar bin Khattab ra, pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : Ya Rasulullah, saya pernah bernadzar di zaman jahiliyah akan beri'tikaaf satu malam di masjid Haram ? Sabda beliau : "Penuhilah nadzarmu itu !".
(Hadist Shahih riwayat : Bukhari 2 : 256, Fathul Baari No. 2032 dan Muslim 5 : 89).

D. WAKTUNYA

I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkannya itu.

Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.

Menurut Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan kebanyakan Ahli Fiqih, i'tikaaf yang sunat tidak ada batasnya (lihat Bidayatul Mujtahid 1 : 229). Kata Ibnu Hazm : boleh seseorang i'tikaaf siang saja. Inilah merupakan pendapat Imam Syafi'i dan Abu Sulaiman (baca Al-Muhalla 5 : 179-180 masalah no. 614).

E. SYARAT-SYARAT I'TIKAAF

Orang yang i'tikaaf syaratnya ialah :

Seorang Muslim
Mumaiyyiz (sudah baligh).
Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.

Bila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka :

Menurut Ibnul Qoyyim : Puasa sebagai syarat shahnya i'tikaaf dan ini merupakan pendapat jumhurus salaf. (lihat Zaadul Ma'ad 2 : 88)
Menurut Imam Syafi'i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat syahnya i'tikaaf (baca Al-Muhalla 5 : 181, masalah No. 625). Kata Imam Nawawi : Yang afdhal (utama) i'tikaaf dengan berpuasa dan bila ia i'tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh. (lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab 6 : 484). Seandainya ada orang sakit i'tikaaf di masjid maka i'tikaafnya shah.

F. RUKUN-RUKUN I'TIKAAF

Niat.
Karena tidak shah satu amalan melainkan dengan niat.

Allah berfirman :
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus"

Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya..."
(Hadits Shahih riwayat Bukhari (Fathul Baari 1 : 9) 6 : 48).

Tempatnya harus di Masjid.
Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di-masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Mengenai diwajibkannya di masjid berdasarkan firman Allah Ta'ala :
"....tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid ...." (QS 2 : 187)

Jadi i'tikaaf itu hanya shah di masjid.

G. PENDAPAT FUQAHA

Mengenai Masjid yang Shah Dipakai Untuk I'tikaaf

Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang shah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :

Sebagian ulama berpendapat bahwa i'tikaaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu : Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Pendapat ini adalah pendapat Sa'ad bin Al-Musayyab. Kata Imam Nawawi : "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak shah".
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa i'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid, yang dilaksanakan pada shalat lima waktu dan didirikan jama'ah.
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf itu syah dilaksanakan pada setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang shah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaaf.

Sesudah membawakan beberapa pendapat, kemudian Imam Nawawi berkata : "I'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil. Sedang dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya". (Lihat Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6 : 483).

Ibnu Hazm : "I'tikaaf itu shah dan boleh dilakukan di setiap masjid, baik di situ dilaksanakan shalat Jum'at atau tidak".
(Lihat Al-Muhalla 5 : 193, masalah No. 633).
Kata Abu Bakar Al-Jashshash : "Telah terjadi itifaq diantara ulama Salaf, bahwa diantara syarat i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan pendapat diantara mereka tentang apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid mana saja (pada umumnya) bila dilihat zhahir firman Allah :"Sedangkan kamu dalam beri'tikaaf di masjid". (QS 2 : 187). Ayat ini membolehkan i'tikaaf di semua masjid berdasarkan keumuman lafadznya, karena itu siapa saja yang mengkhususkan ma'na ayat itu mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang mengkhususkan hanya masjid-masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang mengkhususkan hanya masjid-masjid para Nabi (yaitu : Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha). Karena (pendapat yang mengkhususkan) tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut.
(Lihat Ahkaamul Qur'an, Al-Jashshash 1 : 285 dan Rawaai'ul Bayaan Fii Tafsiiri Ayaatil Ahkam 1 : 41-215).

Menurut jumhur ulama, tidaklah akan shah bagi seorang wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah shah menerangkan bahwa isteri-isteri Nabi SAW, melakukan i'tikaaf di Masjid Nabawi. (Lihat Fiqhus Sunnah 1 : 402).

Tentang wanita i'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah tersendiri terpisah dari laki-laki, dan untuk masa sekarang harus dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita hendak i'tikaaf, ikhtilath dengan laki-laki di tempat yang sudah semakin banyak fitnah. Adapun soal bolehnya para ulama membolehkan, dan di usahakan untuk tidak saling pandang-memandang antara laki-laki dan wanita.
(Lihat Al-Mughni 4 : 464-465, baca Fiqhul Islam syarah Bulughul Maram 3 : 260)
keroncong
keroncong
KAPTEN
KAPTEN

Male
Age : 70
Posts : 4535
Kepercayaan : Islam
Location : di rumah saya
Join date : 09.11.11
Reputation : 67

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik