memahami iyyakanak budu wa-iyya kanastain
Halaman 1 dari 1 • Share
memahami iyyakanak budu wa-iyya kanastain
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan." (Al-Fatihah: 6).
Dalam Tafsir Tanwirul Miqbas min Tafsiir Ibn Abbas dijelaskan, iyyaaka na'budu maksudnya: kepadaMu-lah kami mentauhidkan dan kepadaMu-lah kami mentaati. Waiyyaka nasta'iin kami minta tolong padaMu untuk beribadah padaMu, dan kapadaMu-lah kami minta keteguhan untuk taat padaMu. (Tanwiirul Miqbas, hal 2).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Iyyaaka na'budu itu berlepas diri dari kemusyrikan, waiyyaaka nasta'iin berlepas diri dari daya dan kekuatan; dan pemberian kekuasaan kepada Allah (at-tafwiidh ilallaah) Azza wa Jalla. Makna ini ada pada ayat lain dalam Al-Qur'an sebagaimana Allah SWT berfirman:
"...maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepadaNya. Dan
sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan". (QS Huud/ 11:123).
"Katakanlah: "Dia-lah Allah Yang Maha Penyayang, kami beri man kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal." (Al-Mulk/ 67: 29).
"Dia-lah Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung." (QS Al-Muzzammil/ 73:9).
Demikian pula ayat yang mulia ini:
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." {Al-Fatihah: 6). (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal 36).
Dalam Tafsir Al-Qayyim dijelaskan, didahulukannya ibadah atas isti'anah (minta tolong) dalam surat Al-Fatihah itu termasuk dalam bab mendahulukan ghooyaat (tujuan) atas wasaail (sarana).
Karena, ibadah itu adalah tujuan hamba-hamba yang (memang) diciptakan untuknya. Sedang isti'anah (minta tolong) itu adalah wasilah (sarana) untuk ibadah. (Tafsir Al-Qayyim, lil Imam Ibnul Qayyim, Darul Fikr, 1988/ 1408H, hal 66).
Dalam Tafsir Quran Karim Prof Dr H Mahmud Yunus mengartikan, "Hanya Engkaulah (ya Allah) yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan." Selanjutnya dijelaskan, "Karena Allah amat banyak memberi kita bermacam-macam ni'mat, maka wajiblah kita menyembahNya. Dan tiada yang disembah selain daripadaNya. Wajiblah kita minta tolong kepada Allah, untuk menyampaikan cita-cita kita dan mensukseskan amalan perbuatan
kita, karena Dia yang berkuasa menghilangkan segala aral yang melintangi.
Adapun minta tolong sesama manusia dalam batas kemampuannya, seperti minta obat ke dokter, maka tiadalah terlarang, bahkan dianjurkan bertolong-tolongan itu. Tetapi jika kita minta tolong kepada manusia di luar batas kemampuannya, seperti minta masuk surga, murah rezeki, berbahagia di dunia akhirat dsb, maka yang demikian itu amat terlarang dalam Islam. Begitu juga meminta kepada batu-batu, kayu-kayu, kubur-kubur dan sebagainya, karena pekerjaan ini mempersekutukan Allah dengan lain-Nya." (Prof Dr H Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, PT Hidakarya Agung Jakarta, cet 27, 1988/ 1409H, hal 1).
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam Minhajul Firqoh An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh membahas makna iyyaka na'budu waiyyaka nasta'in dalam satu fasal tersendiri. Dia jelaskan, ayat itu maksudnya, kami mengkhususkan hanya kepadaMu dalam beribadah, berdo'a, dan memohon pertolongan.
Dia jelaskan, didahulukannya obyek (maf'ul bih) iyyaaka atas subyek na'budu dimaksudkan agar ibadah dan memohon pertolongan itu hanya kepada Allah saja, tidak kepada lainnya.
Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti luas, termasuk shalat, nadzar, menyembelih kurban, juga do'a. Karena Rasulullah SAW bersabda: Ad-Du'aau huwal 'ibaadah. Do'a adalah ibadah. (HR At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).
Sebagaimana shalat adalah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada rasul atau wali, demikian pula halnya dengan do'a. Ia adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan akutidak mempersekutukan suatu apapun denganNya.'" (QS Al-Jin: 20).
Tentang memohon pertolongan yang disyari'atkan Allah adalah dengan hanya memintanya kepada Allah agar Ia melepaskanmu dari berbagai kesulitan yang engkau hadapi.
Adapun memohon pertolongan yang tergolong syirik adalah dengan memintanya kepada selain Allah. Misalnya kepada para nabi dan wali yang telah meninggal atau kepada orang yang masih hidup tetapi tidak dalam keadaan hadir. Mereka itu tidak memiliki manfaat atau madharat, tidak mendengar do'a, dan kalaupun mereka mendengar tentu tak akan mengabulkan permohonan kita. Demikian seperti dikisahkan oleh Al-Qur'an tentang mereka. (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat Darul Haq, Jakarta, 1419H, hal 28-31).
Adakah pertentangan makna?
Ayat tersebut menegaskan, hanya kepada Allah lah kami minta pertolongan. Namun di ayat lain kita disuruh bertolong-tolongan.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa." (QS Al-Maaidah: 2).
Adakah pertentangan antara keduanya?
Tidak. Dalam Al-Qur'an dan Tafsirnya dijelaskan: Tercapainya sesuatu maksud, atau terlaksananya sesuatu pekerjaan dengan baik adalah bergantung kepada cukupnya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang akan menghalanginya.
Manusia telah diberi oleh Allah tenaga, baik yang berupa fikiran, maupun yang berupa kekuatan tubuh, untuk dipakai guna mencukupkan syarat-syarat, atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi ada di antara syarat-syarat itu yang tidak kuasa menusia mencukupkannya, sebagaimana di antara rintangan itu ada yang di luar kekuasaan manusia untuk menolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui. Maka kendatipun menurut fikirannya dia telah mencukupkan semua syarat-syarat yang diperlukan, dan telah menjauhkan semua rintangan-rintangan yang menghalangi, tetapi hasil pekerjaannya itu belum lagi sebagai yang dicita-citakannya. Jadi ada hal-hal yang tidak masuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah.
Sebaliknya tentang sesuatu yang termasuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia, dia disuruh bertolong-tolongan, supaya tenaga menjadi kuat, dan agar ada pada masing-masing manusia sifat cinta mencintai, harga menghargai, dan gotong royong.
Dengan perkataan lain, manusia disuruh oleh Allah berusaha dengan sekuat tenaganya, dan disuruh tolong menolong, bantu membantu, di samping menjalankan ikhtiar dan usaha-usahanya itu, dia harus pula berdo'a, memohon taufiq, hidayat, dan ma'unah (pertolongan, pen). Ini hendaklah dimohonkannya khusus kepada Allah, karena hanyalah Dia Yang berkuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah ia bertawakkal kepadaNya.
Ibadat itu sendiri pun adalah sesuatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma'unah (pertolongan, pen) dari Allah, supaya semua ibadat terlaksana sebagai yang dimaksud oleh agama. Maka seseorang menuturkan bahwa hanya kepada Allah lah kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepadaNya saja meminta pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagai telah disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma'unah khusus kepadaNya, adalah inti sari agama, dan kesempurnaan Tauhid. (Al-Qur'an dan Tafsirnya, Depag RI, I, hal 28-29).
Upaya menghancurkan Tauhid
Dari berbagai sumber tersebut telah jelas bahwa ayat iyyaaka
na'budu wa iyyaaka nasta'iin itu adalah intisari agama dan sempurnanya Tauhid. Namun ada upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai landasan kemusyrikan. Contohnya, Nurcholish Madjid dengan pengakuan merujuk pada penafsiran tasawuf ia menulis: "Kalau kita baru sampai pada iyyaka na'budu berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaka nasta'in, maka kita lebur. Menyatu dengan Tuhan." (Tabloid Tekad 44/II, 4-10 September 2000, hal 11).
Dilihat dari segi penafsiran, Nurcholish Madjid jelas telah jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Ibnul Qoyyim. Menurut Ibnul Qoyyim, ulama terkemuka kaliber dunia (691-751H), lafal nasta'iin itu adalah wasilah (sarana) sedang na'budu itu adalah ghoyah (tujuan). Karena makhluk --jin dan manusia-- ini memang diciptakannya hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Sedang penafsiran Nurcholish Madjid ("Kalau kita baru sampai pada iyyaka na'budu berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaka nasta'in, maka kita lebur.
Menyatu dengan Tuhan.") itu jelas-jelas berlawanan dengan penafsiran Ibnul Qoyyim. Nasta'in yang menurut Ibnul Qoyyim adalah wasilah (sarana), namun oleh Nurcholish diletakkan sebagai ghoyah (tujuan) dan diartikan menurut ghoyah faham tasawuf sesat yaitu al-hulul wal ittihad, lebur dan menyatu dengan Tuhan. Ini dari segi materi sudah terbalik-balik, sedang dari segi pemahaman sudah sangat menyimpang. Padahal tokoh sufi sesat, Al-Hallaj, yang berfaham al-hulul wal ittihad itu telah dihukumi kafir oleh para ulama dan dihukum bunuh di Baghdad 309H/ 922M. (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah Jakarta, 2000,hal 28).
Betapa berbahayanya menafsiri ayat Al-Qur'an (apalagi ayat yang merupakan intisari agama dan sempurnanya Tauhid) dengan sekenanya, dan berlawanan dengan kaidah-kaidah ilmu agama seperti itu. Dan masih pula betapa rusaknya mengubah pemahaman ayat Tauhid menjadi faham hulul dan ittihad (melebur dan menyatu dengan Tuhan) yang mewarisi pemahaman tasawuf sesat itu.
Anehnya, faham tasawuf yang ghoyahnya (arah tujuannya) sangat berbeda dengan Islam itu kini digencarkan oleh orang-orang tertentu dan kelompok-kelompok tertentu secara intensip sekali di antaranya di Yayasan Iiman, Paramadina, televisi Anteve , Yayasan Sehati yang ditokohi Jalaluddin Rachmat dll. Ini merupakan PR (pekerjaan rumah) yang diderakan terhadap Muslimin, di samping PR-PR lain yang merugikan dan bahkan merusak dan menyesatkan.
Persoalan kedua, tulisan Nurcholish Madjid di Tekad No 44, 4-10 September 2000, hal 11 itu ada yang bunyinya: "Perlu diberi catatan di sini mengenai sifat sombong (al-mutakabbir) Allah dalam asmaul husna, yang kita malah
diperintah menirunya. Memang kita harus punya juga sifat sombong, tapi porsinya tidak besar, hanya sampai pada tingkat kita punya harga diri."
Tulisan NM itu bertentangan sama sekali dengan ayat-ayat maupun hadits. Di antaranya firman Allah:
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong." (An-Nahl/ 16: 23).
Rasulullah SAW bersabda:
"Laa yadkhulul jannata man kaan fii qolbihi mitsqoola dzarrotin min kibrin."
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekalipun seberat dzarroh (atom)." (HR Muslim).
Rasulullah SAW bersabda:
"Neraka berkata: 'Aku dipentingkan karena untuk orang-orang yang sombong'." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Demikianlah, bisa kita bandingkan antara ajaran NM dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
kami mohon pertolongan." (Al-Fatihah: 6).
Dalam Tafsir Tanwirul Miqbas min Tafsiir Ibn Abbas dijelaskan, iyyaaka na'budu maksudnya: kepadaMu-lah kami mentauhidkan dan kepadaMu-lah kami mentaati. Waiyyaka nasta'iin kami minta tolong padaMu untuk beribadah padaMu, dan kapadaMu-lah kami minta keteguhan untuk taat padaMu. (Tanwiirul Miqbas, hal 2).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Iyyaaka na'budu itu berlepas diri dari kemusyrikan, waiyyaaka nasta'iin berlepas diri dari daya dan kekuatan; dan pemberian kekuasaan kepada Allah (at-tafwiidh ilallaah) Azza wa Jalla. Makna ini ada pada ayat lain dalam Al-Qur'an sebagaimana Allah SWT berfirman:
"...maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepadaNya. Dan
sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan". (QS Huud/ 11:123).
"Katakanlah: "Dia-lah Allah Yang Maha Penyayang, kami beri man kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal." (Al-Mulk/ 67: 29).
"Dia-lah Tuhan masyriq dan maghrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung." (QS Al-Muzzammil/ 73:9).
Demikian pula ayat yang mulia ini:
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." {Al-Fatihah: 6). (Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal 36).
Dalam Tafsir Al-Qayyim dijelaskan, didahulukannya ibadah atas isti'anah (minta tolong) dalam surat Al-Fatihah itu termasuk dalam bab mendahulukan ghooyaat (tujuan) atas wasaail (sarana).
Karena, ibadah itu adalah tujuan hamba-hamba yang (memang) diciptakan untuknya. Sedang isti'anah (minta tolong) itu adalah wasilah (sarana) untuk ibadah. (Tafsir Al-Qayyim, lil Imam Ibnul Qayyim, Darul Fikr, 1988/ 1408H, hal 66).
Dalam Tafsir Quran Karim Prof Dr H Mahmud Yunus mengartikan, "Hanya Engkaulah (ya Allah) yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan." Selanjutnya dijelaskan, "Karena Allah amat banyak memberi kita bermacam-macam ni'mat, maka wajiblah kita menyembahNya. Dan tiada yang disembah selain daripadaNya. Wajiblah kita minta tolong kepada Allah, untuk menyampaikan cita-cita kita dan mensukseskan amalan perbuatan
kita, karena Dia yang berkuasa menghilangkan segala aral yang melintangi.
Adapun minta tolong sesama manusia dalam batas kemampuannya, seperti minta obat ke dokter, maka tiadalah terlarang, bahkan dianjurkan bertolong-tolongan itu. Tetapi jika kita minta tolong kepada manusia di luar batas kemampuannya, seperti minta masuk surga, murah rezeki, berbahagia di dunia akhirat dsb, maka yang demikian itu amat terlarang dalam Islam. Begitu juga meminta kepada batu-batu, kayu-kayu, kubur-kubur dan sebagainya, karena pekerjaan ini mempersekutukan Allah dengan lain-Nya." (Prof Dr H Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, PT Hidakarya Agung Jakarta, cet 27, 1988/ 1409H, hal 1).
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam Minhajul Firqoh An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh membahas makna iyyaka na'budu waiyyaka nasta'in dalam satu fasal tersendiri. Dia jelaskan, ayat itu maksudnya, kami mengkhususkan hanya kepadaMu dalam beribadah, berdo'a, dan memohon pertolongan.
Dia jelaskan, didahulukannya obyek (maf'ul bih) iyyaaka atas subyek na'budu dimaksudkan agar ibadah dan memohon pertolongan itu hanya kepada Allah saja, tidak kepada lainnya.
Ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti luas, termasuk shalat, nadzar, menyembelih kurban, juga do'a. Karena Rasulullah SAW bersabda: Ad-Du'aau huwal 'ibaadah. Do'a adalah ibadah. (HR At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih).
Sebagaimana shalat adalah ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada rasul atau wali, demikian pula halnya dengan do'a. Ia adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah saja. Allah SWT berfirman:
"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan akutidak mempersekutukan suatu apapun denganNya.'" (QS Al-Jin: 20).
Tentang memohon pertolongan yang disyari'atkan Allah adalah dengan hanya memintanya kepada Allah agar Ia melepaskanmu dari berbagai kesulitan yang engkau hadapi.
Adapun memohon pertolongan yang tergolong syirik adalah dengan memintanya kepada selain Allah. Misalnya kepada para nabi dan wali yang telah meninggal atau kepada orang yang masih hidup tetapi tidak dalam keadaan hadir. Mereka itu tidak memiliki manfaat atau madharat, tidak mendengar do'a, dan kalaupun mereka mendengar tentu tak akan mengabulkan permohonan kita. Demikian seperti dikisahkan oleh Al-Qur'an tentang mereka. (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat Darul Haq, Jakarta, 1419H, hal 28-31).
Adakah pertentangan makna?
Ayat tersebut menegaskan, hanya kepada Allah lah kami minta pertolongan. Namun di ayat lain kita disuruh bertolong-tolongan.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa." (QS Al-Maaidah: 2).
Adakah pertentangan antara keduanya?
Tidak. Dalam Al-Qur'an dan Tafsirnya dijelaskan: Tercapainya sesuatu maksud, atau terlaksananya sesuatu pekerjaan dengan baik adalah bergantung kepada cukupnya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu, dan tidak adanya rintangan-rintangan yang akan menghalanginya.
Manusia telah diberi oleh Allah tenaga, baik yang berupa fikiran, maupun yang berupa kekuatan tubuh, untuk dipakai guna mencukupkan syarat-syarat, atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi ada di antara syarat-syarat itu yang tidak kuasa menusia mencukupkannya, sebagaimana di antara rintangan itu ada yang di luar kekuasaan manusia untuk menolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui. Maka kendatipun menurut fikirannya dia telah mencukupkan semua syarat-syarat yang diperlukan, dan telah menjauhkan semua rintangan-rintangan yang menghalangi, tetapi hasil pekerjaannya itu belum lagi sebagai yang dicita-citakannya. Jadi ada hal-hal yang tidak masuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah.
Sebaliknya tentang sesuatu yang termasuk dalam batas kekuasaan dan kemampuan manusia, dia disuruh bertolong-tolongan, supaya tenaga menjadi kuat, dan agar ada pada masing-masing manusia sifat cinta mencintai, harga menghargai, dan gotong royong.
Dengan perkataan lain, manusia disuruh oleh Allah berusaha dengan sekuat tenaganya, dan disuruh tolong menolong, bantu membantu, di samping menjalankan ikhtiar dan usaha-usahanya itu, dia harus pula berdo'a, memohon taufiq, hidayat, dan ma'unah (pertolongan, pen). Ini hendaklah dimohonkannya khusus kepada Allah, karena hanyalah Dia Yang berkuasa memberinya. Sesudah itu semua, barulah ia bertawakkal kepadaNya.
Ibadat itu sendiri pun adalah sesuatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma'unah (pertolongan, pen) dari Allah, supaya semua ibadat terlaksana sebagai yang dimaksud oleh agama. Maka seseorang menuturkan bahwa hanya kepada Allah lah kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepadaNya saja meminta pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana mestinya. Ayat di atas, sebagai telah disebutkan, mengandung tauhid, karena beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma'unah khusus kepadaNya, adalah inti sari agama, dan kesempurnaan Tauhid. (Al-Qur'an dan Tafsirnya, Depag RI, I, hal 28-29).
Upaya menghancurkan Tauhid
Dari berbagai sumber tersebut telah jelas bahwa ayat iyyaaka
na'budu wa iyyaaka nasta'iin itu adalah intisari agama dan sempurnanya Tauhid. Namun ada upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai landasan kemusyrikan. Contohnya, Nurcholish Madjid dengan pengakuan merujuk pada penafsiran tasawuf ia menulis: "Kalau kita baru sampai pada iyyaka na'budu berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaka nasta'in, maka kita lebur. Menyatu dengan Tuhan." (Tabloid Tekad 44/II, 4-10 September 2000, hal 11).
Dilihat dari segi penafsiran, Nurcholish Madjid jelas telah jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan Ibnul Qoyyim. Menurut Ibnul Qoyyim, ulama terkemuka kaliber dunia (691-751H), lafal nasta'iin itu adalah wasilah (sarana) sedang na'budu itu adalah ghoyah (tujuan). Karena makhluk --jin dan manusia-- ini memang diciptakannya hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Sedang penafsiran Nurcholish Madjid ("Kalau kita baru sampai pada iyyaka na'budu berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaka nasta'in, maka kita lebur.
Menyatu dengan Tuhan.") itu jelas-jelas berlawanan dengan penafsiran Ibnul Qoyyim. Nasta'in yang menurut Ibnul Qoyyim adalah wasilah (sarana), namun oleh Nurcholish diletakkan sebagai ghoyah (tujuan) dan diartikan menurut ghoyah faham tasawuf sesat yaitu al-hulul wal ittihad, lebur dan menyatu dengan Tuhan. Ini dari segi materi sudah terbalik-balik, sedang dari segi pemahaman sudah sangat menyimpang. Padahal tokoh sufi sesat, Al-Hallaj, yang berfaham al-hulul wal ittihad itu telah dihukumi kafir oleh para ulama dan dihukum bunuh di Baghdad 309H/ 922M. (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan Tasawuf, Darul Falah Jakarta, 2000,hal 28).
Betapa berbahayanya menafsiri ayat Al-Qur'an (apalagi ayat yang merupakan intisari agama dan sempurnanya Tauhid) dengan sekenanya, dan berlawanan dengan kaidah-kaidah ilmu agama seperti itu. Dan masih pula betapa rusaknya mengubah pemahaman ayat Tauhid menjadi faham hulul dan ittihad (melebur dan menyatu dengan Tuhan) yang mewarisi pemahaman tasawuf sesat itu.
Anehnya, faham tasawuf yang ghoyahnya (arah tujuannya) sangat berbeda dengan Islam itu kini digencarkan oleh orang-orang tertentu dan kelompok-kelompok tertentu secara intensip sekali di antaranya di Yayasan Iiman, Paramadina, televisi Anteve , Yayasan Sehati yang ditokohi Jalaluddin Rachmat dll. Ini merupakan PR (pekerjaan rumah) yang diderakan terhadap Muslimin, di samping PR-PR lain yang merugikan dan bahkan merusak dan menyesatkan.
Persoalan kedua, tulisan Nurcholish Madjid di Tekad No 44, 4-10 September 2000, hal 11 itu ada yang bunyinya: "Perlu diberi catatan di sini mengenai sifat sombong (al-mutakabbir) Allah dalam asmaul husna, yang kita malah
diperintah menirunya. Memang kita harus punya juga sifat sombong, tapi porsinya tidak besar, hanya sampai pada tingkat kita punya harga diri."
Tulisan NM itu bertentangan sama sekali dengan ayat-ayat maupun hadits. Di antaranya firman Allah:
"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong." (An-Nahl/ 16: 23).
Rasulullah SAW bersabda:
"Laa yadkhulul jannata man kaan fii qolbihi mitsqoola dzarrotin min kibrin."
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sekalipun seberat dzarroh (atom)." (HR Muslim).
Rasulullah SAW bersabda:
"Neraka berkata: 'Aku dipentingkan karena untuk orang-orang yang sombong'." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Demikianlah, bisa kita bandingkan antara ajaran NM dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Similar topics
» memahami Qur'an
» metode memahami al Qur'an
» memahami liberalisme
» memahami rezeki
» memahami makna munafik
» metode memahami al Qur'an
» memahami liberalisme
» memahami rezeki
» memahami makna munafik
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik