FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

sistem sosial islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI


Join the forum, it's quick and easy

FORUM LASKAR ISLAM
welcome
Saat ini anda mengakses forum Laskar Islam sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh turut berdiskusi yang hanya diperuntukkan bagi member LI. Silahkan REGISTER dan langsung LOG IN untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai member.

sistem sosial islam Follow_me
@laskarislamcom

Terima Kasih
Salam Admin LI
FORUM LASKAR ISLAM
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

sistem sosial islam

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Go down

sistem sosial islam Empty sistem sosial islam

Post by Segoroasin Wed Dec 14, 2011 7:37 am

I. UNIVERSALITAS ISLAM

Keuniversalan Islam sungguh sangat mengagumkan karena seluruh aspek kehidupan yang sekecil-kecilnya terbahas dan terselesaikan dengan risalah Islam. Islam merupakan agama yang bernuansa religius sekaligus ideologis. Nuansa religius berarti bahwa Islam itu mencakup nilai-nilai kebenaran berdasarkan wahyu antara hamba dan Kholiqnya, antara hamba dengan hamba yang lain, dan antara hamba dengan dirinya sendiri. Nuansa ideologis berarti bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang membahas aspek-aspek politik, ekonomi, hubungan sosial, dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 89 :

"...dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu...."

Keuniversalan Islam tidak hanya mencakup ajarannya, namun juga mencakup bangsa-bangsa dan umat manusia secara keseluruhan. Islam tidak hanya untuk Indonesia, Yordan, dan negara-negara tertentu, namun untuk rahmatan lil'alamin. Allah berfirman dalam surat Al Anbiya' : 107

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam."

Allah berfirman dalam QS. Al-A’rof : 158,

"Katakanlah : hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua..."

Dalam masalah ini, Asy Syahid Hasan Al Banna berkata, "Sesungguhnya risalah Islam meliputi seluruh zaman, umat / bangsa, dan aspek-aspek kehidupan yang bernuansa religius atau ideologis. (1)

Demikian juga Islam membahas problem-problem yang timbul dari hubungan antara laki-laki dan wanita sekaligus menyelesaikan problem-problem itu secara benar jika manusia mengetahuinya. Oleh karena itu, ketika kita sudah memasuki Al Islam maka kita harus iltizam (terikat) dengan segala sesuatu yang ditetapkan oleh syara' dan janganlah kita berperilaku seperti orang-orang kafir yang hanya mengambil sebagian yang cocok dan membuang sebagian yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah : 85

"...apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat"



II. HUBUNGAN LAKI-LAKI DAN WANITA DALAM PERSPEKTIF SYARA'

Islam memandang bahwa laki-laki dan wanita sebagai manusia yang terkena beban syara' (kewajiban-kewajiban yang bersifat religius atau idiologis). Dalam hal ini Allah menciptakan naluri-naluri dan kebutuhan jasmani (Ghoroiz dan Hajatul Udhwiyyah) pada manusia. Khitob (seruan) syara' tidak hanya ditujukan pada wanita dan tidak pula pada laki-laki saja, namun ditujukan kepada keduanya ditinjau dari sisi bahwa mereka adalah manusia. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah : 184,

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Allah berfirman,

"...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah..." (QS Ali Imron : 97)

Allah berfirman dalam QS Al Isra' : 78,

"Dirikanlah dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam..."

Islam memandang hubungan (shilah) antara laki dan wanita dilandasi dengan prinsip tolong-menolong (shilah ta'aawun) karena hanya dengan prinsip itu akan melahirkan kebaikan dalam masyarakat yang menjalankan hukum syara'. Seperti : berhaji atau berzakat yang di dalamnya harus ada hubungan antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan kebaikan dari haji dan zakat tersebut. Allah berfirman dalam surat Al Maidah : 2,

"...dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran...."

Dalam kaitan dengan pemenuhan naluri-naluri, Islam memiliki prinsip hubungan antara laki-laki dan wanita dengan prinsip shilah zaujiyah yaitu suatu prinsip yang bertujuan untuk meneruskan keturunan yang baik dari sebuah pernikahan, meskipun dengan tidak menafikan kenikmatan seksual dari pernikahan itu, karena hal itu bukan tujuan utama.

Ayat-ayat yang berbicara tentang hubungan laki-laki dan wanita dalam masalah pemenuhan naluri seksual yang dilandasi prinsip shilah zaujiyah adalah :

1. Surat An Nisa' : 1

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak."

2. Surat An Nahl: 72

"Allah menjadikan bagi kamu istri-istri kamu itu, anak-anak, dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik."

3. Surat Ar Rum: 21

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang."

Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan barat yang mendasari hubungan antara laki-laki dan wanita dengan prinsip seksual (shilah jinsiyah) belaka.

Contoh kongkritnya adalah :

1. Iklim produksi mereka selalu menggunakan wanita sebagai daya tarik (aksesoris) bagi konsumen.

2. Pakaian wanita yang memamerkan keindahan liku-liku tubuhnya.

3. Wanita sebagai barter politik seperti banyak skandal yang melibatkan penguasa politik di negara-negara yang sedang berkembang maupun negara industri. Simpulannya, bahwa wanita adalah lahan exploitir yang menguntungkan.

Dari sinilah akhirnya timbul gerakan feminisme yaitu gerakan yang berangkat dari asumsi bahwa wanita itu ditindas dan diekploitasi (2). Jadi, konsep feminisme ini lahir dari prinsip hubungan laki-laki dan wanita yang dianut oleh barat itu sendiri dan Islam menentang keras prinsip-prinsip tersebut. Artinya, Islam tidak mengenal konsep feminisme karena Islam tidak memberi peluang untuk mengeksploitasi wanita.

Rasulullah bersabda,

"Sesungguhnya wanita adalah partner laki-laki” (HR. Abu Dawud dan Nasa’iy).



2.1. HUKUM DALAM KEHIDUPAN UMUM

Di dalam kehidupan umum, Islam memperbolehkan hubungan antara laki-laki dan wanita dengan dilandasi prinsip ta'awun dan zaujiyah. Hal ini karena secara alami laki-laki membutuhkan wanita. Demikian pula sebaliknya, seperti dalam aktivitas kehidupan manusia seperti : mu'amalat, munakahat, dakwah, dan lain-lain. Hanya saja, Islam memberikan batasan/aturan hubungan antara laki-laki dan wanita agar kehidupan manusia bisa bahagia untuk mencapai ridho Allah.

Adapun aturan-aturan Islam dalam kaitannya dengan hubungan antara laki-laki dengan wanita dalam kehidupan umum adalah sebagai berikut :



A. LAKI-LAKI DAN WANITA DIPERINTAHKAN UNTUK MENAHAN PANDANGANNYA

Allah berfirman dalam surat An Nur : 30-31,

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."

Yang dimaksud dengan menahan pandangan adalah menahan sebagian, bukan menahan secara mutlak. Indikasi (Qorinah) -nya adalah makna al ghodhdhu [_________] adalah [_________] yaitu merendahkan ([1]). Makna min [____] adalah littab'idh [__________] bermakna sebagian. Dan, indikasi ini dikuatkan dengan ayat setelahnya yang menjelaskan maharim boleh melihat aurot wanita. Jadi, dari ayat ini kita bisa mendapatkan kesimpulannya bahwa memandang wanita harus dengan direndahkan, dan tidak menahan secara mutlak.

Ada saat-saat tertentu laki-laki diperbolehkan memandang wanita, misalnya pada saat jual beli, dakwah, belajar, khotbah. Itu pun terbatas pada wajah dan telapak tangan (termasuk punggung tangan) wanita itu dengan tidak dilandasi sahwat dan kelezatan ketika memandang. Jadi, kalau kita bermu'amalah dengan lawan jenis kemudian ada rasa senang/sahwat ketika memandangnya, maka pandangan seperti ini harus kita palingkan pada yang lain karena pandangan ini yang diharamkan oleh Allah ([2]).

Memandang wanita yang diperbolehkan oleh syara' tanpa sahwat dan ladzdzah, di antaranya adalah :

Ø Memandang Wanita pada Wajah dan Tangan Ketika Mengkhitbah (Melamar)

Pandangan pada saat seperti ini sangat dianjurkan oleh syara' berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdil lah bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Jika seorang dari kalian akan melamar seorang wanita jika mampu melihat sesuai yang dibutuhkan untuk nikah, maka lakukanlah! . ([3])

Sekalipun melihat wanita pada saat berkhitbah diperbolehkan namun tidak boleh sampai berkhalwat (bersepi-sepi) berdasarkan hadits Nabi,

"Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka tidak berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai muhrimnya, bahwa yang ketiganya adalah setan."

Ø Dokter / Perawat Memandang Pasiennya

Dalam hal ini, mereka boleh memandang sesuai dengan kebutuhannya karena hal itu diperbolehkan untuk mendiagnosa penyakitnya. Termasuk pula, hakim yang memeriksa tersangka. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berkaitan dengan peristiwa Hathib bin Abu Balta'ah yang mengirim mata-mata seorang wanita ke Mekkah untuk mengabarkan pada keluarganya agar bersiap-siap untuk menghadapi peperangan yang akan dilakukan oleh Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam. Namun, hal itu diketahui oleh Rasulullah dan beliau mengutus Ali ra, Zubair, dan Al Miqdad bin Al Aswad untuk mengambil surat dari mata-mata wanita tersebut.

"Maka kami berkata, "Keluarkan surat itu!". Berkata wanita itu, "Surat tidak ada padaku". Maka kami berkata, "Keluarkan surat itu atau saya lepas bajumu". Maka wanita tersebut mengeluarkan surat itu dari gelungan rambutnya." (Al Hadits)

Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

Dari Usman ra bahwa seorang anak yang mencuri dihadirkan padanya. Maka Usman berkata, "Lihatlah di baju (celananya)." Maka mereka menemukan barang curiannya, sedang rambut belum tumbuh dan kelaminnya belum dikhitan.

Dari sini boleh memandang aurot yang dibutuhkan selama tidak sahwat dan ladzdzah karena hanya sekadar untuk memeriksa dan mendiagnosa dan tidak berkhalwat, artinya tidak berduaan saja dengan dokter / hakimnya ([4]).

Ø Jual Beli, Dakwah, Proses Belajar Mengajar

Syara' membolehkan memandang pada aktivitas tersebut hanya pada wajah dan telapak tangan sampai pergelangan dengan tidak bersahwat dan berladzdzah. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke rumah Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis maka Rasulullah berpaling seraya bersabda,

"Wahai Asma, sesungguhnya seorang wanita yang sudah baligh, maka tidak pantas dilihat tubuhnya kecuali ini dan ini dengan menunjuk wajah dan telapak tangan (sampai pergelangan)." (HR Abu Dawud)

Allah berfirman dalam surat An Nur ayat 31,

"... dan wanita-wanita jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak diperhiasan itu."

Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "apa yang biasa nampak" adalah wajah dan tangan ([5]). Demikian juga diamnya Rasulullah ketika 'Aisyah memandang Habasy bermain (akrobat). Jadi, hukum memandang dan berbicara dalam aktivitas yang diperbolehkan oleh syara' (dakwah, belajar, mu'amalah dan lain-lain) terbatas pada wajah dan telapak tangan dengan tidak bersahwat adalah hukumnya Mubah . Namun, jika bersahwat maka kita harus memalingkan pandangan kita. Hal ini didasarkan pada riwayat Ali ra bahwasannya Rasulullah berkata padanya,

"Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan yang berikutnya karena yang pertama untukmu dan yang lain bukan untukmu."

Pengulangan pandangan ini disebabkan oleh sahwat dan ladzdzah (kenikmatan dari pandangan itu ). Untuk masalah belajar, didasarkan pada riwayat Imam Bukhori dari Abi Said Al Khudry bahwa para wanita pernah memohon kepada Rasulullah untuk belajar secara khusus, dan Rasulullah mengabulkannya.

"Kami telah dikalahkan (kesempatan belajar) oleh kaum laki-laki. Untuk itu, berilah kami kesempatan belajar di suatu hari (secara khusus) ([6])



Hukum Pacaran

Definisi pacaran banyak dan simpang siur. Setelah diteliti, bahwa yang dinamakan pacaran tidak terlepas dari empat proses, yaitu pandangan (sahwat dan ladzdzah), senyum, rabaan / salaman / ciuman, dan berduaan / kholwat. Padahal, Allah berfirman dalam surat Al Isra' ayat 32,

"Janganlah kalian mendekati zina ...."

Yang dilarang dalam hal ini adalah mendekati zina. Kalau mendekati zina saja dilarang apalagi zinanya (mafhum mukholafah). Empat proses pacaran tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang mendekati zina. Oleh karena itu, berdasarkan pemahaman Surat Al Isra' tersebut dapat diambil simpulan bahwa pacaran itu haram hukumnya!



B. WANITA DIPERINTAHKAN MENUTUP AURAT

Allah berfirman dalam surat An Nur : 31,

"... dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan, hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya...."

Dalam surat Al Ahzab ayat 59 Allah berfirman,

"Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka...."

Dari ayat tersebut, wanita diperintahkan untuk memakai jilbab (pakaian bawah) dan memakai kerudung / khimar (pakaian atas).



Makna Jilbab (pakaian bawah)

Memang, kalau diteliti dengan menggunakan nash-nash, baik dalam Al Qur'an maupun Al Hadits banyak sekali lafadz yang bersifat mustarak, yaitu lafadz yang memiliki makna lebih dari satu. Ada juga lafadz yang memiliki makna yang secara hakiki sama tapi konteks lafadz itu tidak sama. Dengan kata lain, secara normatif lafadz itu memiliki makna sama dan memiliki keseragaman nilai / aturan, dan secara konstekstual memiliki keberagaman bentuk. Jilbab misalnya, para ulama baik ahli bahasa maupun ahli tafsir memiliki persepsi yang berbeda tentang bentuk jilbab (kontesktual). Namun, mereka semua sepakat bahwa jilbab harus menutup seluruh aurot wanita (makna normatif).

Makna Jilbab secara Bahasa

1. Dalam kamus Al Munjid, jilbab adalah [________] yang berarti pakaian yang luas.

2. Dalam Kitab Al Mufradat karya Raghib Ishfahany, jilbab adalah pakaian dan kerudung.

3. Mu'jamul Wasith, jilbab adalah Qomis [_________] yaitu pakaian tipis yang dipakai di bawah mantel) atau pakaian yang meliputi seluruh tubuh wanita atau pakaian yang dipakai di atas pakaian pertama seperti mantel (Milhafah) (karya Ibrahim Anis dkk).

4. Lisanul arab, Jilbab adalah pakaian yang lebih luas dari khiwar (kerudung), bukan Arrida' (kemeja) yang menutup kepala wanita dan dadanya.

Makna jilbab menurut istilah para Ahli Tafsir

1. Berkata Ibnu al Jauzy tentang firman Allah,

"Wanita mengulurkan jilbab pada seluruh tubuhnya",

yaitu menutup kepala-kepala dan wajah mereka supaya diketahui bahwa mereka adalah orang-orang merdeka. Yang dimaksud dengan (jilbab) itu adalah pakaian ([7]).

2. Pendapat Abu Hayyan, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita([8]).

3. Dalam Tafsir Jalalain, jilbab adalah mantel yang meliputi seluruh tubuh wanita.

4. Tafsir Ibnu Katsir dalam Mukhtasharnya Ali Ash Shobuny, jilbab adalah pakaian yang menutupi khimaar (kerudung) ([9]).

5. Pendapat Dr Muhammad Mahmud al Hijazi, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh ([10]).

6. Pendapat Syeikh Taqiyyuddin An Nabhany, jilbab adalah mantel atau pakaian yang dipakai di atas pakaian yang lain yang diulurkan sampai kaki ([11]).

7. Ali Ashobuny dalam Kitab Tafsir Ayatil Ahkam mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita, seperti mantel pada zaman kita ([12]).



Makna Al-Khimaar (Pakaian Atas)

Makna Al-Khimaar berdasarkan An Nur : 31 adalah "mengulurkan penutup dari kepala sampai leher-leher mereka dan dada-dada mereka".

Dari sini, bisa kita simpulkan bahwa makna jilbab secara normatif adalam sama yaitu menutup aurat wanita (kecuali wajah dan telapak tangan). Sedang, dalam kaitannya dengan bentuk jilbab, mereka berselisih. Namun, masih bisa ditarik benang merah berdasarkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan, yaitu bahwa wanita dan bentuk jilbabnya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Jilbab harus diulurkan sampai seluruh kaki

Hal ini bisa dilakukan hanya dengan menggunakan kaos kaki. Jadi, jilbabnya diulurkan sampai mata kaki, dan selebihnya dengan kaos kaki. Hal ini diambil dari dilalah iltizam hadits yang diriwayat kan dari Ibnu Umar. Dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Bertanya Ummu Salamah: "Bagaimana dengan pakaian wanita? Rasulullah menjawab, "Diulurkan satu jengkel (dari tanah)". Ummu Salamah berkata, "Kalau begitu kaki mereka terlihat." Rasulullah bersabda, "Diulurkan satu hasta (1 hasta = dua jengkal berarti ditambah lagi satu jengkal) tidak ditambah lagi."

Dari hadits tersebut berarti pakaian itu menutup kaki. Dari sini pula bisa ditarik dilalah iltizam-nya bahwa yang terpenting adalah kakinya tertutup, dan itu bisa dengan kaos kaki. Dengan catatan, yang ditutup dengan kaos kaki itu dari mata kaki, bukan dengan memakai baju bawah selutut dan dari betis sampai ke bawah kemudian memakai kaos kaki.

2. Jilbab harus tidak tembus pandang (tipis) dan tidak membentuk tubuh wanita (ketat)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

"Dua kelompok ahli neraka yang saya tidak melihat keduaya adalah kaum yang membawa pecut seperti ekornya lembu yang dengan pecut itu mereka memukuli manusia dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak. Mereka tidak dapat mencium bau surga, padahal bau surga dapat tercium dari jarak yang cukup jauh.”

3. Tidak boleh berparfum yang berlebihan dengan niat supaya baunya bisa menarik laki-laki

Rasulullah bersabda:

"Sesungguhnya seorang wanita jika berparfum dan dia lewat di majelis maka dia seperti pelacur (yang suka mencari perhatian laki-laki)". (HR Ashabus Sunan)

4. Jilbab tidak boleh menimbulkan sahwat dan kelezatan laki-laki yang memandang, karena akan membuat langkah-langkah yang bisa menjerumuskan manusia pada sifat setan

Bukankah langkah-langkah setan harus kita jauhi? ([13]).

"Barangsiapa berpakaian (syahrah) yaitu memamerkan warna yang mencolok atau hal lain di dunia maka Allah akan memberikan pakaian yang hina pada hari kiamat." (HR Abu Dawud, An Nasai, dan Ibnu Majah)

Ibnu Katsir berkata : "Asy Syahrah adalah menampakkan sesuatu yaitu menampakkan warna pakaian yang berbeda dengan mereka pada manusia hingga membuat manusia ta'azzub padanya. Dan, yang memakainya menjadi sombong karena pakaian itu." ([14]).

Tidak diwajibkan atas wanita menutup wajah mereka. Memang, sejak lama telah terjadi perdebatan antar Ulama Mujtahidin tentang hijab yang menutup wajah kecuali matanya saja. Ada yang berpendapat bahwa wajibnya hijab menutup wajah kecuali mata adalah termasuk hukum syara'. Demikian pula yang berpendapat sebalikya termasuk hukum syara' juga.

Ulama-ulama Mujtahiddin yang mewajibkan hijab mengatakan bahwa aurat wanita dalam sholat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Adapun di luar sholat mereka berpendapat aurat wanita adalah seluruh

tubuh wanita, termasuk wajah dan telapak tangan. Istidhal mereka diambil dari Al Qur'an dan As Sunnah.

a. Al-Qur’an

Firman Allah dalam surat Al Ahzab : 53

"Jika kalian bertanya pada mereka (wanita) tentang sesuatu, maka bertanyalah dari belakang hijab."

Firman Allah dalam surat Al Ahzab : 59

"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak wanitamu dan isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."

Mereka berpendapat bahwa yang dimaksud :

adalah mengulurkan Jilbab ke seluruh tubuh wanita dan wajah agar mereka bisa diketahui dan dibedakan dari orang-orang jahiliyah. Mereka juga beristidhal dengan firman Allah dalam surat Al Ahzab : 33,

"Bahwa Allah tetap memerintahkan untuk tinggal di rumah mereka."

b. As-Sunnah

Diriwayatkan dari Ummu Salamah. Dia berkata, "Saya duduk bersama Rasulullah dan Hafsah, kemudian Ibnu Maktum minta ijin (untuk masuk), maka bersabda Rasulullah SAW,

"Berhijablah kalian dari dia. Maka, saya berkata; Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia buta. Maka, Rasulullah menjawab: Apakah kalian berdua buta dan tidak melihat dia...?" " (HR Abu Dawud)

Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud,

"Al Fadhol bin Abbas bersama Rasulullah, maka datanglah seorang wanita (Al Khosimiyah) ingin bertanya pada Rasulullah. Al Fadhal melihat dia, dan dia juga melihat Al Fadhal, maka Rasulullah memalingkan wajah Al fadhal dari wanita itu."

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, dia berkata,

"Saya bertanya pada Rasulullah tentang pandangan sesaat. Maka dia memerintahku untuk memalingkan pandangan tersebut".

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Ali ra, Rasulullah SAW berkata kepadaku,

"Jangan kamu mengikuti pandangan pertama ke pandangan kedua. Sesungguhnya yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu."

Dari hadits-hadits itu mereka berpendapat bahwa hijab penutup wajah dan telapak tangan wanita itu wajib. Namun, pendapat itu tidak bisa diterima oleh sebagian Ulama Mujtahidin yang lain. Mereka membantah pendapat tersebut dengan argumentasi berikut ini: Adapun ayat-ayat hijab yang mereka pergunakan (Al-Ahzab: 53) adalah ayat yang dikhususkan pada istri-istri Rasulullah Sollallohu Alaihi Wasallam baik dilihat dari sisi lafadz maupun makna ayatnya. Dan, ayat itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bunyi surat Al Ahzab: 33 selengkapnya adalah,

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat serta taatilah Allah dan rasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."

Jika kita melihat ayat itu secara utuh, kita bisa melihat bahwa ternyata ayat-ayat itu ditujukan hanya kepada istri-istri Rasulullah. Hal ini diperkuat oleh perkataan Umar tentang istri-istri nabi yang kemudian melatarbelakangi turunnya ayat hijab sebagaimana diriwayatkan oleh Shaikhoni (Bukhori dan Muslim),

"Saya (Umar bin Khattab) berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnnya istri-istrimu, atas mereka ada kebaikan dan keburukan. Maka, seandainya engkau menghijab mereka, maka Allah menurunkan Ayatul Hijab." ([15])

Adapun surat Al Ahzab : 33, juga termasuk khusus untuk istri-istri Rasulullah SAW. Hal ini bisa dili hat dari ayat selengkapnya.

Dari sini sudah jelas bahwa ayat tersebut khusus untuk istri-istri Nabi yang tidak sama dengan wanita-wanita muslim lainnya. Allah berfirman dalam surat Al Ahzab : 32

"Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain...."

Ini diperkuat oleh akhir ayat 33 dari surat Al Ahzab,

"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."

Jadi, jelas bahwa ayat hijab ini adalah khusus untuk istri-istri Rasulullah, baik secara lafadz maupun maknanya. Tidak bisa dikatakan bahwa khitob (seruan) pada istri Rasulullah termasuk seruan juga untuk muslimat yang lain berdasarkan qo'idah yang mengatakan,

"Seruan kepada Rasulullah termasuk juga pada orang-orang yang beriman."

Hal ini berdasarkan bahwa tempat suri tauladan yang wajib diikuti adalah Rasulullah berdasarkan surat Al Ahzab : 21. Juga tidak bisa dikatakan bahwa lebih afdhol mengikuti istri-istri Rasulullah yang suci itu karena masalah afdhol dan tidak itu berkaitan dengan larangan Allah yang kecil, lebih-lebih tidak melakukan hal yang besar, seperti Firman Allah dalam QS. Al-Isro : 23

"…Maka janganlah kamu berkata uf.., ah... pada keduanya...."

maka, memukul kedua orang tua lebih harus untuk dijauhi.

Dan, yang terakhir berkaitan dengan ayat 59 dari surat Al Ahzab,

"... hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka...."

Dalam ayat itu tidak ada nash yang memerintahkan untuk menutup wajah. Kalau kita lihat surat An-Nur : 31 yang menjelaskan pengecualian dari hal menutup perhiasan berupa wajah dan tangan.

"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya ..."

Berkata Sa'id bin Jubair dan Atho' : Bahwa yang biasa nampak pada mereka adalah wajah dan telapak tangan ([16]).

Kemudian hadits Ummu Salamah tentang berhijab dengan Ibnu Ma'tum, Taqiyuddin An-Nabhani ([17]) mengatakan bahwa Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya lewat Nabhan. Berkata An Nasa'i, "Kami tidak tahu perawi-perawi dari Nabhan kecuali Az Zuhri." Berkata Ibnu Abdul Baz bahwa Nabhan adalah majhul, tidak diketahui kecuali periwayatan Zuhri darinya pada hadits ini. Dan, dalam Tafsir Ibnu Katsir disebut kan bahwa At Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan shohih ([18]).

Dari sini jelas hadits itu mengandung pertentangan dalam masalah perawinya. Dan jika kita melihat qoidah :

"Cacat lebih didahulukan daripada riwayat yang adil."

maka hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah hijab karena hadits itu dho'if.

Adapun hadits Al-Fadhol yang memandang wanita (Al-Khosimiyah) di hadapan Rasulullah, tidak bisa dijadikan dalil hijab karena justru hadits itu menunjukkan terbukanya wajah wanita itu. Karena itu, Al-Fadhol melihatnya. Dan, jika wanita itu berhijab (cadar), tentu Al-Fadhol tidak berkeinginan untuk melihatnya.

Sedangkan pemalingan wajah Rasulullah terhadap Al-Fadhol menunjukkan bahwa pandangan terhadap wajah wanita itu dengan disertai sahwat. Hal ini bisa dilihat dalam riwayat Ali ra ketika dia berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau memalingkan wajah anak pamanmu?" Rasulullah bersabda,

"Saya berpendapat jika pemuda dan pemudi saling berpandangan, tidak menjamin bahwa setan akan menyesatkan mereka berdua." ([19])

Kemudian tentang hadits pelarangan pandangan yang kedua juga tidak dapat dipakai sebagai dalil hijab karena hadits itu berbicara tentang pengulangan pandangan yang didasari sahwat.

Jadi, sudah jelas bagi kita bahwa pandangan ulama' mujtahidin yang tidak mewajibkan cadar atau hijab bagi wanita bisa kita terima istidhal mereka. Ditambah lagi, ternyata pada zaman Rasulullah, wanitanya tidak berhijab ini bisa dilihat dalam Shohihaini (Bukhori dan Muslim). Diriwayatkan dari 'Atho bin Abi Raabah. Ia berkata, Berkata kepadaku Ibnu Abbas ra,

"Ketahuilah, akan kutunjukkan pada engkau wanita yang ahli surga, maka saya menjawab ya.... (tunjukkanlah). Dia (Ibnu Abbas) berka ta: Wanita ini hitam (kulitnya) yang telah datang pada Nabi ..." ([20])

Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitabnya Bab 'Iddah, bahwa seorang wanita bernama Syubai'ah binti Al Harits telah terlihat mempercantik diri setelah melahirkan oleh Abu Sanabil. Hadits ini juga jelas sekali sebagai dalil bahwa wanita pada jaman itu tidak menggunakan cadar.

Hadits ini dapat dipakai sebagai dalil tentang tidak berhijabnya wanita di zaman Rasul (padahal ayat hijab sudah turun). Indikasinya, bahwa Ibnu Abbas menyebutkan warna kulitnya yang hitam. Warna kulit itu tidak mungkin diketahui kalau tidak lewat wajah wanita itu, dan tidak mungkin pula warna kulit wajah itu terlihat jika ditutup cadar (cadaran). Jadi, berhijab bagi wanita hukumnya mubah.



C. WANITA DILARANG MELAKUKAN PERJALANAN SEORANG DIRI TANPA ADA YANG MENEMANINYA (MUHRIMNYA)

Hal ini berdasarkan pada hadits,

"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bermusafir selama sehari semalam kecuali bersama mahromnya."

Sebagian ulama' membolehkan wanita bermusafir dengan tidak disertai muhrimnya asal dia bersama-sama dengan wanita yang tsiqoh (dapat dipercaya) dan perjalanannya relatif aman. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Addi bin Hatim. Ia berkata, Ketika saya bersama Rasulullah SAW, ketika itu datanglah seorang laki-laki yang mengadu kepadanya tentang bencana (dirinya), kemudian datang lagi seorang laki-laki yang lain yang mengadu kepadanya tentang macetnya perjalanan, maka Rasulullah berkata,

"Wahai Addi, apakah engkau sudah sampai di perkampungan Hiro (di Kuffah)? Hatim berkata: Saya menjawab belum ya Rasulullah, tetapi saya pernah mendengar perkampungan itu. Berkata Rasulullah: Jika umurmu panjang, engkau akan melihat "sekedu" (karavan pada zaman sekarang) yang berisi wanita yang berjalan dari Hiro ke ka'bah untuk berthowaf (dalam keadaan selamat) dan mereka tidak takut kecuali pada Allah." ([21])

Demikian pula ketika Umar mengijinkan istri-istri Nabi untuk berhaji dan ditemani oleh Usman bin Affan serta Abdurrahman bin Auf, sedangkan istri-istri Nabi berada dalam tandu.

Ibnu Taimiyah berkata, "Sah hajinya seorang wanita yang tidak ditemani muhrim" ([22]). Jika melihat lafadz hadits itu bahwa yang dilarang dan harus bersama muhrim jika bermusafir itu adalah "seorang wanita". Jika dua orang wanita atau lebih, maka tidak apa-apa untuk mengadakan perjalanan. Jika perjalanannya melebihi batas satu hari satu malam maka perjalanan seorang diri dari wanita itu adalah haram.



D. WANITA DILARANG BERKHOLWAT DENGAN LAKI-LAKI

Hal ini didasarkan pada hadits,

"Tidak boleh berkholwat seorang wanita dan seorang laki-laki kecuali disertai muhrimnya. Sesungguhnya yang ketiga dari keduanya adalah setan."

Dalam mengomentari hadits ini, Al-Ustadz Muhammad Ismail al-Kahlani menyatakan ; Apakah kedudukan mahram bisa digantikan dengan (wanita yang tsiqoh dan dapat dipercaya)? Dia menjawab: Hal itu bisa itu sesuai dengan pelarangannya. Bahwa kholwat akan mengakibatkan bencana bagi keduanya yang dilakukan oleh orang ketiga yaitu setan.([23])

Jadi, dengan adanya orang ketiga seperti wanita-wanita sholihah yang menemaninya atau juga muhrim akan menghilangkan makna kholwat. Jadi, kesimpulan dari makna kholwat adalah bersepisepi antara seorang lelaki dan seorang wanita di tempat khusus, yang jika mau bergabung dengannya harus dengan seizin mereka terlebih dahulu, baik pada kehidupan khusus (seperti rumah) atau pada kehidupan umum (seperti berduaan dengan mengambil tempat yang memojok atau ruangan kuliah yang pintunya tertutup). Oleh karena itu, berbicara dengan lawan jenis pada kehidupan umum seperti kampus, pasar, jalan raya, asal tidak mengkhususkan tempat bicaranya dan materi bicaranya adalah nasihat diniyah/dakwah atau yang berkaitan dengan tholabul ilmi, hukumnya boleh.

Kesimpulan di atas berdasarkan pada Rasulullah yang berbicara dengan wanita muslimah. Dan, para sahabat juga pernah berbicara dengan wanita muslimah pada kehidupan umum seperti Abu Hurairah yang menegur seorang wanita ketika mau berangkat ke masjid karena wanita itu berparfum yang berlebihan.

Diskusinya Rasulullah dengan seorang wanita pada waktu khotbah hari raya, dan juga sahabat-sahabat lain yang juga ber diskusi dengan wanita muslimah pada kehidupan umum dapat dijadikan dalil tentang bolehnya berbicara dengan lawan jenis pada kehidupan umum dengan syarat tidak menarik ke arah sahwat dan kenikmatan.

Jadi, berziarah ke tempat khusus wanita seperti rumah sewa (kos-kosan wanita), maka wanita yangg diziarahi harus ditemani oleh wanita lain yang beriman agar tidak terjadi kholwat atau oleh muhrimnya kalau ada.



E. JIKA KELUAR RUMAH, HARUS SEIJIN SUAMINYA

Jika seorang istri keluar rumah tanpa ijin suaminya maka dia bermaksiat kepada Allah. Diriwayatkan dari Atho' dari Ibnu Abbas ketika seorang wanita bertanya tentang hak laki-laki pada istrinya, maka Rasulullah berkata,

"Wanita itu jangan keluar dari rumah kecuali dengan ijin (suaminya). Jika dia melanggar, maka malaikat rahmat dan malaikat pemarah akan melaknatnya sampai dia bertaubat dan pulang ke rumahnya." ([24])



F. KELOMPOK WANITA TERPISAH DARI KELOMPOK LAKI-LAKI

Islam menganjurkan supaya kelompok wanita infishol (terpisah) dengan kelompok laki-laki baik dalam kehidupan khusus seperti rumah atau dalam kehidupan umum seperti pasar, jalan raya, dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dari dalil-dalil yang mengatakan bahwa wanita tidak diwajibkan sholat berjamaah; wanita tidak diwajibkan untuk jihad. Kewajiban bekerja dibebankan kepada wanita di belakang laki-laki juga permohonan wanita untuk belajar khusus pada Rasulullah. Semua ini menunjukkan bahwa kelompok laki-laki dan wanita dalam kehidupan umum atau kehidupan khusus harus infishol kecuali yang dibolehkan oleh syara' untuk ber-ijtima' (bertemu).

Dalam masalah ini ada beberapa yang harus diperhatikan, di antaranya, jika aktivitasnya mengharuskan pertemuan antara laki-laki dan wanita dan itu diperbolehkan atau ada batasannya dalam hukum syara', maka boleh bertemu seperti: jual beli, perda gangan, belajar, berdakwah, dan lain-lain. Karena dalil diperbolehkannya aktivitas tersebut sekaligus mencakup bolehnya bertemu, baik berkenaan dengan infishol (terpisah) seperti di masjid, belajar, dakwah, atau berkenaan dengan yang mengharuskan ikhtilath, misalnya haji dan jual beli.

Adapun jika aktivitasnya tidak mengharuskan untuk bertemu (berkumpul) dengan laki-laki seperti berjalan menuju masjid atau ke pasar atau ke kampus, atau pergi ke famili, maka aktivitas tersebut tidak diperkenankan untuk bertemu/berkumpul dengan laki-laki karena dalil infishol antara kelompok laki-laki dengan kelompok wanita adalah 'am (umum) dan tidak ada dalil yang membolehkan bertemu/berkumpul dalam masalah itu.

Jadi, infishol adalah terpisahnya kelompok laki-laki dan kelompok wanita sedangkan ijtima adalah bertemunya kelompok laki-laki dan wanita dalam satu forum. Dan, ikhtilath adalah ijtima' antara laki-laki dan wanita dalam keadaan bercampur baur yang di dalamnya terdapat interaksi, seperti: makan dan minum bersama-sama. Dengan demikian, terdapat dua unsur di dalamnya yaitu ijtima' dan interaksi.

Berkumpul saja tidak dinamakan ikhtilath sehingga seorang wanita yang berada di samping laki-laki di kendaraan umum tidak dinamakan ikhtilath. Berinteraksi saja tanpa berkumpul juga tidak dinamakan ikhtilath misalnya seorang wanita berbicara dengan seorang laki-laki lewat telepon. Tentang bolehnya ber-ikhtilath antara laki-laki dan wanita pada kendaraan umum, dalilnya adalah ketika para sahabat yang berhijrah dari makkah ke Habasyah menyeberang lautan dengan perahu, sedang mereka terdiri atas laki-laki dan wanita. Jadi, ikhtilath dalam perjalanan hukumnya boleh selama belum sampai ke tujuan.

Kemudian rekreasi untuk tadabbur alam maka wajib infishol, jangan sampai terjadi ikhtilath karena tidak ada dalil bolehnya ber-ikhtilath pada saat itu. Sedangkan tadabur alam diperbolehkan dari nash-nash Al-Qur'an. Dan, tempat-tempat rekreasi dianggap sebagai tempat umum yang diperbolehkan berkumpul/ijtima', tapi harus infishol.

Demikian batasan-batasan yang harus dipenuhi bagi seorang muslim dan muslimat dalam kehidupan umum.



2.2. HUKUM DALAM KEHIDUPAN KHUSUS

Sesungguhnya hukum syara' telah menetapkan bagi kaum muslimin tentang adanya kehidupan khusus (private) dan kehidupan umum. Adapun dalam kehidupan khusus syara' telah menentukan dalil-dalilnya kehidupan khusus dan syara' mengharuskan minta ijin untuk memasuki rumah.

"... dan janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu." (QS An Nur : 27)

Makna "rumah" di sini bukan sekedar gedungnya saja, tetapi beserta penghuni dan keadaan rumah tangganya. Indikasinya, karena berkaitan dengan ilmu balaghoh (majas mursal), seperti ayat :

"Dan tanyakanlah pada kampung itu (penduduknya)."

Adapun hukum yang berkaitan dengan kehidupan khusus adalah sebagai berikut:

1. Harus meminta ijin untuk memasukinya.

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An Nur : 27,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta ijin dan memberi salam kepada penghu ninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu (selalu) ingat."

Berdasarkan ayat ini, maka rumah-rmah yang ada penghuninya, tidak dibenarkan seorang pun masuk ke dalamnya tanpa meminta ijin terlebih dahulu baik mahrom atau bukan. Kecuali hamba sahaya dan anak-anak yang belum dewasa. Itu pun tidak semua waktu bebas bagi mereka keluar masuk rumah tanpa ijin, karena ada tiga waktu khusus yang mereka harus minta ijin jika mereka mau masuk (lihat QS An Nur : 58)

Kalau kita teliti kembali tentang mengapa harus meminta ijin masuk terlebih dahulu, kita akan bisa menemukan bahwa dalam kehidupan khusus wanita tidak harus berpakaian jilbab. Dengan adanya ijin ini akan memberikan kesempatan berpakaian jilbab jika yang masuk orang asing. Dan, jika yang masuk adalah muhrimnya maka ada kesempatan untuk berpakaian jika dia dalam keadaan tidak berbusana atau berbusana minim.

Diriwayatkan dari Abu Dawud, bahwa seorang laki-laki bertanya pada Nabi Sollallohu Alaihi Wasallam, "Apakah saya harus meminta ijin pada ibuku?" Nabi menjawab, "Ya." Seorang laki-laki itu berkata, "Sesungguhnya dia tidak memiliki pembantu kecuali saya, apakah saya harus meminta ijin setiap saya masuk?" Rasulullah menjawab,

"Apakah kamu suka melihat ibumu telanjang?" Dia menjawab, "Tidak." Rasulullah bersabda, "Kalau begitu mintalah ijin."

Namun jika sudah mendapat ijin, maka ijin ini juga menyangkut hal yang boleh dilakukan di dalam rumah, misalnya : jamuan makan bersama, berbicara; hal ini dibolehkan karena nash Al Qur'an surat An-Nur ayat 61 memperbolehkannya.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abi Juhaifah Wahsi bin Abdillah ra berkata,

"Nabi telah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda' kemudian Salman berziarah pada Abu Darda'. Salman melihat Ummu Darda' dalam keadaan berpakaian yang tidak ada perhiasannya (sangat sederhana). Salman berkata: Mengapa kamu begini? Berkata (Ummu Darda'): Saudaramu (Abu Darda') tidak butuh pada dunia. Kemudian Abu Darda' datang dan membuat makanan untuk Salman". ([25])

Dalil di atas menunjukkan dibolehkannya masuk rumah, dibolehkannya berbicara dan makan bersama atau ber-ijtima' ([26]).

2. Yang di dalam rumah adalah wanita bersama wanita atau mahram

Hal ini berdasarkan bahwa illat pelarangan masuk rumah adalah aurat wanita dikhawatirkan akan terlihat. Sedangkan, aurat wanita hanya boleh dilihat oleh mahramnya dan wanita lain berdasarkan surat An-Nur: 31. Dari sini bisa diambil hukumnya, yaitu berhukum mubah saja jika dalam kehidupan khusus (rumah) penghuninya wanita dan orang asing asal (bukan muhrim) antara lain dengan syarat :

1. Menutup aurat secara lengkap, sempurna (berjilbab) seperti kehidupan umum.

2. Tidak ber-kholwat

3. Wajib ber-infishol, tempat harus terpisah

Jadi, perbedaan antara kehidupan khusus dan umum yaitu terletak pada :

1. Ijin untuk masuk rumah (kehidupan khusus)

2. Pakaian dalam kehidupan khusus tidak harus berjilbab kecuali ada orang asing di dalamnya.

3. Diharamkan secara mutlak berikhtilath pada kehidupan khusus



RISALAH SAFAR BAGI MUSLIMAH

Islam tidak membatasi manusia dalam melakukan aktivitasnya. Apa pun bisa dilakukannya asal sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara' termasuk juga masalah safar bagi muslimah. Sekalipun demikan, tidak berarti setiap perjalanan muslimah diperbolehkan dalam Islam. Sejauh mana Islam memperbolehkan dan tidak memperbo lehkan muslimah dalam safar.

Adapun hadits yang berkaitan dengan larangan safar bagi muslimah, yakni:

1. Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengada kan perjalanan (musafir) sejauh lebih dari tiga hari kecuali bersama bapaknya, atau anak laki-lakinya, atau suaminya, atau mahramnya". ([27])

2. Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

"Janganlah seorang perenpuan menempuh perjalanan sejauh perjalanan tiga hari kecuali bersama mahramnya." ([28])

3. Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

"Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan sejauh perjalanan dua hari, kecuali bersama suaminya atau mahramnya." ([29])

4. Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengadakan safar (musafir) sejauh perjalanan sehari semalam tanpa mahramnya". ([30])

5. Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengada kan safar sejauh perjalanan satu hari, kecuali bersama mahramnya." ([31])

6. Nabi Shollallohu alaihi Wasallam bersabda,

"Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan sejauh satu barid kecuali bersama mahramnya." ([32]) Satu barid kira-kira setara dengan dua belas mil, menurut Imam Ibnu Khuzaimah.

7. Nabi Shollallohu alaihi Wasallam bersabda,

"Tidak halal bagi seorang wanita mengadakan safar (kecuali) bersama mahramnya." ([33])

8. Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam bersabda,

"Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali dengan mahramnya, dan janganlah seorang laki-laki masuk (menemui) atasnya (atas wanita itu) kecuali wanita itu bersama mahramnya." ([34])

I. Hadits-hadits yang berbicara tentang keberagaman ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan safar, maka kita harus memahami lafadz-lafadz itu sendiri. Artinya, kita boleh mengamalkan semua hadits di atas berdasarkan sebuah qo'idah tentang Mafhumul 'Adad, yaitu :

Dilalah lafadz yang membatasi hukum di atas meniadakan selain lafadz itu. ([35])

Dari definisi itu lahir qa'idah :

Bilangan itu dipahami atas lafadz bilangan itu sendiri.

Dan, kita tidak boleh mengatakan bahwa hadits-hadits itu bertentangan. Jadi, hal itu tidak boleh kita amalkan. Kita harus mengamalkan keseluruhan hadits tersebut karena tidak ada pertentangan secara sanad, sejarah turunnya, dan lain-lain ([36]).

Dan kita tidak bisa pula menerapkan Qoidah :

Lafadz mutlaq dipahami dengan lafadz yang membatasinya.

Mutlaq dan muqoyyad itu biasanya berkaitan dengan hakekat sesuatu, bukan bilangan.

Contoh :

Laki-laki lebih baik daripada wanita. Lafadz 'laki-laki' dan 'wanita' adalah mutlaq yang meliputi seluruh hakekat laki-laki dan wanita, serta bisa di-qoyyidi dengan lafadz. Laki-laki yang cerdas lebih baik daripada wanita yang bodoh. Kalimat yang digarisbawahi adalah qoyyid dari lafadz yang mutlaq tadi.

Contoh lain :

Jika ada anjing lewat di depan orang sholat, maka akan terganggu.

Jika ada anjing hitam lewat di depan orang sholat, maka akan terganggu.

Maka, kalimat ke-2 sebagai qoyyid atas kalimat pertama ([37]).

Jadi, dari qo'idah mafhumul 'adad kita bisa mengamalkan lafadz 'adad itu semuanya dengan berlogika bahwa batas minimumnya sehari semalam, dan batas maksimumnya tiga hari. Tentang lafadz barid dalam hadits no. 6 dalam kitab Syarah Abu Dawud ([38]) dinyatakan bahwa lafadz tersebut adalah tambahan perawi yang bernama Suhail bin Abi Sholeh. Oleh karena hadits itu tercampuri dengan perkataan perawinya, maka hadits tersebut tidak bisa kita gunakan.

Kemudian tentang makna "Yaumin wa lailatin", maka kita kembalikan pada makna lafadz sebelumnya yaitu, "Masirah". Lafadz ini termasuk isim masdar/kata dasar. Ibrahim Anis menyatakan bahwa lafadz itu berasal dari [_______] yang bermakna berjalan ([39]). Dengan ini disimpulkan bahwa lafadz ini menunjuk pada jarak, yaitu jarak perjalanan onta sehari-semalam.



II. Kalau kita teliti ternyata hadits-hadits tersebut menggunakan lafadz "Al-mar'ah" (wanita tunggal). Dan, lafadz ini jika kita lihat secara hakekat urfiyahnya, yaitu hakekat lafadz itu sendiri dipahami secara kebiasaan ([40]), maka pelarangan musafir hanya berlaku bagi seorang wanita saja.



III. Hadits berbeda dengan Al-Qur'an karena hadits biasanya berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan sahabat, solusi atas kejadian, dan keputusan atas perkara yang terjadi pada waktu itu. Jadi, jika hadits tersebut berkaitan dengan ubudiyah murni, maka hal itu bersifat universal. Sedangkan hadits-hadits dalam masalah muamalat, 'uqubat, pemerintahan Islam, dan ekonomi secara esensi adalah universal, tetapi secara kontekstual (uslub) bersifat kondisional. Potong tangan kalau ditinjau secara esensi berarti pencuri wajib dipotong tangannya. Namun, secara kontekstualnya berarti bahwa cara potong tangannya boleh dengan pisau, sinar laser, dan lain-lain. Namun, ada hadits-hadits yang berkaitan dengan fakta alam, baik itu ubudiyah seperti haji, atau penjagaan ad-din terhadap kehormatan wanita, seperti pelarangan musafir bagi dirinya; dalam hal ini maka adanya perubahan fakta alam bisa diikuti dengan perubahan hukum ([41]).

Contoh :

Melempar jumrah pada manasik haji. Pada zaman Rasulullah dimulai setelah dhuhur sampai maghrib. Hal ini relatif sedikit. Namun, sekarang dengan dua juta manusia, bisakah menyelesaikan prosesi pelemparan jumrah dengan kurun waktu enam jam? Mina, Miqat di Yalamlam. Bagi negeri ASEAN, bisakah Mina menampung dua juta jiwa dan bisakah miqat ASEAN di Yalamlam dengan pesawat terbang?

Itu semua baru sebagian dari contoh-contoh yang bisa kami paparkan. Dan, hal itu juga membutuhkan jalan keluar atau ijtihad. Dan, tentunya menjadi berbeda dengan manasik Rasulullah Shollallohu alaihi Wasallam.

Demikian pula tentang pelarangan musafir bagi wanita. Lima belas abad yang lalu, Jazirah Arab adalah padang pasir yang tandus, dan jika malam berada dalam keadaan gelap gulita. Pantaskah seorang Nabi membolehkan umatnya (wanita) untuk bepergian sendiri? Tentu tidak, karena Islam datang untuk menjaga kehormatan dan harga diri wanita. Maka, dari ketentuan inilah Rasulullah melarang wanita-wanita keluar sendirian dengan jarak lebih dari 86 kilometer.

Dari uraian di atas, dapat kita ambil hikmah tasyri'-nya, yaitu adanya pelarangan tersebut berkaitan dengan penjagaan harga diri dan kehormatan wanita itu sendiri.

Akhirnya, dapat kita ambil pendapat bahwa wanita boleh bermusafir dengan syarat sebagai berikut :

1. Berpakaian dengan pakaian yang memenuhi syarat/ kriteria jilbab dalam Islam.

2. Tidak boleh sendirian dalam perjalanan. Dan, hal ini tidak mungkin di zaman sekarang. Sebab, mesti bersama-sama dengan penumpang yang lain ([42]).

3. Perjalanannya relatif aman. Yang dimaksud aman di sini adalah tidak terjadinya penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain, bukan berkaitan dengan kendaraannya.



Wallahu 'alamu bi ash-shawab.


(1) Yusuf Al-Qordlowi, -------------, hal. 105

(2) Mansur Fakih, makalahnya diskusi Perkembangan Feminisme dan Relevansinya di Indonesia

[1] Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasith, hal. 654

[2] QS. An-Nur : 30-31

[3] Fiqh As-Sunnah, jilid II, hal. 24

[4] Dr. Sayid Muhammad Al-Maliky,-------, hal. 80

[5] Ash-Shobuny, Tafsir Ibnu Katsir, juz II, hal. 600

[6] HR. Bukhori, hal. 101

[7] Ibnu Jauzy, Zaad Al-Masir, juz 6 hal. 422

[8] Abu hayyan, Al-Bahrul Muhith, juz VII, hal. 150

[9] Ali Ash-Shobuny, Mukhtashar Tafsir ibnu Katsir, juz 3, hal. 114

[10] Dr. Muhammad Mahmud Al-Hijazy, Tafsir Al-Wadlih, juz 21, hal. 26

[11] Taqiyyudin An-Nabany, Nizhomul Ijtima’iy, hal. 66

[12] Ali Ash-Shobuny, Ayatil Ahkam, juz II, hal. 375

[13] Al Baqarah 208, Al-Maidah 77, An-Nisa' 135, An-Nur 21

[14] Ibrahim Muhammad Jamal, Fiqhul Ma'rah Al Muslimah, hal. 97

[15] Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, jilid III, hal. 108

[16] Tafsir Ath Thobary, juz XVIII, hal. 118

[17] Taqiyyuddin An Nabhani, Nidhom Ijtima'i, hal. 44

[18] Mukhtashor Tafsir Ibnu Katsir, jilid II, hal. 599

[19] Taqiyyuddin An Nabhani, Nidhom Ijtima'i, hal. 65

[20] Riyadhus Sholihin, Bab Sabar, hal. 20

[21] Fiqhus Sunnah, jilid I, hal. 535

[22] Muhammad Isma’il al-Kahlani, Subulus Salam, jilid I, hal. 184

[23] Al-Ustadz Muhammad Ismail al-Kahlani, Subulus Salam., jilid I hal. 183

[24] Ibnu al Jauzi, Ahkamul Nisa', hal. 138

[25] Imam Abu Zakaria Yahya Syarf (An-Nawawi), Riyadhus Sholihin, Bab Tidak Berlebihan dalam Ibadah

[26] Muhammad bin 'Alawy, Dalilul Falihin, menukil dari Al Hafidz Ibnu Hajar, juz I hal. 391

[27] Shohih riwayat Ahmad, Muslim, jilid IV, hal. 104, Abu Dawud no. 1726, Ibnu Majah no. 2898, dan Tirmidzi dari jalan Abi Sa'id

[28] Shohih riwayat Bukhari, jilid II, hal. 35, Muslim, jilid IV, hal. 102, Abu Dawud dan Ahmad dari jalan Ibnu Umar

[29] Shohih Bukhari, jilid II, hal. 220, Muslim, jilid IV, hal 104 dari jalan Abi Sa'id

[30] Shohih riwayat Bukhari, jilid II, hal. 36 dan dalam lafadz Muslim, jilid IV, hal 103, Abu Dawud no. 1724, Ahmad dan Tirmidzi dari jalan Abu Hurairah

[31] Shahih riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari jalan Abu Hurairah

[32] Shahih riwayat Abu Dawud, Hakim dan Ibnu Khuzaimah dari jalan Abu Hurairah

[33] Shahih riwayat Muslim dari jalan Abu Hurairah

[34] Al Hamadi, Al Ahkam, juz II, hal. 156

[35] Dr. Abdul Wahab Al Kholat tentang Ta'arudh, hal. 229

[36] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqih, juz I, hal. 209-211

[37] Badhul Mafhul fi Halli Abi Dawud, jilid VIII, hal. 103

[38] Ibrahim Anis, Mu'jamul Wasith, hal. 467

[39] Wahbah Zuhaily, juz I, hal. 293

[40] DR. Yusuf Qordhowi, Bagaimana Kita Menyikapi As Sunnah

[41] DR. Yusuf Qordhowi, Bagaimana Kita Menyikapi As Sunnah



[42] Ashobuny, Ayatul Ahkam, jilid I, hal. 413 : Beliau menukil pendapat Asy Syafi'i dan Hambali; Fiqh as-Sunnah, jilid I, hal. 535 : Dalil-dalil yang membolehkan bermusafirnya wanita tanpa muhrim,

Al-Ustadz Muhammad Ismail al-Kahlani, Subulus Salam, jilid I, hal. 184 : Perkataan Ibnu Taimiyyah yang membolehkan wanita berhaji tanpa muhrim
Segoroasin
Segoroasin
SERSAN SATU
SERSAN SATU

Male
Posts : 100
Join date : 13.12.11
Reputation : 1

Kembali Ke Atas Go down

Topik sebelumnya Topik selanjutnya Kembali Ke Atas

- Similar topics

Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik