islam kaffah, islam perfeksionis?
Halaman 1 dari 1 • Share
islam kaffah, islam perfeksionis?
Allah SWT. telah menurunkan Al Qur'an kepada Rasulullah secara bertahap sesuai dengan fakta-fakta dan kasus-kasus yang ada ketika itu. Ketika satu ayat diturunkan, maka segera beliau menyampaikannya. Apabila ayat itu berisi suatu perintah, maka beliau dan kaum muslimin segera melaksanakannya. Apabila berisi larangan, maka beliau dan kaum muslimin juga segera meninggalkan dan menjauhinya. Sehingga, beliau segera menerapkan hukum-hukum tersebut, begitu ayat-ayat tentang hukum itu turun. Tanpa menunggu-nunggu barang sejenak, maupun menangguhkannya.
Sehingga setiap hukum yang diturunkan itu menjadi wajib hukumnya diterapkan dan dilaksanakan, begitu ayat tentang hukum itu turun, apapun bentuk hukumnya. Sampai kemudian Allah SWT. menyempurnakan agama ini. Lalu turunlah ayat:
"Hari ini, telah Aku sempurnakan bagi kalian, agama kalian. Dan Aku cukupkan untuk kalian nikmat-Ku, serta Aku ridlai Islam sebagai agama kalian." (Q.S. Al Maidah: 3)
Setelah turunnya ayat ini, maka kaum muslimin diserukan dengan seruan secara menyeluruh agar menerapkan dan melaksanakan seluruh hukum Islam secara total. Baik hukum yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak ataupun mu'amalah. Serta hukum yang menyangkut masalah mu'amalah antara sebagian kaum muslimin dengan sebagian yang lain, atau antara mereka dengan penguasa yang memerintah mereka, atau antara mereka dengan bangsa, umat serta negara-negara lain. Baik hukum yang menyangkut aspek pemerintahan, ekonomi, masyarakat, ataupun politik luar negeri dalam keadaan damai dan perang. Allah SWT. berfirman:
"Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul, maka ambillah. Sedangkan apa yang dilarangnya, maka hindarilah. Bertakwalah kalian kepada Allah, karena Allah Maha keras siksa-Nya." (Q.S. Al Hasyr: 7)
Maksudnya, ambillah dan laksanakanlah semua yang dibawa oleh Rasul. Hindarilah dan jauhilah semua yang dia larang untuk kalian lakukan. Sebab kata "Ma" di dalam ayat tersebut merupakan bentuk umum. Sehingga, ayat tersebut mencakup kewajiban untuk melaksanakan seluruh kewajiban serta wajib menghindari dan menjauhi seluruh larangan.
Perintah untuk mengambil dan menghindari di dalam ayat itu adalah perintah yang bersifat tegas, karena itu perintah tersebut maknanya adalah wajib. Dengan adanya indikasi (qarinah) yang ada di penghujung ayat itu, yang berupa perintah bertakwa serta (ancaman) adzab yang pedih bagi siapa saja yang tidak mau mengambil semua yang disampaikan oleh Rasulullah saw serta tidak mau menghindari larangan yang dicegah oleh beliau. Allah SWT. berfirman:
"Dan hendaknya engkau menghukumi di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan. Dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Hati-hatilah engkau terhadap mereka, karena mereka ingin menyesatkanmu dari sebagian yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu." (Q.S. Al Maidah: 49)
Ini merupakan perintah yang tegas dari Allah SWT. kepada Rasul-Nya serta para penguasa muslim sepeninggal beliau, tentang wajibnya memberlakuakn semua hukum yang telah diturunkan oleh Allah. Baik berupa suatu perintah maupun larangan. Karena kata "Ma" yang ada dalam ayat tersebut berbentuk umum, sehingga mencakup seluruh hukum yang telah diturunkan.
Allah SWT. telah melarang Rasul-Nya serta para penguasa muslim sepeninggal beliau, mengikuti kemauan orang-orang dan tunduk pada keinginan mereka, dengan berfirman:
"Dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti kemauan (hawa nafsu) mereka." (Q.S. Al Maidah: 49)
Sebagaimana Allah SWT. telah mengingatkan Rasul-Nya serta para penguasa muslim sepeninggal beliau itu terhadap orang-orang yang ingin memalingkannya sehingga tidak menerapkan sebagian hukum yang telah diturunkan Allah. Sebaliknya, Allah mewajibkanmereka agar menerapkan semua hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT. kepadanya. Baik yang berbentuk suatu perintah maupun larangan, tanpa memperhatikan kemauan orang. Dimana Allah SWT. berfirman:
"Hati-hatilah engkau terhadap mereka, karena mereka ingin menyesatkanmu dari sebagian yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu." (Q.S. Al Maidah: 49)
"Siapa saja yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Q.S. Al Maidah: 44)
"..maka mereka adalah orang-orang dlalim." (Q.S. Al Maidah: 45)
"..maka mereka adalah orang-orang fasik." (Q.S. Al Maidah: 47)
Di dalam ketiga ayat tersebut, Allah SWT. menjatuhkan vonis kepada siapa saja yang tidak berhukum kepada semua hukum yang telah diturunkan oleh Allah, baik dalam bentuk perintah muapun larangan, maka dia adalah kafir, dlalim dan fasik. Karena kata "Ma" dalam ketiga ayat itu berbentuk umum, maka ia mencakup semua hukum syara' yang telah diturunkan oleh Allah, baik yang berbentuk perintah maupun larangan.
Semua uraian yang telah dijelaskan di atas secara tegas dan tidak ada sedikit pun kekaburan, menyatakan bahwa seluruh kaum muslimin, baik sebagai pribadi, jama'ah maupun negara, hukumnya wajib menerapkan semua hukum Islam secara menyeluruh. Sebagaimana tuntutan Allah SWT. untuk menerapkannya, tanpa menangguhkannya, menunda-nunda, ataupun dengan cara bertahap. Uraian di atas juga menjelaskan bahwa tidak ada satu alasan pun, baik bagi individu, jama'ah maupun negara, untuk tidak menerapkannya.
Sedangkan tentang penerapan hukum itu, wajib dilaksanakan secara menyeluruh, total, dan sekaligus, bukan dengan cara bertahap. Karena itu, penerapan dengan cara bertahap itu jelas bertentangan dengan hukum-hukum Islam itu sendiri. Bahkan hal itu telah menjadikan orang yang menerapkannya --telah menerapkan sebagian hukum-hukum dan meninggalkan sebagian yang lain-- berdosa di sisi Allah, baik sebagai pribadi, jama'ah maupun negara.
Karena yang wajib hukumnya itu wajib dan statusnya tetap wajib (tidak akan pernah berubah) serta wajib dilaksanakan; sedangkan yang haram hukumnya haram dan statusnya tetap haram serta wajib dijauhi. Rasulullah saw. pernah menolak delegasi dari Bani Tsaqif, ketika delegasi tersebut meminta kepada beliau agar beliau membiarkan berhala mereka Latta dan Uzza selama tiga tahun serta mentolelir mereka dari kewajiban shalat ketika mereka masuk Islam. Maka, permintaan mereka itu tidak diterima oleh Rasul, bahkan beliau tidak menghiraukannya. Lalu beliau tetap menghancurkan berhala tersebut tanpa menunda-nunda serta memaksa mereka agar mau melaksanakan shalat tanpa menunggu-nunggu lagi.
Allah SWT. telah mengklaim penguasa yang tidak menerapkan semua hukum Islam atau hanya menerapkan sebagian saja, sedangkan yang lain ditinggalkan, sebagai orang kafir. Apabila dia tidak yakin bahwa Islam masih relevan untuk diterapkan, atau tidak yakin terhadap relevansi sebagian hukum yang telah ditinggalkan. Dan Allah hanya mengklaimnya sebagai orang dzalim dan fasik, apabila dia tidak menerapkan semua hukum Islam, atau tidak menerapkan sebagian hukumnya, namun dia tetap yakin terhadap relevansi ajaran Islam untuk diterapkan (dalam kehidupan).
Rasulullah saw. telah mewajibkan memerangi penguasa, serta menghunus pedang di hadapan penguasa itu, apabila telah nampak kekufuran yang nyata. Diamna kekufuran itu bisa kita buktikan di sisi Allah. Yaitu, apabila penguasa itu menghukumi dengan hukum-hukum kufur, yang tidak ada lagi sedikitpun kesamaran bahwa hukum-hukum itu jelas merupakan hukum kufur. Baik hukum itu sedikit muapun banyak. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits Ubadah Bin Shamit, yang mengatakan:
"... dan hendaknya kita tidak mencabut urusan ini dari pemiliknya, kecuali apabila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata. Dimana kalian mempunyai bukti di hadapan Allah."
Sehingga dalam penerapan hukum-hukum syara' itu tidak boleh main-main serta bertahap. Karena tidak ada bedanya, antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain, begitu pula antara keharaman yang satu dengan keharaman yang lain, serta antara hukum yang satu dengan hukum yang lain. Sebab, semua hukum Allah itu semuanya sama, yang wajib diterapkan dan dilaksanakan. Tanpa ditunda-tunda, menunggu-nunggu atau bertahap. Sebab apabila tidak, kita akan terkena firman Allah SWT. yang menyatakan:
"Apakah kalian akan beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkufuri sebagian isi yang lain. Maka, tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal itu, selain kehinaan dalam kehidupan di dunia, serta pada hari kiamat nanti akan diseret ke dalam adzab yang sangat pedih." (Q.S. Al Baqarah: 85)
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi negara yang ada di dunia Islam untuk tidak menerapkan Islam. Dengan alasan belum mampu untuk menerapkannya atau kondisinya belum pas untuk diterapkan hukum Islam atau karena alasan opini umum dunia tidak menerima penerapan hukum Islam, ataupun karena negera-negera besar tidak memberi kesempatan kepada kita untuk menerapkannya, atau alasan-alasan dan argumentasi-argumentasi lemah lainnya, yang tidak ada nilainya sama sekali. Siapa saja yang beralasan dengan alasan-alasan itu, maka Allah SWT. sama sekali tidak akan menerimanya.
Hukum Keadaan Dharurat
Sekalipun menerapkan Islam secara menyeluruh bagi individu dalam urusan-urusan yang menjadi tanggungjawab individu, serta bagi negara dalam urusan-urusan yang menjadi tanggungjawab negara itu hukumnya adalah wajib. Akan tetapi, ada keadaan-keadaan darurat yang diperbolehkan oleh Allah SWT., baik bagi individu maupun bagi negara, untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan hukum asalnya.
Dan Allah SWT. telah membolehkan bagi orang yang mengalami keadaan darurat --yang tidak menemukan sesuatu untuk mempertahankan hidupnya-- makan makanan yang diharamkan sekedar untuk bisa bertahan hidup. Allah juga telah membolehkan bagi orang itu untuk makan daging bangkai, babi ataupun makanan-makanan yang diharamkan lainnya. Termasuk diperbolehkan untuk mengambil harta orang lain, sekalipun dengan cara merampas (ghashab) atau mecuri, untuk mempertahankan hidupnya.
Allah SWT. berfirman:
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." (Q.S. Al Baqarah: 173)
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas.." (Q.S. Al Maidah: 3)
"Maka barangsiapa yang terpaksa, karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al Maidah: 3)
Sebagaimana Allah membolehkan bagi negara dalam beberapa keadaan darurat itu, untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hukum asal yang telah diturunkan oleh Allah.
Semisal, ketika negara harus membayarkan pendapatan negaranya kepada musuh, pada saat negara dalam keadaan lemah, serta takut dihancurkan oleh musuh, sementara negara tidak mampu untuk melawannya. Atau apabila negara dalam keadaan perang, lalu melihat musuh jumlahnya sangat jauh melampaui jumlah pasukannya. Kemudian negara itu takut kalah dan tidak mampu bertahan serta mengalahkannya.
Kejadian semacam ini seperti yang terjadi pada saat perang Khandaq. Ketika Rasulullah saw. melihat ancaman besar yang akan ditemukan oleh kaum muslimin. Dan terlintas adanya bahaya, ketika orang-orang musyrik mengepung parit dari segala arah, ditambah adanya pengingkaran Yahudi terhadap perjanjian mereka, serta setelah kaum muslimin hatinya down, sebagaimana yang digambarkan Allah SWT.:
"Di situlah orang-orang mukmin diuji dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang hebat." (Q.S. Al Ahzab: 11)
Ketika itu, Rasulullah saw. mengutus utusan kepada pemimpin-pemimpin Ghathfan agar mereka menarik orang-orang mereka, dengan memberikan sepertiga hasil panen tanah Madinah kepada mereka. Namun, mereka tetap tidak mau mundur kecuali kalau separonya. Maka, ketika utusan mereka tiba untuk mencatat kesepakatan tersebut, Rasulullah saw. mengutus dua pimpinan Anshar, yaitu Sa'ad Bin Muadz dan Sa'ad Bin Ubadah untuk bermusyawarah dengan mereka. Kemudian kedua utusan Rasul itu bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, apabila ini merupakan wahyu, maka lanjutkanlah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Namun, apabila ini merupakan pendapat yang engkau sampaikan kepada kami, maka ketika kami dan mereka masih sama-sama jahiliyah, kami dan mereka tidak memiliki hutang. Dimana mereka tidak pernah makan dari hasil panen tanah Madinah selain dengan membeli atau barter. Maka, (mengapa) ketika Allah memulyakan kami dengan Islam, serta mengutus utusan-Nya kepada kami, kami harus memberi mereka dengan kehinaan ini. Sungguh, kami tidak akan memberikan kepada mereka selain pedang." Kemudian beliau bersabda:
"Aku melihat orang-orang Arab itu telah siap menyerang kalian dengan busur (yang mengarah) ke satu arah (ke arah kaum muslimin). Karena itu, aku lebih suka mengalihkan perhatian mereka. Apabila kalian mengabaikannya, niscaya kalian dan mereka (akan berperang)." Ketika itu beliau bersabda kepada delegasi Ghathfan: "Pergilah kalian, karena kami tidak akan memberi makan kalian, selain dengan pedang ini."
Semuanya ini menunjukkan, bahwa diperbolehkan mengadakan perjanjian darurat dengan orang kafir, untuk memberikan kekayaan negara kepada mereka, ketika takut terjadi ancaman yang lebih jelek akan menimpa kaum muslimin. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum asalnya, dalam kondisi darurat.
Sehingga setiap hukum yang diturunkan itu menjadi wajib hukumnya diterapkan dan dilaksanakan, begitu ayat tentang hukum itu turun, apapun bentuk hukumnya. Sampai kemudian Allah SWT. menyempurnakan agama ini. Lalu turunlah ayat:
"Hari ini, telah Aku sempurnakan bagi kalian, agama kalian. Dan Aku cukupkan untuk kalian nikmat-Ku, serta Aku ridlai Islam sebagai agama kalian." (Q.S. Al Maidah: 3)
Setelah turunnya ayat ini, maka kaum muslimin diserukan dengan seruan secara menyeluruh agar menerapkan dan melaksanakan seluruh hukum Islam secara total. Baik hukum yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak ataupun mu'amalah. Serta hukum yang menyangkut masalah mu'amalah antara sebagian kaum muslimin dengan sebagian yang lain, atau antara mereka dengan penguasa yang memerintah mereka, atau antara mereka dengan bangsa, umat serta negara-negara lain. Baik hukum yang menyangkut aspek pemerintahan, ekonomi, masyarakat, ataupun politik luar negeri dalam keadaan damai dan perang. Allah SWT. berfirman:
"Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul, maka ambillah. Sedangkan apa yang dilarangnya, maka hindarilah. Bertakwalah kalian kepada Allah, karena Allah Maha keras siksa-Nya." (Q.S. Al Hasyr: 7)
Maksudnya, ambillah dan laksanakanlah semua yang dibawa oleh Rasul. Hindarilah dan jauhilah semua yang dia larang untuk kalian lakukan. Sebab kata "Ma" di dalam ayat tersebut merupakan bentuk umum. Sehingga, ayat tersebut mencakup kewajiban untuk melaksanakan seluruh kewajiban serta wajib menghindari dan menjauhi seluruh larangan.
Perintah untuk mengambil dan menghindari di dalam ayat itu adalah perintah yang bersifat tegas, karena itu perintah tersebut maknanya adalah wajib. Dengan adanya indikasi (qarinah) yang ada di penghujung ayat itu, yang berupa perintah bertakwa serta (ancaman) adzab yang pedih bagi siapa saja yang tidak mau mengambil semua yang disampaikan oleh Rasulullah saw serta tidak mau menghindari larangan yang dicegah oleh beliau. Allah SWT. berfirman:
"Dan hendaknya engkau menghukumi di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan. Dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Hati-hatilah engkau terhadap mereka, karena mereka ingin menyesatkanmu dari sebagian yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu." (Q.S. Al Maidah: 49)
Ini merupakan perintah yang tegas dari Allah SWT. kepada Rasul-Nya serta para penguasa muslim sepeninggal beliau, tentang wajibnya memberlakuakn semua hukum yang telah diturunkan oleh Allah. Baik berupa suatu perintah maupun larangan. Karena kata "Ma" yang ada dalam ayat tersebut berbentuk umum, sehingga mencakup seluruh hukum yang telah diturunkan.
Allah SWT. telah melarang Rasul-Nya serta para penguasa muslim sepeninggal beliau, mengikuti kemauan orang-orang dan tunduk pada keinginan mereka, dengan berfirman:
"Dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti kemauan (hawa nafsu) mereka." (Q.S. Al Maidah: 49)
Sebagaimana Allah SWT. telah mengingatkan Rasul-Nya serta para penguasa muslim sepeninggal beliau itu terhadap orang-orang yang ingin memalingkannya sehingga tidak menerapkan sebagian hukum yang telah diturunkan Allah. Sebaliknya, Allah mewajibkanmereka agar menerapkan semua hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT. kepadanya. Baik yang berbentuk suatu perintah maupun larangan, tanpa memperhatikan kemauan orang. Dimana Allah SWT. berfirman:
"Hati-hatilah engkau terhadap mereka, karena mereka ingin menyesatkanmu dari sebagian yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu." (Q.S. Al Maidah: 49)
"Siapa saja yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Q.S. Al Maidah: 44)
"..maka mereka adalah orang-orang dlalim." (Q.S. Al Maidah: 45)
"..maka mereka adalah orang-orang fasik." (Q.S. Al Maidah: 47)
Di dalam ketiga ayat tersebut, Allah SWT. menjatuhkan vonis kepada siapa saja yang tidak berhukum kepada semua hukum yang telah diturunkan oleh Allah, baik dalam bentuk perintah muapun larangan, maka dia adalah kafir, dlalim dan fasik. Karena kata "Ma" dalam ketiga ayat itu berbentuk umum, maka ia mencakup semua hukum syara' yang telah diturunkan oleh Allah, baik yang berbentuk perintah maupun larangan.
Semua uraian yang telah dijelaskan di atas secara tegas dan tidak ada sedikit pun kekaburan, menyatakan bahwa seluruh kaum muslimin, baik sebagai pribadi, jama'ah maupun negara, hukumnya wajib menerapkan semua hukum Islam secara menyeluruh. Sebagaimana tuntutan Allah SWT. untuk menerapkannya, tanpa menangguhkannya, menunda-nunda, ataupun dengan cara bertahap. Uraian di atas juga menjelaskan bahwa tidak ada satu alasan pun, baik bagi individu, jama'ah maupun negara, untuk tidak menerapkannya.
Sedangkan tentang penerapan hukum itu, wajib dilaksanakan secara menyeluruh, total, dan sekaligus, bukan dengan cara bertahap. Karena itu, penerapan dengan cara bertahap itu jelas bertentangan dengan hukum-hukum Islam itu sendiri. Bahkan hal itu telah menjadikan orang yang menerapkannya --telah menerapkan sebagian hukum-hukum dan meninggalkan sebagian yang lain-- berdosa di sisi Allah, baik sebagai pribadi, jama'ah maupun negara.
Karena yang wajib hukumnya itu wajib dan statusnya tetap wajib (tidak akan pernah berubah) serta wajib dilaksanakan; sedangkan yang haram hukumnya haram dan statusnya tetap haram serta wajib dijauhi. Rasulullah saw. pernah menolak delegasi dari Bani Tsaqif, ketika delegasi tersebut meminta kepada beliau agar beliau membiarkan berhala mereka Latta dan Uzza selama tiga tahun serta mentolelir mereka dari kewajiban shalat ketika mereka masuk Islam. Maka, permintaan mereka itu tidak diterima oleh Rasul, bahkan beliau tidak menghiraukannya. Lalu beliau tetap menghancurkan berhala tersebut tanpa menunda-nunda serta memaksa mereka agar mau melaksanakan shalat tanpa menunggu-nunggu lagi.
Allah SWT. telah mengklaim penguasa yang tidak menerapkan semua hukum Islam atau hanya menerapkan sebagian saja, sedangkan yang lain ditinggalkan, sebagai orang kafir. Apabila dia tidak yakin bahwa Islam masih relevan untuk diterapkan, atau tidak yakin terhadap relevansi sebagian hukum yang telah ditinggalkan. Dan Allah hanya mengklaimnya sebagai orang dzalim dan fasik, apabila dia tidak menerapkan semua hukum Islam, atau tidak menerapkan sebagian hukumnya, namun dia tetap yakin terhadap relevansi ajaran Islam untuk diterapkan (dalam kehidupan).
Rasulullah saw. telah mewajibkan memerangi penguasa, serta menghunus pedang di hadapan penguasa itu, apabila telah nampak kekufuran yang nyata. Diamna kekufuran itu bisa kita buktikan di sisi Allah. Yaitu, apabila penguasa itu menghukumi dengan hukum-hukum kufur, yang tidak ada lagi sedikitpun kesamaran bahwa hukum-hukum itu jelas merupakan hukum kufur. Baik hukum itu sedikit muapun banyak. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits Ubadah Bin Shamit, yang mengatakan:
"... dan hendaknya kita tidak mencabut urusan ini dari pemiliknya, kecuali apabila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata. Dimana kalian mempunyai bukti di hadapan Allah."
Sehingga dalam penerapan hukum-hukum syara' itu tidak boleh main-main serta bertahap. Karena tidak ada bedanya, antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lain, begitu pula antara keharaman yang satu dengan keharaman yang lain, serta antara hukum yang satu dengan hukum yang lain. Sebab, semua hukum Allah itu semuanya sama, yang wajib diterapkan dan dilaksanakan. Tanpa ditunda-tunda, menunggu-nunggu atau bertahap. Sebab apabila tidak, kita akan terkena firman Allah SWT. yang menyatakan:
"Apakah kalian akan beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkufuri sebagian isi yang lain. Maka, tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal itu, selain kehinaan dalam kehidupan di dunia, serta pada hari kiamat nanti akan diseret ke dalam adzab yang sangat pedih." (Q.S. Al Baqarah: 85)
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi negara yang ada di dunia Islam untuk tidak menerapkan Islam. Dengan alasan belum mampu untuk menerapkannya atau kondisinya belum pas untuk diterapkan hukum Islam atau karena alasan opini umum dunia tidak menerima penerapan hukum Islam, ataupun karena negera-negera besar tidak memberi kesempatan kepada kita untuk menerapkannya, atau alasan-alasan dan argumentasi-argumentasi lemah lainnya, yang tidak ada nilainya sama sekali. Siapa saja yang beralasan dengan alasan-alasan itu, maka Allah SWT. sama sekali tidak akan menerimanya.
Hukum Keadaan Dharurat
Sekalipun menerapkan Islam secara menyeluruh bagi individu dalam urusan-urusan yang menjadi tanggungjawab individu, serta bagi negara dalam urusan-urusan yang menjadi tanggungjawab negara itu hukumnya adalah wajib. Akan tetapi, ada keadaan-keadaan darurat yang diperbolehkan oleh Allah SWT., baik bagi individu maupun bagi negara, untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan hukum asalnya.
Dan Allah SWT. telah membolehkan bagi orang yang mengalami keadaan darurat --yang tidak menemukan sesuatu untuk mempertahankan hidupnya-- makan makanan yang diharamkan sekedar untuk bisa bertahan hidup. Allah juga telah membolehkan bagi orang itu untuk makan daging bangkai, babi ataupun makanan-makanan yang diharamkan lainnya. Termasuk diperbolehkan untuk mengambil harta orang lain, sekalipun dengan cara merampas (ghashab) atau mecuri, untuk mempertahankan hidupnya.
Allah SWT. berfirman:
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." (Q.S. Al Baqarah: 173)
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas.." (Q.S. Al Maidah: 3)
"Maka barangsiapa yang terpaksa, karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al Maidah: 3)
Sebagaimana Allah membolehkan bagi negara dalam beberapa keadaan darurat itu, untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hukum asal yang telah diturunkan oleh Allah.
Semisal, ketika negara harus membayarkan pendapatan negaranya kepada musuh, pada saat negara dalam keadaan lemah, serta takut dihancurkan oleh musuh, sementara negara tidak mampu untuk melawannya. Atau apabila negara dalam keadaan perang, lalu melihat musuh jumlahnya sangat jauh melampaui jumlah pasukannya. Kemudian negara itu takut kalah dan tidak mampu bertahan serta mengalahkannya.
Kejadian semacam ini seperti yang terjadi pada saat perang Khandaq. Ketika Rasulullah saw. melihat ancaman besar yang akan ditemukan oleh kaum muslimin. Dan terlintas adanya bahaya, ketika orang-orang musyrik mengepung parit dari segala arah, ditambah adanya pengingkaran Yahudi terhadap perjanjian mereka, serta setelah kaum muslimin hatinya down, sebagaimana yang digambarkan Allah SWT.:
"Di situlah orang-orang mukmin diuji dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang hebat." (Q.S. Al Ahzab: 11)
Ketika itu, Rasulullah saw. mengutus utusan kepada pemimpin-pemimpin Ghathfan agar mereka menarik orang-orang mereka, dengan memberikan sepertiga hasil panen tanah Madinah kepada mereka. Namun, mereka tetap tidak mau mundur kecuali kalau separonya. Maka, ketika utusan mereka tiba untuk mencatat kesepakatan tersebut, Rasulullah saw. mengutus dua pimpinan Anshar, yaitu Sa'ad Bin Muadz dan Sa'ad Bin Ubadah untuk bermusyawarah dengan mereka. Kemudian kedua utusan Rasul itu bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, apabila ini merupakan wahyu, maka lanjutkanlah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Namun, apabila ini merupakan pendapat yang engkau sampaikan kepada kami, maka ketika kami dan mereka masih sama-sama jahiliyah, kami dan mereka tidak memiliki hutang. Dimana mereka tidak pernah makan dari hasil panen tanah Madinah selain dengan membeli atau barter. Maka, (mengapa) ketika Allah memulyakan kami dengan Islam, serta mengutus utusan-Nya kepada kami, kami harus memberi mereka dengan kehinaan ini. Sungguh, kami tidak akan memberikan kepada mereka selain pedang." Kemudian beliau bersabda:
"Aku melihat orang-orang Arab itu telah siap menyerang kalian dengan busur (yang mengarah) ke satu arah (ke arah kaum muslimin). Karena itu, aku lebih suka mengalihkan perhatian mereka. Apabila kalian mengabaikannya, niscaya kalian dan mereka (akan berperang)." Ketika itu beliau bersabda kepada delegasi Ghathfan: "Pergilah kalian, karena kami tidak akan memberi makan kalian, selain dengan pedang ini."
Semuanya ini menunjukkan, bahwa diperbolehkan mengadakan perjanjian darurat dengan orang kafir, untuk memberikan kekayaan negara kepada mereka, ketika takut terjadi ancaman yang lebih jelek akan menimpa kaum muslimin. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum asalnya, dalam kondisi darurat.
paman tat- SERSAN MAYOR
-
Posts : 369
Kepercayaan : Islam
Location : hongkong
Join date : 05.07.13
Reputation : 15
Similar topics
» Sudahkah Saya Ber “ISLAM KAFFAH”?
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
» mengemis bukanlah tradisi islam, tetapi kebanyakan pengemis beragama islam
» Kapan Islam ini akan damai kalau msh menjustifikasi2 antara pemeluk islam
» Ingin Buktikan Islam Salah, Aktris Inggris Justru Masuk Islam
» Islampos, Media Islam Generasi Baru Hadir ke Tengah Umat Islam
» mengemis bukanlah tradisi islam, tetapi kebanyakan pengemis beragama islam
» Kapan Islam ini akan damai kalau msh menjustifikasi2 antara pemeluk islam
Halaman 1 dari 1
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik