FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

larangan menikah tanpa wali Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

larangan menikah tanpa wali Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

larangan menikah tanpa wali

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

larangan menikah tanpa wali Empty larangan menikah tanpa wali

Post by darussalam Sat Dec 17, 2011 11:11 am

Salah satu
fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan
pintas’ dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua
orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia
lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada
para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya,
seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.



Ini
tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan
solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi
sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.



Tidak luput
pula dalam hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan
mengamini tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan
adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah
kaum Muslimin.
Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang konfrehensif dan
serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran
agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah (untuk tidak
mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan mentolerir
pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu seperti tradisi
‘kawin lari’. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara misalnya, menyelipkan
sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan kedua mempelai yang telah
melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa wali yang shah- menganggap
sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya sekembalinya dari melakukan
pernikahan ala tersebut.



Sebagai
dimaklumi, bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan
syari’at Islam.
Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi
polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu
mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa’at bagi
kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk
selanjutnya kembali ke jalan yang benar.



Naskah
Hadits



1. عَنْ أَبِي بُرْدَةَ, عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ
أَبِيْهِ -رضي الله عنهما- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" لاَ نِكَاحَ إِلاّ بِوَلِيٍّ ."


Dari Abu
Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu 'anhuma-, dia berkata,
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan
kecuali dengan wali.”



2. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْن مَرْفُوْعًا:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ


Dari ‘Imran
bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang
wali dan dua orang saksi.”



3. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا
اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ
مَنْ لاَ وَلِيَِّ لَهُ. "


Dan dari
‘Aisyah radliyallâhu 'anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa
Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka
pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka
dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan
jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,)
adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”



Takhrij
Hadits Secara Global



Hadits
pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits,
pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn
Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy
serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal
(terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in,
seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).



Hadits
kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari
‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah
Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban,
ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga
dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy,
adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy.
Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam
al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn
Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga
isteri Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.”
Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.



Syaikh
al-Albaniy berkata, “Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas
Shahîh sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih
oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi
matan (Tâbi’) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang
kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk
menerimanya.”



Sedangkan
hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut
dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah,
ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang
banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari
‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan)
tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.



Hadits ini
dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata,
“Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan
Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits
ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa
terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan
membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits
ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”



Beberapa
Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut



1.
Keberadaan
wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu
pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah. Ini adalah
pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), “Tidak
(shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut
hadits Mutawatir.” Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber.
Sedangkan hadits ‘Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali
menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya),
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil
(tiga kali).”



2.
‘Aqad
nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa
manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang
seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek
pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir
panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan
‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu,
adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan
juga pendapat Jumhur ulama.



3.
Seorang
wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui
manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah
perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini,
maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.



4.
Wali
adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita;
sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama
wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut
adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke
bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya,
kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di
dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya
persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan
kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang
ditimbulkannya.



5.
Bila
seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali
yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para
ulama:
Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafsûkh (batal).
Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan
lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh
(membatalkan) nya.
Sebab Timbulnya Perbedaan
Sebab timbulnya perbedaan tersebut adalah:
“Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu pernikahan merupakan
Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan Allah sehingga
pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh
(dibatalkan)”,
Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak yang dilimpahkan
kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana bilamana mendapatkan
persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan (mengizinkan), maka boleh
hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka pernikahan itu batal (fasakh).”



6.
Perbedaan
Para Ulama
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa adanya seorang wali merupakan
syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya
Tiga Imam Madzhab.
Sementara Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah
merupakan syarat.
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun
masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
Diantara dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan
jual beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan
dan menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak
untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah
Qiyâs Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga
faktor:
Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga
menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal yang
diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah merupakan
hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap
konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang
dilakukan dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
Ketiga, bahwa akad terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi
seluruh keluarga, bukan hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya
ikut andil di dalam proses persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.

Dalam hal ini, Abu Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:
Pertama, Terkadang beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang
menurutnya terdapat cacat, yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada
Sulaiman bin Musa, “Saya tidak mengenal hadits ini.”
Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di dalam teks hadits tersebut
dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil Buthlân wa mashîruhu ilaihi.”
(Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan berakibat seperti itu).
Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan wanita (Mar`ah)
di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang gila atau masih kecil (di
bawah umur)…
Dan bantahan-bantahan lainnya yang tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama
juga menanggapinya satu per-satu.

Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut

Terhadap Bantahan Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak
jalur yang berasal dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan
seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy
tersebut.
Terhadap Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari
sasaran.
Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu amat
jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.

Dalil-Dalil Pensyaratan Wali

Diantara dalilnya adalah hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:
a. ‘Aliy al-Madiniy berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh
oleh al-Baihaqiy dan para Huffâzh .”
Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah Tsiqât.”
b. Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan bersumber dari 30
orang shahabat.
c. Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan hadits Mutawatir.”
Dalil lainnya:
- Bagi siapa yang merenungi kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan
padanya seperti perhatian serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak
negatif dari pergaulan suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah
(kesetaraan), pendeknya pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta
mudahnya ia tergiur oleh penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui
kegigihan para walinya dan keinginan mereka untuk membahagiakannya serta
pandangan kaum lelaki yang biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi
hal itu semua, maka tahulah kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali
itu.



7.
Manakala
kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak), lalu jika
ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai dengan
syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun thalaq/cerai
oleh sang suami.
Sebab, pernikahan yang diperselisihkan hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau
Thalaq, berbeda dengan pernikahan Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.

Perbedaan Antara Pernikahan Bâthil Dan Fâsid

- Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama telah bersepakat hukumnya tidak
shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi suami yang sudah memiliki
empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita kandung dari isteri
(padahal saudaranya itu masih shah sebagai isteri)…Pernikahan seperti ini semua
disepakati oleh para ulama kebatilannya sehingga tidak perlu proses Fasakh.
- Sedangkan pernikahan Fâsid adalah pernikahan yang diperselisihkan oleh para
ulama mengenai shah nya seperti pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ;
Ini semua harus melalui proses Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses
Thalaq oleh sang suami.



8.
Bila
seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid, maka dia
berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad nikah,
tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut
(dihalalkan farjinya).



9.
Bila
seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan budak
wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang bertindak
menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya, sebab
Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki wali.



10.
Perselisihan
Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama:
1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya
berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang adil secara zhahirnya, sebab
hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian yang memerlukan sudut pandang)
sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali yang fasiq.
2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu bukan merupakan
syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh hukumnya
karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga
perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal
dari Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn
Qudamah), pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan
Ibn al-Qayyim. Sedangkan dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’diy.
Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih dan yang banyak
diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut sekalipun
kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan, berdasarkan
pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”



Rujukan
- CD
al-Mawsû’ah al-Hadîtsiyyah
- Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, Tawdlîh al-Ahkâm, (Mekkah: Maktabah wa
mathba’ah an-Nahdlah al-Haditsah, 1414 H), Cet. 2
- ath-Thahhân, Mahmud, Taysîr Mushtholah al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah
al-Ma’arif, 1417 H), Cet.IX
darussalam
darussalam
Co-Administrator
Co-Administrator

Male
Posts : 411
Kepercayaan : Islam
Location : Brunei Darussalam
Join date : 25.11.11
Reputation : 10

Kembali Ke Atas Go down

larangan menikah tanpa wali Empty Re: larangan menikah tanpa wali

Post by frontline defender Sat Dec 17, 2011 6:24 pm

hanya melengkapi saja, siapa tahu ada pertanyaan soal :
dari : http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=janda%20menikah%20tanpa%20wali&source=web&cd=1&sqi=2&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fabiubaidah.com%2Fnikah-tanpa-wali-bolehkah.html%2F&ei=M3jsTqmRIs7nrAeJhMC5Aw&usg=AFQjCNEDYC2PiVwXVHhi2ANjsnyDdzAk-w&cad=rja

Maksud hadits ini bukan berarti wanita janda boleh menikah tanpa wali, tetapi maksudnya adalah bahwa wanita janda itu tidak boleh dinikahkan sehingga dia diajak musyawarah dan dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas mungkin, tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali saja. Hal ini sangat jelas sekali apabila kita mengamati hadits ini secara lebih sempurna:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ : الأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوْتُهَا

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bersabda: “Wanita janda itu lebih berhak tentang dirinya daripada walinya, dan wanita gadis dimintai izin, dan izinnya adalah diamnya”.

Hadits ini selaras dengan hadits-hadits lainnnya seperti:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : لاَ تُنْكَحُ الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Wanita janda tidak dinikahkah sehingga diajak musyawarah, dan anak gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izin”. Mereka bertanya: Wahai rasulullah! Bagaimana izinnya? Dia menjawab: “Diamnya”.

Jadi nampak jelaslah bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan keridhaan wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.
[b]
frontline defender
frontline defender
MAYOR
MAYOR

Posts : 6462
Kepercayaan : Islam
Join date : 17.11.11
Reputation : 137

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik